YOU ARE HEAR...
1.Gadis Pemberontak...
KRISAN BRAVERY...
Api itu terlihat kecil, akan tetapi sangat menakutkan ketika dua bola mata mencari sesuatu di dalamnya.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” Zia sejak tadi memperhatikan diriku.
“Hanya sedikit berpikir saja” ujarku.
“Krisan Bravery, jangan terlalu merenung!” Zia.
“Saya hanya sedikit mengenang memori” balasku.
“Btw, lupakan masalah, mari kita menikmati hidup sejenak!” Zia.
Kami berdua berkeliling kota menikmati hidup. Tidak sengaja dua bola mataku membaca selembar kertas penolakan tentang peraturan terbaru pemerintah. Zaman dimana semua orang bebas mengeluarkan pendapat. Apa yang salah dengan kata tadi?
“Gerakan menentang peraturan terbaru” membaca lembaran kertas tersebut.
“Kenapa?” Zia.
“Saya jadi ingat pengalaman hidupku sebagai seorang aktivis” ungkapanku membayangkan memori lampau.
Sebuah perjalanan seorang aktivis. Saya ingin terus berperan untuk menyampaikan perubahan. Apa yang salah dengan kata aktivis? Entahlah...
FLASHBACK
Perempuan merupakan salah satu ciptaan Tuhan paling kuat, hidup, unik, memiliki variasi seni berwarna-warni di tiap sudut perjalanan. Menjadi pertanyaan, kenapa perempuan tidak pernah bisa duduk sejajar dengan laki-laki dalam hal apa pun? Banyak perempuan direndahkan hingga membuatku bertanya tentang dan fungsi mereka.
Saya ingin berdiri di tengah untuk menyatakan keberadaan perempuan di mata dunia. Kenapa perempuan tidak bisa bersekolah tinggi? Perempuan hanya bisa bertugas sebagai ibu rumah tangga semata? Di beberapa negara, perempuan tidak bisa memakai pakaian warna-warni, cerah, berekspresi karena tuntutan peraturan. Martabat kaum hawa benar-benar direndahkan.
Kaum hawa selalu saja menjadi korban KDRT ketika berumah tangga. Apa ini yang dikatakan hidup bagi seorang perempuan? Perempuan tidak akan pernah bisa merdeka terhadap dirinya sendiri sejak zaman dahulu kala.
Pernikahan dini dimana-mana hingga menjadikan perempuan tidak dapat menikmati masa depan mereka. Saya ingin berada di barisan terdepan dunia untuk menyatakan perempuan merupakan sebuah harta tidak ternilai dihadapan Tuhan dan bumi. Menyuarakan suara perempuan merupakan sebuah kisah terbaik dari diriku.
“Ri, sadar tidak kelakuanmu melanggar norma-norma keluarga?” teriak ayah.
“Kenapa? Apa karena saya perempuan sehingga apa pun tidak bisa saya jalani?” melempar pernyataan.
“Krisan” nada tinggi suara ayah.
“Saya tidak ingin hidup seperti kakak, hanya jadi ibu rumah tangga tanpa sekolah yang tinggi” penekanan buat ayah.
Sebut saja saya seorang pemberontak dalam keluarga. Saya memiliki 3 kakak perempuan dengan profesi hanya berperan sebagai pengasuh anak. Kehidupan sekarang sudah modern, lantas kenapa situasi keluarga dan negara ini seolah terus mengintimidasi perempuan? Tidak ingin berakhir mengenaskan seperti ketiga kakakku hingga sosok sepertiku berakhir dengan peran sebagai pembangkang keluarga.
Aturan keluarga adalah seorang pria dapat menikah dengan wanita lain andaikan tidak mendapat anak laki-laki. Saya muak melihat ayah berjalan mencari wanita lain, hanya karena tidak mendapat anak laki-laki sebagai penerus keluarga. Rahim ibu bermasalah setelah melahirkan diriku hingga dokter melakukan sterilisasi terhadapnya. Apakah tidak memiliki anak laki-laki merupakan aib keluarga?
Saya benci pembatasan terhadap hak perempuan. Ketiga kakakku berakhir tragis hanya karena mengikuti aturan keluarga. Anak pertama dalam keluarga ini bernama Agani, sedang kedua Riyal, anak ketiga bernama Dinari. Mereka bertiga bagaikan manusia bodoh guna mematuhi peraturan keluarga. Ka’Agani harus menikahi pria berusia 20 tahun lebih tua darinya di usia yang masih belasan.
Kehidupan ka’Agani hanya bercerita tentang kegiatan-kegiatan hambar tanpa jedah iklan. Apa ini yang dikatakan hidup? Sang pria sengaja menjebak ayah dengan alasan hutang budi dan di akhir cerita tragis buatnya. “Saya tidak ingin berakhir gila sama seperti dirinya” mengambil sumpah jauh di dasar hati.
Lantas kisah kakak keduaku bagaimana? Ka’Riyal tidak dapat melanjutkan sekolah, bahkan harus berhenti di bangku SMP. Apa kalian tahu masa remaja putri terdengar sangat menyenangkan ketika berkumpul dan tertawa bersama teman? Ka’Riyal tidak akan pernah mengalami pemgalaman seperti itu demi tuntutan pernikahan keluarga.
Apa yang salah dengan menikahi sepupu sendiri? Kenyataan yang ada adalah dia harus menikahi sepupu terdekat dan bisa dikatakan darah keluarga masih terlalu kental satu dengan lainnya. Rasa-rasanya semua ini membuatku gila andaikan menjadi dia.
Terakhir, kisah ka’Dinari dalam keluarga ini. Ka’Dinari harus rela dijadikan istri ketiga oleh seorang pria berpengaruh. “Kenapa kakak tidak bisa berlari?” berteriak memaki ke arahnya.
“Memang segampang itu?” ka’Dinari hanya bisa menjatuhkan air mata.
“Kenapa kalian bertiga selalu saja terlihat begitu lemah?”
“Kalian sama saja seperti ibu, tidak akan pernah bisa melawan” ucapan pernyataan terhadapnya.
Saya muak melihat sisi lemah mereka di hadapan orang banyak. Hal lebih buruk lagi adalah ayah kembali menikahi wanita lain hanya demi seorang anak laki-laki. Di luar dugaan, ayah mengambil anak usia belasan tahun sebagai istrinya, sedang istri kedua harus tinggal serumah dengan ibu.
Istri kedua ayah hanya memberinya 2 anak perempuan kembali. Artinya saya memiliki 2 adik perempuan dari ibu yang berbeda. Kisahku terdengar menyedihkan hingga menghancurkan segala sesuatu di alur cerita tanpa seni.
Sampai detik sekarang, sepertinya saya tidak pernah memahami defenisi tentang perempuan di tengah keluarga. Kehidupan di luar sana menyatakan kebebasan perempuan untuk menari kesana kemari tanpa memikirkan aturan keluarga ataukah negara. Kenapa kisah di daerahku sendiri menyatakan objek lain sebagai penentang hak perempuan?
Saya ingin berjalan di tengah keramaian dengan variasi pakaian warna-warna cerah tanpa rasa takut sama sekali. Berteman dengan siapa saja selama tidak melewati batas norma agama. Apa yang salah, ketika seorang perempuan berbicara ataukah bergaul dengan beberapa pria? Saya tidak katakan pergaulan dalam tanda kutip bebas, buatku selama membentuk ataukah menambah wawasan seorang perempuan artinya tidak ada yang salah dengan pergaulan tadi.
Kenapa warna pakaian selalu menjadi standar permasalahan paling menakutkan? Bagi seorang gadis, bebas berpakaian merupakan hal terbaik dengan warna-warna cerah atau bahkan menyala. Selama jenis pakaian masih dalam batasan normal, tidak ada yang salah dengan kata tadi. Apa Sang Pencipta segitu kejamnya hingga menuntut semua gadis harus memakai pakaian warna-warna tertentu? Saya rasa, Tuhan selalu melihat hati bukan berdasarkan atas apa yang seseorang gunakan dari luar.
“Ri, jangan ambil tindakan bodoh!” teriak ibu terlihat ketakutan.
“Memang apa yang akan kulakukan?” melempar pertanyaan.
“Saya percaya anak ibu tidak akan terlihat sepeti monster” ibu berusaha menahan diriku.
“Ri benci harus lahir dari rahim ibu” seolah menyesal memiliki ibu yang terlihat begitu lemah.
“Gadis belasan itu juga korban, jangan membuat masalah!” ibu masih berusaha menahan diriku.
“Kenapa kalian semua selalu saja bertahan di tempat paling lemah?”
“Ri” ibu berusaha memeluk kuat tubuhku bersama air matanya.
“Ri, apa kau sadar kelakuanmu?” ka’Agani tiba-tiba saja berjalan masuk bahkan menampar keras wajahku.
“Saya tidak akan membiarkan hidup dan masa depanku berakhir kejam seperti dirimu sekarang” penekanan terhadap ka’Agani.
“Kau egois” teriak ka’Agani.
Apa yang salah denganku? Saya hanya ingin pergi berteriak memaki ayah di tengah pesta penikahannya yang ketiga kali. Selalu saja perempuan harus mengikuti norma aturan tanpa pernah melihat seperti apa luka di dalam sana. Apa istri ketiga ayah juga tidak memiliki kekuatan untuk berlari pergi?
Gadis usia empat belas tahun harus menerima takdir menjadi istri ketiga? Dimana hati nurani mereka semua? Dia hanya berjarak setahun lebih muda dariku. “Saya hanya ingin mengutuk perbuatan ayah, apa salah?” berteriak keras.
“Iya, perbuatanmu memang salah” ka’Agani.
“Saya tidak pernah merasa bersalah” menatap sinis dirinya.
“Satu lagi, selamanya hidup kakak terlihat menyedihkan sampai kapanpun juga” berbalik ke arahnya.
Saya harus memiliki kekuatan untuk melawan sebelum kehidupanku sendiri berakhir tragis sama seperti mereka. Tidak memiliki kekuatan rasa-rasanya terdengar menyedihkan buatku. Bisakah saya setenang air? Rasanya sangat mustahil.
Hujan deras menjadi saksi bagaimana dua kaki berlari telanjang mencari sebuah jawaban. Menangis keras hingga air mataku jatuh tidak karuan. Bagaimana saya akan berlari? Apa masa depanku juga akan hancur sama seperti ketiga kakakku?
Tuhan, sedikit saja diriMU membela perkara kaum perempuan di sini. Saya benci melihat ibu membiarkan dirinya tertindas. Hal lebih buruk lagi adalah ka’Dinari menjadi korban KDRT suaminya. Saya akan berjuang melawan aturan-aturan bangsa ini.
Memiliki sekolah tinggi merupakan impianku sejak kecil.
Berjalan pelan menahan luka yang sedang bermuara di dalam sana. Entah mengapa, dua kakiku memutuskan untuk berjalan kembali ke rumah ibu. Air mata kesedihan gadis di samping ayah membuat bibir mulutku tidak dapat berteriak kuat ke arahnya.
Gadis itu terlihat menderita oleh aturan menjijikkan. Rasa-rasanya, saya ingin membunuh ayahku sendiri. Dia tidak pernah berpikir tentang luka yang selalu saja ditancapkan olehnya.
“Kau akan dinikahkan dengan seorang pria” ka’Dinari. Ketiga kakakku membawahku masuk ke dalam kamar.
“Kalian tahu dari mana?”
“Kami mendengar perbincangan ayah melalui saluran telepon bersama seorang pria” ka’Riyal.
“Apa nasibku akan berakhir tragis sama seperti kalian?” tangisku kembali pecah.
“Pelankan suaramu!” ka’Dinari menyumbat mulutku.
“Kenapa ayah masih sempat-sempatnya bercerita pernikahanku ditengah pesta pernikahannya sendiri?”
“Seorang pria kaya membawa uang dalam jumlah sangat besar untuk melamarmu” ka’Riyal.
“Jawaban bodoh”
“Dia tidak sengaja melihatmu beberapa waktu lalu” ka’Agani.
Apa nasibku memang ditakdirkan sama seperti ketiga kakakku? Saya harus mencari jalam keluar. Melarikan diri jauh-jauh hari memang rencanaku sejak dulu, namun selalu saja mengalami kegagalan.
“Persiapkan dirimu!” ka’Agani menepuk bahuku.
“Apa kalian senang, saya akan menjadi sama seperti kalian?”
“Menurutmu?” ka’Agani.
“Tidak seorangpun ingin hidup seperti ini, hanya saja keadaan memaksa untuk menjalani sesuatu yang tidak disukai” ka’Riyal.
“Saya pasti bisa berlari”...
“Silahkan mencoba!” ka’Dinari.
“Kami juga sama sepertimu, berjuang untuk berlari, namun kenyataannya gagal” ka-Agani.
“Saya tidak ingin hidup seperti kakak pertamaku, ternyata jalanku jauh lebih miris” ka’Riyal tertawa sinis.
“Begitupun sebaliknya denganku, saya tidak pernah bisa menemukan jalan keluar untuk jauh dari rumah” ka’Dinari.
“Akhir cerita hidupku adalah mata-mata ayah dan pria busuk itu berada di tiap sudut daerah ini hingga peranan istri ketiga harus saya jalani” ka’Dinari.
Mereka bertiga sedang becerita pengalaman hidup. Seolah semua usahaku akan tetap dinyatakan gagal sekalipun ribuan perjuangan untuk berlari keluar kujalani. Saya pasti bisa keluar apa pun yang terjadi.
“Hidupmu akan tetap sama seperti kami dan kau harus menerima kenyataan’ ka’Agani.
“Kenapa kalian harus mejatuhkan harapanku untuk berlari keluar?”
“Kami tidak sedang menjatuhkan, hanya saja kau harus siap dengan fakta realita di depanmu” ka’Riyal.
“Setidaknya saya harus mencoba, dibanding seumur hidupku menjalani penyesalan”...
“Silahkan!” ka’Dinari.
“Tidak seorangpun melarangmu mencoba berjuang umtuk berlari pergi” ka’Riyal.
“Apa pun hasilnya nanti, kau harus persiapkan mentalmu” ka’Agani.
Apa saya harus siap menerima kekalahan? “Seminggu lagi, acara lamaran akan diadakan” ka’Agani.
“Kau memiliki waktu beberapa hari untuk mencoba berlari pergi” ka’Dinari.
Mereka bertiga seolah menyatakan usahaku akan tetap gagal pada akhirnya. Kenapa saya harus lahir dalam keluarga gila seperti ini? Saya masih ingjn menikmati masa remaja.
“Saya baru saja berusia 15 tahun” duduk tersungkur sambil menangis.
“Saya masih terlalu kecil untuk mengerti kehidupan rumah tangga” terus menangis tanpa henti.
“Apa dengan menangis ayah akan menaruh belas kasihan?” ka’Riyal.
“Hentikan tangismu!” ka’Agani.
“Lantas, katakan apa yang harus kulakukan?” berteriak keras.
“Menerima kenyataan andaikan kau gagal berlari keluar” ka’Agani.
“Kenapa kalian tidak pernah bisa memikirkan perasaanku?” ruang hati di dalam sana hancur akibat luka.
Apa saya siap menghabiskan masa remaja sebagai ibu rumah tangga. Perempuan juga berhak mengenyam pendidikan tinggi, menikmati masa mudanya, mengejar mimpi. Apa saya salah menginginkan hal seperti tadi?
Mereka bertiga pergi begitu saja tanpa memberiku secerca harapan. Bisakah saya berjalan melintasi drama hidup diantara kepingan luka itu?
Dua bola mata sedang mencari sebuah pintu. Apa salah menginginkan setitik celah dari secerca harapan di dalam sana? Hai pintu, kenapa kau selalu saja bersembunyi di tempat tidak terduga? Kenapa kau tidak pernah bisa berjalan ke arahku sambil tersenyum?
Saya seperti manusia tanpa arah yang jelas. Terlihat bodoh dengan banyaknya permainan hidup. Berjuang sebagai pemberontak sudah kulakukan sejak dulu, namun kenyataannya tetap saja hidup tidak pernah berpihak.
“Saya harus mencari jalan keluar” segera membuka pintu jendela kamar.
Keluar melalui jendela sedang kulakukan. Membawa barang-barang seadanya. Selagi ayah menikmati hari pernikahannya, maka dua kaki harus mencoba berlari pergi. Saya tidak akan gagal sama seperti ketiga kakakku.
Kenapa begitu banyak pria berjaga di tiap sudut rumah? Apa ketiga kakakku memberi tahu tentang keinginanku untuk melarikan diri? Mereka bertiga benar-benar kejam.
Selalu saja hidup tidak pernah berpihak ke arahku. “Kau mau melarikan diri kemana?” sebuah suara bariton bergema setelah saya sukses memanjat tembok pagar rumah.
“Ayah” mengenali suara tadi.
“Apa pantas kau disebut sebagai anak perempuan?” sikap ayah menatapku.
“Bukannya hari ini malam pernikahan ayah? Kenapa berjalan kesini?
“Seminggu lagi kau akan dilamar, jadi, jangan membuat keributan!” ayah.
“Kenapa kau selalu menghancurkan masa depan anak gadismu sendiri?” berteriak memaki tanpa memperdulikan apa pun.
Saya berbeda dari ketiga kakakku. Berjuang umtuk melawan merupakan sesuatu hal yang harus kujalani. “Kau pria brengsek tidak punya perasaan” makin terlihat histeris.
“Semua anak gadismu masih dibawah umur, tapi tanpa rasa kasihan kau menghancurkan masa depan mereka”...
“Apa kau mengerti makna kata ayah?”...
“Saya masih 15 tahun bukan wanita dewasa yang butuh perlindungan seorang ayah, tapi kenapa kau tidak pernah ingin mengerti?”...
“Kau selalu menjadi monster, apa hati nuranimu memang sudah mati?”
Gadis pemberontak itu adalah saya. Melampiaskan nada emosionalku merupakan sesuatu hal biasa buatku. Saya bukan manusia lemah. Dua tanganku harus berjuang apa pun keadaannya sekalipun harus membunuh pria brengsek di depanku.
Rasa-rasanya, saya ingin memasukkan racun paling mematikan ke dalam cangkir minumannya hingga dirinya berakhir dalam liang kuburan. Dia bukan seorang ayah buatku.
“Kau harus siap, suka atau tidak!” pria iblis menatap tajam.
Meludahi wajahnya seolah lupa kalau dia adalah ayahku. Saya akan menjadi manusia pemberontak, sekalipun mati mengenaskan. Pria monster berjalan keluar meninggalkan kamarku. Dengan sengaja memasang terali besi sepanjang pintu kamarku hingga tidak akan bisa terbuka lagi.
Duduk seperti manusia bodoh pada sudut kamar. Tuhan, sekali saja diriMU berpihak ke arah gadis sepertiku. Butiran kristal itu terus saja berjatuhan tanpa mengenal waktu.
Jalan setapak, kenapa kau selalu saja tertawa lebar ketika dua kaki jatuh tersungkur? Sepertinya, hujan terus saja bermain sangat kuat hingga membasahi seluruh tubuh di jalan setapak. Bunyi gemerincing dari banyaknya sayatan luka terus saja mengudara. Hai jiwa, sekali saja, dirimu tetap tenang tanpa kosakata remuk di dalamnya! Tuhan, apa bisa, sekali saja, diriMU menampung tetesan bulir kristal itu di dalam kirbatMU...
2. Suara Gemerincing Luka...
“Ri” teeiak seorang wanita setelah membuka pimtu kamarku.
Darah segar mengalir dari pergelengan tangan Ri pada akhirnya. Semua terlihat begitu gelap hingga membuatku lupa tentang banyaknya suara gemerincing luka di dalam sana. Apa hidupku akan baik-baik saja? Kenapa isak tangis terus saja mengudara di ruang gelap hidupku?
“Ri” seorang ibu terus saja bergelut di dalam isak tangisnya.
“Saya ada dimana?” menyadari sesuatu.
Infus set sudah terpasang manis pada salah satu pergelangan tanganku. “Apa Ri tidak memikirkan perasaan ibu sama sekali?” ibu terus saja menangis di sampingku.
“Sekali saja, ibu menjadi pahlawan buat Ri” butiran kristal itu mengalir kesekian kalinya.
“Maaf, tidak bisa menjadi ibu seperti yang Ri mau” hati seorang ibu hancur melihat kelakuan putri bungsunya.
“Apa salah kalau Ri ingin berlari dengan bebas di lapangan?”
“Tidak ada yang salah, hanya saja tangan ibu terlalu lemah untuk membawa Ri berlari sesuka hati” ibu.
Serpihan hidup bercerita tentang tubuh selalu saja terjatuh ke tanah tanpa kekuatan. Hujan deras seolah tahu, bagaimana ruang di dalam sana tercabik-cabik tanpa henti. Lorong gelapku berkata, kalau tidak ada pelita sama sekali disana...
“Saya tidak pernah meminta apa pun darimu” tangis ibu mengudara. Tanpa sengaja, saya mendengar percakapan ibu dan pria monster seminggu setelah keluar dari rumah sakit. Acara pernikahan diundur oleh ayah setelah insiden mengiris pergelangan tangan memakai pecahan gelas.
“Anda menikah dengan siapapun, saya tidak pernah marah” ibu tersedu-sedu dalam tangisnya.
“Anda membuat aturan, bahkan sekali lagi saya tidak pernah marah atau memohon” ibu.
“Tetapi, sekali ini, saya memohon, biarkan Ri berlari dengan bebas” wanita tua terus menangi bersujud di kaki pria brengsek.
“Biarkan putri kecilku menikmati masa remajanya sebagaimana mestinya!” tangisnya terus pecah memohon sesuatu.
Tuhan, sekali saja, diriMU berpihak di sampingku. Rasanya sakit melihat ibu bersujud sambil menangis. Apa saya terlalu egois?
“Sekali saja, Ri menjadi manusia egois” suara hati bergema.
Tidak ada setitikpun celah pintu terbuka. Semua tertutup rapat hingga ruang di dalam sana begitu sesak. Serpihan hidup, kenapa kau selalu saja memainkan peran menakutkan? Hai kunci, dimanakah dirimu bersembunyi?
Apa pria brengsek itu hatinya akan luluh? Seolah saya tidak pernah memiliki ayah, sekalipun dia berdiri kokoh di depanku. Gadis sepertiku juga ingin kehangatan terbaik dari seorang ayah...
“Kumohon, biarkan Ri bebas berlari di lapangan” isak tangis ibu terus saja mengudara.
“Pria itu sudah membayar mahal mahar untuk acara pernikahan” kalimat pria brengsek.
Apa uang uang lebih berharga di matanya? Apa nasibku memang akan berakhir tragis sama seperti ketiga kakakku? Kenapa saya harus lahir dari keluarga menjijikkan seperti ini?
Menangis di dalam ruang gelap seolah menyatakan bahwa luka itu benar-benar dalam, bahkan tersimpan aman di tempatnya.
“Ri harus makan” ibu berjalan masuk ke kamar sambil mendekap tubuhku.
“Maaf” tangis ibu terus saja mengudara.
“Sekali saja Ri menjadi manusia egois” rasa sesak di dalam sana jauh lebih kuat berteriak...
“Sekali lagi, maaf” ibu.
Apa dengan berujar maaf, semua menyelesaikan masalah? Setidaknya, ibuku sudah berusaha memberi sayapnya, hanya saja seluruh tubuhnya terlalu lemah untuk membawaku terbang tinggi, bahkan terbang jauh. Apa saya harus marah?
“Ternyata, hidupku jauh lebuh menyedihkan dibanding ketiga kakakku” tertawa sinis.
Pada akhirnya, pertemuan antara saya dan pria itu datang juga. Berjalan lemas seolah tidak lagi memiliki semangat hidup. Kekuatanku hilang ditelan oleh angin.
“Jangan membuat masalah!” ayah berbisik di telingaku.
Hal yang terjadi selanjutnya adalah meludahi kesekian kalinya wajah monster ayah sambil tertawa keras. Saya seperti manusia kesurupan berlari kesana- kemari sambil tertawa. Apa saya sudah menjadi manusia gila? Entahlah...
Meludahi pria yang akan menjadi pasanganku sedang kulakukan. Menatap penuh kebencian terhadapnya menyatakan guncangan luka itu benar-benar kuat. Tertawa sekeras mungkin hingga membuat ibu ketakutan.
Apa pria tadi merespon kelakuanku? Dia diam membisu di tengah aksiku. Berusaha membersihkan kacamata di tangannya, dan tidak berkata-kata sepatah katapun.
Di luar dugaan, pria itu tetap ingin menikah seolah lupa bagaimana saya memperlakukan dirinya. Apa saya yang gila? Atau dia memang lebih gila dariku? Kenapa dua bola mata tidak pernah bisa menemukan titik celah dari sebuah pintu?
“Ri, jaga kelakuanmu!” ayah menampar wajahku seketika di kamar.
Kenapa saya harus memiliki ayah seperti dirinya? Sekali saja, pria tua di depanku memberi kehangatan. Seorang Ri merindukan dekapan sang ayah sejak kecil.
Saya tertawa keras di ruang sudut persegi. “Kau iblis” berteriak sambil tertawa kembali.
“Ri” ibu berusaha melindungiku.
“Ri sayang ibukan?” ibu membawaku masuk dalam pelukannya.
Ketiga kakakku berjalan masuk ke kamar menatap ke arahku, sedang ayah berjalan pergi meninggalkan kami. Rantai itu memiliki kekuatan luar biasa hingga dua kaki tidak dapat berlari keluar untuk menyelamatkan dirinya. Hai kunci, kenapa kau selalu bersembunyi di tempat yang dapat dijangkau? Suara gemerincing luka bergema di sepanjang jalan setapak.
“Rasanya sesak” menangis keras seketika.
“Menangislah kalau kau ingin menangis” ka’Agani memeluk kuat tubuhku.
“Ucapan kakak memang betul” isak tangis makin bergema.
“Saya tidak akan pernah bisa berlari keluar” kalimatku kembali.
“Maaf” ibu terus mendekap tubuhku.
Bahasa seperti apa yang bisa melukiskan gambaran hidup seorang gadis remaja berusia 15 tahun? Sudut persimpangan sedang menari di dalam tangisan sayatan hingga menimbulkan sesak. Hai jiwa, apa dirimu memang tidak berdaya, bahkan remuk begitu saja di sudut persimpangan?
Pernikahan yang tidak pernah kuinginkan sama sekali menghancurkan banyaknya objek di depan. Pria itu membawaku pergi jauh dari rumah setelah acara pernikahan kami selesai. Diam membisu sepanjang jalan dan tidak lagi bergelut di dalam isak tangis.
Sepertinya air mataku habis ditelan bumi. Keinginanku satu-satunya hanya berada pada kata kematian. Keinginan untuk hidup hanya berada di kisaran 0,0000 sekian...
“Perkenalkan nama saya Chani” seorang wanita tua tersenyum ramah menyambut kehadiranku di rumah pria itu.
Apa saya membalas ucapannya? Diam membisu seperti mayat hidup berjalan menjadi lukisan hidup Ri. “Bawah semua barangnya ke kamar!” nada memerintah pria tersebut.
Rumah yang kutempati sekarang jauh dari perkotaan dan keramaian desa. Dia memiliki rumah tersembunyi hingga seorangpun sepertinya tidak akan pernah tahu dimana kami berada. “Sangat jauh dari rumah pria momster” suara hati bergema di dalam.
Apa saya akan menghabiskan waktu selamanya di tempat seperti ini? Usiaku masih terlalu belia untuk memasuki kehidupan rumah tangga. Saya ingin berlari bebas di lapangan sambil tersenyum lebar...
“Makanlah!” pelayan wanita tua memasuki pintu kamarku.
Diam tanpa kata-kata dan terus terlihat seperti manusia bodoh. Sekali saja, Tuhan menatap ke arahku. Hai pintu, apa kau memang tidak akan pernah menjadi sahabat terbaik? Kenapa seluruh dinding tertutup rapat dan tidak menampakkan satu pintu di di depan?
“Nanti anda bisa sakit kalau tidak makan” pelayan tua mencoba menyuapi sesendok makanan.
Apa rasa ibah muncul? Jawabannya adalah mengambil priang makanan tadi, kemudian membuangnya ke lantai. Saya ingin menyatakan pemberontakan...
“Bawah makanan baru kembali ke kamarnya!” pria itu sejak tadi berdiri memperhatikan tingkahku.
Apa saya menyentuh berikutnya? Diam membisu menjadi jawaban dari pertanyaan tadi. Tidak menyentuh makanan di atas meja kamar. Andai saja, Tuhan menatap ke arahku.
Pria itu tiba-tiba saja berjalam masuk kembali ke kamarku beberapa jam kemudian. Duduk tersungkur seperti seseorang yang sudah hilang arah dan harapan untuk hidup. “Sampai kapan kau bertingkah gila?” pria tadi melemparkan pertanyaan.
Meludahi wajahnya sekali lagi seolah ingin melampiaskan rasa sesak di dalam sana. “Tuan” pelayan tua melihatnya.
“Biarkan saja!” ucapan darinya.
“Saya ingin mati” suara hatiku menjerit bahkan berteriak kuat...
Sebuah tamparan melayang ke wajahku seketika. Dia menampar wajahku sambil menatap tajam. “Makan atau tidak sama sekali?” pertanyaan menekan.
Apa saya takut? Apa saya gemetar? Jawabannya adalah tubuhku tetap duduk tanpa arah hidup pada sudut dinding kamar. “Makan atau tidak sama sekali?” nada suaranya mulai meninggi.
“Tuan, biarkan saya mengurus nyonya muda” ucapan pelayan tua berusaha melindungiku.
“Sepertinya ruang hidupnya terluka cukup dalam” kalimat sang pelayan kembali.
Pria itu berjalan pergi jauh dari kamar. “Apa rasa sakit di dalam sana tidak dapat mengendalikan diri anda?” pelayan tua mencoba memberiku dekapan hangat.
“Lupakan sakitmu sejenak!” berusaha menyuapi makanan ke mulutku.
“Saya ingin mati” tangisku pecah seketika.
“Apa salah kalau saya hanya ingin mati?” berteriak di dalam isak tangisku.
“Keluarkan semua tangisan anda, selama itu membuatmu merasa lebih baik” pelayan tua.
“Saya ingin berlari di lapangan dengan bebas” ucapanku kembali.
“Silahkan, anda berlari bebas di lapangan!” pelayan tua.
“Pasti sesak menyimpan semuanya seorang diri” pelayan tua.
Seolah pelayan tua mengerti apa yang sedang berteriak, dan bagaimana ruang sesak di dalam tertawa keras. Lorong gelap itu membuat tubuh tidak pernah menemukan pelita kecil. Sekali lagu, bunyi gemerincing luka menari sesuka hati di jalan setapak.
“Saya hanya ingin mati” tangisku masih saja menyatakan untuk hidup hilang ditelan bumi.
3. Dua sayapku patah...
Hai jiwa, kenapa dirimu terus saja menjerit tanpa henti? Saya tertidur pulas dalam dekapan pelayan tua setelah menangis berjam-jam. Harapanku hilang ditelan bumi.
Tiba-tiba saja, saya merasakan sesuatu menyinari wajahku. Ternyata sinar matahari pagi seolah menyapa diriku di pagi hari dalam kamar. Duduk seperti mamusia bodoh di ranjang sambil mengamati reaksi sinar matahari pagi...
“Apa kau bisa mengerti ruang sesakku?” suara hati berteriak seketika.
“Sinarmu terlihat manis, hanya saja dirimu tidak mungkin bisa mengerti perasaan gadis remaja di depanmu” berkata-kata terhadap sinar matahari yang baru saja terbit dari sebelah timur.
Andai saja, dua sayapku tidak patah hingga diriku dapat terbang setinggi mungkin bahkan jauh dari mereka semua. Gadis remaja sedang duduk diam membisu di lorong tergelap dari hidupnya. Sudut persimpangan jalan tertawa menatap gadis remaja itu tanpa dua sayap.
“Sepertinya mengakhiri hidup jauh lebih baik, dibanding bertahan di sudut jalan persimpangan”...
Dua kaki berjalan keluar dari kamar. Berjalan hingga berlari sekuat mungkin menuju sebuah sungai tidak jauh dari rumah pria itu. “Selamat tinggal lorong gelapku” mulai memasuki sungai...
“Selamat tinggal malam tergelapku” air mataku kembali jatuh tanpa hentinya.
Tidak ada lagi rasa sesak hingga menyatakan tubuh selalu saja jatuh tanpa kekuatan. Kenapa dua bola mata tidak pernah bisa menemukan sebuah kunci di ruang gelap itu? Sepertinya, alunan musik serpihan di sana menyembunyikan kuat kunci itu di suatu tempat...
“Ibu, maaf selalu saja gadis kecilmu menjatuhkan air matamu tanpa henti” jeritan hati sedang berteriak keras.
“Andai saja, dua sayapmu dapat membawaku terbang jauh”...
Semua menjadi gelap seketika. Apa yang sedang terjadi? Seseorang sedang berjuang membawaku kembali ke sebuah permukaan, hanya saja dua bola mataku tidak lagi bisa terbuka. Biarkan tubuhku berbaur dengan sungai di dasar sana. Sekali saja, saya menjadi manusia egois...
Saya dapat merasakan seseorang berusaha memberiku nafas buatan sekaligus bantuan RJP (Resusitasi Jantung Paru). “Bangun!” dia berteriak keras, hanya saja dua mataku tidak dapat terbuka.
“Bangun!”
“Ayo bangun” hingga membuatku tersedak seketika.
Pria itu terlihat sangat khawatir akibat ulahku. Diam membisu dan tidak ingin berkata-kata. Kenapa juga dia menuntutku untuk kembali hidup?
Hai jiwa, apa dirimu masih ingin bertahan sekalipun tanpa dua sayap? Jalan setapak berjuang selalu saja menyatakan tubuh tanpa kekuatan sama sekali. Hujan deras seolah berteriak di dalam alunannya sendiri di jalan tadi.
Dia menggendongku sambil berjalan kembali menuju rumah. Pria itu sedang berjuang menahan amarahnya terhadapku. Kami berdua diam membisu sepanjang jalan menuju rumah.
“Tuan, apa yang terjadi?” pelayan tua sangat khawatir.
“Mandikan dan ganti pakaiannya!” sahut sang pria.
Apa yang salah dengan ucapannya? Sekali saja, seorang Ri berjalan dengan sisi egois. Tuhan, bisakah diriMU sekali saja menatap ke arahku?
Ruang gelapku tidak memiliki pelita sama sekali. Bagaimana saya dapat bertahan di ruang tadi? Apa mereka pernah tahu tentang sayatan demi sayatan selalu saja mencabik-cabik ruang di dalam sana?
“Anda jangan melakukan hal bodoh kembali!” pelayan tua membawaku masuk dalam dekapannya.
“Apa tubuhmu tidak mampu menahan rasa sakitmu?” pelayan tua.
“Lupakan apa yang membuatmu terluka!” sekali lagi pelayan tua berkata-kata.
“Saya hanya ingin mati” tangisku pecah kembali di ruang sudut kamar.
“Apa salah kalau saya menginginkan kematian?” terus memamgis...
“Sekali saja, saya ingin berjalan dengan egois” ruang hatiku benar-benar hancur...
“Tidak ada yang, nyonya muda berhak berjalan dengan egois di rumah ini” pelayan tua.
“Penyataan bodoh” ujarku.
Tubuhku bersandar pada dinding kamar persegi. Wajah lelah menyatakan diri tidak ingin menatap sinar matahari di pagi dan sore hari. Sesuatu yang juah lebih memyakitkan berteriak begitu hebat hingga tubuh tidak lagi dapat bertahan di jalan setapak.
“Tinggalkan kami berdua!” pria itu tiba-tiba saja membuka pintu kamar.
“Ta ta tapi tuan” pelayan tua.
“Saya bilang, tinggalkan kami berdua di sini!” sang pria memberi penekanan hingga memnuatnya takut.
“Kuharap anda mencoba mengerti dirinya” pelayan tua berjalan pergi...
Pria itu duduk menatap ke arahku sambil menggeleng-geleng kepala seolah mengutuk perbuatan bodohku. Apa dia tahu pintu sesak di salam sana ingin meledak? Diam membisu menggambarkan diriku sekaran ini.
“Apa kematian dapat mengubah segalanya? Pertanyaan darinya.
“Kau terlalu bodoh, bahkan lebih dari kata bodoh” penekanan darinya.
Diam membisu seolah kekuatanku hilang. “Kau tidak harus melenyapkan dirimu seperti tadi!” ujarnya.
“Kamar ini milikmu, kau dapat bebas berjalan menjadi manusia egois di rumah ini” kata-katanya kembali.
Apa maksud dari ucapan tadi? “Jangan khawatir, kamarku berada jauh dari kamarmu” ungkapnya lagi.
Apa pemikiranku tentang semua pria berasal dari iblis ternyata salah? Apa dia berbeda dengan ayahku? Raut wajahnya berkata seolah dia tidak sejahat menurut bayangan pemikiranku selama ini.
“Nikmati masa remajamu sesuka hati!” ucapannya, kemudian berjalan pergi meninggalkan kamarku.
Apa maksud ucapannya tadi? Bagaimana bisa dia berkata-kata seperti tadi? Saya ingin menikmati hidup sama seperti gadis remaja di luar sana.
Entah mengapa, ucapannya membuatku tertidur lelap seolah lupa tentang memori menakutkan di rumah ayahku. Dia tidak lagi menampakkan wajahnya di depanku selama beberapa hari ke depan. Dua kaki mencoba berjalan keluar dari kamar untuk menghirup udara segar di luar sana.
“Apa yang anda lakukan di sini?” pelayan tua terkejut melihatku.
“Hanya ingin melihat saja” ujarku.
“Apa saya boleh membantu anda?” pertanyaanku kembali.
“Kalau itu bisa membuat anda tersenyum, silahkan!” pelayan tua.
Saya benar-benar bodoh urusan masak-memasak. Selama ini, ibu tidak membiarkan saya menginjak dapur. Kami memiliki banyak pelayan rumah hingga apa pun itu di ambil alih oleh semua pelayan.
“Anda harus belajar memotong sayuran dengan bentuk seperti ini” pelayan tua.
“Maaf kalau boleh tahu, namamu siapa?”
“Anda tidak tahu nama saya?” pelayan tua.
“Perasaan, hari pertama anda di rumah tuan besae, saya sempat memperkenalkan diri’ pelayan tua.
“Maaf, saya lupa namamu” ujarku.
“Namaku Chani” pelayan tua.
“Namaku Ri” ujarku.
“Apa saya sebodoh itu tidak mengetahui nama majikan sendiri?” ibu Chani.
“Entahlah” ujarku.
Wanita tua tertawa melihat tingkah konyolku. Entah karena banyaknya masalah membungkus hingga membuatku lupa tentang banyaknya nama di depanku. Saya ingin mencoba kembali untuk bertahan hidup ketika berjalan melalui jalan setapak di sana.
“Apa anda tahu arti nama sendiri?” ibu Chani.
“Arti namaku sendiri?”
“Krisan Bravery” ibu Chani.
“Saya tidak ingin tahu makna dibalik namaku” kalimatku.
“Kesalahan terbesar anda adalah bersikap masa bodoh untuk mencari tahu makna dibalik nama sendiri” ibu Chani.
“Krisan berarti kebahagiaan, persahabatan, optimisme, dan umur panjang, kesetiaan” ibu Chani.
“Saya sama tidak tahu arti dibalik namaku sendiri” kalimatku.
“Apa anda sadar, seorang bernama Krisan ingin umur panjang, bukannya mengakhiri hidup sekalipun situasi tidak pernah berpihak dalam dirinya” ibu Chani.
“Maksud anda saya harus bertahan hidup?”
“Menurut nyonya muda harus bagaimana?” ibu Chani.
“Bravery berarti pemimpin, bebas, individualis, pekerja keras, dengan kata lain hidupnya tidak pernah menginginkan kematian apa pun keadaan di depannya” ibu Chani.
Apa ibuku menaruh harapan penuh terhadapku? Saya tidak pernah ingin tahu makna namaku sendiri. Merasa bahwa ibuku terlalu lemah, bahkan tidak memiliki kekuatan sama sekali.
“Setidaknya anda mencoba bertahan hidup” ibu Chani.
“Bagaimana kalau pada akhirnya saya gagal kembali untuk bertahan?”
“Anda harus kembali mencoba bertahan, andaikan dirimu dinyatakan gagal” ibu Chani.
“Dua sayapku patah terlalu kuat menyatakan mengakhiri hidup jauh lebih baik” ujarku.
“Belajarlah hidup sesuai dengan makna nama anda sendiri!” ibu Chani.
“Buktikan kalau nama Krisan Bravery memiliki kekuatan!” ibu Chani.
“Apa saya bisa bertahan?”
“Tidak ada manusia sempurna di dunia, masing-masing memiliki panggungnya sendiri ketika menghadapi variasi hidup di depannya” ibu Chani.
Puzzle-puzzle itu menyatakan diri tidak dapat bertahan ketika dua kaki ingin berlari kuat. Andai saja, kunci untuk membuka sebuah pintu tersenyum manis di depan mata tanpa harus bersembunyi begitu kuat. Lorong sempit selalu saja menari di dalam suara gemerincing malam.
4. Rainy, Home, and Fire...
Rumah tempatku tinggal sekarang berada jauh dari perkotaan dan rumah penduduk. Sepertinya pemilik rumah menyukai kehidupan di tengah hutan hingga menyatakan kosakata keramaian memang tidak akan pernah ada. Hutan membisu tanpa suara tarian perkotaan. Apa ini yang dikatakan hidup?
“Selamat pagi nyonya” ibu Chani menyapa diriku sambil membuka jendela kamarku.
Senyuman pelayan tua seolah memberi kehangatan hingga membuatku lupa tentang objek luka di rumah ayahku. Saya ingin belajar bertahan hidup sekali lagi di sudut persimpangan. Mencoba berjalan di tengah-tengah ribuan permainan puzzle...
“Nama dia siapa?”
“Nama siapa?” ibu Chani.
“Pria itu” ujarku.
“Pria itu mana?” ibu Chani.
“Maksudku, pria di sana?”
“Oh, maksud anda sopir tuan?” ibu Chani.
“Bukan” kalimatku.
“Lantas?” ibu Chani.
“Pria pria pria itu?”
“Pria itu yang mana?” ibu Chani.
“Dia” kalimatku.
“Dia yang mana?” ibu Chani makin tidak mengerti arah pertanyaanku.
“Dia dia dia” ujarku.
“Dia siapa?” ibu Chani.
“Maksudku, dia tu tu tuan besar” kalimatku.
“Tuan besar mana?” ibu Chani.
“Tuan besar pemilik rumah” ujarku.
“What, anda tidak tahu sama sekali nama suami sendiri?” dua bola ibu Chani terbelalak.
“Ma ma maaf” menundukkan kepala.
“Saya yang gila? Atau anda memang sudah lebih gila dari saya?” ibu Chani.
“Entahlah”...
“Levi Zev. Ngerti?” pria pemilik rumah entah sejak kapan berdiri di depan pintu kamarku.
Dia tetap seorang pria asing buatku. Gadis remaja belia dipaksa untuk berjalan di tempat yang tidak seharusnya. Pria asing menatap ganas ke arahku seketika...
“Anda benar-benar mengerikan” ibu Chani berbisik di telingaku.
Pria asing berjalan keluar tanpa mengucapkan sepatah kata kembali. Diam membisu menjadi bagian dari dirinya. Pria asing jarang menyapa, bahkan selalu saja meninggalkan rumah pagi-pagi buta. Dia akan kembali di sore hari menjadi rutinitas hidupnya. Kami tidak lagi saling berhadapan satu sama lain.
Ibu Chani sendiri membawaku keliling rumah untuk mengerti situasi di sekitar. Mengajariku banyak hal yang tidak pernah kulakukan. Menjahit, merajut, membuat barang-barang kerajinan dari barang bekas, memasak, dan kegiatan bersih-bersih diajari oleh wanita tua tadi.
“Bagaimana perkembangan gadis itu?” pertanyaan pria asing sambil membaca sebuah buku setelah kembali dari rutinitas pekerjaannya sehari penuh.
“Nyonya muda banyak kemajuan” ibu Chani.
Saya mendengar percakapan mereka berdua tanpa sengaja. “Biarkan dia belajar!” pria asing.
“Butuh waktu memulihkan ruang di dalam dirinya” ibu Chani.
“Dia masih terlalu belia untuk mengerti kswajiban sebagai istri” ibu Chani.
“Gadis bodoh dengan segala ruang pemberontak dalam dirinya” pria asing tertawa sinis.
“Rencana tuan besar selanjutnya?” ibu Chani.
“Sekolah online” pria asing.
“Maksud ucapan tuan besar?” ibu Chani.
“Menyekolahkan gadis bodoh itu dengan sistem online” pria asing.
“Di luar negeri, maksudnya?” ibu Chani.
“Dia harus mengikuti kursus bahasa asing terlebih dahulu, permasalahannya negara ini menolak siswa perempuan di tingkatan tertentu” pria asing.
Apa kunci itu mulai berjalan ke arahku sambil tersenyum? Jangan memberiku harapan palsu! Antara ingin percaya dan tidak tentang apa yang baru saja kudengar.
Memiliki pendidikan tinggi merupakan impian Ri sejak dulu. Menikmati masa remaja sama seperti gadis modern di luar sana terdengar something buatku. Ruang gelap berkata-kata sambil tertawa di putaran suara gemerincing serpihan hidup. Tubuh jatuh terkulai di tengah hutan bersama kebisuan di dalamnya.
Hai jiwa, mengapa dirimu begitu hancur hingga tidak lagi memiliki kekuatan? “Nyonya muda ternyata pandai merajut” ibu Chani menatap kagum hasil karyaku.
“Apa anda suka?”
“Sangat suka” ibu Chani.
“Pertama kalinya seseorang melemparkan pujian terhadapku” ujarku tersenyum...
“Wajah anda tampak sangat cantik kalau saja tersenyum tiap harinya” ibu Chani.
“Apa selama ini wajahku seburuk itu?”
“Lemas, letih, lelah, murung, mayat hidup, hanya ingin mati” ibu Chani.
Gadis remaja bersama banyaknya luka di dalam menyatakan keinginan mengakhiri hidup. Sekali ini, dua kaki ingin belajar bertahan di tengah derasnya hujan di jalan setapak. Mencoba berjalan sekalipun tanpa kekuatan sama sekali.
“Namamu sudah terdaftar sebagai siswa salah satu sekolah online” pria asing tiba-tiba saja berjalan masuk ke kamarku.
Diam membisu menjadi gambaran diriku. “Saya beri waktu beberapa bulan mempelajari bahasa internasional” pria asing memberiku sejumlah buku percakapan bahasa inggris.
“Apa saya bisa?” ujarku sedikit ketakutan.
“Kau ingin sekolah atau tidak sama sekali” penekanan tajam pria asing.
“Saya ingin sekolah” berkata spontan di depannya.
“Belajar, sekali lagi belajar” pria asing.
“Saya butuh bantuan pria asing” ujarku.
“Siapa pria asing?” pertanyaan terhadapku.
“Pria asing salah maksudku anda tuan besar” bahasa benar-benar gugup.
“Kau berkata saya pria asing? Suamimu sendiri diejek apa barusan?” pria asing.
“Ma ma maaf” ujarku terlihat ketakutan.
“Lupakan!” pria asing.
Saya diberi sebuah ponsel pintar olehnya. Jujur, di rumah ayahku, sebagai anak perempuan tidak diperkenankan memakai jenis teknologi semacam handphone dalam bentuk apa pun. Pria asing mengajariku tentang cara penggunaan ponsel pintar. “Gunakan alat ini untuk belajar tentang dunia luar, bahasa asing, kelas onlinemu nanti, dan hal-hal positif! Ngerti?” penekanan pria asing seolah menegaskan sesuatu.
“Sekali lagi, jangan melakukan sesuatu yang fatal dari alat di tanganmu!” pria asing menatap ganas ke arahku, kemudian berjalan keluar dari kamarku.
Kesibukanku tiap harinya hanya bercerita belajar dan belajar setelah menyelesaikan pekerjaan rumah bersama ibu Chani. Sesuatu yang kuimpikan pada akhirnya mulai berjalan ke arahku sambil tersenyum manis. Buku-buku menumpuk di kamarku bersama rutinitas keseharianku...
“Kosakata bahasa inggris apa yang sudah kau pelajari selama ini?” pria asing melemparkan pertanyaan tiba-tiba.
“Saya masih bodoh, belum menguasai kosakata” jawabanku.
“Saya tidak meminta banyak kosakata, hanya beberapa saja. Ngerti?” penekanan pria asing.
“Rainy, home, fire” ujarku.
Ketiga kosakata tadi menggambarkan hidupku pada sudut persimpangan. Berjalan ditengah hujan, hanya karena seorang Ri seolah tidak memiliki rumah. Derasnya hujan membasahi tubuh, hanya saja nyala api menghanguskan ruang di dalam sana tanpa seorangpun ingin mengerti ataukah menjadi sahabat. Apa mereka pernah tahu suara gemerincing hujan dan api sedang berbaur menjadi satu di dalam sana?
“Dasar gadis bodoh” pria asing melemparkan sebuah pernyataan.
“Memang saya bodoh” ujarku seketika.
“Bodoh saja terus, ga usah pintar-pintar” sindir pria asing.
Seorang Ri dituntut menguasai banyak kosakata bahasa inggris. Pria asing menyuruh berada di ruang kerjanya pada sore hari hanya untuk belajar berbahasa asing. Mendaftarkan namaku pada salah satu kelas online luar negeri tentang mata pelajaran bahasa internasional.
Entah mengapa ucapan pria asing selalu saja berteriak keras di telingaku. Saya ingin belajar mengejar apa yang kuinginkan. Apa salah memiliki tujuan seperti tadi?
Pada akhirnya, sekolah kelas online dimulai juga beberapa bulan setelah saya sudah bisa mengusai 70% bahasa asing. Sepertinya, materi-materi pembelajaran sekolahku membuatku terlihat bodoh. Berjuang mengerjar ketertinggalan dan membuktikan kalau gadis remaja sepertiku juga dapat berkembang.
“Sejak kapan kau menjauh dari rumah orang tuamu sendiri?” seorang pria tua tiba-tiba saja berteriak di rumah milik pria asing.
Siapa dia? Kenapa tampangnya terlihat menakutkan? Diam-diam menguping pembicaraan antara pria tua menakutkan dan pria asing. Ruang tamu itu menjadi saksi bisu perselisihan di antara mereka.
“Dimana istrimu?” pria tua.
“Saya penasaran wanita itu rupanya seperti apa?” sindir pria tua kembali.
“Keluar dari rumahku segera!” pria asing mengusirnya.
“Kapan kau akan memiliki penerus?” pria tua.
“Kau dapat menikahi wanita lebih dari satu, kalau perlu sebanyak-banyaknya” pria tua.
Apa pria tua menakutkan itu ayah pria asing? “Kau benar-benar bodoh menolak menjadi menantu keluarga kerajaan” pria tua.
Kenapa ucapan pria tua menakutkan terdengar menyeramkan? “Menjalin hubungan cukup lama, tetapi di akhir ceritamu, kau malah memilih untuk melepas? Dasar pria gila” pria tua tetap mengoceh...
“Keluar dari rumahku!” pria asing mengusir ayahnya sendiri.
Apa saya berperan sebagai wanita ketiga? Pernikahan yang tidak pernah kuinginkan sama sekali memiliki sebuah cerita. Dia bebas berjalan kemanapun dirinya ingin pergi. Poligami merupakan hal normal bagi kehidupan di negara kami.
5. Poligami...
Merenung sepanjang malam membayangkan dialog percakapam tadi. Pria asing menjalin hubungan lama dengan salah satu anak anggota kerajaan? Kenapa saya harus mendengar percakapan mereka berdua? Apa ini kesempatan seorang Ri untuk berlari keluar meninggalkan rumah pria asing? Kenapa dua kakiku ingin tetap berada disini? Sepertinya ada yang salah denganku...
“Nyonya muda masih terlalu belia, kuharap anda mengerti” ibu Chani berkata-kata. Kenapa saya harus kembali mendengar percakapan orang dewasa di tempat tersembunyi?
“Kuharap anda tidak memaksakan dirinya melakukan perannya sebagai istri” ibu Chani.
“Peran istri?” bergumam pelan pada sudut meja vas bunga tidak jauh dari tempat mereka.
“Dia memiliki trauma dan luka cukup besar di rumah ayahnya, bahkan usia istri tuan besar masih terlalu belia untuk mengerti kehidupan pernikahan” ibu Chani.
“Maksud ucapanmu?” pertanyaan datar pria asing.
“Tuan besar pasti mengerti maksud ucapanku masalah tuntutan keturunan dari orang tua anda” ibu Chani.
Suara keheningan pada akhirnya bermain setelah penyataan ibu Chani. Antara Ri dan pria asing seolah terdapat benteng cukup besar, hanya saja entah mengapa dua kaki tetap ingin berada di tempat. Usiaku belum mengerti makna dialog percakapan tadi. Tuntutan menjadi seorang wanita sebelum waktunya membuatku ingin tertawa keras...
“Apa anda ingin berpoligami?” ibu Chani melemparkan pertanyaan.
“Kau sendiri tahu bagaimana kondisi ibuku” ucapan dingin pria asing.
Saya tidak pernah tahu masa lalu pria asing. Apa dia sama menyedihkannya dengan kisahku? “Saya anak korban poligami, bahkan ibuku tiap hari menahan rasa sakit hingga akhir hidupnya” pria asing.
Apa dia jauh lebih menderita dibanding diriku? Dia menikah denganku bukan tanpa alasan? Kehidupan pria asing benar-benar misrerius.
Memberanikan diri bertanya terhadap ibu Chani tentang kehidupan misterius pria asing. Ibu Chani menjelaskan kalau pria asing memiliki rasa sakit sejak dalam kandungan. Ibu pria asing hanyalah salah satu korban poligami di negara ini hingga menyatakan hidupnya sayatan luka luar biasa menusuk seluruh ruang dinding di dalam sana.
Ibunya menitipkan pria asing ke tangan ibu Chani sebelum akhirnya meninggal.
Kehidupan poligami memang membunuh senyum banyak anak. Tidak ada yang salah dengan kosakata itu, hanya saja zaman sekarang segala sesuatu tentu mempengaruhi pertumbuhan banyak anak. Zaman dulu dan sekarang sudah mengalami perubahan, bahkan tidak dapat disamakan. Saya memang masih terlalu belia untuk menjelaskan bahasa poligami, hanya saja ada banyak hal bermain di tempat yang tidak seharusnya.
Jumlah penduduk di zaman dulu, tidak sepadat zaman sekarang sehingga kosakata poligami sepertinya tidak dapat diselipkan dengan banyaknya alasan. Pendidikan di zaman dulu hanya bercerita tentang ilmu peperangan bagi kaum pria, sedangkan zaman modern lebih mengarah pada pemikiran-pemikiran tentang ilmu pengetahuan di berbagai bidang.
Apa bahasa poligami memang tidak bisa terselip sama sekali di zaman modern? Biaya hidup, kepadatan penduduk, pendidikan, teknologi, psikis banyak anak, penyakit, dan masih banyak lagi menyatakan bahwa poligami akan sangat mempengaruhi. Berpikir secara logika jauh baik, dibanding memakai akal pemikiran zaman kemarin. Penyakit Hiv, sifilis, hepatitis, dan masih banyak lagi penyakit menular lainnya bisa saja berasal dari penyelipan bahasa poligami di dalam. Poligami artinya terjadi pergantian pasangan yang menyatakan lebih dari satu orang. Bahkan HIV tidak hanya berasal dari pasangan LGBTQ dan seks bebas, melainkan kosakata poligami pun dapat menjadi salah satu penyebab terbesar. Sebuah penyakit menular terbaru bahkan lebih ganas dari HIV kemungkinan besar akan bermunculan seiring perkembangan zaman, sehingga belajarlah untuk tetap setia hanya pada satu orang saja.
“Saya ingin berjalan-jalan keluar rumah” pernyataanku di pagi-pagi buta.
Saya tahu pria asing akan bekerja seharian di luar rumah, hingga diri sendiri harus lebih dulu bangun dibanding dirinya.
“Kenapa tidak mengetuk pintu kamar?” pernyataan datar pria asing.
“Ma ma maaf, tapi kenapa saya harus terus meminta maaf?” bicara tanpa sadar.
“Sisi pemberontak mulai terlihat” tawa sinis pria asing.
“Saya ingin berjalan keluar rumah” ujarku lagi.
“Wanita tua di luar siap menemani selama yang kau mau” pria asing.
“Tapi, saya tidak mau jalan bersama dirinya” kalimatku.
“Kau mau kemana?” pria asing.
“Saya ingin berlari di sebuah pantai sama seperti gadis remaja di video ini” memperlihatkan sebuah video.
“Gadis pemberontak” pria asing.
“Apa salahnya menjadi pemberontak?”
“Tidak ada yang salah, lantas?” pria asing.
“Saya butuh pria asing membawaku berlari menikmati pantai” ujarku.
“Pria asing?” matanya terbelalak.
“Iya” jawabku.
“Saya bahkan lupa kalau sebutan namaku dari gadis pemberontak tenyata pria asing” ucapanya.
“Apa kau menyetujui keinginanku?”
“Ganti pakaianmu, kita berangkat sekarang!” pria asing.
Saya hampir tidak percaya ucapannya. Diam tergagap sepertinya salah satu kebiasaanku. “Mau pergi atau tidak sama sekali?” penekanan datar pria asing.
“Tentu saja pergi” kalimatku sambil berlari segera ke kamar.
Pria asing diam membisu sepanjang perjalanan kami menuju sebuah pantai. Terdengar cukup melelahkan hingga membuatku tertidur pulas sepanjang jalan. Jarak antara rumah dan pantai memiliki jarak cukup jauh. Ujung pukul ujung menjadi gambaran perjalanan kami hari ini.
“Sudah sampai” tegur pria asing.
Pantai tempat kami berdiri ternyata sangat jauh dari keramaian. Bisa dikatakan tidak terdapat seorangpun penghuni. Sangat sunyi...
Berlari kesana dan kemari pada bibir pantai pertama kalinya kulakukan. Saya hanya ingin mengenali dunia pria asing di depanku seperti apa, hingga memberanikan diri menyuruhnya membawaku keluar dari hutan belantara. Kami tinggal di hutan tanpa penghuni...
Suara ombak memainkan perannya dengan sangat baik. Pertanyaan pertama, apa dua kaki dapat bertahan melawan ombak di depan mata? Menari dan tertawa di tengah permainan ombak, rasanya sangat mustahil untuk dilakukan. Puzzle-puzzle itu menyatakan tarian ombak begitu hebat menghantam tanpa henti.
Pria asing duduk di bibir pantai seorang diri menikmati pemandangan di depan matanya. Berlari tanpa henti menjauh darinya hanya untuk memainkan suara gemerincing bibir pantai terdengar menyenangkan buatku. Seorang gadis remaja sekali lagi ingin belajar brrtahan di titik sudut persimpangan.
Permainan ombak pantai memainkan musiknya menyatakan gemercik tidak biasa. Di balik alunan permainan ombak memberi kosakata yang memang sulit untuk diartikan. Saya ingin berlari di sepanjang bibir pantai tanpa harus mengingat sobekan demi sobekan selalu saja mempermainkan tiap sudut dinding ruang di dalam.
“Apa pria asing tidak ingin berlari-lari di pantai sama sepertiku?”
Dia hanya diam membisu tanpa menjawab pertanyaan dariku. Saya seolah tidak peduli tentang apa yang sedang dipikirkan olehnya. Belajar menikmati alam untuk pertama kali bagi seorang Krisan Bravery.
“Siapa wanita cantik itu?” dua bola mataku terkejut melihat seseorang sedang duduk di samping pria asing.
Seperti biasanya, sosok Ri ingin menguping dialog percakapan pria asing. Bersembunyi di balik sebuah batu cukup besar tidak jauh dari tempat mereka berdua. “Apa dia wanita cantik masa lalu pria asing?” suara hati sedang bertanya-tanya.
Pria asing membiarkan wanita cantik itu duduk manis di samping sambil menatap dirinya. Hubungan apa yang sudah terjalin di antara mereka? Diam seribu bahasa dibalik batu besar menjadi sesuatu hal yang sedang kulakukan saat ini.
“Ternyata kau tidak pernah lupa tempat kita berdua tiap liburan” wanita cantik tersenyum hangat.
Pantai ini menyimpan memori hubungan antara pria asing dan wanita cantik? Memang betul kalau ternyata seorang Ri sedang berperan sebagai orang ketiga? Atau bahan pelarian semata yang ingin dijadikan sebagai alat?
“Jujur, saya tidak pernah bisa menghapus namamu dari hidupku sendiri” wanita cantik mulai menangis.
Pria asing tetap diam membisu mendengar ucapan wanita cantik. “Apa kita bisa kembali seperti dulu?” wanita cantik memeluk tubuh pria asing dari belakang.
“Kenapa kau pergi tanpa alasan jelas?” wanita cantik terus saja menangis.
Apa pria asing ingin berpoligami? Seorang Ri dengan peran sebagai bahan pelarian, cukup menyedihkan. Kenapa dia memaksakan sebuah pernikahan terhadap gadis remaja, sedang dirinya sendiri terikat dengan seorang wanita cantik? Apa hidupku akan terbebas setelah mendengar pengakuan wanita masa lalunya?
“Apa kau sudah lupa semua memori kita berdua di masa lalu?” dia kembali berucap.
Saya seperti manusia bodoh bersembunyi dibalik sebuah batu besar. Bagaimana saya akan menghadapi kenyataan hidup? Pria asing diam membisu...
“Saya masih bisa merasakan sesuatu darimu” sang wanita cantik berusaha memegang tangannya.
“Namaku masih tersimpan baik di dalam sana” ucapan wanita cantik kembali.
“Saya harus siap” suara hati berbisik.
“Hentikan kelakuanmu!” pria asing berusaha menghempaskan tubuh wanita cantik.
“Kenapa?” wanita cantik.
“Kau salah paham” pria asing.
“Kau berada disini menjadi jawaban kalau ternyata memori kita berdua tidak akan pernah bisa lenyap” wanita cantik.
“Saya mengantar dia” pria asing menunjuk sebuah batu besar.
Menyadari keberadaanku dibalik batu besar sebagai penguntit terdengar memalukan. “Keluarlah!” pria asing berteriak.
“Jangan bersembunyi!” pria asing.
“Siapa?” wanita cantik.
“Cepat keluar!” penekanan pria asing.
Saya berjalan sedikit gemetar karena ketakutan dari tempat persembunyian. Apa hidupku terlihat menyedihkan? Tertawakan saja kisah Ri sekarang.
“Dia siapa?” wanita cantik.
“Tanyakan padanya, dia siapa!” pria asing.
“Apa dia adikmu?” wanita cantik.
“Silahkan bertanya sendiri!” pria asing.
“Apa kau adiknya Levi?” wanita cantik.
“Bu bu bukan” menjawab gugup.
“Lantas? Sepupu? Atau apa?” wanita cantik. “Saya istrinya bukan adiknya” entah mengapa ucapanku keluar begitu saja.
“Tidak mungkin” wanita cantik.
“Maaf, hubungan antara saya dan dirimu sepertinya sudah berakhir sejak lama” pria asing seolah menegaskan sesuatu.
“Dia masih terlalu kecil untuk menjadi istrimu” wanita cantik.
“Negara ini tidak pernah melarang seorang pria menikahi anak usia belasan tahun” pria asing.
“Tidak mungkin” wanita cantik.
“Kau tidak mungkin menyukai anak kecil, saya tahu karaktermu” wanita cantik.
“Gadis kecil di sampingku adalah istri dari Levi Zev” pria asing.
“Katakan kalau semua ucapanmu bohong?” wanita cantik.
“Saya dan gadis kecil ini sudah terikat sebuah pernikahan, jadi, kuharap kau mengerti statusku sekarang” pria asing.
“Dia hanya pelarian semata” wanita cantik berteriak seketika.
Tidak ada yang salah dengan seorang pria memiliki hubungan lebih dari satu wanita. Saya harus siapa, andaikan dirinya menjadi sama seperti ayah. Gadis remaja berusia belasan tahun tidak mungkin bisa bersuara tentang bahasa perempuan.
“Saya merindukan suasana seperti dulu” wanita cantik menatap ke arah pria asing.
“Apa kau mengerti rasanya kehilangan?” tangis wanita cantik pecah seketika.
“Apa kita berdua tidak bisa menjalani hubungan seperti dulu?” memeluk seketika pria asing.
Sepertinya wanita cantik menjalani kehidupan jauh dari negara ini. Kenapa? Cara dia bertingkah tidak seperti kebanyakan budaya di negara ini. Dimulai dari komunikasi, cara berpakaian, memeluk lawan jenis yang bukan suaminya, berjalan, dan masih banyak lagi.
Pria asing diam membisu melihat kelakuan wanita cantik. Masa lalu itu sepertinya tidak pernah bisa hilang lenyap dari alur cerita hidup pria asing. Kenapa pemandangan disana terlihat begitu sesak?
“Sekali lagi maaf” pria asing menarik tanganku untuk berjalan pergi meninggalkan dirinya.
Ucapan pria asing memang terkesan menyeramkan. Penyesalan terbesarku adalah memaksakan kehendak membawaku ke pantai. Jujur, sosok Ri tidak memiliki niat merebut milik siapapun. Gadis remaja sepertiku pada dasarnya menginginkan kebebasan bukan ikatan.
“Dia menangis” ujarku.
“Dasar gadis bodoh” pria asing.
“Apa kau tidak kasihan membiarkan dia tinggal di pantai seorang diri?”
“Dia memiliki banyak pengawal pribadi, jadi, berhentilah mengasihani orang lain!” pria asing.
Kami berdua tidak lagi saling berbicara sepanjang perjalanan. Pria asing diam membisu seperti biasanya. Apa yang sedang terjadi? Wanita cantik itu benar-benar terluka karena ulahnya. Apa saya hanya pelarian semata dari sebuah hubungan? Negara tidak pernah mempermasalahkan kata poligami sehingga kehidupanku sendiri sebagai perempuan harus siap menerima. Setidaknya, hal yang harus saya syukuri adalah dapat bersekolah sesuai mimpiku.
Di luar dugaan, wanita cantik mendatangi rumah pria asing beberapa hari setelah peristiwa tersebut. Menangis sejadi-jadinya hingga memecah seluruh ruangan. Wanita cantik berjuang keras mencari alamat rumah kami. Pada akhir cerita, wanita cantik duduk tersungkur di dalam rumah sambil menangis sejadi-jadinya.
Diam membisu menatap ke arah wanita cantik itu. Apa segitu sesaknya melihat pria yang disukai menikahi gadis lain? Saya masih berusia remaja, dan belum mengerti tentang perasaan suka terhadap lawan jenisku.
“Tidak menjadi masalah, kalau saya harus menjadi istri kedua” wanita cantik menangis tersedu-sedu.
Dia memiliki pendidikan tinggi, bahkan berasal dari keluarga kerajaan, apa harga dirinya dibiarkan jatuh hanya karena seorang pria? Bagaimana reaksi pria asing? Apa saya harus siap memiliki kehidupan sama seperti kakakku? Pria berhak berpoligami dan tidak ada yang salah dengan kata tadi.
“Saya tidak ingin lepas, apa kau tahu?” isak tangis wanita cantik.
Sepertinya wanita cantik tidak mempermasalahkan menjadi kedua. Asal bisa hidup bersama pria yang disukai, tinggal seatap dengan istri pertama merupakan kehidupan normal. Apa ceritaku berakhir dengan kata poligami?
“Hazel” nada meninggi pria asing.
Ternyata nama wanita cantik bernama Hazel. Hatinya terlihat hancur oleh sebuah hubungan. Permainan hodup membuat seorang Ri menjadi sosok orang ketiga sekaligus perebut tanpa sadar.
“Tidak masalah menjadi istri kedua” Hazel terus saja menangis.
“Pulanglah!” pria asing mengusir wanita cantik.
Bahasa perempuan sedang bercerita tentang rasa sakit karena mencintai. Pria asing diam membisu di dalam kamarnya setelah wanita cantik berjalan pergi. Apa ini jalan keluar masalah?
“Saya hanya pelarian semata” tidak tahan melihat raut wajah pria asing selalu saja diam membisu.
Berjalan masuk ke kamarnya seperti biasa tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Andai saja, saya tidak memaksakan kehendak umtuk berjalan keluar menikmati suasana hiburan seperti kebanyakan orang di luar sana. Semua sudah terjadi...
“Asalkan saya dapat bersekolah, tidak masalah pria asing menjadikan dia istri kedua ataukah istri sah” kalimatku seketika.
“Wanita cantik itu terus saja menjerit karena perbuatanmu”...
“Apa dengan berpoligami menyelesaikan semua masalah?” pria asing.
“Saya seperti orang ketiga diantara kalian, apa yang harus kulakukan?” bersandar pada dinding.
“Seolah kehidupanku sedang berperan sebagai perusak hubungan” kalimatku lagi.
Bahasa perempuan selalu saja bercerita tentang air mata pada akhir cerita, dimana diri tidak lagi bisa menahan beban. Perasaan ingin belajar berjalan di sampingnya harus terkubur jauh-jauh. Gadis belia sepertiku juga ingin terus di dekap, akan tetapi sebuah tembok jauh lebih berperan pada akhirnya.
“Antara saya dan Hazel terdapat sebuah jurang cukup besar” pria asing mencoba bercerita.
Pria asing mulai bercerita awal mula pertemuan antara dirinya dan Hazel. Bersama-sama menempuh sekolah di luar negeri hingga berakhir dengan sebuah hubungan. Hazel berasal dari keluarga kerajaan, bahkan dapat dikatakan dirinya adalah salah satu putri tokoh terpenting di negara ini.
Menjadi salah satu menantu anggota kerajaan bukan tidak mungkin bagi seorang pria asing, hanya saja dia lebih memilih ingin berjalan di tempat bebas. Apa dia sudah gila? Entahlah...
“Kenapa kau memilih berpisah dengan wanita secantik dia?”
“Apa kau pikir menjadi anggota kerajaan terlihat menyenangkan?” pria asing.
“Memang kenapa?”
“Kehidupan sendiri tidak mungkin hanya berdiri seperti patung. Ada banyak aturan, etika, perselisihan, perebutan kekuasaan, menjadi boneka mempermainkan anggota kerajaan satu sama lain” pria asing.
“Tapi seseorang bisa mendapat popularitas dan uang ketika memasuki kosakata tadi”...
“Gadis bodoh sepertimu hanya menilai dari popularitas dan uang, tetapi tidak berusaha mencari tahu objek-objek menakutkan di dalamnya” pria asing.
“Tekanan luar dalam, hidup dituntut berhadapan dengan banyaknya objek ambisiusme, bahkan pertaruhan nyawapun selalu saja dimainkan tanpa ada orang yang tahu. Apakah itu yang dikatakan sebagai kehidupan?” pria asing.
Pemikiran pria asing memiliki pandangan berbeda ketika ingin mengambil keputusan di depan. “Tapi kau mencintai wanita itu” ucapanku.
“Terkadang hidup harus berpikir realistis dan tidak hanya berdasar atas cinta semata” pria asing.
“Seseorang harus siap terikat, memiliki mental baja, mengerti tentang cara berjalan untuk menjadi anggota kerajaan baik laki-laki maupun perempuan” pria asing.
Pria asing dengan pemikirannya sendiri mengutarakan sesuatu di dalam dirinya. Dia lebih memilih mengorbankan cinta, dibanding hidup dalam sebuah tekanan. Lebih gilanya lagi adalah pria asing terpaksa memilih gadis remaja pemberontak sebagai pasangannya.
“Baik pria maupun wanita, berpikirlah jauh-jauh hari sebelumnya untuk berjuang menjadi anggota kerajaan kalau kau tidak memiliki sebuah senjata di tanganmu” pria asing.
“Berarti pria asing tidak memiliki senjata di tangan?”
“Menurutmu?” pria asing.
“Sudah malam, kembali ke kamarmu!” pria asing mengusirku.
“Apa saya bisa memelukmu sebelum pergi?”
“Dasar gadis bodoh” pria asing.
“Saya tidak ingin menjadi orang ketiga atau perebut, tetapi apa pun isi hatimu setidaknya hidupku sedikit tahu kalau ternyata pelita kecil itu memang ada” ucapanku sambil memeluk kuat tubuhnya.
Seperti biasa, dia diam membisu mendengar kata-kata dariku. Entah sampai kapan, pria asing akan berdiri di sampingku. Seorang Ri dapat menemukan sebuah kunci karena kehadiran dirinya.
Dia berusaha membuat wanita cantik itu tidak lagi berjalan ke rumah. Secara manusia, pria asing bisa saja mendapatkan sebuah popularitas dan jabatan, hanya saja semua ditolak olehnya. Apa dia memang sudah gila?
“Apa sekolah nyonya menyenangkan?” ibu Chani menegurku.
“Sangat menyenangkan” menjawab pertanyaan darinya setelah kelas onlineky berakhir.
Sistem pendidikan di luar sana memoliki perbedaan baik dari sudut pandang, pembahasan, aspek tertentu, dan beberapa objek lainnya. Pengalaman belajar seperti ini sangat berkesan sekalipun sebatas online. Ada cerita menyatakan tentang perjalanan menuju sebuah mimpi.
“Saya ingin berkeliling pasar di hari libur” kalimat terhadap ibu Chani.
“Berkeliling pasar?” ibu Chani.
“Ada yang salah?”
“Tidak” ibu Chani.
“Tapi?”
“Beberapa waktu lalu, nyonya muda pettama kalinya terlihat kesal karena tuan besar tidak mengerti maksud keinginan hati anda” ibi Chani.
“Hubungannya dengan sekarang?”
“Lantas, kenapa anda tidak lagi menyuruh tuam bssar berkeliling pasar?” ibu Chani.
“Dia sibuk bekerja” jawabanku.
“Apa ada masalah?” ibu Chani.
“Tidak ada”...
“Raut wajah anda berkata lain” ibu Chani.
“Entahlah” kalimatku.
“Katakan!” ibu Chani.
“Jangan memendam sesuatu yang akan membuatmu sesak seorang diri!” ibu Chani.
“Wanita cantik dari masa lalu pria asing juga ada di pantai” jawabanku.
“Apa anda takut dia pergi?” ibu Chani.
“Saya merasa hidupku hancur karena pernikahan yang dipaksakan oleh ayahku” mencoba bercerita.
“Berulang kali saya ingin menghabisi nyawa sendiri karena kunci yang selalu kucari hilang ditelan bumi. Pada akhirnya dua bola mataku terbuka tentang pelita kecil yang sedang dinyalakan olehnya buatku”...
“Lantas?” ibu Chani.
“Saya ingin belajar berjalan disampingnya seiring waktu berjalan, hanya saja tanpa sadar ternyata soaok Ri sedang berperan sebagai orang ketiga” penjelasan cukup panjang dari sebuah curahan hati.
“Anda bukan orang ketiga dari hubungan antara tuan dan wanita di masa lalunya” ibu Chani.
“Tapi, saya merasa hanya sebagai bahan pelarian bagaimanapun dia bercerita” berusaha menjabarkan sesuatu di dalam sana.
“Apa anda ingin melepas?” ibu Chani.
“Sejak dulu, saya menyukai kebebasan” menjawab pertanyaan...
“Dasar gadis bodoh” ibu Chani.
“Pertama kalinya”...
“Apa?” ibu Chani.
“Kau menyebutku gadis bodoh” berkata-kata.
“Jangan berpikir negatif tentang tuan besar!” ibu Chani.
6. Menyuarakan bahasa perempuan...
Terjadi dialog percakapan cukup panjang antara saya dan ibu Chani. Jalan setapak sedang bernyanyi ketika dua berjalan melewati dirinya. Rasa lelah jauh lebih kuat bercerita, dibanding sebuah senyuman karena kebahagiaan di jalan setapak itu.
“Anda harus meminta izin terlebih dahulu sebelum berkeliling pasar” ibu Chani.
“Apa anda tidak kasihan melihatku?”
“Saya juga ketakutan” ibu Chani.
“Terkadang, saya merasa sejenis burung yang terus saja terkurung di dalam sangkar” penjelasan cukup kacau.
“Anda sendiri tahu bagaimana aturan negara dan keluarga ini tentang wanita yang sudah menikah” ibu Chani.
“Baiklah” suara menggerutu.
Saya harus berjalan dengan terpaksa menuju ruang kerja tuan besar. Kebetulan dia tidak sedang bekerja hari ini. Mengetuk pintu ruang pribadi miliknya disertai perasaan menggerutu.
“Masuk dan jelaskan tujuanmu!” dia sudah tahu kalau saya berdiri depan ruang kerja miliknya.
“Apa saya bisa berkeliling pasar?”
“Seorang diri?” pria asing.
“Tidak” jawabanku.
“Dengan siapa?” pria asing.
“Ibu Chani” kalimatku.
“Kau tidak sekolah?” pria asing.
“Sudah selesai” ujarku.
“Secepat itu?” pria asing.
“Kebetulan guru online lagi ada urusan, jadi saya hanya diberi tugas saja” kalimatku lagi.
“Kemarin kau terlihat marah, lantas sekarang?” pria asing.
“Saya tidak ingin mengalami kejadian seperti di pantai kemarin” menyadari maksud ucapannya.
“Dasar gadis bodoh” pria asing.
Bagaimanapun, seorang Ri dengan peran sebagai orang ketiga tetap akan melekat tanpa sadar. Saya harus siap menerima sebuah keputusan andaikan pria asing memang tidak akan bisa lepas dari masa lalunya. Dia menyimpan banyak objek misterius hingga membuatku tidak dapat mengedipkan mata ketika bermunculan setitik demi setitik pada sebuah permukaan.
“Kebetulan, saya ingin membeli sesuatu di pasar” pria asing.
“Kenapa?”
“Kau sudah mendengar penjelasan yang sejak tadi kukatakan” pria asing.
“Lupakan!” segera berjalan pergi meninggalkan dirinya.
“Tunggu saya dibawah! Ngerti?” pria asing.
“Terserah” balasan kata-kata...
...
Kami berdua berkeliling pasar untuk pertama kalinya setelah kehidupan sebagai suami istri setahun lalu. Kehidupan gadis remaja sepertiku pada dasarnya ingin merasakan suasana pacaran sebelum terikat dengan sebuah pernikahan. Peraturan negara menyatakan perempuan tidak memiliki hak bersuara. Para pria bebas menikahi gadis dibawah umur tanpa pernah memperdulikan masa depan ataukah mimpi kami sebagai perempuan.
Minimal, kehidupanku masih jauh lebih baik dibanding gadis lain di luar sana. Mendapat pasangan yang tidak pernah menuntut apa pun, bahkan dapat dikatakan dia selalu menyalakan pelita kecil di sekitar alur ceritaku tanpa sadar. Apa kisah hidupku akan bercerita melepas suatu hari kelak?
Entah kenapa, dia berjalan sambil memegang kuat tanganku di sepanjang pasar. Melanggar aturan? Entahlah...
“Tuan levi” seorang pedagang di pasar menyapa dirinya.
“Siapa dia?” pedagang lain ikut penasaran.
“Dia istriku” pria asing memperkenalkan sosok Ri sebagai pasangannya.
Siapa pernah menyangka, kalau ternyata seluruh warga pasar mengenal dirinya. Dari ujung hingga ke ujung pasar menyapa dirinya. Apa yang sudah diperbuat olehnya? Pria asing dipeluk, dicium, diberi makanan, dan souvernir dari banyak pedagang pasar.
“Anda beruntung memiliki suami seperti tuan Levi” seorang ibu berbisik ke telingaku.
“Apa yang sudah dilakukan olehnya sampai anda berkata saya beruntung?”
“Selalu menjadi malaikat tanpa sayap” suar sang ibu kembali berbisik.
Sekali lagi, sebuah rahasia tersembunyi dari seorang pria asing sepertinya kembali mengudara di sekitarku. Dia terus menggenggam tanganku sepanjang kami berkeliling memutari area pasar. “Makanlah!” pria asing memberi sebungkus roti hangat.
“Apa mereka memberimu gratis?”
“Makan saja” pria asing pertama kalinya berbisik ke telinganku.
Mengambil roti di tangannya merupakan sebuah keputusan yang entah mengapa suara hatiku seolah berteriak tentang jangan melepas. Gadis remaja belia belum mengerti makna kata dibalik kehidupan sebagai seorang pasangan. Apa saya mulai menyukai dirinya.
Hal tidak terduga adalah dia membawaku ke sebuah rumah sederhana sedikit jauh dari keramaian. Tempat apaan ini? Kenapa penuh dengan terowongan. Pada akhirnya, kami berada di ruang bawah tanah dari rumah tersebut.
Sekumpulan perempuan berada di tempat ini. “Tuan levi” salah seorang gadis berusia sama denganku menegur dirinya.
“Apa hari anda baik tuan?” gadis lain menegur dirinya.
Hampir semua dari mereka berusia belasan tahun. Beberapa wanita tua juga ikut bergabung di dalamnya. Pria asing diam membisu tanpa membalas ucapan mereka. Area bawah tanah dijadikan sebagai tempat belajar, bermain, menciptakan beberapa karya, dan masih banyak lagi bagi banyak perempuan.
“Jahitanmu sungguh rapi” seorang wanita tua memuji gadis di depannya.
Saya diam mematung melihat apa yang ada di sekelilingku. “Kau dapat berkumpul bersama mereka kalau kau bosan di rumah” pria asing sekali lagi berbisik ke telingaku.
Diam-diam mendirikan sebuah perkumpulan kecil bagi kaum perempuan. Apa pernyataanku salah tentang kaum pria? Mengirim banyak buku di tempat tersembunyi. Mengajarkan semua perempuan banyak hal.
“Kenalkan, namaku Shana” gadis berusia remaja memperkenalkan dirinya di depanku.
“Dia siapa?” balik berbisik ke telinga pria asing.
“Dia sama seperti dirimu” pria asing.
“Ucapan bodoh” menggerutu seketika.
“Tuan Levi banyak bercerita tentang istrinya, ternyata usia anda sama seperti kami” Shana menjelaskan sesuatu.
“Apa kau memelihara banyak istri belia di tempat tersembunyi?”
“Menurutmu?” pria asing.
“Kami semua bukan istrinya” Shana.
Kenapa dia memilihku sebagai pasangan? Di tempat ini, ada begitu banyak gadis cantik untuk dijadikan istri. Apa yang ada dipikirannya?
“Hilangkan pikiran negatifmu!” pria asing seolah tahu apa yang sedang kupikirkan.
“Kau ingin memiliki teman?” pria asing.
“Maksud ucapan anda?”
“Mereka semua akan menjadi temanmu” pria asing.
Berjalan di satu titik sepertinya membuatku lupa akan sesuatu di depan. Pria asing membawaku ke sebuah ruang bawah tanah jauh dari keramaian. Mereka semua memiliki mimpi yang sama denganku.
Pria asing memberiku kebebasan di hari libur untuk berada di ruang ini. Saya seperti manusia bodoh yang bahkan tidak mengerti kegiatan mereka. Ruang bawah tanah kedap suara hingga bebas bernyanyi sesuka hati.
“Lupakan lukamu, lupakan tangismu, lupakan seberapa besar rasa sesak di hatimu” Shana bernyanyi di tengah kami semua.
Sebuah syair lagu diciptakan khusus olehnya. Menyuarakan bahasa perempuan di ruang bawah tanah? Mereka semua merupakan sekelompok aktivis kecil yang sedang bersembunyi jauh dari keramaian.
Bersekolah diam-diam dengan seorang guru wanita tua menjadi rutinitas mereka. Pria asing membantu untuk menemukan pembeli dari hasil kerajinan tangan mereka. Diam-diam menyuarakan bahasa perempuan di tempat tersembunyi.
“Apa yang sedang kau lakukan?” pertanyaan mengudara seketika.
“Memakai media sosial untuk menyuarakan bahasa perempuan” Shana.
“Apa pria a... maksudku tuan Levi tahu?”
“Sedikit tahu, tapi ga banyak” Shana.
“Anda adalah perempuan, jadi jangan hilangkan mimpi kaum perempuan untuk berteriak di negara kita tercinta!” Shana.
Dia sama sepertiku ingin berlari mengejar mimpi menikmati kebebasan sebagai perempuan. Sosok Shana ternyata jauh lebih pemberontak dibanding hidupku sendiri. Diam-diam mencari bantuan agar kaum perempuan memiliki sebuah keluatan.
“Jadilah pemimpin yang bijak ketika berada di sebuah negara” memasang sebuah pernyataan di dunia media sosial.
Saya tidak pernah mengerti penggunaan media sosial selama ini. Pria asing hanya mengajariku memakai sebuah handphone ataukah laptop ukuran lecil untuk belajar dan mengejar mimpi. Saya sendiri sama sekali tidak mengerti aplikasi-aplikasi media sosial itu seperti apa. Sebut saja sosok Ri bodoh...
“Perempuan berhak bersekolah” Shana memakai akun penyamaran untuk menyerang pemerintah.
“Hati kalian memang terbuat dari batu, bahkan tidak memiliki hati” update status terbaru.
Hal lebih gila lagi adalah mengecam pemerintah tentang pembuatan senjata mematikan. Seluruh negara ketakutan akibat perbuatan pemerintah di negara ini. Mereka mendiskriminasi sekaligus merendahkan perempuan, di tempat lain berusaha ingin menunjukan kekuatan luar biasa pada dunia tentang senjata mematikan.
Pada dasarnya kelompok pemerintah di negara ini menganut satu paham yang memang terkesan menakutkan. Tidak mengenal dunia luar hingga di dalam diri tertanam sebuah akar kebemcian menimbulkam dampak mematikan. Persaingan amtara negara tentang nuklir membuat satu sama lain melakukan perlombaan untuk melihat pemimpin siapa paling hebat.
Apa kalian memiliki hati, sedikit saja? Seolah tidak ingin terlihat lemah sehingga menciptakan senjata nuklir paling menakutkan. Semua mengecam negara ini, bahkan kami sebagai kaum perempuan hanya bisa menangis melihat situasi mencekam di dalamnya.
“Saya sudah menyiapkan beberapa rencana” Shana.
“Rencana?” sedikit membuatku ketakutan.
“Mengumpulkan perempuan untuk bergerak melawan mereka” Shana.
“Bagaimana kalau mereka membunuh kita semua?”
“Bagaimana kalau semua perempuan makin tertindas?”
“Bagaimana dengan senjata mematikan dari pemimpin bengis di atas? Ada begitu banyak pertanyaan yang terus saja kulempar ke arahnya.
Pertama kalinya di negara ini, kaum perempuan akan berjalan untuk melawan para pemimpin bengis. Kelompok perempuan tidak memiliki untuk berperang. Pria asing saja, tidak ingin menjadi anggota keluarga kerajaan dikarenakan tidak memiliki senjata di tangan. Dia lebih memilih melepas wanita yang dicintai, hanya karena kekuatan untuk bertahan dalam kerajaan tidak ada.
“Kau harus memiliki keberanian” Shana menekankan sesuatu.
“Kenapa?”
“Kita semua akan mati” Shana.
“Kita tidak memiliki kekuatan” ujarku.
“Kenapa kau begitu takut?” Shana.
Shana benar-benar membuatku ketakutan seketika. Hal tidak permah kuduga adalah sosok Shana ternyata memiliki banyak dukungan dari kelompok perempuan. Dia sukses memakai media sosial untuk menyerang sekaligus mengecam pemerintah. Kaum perempuan menjadi pemberontak pada akhirnya di negara ini.
Apa yang sedang kulakukan? Kaum perempuan turun ke jalan menyuarakan bahasa perempuan bahkan membuat keributan besar. Terjadi keributan besar akibat demonstrasi di jalan-jalan. Shana merupakam pemimpin besar dibalik kasus pemberontakan seluruh kelompok perempuan.
“Perempuan berhak bersuara” berteriak keras di jalan dan media sosial.
Apa pemerintah ketakutan? Apa kelompok radikal iblis di atas luluh dan mengabulkan permohonan kaum perempuan. Jawabannya adalah tidak sama sekali. Ada begitu banyak korbam jatuh di jalan-jalan akibat pertikaian besar-besaran yang sedang terjadi dikarenakan menyuarakan bahasa perempuan.
Pemerintah makin gencar membunuh banyak perempuan dan tidak akan pernah mengindahkan mimpi kaum perempuan. Kesombongan pemerintah merupakan akar permasalahan sejak awal hingga detik sekarang. Paham radikal yang dianut menjadikan para penguasa ingin menghancurkan apa pun di depan mata. Senjata-senjata nuklir dibuat dikarenakan benteng dari paham tadi berakar kuat di dalam sana.
Seluruh dunia ketakutan dengan pembuatan senjata mematikan di negara ini. Kaum perempuan juga semakin berada di bawah kendali para penguasa. Jalan satu-satunya adalah menjadi pemberontak.
“Shana” berteriak keras menyebut namanya.
Di depan mataku Shana si’pemimpin barisan menyuarakan suara perempuan tertembak mati. Sebelum pistol berjalan menunju ke arahku, seseorang menarik tanganku. Apa ini adalah akhir dari segalanya?
“Apa kau sadar kelakuan burukmu?” pria asing berteriak keras memaki ke arahku.
Pertama kalinya saya melihat dia geram, marah, mengumpat akibat kelakuanku. Pria asing tidak tahu sama sekali apa yang sedang kami lakukan di luar sana. Saya selalu menutupi kepergianku bahkan menjadi anggota barisan demontrasi. Shana berbohong terhadapku tentang kegiatan ini diketahui pria asing. Beberapa hari sebelum terjadi pemberontakan, seorang Shana memohon agar pria asing tidak diberitahu.
Saya sudah terlibat langsung dan tidak mungkin untuk berhenti. Membayangkan ayah dengan segala karakternya membuatku ingin terus berjalan mengikuti Shana. Menyuarakan bahasa perempuan memang tidak mudah, hanya saja saya akan menyatakan perang terhadap pemerintah sebagai aksi protes.
7. Diam Membisu
Apa yang salah dengan aksi kami? Perempuan berhak bersuara, berjalan sebagai pemimpin, berinteraksi, dan melakukan banyak hal. Di lain tempat, pemerintah membuat kami semua ketakutan dengan menciptakan pusat persenjataan menakutkan. Kalian sebagai pemimpin hanya mementingkan kesombongan, keegoisan, keserakahan, ingin menjadi nomor satu tanpa pernah melihat rakyat di bawah sana terlebih kaum perempuan.
Saya juga ingin berada di barisan terdepan sebagai seorang aktivis. Apa perbuatanku salah? Kenapa juga saya harus dilahirkan di negara semacam ini?
“Kau benar-benar gila” pria asing berteriak memaki tanpa ampun.
“Saya memberi kebebasan, tapi apa yang sudah kau perbuat?” pria asing.
“Bagaimana kalau mereka membunuhmu?” berteriak histeris seketika.
Kekacauan yang kami buat bukan tanpa alasan. Saya hanya ingin keadilan semata. “Apa kau tidak berpikir, berapa banyak korban berjatuhan karena perbuatan kalian?” pria asing masih terus meluapkan emosionalnya.
Diam membisu merupakan sesuatu yang kulakukan sekarang. Pemberontakan hanya karena menyuarakan bahasa perempuan adalah sebuah pengalaman. Jalan setapak akan bergemerincing dengan cerita berbeda dari alunan suara bahasa tadi.
“Bukan hanya Shana, tetapi masih banyak korban berjatuhan di luar sana” pria asing.
Di depan mataku, Shana tertembak mati oleh karena permainan kehidupan. Pria asing mengurungku dalam kamar dan tidak membiarkan diriku keluar dari rumah. Diam membisu seolah menyatakan diri seperti manusia bodoh.
Apa kami semua dinyatakan kalah oleh sebuah pemberontakan? Menyuarakan bahasa perempuan memang menjadi dilema di banyak negara seperti tempat kami bernaung. Cerita menakutkan bermain jauh lebih kuat, dibanding apa pun juga.
Pemberontakan masih sedang terjadi di banyak kota. Rumah pria asing jauh dari keramaian sehingga dinyatakan aman dari pertikaian. Kenapa saya bisa ikut dalam barisan pemberontakan? Shana memang jenius mengatur strategi hingga pria asing tertipu olehnya.
Pemimpin kelompok barisan pemberontak ditembak mati oleh sekelompok pemerintah bengis? Duduk tersungkur di kamar membayangkan kisah kaum perempuan dinyatakan kalah. Apa saya harus menerima nasib tentang sebuah kekalahan tragis?
Kenapa kunci itu bersembunyi kembali tanpa pernah memikirkan perasaan di dalam sana begitu sesak? Andai saja, alunan musik di jalan setapak bercerita tentang tangisan sukacita kemenangan. Hujan deras membasahi seluruh lorong sudut persimpangan hidup.
“Nyonya harus makan” ibu Chani mendekap tubuhku.
“Dia meninggal” tangisku seketika pecah.
“Semua mempunyai waktu” ibu Chani.
“Pemimpin kelompok barisan kami pergi dengan tragis” menangis di dalam kamar.
“Kenapa Tuhan selalu saja tidak memperdulikan ketidak-adilan?” makin berteriak histeris.
“Gadis remaja seperti nyonya muda memang butuh waktu untuk mengerti pekerjaan luar biasa dari tangan Tuhan” ibu Chani.
“Maksud ucapan anda?”
“Anda harus percaya tentang pelita kecil masih terus menyala di malam gelap” ibu Chani.
Ruang kecil di dalam sana sedang berteriak begitu hebat. Pertanyaan demi pertanyaan dilemparkan kepada Sang Pencipta oleh karena sebuah keadaan. Butiran kristal mengudara tanpa jedah iklan di dalam ruang kecil tadi.
Hai jiwa, kenapa kau begitu sesak? Bisakah dirimu tertawa lepas, sekali saja di alur cerita jalan setapak? Kenapa ruang dirimu begitu rapuh?
“Rasanya sakit” ujarku di dalam sesak.
“Apa yang kulakukan semuanya salah?” melemparkan pertanyaan.
“Tidak ada yang salah, hanya saja keadaan berkata lain” ibu Chani.
“Shana mengajarkan keberanian yang memang tidak pernah kumiliki” kalimatku.
“Apa itu salah?” melemparkan pertanyaan.
“Teman anda seorang pahlawan terbaik, dan tidak semua orang dapat melakukan apa yang dilakukan olehnya” ibu Chani.
“Lantas, kenapa dia mengamuk besar?”
“Kenapa menentang pemberontakan kami?”
“Tuan besar hanya tidak ingin anda berjalan dengan nada emosional” ibu Chani.
“Maksud anda?”
“Tuan besar bukannya menentang pemberontakan untuk menyuarakan bahasa perempuan, hanya saja berjalan dengan sisi bijak terdengar jauh lebih menyenangkan” ibu Chani.
“Berjalan dengan sisi bijak?”
“Setidaknya, anda mencari penjelasan terhadap tuan besar” ibu Chani.
“Diam membisu seperti yang anda lakukan sama sekali bukan jalan keluar” ibu Chani.
“Tapi, dia mengurungku di kamar”...
“Tuan besar tidak ingin anda kembali terlibat dalam sebuah pemberontakan yang masih terjadi” ibu Chani.
“Pikiran anda dan tuan besar jauh berbeda” ibu Chani.
“Maksud ucapan tadi?”
“Tuan besar dengan usia matang mencoba berpikir bijak ketika melihat sesuatu hal, sedang anda berjalan dan berpikir dengan usia remaja” ibu Chani.
“Apa yang harus kulakukan?”
“Mencari penjelasan dari tuan besar” ibu Chani.
“Tapi, sebelum anda mencari penjelasan, sebaiknya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi” ibu Chani.
Seluruh tubuhku diam seketika. Merenung tentang arah hidup. Memori, sesak, persimpangan bermuara menjadi satu bagian. Hai jiwa, memgapa kau terus saja diam membisu tanpa kekuatan? Mengapa dirimu terlihat lemah tanpa bahasa irama berbeda?
“Makanlah!” pria asing tiba-tiba saja berjalan masuk ke kamarku.
Dia terlihat begitu lelah setelah berada di luar rumah seharian. Apa saya memang tidak pernah ingin mengerti perasaannya? Apa ucapan ibu Chani benar, kalau saya berjalan memakai pemikiran anak usia belasan tahun?
“Sejak dulu, saya selalu merindukan menjadi seorang pahlawan” memulai sebuah percakapan.
“Rasanya sakit melihat ketiga kakakku harus merelakan masa remajanya dengan menjadi istri kesekian, pria tua, pernikahan sedarah, dan banyak lagi” ucapanku kembali.
Sudut persimpangan seolah menyatakan bunyi serpihan hidup tanpa arah. Dua kaki terlihat lelah berjalan. Seluruh tubuh jatuh tersungkur ke tanah pada akhirnya. Apa ini yang dinamakan gemerincing kehidupan?
“Melihat ayah selalu saja merendahkan ibu membuatku menjadi manusia pemberontak” kata demi kata keluar begitu saja.
“Berteriak, memaki, tanpa arah hidup, kesurupan, ingin bunuh diri, memberontak, mengutuk menjadi lukisan hidup Ri karena keadaan” duduk bersandar pada dinding ruang persegi.
Pria asing diam membisu mendengar ceritaku. Saya hanya sedang belajar menjabarkan tentang apa yang sedang kujalani. Kata demi kata bercerita seorang Ri ingin berjuang melawan ketidak-adilan diantara kaum perempuan.
“Di akhir cerita, kau hadir seolah ingin memcoba menyalakan pelita kecil itu di malam gelap sosok Ri” ucapanku kembali.
“Bahkan di luar dugaan, kau membuatku memiliki teman seperti Shana, hingga pada akhirnya, sesuatu yang tidak dinginkan hatimu terjadi” sekali lagi menjabarkan bahasa pemberontak...
Serpihan-serpihan kehidupan berkata tentang dua kaki harus berjuang keras untuk berlari. Bahasa seni sedang menjabarkan lika-liku perjalanan di dalam kesesakan. Lorong itu begitu sulit dilalui oleh tubuh...
“Tidak ada yang salah dengan kata pemberontak” ucapanku di dalam isak tangis seketika.
Dia mendekap tubuhku seketika. Seolah tahu apa yang sedang kualami. Tetap diam membisu dan membiarkan Ri menikmati isak tangisnya.
“Kalau kau ingin berperang, setidaknya menyiapkan senjata terbaik dan tidak hanya berdiri di hadapan orang banyak untuk meluapkan amarahmu” pria asing menepuk bahuku.
“Senjata?”
“Zaman dulu dan sekarang memiliki cerita berbeda. Ngerti?” pria asing.
“Kenapa?”
“Demonstrasi dengan peran sebagai pemberontak melawan ketidak-adilan tetap digunakan oleh banyak negara, baik zaman dulu dan sekarang” pria asing.
“Lantas?”
“Zaman dulu, kata demontrasi dapat digunakan sebagai senjata mematikan untuk menjadi pemenang” pria asing.
“Kenapa dengan zaman sekarang?”
“Zaman sekarang, banyak oknum akan menjadikan sebagai alat untuk mengambil kesempatan, di tempat lain banyak orang menjadi korban dengan cerita tragis di dalamnya” pria asing.
“Di negara lain banyak mahasiswa menjadikannya sebagai senjata penyerang” berkata-kata terhadapnya.
“Memang betul memperlihatkan hasil, tetapi jauh di belakang terdapat permainan demi permainan hingga pada akhirnya cerita lebih menakutkan kembali terjadi” pria asing.
“Apa kau ingin hidupmu terdengar jauh lebih menyeramkan dibanding cerita sebelumnya?” pria asing.
“Tentu saja tidak” kalimatku.
“Kesalahan generasi muda sekarang ada pada kata tidak berpikir bijak ketika melawan ketidak-adilan” pria asing.
Dia bercerita menurut pemikirannya. Menjadi seorang aktivis tanpa bahasa wibawa di dalamnya hanya akan menyesatkan banyak objek. Pria asing seolah ingin mengajarkan sebuah perjalanan dengan pemikiran matang akan menghasilkan senjata mematikan.
“Bersabarlah dalam kesesakan, bersukacitalah dalam pengharapan” pria asing.
“Maksud kalimat tadi?”
“Seiring berjalannya waktu, kau akan mengerti” pria asing.
“Saya ingin memiliki sebuah senjata pertempuran” ujarku.
“Seiring berjalannya waktu, kau akan memiliki sebuah senjata terbaik tanpa dirimu sadar, hanya saja biarkan tubuhmu belajar berlatih tentang banyak hal!” pria asing.
Dia tidak lagi marah karena kelakuanku. Pria asing seolah menjadi pelita kecil di lorong gelap kehidupanku. Permainan hidup, terkadang membuatku tersesat...
“Ganti pakaianmu!” pagi-pagi buta pria asing mengetuk pintu kamar.
“Kita mau kemana?”
“Apa kau tidak ingin berziarah ke makam Shana?” pria asing.
Di balik sikap dinginnya, dia masih berjuang untuk mengambil diam-diam jenasah Shana. Pria asing tidak membiarkan saya keluar dikarenakan situasi makin mencekam di luar. Pengambilan jenasah di rumah sakit membutuhkan waktu. Permainan oknum aparat jauh lebih menakutkan, terlebih Shana merupakan pemimpin aktivis menyuarakan bahasa perempuan.
“Jangan menampakkan pergerakan mencurigakan!” pria asing.
Kami baru bisa berjalan ke makam pagi-pagi buta untuk menghindari banyak hal. Di tiap sudut daerah akan terdapat oknum-oknum aparat yang sedang berjaga sangat ketat. Beruntung saja, pria asing memiliki banyak kenalan dan bisa mengalihkan perhatian mereka semua.
“Jangan mengeluarkan air mata, setetespun!” pria asing berbisik.
“Kenapa nama di batu nisannya bukan nama aslinya?” berbisik kembali.
“Jangan bertanya apa pun?” pria asing memberi kode.
Kenapa bisa? Apa Saya tidak boleh berkata sepatah katapun. Menyamar sebagai pembersih kuburan di pagi-pagi buta terdengar bodoh atau bagaimana? Pria asing sudah berjuang ingin mempertemukan antara saya dan Shana, walaupun hanya melalui batu nisan.
“Dia harus tetap memakai nama samaran demi kepentingan bersama” pria asing mencoba menjelaskan setelah kami berada di rumah kembali.
“Kenapa?”
“Rumah perkumpulan kalian akan menjadi incaran oknum aparat setempat” pria asing.
“Nyawamu berada dalam bahaya kalau mereka menyadari isentitas Shana” pria asing berusaha melindungiku.
“Tidak berarti kalian kalah, hanya saja diam sambil berpikir bijak terdengar jauh lebih menyenangkan” pria asing.
“Apa ini yang dikatakan hidup?”
8. Dua sayapku sepertinya tidak memiliki kekuatan...
Saya ingin terbang lepas jauh dari sangkar, namun kenyataannya jauh berbeda dari pemikiranku. Dua sayapku sepertinya tidak memiliki kekuatan untuk terbang jauh. Kicauan hidup mempermainkan diri sendiri di dalam sangkar.
Alur cerita dengan bahasa serpihan menjadikan lorong itu terlihat sesak. Waktu tidak akan pernah kembali. Semua yang sudah terjadi hanya akan menjadi memori dengan variasinya sendiri.
“Kemasi semua barang-barangmu!” pria asing membuka pintu kamarku.
“Kita mau kemana?” terkejut seketika.
“Kau akam tahu nanti” pria asing.
“Bagaimana dengan mereka?”
“Mereka siapa?” pria asing.
“Teman-temanku di rumah itu” menjawab pertanyaan darinya.
“Lupakan mereka!” pria asing swolah menegaskan sesuatu.
“Kau kejam” berkata kasar terhadapnya.
“Kau tidak punya hati nurani” sekali lagi mengucapkan kalimat...
“Kau yang membuat saya memiliki persahabatan dengan mereka di ruang bawah tanah dari rumah itu” masih terus berujar.
“Seluruh personil alias temanmu sudah menjadi jenasah, tersisa hanya kau seorang. Ngerti?” pria asing menegaskan sebuah kebenaran.
“Kenapa kau tidak memberitahuku?”
“Apa dengan berkata jujur, akan menyelesaikan masalah?” pria asing.
“Kemasi barangmu sebelum kau menjadi mayat sama seperti personil lainnya!” pria asing.
Apa dua sayapku memang pada dasarnya tidak memiliki kekuatan? Barisan pemberontak ternyata gugur begitu saja di medan perang? Saya seperti manusia bodoh bersembunyi cukup jauh dari barisan tadi.
Hai jiwa, mengapa hatimu gelisah? Dirimu begitu remuk ketika berjalan di sebuah lembah. Seluruh tubuh jatuh rebah ke tanah tanpa kekuatan sama sekali.
“Apa kau sudah siap?” pria asing tanpa permisi membuka langsung pintu kamarku.
“Kenapa?”
“Kau istriku bukan orang lain” pria asing.
Apa dia benar-benar akan meninggalkan masa lalunya demi seorang gadis pemberontak? Dia seperti perisai yang sedang mengikat kuat tanganku. Selalu saja berjuang menjadi pelita kecil di malam gelapku.
“Bagaimana dengan ibu Chani?”
“Kau tenang saja” pria asing.
“Maksud ucapanmu?”
“Saya akan menjadi pelayan setia buat nyonya muda” ibu Chani berjalan ke arahku sambil membawa sebiah tas kecil.
“Saya tahu, kau tidak akan bisa lepas darinya” pria asing.
“Terima kasih” segera menundukkan kepala.
Setidaknya, Tuhan masih mengirimkan seorang ibu buatku. Btw, bagaimana kabar ibuku sekarang? Apa dia baik-baik saja? Saya putus kontak dengannua sejak menikah hingga detik sekarang,
Bagaimana kabar ketiga kakakku? Apa mereka menjadi barisan personil menyuarakan bahasa perempuan? Kenapa tiba-tiba, saya merindukan mereka semua?
“Kita mau kemana?”
“Kau akan tahu setelah kita sampai tujuan” pria asing.
Di luar dugaan, perjalanan kami ternyata menuju sebuah terowongan sepi jauh dari keramaian. Pria asing mengemudikan kendaraan roda empat miliknya entah kemana. Dua bola mataku tertutup rapat sepanjang jalan dan tidak ingin melihat pemandangan di luar sana.
Anda saja, kunci itu tersenyum lebar ke arahku. Entah bagaimana cerita hingga kunci yang awalnya berada di depan mata ternyata kembali bersembunyi kuat. Dua bola mata sudah berjuang mencari titik celah pintu, hanya saja semuanya tertutup rapat...
“Lupakan lukamu, lupakan tangismu, lupakan seberapa besar rasa sesak di hatimu” lagu Shana terus berkumandang di sekitar telingaku.
Saya ingin belajar tersenyum, hanya saja hujan deras terus saja membasahi tubuhku. Ingatan tentang seorang gadis remaja berlari di tengah hujan deras kembali berputar. Rasa-rasanya, bibir mulutku ingin berteriak sekeras-kerasnya tanpa memperdulikan apa pun di depanku.
“Bangun!” pria asing menepuk bahuku.
“Kita sudah sampai” ucapan pria asing kembali.
“Sepertinya anda tertidur lelap” ibu Chani.
“Kita ada dimana?”
“Di bandara” ibu Chani berbisik.
Pria asing jauh-jauh hari mempersiapkan pasport dan segala berkas administrasi keluar negeri. Apa saya akan melihat dunia luar? Di luar dugaan, dia mempercepat kepergian kami dikarenakan pemberontakan yang sedang terjadi.
Perjuangan luar biasa darinya agar kami bisa lolos masuk bandara memang harus diberi penghargaan. Pertama kalinya bagi seorang Ri berada di dalam pesawat. Apa saya sedang berlari dari masalah pemberontakan tadi untuk bersembunyi?
“Apa nyonya muda pernah berada di pesawat?” bisik ibu Chani setelah pesawat dinyatakan lepas landas.
“Ini pertama kalinya buatku” berbisik ke telinganya.
“Apa anda takut?” ibu Chani.
“Sedikit” ujarku.
“Pejamkan dua bola mata anda!” ibu Chani.
Pria asing tidak lagi berkata-kata. Dia tertidur lelap setelah perjalanan panjang mengemudikan kendaraan menuju bandara. Tidak pernah menyangka sesuatu yang sedang dilakukan olehnya.
“Apa kau benar-benar lelah sama sepertiku?” suara hati berbisik di ruangannya sendiri menatap pria di sampingku.
“Apa saya bisa berharap?” kembali ruang hati berkumandang.
“Kau akan tetap mendekap tubuhku, bahkan terus hadir di jalan setapak yang sedang kulalui” ucapanku pelan sambil mencoba membelai pelan rambutnya.
Saya benar-benar terikat kuat dengannya, hanya saja terkadang ruang hatiku sendiri terkesan takut di ruangannya. Pasangan yang tidak pernah kuinginkan hadir dalam hidup sedang berjuang menyalakan pelita kecil di malam gelapku. Terkadang, rasa khawatir tiba-tiba saja hadir, bagaimana kalau ternyata dirinya tidak lagi berjalan ke arahku, bahkan pergi begitu saja tanpa pernah berbalik.
Apa saya mulai menyukai sesuatu dalam dirinya? Gadis remaja berusia belasan tahun belum mengerti defenisi cinta sejati. Pernikahan dini membuat kehidupan kami sama sekali tidak pernah tahu makna hidup.
“Kita sudah sampai” kesekian kalinya pria asing menepuk bahuku.
Sepertinya saya tertidur lelap dalam dekapannya tanpa sadar. “Tangan tuan terlihat pegal” ibu Chani sedikit khawatir.
“Maaf” menyadari kalau semua itu karena ulahku.
“Lupakan!” pria asing.
“Kemasi barangmu!” pria asing.
Saya seperti manusia bodoh terus saja mengekor di belakangnya sepanjang perjalanan turun dari pesawat. Kami berada di negara apa? Asa banyak perbedaan antara bangsaku dan bangsa yang ada disini. Corak mata penduduk negara ini beraneka ragam. Mereka terlihat cantik karena warna mata tadi.
“Biru, cokelat, hijau” bergumam pelan.
“Apa yang anda pikirkan?” ibu Chani.
“Warna mata mereka berbeda dari kita” ujarku.
“Tentu saja” ibu Chani.
“Rambut pirang cantik” ujarku.
“Apa anda ingin mewarnai rambut seperti mereka?” ibu Chani.
“Apa mereka mewarnai rambut?”
“Warna rambut mereka asli dari lahir, tapi dunia sekarang sudah lazim masalah pewarnaan rambut” ibu Chani.
“Saya benar-benar kampungan” rasa malu seketika.
Cara berpakaian mereka semua bervariasi dan bebas. Perempuan bebas memakai stylish apa pun. Kaum pria berjalan santai hanya dengan memakai celana pendek?
“Pantas saja dia menyuruhku tidak berpakaian kelewat tradisional sebelum kami berada di pesawat” bergumam pelan.
“Semua orang bisa saja ketakutan akibat ulahku” bergumam kembali.
Apa saya bisa berpakaian sama seperti mereka? Mengikat rambut tanpa mengurai? Gadis remaja bebas mengenakan perhiasan kepala serba pink. Saya menyukai warna pink, tetapi keadaan membuatku tidak dapat mengoleksi barang-barang berwarna pink.
“Naiklah!” pria asing membuka pintu taxi.
“Keramaian kota di negara ini jauh berbeda” bergumam kembali.
Pusat perbelanjaan di negara ini sangat besar. “Pakaian apaan disana?” melihat seorang gadis bersama stylish sedikit mengerikan.
Pertama kalinya, saya melihat pria asing tertawa keras tanpa terputus sama sekali. Dia selalu terlihat dingin sejenis kulkas 2 pintu. Berbicara seperlunya dan kembali terdiam. Kegiatannya hanya bercerita tentang membaca buku.
Apa yang salah dengan diriku? Apa saya kelewat kampungan? Seorang gadis memakai celana pendek dan bra saja? Buatku, terlihat angker...
Saya baru menginjak dunia luar bersama. Kehidupanku sebagai gadis tradisional memang terkesan kampungan. “Apa yang mereka berdua lakukan?” berteriak kembali.
Sepasang pria dan wanita sedang berciuman di depan umum? Apa budaya seperti ini memang biasa? Bagaimana saya akan hidup dengan budaya yamg bahkan jauh berbeda dari alur ceritaku?
Pria asing makin tertawa keras melihat raut wajah histeris dariku. Dia memang terbiasa karena sekolahnya sejak remaja di luar negeri. Entah mengapa, pria asing ingin kembali ke negaranya.
“Apa kau pernah melakukan hal seperti itu?” melemparkan pertanyaan terhadapnya.
“Hal apaan?” pria asing berhenti tertawa seketika.
“Berciuman di depan umum” sedikit penekanan.
Apa saya cemburu? Dia pernah menjalin hubungan bersama wanita cantik di masa lalunya. Atau kemungkinan besar, memiliki wanita lain yang jauh lebih modern?
“Menurutmu?” pria asing.
“Pria kepala tiga tentu saja memiliki banyak pengalaman” ujarku.
“Menurutmu?” pria asing.
“Seperti ucapanku sebelumnya” pertama kalinya menatap ganas dirinya.
“Sudah sampai, turunlah!” pria asing.
Dia tidak ingin menjelaskan apa pun terhadapku. Mengambil barang-barang kami dari mobil, kemudian berjalan pergi. Saya belum pernah melihat sistem pembayaran tanpa uang tunai, melainkan kode barcode. Pria asing memang menikmati hidup sebagai manusia modern.
Terbiasa melihat cara berpakaian berbeda-beda, prrgaulan yang dianggap najis bagi bangsa kami, aneka ragam budaya, dan masih banyak lagi menggambarkan ciri khas dirinya. Apa dia akan malu mengakui diriku sebagai pasangannya? Cara berpakaian pria asing memang terlihat berbeda sejak pertama kali dia menginjakkan rumah ayahku.
“Nyonya muda sepertinya lapar” ibu Chani.
“Sangat lapar” berterus terang.
“Apa kau lapar karena?” pria asing ingin tertawa kembali.
“Karena apa?”
“Shock terhadap budaya orang-orang disini” pria asing.
“Kau keterlaluan” pertama kalinya seorang Ri mengejar pria asing karena kesal.
Kami seperti anak kecil saling kejar mengejar hanya karena masalah biasa. Ibu Chani tertawa melihat pemandangan di depannya. Kenapa pria asing bisa tertawa lepas di negara ini, sedang di negaranya sendiri diam membisu tanpa tawa? Berusaha menarik nafas panjang karena ulahnya.
“Suara apa itu?” terkejut.
“Suara bel apartement” pria asing.
Saya tidak pernah tahu kalau ternyata sebuah rumah memiliki bel. Kelewat kampungan menggambarkan diriku sekarang. Hal lebih hebohnya lagi adalah pengantar makanan ternyata seorang wanita memakai celana santai.
Apa saya bisa berpakaian seperti pengantar kurir tadi sambil bekerja? Wanita bebas bekerja sesuka hati? Saya ingin hidup menikmati kebebasan seperti orang-orang di negara ini.
“Apa ini?”
“Kentang goreng, roti, daging, tomat, sayur, keju, sosis” ibu Chani mencoba menjelaskan.
Bahkan seorang ibu Chani terlihat biasa saja? Lebih dari kata memalukan. Gadis remaja pemberontak terkejut melihat kehidupan modern? Sejauh ini, saya hanya mengerti roti dengan saus khas tradisional di negara kami.
“Apa nyonya suka?” ibu Chani.
“Suka” menjawab pertanyaan ibu Chani.
“Kamarmu ada di sana!” pria asing menunjuk kamar tidak jauh dari tempat duduk kami.
“Ibu Chani bagaimana?”
“Kau harus berbagi kamar dengannya” pria asing.
“Bagaimana dengan kamarmu?”
“Berada di sampingmu” pria asing menunjuk sebuah kamar kembali.
Rumah ini hanya memiliki beberapa ruangan saja. Ukuran rumah tergolong kecil membuat kami harus bergantian memakai kamar mandi. “Uang kita terbatas untuk menyewa apartemen lebih besar” pria asing mencoba menjelaskan.
Pengalaman baru mengajarkan seseorang untuk belajar tentang hidup. Alur cerita hidupku selalu saja terkejut melihat dunia luar. Kehidupan modern membuatku terlihat makin bodoh diantara semua manusia bodoh.
Gadis remaja disini menikmati kehidupan mereka pada umumnya. Naik sepeda seorang diri menuju sekolah ataukah tempat kerja. Perempuan memakai sepeda merupakan sesuatu hal yang luar biasa buatku.
9. Berlari...
Ada banyak cerita tentang kehidupan modern, bagi orang lain terlihat biasa, akan tetapi tidak denganku. Apa saya bisa menjadi bagian dari gadis modern? Mereka bebas berpakaian warna-warni tanpa ada aturan hukum yang melanggar.
Mengoleksi pakaian warna pink, biru, kuning, hijau terkesan menyenangkan. Saya benar-benar menyukai warna pink, namun keadaan berkata lain. Berlari ke kiri dan ke kanan hingga tertawa lepas melupakan semua masalah.
“Berlari” bergumam di dalam kamar.
Berlari mengejar mimpi. Apa dua kaki dapat merangkai bahasa tadi menjadi sesuatu yang wow? Gadis remaja berusia belasan tahun sedang belajar memahami defenisi kata berlari di sudut persimpangan.
“Sampai kapan tuan membatasi diri dengannya?” tanpa sengaja mendengar percakapan di malam hari antara ibu Chani dan pria asing. Mereka mengira saya sedang tertidur pulas.
“Membatasi diri?” pria asing.
“Pria tidak menyentuh istrinya berarti tidak atau mengalami gangguan seksual” ibu Chani.
“Kau berpikir saya pria LGBT?” pria asing.
“Entahlah. Sekalipun manusia LGBT mengalami pertobatan, tetap saja membutuhkan waktu lama menjadikan dirinya normal masalah seksual ketika menjalani kehidupan rumah tangga” ibu Chani.
Apa itu LGBT? Saya baru mendengar kosakata tadi. Seorang pelayan biasa mengerti dunia luar? Sungguh mengagumkan...
“Artinya saya masuk golongan kata tadi?” pria asing.
“Entahlah” gerutu ibu Chani.
“Dia baru akan menginjak usia 17 tahun” pria asing menyadari usiaku seminggu lagi bertambah setahun.
“Maksud ucapan anda?” ibu Chani.
“Biarkan dia menikmati masa remajanya sama seperti gadis lain” pria asing.
“Bagaimana kalau dia direbut pria lain di negara ini?” ibu Chani.
“Pergaulan serba bebas dan dia masih terlalu polos, bisa saja gadis ini menjadi bahan permainan” ibu Chani.
“Entah kenapa, suara hati kecilku berkata kalau dia bisa menjaga dirinya sendiri dari pergaulan tadi” pria asing.
“Menurut hati kecil anda, dan tidak buatku” ibu Chani.
“Apa anda tidak menginginkan keturunan?” ibu Chani.
“Bukannya kau menghalangi saya sekamar dengannya” pria asing.
“Masalahnya waktu itu, dia menyimpan banyak luka dan masih terlalu belia, jauh berbeda dengan sekarang” ibu Chani.
“Apa bedanya?” pria asing.
“Kita sedang berada di sebuah negara dengan budaya berbeda dari bangsa sendiri. Lantas, menurut anda?” ibu Chani.
“Beri dia waktu setahun atau dua tahun lagi” pria asing.
“Pertama kalinya, saya melihat seorang pria menahan diri terhadap istrinya sendiri, kecuali kalau memang dirinya tidak normal sekalipun kata pertobatan terselip di dalam” ibu Chani.
“Maksud ucapan anda?” pria asing.
“Menurut anda gimana? Personil LGBT dengan pertobatan tetap akan membutuhkan waktu lama berhadapan dengan pasangannya tentang masalah seksualitas” ibu Chani.
“Pernyataan bodoh” pria asing.
“Biarkan dia sekamar dengan anda, tanpa harus menyentuhnya kalau memang itu pilihan anda” ibu Chani.
“Jangan memaksakan kehendak” pria asing.
Perjalanan hidup sebagai pasangan suami istri? Apa saya terlalu egois? Memori ingin berlari lepas menikmati masa remaja bermuara begitu kuat. Kenapa juga, saya harus mendengar percakapan mereka?
Biarkan saya berlari kuat, sekali saja sebagai seorang gadis remaja. Kosakata tadi menyatakan tentang kekuatan. Apa salah kalau saya menginginkan petualangan berlari di jalan setapak yang sedang kulalui?
“Bangun, sudah siang!” pria asing berjalan masuk ke kamar.
“Ganti pakaianmu!” pria asing melemparkan sepasang pakaian.
“Baju kaus dan celana panjang?”
“Ini namanya celana training untuk olahraga” pria asing.
“Olahraga?”
“Kehidupan zaman sekarang, berkata kalau tubuh butuh olahraga sebelum menjalani akrivitas” pria asing.
“Apa saya bisa memakai pakaian seperti ini?”
“Tentu saja. Kau harus belajar beradaptasi mulai dari pakaian, kehidupan, makanan, rutinitas, dan masih banyak lagi” pria asing.
“Tapi, saya tidak mungkin keluar hanya memakai bra semata” mengingat memori beberapa hari lalu.
“Ada hal yang bisa diambil, di lain tempat ada pula kebiasaan atau hal lain yang tidak bisa diambil bahkan harus kau buang. Ngerti?” pria asing.
Pertama kali bagi seorang Ri memakai sepasang baju olahraga. Terasa nyaman, menyerap keringat, dan saya tidak merasa kepanasan ketika berpakaian seperti ini.
Pria asing mengajakku berlari kecil di taman tidak jauh dari tempat tinggal kami. Banyak orang duduk manis menikmati sinar matahari pagi. Beberapa pria tua sibuk membaca buku di sekitar kami. Banyak ibu menjemur bayi mereka dan terlihat menggemeskan.
“Kau akan kembali bersekolah” pria asing berkata-kata sambil memberiku segelas minuman panas.
“Saya akan balik sekolah?”
“Sekolahmu tidak lagi bercerita online, melainkan langsung bertatap muka” pria asing.
Apa ini mimpi? Sejak semula, dia memang merencanakan masa depanku tanpa sadar. Saya akan menjalani bangku perkuliahan setelah dinyatakan lulus beberapa waktu lalu.
“Kau bebas memakai pakaian warna apa pun selama tidak melewati batas” pria asing.
“Apa saya bisa mengoleksi rok atau celana jeans?” masih belum percaya.
“Sesuka hatimu” pria asing.
“Apa saya bisa memakai pakaian warna pink, biru, dan masih banyak warna lainnya?” terlihat histeris.
“Sesuka hatimu, silahkan!” pria asing memberiku kebebasan.
Budaya bangsa masing-masing memiliki ciri khasnya. Di negara kami, ada begitu banyak aturan berpakaian hingga terkesan menakutkan. Ri ingin berlari menikmati masa remajanya. Dia tidak pernah memaksaku untuk tetap berada dalam aturan budaya.
Tidak ada yang salah dengan budaya kami. Hanya saja, kelompok perempuan dibatasi oleh benteng aturan cukup kuat. Sekali lagi, pria asing menggenggam kuat tanganku berjalan menyusuri sudut persimpangan.
“Plus mines budaya di masing-masing negara pasti ada” pria asing.
“Maksud ucapanmu?”
“Negara yang sedang kau tempati sekarang, dapat dikatakan tidak menyudutkan kaum perempuan dalam banyak objek” pria asing.
“Perempuan bebas memiliki sekolah tinggi, menjadi apa yang dirinya mau, menciptakan kreativitas inovasi, berpakaian dengan jenis dan warna sesuka hati, bahkan masih banyak lagi sisi positif kebudayaan di negara ini” pria asing.
“Lamtas, sisi minesnya?”
“Apa kau tahu kebudayaan LGBTQ?” pria asing.
“Apa itu LGBTQ?” balik bertanya.
“Penyimpangan seksualitas yang dianggap normal dan tidak ada yang salah, namun pada dasarnya melanggar aturan Tuhan” pria asing.
“Apa itu penyimpangan seksualitas?”
“Mencintai sesama jenis, ngerti?” pria asing berbisik di telingaku.
Saya baru tahu kehidupan LGBTQ itu memang ada? Apa saya terlalu lama tinggal di hutan? Kampungan 7 keliling menjadi ciri khasku.
“Kebudayaan bebas” pria asing.
“Apa itu budaya bebas?” pertanyaan polos.
“Semua orang bebas tinggal serumah bersama pasangannya tanpa ikatan pernikahan” pria asing.
“Memiliki anak, tetapi tidak menikah” pria asing.
“What?” terkejut.
“Orang-orang disini bebas berpakaian ataukah tidak berpakaian sama sekali, berciuman di tempat umum, bahkan bisa dikatakan melakukan hubungan sex tidak mengenal tempat” pria asing.
“Maksudmu, mereka berjalan di tempat umum tanpa pakaian dianggap normal?”
“Seperti itulah” pria asing.
“Berciuman seperti yang kulihat kemarin normal?”
“Sangat normal” penekanan pria asing.
“Apa yang kau anggap tidak normal, semua akan terlihat normal ketika berada disini” pria asing.
“Kenapa mereka tidak menikah? Apa ada alasan lain dibalik ikatan seperti itu?” jiwa penasaranku sedang bermain.
“Zamam sekarang, ada bangsa yang memang takut kehilangan segala-galanya terlebih harta ketika bercerai” pria asing.
“Kenapa mereka bercerai?”
“Kehidupan modern bercerita tentang objek lain. Andaikan tidak ada kecocokan, terus saja berselisih, bahkan memiliki rasa bosan berlebih maka sistem perceraian akan dijalani di negara manapun terlebih bangsa disini” pria asing.
“Mereka lebih takut miskin ketika bercerai, dibanding kegiatan pernikahan, itulah sebabnya hidup tanpa ikatan sekalipun memiliki anak jauh lebih baik” pria asing.
Budaya bebas bersama cerita kacau di dalamnya. Saya tidak ingin berjalan di tempat seperti itu. Apa saya akan terjerumus? Perasaanku berkata kalau Ri sudah menikah sah di mata Tuhan dan manusia bersama pria asing di depanku. Kenapa harus takut?
“Kata perawan di negara ini tidak begitu penting. Pada dasarnya, kembali lagi ke pribadi masing-masing” pria asing.
“Apa yang harus kulakukan, andaikan saya menemukan kegiatan aneh di sekolahku?”
“Kegiatan aneh?” pria asing.
“Berciuman atau bahkan berhubungan kotor, mungkin?”
“Lewati! Jangan lihat alias berpura-pura tidak tahu! Anggap saja lagi melihat bungkusan permen manis” pria asing.
“Pernyataan bodoh” ujarku.
“Kau tidak bisa memaksakan budayamu terhadap bangsa lain, begitupun sebaliknya mereka tidak bisa memaksakan budaya terhadap dirimu” pria asing.
“Lantas?”
“Peranan imanmu bermain disini, kenapa? Ada banyak jurang setan di kehidupan modern” pria asing.
“Ambil yang bisa membentuk hidupmu, lantas buang sesuatu yang akan membawamu ke jurang. Tidak ada manusia yang sempurna dan jangan menuntut kehidupan suci dari orang di depanmu!” pria asing.
Pria asing mengajariku tentang banyaknya objek. Gadis polos sepertiku sedang belajar berjalan dengan sangat berhati-hati. Hal lebih penting lagi adalah dapat bertahan di tempat dengan segala jenis godaan. Apa saya akan lulus? Entahlah...
Dia mendaftarkan namaku di sebuah perguruan tinggi. Salah satu dosen berkata kalau kualitas otak yang kumiliki mampu untuk berada di tempat ini. “Jangan meragukan skil dalam dirimu!” seorang dosen pendidik tiba-tiba saja melemparkan pernyataan ke arahku.
Saya tidak pernah menyangka hasil test ke kampus tersebut memberikan hasil cukup baik. Seolah dosen tadi menyadari apa yang sedang kupikirkan. Apa bisa seorang gadis kampung yang baru saja keluar dari hutan beradaptasi sekaligus dapat mengerti sistem pelajaran di kampus?
“Apa kau ingin berkeliling kampus terlebih dahulu sebelum pulang?” pria asing.
“Dengan pakaian seperti ini? Lain kali saja” ujarku melihat cara berpakaian antara saya dan orang lain sedikit berbeda.
“Kalau begitu lain kali saja” pria asing.
Pria asing membawaku keluar dari kampus. “Kita mau kemana?” terkejut.
“Membeli pakaian buatmu” pria asing.
“Kau mendapat mobil ini dari mana?”
“Ini mobilku sejak zaman kuliah dulu” pria asing.
“Ternyata kau bersekolah disini” kalimatku.
“Lantas?” pria asing.
“Bagaimana kau membayar uang kuliahku?”
“Kerja serabutan, ngerti?” pria asing.
“Apa itu kerja serabutan?”
“Sejenis manager” pria asing.
“Artinya tangan kanan bos gitu?”
“Seperti itulah, intinya halal” pria asing.
“Saya kurang paham” kalimatku.
“Lupakan!” pria asing.
“Silahkan pilih pakaian yang kau sukai!” kalimat pria asing setelah kami berada di dalam pusat perbelanjaan.
“Saya bisa memakai pakaian seperti ini?”
“Pakaian apa pun selama kau masih bisa menjaga diri dan tidak melewati batas aturan” pria asing.
“Maksud ucapanmu?”
“Pakaian warna-warni dengan kategori sopan, tidak dengan menampilkan lekukan tubuh. Ngerti?” pria asing.
“Saya suka rok jeans, apa boleh kalau hanya ukuran ¾ dari kaki?”
“Bisa, masih masuk kategori sopan” pria asing.
“Kalau celana jeans panjang?”
“Bisa” pria asing.
“Saya ingin memakai dress warna pink sama seperti gadis di luar sana, bisa?”
“Bisa, dress pink gadis itu ukuran tumit kaki” pria asing.
Hal yang selalu saya impikan akhirnya datang. Mengoleksi banyak pakaian dengan warna-warna cerah. Memakai hiasan rambut, topi, sepatu, dan masih banyak lagi warna pink.
“Uangmu habis karena ulahku” menyadari sesuatu hal.
“Baru sadar ya?” pria asing.
“Kalau saya lulus, terus bekerja, nanti uangnya dikembalikan” ucapan terpolos.
“Lupakan!” pria asing.
“Kita mau kemana lagi?” pertanyaan berikutnya setelah berada dalam mobil.
“Toko buku” pria asing.
“Toko buku?”
Dia tidak lagi berbicara. Manusia paling pelit berbicara jatuh pada dirinya. Menyuruhku memilih buku apa saja yang kuinginkan. Menekankan sesuatu terhadapku dalam penggunaan beberapa teknologi di kampus.
Untung saja jarak antara kampus dan tempat tinggal kami tidak terlalu jauh. Saya bisa berjalan kaki ataukah bersepeda menuju kesana. Dia memberiku sebuah sepeda.
“Sepeda baru?”
“Sepeda bekas, tapi masih layak pakai” pria asing.
“Saya tidak tahu mengayuh sepeda” berbicara.
Hal yang terjadi selanjutnya adalah dia membawaku kembali ke taman untuk belajar memakai sepeda. “Coba lagi!” terus mengajariku.
Berulang kali saya terjatuh dari sepeda, tetapi dia terus menyuruh belajar. Gadis yang baru keluar dari hutan membutuhkan waktu lama agar bisa menaiki sepeda. Tangan dan kakiku berulang kali terluka karena terjatuh dari sepeda.
10. Tidak menyerah pada keadaan
Pria asing mengajariku bersepeda selama seminggu lebih. Apa dia menyerah? Diam seribu bahasa, tetapi untuk kesekian kalinya membawaku ke taman...
“Coba lagi” ucapan datar dari pria asing.
“Saya menyerah” ujarku.
“Belajar naik sepeda saja sudah menyerah, bagaimana mau menyuarakan bahasa perempuan kembali” pria asing.
“Coba katakan sekali lagi” kalimatku ingin mendengar pengakuannya.
Dia seolah memberiku lampu hijau untuk kembali berjuang menyuarakan bahasa perempuan. Apa saya salah dengar? Maksud ucapannya tadi?
“Lupakan!” pria asing.
“Belajar lagi. Ngerti?” pria asing.
Belajar bersepeda merupakan tantangan terberat bagi gadis sepertiku yang baru saja keluar dari hutan belantara. Belum mengenal kehidupan modern menjadi gambaran diriku sekarang. Berulang kali saya terjatuh dari sepeda dengan tangan dan kaki terluka.
Tidak menyerah pada keadaan? Apa bisa? Dua kaki ingin mengayuh pada sudut persimpangan. Jatuh bangun ketika tangan berusaha memegang kuat dua stir sepeda tadi. Kenapa juga saya memakai kata kiasan segala disini?
“Berhasil” berteriak senang setelah dua kakiku dapat mengayuh sepeda tanpa terjatuh.
“Akhirnya saya bisa naik sepeda” masih terus mengayuh ...
Pria asing tetap saja menampakkan wajah datarnya. Dia seperti kulkas dua pintu bahkan kelewat dingin. Pelit berbicara terhadap sesuatu yang tidak penting.
“Sekali lagi, terima kasih” berlari memeluk dirinya di tengah umum.
Apa ini melanggar budaya kami? Memeluk pasangan sendiri di depan umum? Bagaimanapun, rasa senang mengudara begitu saja...
“Terima kasih selalu menyalakan pelita di malam gelapku” terus saja memeluk dirinya seolah tidak perduli tentang aturan budaya.
Kami berdua berjalan pulang kembali ke apartemen. “Apa itu kerja serabutan?” pertanyaan terhadap ibu Chani setelah berada di kamar.
“Kerja kuli alias kerja kasar” ibu Chani.
“Kerja kasar?”
“Cuci piring, kuli bangunan, cleaning servis, pekerja pabrik, dan masih banyak lagi” ibu Chani.
“Kenapa nyonya menanyakan kosakata tadi?” ibu Chani.
“Sekedar bertanya” kalimatku.
Ternyata dia berbohong masalah kerja serabutan. Membayar uang sekolahku dari pekerjaan kuli? Di kampung, pria asing dikenal sebagai bos, tetapi disini hanya berperan sebagai pekerja serabutan.
Saya ingin bekerja. Kehidupan disini tidak membatasi perempuan untuk bekerja sambil sekolah. Saya juga ingin seperti gadis lain di luar sana. Apa pria asing akan mengizinkan?
Pada akhirnya, saya mulai menginjak bangku kuliah. “Apa ini?” baru menyadari sebuah kotak kecil berada di atas mejaku di kamar.
“Happy birthday” membaca kartu di tanganku.
Ternyata kotak ini sudah berada di meja beberapa waktu lalu, hanya saja saya tidak menyadari. Terlalu bodoh. Jujur, saya tidak pernah tahu tentang perayaan ulang tahun.
“Siapa menaruh kotak ini?”
“Sepertinya, saya juga kurang tahu” ibu Chani.
“Sebuah bando berwarna pink” ujarku.
“Apa anda suka?” ibu Chani.
“Sangat suka” segera berlari masuk ke kamar pria asing.
Seperti biasa wajah datarnya bermain. “Sekali lagi terima kasih” ujarku berlari memeluknya.
“Karena?” pria asing.
“Lupakan!” kalimatku segera ingin pergi.
“Jangan lupa tutup pintu kamarku!” pria asing.
“Ada sesuatu disana” segera memberi kecupan singkat di wajahnya setelah perhatiannya teralih.
“Keluar!” nada mengusir darinya.
“Saya akan belajar memanggil anda kakak Levi” ujarku sebelum akhirnya berjalan pergi.
Selama ini, saya selalu memanggil dirinya dengan sebutan pria asing. Sesuatu terjadi seiring berjalannya waktu. Saya seolah lupa tentang segala hal yang sudah terjadi ketika dia berjalan dan terus berjuang menyalakan pelita di malam gelapku.
Menjalani masa-masa kuliah sama seperti gadis remaja lainnya. Hidupku masih terus berlanjut, bahkan bergumul di bangku perkuliahan. Rasanya seperti mimpi, dimana saya bebas berbicara sebagai seorang perempuan untuk menyampaikan pemikiranku sendiri di kampus.
Satu lagi, diam-diam saya menjalani kerja part-time tidak jauh dari kampus. Ka’Levi tidak menyadari apa yang sedang kulakukan. Bekerja serabutan sama seperti dirinya merupakan pengalaman terbaik buatku.
Saya memiliki seorang teman baru di tempat kerja. “Namaku Zia” kalimatnya.
“Mari kita bekerja demi sesuap nasi” ucapan Zia terhadapku.
“Kau mengambil jurusan apa di kampusmu?” pertanyaan dari Zia setelah kami beristirahat.
“Ilmu politik” jawaban buatnya.
“Apa kau ingin jadi pejabat?” Zia.
“Entahlah” ujarku.
“Jawaban bodoh” Zia.
“Saya ingin buktikan perempuan juga bisa memasuki dunia politik” kalimatku.
“Memang kenapa?” Zia.
“Entahlah” kalimatku lagi.
“Lupakan bahasa entahlah!” Zia.
“Apa kau ingin mendengar cerita tragis di negaraku?” Zia.
“Tentang?”
“Politik” Zia.
“Biar kau juga memiliki sedikit pengalaman” Zia.
“Memang seperti apa?”
“Di tempatku, memiliki sistem pemerintahan dimana perempuan masih bisa dihargai, sekalipun terdapat beberapa objek tentang permasalahan perempuan” Zia.
“Kenapa kau bercerita masalah perempuan terhadapku?”
“Nada bicaramu tadi, juga seluruh buku bacaanmu hanya berbicara tentang menembus batas dari seorang perempuan. Ada yang salah?” Zia.
“Tidak ada yang salah”jawabku.
“Apa ada masalah lebih parah dari kisah perempuan di tempatku?” pertanyaan buatnya lagi.
“Tentu saja ada?” Zia.
“Tentang?” rasa penasaranku mengudara.
“Pemilihan umum untuk seluruh anggota dewan dari ujung pukul ujung daerah manapun” Zia.
“Memang kenapa?”
“Sistem mereka membuatku depresi dan pusing mengikuti pemilu” Zia.
“Sistem?”
“Bagi siapa saja yang ingin menjadi anggota dewan rakyat pusat dan daerah, silahkan maju menjadi caleg. Intinya memiliki uang yang banyak” Zia.
“Apa itu bermasalah?”
“Jelas bermasalah untuk sistem pemerintahan ke depan” Zia.
“Bisa dikatakan 95% pemilu di tempatku tidak ada yang murni dengan kata lain semua bercerita tentang uang” Zia.
“Menyuap maksudnya biar dapat suara?”
“Betul sekali, seluruh rakyat tentu lebih memilih uang dikarenakan semua kandidat sama saja pada dasarnya yaitu tidak ada yang beres alias kacau balau” Zia.
“Mengerikan sih”...
“Siapapun yang naik tetap begitu-begitu saja, jadi, kesimpulannya adalah rakyat lebih menyukai serangan fajar ketika pemilu” Zia.
“Ini hanya seandainya saja” kalimatku.
“Andaikan dirimu berperan sebagai pemimpin, apa yang akan kau lakukan terhadap peraturan pemilu yang tidak disukai olehmu?” pertanyaanku terhadapnya.
“4 tahun sebelum pemilu sudah harus ada sistem seleksi bagi siapapun yang ingin menjadi caleg dari ujung pukul ujung seluruh pusat dan daerah” Zia.
“Setelahnya?”
“Sistem seleksi yang digunakan juga tidak boleh sembarang, antara mereka sadar dan tidak sadari, ibaratnya tim seleksi harus pintar bermain dan memancing” Zia.
“Mereka akan memasuki sekolah khusus caleg selama 2 tahun ke depan dengan sistem pendidikan yang memang dituntut memperlihatkan ski dan hasil” Zia.
“Lantas?”
“Terdapat beberapa praktek, dimana mengandalkan kualitas berpikir juga sistem penyelesaian tidak biasa, unik, dan tidak hanya pandai berbicara semata” Zia.
“Selanjutnya?”
“Sistem ujianpun, saya lebih menuntut cara berpikir dan kreatifitas inonativ dengan soal lebih kepada kasus” Zia.
“Setelah dinyatakan lulus sebagai kandidat, tentu mereka dilarang keras untuk melakukan kampanye heboh-heboh” Zia.
“Maksudnya?”
“Bayangkan, peringatan keagamaan bisa dikatakan saya kenyang poster atau spanduk wajah caleg sepanjang jalan. Sebenarnya, kita semua mau memperingati hari besar keagamaan atau hari besar caleg?” Zia.
“Saya betul-betul pusing mau pilih siapa tiap pemilu, belum lagi cerita mereka kelewat omong kosong. Setelah terangkat, semua pada lari dan tidak ada yang beres menurutku” Zia.
“Sadis”...
“Menurutku, jauh lebih baik melakukan kampanye pemilu dalam satu wadah saja di media sosial. Kenapa bisa? Selain, permasalahan uang, perselisihan, perkelahian, kejiwaan, dan hal-hal negatif juga bisa diminimalisir terhindar” Zia.
“Banyak hal yang akan terjadi kedepan sehingga sebuah negara terlebih bangsaku sendiri harus berpikir bijak masalah pemilu” Zia.
“Banyak hal yang alan terjadi?”
“Sistem mata uang mungkin, bencana alam, pandemi satu penyakit yang lebih parah dari covid, perang yang memang melibatkan banyak pemimpin-pemimpin dunia terkuat, dan masih banyak lagi. Lantas sebuah negara dituntut untuk bertahan berdiri ditengah objek gila itu” Zia.
“Menakutkan” menarik nafas panjang.
“Permasalahan kecil saja di sebuah daerah seolah mereka hanya memasang dasi semata ke kantor, sedangkan bahasa inovatif dan penyeleaaiannya tidak ada sama sekali. Lantas, bagaimana dengan kehidupan ke depan dengan banyaknya goncangan yang memang saling mempengaruhi?” Zia.
“Antara presiden, wakil, menteri, dan seluruh pejabat daerah termasuk anggota dewan harus ada saling kerjasama satu sama lain. Tidak hanya pandai berbicara semata atau Cuma pasang dasi sekaligus jas kebesaran depan umum” Zia.
“Kau terlihat serius berkata-kata” ujarku.
“Sebenarnya juga sih, masih menjadi dilema bagi seorang pemimpin” Zia.
“Tentang?”
“Hidup di jalan bersih artinya cepat mati dan cari penyakit, sedang di jalan kotor berurusan dengan Tuhan dan hati ya begitulah sekalipun sangat nyaman untuk dijalani” Zia.
“Kalau abu-abu artinya antara hitam dan putih?” Zia.
“Artinya?”
“Cari saja sendiri artinya” cetus Zia.
“Sepertinya di tempatmu masih lebih bagus, dari pada di tempatku jauh lebih menakutkan masalah nuklir” ujarku.
“Jangankan seluruh dunia, sedang kami saja rakyatnya terlebih perempuan ada mati ketakutan karena perbuatan sang pemimpin” kalimatku lagi.
“Kalau dipikir-pikir lagi, tiap negara memiliki masalahnya masing-masing” Zia.
“Btw, kenapa kau ada di negara ini?”
“Lanjut sekolah, cari pengalaman, dan teman-temannya di belakang” Zia.
Ceritaku hari ini adalah saling curhat antara satu sama lain. Kami berdua sedang menjalani kerja serabutan pada salah satu restoran siap saji di sini. Sebuah petualangan sedikit berbeda buatku ketika menjadi seorang mahasiswa dan pekerja serabutan.
“Kau dari mana?” suara ka’Levi tidak seperti biasanya.
Saya tidak lagi memamggilnya sebagai pria asing. Memang betul kalau saya menyembunyikan kerja part time darinya. Perang nuklir siap meledak andaikan ketahuan.
“Dari kampus” jawabku.
“Jangan berbohong” ka’Levi.
“Tuan besar melihat anda bekerja di sebuah restoran siap saji tadi siang” ibu Chani.
“Mati banyak” mengumpat dalam hati.
“Kenapa kau berbohong?” ka’Levi.
“Ka’Levi sendiri berbohong, kenapa tidak pernah sadar?”
“Saya berbohong?” ka’Levi.
“Anda berkata kalau pekerjaan manajer maksudku posisi tinggi di perusahaan merupakan istilah dari pekerjaan serabutan” penjelasanku.
“Pantas saja” ibu Chani tertawa seketika.
“Setidaknya, jangan menganggung beban semdiri, biarkan saya berjalan di sampingmu untuk berbagi bebam” ujarku seketika.
“Saya hanya mau fokusmu sekarang, Cuma belajar bukan hal lain. Ngerti?” ka’Levi.
“Tapi, saya ingin hidup seperti gadis lain, dimana mereka kuliah sambil kerja part time”...
“Kehidupan yang memang selalu kuinginkan sebagai perempuan” kalimat lagi.
11. Tertawa lepas...
Bunyi gemerincing di jalan setapak menyatakan cerita terbaru dari sebuah petualangan. Sepertinya, hujan terhenti beberapa saat ketika tubuh jatuh tersungkur ke tanah. Hai jiwa, apa dirimu tetap saja remuk di sudut persimpangan?
Alunan musik berbunyi seolah mengutarakan bahasa yang memang sulit digambarkan. Serpihan hidup menyatakan jiwa terlihat begitu hancur bahkan tidak lagi mengenali dirinya. Sekali lagi, hai jiwa, bisakah dirimu terlihat tenang tanpa kosakata remuk dan hancur di dalamnya?
“Makanlah!” ka’Levi berjalan masuk ke kamarku.
Kesalahan terbesarku adalah tidak berkata jujur sebagai pasangannya. Saya takut tentang apa yang sedang kulakukan. Dia selalu diam setelah meluapkan sesuatu dalam dirinya.
“Maaf” ucapanku.
“Saya hanya ingin merasakan petualangan sama seperti gadis lain” kalimatku lagi.
“Dasar gadis bodoh” ka’Levi menyentil keningku.
“Apa kakak memberi izin?”
“Izin?” ka’Levi.
“Kerja part time setelah jam kuliah, minimal bisa membantu sedikit keuangan sekalipun tidak banyak” balasku.
“Terserah, tapi kuliahmu harus tetap nomor di depan. Ngerti?” ka’Levi.
“Terima kasih, karena selalu saja berjuang menyalakan pelita di malam gelapku” memeluk kuat dirinya.
“Apa kau bahagia?” tiba-tiba saja dia melemparkan pertanyaan...
“Bahagia” balasku.
“Suatu hari kelak, seorang Ri pasti bisa menjadi pasangan sepadan di alur ceritamu” entah kenapa bahasa itu keluar begitu saja.
“Gadis bodoh” ka’Levi.
“Sebentar lagi saya berusia 18 tahun” ucapan terkacau.
“Memang kenapa dengan usiamu?” ka’Levi.
“Lupakan!”
“Nikmati masa remajamu!” ka’Levi.
Dia selalu memberi berujar dengan kalimat seperti tadi. Nikmati masa remajamu! Bersekolah, kerja part time, berada di perpustakaan, bersepeda, memakai pakaian warna pink, mengoleksi banyak hiasan rambut, tertawa bersama teman-temanku sedang kujalani.
“Saya menyukai dirimu” tiba-tiba saja salah satu teman kampusku menyatakan perasaannya di depan umum di kampus.
Apa budaya sejenis ini memang normal? Memyatakan perasaan terhadap lawan jenis tanpa melihat kondisi dan tempat? Apa yang harus kukatakan? Saya tidak pernah menyangka hal sepertu ini terjadi.
Apa menyatakan perasaan terhadap lawan jenis merupakan bagian dari menikmati masa remaja? Saya seorang gadis remaja dengan status istri orang dan tidak lagi single. Mati banyak....
“Apa kau mau menjadi pacarku?” pria itu memiliki mata biru, jauh berbeda dengan ka’Levi.
“Terima terima terima” seluruh mahasiswa berteriak.
Kesalahan terbesarku adalah tidak pernah jujur dengan statusku sendiri. “Kau pria baik, ganteng, jenius. Di luar sana banyak gadis cantik berebut ingin berjalan di sampingmu” mencoba berkata-kata sedikit halus.
“Maaf sekali lagi maaf” segera berlari pergi.
Bahasa penolakan seorang Ri berkumandang begitu tegas. Sama sekali tidak terpikirkan tentang kejadian seperti tadi. Pantas saja, ibu Chani berkata-kata aneh terhadap ka’Levi awal kedatangan kami disini.
Dia bukan tipe pria cemburuan. Selalu bersikap tenang, bahkan masih saja memberi kepercayaan. Apa dia tidak bisa lepas dari masa lalunya? Apa wanita cantik bernama Hazel masih tersimpan manis di hatinya?
“Kenapa melamun di tempat kerja?” Zia menepuk bahuku.
“Ma ma maaf” baru tersadar kalau saus cabe sudah habis keluar memenuhi lantai karena ulahku.
“Biar saya saja yang bersihkan” Zia.
Beruntung saja bos tidak marah karena ulahku. “Akhirnya kita berdua bisa pulang” Zia.
“Sekali lagi maaf” ujarku.
“Karena?” Zia.
“Kejadian tadi” balasku.
“Lupakan! Btw, bagaimana kalau kita makan ice cream di taman?” Zia segera menarik tanganku.
Kegiatan di sore hari adalah duduk di atas rumput sambil menikmati ice cream rasa vanila. “Sepertinya kau punya masalah” Zia.
“Tidak” berusaha mengelak.
“Jangan memendam sesuatu sendirian!” Zia.
“Apa saya bisa bertanya?”
“Tentu saja”Zia.
“Kalau hidupmu penuh tekanan atau mengalami sebuah masalah, apa kau akan bercerita?”
“Sebenarnya sih, saya tipekal orang yang tidak suka berbagi cerita terhadap siapapun” Zia.
“Karena?”
“Takut makin tertekan, tersebar kiri kanan, dan masih banyak lagi alasan lain” Zia.
“Lantas, kenapa menyuruhku berbagi cerita kalau begitu?”
“Takut saja kalau dirimu kenapa-kenapa” Zia.
“Bagaimana caramu mengatasi sesuatu di dalam dirimu sendiri?”
“Melalui tulisan” Zia.
“Tulisan?”
“Saya akan menjabarkan apa yang ada di dalam pikiranku melalui tulisan. Terlebih ketika saya mendapat tekanan dari orang sekitarku, dan saya merasa tidak bersalah artinya tulisan siap mengudara di depan mata” Zia.
“Wow”
“Minimal sesuatu yang ingin meledak kuat di dalam sana bisa terluapkan. Intinya apa pun yang terjadi biarlah terjadi, setidaknya ruangan disini sedikit jauh lebih baik, dibanding sebelumnya dari pada saya menjadi gila karena terus saja menyimpan” Zia.
“Terkadang juga sih, saya melampiaskan satu kemarahan tanpa sadar terhadap salah satu anggota keluargaku dikarenakan tekanan pergumulan luar biasa, hanya saja orang tidak pernah tahu bahkan anggota keluargaku sendiri sama sekali tidak menyadari” Zia.
“Melampiaskan?”
“Kebetulan, saya memiliki salah satu anggota keluarga dengan pribadi sama-sama keras. Intinya, kebiasaan kami berdua selalu dapat dikatakan spontanitas ketika berbicara dan langsung keluar begitu saja hingga satu sama lain saling menyakiti dengan kosakata kurang baik” Zia.
“Sebenarnya, saya sadar bahwa harus ada yang mengalah, hanya saja karena sesuatu pergumulan yang terpendam hingga terjadilah pelampiasan emosiomal. Kosakata keluar begitu saja, di akhir cerita, mari kita sama-sama saling meledakkan nuklir” Zia.
“Bagaimana dengan orang di sekitarmu?”
“Seperti yang saya katakan tadi, tulisan mengudara, minimal ruang disini merasa jauh lebih baik. Kalaupun mereka ingin menyerang, paling saya akan berkata kalau kehidupanku jauh lebih tertekan dibanding dirimu” Zia.
“Curhatan aneh” tawaku meledak.
“Memangnya apa yang terjadi denganmu?” Zia.
“Dulu saya hampir mati karena ingin bunuh diri beberapa kali” ujarku.
“Kalau saya sendiri takut mati sekalipun banyak tekanan” Zia.
“Saya berpikir, kalau saya cepat mati artinya semua orang yang tidak suka saya akan tertawa sekeras mungkin, berarti hidupku kalah dari mereka semua” Zia.
“Wow” ujarku.
“Jangan berpikir bunuh diri lagi, kalau memang butuh pelampiasan emosional, cari tempat-tempat lain dari pada yang lain!” Zia.
“Contohnya?”
“Menulis untuk meluapkan seluruh emosional terlebih ketika bermasalah dengan seseorang seperti yang kulakukan, minimal ruang hati pecah. Andaikan akan terjadi kontroversi suatu hari kelak, katakan saja saya butuh pelampiasan emosional dari pada hidupku gila, depresi, dan pada akhirnya bunuh diri” Zia.
“Selain itu?”
“Ke pantai mungkin sambil berteriak sekeras mungkin” Zia.
“Selain itu?”
“Jalan mencari hiburan, hanya saja hati-hati jangan melewati batas” Zia
“Jangan melewati batas?”
“Melewati batas itu seperti mabuk, merokok, pakai obat, memiliki pergaulan sesat, membunuh, begitulah melewati batas” Zia.
“Lantas?”
“Jalan ke taman hiburan, makan, membaca, menonton, curhat ma teman kalau memang percaya orang sih atau apa gitu” Zia.
Pengalaman seorang Zia ketika menghadapi satu tekanan. Apa saya akan berbeda darinya? Masing-masing pribadi memiliki cara sendiri untuk melalui lorong menakutkan di sudut persimpangan hidup.
“Kenapa kau menolakku?” tiba-tiba saja seorang pria berdiri di depan kami berdua.
“Apa saya kurang tampan?” ujarnya lagi.
“Apa karena ini kau menjadi murung?” mata Zia tidak nerkedip sama sekali menatap ke arahku.
“Bukan karena dia” jawabku.
“Kenapa menolakku?” pria itu sekali lagi meminta penjelasan.
“Saya sudah menikah, sekali lagi maaf” berusaha menjelaskan.
“Menikah?” Zia hampir tidak percaya.
Pada akhirnya, sang pria tampan mencoba menerima dengan lapang dada. Dia pergi meninggalkan kami dengan wajah lemas tanpa tenaga. Kenapa juga menyukai istri orang? Kalau dipikir-pikir lagi, saya tidak masuk kategori menarik, jika diperhatikan dari segala arah.
“Usiamu baru jalan 18 tahun, lantas?” Zia sepertinya serangan jantung.
“Budaya tiap negara berbeda-beda” ujarku.
“Apa kau menikah karena cinta?” Zia.
“Bukan karena cinta, malahan saya berulang kali bunuh diri karena pernikahan yang tidak kuinginkan” balasku.
“Apa kau ingin bercerai?” Zia.
“Bercerai?”
“Artinya berpisah selamanya” Zia.
“Sepertinya tidak akan kulakukan, karena saya sendiri selalu saja ketakutan kalau-kalau dia pergi” kalimatku.
“Inilah yang dikatakan cinta tumbuh seiring berjalannya waktu” Zia.
“Dia selalu menyalakan pelita di lorong tergelap dari hidupku” ucapanku membayangkan tentang banyaknya memori.
“Berarti virginmu lenyap di usia dini” Zia.
“Jangan khawatir orang-orang disini terbiasa hidup tanpa melihat status virgin seseorang, lagian kau menikah resmi” Zia.
“Dia selalu berkata, nikmati masa remajamu” ujarku.
“Maksud ucapanmu?” Zia.
“Dia tidak pernah menyentuhku” kalimatku.
“What?” Zia.
“Kenyataan hidup” ujarku.
“Apa dia tidak normal? Gadis secantik dirimu, gimana cerita? Wajar saja pria bermata biru mengglepek-glepek”Zia.
“Apa di matamu saya cantik?”
“Tentu saja, 100% sangat cantik, jauh berbeda denganku hidung mancung ke dalam” Zia.
“Pernyataan bodoh”ujarku.
“Lupakan!” Zia.
“Jawab pertanyaanku, apa dia tidak normal?” Zia.
“Suamiku pria normal, bahkan berkharisma” ujarku.
“Lantas?”
“Dia takut menyakiti gadis remaja di depannya” balasku.
“Kau menikah di usia berapa?” Zia.
“15 tahun” jawaban buatnya.
“Pernikahan dini pakai banget, kalau dipikir-pikir organ reproduksi perempuan memang belum matang di usia seperti itu dan tidak sewajarnya dilakukan” Zia menggeleng-geleng kepala.
“Memangnya usia berapa organ reproduksi dikatakan matang?”
“19 tahun, tapi ada baiknya hubungan seksual dilakukan diusia kepala dua” Zia.
“Saya selalu merasa kalau dia menikah denganku, hanya karena ingin melepaskan gadis remaja sepertiku dari belenggu tekanan sang ayah” kalimatku.
“Tekanan ayahmu?” Zia.
“Peraturan, budaya, dan masih banyak lagi tekanan menciptakan serpihan luka di dalam sana” rasa-rasanya saya ingin membayangkan kehidupan masa lalu.
“Lantas, bagaimana kau bisa berada di negara ini?” Zia.
“Dia berusaha melindungiku hingga membawaku keluar, bahkan bekerja serabutan hanya untuk biaya kuliahku” penjabaran cukup panjang.
“Pantas saja, kau menolak pria bermata biru” Zia.
“Rasa-rasanya saya selalu takut, kalau-kalau dia pergi tanpa meninggalkam jejak” ujarku.
“Kau takut ma pelakor, gitu maksudnya?” Zia.
“Pelakor?”
“Zaman sekarang ada istilah dengan arti perebut laki orang” Zia.
“Maksudku, suamimu direbut ma wanita lain. Ngerti?” Zia.
“Di tempatku, tidak mengenal pelakor, melainkan poligami bahkan hal biasa menikahi lebih dari 1 istri” penjabaran terhadapnya.
“Gadis bodoh” Zia.
“Dia memang memiliki masa lalu, terlebih wanita di masa lalu kelewat cantik” bernada lemas seketika.
“Ternyata kau ketakutan juga” Zia.
“Apa yang harus kulakukan? Bagaimana kalau dia benar-benar kembali merangkul masa lalunya? Apa saya harus siap poligami?”
“Jangan mau dipologami bosku!” Zia.
Pernyataan seorang Zia seolah mengajarkan sebuah perlawanam sebagai seorang wanita. Saya berjalan pulang ke rumah sambil merenung tentang percakapan kami tadi. Apa saya bisa kembali menyuarakan bahasa perempuan di negaraku sendiri?
“Nyonya muda dari mana saja?” ibu Chani terlihat khawatir.
“Dari taman bersama teman” ujarku.
“Ka’Levi mana?”
“Biasa lagi baca buku” ibu Chani.
“Dasar kutu buku” menggerutu seketika.
“Sepertinya, saya juga akan kerja serabutan seperti anda” ibu Chani.
“Kenapa?”
“Saya bosan di rumah” ibu Chani.
“Saya membawa ice cream buat anda” menyerahkan kotak ice cream vanila.
Berjalan memasuki kamar si’kutu buku. Dia selalu terlihat serius tiap membaca buku demi buku di tangannya. “Jangan berdiri di depan pintu seolah tidak memiliki semangat hidup!”ka’Levi.
“Sejak kapan la’Levi tahu saya sudah lama berdiri depan pimti?”
“Saya selalu tahu pergerakanmu tanpa melihat”ka’Levi.
12. Apa mimpimu?...
Rasa penasaran menggerogoti diriku seketika. Menarik buku di tangan ka’Levi pertama kalinya dengan sangat berani. Apa dia tahu apa yang sedang kupikirkan?
“Badanmu bau, kembali ke kamar dan mandi!” ka’Levi.
Mendemgar ucapannya tadi membuatku sedikit kesal. Hal selanjutnya yang terjadi adalah membuatnya mencium aroma ketek setelah seharian penuh di luar sana. Apa saya ingin membuat dia marah? Entahlah....
Wajah datar dari pria dingin sejenis kulkas 1000 pintu. Apa saya benar-bemar takut kehilangan dirinya? Diam mbisu melihat kelakuanku menjadi ciri khas dirinya.
“Dasar kulkas 1000 pintu” menggerutu sambil berjalan keluar dari kamarnya.
Kenapa juga rasa penasaran tentang sesuatu mengudara. Apa saya bisa kembali menyuarakan bahasa perempuan? Saya ingin tahu tentang makna ucapannya. Memiliki senjata sebelum berperang?
“Nyonya muda mau kemana?” ibu Chani terkejut melihat tingkahku keluar dari kamar.
“Mau tidur bersama kulkas 2 pintu” ujarku.
“Umur anda baru akan menginjak 18 tahun” ibu Chani.
“Bukannya anda sendiri menginginkan saya sekamar dengan dia” ujarku.
“Maksud ucapan anda?” ibu Chani.
“Saya tidak sengaja mendengar percakapan kalian pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini” kalimatku.
“Kan dulu, bukan sekarang” ibu Chani.
“Tenang saja, saya hanya semalam doang tidur di sampingnya” kaimatku segera berjalan pergi.
“Terserah” ibu Chani.
Saya penasaran dengan semua ucapan ka’Levi. “Saya mau tidur disini, suka ataupun tidak, anda harus terima kenyataan hidup” ucapanku sambil berjalan naik ke ranjang.
“Dasar gadis bodoh” ka’Levi.
Dia segera mengambil selimut dan bantal, kemudian menaruhnya di lantai. “Mau apa?” menatap sarkas.
“Mau tidur di lantai”ka’Levi.
“Apa boleh, sekali-sekali Ri merasakan tidur di samping ka’Levi? Ga usa ngapa-ngapain juga” ujarku.
Dia segera mengangkat kembali bantal dan selimutnya ke atas ranjang setelah diam membisu beberapa saat akibat ucapanku. Pertama kalinya, seorang Ri tidur di samping suaminya sendiri. Apa saya takut kalau-kalau masa lalunya berjalan dan merebut dirinya dari tanganku?
“Apa saya boleh memeluk ka’Levi sambil tidur? Hanya semalam saja” pernyataan bodoh.
“Terserah” ka’Levi.
“Apa saya boleh jujur?”
“Ri ada masalah?” pertama kali memanggil namaku dengan singkatan.
“Saya takut kalau ka’Levi kembali berjalan ke wamita cantik di masa lalu” kalimatku.
“Sepertinya temanmu meracuni pikiranmu di taman tadi” ka’Levi.
“Berarti ka’Levi menguntit pertemanan Ri?”
“Tanpa sengaja, lebih parah lagi pria bermata biru menyatakan perasaannya terhadap Ri di hadapan orang banyak” ka’Levi.
“Ka’Levi tahu juga?”
“Kebetulan seorang dosen langsung menelepon memberitahu kejadian yang sedang terjadi” ka’Levi.
“Ternyata kakak punya mata-mata di kampus” ....
“Tidak juga, hanya aaja dia tahu status hubungan kita berdua dan kebetulan dia sahabatku” ka’Levi.
“Dasar penipu” bermada kesal.
“Kenapa ka’Levi tidak marah atau cemburu gitu?” pertanyaan buatnya lagi.
“Marah tidak akan memyelesaikan masalah, saya pria berkepala tiga dituntut berpikiran bijak terhadap gadis remaja sepertimu” ka’Levi.
“Wajahmu cukup cantik, jadi, wajar saja menjadi incaran” ka’Levi.
“Lantas?”
“Levi Zev percaya Ri, sama seperti Ri harus percaya Levi Zev. Ngerti?” ka’Levi.
“Berarti ka’Levi tidak akan berjalan ke masa lalu sekalipun pernikahan kita berdua tidak didasarkan cinta?”
“Menurutmu?” ka’Levi.
“Saya takut kalau ka’Levi tidak lagi berjuang menyalakan pelita di lorong tergelapku” kalimatku.
“Semua itu tidak akan terjadi” ka’Levi.
“Tapi, ka’Levi dituntut memiliki bayi ma pria tua menakutkan itu” ujarku.
“Nikmati masa remajamu, waktu itu akan datang dengan sendirinya” ka’Levi memeluk kuat tubuhku.
“Sampai kapan?”
“Sampai kau benar-benar siap dan pemikiranmu matang tantang banyak hal” ka’Levi.
“Kenapa?”
“Menurutku cinta tidak bisa didasarkan atas hubungan seks semata, sekalipun satu sama lain memang membutuhkan kosakata tadi. Ngerti?” ka’Levi.
Berarti dia menyukaiku? Rasanya seperti mimpi mendapat pengakuan dari pasangan sendiri. “Artinya ka’Levi tidak lagi mencintai wanita cantik itu dan mulai menyukao diriku?” sangat bahagia.
“Tidurlah, sudah malam! Besok kau harus kuliah” ka’Levi.
Saya benar-benar bahagia mendengar pernyataan ka’Levi. Pernikahan yang memang pada dasarnya tidak didasarkan cinta, namun seiring berjalannya waktu satu sama lain saling mendekap. Pemikiran bijak pria berkepala tiga mengubah banyaknya objek dari seorang gadis remaja pemberontak.
“Apa saya boleh tahu mimpi ka’Levi?” masih berusaha melemparkan pertanyaan.
“Ingin menggenggam sesuatu yang tidak bisa kugenggam” ka’Levi berkata-kata antara sadar dan tidak.
“Dia mendengkur” mendengar satu bunyi kecil di telingaku.
Seperti biasanya, sosok Krisan Bravery sibuk kuliah dan bekerja tiap harinya. Pria bermata biru tidak lagi berjalan ke depanku hanya untuk mencari perhatian. Kenapa saya tidak memiliki cincin kawin seperti kehidupan zaman modern?
Kesalahan terbesarku adalah saya tidak pernah berkata jujur tentang status pernikahan yang sedang kujalani. Apa saya malu? Apa saya ketakutan? Seluruh temanku masih berstatus single, terlebih mereka yang masih berusia belasan tahun. Apa kata mereka nantinya?
Saya ingin mengejar pendidikan tinggi sama seperti gadis lain di negara ini. Memiliki mimpi tentang menembus batas dari seorang perempuan menjadi satu-satunya yang ingin kuraih. Apa itu salah?
“Melamun lagi” tegur Zia setelah jadwal shirt kerja kami selesai.
“Apa mimpimu?” pertanyaanku seketika.
“Jangan tanyakan mimpiku lagi” Zia.
“Memang kenapa?”
“Mimpiku terlalu banyak, saking banyaknya semua pada geleng-geleng kepala ketika menatap ke arahku andaikan bercerita ke mereka” Zia.
“Kenapa?”
“Terkadang, sulit digenggam” Zia.
“Memangnya apa mimpimu?”
“Satu saja yang akan saya ceritakan, ga boleh lebih” Zia.
“Silahkan bercerita!”
“Karena saya berasal dari dunia nakes, artinya hidupku sendiri memiliki mimpi besar terhadap perkembangan dunia medis ke depan di kampungku” Zia.
“Tentang?”
“Perkembangan medis kami masih jauh dari kata standar kualitas internasional, sedang ke depan negara-negara lain akan beralih pada sistem Ai” Zia.
“Saya sendiri masih lebih memilih manusia, dibanding Ai. Kenapa? Manusia memiliki pikiran dan hati untuk berhadapan dengan nyawa, sedang Ai” Zia.
“Dunia modern memang mengalami perubahan terlebih di dunia medis sendiri sih” ujarku.
“Kau akan melakukan apa di bidang medis?” kembali bertanya.
“Andai saya diberi kesempatan, hal pertama yang akan saya lakukan adalah pertemuan seluruh dokter per 4 bulan, baik tiap daerah maupun keseluruhan dari seluruh daerah” Zia.
“Membahas?”
“Membahas kualitas, diagnosa satu penyakit, teknologi, dan sistem perkembangan medis apakah harus mengalami update melalui jalur kolaborasi antara negara ataukah menciptakan sistem sendiri yang memang lebih berkualitas” Zia.
“Saya akan memainkan trik pancing-memancing dalam ruang pertemuan melalui dokter-dokter dan beberapa nakes lainnya yang memang mengerti situasi” Zia.
“Trik?”
“Menyuruh mereka menyimpulkan tentang diagnosa di layar besar dalam pertemuan dengan penanganan berbeda, tetapi berkualitas. Bisa dikatakan sistem pembedahan masing-masing tangan bervariasi, kalau sama artinya mereka tidak ingin berkembang atau mencari tahu, bahkan bersifat pasaran” Zia.
“Kalau perlu, saya akan membawa beberapa mayat ke dalam ruang pertemuan. Kesimpulannya, mereka harus maju satu per satu bernarasi sambil melakukan sistem bedah tentang satu diagnosa penyakit” Zia.
“Kau akan dikecam” ujarku.
“Ada banyak mayat tanpa identitas, tinggal tarik bawah ke ruang pertemuan sebagai bahan lab” Zia.
“Hanya itu?”
“Terkadang, saya akan melakukan siaran langsung terhadap satu pembedahan diagnosa penyakit tertentu dari salah satu rumah sakit yang ditangani oleh beberapa tim gabungan antara dokter dan nakes lainnya di layar besar dalam ruang pertemuan” Zia.
“Lantas?”
“Menyuruh mereka menyimpulkan, entah sistem bedah yang digunakan, ciri khas, bahasa isyarat medis dalam ruang bedah, dan masih banyak lagi melalui lisan maupun sistem praktek bervariasi, alias lain dari pada yang lain” Zia.
“Memang harus ya?”
“Menurutku harus, dikarenakan kualitas medis di tempatku masih sangat terbatas, sehingga harus ada jalan memancing ataukah membentuk skil para nakes” Zia.
“Masih banyak lagi yang ingin kulakukan, hanya saja biarlah tersimpan manis di dalam sana hingga waktu itu tiba” Zia.
‘Dasar” tertawa menatap raut wajahnya.
“Saya juga ingin memiliki lab khusus tentang penelitian banyak diagnosa penyakit, pencarian teknologi-teknologi terbaru di dunia medis, pengobatan, serta farmasi khusus menciptakan kualitas obat terhadap satu penyakit tertentu” Zia.
“Mimpimu kelewat heboh” ujarku.
“Apa kau tahu?” Zia.
“Tentang?”
“Otakku sedang berputar sekarang ini” Zia.
“Tentang?”
“Sebuah alat pendeteksi yang memang harus dipasang di banyak rumah sakit” Zia.
“Ada banyak pasien berjalan ke IGD dengan kesadaran normal, tetapi sebenarnya diagnosa mereka jauh lebih menakutkan dibanding pasien hilang kesadaran jika tidak ditangani dengan cepat” Zia.
“Lantas?”
“Seorang pasien dapat berdiri dalam kotak selama beberapa menit, sehingga sistem pendeteksi dapat langsung membaca kondisi tubuh pasien dari ujung kaki, hingga ujung rambut. Kesimpulannya, akan langsung terbaca melalui alarm lampu 3 warna” Zia.
“Hijau artinya penanganan normal, kuning dimaksudkan untuk berhati-hati sehingga harus menjalani jenis pemeriksaan lebih lanjut, dan merah merupakan alarm harus memberi penanganan cepat melalui pemeriksaan lebih detail. Kenapa? Ada banyak nakes terkecoh masalah diagnosa pasien, dikarenakan datang dengan kesadaram penuh. Terlebih di kampungku, makin kacau dengan mengeluarkan aturan aneh terkait masalah penanganan pasien di IGD” Zia.
“Imajinasi penjelasanmu sungguh panjang kali lebar kali tinggi” ujarku.
“Kau senang berimajinasi yah?” sedikit tertawa.
“Begitulah, ibaratnya, saya yang berimajinasi, sedang tim kerjaku di dunia mimpi yang harus merakit alatnya” tawa Zia meledak.
“Dunia mimpi?”
“Adalah, rahasia ga boleh dibahas kelewat dalam” Zia.
“Sudah sore” ujarku.
“Sampai jumpa besok” Zia berjalan pergi meninggalkan diriku pada akhirnya.
Tiap orang memiliki mimpi berbeda-beda, termasuk diriku. Seorang Zia sedan bernarasi cukup panjang kali lebar kali tinggi tentang salah satu mimpinya. Lantas, bagaimana denganku?
Saya ingin menjadi seorang pemimpin dengan menembus batas pintu dari kemustahilan bagi kaum perempuan. Apa yang salah dengan mimpiku? Menggenggam sesuatu objek yang memang sulit untuk digenggam?
“Anda sudah pulang?” ibu Chani menyambutku di depan pintu.
“Apa mimpimu?” pertanyaan seketika terhadapnya.
“Mimpi?” ibu Chani.
“Tolong jelaskan mimpi anda!”
“Melihat anda dan tuan besar memiliki seorang bayi lucu, kelak” ibu Chani.
“Ini bukan mimpi, tapi menyindir” menggerutu ke arahnya.
“Sejak semalam dia terus bertanya mimpi” ka’Levi menggeleng-geleng kepala.
“Kan saya juga penasaran” jawabanku kembali.
“Sudah berapa orang?” ka’Levi.
13. Curahan Hati...
Bisa dikatakan rasa penasaran terhadap sebuah kalimat membuatku melemparkan pertanyaan. Apa salah? Menembus batas dari seorang perempuan sedang ingin kujalani...
“Berapa orang?” pertanyaan balik...
“Hasil wawancaramu tentang mimpi” ucapan datar ka’Levi.
“Ada 3 orang” spontan menjawab.
“Apa anda ingin menjadi jurnalis?” ibu Chani.
“Entahlah” menggerutu kesal sambil berjalan masuk ke kamar.
Mandi, makan, mengerjakan tugas kampus, dan membaca buku merupakan rutinitasku setelah seharian berada di luar. Ibu Chani sudah mempersiapkan makan malam hingga saya tidak lagi berada di dapur. Kapan saya kembali menjadi sosok yang akan meneruskan perjuangan Shana?
Saya hanya tidak memiliki senjata hingga tubuhku diam membisu seolah berlari dari mereka semua. Bisa dikatakan, semua temanku meninggal dan tinggal saya yang tersisa. Seorang perempuan juga memiliki hak untuk menjadi pemimpin di masa sekarang ataukah ke depannya.
“Apa saya boleh tidur sekali lagi disini?” segera memasuki kamar ka’Levi.
“Apa kau mau wawancara masalah mimpi lagi? Sampai-sampai ngotot tidur disini” ka’Levi.
“Lagian ka’Levi suaminya Ri, memang ada yang salah?”
“Sepertinya tidak ada yang salah” ucapan datar ka’Levi.
“Terakhir kali, ngerti?” penekanan ka’Levi.
“Memang kenapa kalau saya tidur lagi disini?”
“Apa kau mau memiliki bayi sebelum waktunya?” ka’Levi. Wajahku seketika berubah menjadi merah padam. Kenapa juga bercerita kacau seperti tadi...
“Saya hanya bercanda” ka’Levi.
Diam mematung menatap wajahnya. Dia pria normal dengan sejuta bahasa misterius di wajahnya. Apa saya keluar saja dari kamar?
“Kemarilah!” ka’Levi.
“Apa yang ingin ka’Levi lakukan? Setidaknya gunakan pengaman” ujarku seketika.
“Dasar gadis bodoh” melempar bantal ke kepalaku.
“Kau pikir hubungan sex segampang itu? Usiamu masih terlalu remaja, jangan berpikir gila!” ka’Levi.
“Ka’Levi ga marah?”
“Saya bisa saja memakan dirimu sejak dulu, hanya saja pria berkepala tiga sepertiku tidak ingin menjadi sama seperti singa kelaparan. Ngerti?” ka’Levi.
“Apa ka’Levi memang tidak normal sebagai pria?” bergumam pelan.
“Semua butuh waktu, pemikiranmu tentang sex belum matang, bahkan usiamu belum saatnya memasuki kosakata tadi” ka’Levi.
“Apa saya bisa memeluk sambil tidur ka’Levi seperti yang kulakukan semalam?”
“Kemarilah!” ka’Levi.
Segera berbaring di sampingnya sambil tersenyum. “Katakan apa yang sedang kau pikirkan!” pelukan ka’Levi benar-benar hangat.
“Sepertinya kakak tahu maksud dan tujuanku tidur disini” ujarku.
“Ingin curhat 7 keliling, mungkin” ka’Levi.
“Saya ingin menerobos batas pintu kemustahilan” mulai berkata-kata.
“Apa bisa?” pertanyaanku kembali.
“Bisa saja tergantung persiapan senjata di tanganmu dan bagaimana kau terus berjuang dengan cara berpikir bijak” ka’Levi.
“Dari pertanyaanmu tadi, bisa disimpulkan kalau kau ingin kembali menyuarakan bahasa perempuan” ka’Levi bisa menebak pikiranku.
“Saya ingin melawan ketidak-adilan terhadap perempuan, apa boleh?”
“Perlengkapi senjata dalam dirimu terlebih dahulu, terlebih kau masih terlalu muda, nikmati masa remajamu!” ka’Levi.
“Kenapa?”
“Kehidupan remaja hanya sekali dan tidak akan datang yang kedua kali, terlebih ketika kau sudah memiliki bayi suatu hari nanti” ka’Levi.
“Tapi, sampai kapan saya harus menunggu?”
“Setelah senjatamu dinyatakan lengkap, pemikiran matang, dapat berpikir bijak, fisik-mentalmu kuat. Ngerti?” ka’Levi.
“Kapan?” bernada kesal.
“Mungkin saja, kau dapat menyuarakan bahasa perempuan secara halus melalui medsos atau tulisan, sambil menunggu waktu tepat untuk dirimu memulai sebuah peperangan” ka’Levi.
“Memang boleh?” bersemangat seketika.
“Tapi, perlahan demi perlahan dan harus bijak ketika melemparkan sebuah objek. Bukan hanya nyawamu saja yang terancam, tetapi orang terdekatmu semua orang di sekitarmu juga akan menjadi senjata sasaran empuk mereka” ka’Levi.
Pantas saja, dia selalu berkata-kata seperti tadi, ternyata ada begitu banyak objek menakutkan di depan siap memangsa tanpa jedah iklan. “Sudah malam, tidur sana!” ka’Levi.
“Tapi, ka’Levi harus tetap memeluk Ri”...
“Berhenti berbicara, tidurlah!” ka’Levi menepuk-nepuk punggung belakangku hingga pada akhirnya saya tertidur lelap dalam pelukannya.
Perjalanan panjang sekitar lika-liku kehidupan tertawa keras di depan. Apa dua kaki dapat berjalan ataukah berlari mencari garis finis yang memang terbungkus oleh banyaknya puzzle? Hai jiwa, mengapa dirimu begitu remuk tanpa kekuatan pada sudut persimpangan? Selalu saja, puzzle-puzzle itu mempermainkan banyak objek...
“Ri, apa kau sudah makan?” tegur seseorang.
“Belum”
“Seperti biasa, sosok Ri lagi bergulat dengan pikirannya sendiri” Zia berteriak keras.
“Cuma bilang belum, lantas?”
“Entahlah” Zia.
Hidup mengajarkan saya untuk menarik nafas panjang, kemudian buang jauh-jauh. Btw, apa yang kuinginkan ketika berjalan? Saya menginginkan petualangan saja tentang menembus batas kemustahilan pada sudut persimpangan.
“Apa saya boleh bertanya?”
“Tentang?” Zia.
Mencoba menjelaskan apa yang sedang ingin kulakukan. Bercerita tentang dunia mimpi terhadap rekan sekerjaku. Saya hanya ingin mencari makna defenisi dari menggenggam sesuatu objek di dalam pintu kemustahilan.
“Kesimpulan ceritamu berkata, kau ingin mendobrak, hanya saja kekuatanmu jauh dari kata standar, bahkan terlalu lemah” Zia.
“Apa yang harus kulakukan?”
“Ucapan suamimu memang betul, kau harus memiliki senjata” Zia.
“Ada banyak objek yang akan kau hadapi, bahkan terkadang sesamu kaum perempuan juga akan menyerang dirimu kelak, sekalipun maksudmu baik” Zia.
“Apa saya memang akan dinyatakan kalah pada akhirnya?”
“Fisik mentalmu harus siap, belajar dari pengalaman sebelumnya” Zia.
“Saya ingin membuktikan seorang perempuan dapat menembus lebih dari pemikiran mereka” berkata-kata...
“Apa kau ingin mendengar cerita pengalaman hidupku?” Zia.
“Apa pengalaman hidupmu terkesan menakutkan?”
“Antara ya dan tidak” Zia.
“Saya seorang dengan karakter keras sekaligus spontanitas, bahkan seseorang menyebutku otoriter” Zia.
“Lantas?”
“Ketika berada di suatu lingkup pekerjaan, hampir semua teman-temanku muak bahkan membenci kepribadianku menjadi gambaran hidupku” Zia
“Pada dasarnya, saya tidak perduli mereka ingin berteman atau tidak, bodoh amat” Zia.
“Kau tidak takut tidak memiliki teman?”
“Saya dengan kepribadian yang memang dasarnya tidak suka keramaian, bahkan memiliki pertemanan bisa dikatakan hitungan jari, artinya hidupku aman-aman saja tanpa mereka” Zia.
“Penasaran?”
“Diam-diam berjuang menciptakan prestasi luar biasa tanpa harus digembar-gemborkan, singkat cerita semua pembenciku malu 7 keliling suatu hari nanti” Zia.
Seorang Zia menjelaskan, musuh kiri kanan siap memangsa kalau keseleo berujar, hanya saja dirinya akan spontan berbicara begitu saja ketika situasi menekan terjadi, sekalipun menciptakan alur kebencian. Manusia sejenis Zia merupakan tipikal orang yang tidak akan pernah mengumbar apa pun tentang hidupnya. Tidak ada yang salah dengan karakter keras, spontanitis, kasar, dan beberapa hal lain menurutku. Membuktikan sebuah prestasi luar biasa di dalam diam. Orang di sekitar memang selalu berpikiran negatif tiap menatap ke arahnya, akan tetapi sepertinya dia tidak perduli sama sekali.
Dia bercerita tentang tim kerja yang diinginkan dirinya harus mengalami sebuah proses paling mematikan. Sepertinya dia memiliki pengalaman membentuk tim kerja sedikit berbeda. “Hanya orang bermental baja saja yang bisa bertahan di sampingku. Penekanan terhadap timku jauh-jauh hari sebelumnya adalah harus dapat menerima dengan lapang dada sifat keras sekaligus spontanitas dalam diriku” ucapan Zia dengan nada serius.
“Orang lembek, awam, mudah iri hati, dan beberapa karakter lain memang akan mencibir 7 keliling” Zia.
“Karakter tiap orang berbeda-beda” ujarku.
“Kalau boleh jujur, terkadang saya juga ingin berubah, hanya saja spontanitasku keluar begitu saja hingga mereka bermuka judes ke arahku. Rasa capek dan lelah juga membuat hidupku tertekan sewaktu-waktu” Zia.
“Lantas?”
“Seolah Tuhan memperlihatkan beberapa objek di depanku” Zia.
“Masih banyak orang hidupnya jauh lebih pedis dibanding dengan apa yang sedang kualami sekarang” Zia.
Dia berkata, tentang seorang ibu berjuang dengan kehidupan anak-anaknya yang tidak normal. Semua anaknya menderita autisme. Apa kedua orang tuanya pernah melakukan sebuah dosa besar hingga tidak satupun anaknya berada pada kategori normal. Seorang ayah tiri memperkosa anak sambungnya usia 3 tahun, apa ini dikatakan hidup? Luka itu tertanam kuat di dalam sana.
Sebuah keluarga sedang bertarung hebat oleh banyaknya objek pertengkaran, ekonomi, dan pergumulan lain di sekitar alur cerita mereka. Ayah membunuh istri di depan anak-anaknya hanya karena alasan tidak masuk akal. Ibu membakar suami dikarenakan sebuah luka menakutkan sedang berperang begitu kuat hingga menyatakan kekalahan bagi dirinya. Ingin berteriak juga serba salah. Perjalanan hidup tiap orang berbeda-beda.
“Ri harus siap berhadapan dengan banyak karakter kalau ruang hatimu ingin menembus satu pintu terkuat” Zia.
Tetaplah kuat apa pun yang terjadi sekalipun semua orang tidak menyukaimu! Apa saya akan berhadapan dengan banyak objek yang memang akan melemparkan cibiran? Kelompok perempuan dengan kondisi sama sepertiku, akan berbalik menyerang?
“Fisik mentalmu memang harus siap, terlebih kau akan berhadapan dengan kelompok-kelompok menakutkan” Zia.
14. Curahan Hati 2...
Dua bola mata sedang mencari sebuah jarum diantara timbunan jerami. Sesuatu yang sulit kuungkapkan, sepertinya akan diam membisu untuk sementara waktu di dalam sana. Memiliki selengkap senjata untuk berperang? Apa saya siap dengan pemikiran negatif orang banyak termasuk golongan perempuan terhadapku?
“Apa lagi yang sedang kau pikirkan?” Zia melempar pertanyaan.
“Entahlah” ujarku sambil meneguk segelas air putih.
“Saya ingin bercerita kembali, maksudku, sedikit pengalaman hidup” Zia menarik kursi untuk duduk di sampingku.
“Pengalaman hidup?”
“Dulu, saya bekerja di sebuah pedalaman pada salah salah satu layanan fasilifas kesehatan pemerintah” Zia memulai berbicara.
“Lantas?”
“Faskes tempatku bekerja memiliki management berantakan alias hancur 7 keliling, entah dikarenakan SDM ataukah objek lainnya” Zia.
“Saya sadar waktuku tidak akan lama bekerja di tempat tersebut dikarenakan sebuah alasan suatu hari kelak, sehingga dua tanganku berjuang keras untuk mencoba melakukan perbaikan management di semua ruang” Zia.
“Apa yang terjadi selanjutnya?”
“Karakter menyerang ke semua arah hingga mengeluarkan bahasa kasar sering kulakukan hingga menyatakan hampir semua tidak menyukai diriku bahkan ingin memakanku sejadi-jadinya” Zia.
“Akhirnya?”
“Obat menumpuk hingga expayer terlebih vitamin, masalah laporan, pemberian terapi obat semacam tidak memiliki pengalaman padahal sekolah ners lebih dari sekolahku, pengisian RM seolah tidak ingin mengambil pusing, dan masih banyak lagi” Zia.
“Lanjut!”
“Pada dasarnya maksudku baik bukan untuk menguasai semua ruangan ataupun gila urusan terhadap semua objek di faskes tersebut. Saya tahu pasti, kalau dua kakiku tidak akan lama berada di tempat itu sehingga dengan karakter keras ataukah ambisi ingin menata setidaknya menjadi lebih baik sebelum meninggalkan tempat tersebut” Zia.
“Apa yang terjadi setelahnya?”
“Saya dicibir, dibenci, andaikan setitik saja kesalahanku didapat pasti sudah dicincang-cincang halus terlebih sebagian besar teman-temanku memiliki karakter pemalas di tempat itu. Pokoknya, nasehat 7 keliling mengudara buatku seorang dan hanya saya yang salah” Zia.
“Apa sesakit itu?”
“Bayangkan harga diriku jatuh hanya karena menulis pesan di grup, vitamin dapat membuat tidur nyenyak, dan di akhir cerita sekelompok manusia menyerang habis-habisan” Zia.
“Vitamin membuat tidur nyenyak?”
“Dikarenakan terlalu banyak vitamin menumpuk hinggga expayer di ruang farmasi, saya tidak tahu cara agar mereka menyelipkan vitamin terhadap pasien” Zia.
“Sebenarnya sih, semua berawal dari cerita laporan rekam medis” Zia.
“Rekam medis?”
“Belajar dari pengalaman sebelumnya masalah pelaksanaan akre yang memang harus dijalani oleh seluruh faskez sekali dalam beberapa tahun” Zia.
“Lantas?”
“Karena management sebelumnya buruk, sehingga pengisian rekam medis tidak pernah dilakukan, jadi, penulisan data tadi dikerjakan manual sepanjang malam sampai hari H tidak ada yang tidur. Terjadilah pertengkaran kiri kanan akibat salah satu masalah seperti ini” Zia.
“Pada akhirnya, saya menekankan pengisian data rekam medis harus dilakukan dan jangan hanya berpatokan pada buku anamnesa semata” Zia.
“Terus!”
“Mereka masih belum mengisi karena alasan abcd, yang pada akhirnya saya buat online dan harus diisi apa pun yang terjadi. Kesalahan saya memang memgancam, tidak akan memberi penilaian terhadap kinerja mereka kalau tidak mengisi data tadi” Zia.
“Bagaimana kisah selanjutnya?”
“Bisa dikatakan semua memakai link termasuk penomoran surat, masalahnya saya selalu ditelepon hanya karena masalah seperti ini. Akhir cerita, hampir semua dibuatkan link sederhana sih, minimal sedikit membantu management faskes” Zia.
“Karena masalah dana terbatas dan permasalahan listrik/ jaringan, sehingga saya hanya memakai link manual saja untuk pengisian data yang harus diisi masing-masing shift ketika berada di kota” Zia.
“Hubungan dengan vitamin tadi?”
“Suatu hari, saya menekankan pengisian data ma sekelompok yang kebetulan satu shift denganku” Zia.
“Akhir cerita?”
“Mereka memasang wajah menolak mengisi data laporan, yang pada akhirnya saya harus turun tangan mengisi padahal pekerjaanku banyak” Zia.
“Saya makin kesal ketika membaca buku anamnesa tentang terapi pemberian obat. Anak bayi usia 2-3 bulan jatuh diberi vitamin syrup, sedang orang dewasa tidak diberi vitamin” Zia.
“Dan terjadilah perselisihan?”
“Begitulah. Saya juga tidak pintar-pintar banget, hanya saja sampai seperti itu cara berpikirnya. Saking kesalnya, saya langsung masuk menerobos grub faskes tanpa permisi ma atasan terkait masalah ini, supaya konsultasi ketika pemberian obat kalau ada yang tidak ditahu, juga selipkan vitamin buat pasien” Zia.
“Akhirnya?”
“Terjadilah perselisihan hebat di grub hingga harga diriku jatuh berkeping-keping hanya karena bahasaku yang menyatakan vitamin dapat membuat tidur nyenyak dan mereka menuntut mencari artikel penjelasan kata tadi” Zia.
“Sang dokter masuk bercerita bagaimana dengan orang gemuk, bahkan ada juga pernyataan mengatakan kalau begitu kasih minum ctm saja” Zia.
“Artinya?”
“Setahuku, hanya beberapa orang saja dengan kondisi tubuh gemuk ataukah mengalami gastritis” Zia.
“Selain masalah gemuk, ada juga penyakit lain seperti gastritis gitu hingga mereka tidak mau menyelipkan vitamin?”
“Begitulah. Pada hal dokter dan pemerintah menyarankan harus minum vitamin ketika pandemi satu penyakit internasional. Apakah ada update terbaru masalah vitamin? Harusnya pemerintah menghentikan pengiriman vitamin kalau seandainya merusak tubuh” Zia.
“Kau benar-benar kacau” ujarku.
“Salah satu hal terumit lagi adalah saya selalu berselisih dengan apoteker kontrak di sana” Zia.
“Memang karakter apoteker itu seperti apa?”
“Dia pandai berbicara, halus, lembut, jadi kalau bermasalah jelas saya yang harus disalahkan karena memang mulutku suka menekan sesuatu hal” Zia.
“Memang apa yang dia lakukan?”
“Bayangkan obat expayer dibiarkan di ruang gudang obat. Entah kemasukan angin apa sampai dia mengumpulkan seluruh obat expayer disatu tempat” Zia.
“Lantas?”
“Hal lebih gila lagi adalah menaruh obat expayer itu di ruang terbuka dekat loket pendaftaran dan ruang pertemuan selama berbulan-bulan, alias tempat keluar masuk orang. Sejak awal, saya sudah katakan supaya segera buatkan berita acara dan pemusnahan” Zia.
“Terus?”
“Dia Cuma bilang iya dan iya, tetapi sampai sekarang obat expayer makin menumpuk di ruang terbuka, padahal gajinya dia sangat tinggi dari pemerintah” Zia.
“Lanjut!”
“Entah kemasukan apa hingga obat expayer itu sudah ga ada. Selidik demi selidik, ternyata petugas kebersihan pergi membakar sendiri obat tadi di bak” Zia.
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Saya sedikit memancing untuk mencari jawaban ma teman yang kebetulan shift kerja dengannya. Ternyata, cleaning servis sudah berulang kali mengajak untuk membakar obat tersebut, jawabannya Cuma iya dan iya, tetapi tidak bergerak” Zia.
“Pada akhirnya, Cleaning servis mengambil keputusan sendiri membakar obat-obat expayer tadi. Singkat cerita tidak ada berita acara, dokumentasi, ataukah data-data pemusnahan obat” Zia.
“Wow”...
“Cleaning servisnya tidak salah sama sekali, kesalahan terbesar ada sama apoteker kontrak tadi” Zia.
“Pernah suatu ketika, dia berkomentar agar seluruh petugas yang mengambil obat menulis stok obat pada kertas obat. Namanya juga juga kata malas mengudara, jadi saya rasa sulit untuk dilakukan” Zia.
“Terus?”
“Karena otak saya masih berpikir untuk memperbaiki management, jadi saya buatkan link stock obat berbekal pengalaman kerja di salah satu toko. Pokoknya lengkap dengan rumus. Sistemnya juga obat keluar masuk baik dari pasien, pustu, gudang farmasi, expayer, pemakaian masing-masing ruang” Zia.
“Lanjut!”
“Singkat cerita, kemungkinan dia pikirannya negatif ma saya sampai sekarang tidak dibuat. Lebih kacau lagi, mengeluh pihak pustu mengambil obat tanpa pemberitahuan. Akhirnya, saya sarankan buat form pengambilan obat dan mereka harus tanda tangan” Zia.
“Apa yang terjadi?”
“Namanya juga sebagian kurang memahami IT, jadi kita yang tahu mencari jalan keluar. Sampai dunia kiamat form pengambilan obat tidak dibuat. Akhir cerita, saya yang buatkan dan print banyak dengan tujuan menata mangement sebelum meninggalkan faskes itu” Zia.
“Justru sebaliknya?”
“Saya tercincang-cincang, dimakan secara halus kasar, dihabisi 7 keliling, padahal maksudku baik sekalipun bahasaku tidak bisa berkata lembut” Zia.
Saya tertawa keras melihat ekspresi Zia bercerita pengalaman hidupnya. Ternyata, hidup dia sama stressnya dengan hidupku. Minimal, saya memiliki teman sejati...
“Kalau orang disekitarku menilai hanya dari luar antara saya dan apoteker tadi, tentu semua akan membela dirinya” Zia.
“Kenapa bisa?”
“Wajahku terlihat nenek lampir terlebih bahasaku kasar mengenaskan jauh terbalik dengan dirinya” Zia.
“Memang dia terlihat seperti apa?”
“Wajahnya selalu terlihat lemah, bahasanya lembut, tidak jahat, pokonya sangat pandai memainkan sesuatu” Zia.
“Dia sangat pandai membaca sesuatu, kalau ada masalah sengaja melapor ke salah satu orang penting di atas dengan bahasa paling bijak, hingga saya yang dipersalahkan” Zia.
“Bahasa bijak?”
“Minta maaf sebelumnya, kakak sebagai pengantara antara saya dan dia bla bla bla” Zia.
“Sepertinya memang benar-benar memancing emosimu”...
“Pernah suatu kali, salah satu grup di medsos menegur beberapa faskes yang belum mengisi laporan logistik melalui salah satu aplikasi terbaru dari farmasi kabupaten. Awalnya, saya diam karena berpikir bahwa dia akan mengerjakan” Zia.
“Terus?”
“Singkat cerita, tahu-tahunya dia tidak buat. Saya pada akhirnya mengisi laporan aplikasi tersebut dengan meminta user name dan sandi. Kalau dipikir-pikir lagi, pekerjaan ini tidak sulit, hanya saja seandainya saya memasukkan nama sendiri ke dalam seolah ingin menguasai semua area” Zia.
“Lantas?”
“Beberapa bidang terkait meminta nama yang akan memegang aplikasi tersebut, akhir cerita nama orang lain saya masukkan bukan dirinya. Entah bagaimana cerita hingga terjadi sedikit perselisihan” Zia.
“Selanjutnya?”
“Saya memasukkan nama si’A dengan alasan dia hampir memegang beberapa program yang berhubungan dengan logistik setelah berkomunikasi dengan atasan. Intinya, terjadi sedikit kesalapahaman dan perselisihan di grup faskes terkait penunjukan tadi” Zia.
“Lantas?”
“Tanpa sengaja dia mendengar ucapanku yang berkata jengkel bla bla bla di tengah jalan melalui saluran telepon. Saya ada komunikasi di tengah jalan dengan si’A yang namanya kutulis sebagai penanggung jawab aplikasi. Bagaimana tidak, saya bilang jengkel masalahnya kenapa waktu admin grup sudah berteriak beberapa kali pengisian laporan kau tidak berusaha untuk mengisi atau bertanya cara penggunaan aplikasi?” Zia.
“Sadis juga”...
“Saya juga tidak tahu kalau si’A lagi berkomunikasi ma dia melalui telepon, setelah diberi kode, jadi, ya sudahlah. Singkat cerita, dengan bahasa paling bijak dia curhat terhadap salah satu orang penting di faskes” Zia.
“Selanjutnya?”
“Hal paling gila lagi adalah masih terjadi komunikasi di grup faskes terkait aplikasi tadi. Lantas dengan bijaknya dia berkata, sebenarnya sih memang harus orang farmasi yang pegang aplikasi ini bla bla bla dengan tatanannya benar-benar sangat lembut tanpa dosa” Zia.
“Bagaimana reaksimu selanjutnya?”
“Antara ingin mengamuk, tetapi masih berusaha menahan diri sejadi-jadinya. Ucapan dia memang benar, hanya saja beberapa alasan diantaranya komtrak kerja dirinya tinggal setahun saja kalau sudah pergi yang repot orang faskes, dan cara dia bekerja menjadi alasan, belum lagi waktu pihak gudang sudah berteriak beberapa kali masih diam seribu bahasa” Zia.
“Jadi, alasanmu tidak menunjuk karena hal tadi?”
“Bayangkan saja obat expayer ditumpuk habis-habisan di ruang terbuka. Ada kasus lain lagi yang paling menyebalkan dibuat olehnya” Zia.
“Kasus apa lagi?”
“Saya sudah beberapa kali mencari laporan fisik ampra obat dari gudang untuk faskes, ternyata dia Cuma kirim melalui Wa dalam bentuk file. Jelaslah orang gudang tidak mau print karena kemungkinan mereka juga sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Seharusmya laporan ampra obat dibuat beberapa rangkap dalam bentuk fisik, sehingga ketika pihak gudang mengantar obat, maka laporan tadi akan kembali diberikan umtuk faskes 1 rangkap bersama berita acara” Zia.
“Lantas?”
“Saya mencari, begini dia kirim ke saya laporan amburadur. Ternyata sudah beberapa kali terjadi, pihak faskes tidak mengetahui jenis dan berapa jumlah obat yang diberikan oleh gudang karena ulahnya. Dia ini benar-benar munafik, licik, sekaligus pemalas kalau dipikir-pikir lagi” Zia.
“Jadi, tiap dia berbicara banyak orang membela dirinya?”
“Apoteker terparah” ujarku.
“Lebih kacau lagi adalah saya ditegur habis-habisan ma gudang farmasi kab, dianggap mengambil alih pekerjaannya dia. Padahal kenyataan di lapangan, dimana saya berjuang keras untuk tidak lagi berurusan dengan dirinya” Zia.
“Artinya dia melapor” kalimatku.
“Sepertinya, kebetulan saya sedang mencari saleb yang memang dibutuhkan, sedangkan tidak ada konfirmasi terhadap dia dan memang kesalahanku, hanya saja saya betul-betul butuh terkait penyakit tertentu di tempat kami” Zia.
“Kenapa kau tidak berkomunikasi sebelumnya?”
“Dengan cara dia yang seperti itu, sedang saya butuh secepatmya. Kemungkinan juga, dia sudah bercerita halus terhadap mereka kalau pekerjaan semua diambil alih olehku, padahal kenyataannya tidak seperti itu” Zia.
“Berarti kau mendapat ceramah habis-habisan?” tawaku meledak.
“Begitulah. Pokoknya, kalau saya diteriaki, direndahkan depan umum, dimaki, ditegur keras selalu saja berasal dari dirinya di beberapa tempat. Percaya atau tidak memang itulah yang terjadi” Zia.
“Wow”...
“Sampai pada akhirnya, saya harus mengubur keinginanku dalam-dalam dan mencoba bersikap cuek” Zia.
“Selanjutnya?”
“Saya akhirnya menyadari, kalau tidak semua keinginan itu bisa diraih sekalipun dua tangan bermaksud baik. Singkat cerita, saya belajar untuk bersikap cuek dan tidak lagi berambisi ingin menata management di tempat tersebut” Zia.
“Ceritamu lucu” tertawa keras.
“Terdengar seperti sebuah tantangan, hanya saja sepertinya saya harus belajar bersikap cuek. Lagian, saya juga tidak akan lama bekerja disana” Zia.
“Apa mereka tahu rahasiamu?”
“Mereka tidak pernah tahu sama sekali, saya tidak pernah bercerita apa pun terlebih mengumbar hingga sedetail-detailnya sisi hidupku di tempat tersembumyi. Mereka paling tertawa kalau saya berkata tidak akan lama menjadi tim di faskes tersebut” Zia.
“Kacau”
“Mereka berpikir kalau sampai akhir hidup, saya akan bekerja di faskes itu, padahal sebenarnya hidupku mengalami sebuah kejadian dan tentunya dua kakiku tidak akan lama berpijak disana” Zia.
“Justru berita itu kalau diceritakan, tentu membuat mereka senyum riang gembira karena tidak ada lagi iblis paling mematikan di faskes ini” Zia.
“Wow”...
“Saya Cuma mau bilang, tidak semua hal bisa dijalani sama seperti pengalaman hidupku tadi. Kalaupun diraih semua butuh proses panjang” Zia.
“Sepertinya saya harus belajar bersikap cuek juga kalau begitu” ujarku.
“Apa kau tahu? Diantara mereka terdapat seseorang kalau berjalan seolah tidak memiliki semangat hidup, pokoknya menyebalkan. Terkadang saya berdosa karena berkata-kata dalam hati” Zia.
“Berkata apa?”
“Kenapa kau tidak mati saja” Zia.
Saya tertawa keras mendengar ucapannya. “Dia macam kesulitan bergerak, malas, suka ngoceh anehlah, kalau saya berujar sesuatu pasti dirinya makin ingin memakan diriku sejadi-jadinya” Zia.
“Sesuatu banget” ujarku.
“Kebetulan dia pegang program salah satu penyakit menular. Dia tidak pernah bisa mencari sample, padahal banyak kasus yang dicurigai mengarah pada diagnosa penyakit tersebut. Ganti pemain juga tidak menyelesaikan masalah menurutku” Zia.
“Pengambilan sample?”
“Pengambilan sample memang harus dilakukan pagi hari, kemudian dikirim ke kota karena alat di faskes tidak ada dan listrik belum masuk, tetapi bisa kirim pot sore hari atau ketika kegiatan pusling berjalan, memang dasarmya dia tidak ada semangat hidup” Zia.
“Terus?”
“Pemerintah memang menganjurkan dana khusus program ini dilebihkan, hanya saja dengan peristiwa sekaligus karakter seperti ini, tetap tidak akan ditemukan kasus penyakit tersebut yang sebenarnya banyak menyebar. Singkat cerita ya begitulah, serba salah juga karena saya sudah masuk menyerang lebih dalam” Zia.
“Dia makin ingin memangsa hidup-hidup diriku” Zia.
“Raut wajahmu terlihat histeris”...
“Gimana tidak terlihat kacau kalau membayangkan wajahnya saja sudah gimana-gimana gitu” Zia.
“Kepala faskesmu sendiri, gimana?”
“Kepala faskesku tidak menyalahkan kelakuanku karena memang saya dijadikan tangan kanan” Zia.
“Artinya kepala faskesmu memang percaya akan skilmu”...
“Kepala faskesku memang baik, sampai-sampai ada yang bilang kalau beliau sudah tidak menjabat artinya kau akan diturunkan dari posisimu sekarang dan diinjak-injak oleh mereka” Zia.
“Berarti akan terjadi pergantian?”
“Pergantian memang bisa terjadi disebabkan beberapa alasan diantaranya pensiun, masa jabatan berakhir, ataukah konspirasi jatuh-menjatuhkan” Zia.
“Jadi?”
“Saya percaya sebelum waktunya tiba, Tuhan sudah membawaku pergi keluar meninggalkan pedalaman sekaligus provinsi tersebut dan mengangkatku sangar tinggi hingga mereka menjadi malu 7 keliling” Zia.
“Tingkahmu benar-benar lucu”
“Emtahlah” Zia.
“Lantas kenapa berhenti dari tujuanmu?”
“Sudahlah, saya tidak mau terlihat seolah ingin mengusai semua hal” Zia.
“Saya juga takut sih kalau kenyataannya, tanpa sadar hidupku berkata segala jenis pekerjaan disini tidak akan bisa berjalan tanpa kehadiranku. Seperti menyatakan kata aku terlalu kuat” Zia.
“Jadi?”
“Jadi, saya memilih untuk berhenti dan tidak lagi memaksakan keinginanku di faskes tadi” Zia.
“Dasar”...
“Kekurangan terbesarku adalah tidak pandai berperan sebagai penjilat, padahal sebenarnya sih, situasi tertentu memang kata penjilat itu dibutuhkan secara totalitas” Zia.
“Kau benar-benar gila”
“Entahlah” Zia.
15. Lorong waktu...
Tantangan ketika menginginkan sesuatu akan tetap ada di depan. Kesimpulan dari curahan hati seorang Zia bercerita permasalahan rumit di sudut lorong itu. Apa saya akan mengalami masa lebih menakutkan?
Saya harus siap menghadapi banyak karakter, andaikan tetap bertahan untuk berjalan mengejar sesuatu yang tidak mungkin.
Merenung semalam-malaman membuatku sadar tentang proses luar biasa di depan mata. Apa saya akan kembali menjadi seorang aktivis? Memiliki senjata lengkap?
“Saya sudah memutuskan ingin kembali berjuang sebagai aktivis” berkata-kata penuh semnagat terhadap Zia ketika kami berjalan keluar meninggalkan tempat kerja.
“Apa kau mau ice cream?” Zia.
“Saya yang traktir” segera memasuki salah satu tempat.
Zia berjalan membawa 2 kotak ice cream. “Mari kita menikmati hidup sekali lagi di taman sambil bercerita!” Zia langsung menarik tanganku mencari kursi panjang di taman.
Kegiatan kami sore ini adalah menikmati suasana taman di sekitar. “Apa yang harus kulakukan?” pertanyaan buatnya.
“Tentang?”
“Kehidupan sebagai aktivis” membalas ucapannya.
“Apa kau mau dengar cerita tentangku kembali?” Zia.
“Apa tentang perselisihan lagi?”
“Bukan” Zia.
“Ceritakan!”
“Saya dengan karakter tidak suka keramaian, selalu menghabiskan apa pun di rumah, paling benci kalau orang terlalu banyak di sekitarku” Zia.
“Cukup pendiam karena kemanapun saya pergi, diam jauh lebih dibanding berbicara ketika di luar” Zia.
“Kalau di rumah?”
“Cerewet sih” Zia.
“Kenapa bisa begitu?”
“Saya dengan kepribadian harus dipancing, jadi, kebetulan beberapa anggota keluargaku tahu karakterku hingga sepertinya suka memancing sesuatu sampai terjadilah kosakata cerewet di dalam. Entah bersifat marah, judes, candaan, atau objek lain di dalam rumah” Zia.
“Saya merasa menghabiskan liburan, ketika tinggal di rumah terlebih dalam kamar bukan jalan kiri dan kanan seperti kebanyakan orang” Zia.
“Apa yang kau lakukan di kamar?”
“Menonton, berkhayal, melakukan hobiku mungkin, kerja terkait masalah-masalah laporan” Zia.
“Hubungan dengan ceritamu dan keinginanku?”
“Setelah pekerjaan bersih-bersih rumah selesai artinya saya akan berada di kamar” Zia.
“Hubungannya?”
“Ketika berada di tempat kerja, saya berjuang menjadi seseorang yang bukan diriku lagi” Zia.
“Artinya?”
“Saya berjuang untuk berbaur dengan rekam sekerjaku, hanya saja karakterku memang keras dan langsung spontanitas” Zia.
“Pedalaman tempatku bekerja dulu, menuntut saya harus mengejar masyarakat terkait permasalahan program ataukah kesehatan mereka, dikarenakan kehidupan antara perkotaan dan pedalaman sangat berlawanan” Zia.
“Perkotaan?”
“Masyarakat mengejar faskes kalau di perkotaan, sedang kami di pedalaman ceritanya sudah beda” Zia.
“Saya berjuang menjadi manusia paling ceria, supel, mencari perhatian, mencuri hari masyarakat, cerewet, menyusun strategi pendekatan terhadap masyarakat terlebih terkait imunisasi, dan lain sebagainya” Zia.
“Artinya?”
“Kalau pekerjaan seperti itu menuntut meninggalkan zona nyaman, bagaimana pula dengan kisahmu yang ingin berlari menyuarakan suara perempuan?” Zia.
“Meninggalkan zona nyaman?”
“Apa yang membuatmu nyaman, tetapi menghalangi mimpimu artinya tinggalkan” Zia.
“Kau harus bisa mengerti, defenisi meninggalkan zona nyaman dan hanya sekedar mengucapkan kalimat tadi” Zia.
Salah satu perlengkapan senjata yang memang dibutuhkan adalah kalimat tersebut. Apa saya akan berhenti saja? Jalan setapak itu membuat dua kaki harus tetap berjalan ke depan. Saya ingin tetap berlari tanpa mengenal lelah.
FLASHBACK...
Ingatan memori masa lalu tentang bahasa aktivis? Kisah seorang Ri mencoba untuk kembali mengejar mimpinya. Menyuarakan bahasa perempuan memang tidak mudah, akan tetapi dua kakiku ingin tetap berlari di sana hingga bahasa kemenangan berteriak begitu kuat.
“Mommy” Hiya putri pertamaku berteriak di bandara.
“Kenapa daddy jalan lama pakai banget?” Hikari menggerutu melihat tingkah daddynya.
Btw, inilah kehidupanku sekarang. Menjadi mommy 3 anak perempuan. Melahirkan di usia 21 tahun menjelang akhir kelulusanku di kampus. Pada akhirnya, seorang Ri melaksanakan kewajibannya sebagai istri. Berapa lama ka’Levi menunggu waktu itu?
Dia tidak pernah memaksa atau melemparkan bahasa-bahasa kurang menyenangkan. Bersabar menunggu hingga waktu itu datang. Di usiaku yang ke-20, wanita cantik dari masa lalunya datang mengejar ke negara tempat kami tinggal.
Di depan mataku, wanita cantik itu menangis sambil memeluk ka’Levi. Dia mengalami konflik dalam rumah tangganya hingga berakhir dengan perceraian. Apa saya marah? Seorang Ri tidak dapat marah, karena di sisi lain kewajibanku sebagai istri tidak pernah kulakukan.
FLASHBACK
“Jangan biarkan pelakor berjuang mendapatkan apa yang dia mau” ucapan Zia terngiang-ngiang terus di kepalaku.
“Nyonya muda sudah dewasa, dan mengerti bahasa bijak di depan” ibu Chani berbicara di depanku.
Diam seribu bahasa merenung apa yang sedang kujalani. “Apa ka’Levi akan berpoligami?” ujarku menerobos masuk ke kamarnya.
Dia hanya diam tanpa menjawab pertanyaanku. Apa ini akhir dari kehidupan rumah tangga kami? Bagaimana bisa ka’Levi tidak memikirkan sedikitpun perasaanku?
Apa saya akan memyerah? Kemanapun dirinya pergi, saya akan selalu mengekor kuat. “Dia pria beristri, ngerti?” berkata-kata judes ketika sang wanita cantik berjalan ke arahnya.
“Di negara kita, poligami tidak menjadi masalah” Hazel si’cantik berujar.
Wanita cantik rela menjadi istri kedua demi dapat terus tinggal bersama pria yang disukai. Apa anggota kerajaan memang kelakuannya seperti ini? “Kita sedang tinggal di negara orang, jadi, sepertinya poligami tidak berlaku” membalas kalimatnya.
Menarik tangan ka’Levi untuk berjalan pergi meninggalkan wanita cantik. Raut wajahku terlihat kesal seketika. Pria di sampingku hanya diam membisu sepanjang jalan.
Selama ini, saya sibuk berperan sebagai aktivis di tempat tersembunyi hingga melupakan pasanganku sendiri. Ada banyak hal yang sedang kulakukan, baik di dunia media sosial maupun dunia nyata di dalam diamku. Tahun akhir perkuliahanku pun membuat tidak lagi memiliki waktu berdialog bersama dengannya.
“Kenapa ka’Levi selalu saja diam?” kembali menerobos kamarnya.
“Asal ka’Levi tahu, saya menolak poligami” melemparkan pernyataan.
Pada akhirnya, sosok Ri menangis di sudut kamarnya. “Berhenti menangis!” ka’Levi.
“Giliran saya nangis, baru bicara, lantas sejak kemarin diam saja” kalimat bernada kesal.
“Kau terlalu serius dengan hidupmu, hingga lupa apa pun di depanmu” ka’Levi.
“Setidaknya, perhatianmu teralihkan untuk sementara waktu” ka’Levi menggeleng-geleng kepala.
“Artinya?”
‘Siapa juga yang mau poligami? Memangnya saya segila itu?” ka’Levi.
“Kalau bercerai?”
“Apa dimatamu, saya sehancur itu?” ka’Levi.
“Entahlah” ujarku.
“Membayar kuliahmu dan terus berada di samping, lantas berpikir gila?” ka’Levi.
“Rumah tangga bukan permainan, saya berusaha belajar dari kehidupan ayahku dan tidak ingjn mengulangi kesalahan yang sama” ka’Levi.
“Pokoknya, ka’Levi harus tetap berjuang menyalakan pelita di lorong gelap Ri” segera memeluk dirinya.
“Dasar gadis bodoh” menyentil keningku sambil tersenyum.
“Lantas kenapa ka’Levi membiarkan wanita cantik itu memeluk tubuhmu?”
“Saya shock dan tanpa diduga kau ada didepan kami, singkatnya, tubuhku makin diam membisu” ka’Levi.
“Bukan karena masih menyukai dia?”
“Gadis bodoh” ka’Levi sekali lagi menyentil keningku.
“Saya mau lakukan kewajibanku sebagai istri, sekarang!” berkata tiba-tiba.
“Jangan gila!” ka’Levi.
“Usiaku sedikit lagi menginjak 21 tahun, ada yang salah?”
“Kau tidak takut melahirkan di tahun terakhir kuliahmu?” ka’Levi.
“Pakai pengaman” balasku.
“Lebih baik menahan diri sekali lagi, dari pada memakai barang seperti itu” ka’Levi.
“Bodoh amat, tidak menjadi masalah kalau hamil. Kan saya punya suami” berkata-kata lagi.
Apa yang terjadi selanjutnya? Malam sebagai pasangan suami istri akhirnya terjadi juga. “Apa ka’Levi bahagia?” pertanyaan di pagi hari.
“Menurutmu?” membawa semangkuk sereal ke kamar.
“Entahlah” menggerutu seketika.
Saya tidak lagi tidur sekamar bersama ibu Chani. Kehidupanku sebagai seorang istri yang sebenarnya sedang kujalani. Memnag betul ucapan ka’Levi. Saya dinyatakan positif hamil sebulan kemudian.
Hal lebih gila lagi adalah melahirkan 3 anak perempuan dengan jarak cukup dekat. Saya harus bisa mengatur waktu antara mengurus suami dan anak, kuliah S2, serta perananku sebagai seorang aktivis di tempat tersembunyi terhadap negaraku sendiri.
“Apa kau akan menuntut anak laki-laki terhadapku sama seperti ayahku?” suaraku terdengar lemas.
“Apa menurutmu raut wajahku menutut?” ka’Levi.
“Entahlah” balasku.
“Mari kita ber-KB!” ka’Levi.
“Rahimmu tidak harus belerja terus menerus, ngerti?” ka’Levi.
“Bagaimana kalau tiba-tiba ayahmu datang dan menuntut anak laki-laki?”
“Tidak berarti memiliki anak perempuan tidak mendatangkan berkat, bisa saja 3 gadis kecilku akan menjadi seorang pemimpin suatu hari kelak” ka’Levi.
Dia benar-benar berkarakter, jauh berbeda dengan ayahku. Ketiga gadis kecil kami bernama Hiya Zev, Hiraki Zev, dan Hikaru Zev. Jangan tanyakan kenapa nama ketiga gadis kecilku tidak seperti kebanyakan nama anak di negara sendiri! Kehidupan sekarang serba modern, selama tidak melewati batas, tidak ada salahnya memberi nama anak jauh bertolak belakang dengan budaya di negara.
“Memanggil mommy and daddy juga tidak ada yang salah, tergantung pemikiran masing-masing individu” berkata-kata terhadap ka’Levi.
“Pokoknya, 3 gadis kecil memanggil orang tuanya dengan sebutan mommy and daddy. Ngerti!” menepuk-nepuk bahu ka’Levi.
FLASHBACK
“Sampai jumpa lagi di lain kesempatan!” Zia memeluk diriku di bandara.
Kebetulan kami berdua kembali bernostalgia di negara ini sambil bekerja. Masing-masing sibuk menjalani aktivitasnya sekarang. Seorang Krisan Bravery sedang disibukkan dengan perannya sebagai salah satu pejabat terpenting di negara sendiri.
Apa saya mendapat jabatan tersebut dengan begitu mudahnya? Jawabannya adalah kehodipanku sendiri berjuang tanpa henti dari tahun ke tahun dengan waktu yang cukup lama untuk menghancurkan pintu yang selalu saja membatasi perempuan. Lorong sempit itu menyatakan tubuh harus meeangkak tanpa jedah iklan...
Ada banyak penolakan yang memang terjadi ketika dua tang sedang berjuang mencari sebuah pintu. Perempuan mempunyai hak untuk bersekolah tinggi, menikmati kehidupan, berjalan dengan bebas di jalan tanpa ada batasan, bahkan menjadi seorang pemimpin. Tidak ada lagi pernikahan dini hingga menyatakan masa remaja perempuan hilang ditelan angin. Perempuan berhak bahagia tanpa harus mendapat tekanan karena tidak dapat melahirkan anak laki-laki.
Poligami bukan jalan menuju kebahagiaan. Seorang perempuan memiliki hak atas hidupnya sendiri untuk memilih pasangan terbaik. Bebas memakai pakaian warna apa pun dengan jenis mode bervariasi selama tidak melewati batas, maka semua itu normal adanya.
“Perempuan, raih mimpimu setinggi langit!” berkata-kata di hadapan media.
“Tidak ada kata terlambat, sekalipun duniamu bercerita lain di luar sana” sekali lagi menyuarakan bahasa perempuan.
Salah satu menteri paling disegani menyatakan diri ingin terus berjuang menghancurkan pintu pembatas kaum perempuan. Mata ketiga kakakku, akhirnya terbuka sedikit demi sedikit setahun setelah saya kembali ke negara ini. Di akhir cerita, mreka bertiga ingin menjadi sama sepertiku yaitu memiliki pendidikan tinggi.
Diam-diam bersekolah melalui kelas online yang baru saja kudirikan tanpa sepengetahuan pemerintah. Di tempat lain, sosok Ri berjuang keras mendirikan sekolah demi sekolah khusus perempuan. Kalau ada yang bertanya jurusan dan jenis pekerjaanmu berlawanan arah, maka jawabam tadi adalah semua memiliki waktu...
Pada akhirnya, waktu yang kuimpikam datang juga yaitu seorang perempuan dapat memegang sebuah jabatan penting di tanduk pemerintahan. Politik dan pendidikan merupakan sebuah paket terbaik di alur cerita Krisan Bravery. Kejar mimpi yang ingin kau raih sebagai perempuan!
“Daddy” teriak Hikaru.
“Bagaimana sekolah gadis kecil ayah?” ka’Levi masih menganggap anak usia 15 tahun di depannya sebagai gadis kecil.
“Daddy, sepertinya lupa tanggal ulang tahunku” Hikari bernada kesal.
Ayah ketiga anakku juga memiliki peran cukup besar dalam kehidupanku sendiri. Dia sukses berperan sebagai pengusaha modern di negara kami yang sedang merangkul banyak generasi muda.
Pemikiran bijaknya membuat hidupku terus berjuang menembus pintu kemustahilan bagi seorang perempuan.
“Happy birthday daddy” Hiya berjalan membawa kue ulang tahun. Bisa dikatakan ulang tahun Hikari dan ka’Levi memiliki tanggal yang sama.
“Kami bertiga selalu bmgga menjadi gadis kecil daddy” ucapan serentak ketiga gadis kecilku.
Ka’Levi selalu berjuang menjadi ayah yang baik. Seolah kesalahan dari orang tua di masa lalu menjadi pelajaran hingga membuat dirinya sangat berhati-hati untuk tidak menciptakan luka bagi anaknya sendiri. Dia tidak ingin ketiga gadis kecil kami menjadi sama sepertiku di masa lalu, dimana selalu saja berjuang melenyapkan diri sebagai akibat kurangnya kasih sayang seorang ayah.
***TAMAT***