Selasa, 14 Juni 2016



INDONESIA DI 2 TITIK...

BAGIAN SATU...
            Di kenal sebagai paru-paru dunia, sudah tidak akan berlaku lagi untuk negaraku saat ini. Ada begitu banyak pertanyaan yang sedang membungkus Indonesia saat ini. Apa yang sedang terjadi dengan negara ini? Siapakah yang harus dipersalahkan untuk segala sesuatu yang sedang terjadi selama bertahun-tahun di negara dan bangsa ini? Dimanakah letak keadilan dalam hukum tata negara yang selalu saja dipermainkan oleh berbagai oknum-oknum tertentu? Pertanyaan demi pertanyaan terus menerus bermunculan sedang membayangi perjalanan untuk negara yang di katakan memiliki banyak kekayaan secara kasat mata seluruh dunia.
Seluruh dunia menyadari tentang sebuah semangat juang 45 dari beberapa toko-toko penting, hanya demi merebut sebuah KEMERDEKAAN. Selama tiga ratus lima puluh tahun atau tiga setengah abad, di jajah oleh pemerintahan kolonial Belanda, yang kemudian di lanjutkan oleh penjajahan bangsa lain. Perjuangan toko-toko tersebut mempunyai peranan penting untuk masa depan Indonesia. Namun, apa yang sedang terjadi saat ini? Seakan ada sesuatu yang selalu saja menjadi bahan permainan atau pertentangan dari berbagai arah.
Indonesia dengan berbagai permasalahan setelah berhasil meraih kemerdekaan secara luar biasa pada tahun 1945 kemarin. Begitu banyak darah yang tertumpah hanya demi sebuah kata yaitu kemerdekaan atau dengan kata lain bebas dari penjajah. Di balik kemerdekaan tersebut ada begitu banyak makna yang tersimpan bagi rakyat Indonesia hingga saat ini.
Yang menjadi pertanyaan apakah Indonesia telah lepas dari segala akar permasalahan setelah Sukarno-Hatta mengumumkan proklamasi kemerdekaan? Seperti yang telah di perhatikan selama ini tentang perjalanan negara ini sedang berada di 2 titik. Bukan permasalahan tentang perjuangan beberapa tokoh-tokoh kekerdekaan, hanya saja, lebih mengarah pada sesuatu yang tidak akan pernah di hargai oleh beberapa kelompok tertentu.
Kejatuhan Suharto dan orde baru menjadi salah satu hal yang luar biasa untuk perjalanan negara ini. Kerusuhan di berbagai tempat/ wilayah Indonesia hingga pada akhir cerita begitu banyak nyawa melayang dalam sekejap mata. Hanya demi sebuah kursi politik, hal  paling mengerikan di buat luar biasa hebat oleh beberapa tokoh-tokoh tertentu. Beberapa provinsi di permainkan oleh sebuah situasi, dan akhir cerita menelan banyak korban. Politik, perang antar suku, pertentangan tentang agama, pertumpahan darah, air mata, kemiskinan,maha siswa yang merasa begitu hebat dengan melakukan berbagai atraksi demo di berbagai daerah, dan berbagai hal-hal mengerikan sedang membungkus perjalanan Indonesia saat ini...
MENARA...
Namaku Menara berasal dari Kalimantan Barat dengan ibu kota Pontianak, kabupaten Sanggau. Perlu diketahui, bahwa, Sanggau di topang oleh 2 komoditas utama yaitu karet dan sawit. Pada dasarnya, keluargaku bukanlah asli dari penduduk Pontianak, ayahku merupakan campuran Jawa-Tionghoa, sedangkan bunda merupakan campuran Dayak-Bugis. Penduduk asli Sanggau adalah suku Melayu. Berasal dari keluarga sederhana membuatku terkadang memiliki suatu perasaan minder untuk beberapa saat dalam perjalananku.
Jujur, duniaku sangat membenci tentang hal-hal yang berbau berita, politik, tinju, dan banyak cabang olah raga. Itu bukan duniaku, hal-hal tersebut hanya di arahkan bagi kaum lelaki. Terlebih berita, politik, ekonomi bagi pemikiranku hanya di ciptakan untuk para lelaki paruh baya bukan untuk kehidupanku secara pribadi. Saya lebih menyukai sesuatu yang bersifat komik serial cantik, drama korea, film-film kartun. Satu hal lagi yang perlu di ketahui, kalau saya sangat senang menonton film barat tapi versi anak-anak dan dalam ceritanya terdapat anak anjing yang lucu, pintar, juga sangat cute. Salah satu jenis film yang paling saya gemari adalah Home Alone, ceritanya menarik serta terdapat banyak kejahilan di dalamnya.
Sejak kecil bunda selalu membawaku ke sebuah ibadah persekutuan gereja. Aku seorang nasrani yang selalu di ajarkan tentang bagaimana mempunyai iman kuat dalam perjalanan kehidupan. Bunda tidak pernah takut akan kerusuhan-kerusuhan dan pertikaian antara agama. Dalam pekirannya saat ini, hanya satu yaitu pembentukan kehidupan untuk anak-anaknya melalui persekutuan ibadah. Bunda tidak akan segan-segan mencubit perutku, jika saya mempunyai banyak alasan untuk tidak menghadiri ibdah persekuuan.
“Nara, emas ada di ujung rotan...” Kalimat bunda setiap marah terhadapku saat saya sedang melakukan kesalahan.
“Membosankan” kalimatku di dasar hati, tapi tidak mungkin aku keluarkan di hadapannya. Rasa takut pada bundaku, jauh lebih besar di bandingkan saat berhadapan dengan ayah.
“Jangan pikir, kalau kamu sudah besar terus bunda tidak bisa melakukan sesuatu terhadapmu.” Ancaman bunda setiap kali marah.
“Benar-benar membosankan.” Hanya hal tersebut yang terus berada dalam benakku. Namun, sekalipun kalimat-kalimat bunda terasa membosankan pada telingaku, Nara tetaplah Nara anak rumahan luar binasa. Kehidupanku sangat jauh berbeda dengan teman-teman sebayaku yang selalu menghabiskan waktu untuk terus berada di luar rumah. Saya lebih menyukai saat berada di rumah dan menghabiskan waktu dengan menonton film-film kartun, drama korea, atau drama komedi yang dapat membuatku tertawa.
Saya salah satu pendengar setia, setiap kali teman-temanku bercerita tentang gebetan/ pacar mereka di mulai sejak duduk di bangku SLTP. Membayangkan untuk mempunyai pasangan sepertinya belum ada dalam kehidupanku.“Astaga, cowok di sana cakep bangettt yah...” Celoteh Diaz seperti biasanya.
“Yang mana?” Pertanyaan Munawarah dengan penuh rasa penasaran luar biasa. Seperti biasanya, mataku pun ikut penasaran dengan celoteh Diaz hingga wajahku berbalik ke kiri dan kanan untuk beberapa saat.
“Masih kecil juga sudah pacaran tidak jelas dan ceritanya hanya cowok terus-terusan...” Kalimatku di dasar hati, namun tetap menjadi pendengar setia yang baik di hadapan mereka.
Lebih parah lagi, sewaktu saya masih berada di bangku kelas lima sekolah dasar. Beberapa temanku sudah tahu yang namanya pacaran dengan banyak pria. Bayangkan saja, cowok-cowok yang di pacari sekaligus langsung lebih dari lima orang. Zamanku sewaktu sekolah dasar belum kenal telpon genggam dan dunia medsos. Jadi, saling berkomunikasi melalui surat cinta.
“Wow... pintar benner plus lancar habis kalau nulis surat cinta.” Kata-kataku menggeleng-gelengkan kepala luar biasa.
“Tapi, giliran pelajaran pasti mati kutu luar binasa.” Di dasar hati kembali menggema minta ampun luar biasa...
Hal yang paling kugemari adalah saat berada di rumah tanpa suara bunda hanya seorang diri. Kenapa? Di karenakan bunda sedang bekerja di sebuah rumah makan kecil hingga sore hari, jadinya, saya dapat berada di depan tv untuk menonton salah satu telenovela anak atau tertidur pulas selama beberapa jam tanpa gangguan sejenis apa pun.
“Nara, kenapa piring belum di cuci?” Ocehan bunda seperti biasa saat pulang ke rumah kalau saya lupa melakukan pekerjaan saya sebagaimana mestinya.
“Nara sadar tidak, kalau bunda pulang benar-benar capek terus saat sampai di sini melihat rumah berantakan apa lagi dapur tidak ada yang beres?” Teriak bunda kembali dengan sangat geram. Seperti biasanya, saya menunduk bahkan tidak tahu apa yang harus di ucapkan. Kalau berbicara sekali, jangan di tanya lagi apa yang akan terjadi selanjutnya...
“Saya lupa...” Jawabanku dengan kepala menunduk dan mengingat apa yang telah saya lakukan sebelumnya.
“Saya keasikan nonton, terus tertidur pulas selama beberapa jam, jadi, wajar saja kalau piring-piringnya belum dicuci.” Seperti biasanya kata-kataku di dasar hati paling terdalam.
Saat bunda berkata-kata, satu hal yang terus berada dalam benakku bagaimana caranya untuk menyumbat mulutnya sehingga berhenti berkata-kata. Seperti biasanya, bunda akan mengamuk besar jika saya  tidak mengikuti dirinya untuk berada di sebuah persekutuan. Jadi, dengan kata lain saya harus selalu mengikuti apa pun kemauannya suka atau tidak suka.
“Bunda, tidak pernah adil.” Gerutuku di dasar hati memasang wajah cemberut, tapi, tidak dapat melawan apa pun yang keluar dari mulutnya.
“Nara, jangan jadi anak malas untuk datang mencari Tuhan.” Gertakan bunda saat melihat wajah cemberutku. Pada dasarnya, sewaktu sekolah dasar saya sangat senang jika bunda membawaku ke persekutuan, namun, seiring berjalannya waktu entah mengapa rasa malas terkadang membungkus kehidupanku.“Bunda, kenapa saya terus yang pergi persekutuan dan kenapa kurcaci di sana tidak pergi?” pertanyaanku saat sedang berjalan kaki menuju rumah ibadah seperti biasanya.
“Adikmu kan masih kecil dan kamu harus memberikan contoh yang baik.” Kalimat bunda yang terkadang membuatku makin menggerutu di dasar hati.Inilah kehidupan Nara, saat berada dalam rumah persekutuan terkadang tertidur pulas sewaktu berdoa syafaat atau firman sedang berjalan, tapi tidak keseringan juga. Lebih parah lagi, saat pujian penyembahan di naikkan kepada Tuhan, semua orang di sekitarku benar-benar bersungguh-sungguh datang kepada Tuhan, sedangkan saya sendiri tertidur pulas. Ibaratnya tidur di alam roh untuk istilah-istilah tersendiri bagi kehidupan anggota persekutuan lainnya, yang ingin menjadikannya sebagai bahan lelucon belaka.
“Doakan Indonesia, jadilah pendoa syafaat untuk negara kalian...” Kata-kata pengkotbah dari atas mimbar. Ada saat saya merasa sangat kecewa dan bertanya-tanya, kenapa saya harus dilahirkan di negara yang selalu bertikai? Kenapa Tuhan tidak menciptakan saya melalui rahim orang bule di luar sana, biar saat lahir mataku berwarna biru atau hijau? Kenapa harus berada di negara yang hanya mengenal pertumpahan darah, demonstrasi dari berbagai kalangan hanya demi sesuatu yang...?
“Kaki dian ada di Indonesia.” Pernyataan pengkotbah kembali, membangunkanku dari sebuah lamunan luar biasa.
“Ada di Indonesia apanya, jelas-jelas sesama rakyatnya saling bertikai oleh karena perbedaan aliran kepercayaan dan lebih parah lagi pemeriksaan KTP di beberapa daerah sedang terjadi. Pertumpahan darah terus bermain di negara ini. Kaki dian dari hongkong...” kalimatku di dasar hati kembali. Dalam kepercayaan yang aku yakini, berbicara tentang kaki dian, dimana menjelaskan bahwa Roh Tuhan ada di Indonesia dan akan memperbaiki serta memulihkan negara ini. Kaki dian mempunyai 7 kaki, yang berarti tujuh Roh Tuhan membungkus negara dan bangsa ini.
Setiap hari orang-orang di gereja-gereja selalu berdoa untuk PEMULIHAN INDONESIA, terus memohon dan memohon... Bahkan mengadakan doa puasa bersama, agar negara ini lepas dari krisis yang berkepanjangan ataupun pertikaian, teroris, perselisihan antar penganut kepercayaan. Sekalipun, saya tidak menyukai tentang politik, berita, pemerintahan, dan semua permasalahan di Indonesia, namun, entah mengapa suara hatiku selalu saja menaikkan doa untuk negara ini.
“Setidaknya, Indonesia bebas dari pertikaian, kerusuhan, ataupun demonstrasi yang selalu saja merusak jalanan di berbagai daerah akibat perbuatan para mahasiswa di luar sana.” Gerutuku di dasar hati.
“Tuhan, ampuni bangsa kami dan PULIHKAN NEGARA kami...Indonesia akan menjadi negara yang besar dan maju, ini kerinduan kami” seru doa mereka setiap hari baik di gereja dan dalam persekutuan doa di manapun menginjakkan kaki dengan air mata yang terus menerus mengalir deras. Satu hal, terus saja menyerang akal pemikiranku, apakah para pemuka agama dan mereka yang menganggap hanya imannya saja paling berharga hingga dengan kesengajaan membuat segala sesuatunya menjadi pertumpahan darah di berbagai wilayah dapat menyadari tentang hal semacam ini. Air mata mengalir deras, bukan berdoa agar Tuhan membalas segala pertumpahan darah kemarin hingga begitu banyaknya tempat-tempat ibadah mereka hancur dalam sekejap mata. Mereka berdoa agar Tuhan mau mengampuni bangsa Indonesia dan memulihkan negara ini.
Begitu banyaknya kaum ibu menjadi janda, namun, apa yang mereka katakan “saya mengampuni orang yang telah menganiaya serta membunuh suamiku saat ini.” Kata-kata tersebut dapat di keluarkan begitu saja. Dapatkah seseorang memberikan sebuah pengampunan begitu saja, bahkan hal lebih parah seakan segala sesuatunya diputar balikkan oleh beberapa kelompok tertentu.
“Nara, apa yang sedang kamu lakukan?” pertanyaan salah satu dari temanku di dalam kelas.
“Membaca komik serial cantik.” Jawabanku cukup simple.
“Ceritanya, seperti apa?”
“Tentang cowok yang selalu saja menjadi idola di sekolah menyukai cewek paling bodoh dan ceroboh.” Jawabanku kembali.
“Pinjam yah, kalau sudah selesai bacanya...” Bujuk temanku.
“Ini komik juga saya pinjam dari Stevi.” Kalimatku kembali.
“Stevi, pinjam komikmu habis Nara baca yach.” Teriak Diaz tiba-tiba.
“Telingaku bisa pecah...” gerutuku menatap dengan memasang wajah asam.
Seperti biasanya, kehidupanku saat berada di sekolah hanya membaca komik saat jam istirahat. Kalau bunda sampai tahu, anaknya membaca buku-buku seperti ini jangan di tanya apa yang akan terjadi lagi...kemungkinan besar perang dunia ke-3  pasti terjadi di rumahku. Bunda sangat tidak senang kalau anaknya membaca buku-buku seperti komik, majalah anak remaja, dan teman-temannya di belakang. Jangan pernah membawa buku aneh-aneh ke rumah, pasti sudah di robek-robek tidak jelas, pada hal benda tersebut punya orang yang di pinjam. Bunda hanya mau, kalau anaknya yang satu ini membaca buku-buku bersifat rohani dan bukan duniawi seperti komik, majalah-majalah remaja, dan segala macamnya.
Setiap harinya, saya hanya bisa membaca di sekolah saja dan jangan sekali-kali membawa benda-benda tersebut pulang ke rumah. Satu lagi yang paling mengerikan dari kalimat bunda sejak saya duduk di bangku SLTP, jangan sekali-sekali mempunyai hubungan dengan seorang pria manapun. Bukan hanya bunda, melainkan ayah pun mengatakan hal yang sama di karenakan mereka ketakutan kalau anaknya bisa saja hamil di luar nikah.
“Nara, jangan sekali-kali berdekatan dengan cowok manapun, kalau tidak...” ancaman mereka.
“Kalau tidak, apa yang akan terjadi?” Pertanyaanku.
“Kakimu pasti kupatahkan di tempat.” Kalimatnya mengancam. Kemungkinan besar inilah yang membuatku tidak pernah merasakan yang namanya pacaran hingga di sekolah menengah kejuruan. Bukan permasalahan saya tidak laku, melainkan kemungkinan besar beberapa cowok yang menyimpan perasaannya secara mendalam sudah ketakutan duluan saat melihat wajah bunda yang begitu menyeramkan. Sejelek-jeleknya saya, akan tetapi masih tetap laku di mata beberapa kaum adam di sekitar rumah ataupun sekolahku.Seperti biasanya, pekerjaan ayah saat berada di rumah menonton berbagai berita seputar politik, ekonomi, dan segala macamnya. Benar-benar membosankan kehidupan ayahku dan para kaum pria paruh bayah di negara ini, hanya menonton hal-hal paling mengerikan sedunia.
            “Pertumpahan darah di beberapa wilayah...” setiap harinya pembawa berita akan berkata-kata hal-hal seperti ini.
“Membosankan...” Ucapanku dalam hati menatap mimik wajah ayahku setiap harinya.
Seperti biasanya, saat pulang dari sekolah berjalan kaki menuju rumah sambil memainkan permen kaki berwarna merah menyala pada mulutku.“Biar bibirku terlihat merah luar biasa...hahahahahaha” ucapku, terus-menerus menggosok-gosokkan permen tersebut pada bibirku. Seorang Nara, di larang luar biasa oleh bundanya untuk sekali-sekali mengenakan lipstik pada bibirnya. Kenapa? Karena bunda tidak mau kalau bibir anaknya rusak dan terlihat pecicilan di mata banyak orang. Lipstik tidak bisa, permen merah menyala pun jadilah. Tidak terasa sebentar lagi, saya akan menamatkan diri dari sekolah menengah umum. Sudah dipastikan, saya tidak akan melanjutkan kuliah karena terkendala pada masalah biaya.

BAGIAN DUA

HARTONO SAPUTRA WIJAYA...
Menjadi salah satu wakil rakyat sama sekali tidak pernah terbayangkan dalam perjalananku. Pertikaian, pertengkaran/perselisihan, politik, hukum yang sedang diperjual belikan dan selalu saja dipermainkan, demonstrasi para mahasiswa dari berbagai daerah hingga pada akhir cerita menelan korban luar biasa, pertumpahan darah, beberapa kalangan tertentu memainkan situasi hanya demi sebuah kekuasaan, dan masih banyak lagi sedang membungkus Indonesia saat ini.
Peperangan antar suku terus saja bermain di negara ini. Rasa benci kepada penganut agama kepercayaan lain terus bermain hingga menjatuhkan banyak korban secara luar biasa terus membungkus bangsaku. Apakah Indonesia akan selamanya mengalami hal-hal terparah dalam perjalannya? Apakah air mata akan mengalir dengan begitu deras pada wajah mereka yang tidak bersalah dan selalu menjadi korban dari para kelompok-kelompok tertentu? Kapan hal-hal mengerikan seperti ini akan berakhir?
“Tragedi Trisakti 1998 menelan banyak korban jiwa dan berpengaruh pada berbagai daerah.” Kata-kataku membayangkan sesuatu hal dalam sebuah ruangan hening yang begitu mencekam. Kerusuhan Ambon besar-besaran pun terjadi sekitar tahun 1999, di mulai dengan pertentangan antar kelompok yang melibatkan sentimen agama. Pertengahan bulan Januari berkembang isu konflik antar agama dan bahaya saling menyerang, yang pada akhirnya menelan korban begitu banyak. Pengrusakan dan penyerangan antar kelompok  terjadi di berbagau lokasi dan hampir seluruh kota Ambon. Pengrusakan dan pembakaran mengarah pada tempat-tempat ibadah baik mesjid maupun gereja, rumah-rumah penduduk, pertokoan, dan pasar.
Dalam tragedi tersebut, terdapat banyak kejanggalan-kejanggalan secara luar biasa yang entah kapan akan terbongkar secara menyeluruh. Kepentingan politik sedang dimainkan oleh beberapa kalangan dalam situasi mengerikan. Kerusuhan Kalimantan tengah yang terjadi sekitar tahun 2001 antara suku Dayak dan Madura hingga menewaskan banyak jiwa yang harus menjadi korban secara luar biasa. Terdapat pula kerusuhan untuk mengeluarkan kaum Tionghoa dari Indonesia di mainkan oleh beberapa kelompok tertentu. Di Poso pun tidak luput dari kerusuhan. Makassar terus saja mengamuk oleh karena sesuatu yang tidak masuk di akal dan berbagai macam kerusuhan pun selalu saja terjadi, hingga pada pemeriksaan KTP tentang penganut kepercayaan.
“Tuhan, kapan semuanya ini akan berakhir keluar dari negaraku?” jeritan hatiku menggema seakan ingin mengeluarkan air mata sejadi-jadinya.
“Selamat siang pak, sebentar lagi rapat Dewan Perwakilan Rakyat akan segera di adakan.?” Seperti biasanya salah satu bawahanku di kantor memberi tahu tentang pertemuan yang akan di lakukan.
“Saya sudah tahu.” Penjelasanku memainkan telpon genggam saat berdiri di depan sebuah pintu yang tidak jauh dari ruang informasi.
“Sepertinya, bapak...” Ucapan Prayitno sambil menunduk.
“Sepertinya kenapa?” kalimatku menghentikan untuk memainkan telpon genggam di depanku.
“Bukan maksudku untuk berbicara, hanya saja...” kalimatnya kembali.
“Jangan berbelit-belit jika sedang berbicara dan langsung pada intinya.” Kalimatku kembali menatap dengan tatapan sangat tajam.
“Raut wajah bapak menampakkan, jika tekanan luar biasa sedang membungkus pikiran anda saat ini.”
“Sok tahu kamu.” Kalimatku kemudian berlalu dari hadapannya.
“Tuhan, adakah yang dapat memahami segala sesuatu dalam benakku saat ini?” Hembusan nafasku keluar sambil melangkahkan kakiku ke sebuah ruangan.
Seperti biasanya para wakil rakyat hanya mementingkan diri mereka sendiri, dan tidak akan pernah melihat apa yang paling terpenting saat ini. Keegoisan, kemunafikan, permainan, keserakahan, korupsi, dan masih banyak lagi selalu saja bermain membuat irama langkah perjalanan dalam kehidupan mereka. Perkelahian antara sesama pejabat semakin menambah daftar garis hitam untuk Indonesia sendiri. Korupsi luar biasa terus-menerus terjadi di kalangan pejabat dan membuat negaranya menjadi semakin hidup dalam kehancuran.
“Sampai kapan negaraku akan mengalami kejadian-kejadian seperti ini?” teriakanku di dasar hati.
“Aaaaarrrrrrrrggggggggggghhhhhhhh...” sekali lagi teriakan yang benar-benar keluar dari bibir mulutku di depan sebuah danau sekitar rumahku.
“Bapak tidak kenapa-kenapa kan?” sebuah suara sangat khawatir dengan teriakanku.
“Memangnya, kenapa kalau saya berteriak?” ungkapku kesal kemudian berlalu dari hadapannya.
“Beberapa artikel tentang kejatuhan Suharto dan orde baru.” Suara seseorang secara tiba-tiba membangunkanku dari lamunan.
“Sejak kapan kamu datang datang dan masuk dengan cara yang tidak sopan?” tatapan mataku yang mengalir begitu saja dan sangat sinis.
“Sejak dari tadi, hanya saja, seorang Hartono Wijaya terus melamun dan entah kapan akan bangun hingga tersadar...” singgungan luar biasa dari Raharjo pratmojo.
“Keluar dari ruanganku sekarang juga.” gertakanku tiba-tiba.
“Menyerahlah pada keadaan, bahwa pada dasarnya Indonesia akan selamanya ditakdirkan hidup dalam kesengsaraan serta sesuatu yang berbau mengerikan.” Ucapnya tiba-tiba membuatku terdiam.
“Saya sadar betul, bahwa satu-satunya pejabat yang peduli akan negaranya hanya Hartono Wijaya saja...tapi, satu hal jangan pernah memaksakan keadaan yang tidak mungkin.” Ungkapannya kembali.
“Maksud dari ungkapanmu sebenarnya ingin membuat segalanya hancur atau seperti apa?” Pertanyaanku semakin geram.
“Gak usah pake urat, tapi harus pake otak bosssss.” Senyumannya terpancar kemudian meninggalkanku dalam ruangan tersebut.
“Apakah saya harus menerima kenyataan tentang Indonesia?” teriakanku luar biasa sekali lagi, yang pada akhirnya membuatku mengalirkan air mata disertai isakan tangis luar biasa...
“Tuhan, pada dasarnya saya bukanlah orang suci dan paling suci, tapi, satu hal jangan pernah meninggalkan bangsaku dan membiarkan mereka yang tidak mengerti apa-apa menjadi korban untuk kesekian kalinya.” Jeritanku tersungkur di lantai.
“Bebaskan negaraku dari keadaan mengerikan seperti ini.” Air mataku terus saja mengalir hingga pada akhirnya membuatku tertidur pulas pada lantai dari ruangan tersebut.
Dalam tidurku seakan saya berada di suatu tempat yang sama sekali tidak pernah terbayangkan olehku. Dan seperti ada suara yang sedang berkata-kata...
“Hartono Saputra Wijaya, dengarkan baik-baik hal yang akan kukatakan...” suara tersebut terngiang begitu saja dan sangat jelas tanpa memperlihatkan wajahnya.
“Siapa kamu dan kenapa bisa mengenal nama saya?” Teriakanku sangat ketakutan.
“Indonesia dapat pulih melalui tangan seorang anak perempuan. Otoritas ada dalam kehidupannya, dia yang akan memperbaiki keadaan negara ini ke depannya. Semua membutuhkan waktu, jadi, jangan pernah menyerah...” kalimatnya dengan begitu lembut.
“Kenapa kamu bisa berkata seperti itu?” pertanyaanku seakan tidak mempercayai semuanya.
“Pergilah dan berjalan mencari gadis bernama Menara berasal dari Kalimantan Tengah, kabupaten Sanggau. Tuhan telah menetapkan dirinya untuk memperbaiki situasi yang ada di negara ini. Bersabarlah, hinggga waktu itu tiba untuk mengajarinya sesuatu hal dan membuatnya menyadari akan rencana Tuhan di dalam perjalanan gadis tersebut.” Ucapannya sekali lagi, yang kemudian memperlihatkan wajah seorang gadis dengan begitu jelas...
“Satu hal yang perlu kamu ketahui, jika Indonesia melepaskan anak ini untuk negara lain, maka kerugian besar ada dalam negara ini. Ada begitu banyak negara yang ingin memperebutkan dirinya dan semua keputusan kembali pada tangan Indonesia sendiri, bagaimana cara untuk mempertahankan dirinya sehingga tetap berada untuk bangsa ini.” Kalimatnya sekali lagi dengan begitu jelas dan sangat lembut.
“Siapa kamu?” seluruh tubuhku berkeringat luar biasa hingga membuat bajuku basah.
“Hanya sebuah mimpi...”kalimatku tersadar bahwa semuanya itu adalah mimpi belaka. Namun, tanpa kusadari merupakan awal dari perjalanan untuk sesuatu yang kuinginkan dan semua orang impikan.
Semenjak mengalami mimpi seperti itu, seakan ada sesuatu yang terus saja menghantui perjalananku setiap saat. Antara suara hatiku menuntut untuk mempercayai akan hal tersebut dan tidak mempercayai sesuatu...
“Tidak mungkin, ini hanyalah bunga-bunga tidur yang biasa dialami oleh kebanyakan orang pada umumnya.” Gumamku.
“Pak, jangan terlalu banyak berpikir.” Ucapan bijak seorang istri yang dengan setia terus berada di sampingku dan menjadi pondasi untuk perjalananku.
“Kakek...” suara cucuku memperlihatkan senyuman termanisnya buatku.
“Tuhan, buat kakekku kembali memperlihatkan senyumannya.” Kepolosan seorang anak berusia 5 tahun terpampang di hadapanku.
“Cucu kakek...” Senyumanku mulai terlihat dengan berusaha memberikan dekapan hangat untuk dirinya.
“Ayah, besok kami akan berangkat ke luar negeri...” ucapan anak semata wayangku berusaha menjelaskan sesuatu hal.
“Apakah keputusanmu itu sudah bulat untuk meninggalkan Indonesia?” pertanyaanku tiba-tiba.
“Ayah pasti sadar, kenapa kami mengambil keputusan seperti ini.” Jawabannya.
“Haliza, apa pun keputusanmu itulah yang terbaik.” Kalimat bijak seorang ayah mencoba untuk bersikap tenang.
“Kami semua pasti akan merindukan ayah.” Kalimatnya berusaha hadir dalam dekapanku.
“Haliza, apakah kamu bisa membantu ayah?” ucapku tiba-tiba.
“Tentang apa? Katakan saja, kalau aku bisa pasti...”
“Tolong bawah ibumu ke luar negeri bersama dengan kalian, ada hal yang harus ayah lakukan.” Kalimatku yang entah dengan dorongan dari mana...
“Bapak, tidak mungkin ibu bepergian ke luar negeri sementara...” ucapan Halifa istri tercintaku.
“Ibu, tolong untuk sekali ini saja dan berhentilah mengkhawatirkan keadaan bapak.” Ucapku mengambil jemari tangan Halifa dan memegangnya dengan penuh kehangatan.
“Tapi pak...”
“Keadaan di Indonesia tidak memungkinkan untuk ibu tetap bertahan di sini.” Kalimatku kembali.
“Ada hal yang bapak harus kerjakan dan sangat beresiko.” Berusaha membuatnya menyadari tentang pekerjaanku saat ini.
Setelah membujuknya secara luar biasa, akhirnya Halifa istriku menuruti apa yang kuinginkan. Tinggal di luar negeri beberapa waktu jauh lebih baik, dibandingkan bertahan di Indonesia. Mimpi tersebut terus saja menghantui kehidupanku setiap saat, yang pada akhirnya membuatku untuk mencoba melakukan sebuah pencaharian secara langsung. Melakukan sebuah perjalanan ke sebuah provinsi setelah istri, anak, menantu, dan cucuku berada di luar negeri. Mengikuti petunjuk-petunjuk yang masih terekam secara jelas dalam ingatan dari mimpi tersebut.
“Di mana gadis bernama Menara? Apakah gadis tersebut benar-benar ada atau jangan-jangan...” Kalimatku di dasar hati yang terus melakukan sebuah perjalanan tanpa sepengetahuan siapapun juga.
“Permisi pak, apakah saya bisa bertanya?” Sapaku pada salah satu penduduk setempat.
“Tentang apa pak?” Balik pertanyaannya kembali.
“Apakah bapak mengenal seorang gadis bernama Menara, dengan ciri-ciri matanya bulat besar, kulit putih, rambut lurus panjang dan berwarna gelap, memiliki tubuh mungil,juga warna bibirnya merah dan mungil-mungil juga seperti postur tubuhnya.” Penjelasanku sedetail mungkin.
“Ciri-ciri dan nama yang bapak sebutkan sepertinya tidak ada di daerah ini pak.” Jawabannya mencoba mengingat sesuatu hal.
“Kalau begitu terimah kasih banyak, saya permisi dulu yah pak.” Ucapku.
“Silahkan...” Sapaannya kembali.
Bertanya pada semua orang di daerah tersebut, dan  apa yang terjadi tidak memperlihatkan hasil. Apakah mimpi ini hanyalah bunga-bunga tidur belaka? Keringatku mengalir membasahi seluruh bajuku, oleh karena melakukan perjalanan luar biasa mengelilingi daerah tersebut. Rasa lelah menghampiri tubuhku dalam sekejap, yang membuatku kembali tertidur pulas tanpa sadar di bawah sebuah pohon besar.
“Hartono Saputra Wijaya, jangan pernah menyerah mencari gadis tersebut...” suara tersebut kembali hadir dalam mimpiku dengan begitu jelas, yang pada akhirnya membangunkanku dari tidur.
“Ternyata sudah malam...” Mataku melihat jalanan gelap gulita.
“Apakah di sekitar daerah ini, sama sekali tidak memiliki hotel atau penginapan gitu?” pertanyaanku pada diri sendiri. Beruntunglah salah satu  penduduk mau memberikan tumpangan untuk satu malam di rumahnya dan pada keesokan harinya saya kembali melanjurkan pencaharian ke tempat lain. Selama sebulan berkeliling daerah tersebut, hanya untuk mencari gadis bernama Menara dan tidak memperlihatkan hasil sedikitpun.
“Jangan-jangan semua yang saya alami selama ini, hanyalah bunga-bunga tidur belaka dan gadis bernama Menara sama sekali tidak ada di daerah ini.” Kicauanku kembali pada diri sendiri sambil berjalan untuk menuju sebuah pelabuhan. Rasa-rasanya aku di bodoh-bodohi oleh sebuah mimpi yang sama sekali tidak memperlihatkan apa pun. Aku memutuskan untuk kembali ibu kota dikarenakan masa cutiku telah berakhir. Tiba-tiba pandangan mataku mengarah pada seorang anak gadis yang sedang menjemur pakaian di depan rumahnya...
“Gadis itu, sangat mirip dengan yang ada dalam mimpiku.” Kata-kataku di dasar hati.
“Apakah dia anak perempuan yang selama ini ada dalam mimpiku? Ciri-cirinya sama di mulai dari bola mata bulat besar, rambut hitam lurus panjang, bibirnya mungil dan berwarna merah, tubuhnya mungil dengan warna kulit putih bersih.” Kata-kataku membayangkan wajahnya kembali.
“Menara, Menara, Menara...” Teriakanku memanggil namanya yang membuatnya menoleh mencari-cari arah suara tersebut.
“Menara.., Menara...” teriakanku sekali lagi membuatnya sedikit merinding karena tidak menemukan asal suara tersebut.
BAGIAN TIGA...

MENARA...
Kehidupanku sepertinya akan berakhir dengan bekerja setelah lulus sekolah beberapa waktu lagi. Ayah dan bunda tidak memiliki biaya untuk melanjutkan sekolahku ke jenjang yang lebih tinggi. Ayahku hanya bekerja sebagai buruh pada sebuah pabrik kecil dengan gaji sedikit pula.
“Tuhan, entah apa yang akan terjadi dengan perjalananku selanjutnya. Namun, satu hal yang kupercayai bahwa setelah lulus dari sekolah ini Engkau akan memberikanku sesuatu yang sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku. Aminnn.” Ucapan doaku di dasar hati sambil memainkan permen kaki pada bibirku di tengah jalan sehabis pulang dari sekolah.
Mataku mengarah pada sebuah kesaksian hidup seseorang di sebuah buku dalam kamarku sore itu. Melihat perjalanan kehidupan seorang gadis berasal dari Inggris di dalam kesederhanaannya selalu memeluk para kupu-kupu malam dengan penuh kehangatan. Gadis tersebut bernama Helen Ewan, pada pagi hari berdoa di tengah dinginnya London tanpa penghangat ruangan sedikitpun dalam ruangan kamarnya. Berjalan kaki menuju kampus, dan menyisahkan uangnya untuk mereka yang membutuhkan tanpa seorangpun menyadari hal tersebut. Selalu berada pada barisan terbelakang saat berada di sebuah gereja, namun kehadiran begitu terasa untuk orang-orang di sekitarnya. Meninggal pada usia 19 tahun, oleh karena sebuah penyakit. Pada upacara pemakamannya, rasa harum/wangi berada di sekitar tempat tersebut. Terbukti dengang jelas bagaimana Tuhan memperlihatkan bahwa Helen Ewan kehidupannya begitu luar biasa hidup di mataNYA setiap saat.
“Saya ingin menjadi seperti sosok Helen Ewan yang selalu menjadi sinar untuk orang-orang di sekitarnya. Tapi, entah bagaimana caranya sedangkan kehidupanku selalu saja terlihat mengerikan di mataMU...” ungkapan hatiku menyukai perjalanan seorang gadis bernama Helen Ewan.
“Tuhan, hanya saja saya tidak ingin cepat mati seperti dirinya...cepat amat meninggalnya.” Kalimatku kembali.
“Tuhan, sebenarnya saya terkadang ragu apakah namaku sudah ada dalam kitab kehidupanMU atau tidak? Kenapa? Karena saya terkadang bertengkar mulut dengan adikku satu-satunya yang bernama Divon, dan hal paling mengerikan terkadang yang saya lakukan adalah tertidur pulas di persekutuan saat ibadah. Mereka kiranya saya berdoa, pada hal tertidur pulas, tapi, tidak keseringan sih...” curhatanku kepada Tuhan sambil tersenyum manis.
Apa pun yang akan terjadi dalam perjalananku ke depannya, intinya jangan pernah khawatir akan hari esok berada di titik mana...Akhirnya ujian akhir sekolah mulai berjalan, yang kemudian di lanjutkan dengan ujian kompetinsi untuk kejuruan. Tidak lama setelah ujian selesai, hasilnya pun di umumkan.
“Nara, bagaimana pengumumannya?” teriak Stevi teman sekelasku.
“Saya juga baru lihat pengumuman kelulusan.” Jawabanku.
“Nara saya lulus...” teriak Diaz dari belakang.
“Saya tidak lulus di ujian kompetensi, hikhikhikhik” tangis Stevi pecah seketika. Tangan saya segera membuka hasil ujian yang menyatakan apakah lulus atau tidak...
“Ternyata lulus untuk ujian akhir sekolah, sedangkan ujian kompetensinya sama sekali tidak lulus dan harus mengikuti ujian susulan.” Kalimatku setelah membaca sebuah kertas di depanku.
“Tamat sudah riwayatku saat sampai di rumah sebentar...” kalimatku tiba-tiba...
“Ada apa Nara?” pertanyaan Stevi menghentikan air matanya.
“Saya tidak lulus ujian kompetensi juga.” menjawabnya dengan begitu sedih.
“Berarti nasib kita berdua sama dong.” Ucapnya sangat bahagia secara tibaa-tiba menghentikan tangisannya.
“Yang berarti nih manusia, senang kalau saya tidak lulus sama seperti dirinya. Hebat sekali kamu jadi orang...” cetusku di dasar hati sangat marah.
“Senangnya ada teman yang senasib dengan diriku saat ini.” Senyuman Stevi kembali berjalan pulang ke rumahnya.
Habis sudah riwayatku berakhir dengan nilai-nilai terburuk di sekolah. Sesampainya di rumah ayah mengamuk luar biasa dan begitu marah dengan nilai-nilaiku. Kenapa saya tidak lulus dan beberapa hal. Ayah sebenarnya tidak menuntut nilai-nilai tinggi, hanya saja, jangan sampai tidak lulus seperti ini. Lebih parahnya lagi, ujianku yang dinyatakan lulus kemarin mendapat nilai 3,4,5...benar-benar nilai mengejek, sama saja tidak lulus namanya kalau begini...hufffffffffftttttttttttttttt....
Saya tidak mau mengikuti ujian susulan kompetensi, karena terlalu kecewa dengan nilai-nilai di sekolah. Masuk sekolah negeri sejak kecil hingga remaja dan berakhir dengan nilai paling terkacau sekarang ini. Paling terpayah...
“Semua teman-temanku pasti sekarang sudah berada di perguruan tinggi sekarang, hanya saya saja yang nasibnya seperti ini. Lagian ngapain juga lanjut, kalau nilainya mnegejek seperti ini...” gerutuku pada diri sendiri saat menjemur pakaian setelah di cuci.
Selama beberapa bulan ini, saya mengikuti bunda bekerja untuk sementara waktu bekerja di sebuah restoran kecil yang tidak jauh dari rumah. Kebetulan restoran tersebut masih membutuhkan seorang karyawan lagi. Bunda menginginkan saya kursus sambil bekerja di restoran kecil tersebut. Untuk hari ini, saya libur kerja, makanya tidak masuk dan menghabiskan waktu di sumur untuk mencuci...sama saja bohong kalau seperti ini jalan ceritanya...
“Menara...Menara...Menara...” sepertinya seseorang memanggil namaku.
“Siapa yang memanggilku, sepertinya ada suara tapi tidak ada gambar...” bulu kudukku berdiri.
“Menara...Menara...” sekali lagi suara tersebut terdengar...
“Jangan-jangan di sekitar rumahku sekarang sudah banyak hantu yang bergentayangan...” kalimatku semakin ketakutan, berusaha berlari masuk ke rumah secepat mungkin.
“Tapi, masalahnya kalau saya masuk ke rumah pasti hantunya bisa menembus dinding rumahku, terus larinya nanti lebih sulit lagi, mending lari keluar di jalan.” Secepatnya kakiku berlari meninggalkan segala cucian yang masih tersisa untuk di jemur. Bola mataku mengarah pada sosok seorang pria paruh bayah berjalan ke arahku.
“Tuhan, lindungi hidupku dan keluargaku saat ini.” Teriakanku di dasar hati, mengingat begitu banyaknya kerusuhan-kerusuhan yang terjadi sekarang ini. Hanya saja, untuk sekitar darahku sedikit aman,  Tuhan masih terus melindungi kami sehingga terhindar dari kerusuhan tersebut.
“Apa bapak yang memanggil saya?” pertanyaanku secara tiba-tiba memecah keheningan, di karenakan pria tersebut hanya diam seribu bahasa tanpa berbicara saat berada di depanku.
“Dari mana bapak mengetahui nama saya?” Tanyaku kembali.
“Jadi benar, nama kamu adalah Menara?”
“Apakah kita pernah bertemu sebelumnya pak?” tanyaku lagi.
“Jadi gadis ini benar-benar nyata dan bukan lagi mimpi.” Teriakannya ingin menangis.
“Jangan katakan, kalau bapak adalah ayah kandung saya sama seperti di film-film.” Mataku tidak berkedip.
“Hahahahahahhahahaha....ternyata Menara korban sinetron rupanya.”
“Apakah kita bisa bicara empat mata di rumahmu.” Ucapannya lagi.
“Saya bukan orang jahat, ada sesuatu hal yang penting untuk kamu dengarkan...” membuatku semakin tidak mengerti apa yang di ucapkannya. Kemudian, saya mengajaknya ke rumah dan mencoba untuk mempercayai ucapan orang asing yang ada di depanku saat ini.
Bapak itu menceritakan segala sesuatu yang tidak masuk akal dalam kehidupan saya secara pribadi. Bagaimana mungkin bapak tersebut mendapat mimpi dan berkata-kata hal yang sulit untuk di percaya oleh pemikiran siapapun terlebih saya secara pribadi. Sangat-sangat tidak masuk akal...
“Nama saya Hartono Saputra Wijaya, salah satu pejabat ibu kota,...” Kata-katanya menjelaskan segala identitas dan maksud kedatangannya hingga menginjakkan kaki Kalimantan saat ini.
“Bapak, apakah saya tidak salah dengar dengan kalimat yang anda ucapkan?” kata-kataku tertawa...
“Ini kenyataan Nara...”
“Hubungan antara Indonesia dan saya ada di mana? Satu lagi, saya ini masih terlalu kecil yang ingin bebas bukan memikirkan dunia politik serta kerusuhan dan apa lagi teman-temannya di belakang.” Kata-kataku menatap wajahnya.
“Indonesia berada dalam kondisi yang begitu sulit, dan bapak mendapat mimpi bahwa otoritas di berikan Tuhan dalam kehidupan seorang anak perempuan bernama Menara.” Mimik wajahnya betul-betul terlihat...
“Kalau itu betul, berarti Tuhan mataNYA benar-benar mines tingkat tinggi memilih seorang gadis ingusan seperti saya. Astaga, di sini itu pasti ada kesalah pahaman.” Mencoba meyakinkan bapak di depanku.
“Dalam mimpiku, yang saya lihat adalah wajahmu dan coba pikir bagaimana mungkin saya bisa ada di depan kalau bukan petunjuk dari mimpi tersebut.”
“Apakah bapak tahu kalau nilai-nilai ujian saya adalah 3,4,5 sekalipun dinyatakan lulus dan lebih parahnya saya tidak lulus ujian kompetensi.” Kalimatku kembali.
“Bunda saja selalu menegur kalau sifatku itu masih terlalu kekanak-kanakan tidak seperti dengan sepupu atau teman-temanku yang lain, gimana ceritanya saya berurusan dengan dunia politik suatu hari kelak.” Penjelasanku lebih mendetail lagi.
“Saya juga tidak mengerti, tapi yang jelas dalam mimpiku itu mengarah pada wajahmu dan bukan orang lain.” Kata-katanya.
“Apakah bapak sadar kalau saya sangat tidak menyukai berita-berita, politik, ekonomi, dan membaca hal-hal berbau pemerintahan?” pertanyaanku sangat panas...
“Saya tidak tahu sama sekali,,,” Jawabannya.
“Maka dari itu, bapak harus sadar kalau saya membenci hal-hal yang mengarah pada politik dan pemerintahannya serta teman-temannya di belakang.” Kalimatku menatap dengan sangat tajam.
“Saya lebih menyukai hal-hal yang bersifat film-film kartun seperti sinchan, sailormoon, tom & jerry, dan masih banyak lagi kartun lainnya. Satu lagi, saya juga menyukai drama korea, film-film barat yang berbau anak-anak, komik serial cantik bukannya tentang hobi bapak-bapak seperti politik dan teman-temannya di belakang.” Penjelasanku kembali.
“Karena kita baru ketemu, jadi, bapak juga baru sadar...” kalimatnya tersenyum.
“Satu lagi, saya juga adalah pendengar setia yang baik kalau teman-temanku bercerita tentang pacar mereka. Saya juga anak rumah yang tidak suka keluar rumah lebih senang menonton atau tidur di rumah bukan seseorang yang mengenal dunia luar.” Kata-kataku lagi.
“Anda salah orang dan permasalahan tentang Indonesia adalah urusan kalian bukan saya...” Mencoba mengusir secara halus.
“Nara, di dalam mimpiku jelas-jelas ada sebuah suara yang mengatakan harus ke daerah ini dan mencari gadis bernama Menara. Wajahmu benar-benar ada dalam mimpiku, pada hal kita sama sekali belum pernah bertemu. Berarti, mimpi ini berasal dari Tuhan dan bukan bunga-bunga tidur.” Ungkapnya benar-benar berusaha bersikap tenang.
“Apa lagi yang di katakan oleh suara tersebut pak, sampai-sampai segitunya...” Kalimatku sama sekali tidak mempercayai.
“Jangan-jangan bapak mau menjual saya atau ada dendam terselebung di dasar hati, kemungkinan karena masa lalu luar biasa.” Keningku berkerut-kerut membayangkan sesuatu hal.
“Dendam masa lalu...” raut wajahnya sama sekali tidak memahami arah pembicaraanku.
“Bisa jadi, kemungkinan bapak menyukai bunda sewaktu masih muda, hanya saja, ayah lebih dipilih bunda ketimbang bapak...jadinya, faktor balas dendampun dimulai.” Celotehku membayangkan kembali...
“Bapak tidak mengenal bunda kamu.”
“Tapi, biasanya itu terjadi sama seperti di film-film pak.” Jari telunjukku berada di keningku sambil mengeutuk-ngetuknya dengan mata yang mengarah ke atas.
“Hahahahahahhahahahahaaha, benar-benar korban sinetron.” Tawanya menggema.
“Kenapa bapak tertawa?”
“Karena kata-katamu terlalu lucu dan seorang Nara ternyata korban sinetron.”
“Asal bapak sadar, kalau saya tidak terlalu menyukai sinetron. Biasanya sih kalau di nonton, paling episode-episode awalnya kemudian gak bakalan di nonton lagi yang pertengahannya gitulah, tunggu episode akhir baru kembali di nonton.” Kata-kataku kembali.
“Benar-benar polos.” Ucapan bapak tersebut.
“Bapak pulang saja dan kembali ke asal kota anda, sebentar lagi bunda pulang jangan sampai saya di tuduh yang macam-macam.” Kalimatku.
“Dituduh yang bagaimana?”
“Masa bapak tidak mengerti, anak-anak sekarang kebanyakan jalan sama om-om yang banyak uangnya gitu, yang ini lebih parah sudah mengarah pada kakek-kakek malahan.” Tanganku berjalan sambil membuka pintu rumah.
“Nara, Indonesia berada di ujung tanduk saat ini dan mimpi bapak tidak mungkin salah orang.” Mimik wajahnya berusaha memohon. Apapun yang di katakannya, tidak akan pernah saya percaya sedikitpun. Akhirnya, saya berhasil mengusir orang tersebut keluar dari rumah walaupun penuh perjuangan luar biasa. Ternyata pak Hartono tidak menyerah untuk terus berada di hadapanku, setiap hari berusaha mencari jalan untuk berbicara langsung. Namun, dengan strategi yang saya miliki akhirnya dapat terhindar juga dari kehadirannya.
Mana mungkin saya seorang gadis yang masih belasan harus berurusan dengan hal-hal beresiko tinggi. Terlebih tidak memiliki pengalaman, paling parahnya setahuku mereka yang berusaha melawan dan berhadapan dengan orang-orang penting jangankan nyawanya sendiri yang melayang bahkan keluargapun habis jadi santapan. Hanya mengedipkan mata sekali, semua yang ada di hadapannya dapat hancur dalam sekejap hanya saja tidak terlihat, kenapa? Karena, mereka memakai otak secara halus bukan otot.
Saya seorang yang benar-benar membenci dunia politik dan bukan seseorang dengan prestasi luar biasa. Lebih parahnya lagi, saya tidak tahu sama sekali bahasa inggris dan benar-benar mati kutu untuk pelajaran yang satu ini. Kalau urusan makan sih, saya nomor satu sekali, tapi untuk pelajaran pergi aja ke laut...
“Tidak mungkin ini sesuatu yang tidak masuk akal.” Ucapnku di kamar menggerutu sendiri.
“Adakah hal yang lebih parah dari kejadianku saat ini?” gumamku.
BAGIAN EMPAT...

HARTONO SAPUTRA WIJAYA...
Akhirnya pencaharianku membuahkan hasil luar biasa, disaat rasa putus asa menerpa dan menganggap semua ini hanyalah bunga-bunga tidur,,,namun, di saat itulah Tuhan bekerja dalam perjalananku. Antara mempercayai semua yang sedang kualami atau tidak, inilah yang terjadi. Gadis itu benar-benar nyata sesuai dengan petunjuk yang ada dalam mimpiku beberapa waktu lalu.
Tidak di sangka, ternyata gadis yang berada di depanku luar biasa polos dan tidak pernah ingin peduli dengan hal-hal berbau politik. Lebih mengejutkan, di saat dia memberi tahu nilai-nilainya setelah lulus. Astaga, 3,4,5...memangnya segitu hancurnyakah prestasi-prestasinya di sekolah.
Kenapa juga harus dia yang Tuhan pilih, kalau memang mimpiku itu berasal dariNYA? Benar apa yang di katakannya juga, apakah mata Tuhan benar-benar mines level tinggi untuk memilih gadis tanpa prestasi sedikitpun seperti ini? Tidak adakah orang lain di luar sana yang jauh lebih berprestasi bahkan lulusan terbaik dari kampus terbaik di luar negeri? Saya berpikir, gadis bernama Menara itu merupakan anak yang cerdas, multi talenta, dan memiliki segudang prestasi. Namun, di luar dugaan saya salah besar dan benar-benar mengerikan.
Perbaikan Indonesia benar-benar membutuhkan tokoh-tokoh yang memiliki tingkat kemampuan luar biasa di sertai pengalaman-pengalaman berbeda dari siapapun juga. namun, di luar dugaan gadis yang berada di depan saya sangat jauh dari hitungan akal pemikiran siapapun juga. Benar apa yang di katakannya, kemungkinan ada kesalah pahaman dalam hal ini.
Hal yang lebih mengerikan adalah entah kekuatan dari mana dan dorongan apa yang membuat saya terus-menerus berusaha keras untuk menemuinya. Memohon secara luar biasa dan mengatakan bahwa Indonesia berada di ujung tanduk, sedangkan, Tuhan menaruh otoritas tertentu dalam kehidupannya untuk mengeluarkan negara ini dari keterpurukan serta kekacauan luar biasa.
“Tuhan, bantu saya untuk keluar dari akar permasalahan ini.” Kata-kataku menatap gadis yang sedang melakukan aktifitasnya.
“Di luar sana ada begitu banyak orang yang memiliki prestasi luar biasa dan berasal dari kampus-kampus terbaik. Kenapa harus perempuan setidaknya laki-laki yang harus berperan aktif dalam hal seperti ini?” Pertanyaan demi pertanyaan membayangi pemikiranku.
“Lebih parahnya lagi, gadis usia belasan tahun, tidak lulus ujian kompetensi, hanya tamatan sekolah menengah dengan nilai 3,4,5... tidak melanjutkan kuliah ke tingkat yang lebih tinggi. Benar-benar aneh bin tidak ajaib.” Gerutuku mencoba mendalami maksud dari semua ini.
Semua orang akan mengejeknya, termasuk saya di mana letak kelebihan dari gadis belasan tahun bahkan tanpa pengalaman sedikitpun. Semua orang akan mencibir dan belum apa-apa dia sudah mati duluan dalam sekejap mata. Apa tidak salah Tuhan? Sifat yang masih kekanak-kanakan bahkan selalu saja menjadi korban film-film tidak jelas. Oh my God...
Menurut suara dalam mimpiku itu mengatakan kalau dia akan menjadi rebutan negara di dunia. Indonesia terlalu rugi jika melepaskan anak ini untuk negara lain. Letak kerugian Indonesia ada di mana coba? Dia saja kerja sebagai tukang cuci piring di sebuah restoran sangat kecil di sekitar daerah tersebut. Yang ada malahan semua orang akan menertawakan dirinya secara luar biasa. Tatapan sinis serta ejekan semua orang akan mengarah pada kehidupannya. Tidak adakah orang lain yang jauh lebih berkompeten Tuhan?
“Kekuatan apa yang mendorong saya untuk terus berada di depannya dan mengemis-ngemis seperti cacing kepanasan hanya untuk sesuatu hal.” Gerutuku dalam hati.
“Bapak Hartono Wijaya berhenti mengganggu kehidupan saya...” Teriakannya.
“Saya juga tidak tahu kenapa kaki ini terus saja ingin berada di depanmu. Indonesia berada di ujung tanduk oleh karena kemiskinan, korupsi, kerusuhan, permainan, bom-bom yang terus saja bermain, pihak-pihak asing seakan membuat sesuatu hal, hutang negara ini dalam jumlah besar dan pastinya sangat berdampak ke depan, pertumpahan darah, air mata orang-orang yang tidak bersalah harus menjadi korban.” Penjelasanku masih mencoba untuk mengajaknya berkompromi dalam hal ini, pada hal jauh di dasar hatiku saya sangat meragukan atas segala kemampuannya.
“Saya ini masih kecil bukan bapak-bapak yang terus memikirkan politik.”
“Indonesia membutuhkan perubahan untuk mengeluarkan bangsa ini oleh sebuah faham akan pengajaran ataupun perselisihan antara penganut kepercayaan.” Ucapannya lagi.
“Apakah bapak tidak sadar, kalau saya seorang nasrani dan tidak mungkin untuk berada di atas memperbaiki sesuatu yang sama sekali tidak masuk akal untuk gadis belasan tahun.”
“Maksud dari ucapanmu?” pertanyaanku tidak mengerti.
“Bapak Hartono, seluruh dunia juga tahu mayoritas penduduk Indonesia menganut kepercayaan kepada siapa? Dan untuk berada di atas harus memiliki iman yang sama dengan agama terbanyak di negara ini.” Ucapanya kembali.
“Jadi...” mulutku sedikit mengangnga.
“Saya tidak mungkin mengorbankan iman kepercayaan dalam kehidupanku hanya demi berada pada sebuah titik puncak ataupun menjadi salah satu dari orang-orang penting Indonesia.” Ucapan dengantatapan wajah lebih mendalam.
“Nara, Indonesia merupakan negara Pancasila.”
“Negara Pancasila dari mana, dari hongkong. Kelihatannya saja dari media dan pejabat berkata negara ini berlandaskan Pancasila, tapi, pada dasarnya apa yang terjadi?” kalimat tajam darinya.
“Semua itu penuh dengan kebohongan, segala sesuatu harus berlandaskan ataupun melihat agama dan kepercayaan seseorang. Pada akhirnya banyak yang harus dengan terpaksa atau karena melihat ketenaran, kursi, uang pada dasarnya berpindah keyakinan.” Lanjutannya.
“Nara...” hanya itu yang dapat keluar...
“Semiskin-miskinnya saya, satu hal seorang Nara tidak akan pernah menjual imannya untuk hal apa pun. Hal yang lebih menyedihkan masyarakat bawah sengaja di pancing oleh pemberitaan atau film tentang hal-hal yang sensitif akan keagamaan serta perpindahan keyakinan. Apakah ini yang dikatakan negara Pancasila?” ucapan Nara kembali.
“Apakah bapak bisa menjelaskan tentang pemaksaan ataupun dengan kesengajaan memainkan drama-drama film yang mengarah pada perpecahan bangsa Indonesia? Seakan-akan dunia perfilman sengaja memanas-manasi orang-orang di bawah dengan kisah melankolis akan perpindahan keyakinan seseorang secara wow...apakah mereka sadar tentang banyaknya nyawa orang-orang tidak bersalah akan menjadi korban setelah ini.” Penjelasan Nara kembali.
Seorang gadis belasan tahun, terlihat seakan tidak memiliki apa pun dalam kehidupannya. tapi, setidaknya dia ingin mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar dan tidak salah. Perbedaan pola pikir dalam dirinya jauh dari dugaan untuk saat ini. Perbedaam prinsip kehidupan...
“Kalau kamu ingin berjuang bersama dengan bapak pasti ada jalan untuk hal ini.”
Untuk pertama kalinya, saya menyadari akan sebuah prinsip kehidupan dalam kehidupan gadis tersebut, jauh berbeda di bandingkan siapapun. Namun, entahlah mengapa Tuhan memilihnya untuk jalan seperti ini? Biarlah waktu yang akan berbicara suatu hari kelak...
Perjuangan untuk membawanya ke ibu kota benar-benar membutuhkan strategi luar biasa. Kata yah begitu sulit untuk keluar dari bibir mulutnya, inilah yang terjadi. Hingga pada akhirnya ibunya jatuh sakit dan membutuhkan biaya cukup besar untuk pengobatan.
“Saya bisa membantu pengobatan bundamu dengan satu syarat kamu harus ikut ke ibu kota setelah ini.” Kalimatku menyodorkan penawaran luar biasa.
“Jadi bapak mau bermain-main dan menggunakan kesempatan dalam kesempitan.”
“Bukan permasalahan kesempatan dalam kesempitan, melainkan Indonesia berada di ujung tanduk dan sebentar akan hancur dalam sekejap mata bahkan memang pada dasarnya sudah terlalu hancur malahan.” Penjelasanku kemudian meninggalkan dirinya di rumah sakit.
Setelah berpikir dalam waktu 2 hari, akhirnya dia berada di hadapan saya saat ini dengan wajah menunduk. Untuk pertama kalinya air matanya terus saja mengalir deras dan tidak tahu harus berkata-kata...
“Saya akan mengikuti apa pun yang bapak inginkan, asalkan bunda bisa mendapat biaya operasi saat ini juga, asalkan tidak menjual diri saja pak.” Kata-katanya terus saja menangis.
“Saya hanya ingin kita berdua bekerja sama bukan membuatmu untuk melakukan hal yang aneh-aneh.” Kata-kataku menepuk-nepuk bahunya.
“Baiklah, tapi dengan syarat setelah bunda operasi.”
“Okey, kalau memang itu maumu.” Kalimatku dengan tersenyum sangat senang.
“Setelah bunda sadar, berikan saya waktu untuk meminta izin padanya.” Kata-katanya.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Agar ayah dan bunda mau memberikan izin kepada saya untuk merantau ke ibu kota dengan alasan merantau untuk membayar hutang pengobatan yang telah dipakai.” Kalimatnya sambil memainkan jemari tangannya.
“Bapak mau supaya kamu menanda tangani surat perjanjian ini, sekedar berjaga-jaga.” Sedikit memicingkan mataku ke arahnya.
“Bapak takut kalau saya akan melarikan diri dan melanggar janji?”
“Siapa yang lihat, hati manusia mana ada yang tehu kecuali Tuhan saja.” Senyumanku memasang wajah mencurigakan.
“Baiklah pak.” Kalimatnya dengan nada sangat kesal.
Akhirnya Nara menanda tangani surat perjanjian tersebut yang mengatakan kalau dia tidak akan berlari dari hal-hal yang harus di hadapinya. Setelah bundanya menjalani operasi dan dinyatakan sehat total oleh dokter, dia akhirnya menepati janjinya untuk ikut bersama dengan saya menuju ibu kota. Nara berhasil meyakinkan kedua orang tuanya untuk merantau ke ibu kota untuk melunasi segala hutang-hutang keluarga.
Dalam perjalanan ke ibu kota mukanya terus memperlihatkan wajah murung dan tidak bersemangat. Saya yakin akan perasaan yang ada dalam dirinya tentang kemampuan untuk menjalani semua. Awalnya saya memang meragukan segala skil dalam diri Nara, bahkan hingga detik ini hanya saja, entah kenapa seakan ada sebuah kekuatan yang membuatku terus ingin mempertahankan dan berusaha mempercayai mimpiku.
“Nara, akhirnya kita sudah sampai di ibu kota.” Senyumanku lebar saat berada di bandara sukarno-hatta.
“Apakah bapak tidak salah pilih?” pertanyaannya tiba-tiba.
“Maksudmu?”
“Pak Hartono, ini masih belum terlambat.” Mimik wajahnya benar-benar serius.
“Nara tenanglah, apa lagi kamu tidak langsung masuk tentunya harus menyusun rencana lebih dahulu.” Ucapanku mencoba menenangkan dirinya. Mencarikan rumah yang aman dan berusaha menyembunyikan identitas aslinya sehingga tidak seorangpun menyadari siapa Nara yang sebenarnya. Berpikir panjang tentang beberapa hal yang harus di lakukan dalam tahap permasalahan negara ini.
“Nara, tidak mungkin kamu melanjutkan kuliah sekarang ini.” Ucapanku saat berhadapan di depannya dalam sebuah rumah kecil.
“Bapak, masih belum terlambat setidaknya pulangkan saya kembali ke kampungku.”
“Tidak mungkin Nara, yang sekarang harus kita lakukan adalah menyusun strategi dan...” ucapku.
“Dan apa pak?”
“Kamu harus belajar autodidak tentang permasalahan bangsa ini di mulai dari ekonomi,politik, pendidikan, kerusuhan-kerusahan, hukum, pembangunan yang saling berkaitan erat.” Penjelasanku.
“Autodidak itu apa yah pak? Boleh dijelaskan?”
“Astaga Nara, autodidak itu kamu harus belajar sendiri tanpa bantuan siapapun.” Penjelasanku.
“Bapak sadar atau tidak?”
“Tentang apa?” tanyaku balik.
“Mengoperasikan komputer saja saya sama sekali tidak tahu, bahkan untuk menghidupkan dan mematikan komputerpun saya terlalu bodoh.” Kalimatnya.
“Whattttt?” suaraku agak nyaring.
“Saya kan orang kampung dan miskin, tidak punya komputer, sedangkan untuk makan saja penuh pergumulan.” Memasang wajah lucunya.
“Oh my God...” suaraku nyaring lagi.
“Siapa suruh bapak memaksa terus, alasannya wajahku ada dalam mimpi, akhirnya jadi seperti inilah...tanya sama Tuhan dan jangan persalahkan saya pak.” Celoteh anak tersebut tersenyum sinis.
Berusaha untuk mengajarinya menghidupkan dan mematikan komputer. Mencoba menggali pemikirannya walaupun dia sama sekali tidak memahami dunia politik dan kawan-kawannya di belakang.
“Bapak, kalau seandainya semua yang saya alami ini betul berarti otakku mirip dong dengan salah satu toko di negara ini.” Ujarnya tersenyum.
“Mirip siapa?”
“Siapa lagi itu namanya tokoh yang mempunyai tingkat kejeniusan tinggi di Indonesia, sewaktu SMP saya belajar tentang biografinya...”
“Siapa yang Nara maksudkan?” tanyaku.
“Oh saya ingat, Bj, Habibie dan sekarang ini memberikan tenaganya untuk Jerman bahkan kuliahpun di sana kan?” senyumnya, entah apa yang ada dalam benak gadis sepolos ini.
“Memangnya Nara punya mimpi kuliah di Jerman gitu?”
“Saya kan hanya mengingat biografi Habibie, tapi, permasalahan kuliah...astaga pak, untuk makan saja susah apa lagi kuliah ke luar negeri.” Celoteh seorang gadis lugu di hadapanku.
“Baku liat-liat saja pak, hahahahaahaha.” Kembali ucapannya.
“Saya tidak mengerti tentang baku liat-liat?”
“Masa bapak tidak mengerti, berarti otak bapak masih lebih bodoh dibanding saya.” Teriakannya.
“Wow...” untuk pertama kalinya ada anak belasan tahun mengatakan hal seperti ini.
Seorang gadis bernama Menara untuk pertama kalinya belajar mengenal dunia luar seperti apa? Kehidupannya lebih menyukai berada di rumah dibandingkan menjadi kalelawar pada malam hari ataupun  berjalan pada siang hari. Untuk saat ini, tidak seorangpun yang mengetahui visi dan misinya berada di Jakarta. Biarlah waktu berbicara, suatu hari kelak dia akan memperlihatkan sesuatu yang ada dalam dirinya. Untuk beberapa saat segala sesuatu akan bersifat tersembunyi tanpa seorangpun menyadari untuk kalangan rakyat Indonesia sendiri...
“Hartono...” sebuah suara yang tidak asing lagi di telingaku.
“Ada apa seorang Raharjo Pratmojo mencari saya?”
“Saya mencurigai ada sesuatu yang kamu sembunyikan sekarang ini.” Memicingkan matanya mencari titik kebenaran tertentu.
“Menyembunyikan apa?”
“Yang pertama, kamu mengambil cuti secara tiba-tiba dan menghilang selama sebulan lebih. Yang ke-dua, istrimu berada di luar negeri dan lebih parahnya lagi saya melihatmu berjalan dengan seorang gadis sepertinya masih belasan.” Tuturnya.
“Tutup mulutmu.” Kalimatku segera membungkam mulutnya dengan tanganku dan membawanya ke dalam mobil.
“Pasti ada sesuatu yang di sembunyikan, hati-hati loh sekarang ini banyak pejabat yang saling menjatuhkan dan kalau ketahuan habislah dirimu....”godaannya.
“Ada sesuatu yang ingin kujelaskan, tapi tidak di sini...” kalimatku menyalakan mesin mobil...
“Sepertinya serius, hati-hati kalau nyetir mobil dan jangan dibalap.” Kata-katanya ketakutan melihatku yang sedang mengemudikan mobil ini.
Membawa sahabat sekaligus bersama-sama menyandang wakil rakyat ke suatu tempat dan menjelaskan segala sesuatunya. Di mulai dari mimpi hingga perjalananku menuju sebuah daerah untuk memastikan apakah yang di katakan suara dalam tidurku itu benar-benar nyata atau tidak. Awalnya sama sekali dirinya tidak mempercayai apa pun yang kukatakan, hanya menganggap sebuah bunga tidur semata. Berusaha membuatnya menyadari sesuatu hal, yang pada akhir cerita Raharjo dapat menerima keadaan tersebut.
“Hartono, apakah tidak salah gadis ini yang menurut mimpimu dapat...” Raharjo hanya menggeleng-gelengkan kepalanya pertanda seribu keraguan.
“Astaga, gayanya aneh, kerjanya hanya nonton film kartun...tidak salah...” mulutnya hanya mengangnga memperhatikan dari kejauhan aksi Nara di dalam rumah.
“Entahlah...” ucapanku.
“Kau saja meragukan gimana coba yang lain belum apa-apa, anak itu sudah di habisi duluan tuh ma oknum-oknum tertentu.” Ledekannya.
“Setidaknya kamu menyembunyikan hal tersebut dari siapapun juga dan hanya kita berdua yang tahu. Ngerti.” Gertakku.
“Kalau itu sih, rahasiamu aman terkendali, hanya saja...”
“Hanya apa?”
“Kamu sadar tidak agamanya itu apa? Tidak seperti dirimu dan kebanyakan dari rakyat Indonesia.” Cetusnya.
“Saya juga tidak tahu harus bagaimana, tapi pasti ada sesuatu di dalam dirinya yang dapat membuat perbedaan di antara lainnya.” Penjelasanku.
“Kalau itu sih terserah, namun, yang menjadi akar permasalahan adalah iman kepercayaan gadis tersebut. Mayoritas rakyat Indonesia di butakan oleh suatu paradigma tertentu akan sebuah kepemimpinan, mereka lebih menilai dari sudut pandang agama ketimbang potensi dalam perjalanan seseorang. Belum lagi pihak-pihak tertentu akan bermain di area tersebut.” Kalimatnya kembali.
“Entahlah...” hanya itu yang dapat kukatakan.
“Iman kepercayaan dan pola pikir rakyat saat ini sedang mengarah kemana? Terlebih anak tersebut sama sekali tidak memiliki pengalaman tertentu dan terlihat tidak ada yang menarik dalam dirinya. Kalaupun ada dan memperlihatkan prestasi kelak, yang menjadi pertanyaan merubah cara pandang rakyat Indonesia tentang perbedaan keyakinan.” Kalimatnya lagi.
“Hal seperti ini terlalu sulit untuk di lakoni oleh seorang gadis berusia belasan tahun.” Ujarnya sekali lagi.
BAGIAN LIMA....

MENARA...
Setelah berpikir panjang tentang apa yang ada dalam perjalananku saat ini, seakan segalanya membuatku ingin bertanya kenapa, apa, mengapa, siapa, dan banyak lagi...Bapak Hartono terus saja menggangguku dan tidak pernah menyerah untuk berada di hadapanku. Hingga suatu ketika bunda jatuh sakit serta membutuhkan biaya yang cukup besar dalam pengobatannya. Bapak tersebut mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk membuatku menerima segala keinginannya. Suka ataupun tidak suka, mau tidak mau saya harus menanda tangani surat perjanjian demi biaya pengobatan bunda.
Mencari seribu alasan meninggalkan ayah dan bunda serta satu-satunya kurcaci di rumahku yang sederhana, siapa lagi kalau bukan aduk laki-lakiku satu-satunya. Merantau ke ibu kota demi membayar lunas hutang biaya pengobatan bunda. Inilah alasan yang tepat meninggalkan mereka. Sesampainya di ibu kota pikiranku masih saja terus memikirkan hal-hal yang akan terjadi selanjutnya. Apakah aku bisa melakukan dan menjalani sesuatu di depanku saat ini? Tuhan, rasanya ini benar-benar seakan seperti hidupku ada di sebuah neraka saat ini terlebih suatu hari kelak.
Bapak Hartono melarang keras untuk memberi tahu apa pun tentang semua yang menyangkut dengan Indonesia. Ini rahasia antara kami berdua saja. Saya di haruskan untuk mempelajari semuanya secara autodidak alias belajar tanpa seorang gurupun. Apakah saya bisa, sedangkan menghidupkan komputer saja saya tidak bisa? Karena tidak mengerti apa pun, pekerjaanku setiap harinya hanya menonton film-film kartun kesayanganku atau drama korea atau berdoa di kamarku setelah menyelesaikan pekerjaan rumah.
“Tuhan, pada jam-jam segini bunda selalu membawaku ke sebuah persekutuan ibadah dan mendengarkan kotbah pendeta tentang ini dan itu.” Memoryku kembali mengingat saat bunda memegang tanganku untuk berjalan kaki ke sebuah rumah kecil ibadah persekutuan. Ada saat terkadang, bunda akan marah dan mengeluarkan kalimat-kalimatnya di jalan oleh karena caraku berpakaian yang sedikit aneh pada pandangan matanya. Apakah seorang Nara dapat hidup tanpa kelurga kecilnya saat ini? Biarlah waktu akan menjawab semuanya...
Malam itu sepertinya ada suara orang berbicara di luar rumah yang aku tempati. Salah satu dari suara tersebut sudah tidak asing lagi di telingaku. Mereka sedang berbicara sesuatu yang terlalu serius di dalam sebuah ruangan dari rumah tersebut.
“Kamu sadar tidak, segala yang kamu rencanakan saat ini?” pertanyaan rekan  paman Hartono.
“Saya sadar betul apa yang akan terjadi.” Kalimat dari paman Hartono.
“Saya menginginkan yang terbaik untuk negara ini, namun di luar dugaan ada begitu banyak keegoisan, kemunafikan, permainan, dan kawan-kawannya di belakang di balik senyuman para pejabat pada dasarnya.” Lanjutan ucapan paman Hartono.
“Kelemahan dalam kehidupan Indonesia seakan dipermainkan oleh oknum-oknum tertentu baik dari luar maupun dalam. Dan hal paling terparah, entah apa yang ada dalam benak mereka dengan terus-menerus membuat hutang Indonesia semakin menumpuk di luar.” Ucapan rekan dari paman Hartono.
“Ada sesuatu yang tidak beres dalam dunia kemiliteran negara ini, sedangkan salah satu pondasi sebuah negara adalah dunia militer sendiri. Jika sesuatu yang tidak beres ini tidak segera di munculkan ke permukaan maka akan berakibat fatal ke depannya. Terlebih beberapa hal akan terjadi antara bangsa/negara suatu hari kelak, dan hal seperti ini akan saling berhubungan ataupun menjadi jurang untuk Indonesia.” Kalimat paman Hartono.
“Btw, bagaimana dengan gadis itu?”
“Saya tidak tahu untuk tahap selanjutnya?” jawaban paman Hartono singkat.
“Apakah kamu yakin akan kemampuannya, sedangkan yang saya perhatikan dia gadis kecil berusia belasan tahun dan tidak memiliki pengalaman sedikitpun. Terlebih dengan iman kepercayaan dalam dirinya saat ini merupakan titik lemah untuk menghancurkan dirinya dalam sekejap.” Kalimatnya kembali.
“Rakyat Indonesia untuk saat ini telah di butakan oleh sebuah pengajaran, mayoritas masyarakat lebih melihat agama yang di yakini oleh seseorang dibandingkan melihat sebuah potensi yang dapat merubah serta membawa negara ini keluar dari kehancuran. Itu pun kalau di dalam dirinya terdapat sebuah kemampuan luar biasa sesuai dengan yang di katakan oleh mimpimu, tapi jika tidak? Apa yang akan terjadi selanjutnya?” ungkapannya pada paman Hartono.
“Entah kekuatan apa yang membuat saya ingin mempertahankan gadis tersebut dan membawanya ke ibu kota serta menyembunyikan segala sesuatunya. Untuk beberapa saat pemikiranku sama seperti dirimu, bahwa dia tidak dapat melakukan apa pun bahkan pengalaman sama sekali tidak terdapat dalam dirinya. Sifat kekanak-kanakan dan kepolosannya membuatku ragu.” Kalimat paman Hartono.
“Namun kenapa kau ingin mempertahankannya?”
“Dia memiliki prinsip kehidupan, di balik segala kelemahan dan kepolosannya terdapat sesuatu yang tersembunyi. Hanya saja, membutuhkan tingkat kesabaran agar dia dapat membawanya ke permukaan suatu hari kelak.” Jawaban seorang bapak Hartono.
“Jadi...”
“Kamu percaya atau tidak terserah, dalam sebuah buku catatannya terdapat sebuah tulisan tangannya sendiri.” Senyuman paman Hartono menunjukkan sesuatu.
“Tentang apa? Memangnya segitu pentingnyakah tulisan tangannya?”
“Apa yang di anggap lemah bagi dunia, dipilih Tuhan untuk mempermalukan sesuatu yang kuat bagi mata dunia dan semua orang. Orang yang terlihat bodoh dan lemah, tidak akan selamanya menjadi bodoh dan lemah. Orang yang terlihat kuat dan pintar, tidak akan selamanya akan terlihat kuat dan pintar.” Kata-katanya mengutip sebuah tulisan.
“Hartono, apakah kamu mempercayai kalimat tersebut?”
“Apa yang dianggap bodoh bagi dunia, akan mempermalukan mereka yang terlihat wow di mana memiliki tingkat kecerdasan luar biasa bahkan tidak tersaingi. Arti dari pernyataan tersebut...”mencoba menjabarkan kata-kata dalam tulisanku.
Mendengar percakapan mereka berdua membuatku menyadari akan sesuatu yang penting. paman Hartono menaruh kepercayaan terhadapku, sekalipun secara kasat mata benar-benar mustahil untuk...
“Tuhan, apa yang harus kulakukan saat ini?” air mataku menetes secara tiba-tiba dalam kamarku.
“Begitu banyaknya pertanyaan dalam benakku saat ini, bantu aku untuk mengerti sesuatu yang tersembunyi dalam perjalananku saat ini?” tangisku semakin pecah.
Aku belajar menyadari beberapa hal akan Indonesia dan sesuatu yang misterius sedang bermain dalam perjalananku saat ini. Sejak dulu, nafasku tidak pernah ingin mengenal akan segala hal tentang politik, ekonomi, serta banyak lagi di dalamnya. Namun, hari ini aku belajar untuk memahami semuanya. Mengumpulkan majalah-majalah, koran-koran, buku-buku untuk mempelajari segala sesuatu yang berbau politik dan kawan-kawannya. Hanya menonton acara berita pada layar kaca. Belajar membuka dunia geogle untuk mempelajari banyak hal. Mencatat sebuah istilah-istilah penting, sebuah pernyataan di mana merupakan sebuah teka teki...
“Pendidikan dengan perubahan kurikulum yang terus di lakukan oleh negara ini guna membuat sebuah perubahan.” Mencoba memikirkan antara pendidikan Indonesia dan sesuatu yang saling berhubungan.
“Politik yang di mainkan oleh oknum-oknum tertentu dengan kesengajaan berada pada satu titik tertentu secara halus, namun tidak menggunakan otot.” Catatanku kembali.
Inilah yang berusaha untuk saya pelajari lebih lanjut saat ini. Bagaimana merubah persepsi rakyat Indonesia melalui sebuah jalur pendidikan di mana di desain secara khusus baik dari segi pembentukan IQ terlebih pada karakter masing-masing daerah. Masing-masing suku mempunyai kelebihan dan kekurangan serta mempunyai cara pandang tersendiri dalam menanggapi maupun menerima sebuah objek yang ada di depannya. Terdapat beberapa suku di mana memiliki karakter luar biasa keras untuk menghadapi sesuatu yang bersifat biasa bahkan asing.
Pola pikir dapat di rubah melalui jalur pendidikan tertentu dan di sesuaikan dengan keadaan dari daerah tersebut. Harus ada penyesuaian untuk kurikulum tertentu dalam pembentukan bibit pada suku-suku tertentu dengan karakter serta pola pikir di mana memiliki tingkat kesulitan-kesulitan tertentu saat menghadapinya.
Sebagai contoh kasus Ambon, seperti yang telah di ketahui bahwa pengajaran dari bangsa luar terekam jelas dan benar-benar di pertahankan di tempat tersebut. Saya tidak katakan bahwa, pengajaran dari bangsa portugis tersebut sepenuhnya salah. Hanya saja, pola pikir dengan karakter tersendiri di sertai emosional luar biasa dapat di manfaatkan oleh oknum-oknum tertentu baik bersifat dari luar maupun dalam. Pada dasarnya, kejadian serupa bahkan lebih buruk dari yang sebelumnya akan pertumpahan darah dapat saja kembali terjadi.
Penanganan terhadap sudut pandang mereka dalam segi apa pun membutuhkan sebuah strategi untuk membawa keluar sesuatu yang salah dalam diri suku tersebut. Sesuatu yang dianggap luar biasa dalam karakter suku tersebut merupakan titik lemah dan dapat saja menjadi bahan permainan oleh oknum tertentu. Berbicara tentang pembangunan secara otomatis akan mengarah pada dunia pendidikan kemudian merambat ke segala arah. Pembentukan bibit di dasari melalui jalur pendidikan, hanya saja, pada kasus karakter suku ini tingkat kurikulum harus di buat berbeda dengan daerah manapun.
Kerusuhan yang terjadi sebelumnya tentang pertumpahan darah antara satu dengan lainnya, pada dasarnya bersifat akar sebuah karakter seperti apa dan pola pikir dalam melihat akar permasalahan tersebut. Permasalahan di sini bagaimana mengubah karakter seperti ini dalam suku tersebut dan pada dasarnya siapapun tidak dapat memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada demi sebuah kepentingan tertentu atapun dunia politik.
Begitupun halnya pada masyarakat Papua, terdapat titik di mana pihak luar maupun dalam sendiri dapat memainkan peranan luar biasa, hanya saja, tidak terlihat pada kasat mata siapapun juga. Dalam hal ini tidak di katakan hanya sekedar menjadi pendidik, namun seorang tenaga pengajar yang dapat menyusun sebuah strategi guna mengubah karakter tersendiri dalam area suku ini. Pihak pemerintah harus tahu menempatkan porsi dalam mengarahkan ataupun membentuk sudut pandang rakyat dari suku Papua. Masing-masing suku memiliki ciri khas tersendiri dalam menyampaikan sebuah objek tertentu, adaptasi terhadap sesuatu hal dan lain sebagainya. Namun, terkadang ada karakter-karakter tersendiri pada beberapa suku yang dapat menjadi bahan permainan pihak luar maupun dari dalam.
“Nara,apa yang sedang kamu lakukan?” suara yang tidak asing lagi di telingaku.
“Seperti yang bapak lihat, kalau saya sedang berusaha untuk mewujudkan mimpi anda membawa Indonesia pada pemulihan.” Buku-buku di depanku terus saja dibolak-balikkan oleh jemari tanganku dan begitu banyaknya majalah, koran, serta segala macam catatan memenuhi ruangan kamar.
“Pikiranmu sudah mulai terbuka?” pancingannya.
“Sepertinya bapak sedikit memancing, saya tidak sepintar orang-orang di luar sana yang memiliki prestasi luar biasa dengan lulusan terbaik bahkan dari kampus terbaik pula di luar sana. Hanya saja..” jemari tanganku menghentikan aktifitasnya.
“Lanjutkan...”
“Saya akan belajar dan berjuang keras, kalaupun ada kata gagal dalam perjalananku setidaknya saya pernah mencoba dan mencoba serta mencoba...” penjelasanku lagi.
“Nara yang saya kenal kemarin terlihat kekanak-kanakan dengan kepolosan luar biasa dalam dirinya, bahkan selalu saja menjadi korban-korban drama korea. Tapi yang sekarang, jauh terlihat lebih berbeda...” senyuman menghiasi wajah paman Hartono.
“Kalau boleh tahu, apa yang sedang kamu pelajari sekarang Nara?”
“Bapak ingin tahu apa yang sedang saya teliti dan pelajari?” pertanyaanku balik.
“Sangat ingin...”
“Mempelajari pola pikir, karakter, kelebihan/ kelemahan, dan cara untuk menerima sesuatu hal ataupun objek pada masing-masing suku yang ada di Indonesia.” Penjelasanku cukup sederhana.
“Bisa Nara jelaskan tentang hal-hal yang disebutkan tadi?”
“Baiklah, seperti yang telah di ketahui bahwa di Indonesia terdapat beragam suku bangsa, yang menjadi akar permasalahan kenapa, mengapa, apa, bagaimana, siapa dan segala macam pertanyaan tentunya langsung berkaitan pada kasus-kasus terorisme,perselisihan antara penganut kepercayaan, pertumpahan darah, keegoisan, dan masih banyak lagi...” ucapku mencoba menyodorkan beberapa gambar-gambar pertikaian, berita-berita pertumpahan darah.
“Perbedaan masing-masing suku menjadi tolak ukur terhadap sebuah objek tertentu. Bagaimana merubah ataupun beradaptasi terhadap mereka melalui pendidikan-pendidikan tertentu dan tidak dapat di samakan antara satu dengan yang lainnya. Kenapa? Di karenakan sistem untuk mengubah karakter-karakter buruk dalam perjalanan masing-masing suku, harus menyesuaikan tentang cara-cara menerima sesuatu hal.” Penjelasanku lagi.
“Maksudnya?”
“Salah satu contoh kecil, pada suku A memiliki karakter emosional di atas rata-rata atau ada saat dimana tanpa mereka sadari sifat ingin menonjolkan sesuatu terlihat jelas. Pada akhir cerita oknum ataupun kelompok tertentu dapat mempermainkan dalam sekejap mata dengan kata lain memanfaatkan. Secara otomatis, dibutuhkan beberapa tahap/penyesuaian, kurikulum tersendiri (untuk pembentukan bibit baik dalam hal keceradasan terlebih karakter) yang berbeda dari pembentukan karakter/pendidikan suku-suku manapun.” Penjelasanku sekali lagi.
“Terus...”
“Di lain sisi, terdapat suku C dengan karakter dan pola pikir yang tergolong diam di tempat, secara otomatis harus di buat perbedaan kembali. Inti dari permasalahan Indonesia di sini, kenapa pertumpahan darah bahkan banyak pihak tertentu baik luar dan dalam memanfaatkan di karenakan...” ungkapanku.
“Di karenakan apa?” rasa penasaran paman Hartono.
“Di karenakan dalam dunia pendidikan serta program pemerintahan...penyesuaian terhadap pembentukan pola pikir serta karakter semuanya sama, sedangkan masing-masing suku memiliki tahapan-tahapan tertentu dan perbedaan-perbedaan pada saat membuang atau pun menerima suatu objek tertentu.” Ungkapan penjelasanku kembali.
“Yang berarti harus ada perbedaan dalam hal ini?’
“Yah seperti itulah, harus ada kerja sama antara presiden, gubernur, wali kota, bupati masing-masing daerah, serta tidak luput adalah dunia pendidikan yang berjalan kemana dan berada di titik seperti apa...” Penjelasanku kembali.
“Hanya saja, yang jadi permasalahan terkadang pejabat bersifat masa bodoh dan keegoisan ada dalam perjalanan mereka. Jadi, segala sesuatu yang ingin di rubah akan terhambat bahkan ada yang lebih mementingkan kursi dan hal-hal yang berbau...” kalimatku sekali lagi.
“Bapak mengerti maksud dari ucapanmu, tapi, percaya saja Tuhan pasti buka jalan untuk perubahan Indonesia.” Pernyataan paman Hartono berusaha membuatku menyadari akan sesuatu hal.
Inilah perjalananku saat ini, tanpa seorangpun yang menyadari sesuatu hal telah membungkus nafasku. Memasuki sebuah dunia yang sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya, bahkan orang-orang terdekatku pun tidak akan pernah tahu...
Mencari jalan, berusaha dan berjuang di balik layar tanpa seorangpun menyadari bahkan akan selamanya tertutup oleh siapapun... Tidak pernah terbayangkan, sama sekali akan dunia lain dalam perjalanan dan nafasku saat ini dan suatu hari kelak. Bapak Hartono dan rekannya berusaha mencari titik celah untuk perubahan akan  pondasi Indonesia saat ini. Memperjuangkan negara ini untuk sebuah perubahan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan oleh karena perbedaan dan tingkat-tingkat kesulitan terhadap pola pikir ataupun sudut pandang saat menghadapi/menerima sesuatu hal untuk masing-masing suku. Air mata dapat saja mengalir untuk menyatukan setiap perbedaaan bahkan seseorang harus bertarung dengan nyawa sendiri.
Siang itu, cuaca ibu kota sangat panas berjalan kaki suatu tempat sekedar menghibur diri sendiri. Untuk pertama kalinya, aku dapat berjalan bebas keluar dari rumah setelah hidupku hanya di habiskan dalam sebuah ruangan saja. Tidak seorangpun boleh tahu, akan kehadiranku saat ini semuanya masih harus tertutup oleh karena beberapa alasan tertentu. Memberikan arahan dan beberapa hal melalui paman Hartono serta rekannya, sedangkan mereka yang bekerja terlebih mencari celah/jalan tertentu.
“Auuuuwwwwwwww...” menahan sakit akibat terkena sebuah benda yang datang entah dari mana.
“Siapa di sana?” sebuah suara dari arah utara.
“Siapa yang berjalan di depanku saat ini?” batinku bertanya-tanya, seorang pemuda berperawakan, wajahnya jauh melebihi model-model ternama...
“Sorry, bolaku mengenai kepalamu.” Ujarnya tersenyum.
“Tidak apa-apa.” Ucapku kemudian berlalu dari hadapannya sesegera mungkin. Tidak berarti saya akan menjadi gadis mengerikan terlihat genit bahkan kaget oleh karena sebuah pemandangan wow...di depan mataku saat ini.
Mataku lebih di kejutkan lagi oleh sekelompok manusia sedang berkerumun pada pemuda tersebut secara tiba-tiba. Memangnya pria ini siapa? Begitu banyaknya orang-orang yang ingin meminta tanda tangan darinya.
“Masa bodoh...” ujarku kemudian berusaha untuk berlalu dari kerumunan di tempat tersebut.
Kakiku melangkah mencari sesuatu yang bisa di minum sekitar jalanan yang kulalui. Namun, sekali lagi seakan aku merasa ada sesuatu yang sedang membayangi langkahku saat ini. Entahlah...
“Bermain di belakang layar sama seperti seorang sutradara...” merenungi perjalananku saat ini dan ke depannya. Seorang anak gadis, pada pandangan mata siapapun akan terlalu polos...namun, siapa yang akan menyangka kakinya melangkah ke suatu titik untuk belajar membuat irama tertentu di balik layar paling luar biasa dari negara ini. Suka atau tidak suka, namun, inilah yang sedang terjadi hari ini dan suatu hari kelak. Tanpa seorangpun menyadari, apa yang sedang terjadi...
“Siapa di sana?” kalimatku mencurigai sesuatu yang sedang mengikutiku sejak tadi.
“Keluarlah dari tempat persembunyianmu.” Mencoba memancing dan berusaha berjalan pada sebuah pohon besar yang tidak jauh dari sekitar jalan tersebut.
“Maafkan saya untuk yang ke-dua kalinya.” Suara seseorang secara tiba-tiba dari balik pohon.
“Kau pria yang tadi itu kan.” Pertanyaanku, namun, secara tiba-tiba pria tersebut terjatuh di hadapanku.
“Hei, kau tidak apa-apa?” pertanyaanku melihat tangannya penuh dengan luka.
“Tolong, jangan bawah saya ke rumah sakit...” ujarnya memohon sesuatu sebelum akhirnya dia pingsan.
“Hei, bangunlah...” teriakanku tidak tahu harus melakukan sesuatu.
“Nara...” Ujar pak Raharjo dari arah belakang. Bersyukur paman Harjo datang di saat yang tidak terduga. Awalnya paman Harjo ingin membawanya ke rumah sakit, namun, saya memohon agar membawanya ke rumah saja karena pria tersebut sebelum pingsan memohon...Beruntung dia tidak kenapa-kenapa dan luka pada tangannya tidak begitu parah. Hanya membutuhkan istirahat beberapa saat dan setelahnya pria tersebut akan kembali pulih seperti sedia kala.
BAGIAN ENAM...

MENARA...
Sepertinya wajah pria yang sedang berbaring di hadapanku sekarang sudah tidak asing lagi, namun, entahlah...Awalnya hanya sekedar mencari angin segar, di luar dugaan berhadapan dengan sebuah kejadian luar biasa.
“Di mana saya sekarang?” Suara pria tersebut pagi-pagi.
“Oh, rupanya sudah siuman...sudah baikan...” pertanyaanku sambil memotong sayur-sayuran yang ada di depanku.
“Nara, jaga rumah baik-baik dan paman Harjo mau berangkat kerja dulu...” teriak paman dengan membawa dokumen-dokumen penting.
“Beres paman...” balasku. Untuk sementara, saya harus menginap di rumah paman Harjo sampai pemuda tersebut siuman dan pulih. Paman Harjo mengatakan terlalu beresiko, jika di bawah ke rumah yang kutempati, kerena ada begitu banyak data-data yang tidak seorangpun boleh menyadari segala sesuatunya. Tidak seorangpun menyadari bahwa dalam rumah paman Hartono terdapat ruang bawah tanah untuk mempelajari semua data-data dan hal-hal yang berhubungan dengan Indonesia. Resikonya terlalu besar, jika tercium oleh pejabat-pejabat lainnya.
“Sepertinya saya mengenal orang yang menyapamu tadi?” ucapan pria tersebut kembali.
“Memangnya kenapa?”
“Jangan-jangan kamu simpanan om-om gitu yah?” ledekannya kembali.
“Terus masalahnya di mana?” pertanyaanku kembali.
“Paman itu kan, salah satu pejabat wakil rakyat dan biasa muncul di tv.” Celotehnya kembali.
“Namanya bapak Raharjo, kalau bicara sangat pedas...pelan, halus  tapi jika seseorang yang berusaha untuk mempelajari arah pembicaraannya sangat menusuk alias pedas benner.” Celotehnya sekali lagi.
“Terus masalahnya denganmu di mana?”
“Jutek amat sih, kamu ga kenal siapa saya yah?” berdiri sambil bertolak pinggang.
“Memangnya kamu siapa?”
“Astaga, saya seorang artis/model paling terkenal di negara ini, bahkan kemarin itu tanganku terluka gara-gara lari dari penggemar.” Memasang tatapan bola mata serius.
“Ternyata orang yang di depanku ini adalah seorang artis, pantes saja wajahnya sepertinya saya pernah lihat wajahnya,  tapi saya lupa di mana...ternyata di tv...” kalimatku di dasar hati.
“Saya mencurigai sesuatu hal, kalau di pikir-pikir bapak Raharjo benar-benar tajam dalam berbicara, namun dibalik itu semua memiliki simpanan juga rupanya sama seperti pejabat lainnya.” Sindirannya luar biasa.
“Kalau sudah baikan, tolong segera angkat kaki dari rumah ini secepatnya.” Perintahku membuka pintu depan.
“Kalau di pikir-pikir anak bapak Raharjo sudah menikah semua, jadi tidak mungkin kamu itu anaknya.” Kata-katanya kembali menyindir.
“Tidak peduli apa pun yang dikatakan pria di depanku saat ini, jangan pernah terpancing oleh sebuah keadaan.” Berusaha untuk bersabar menahan emosi.
“Kalau di perhatikan, gadis seperti dirimu terlalu sayang untuk menjadi simpanan pejabat, mending ikut saya saja.” Untuk pertama kalinya ada seorang cowok dengan beraninya mengatakan kalimat-kalimat seperti ini. Pada dasarnya, saya sama sekali tidak mengenal dunia pria seperti apa, hanya saja ini sudah lewat dari batas-batas yang seharusnya.
“Keluar dari rumah ini...” teriakanku luar biasa mengusirnya, jangan karena dia seorang artis terkenal, seenaknya saja menyombongkan dirinya.
Akhirnya pria tersebut berhasil keluar dari rumah. Bunda tidak pernah mengajarkan hidupku untuk berkata-kata yang tidak sepantasnya. Hanya saja, kelakuan pria tersebut telah melewati batas secara luar biasa. Saya saja tidak pernah mengenal istilah pacaran itu seperti apa, ini sudah melewati batas ...memangnya bentuk wajahku semurah itu?
Apakah Tuhan dengan sengaja membuatku terus berada di hadapan pria tersebut? Saat kakiku mulai mencari udara segar dan di manapun saya berada, secara otomatis sosknya akan terus berada di hadapanku. Entak secara kesengajaan atau pun tidak...Apakah takdir yang membuatku berada di hadapannya untuk mengenal beberapa karakter tertentu?
Seakan dunia ini terlalu sempit, sehingga setiap kakiku berjalan keluar dari rumah pasti akan selalu dipertemukan dengan dirinya. Apakah pada dasarnya nasibku untuk terus saja berurusan dengan pria semacam ini?
“Gadis mungil, kenapa kita selalu saja bertemu yah?” godaannya.
“Tuhan, untuk beberapa saat saya belajar menerima tentang sesuatu yang misterius dalam perjalananku, hanya saja permasalahan lain lagi, dimana harus berurusan dengan pria di hadapanku yang sekarang benar-benar membangkitkan emosionalku.” Gerutuku di dasar hati.
“Gadis mungil, dari pada menjadi simpanan pejabat itu mending jadi pacarku saja yah...” senyumannya mengambang kembali. Seakan ada sesuatu yang membakar diriku dengan api paling mengerikan...
Berusaha menahan diri agar terpancing dengan ucapannya adalah jauh lebih baik dibandingkan berkomentar tentang apapun yang di katakannya. Berlalu dari hadapannya jauh lebih baik dibandingkan berkata-kata yang pada dasarnya akan menimbulkan dosa lebih hebat...
“Gadis mungil...” teriakannya berusaha menarik tanganku untuk menghindari sebuha truk yang berjalan dengan kecepatan tinggi ke arahku tanpa sadar.
“Kamu tidak apa-apa?” tanyanya sangat khawatir.
“Tidak kenapa-kenapa?” ucapku segera berdiri dan melangkah untuk berlalu dari depan matanya.
“Kenapa kau ingin menolong simpanan pejabat agar terhindar dari maut?” pertanyaanku menghentikan langkah kakiku.
“Karena saya menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu, pada saat bolaku mengenai kepalamu.” Jawabannya.
“Kau kan tahu saya simpanan pejabat? Masih berusaha mengejar?”
“Kamu pikir saya terlalu bodoh untuk membedakan mana gadis baik-baik dan simpanan seorang pejabat..” ujarnya .
“Maksudnya?”
“Itu hanya sekedar akal-akalan saya saja, setidaknya ingin melihatmu marah luar biasa, tapi jauh di dasar hati saya minta ampun juga sama Tuhan. Hahahahahahaha, lucu kan” godaannya menyentuh pipiku dengan jari telunjuknya untuk beberapa saat.
“Tidak ada yang lucu...”
“Gadis mungil, jadi pacarku saja yah? Secara saya ini kan seorang artis terkenal dan wajahku di pajang di mana-mana. Ada lagi yang tidak kamu ketahui, kalau saya ini salah satu anak paling terkaya di negara ini.” Celotehnya kembali.
“Terlalu sombong...” batinku.
“Jadi bagaimana? Apakah bersedia menjadi pacarku?’ pertanyaannya kembali mencolek pipiku menggunakan jari telunjuknya.
“Sampai detik ini saya tidak mengenal siapa namamu sekalipun kau itu artis terkenal. Dan jangan karena kau seorang artis terkenal, secara otomatis semua orang membayangkan ingin menjadi pacarmu. Kau salah besar di sini.” Suara nyaring dari mulutku.
“Masa kamu tidak mengenal siapa namaku?”
“Sama sekali tidak...” jawabku.
“Nama saya Reynand Goldy, salah satu artis paling terkenal dan anak pengusaha terkenal di Indonesia.” Celotehnya kembali.
“Dalam kamusku, cinta pada pandangan pertama itu tidak pernah ada. Belajarlah tentang arti kehidupan...” pernyataanku sebelum meninggalkan dirinya.
“Gadis mungil belajar arti kehidupan itu yang seperti apa? Saya jadi penasaran...”
“Kau benar-benar ingin tahu?” kalimatku menghentikan irama langkahku.
“Benar-benar sangat ingin gadis mungil...”
“Ikut saya...” kalimatku mengajaknya ke suatu tempat.
“Kau mengajakku ke panti jompo seperti ini untuk apa?” teriakannya, saat kami sudah berada di sebuah panti jompo.
“Tugasmu adalah memandikan kakek-kakek yang ada di panti jompo ini, serta mencuci pakaian mereka bukan menggunakan mesin cuci melainkan tanganmu sendiri, memasak,serta membersihkan panti ini.” Ujarku menatapnya dengan sangat tajam.
“Ta..ta..ta...pi...” ujarnya ingin memotong.
“Satu lagi, dalam panti ini terdapat beberapa kakek yang sudah tidak bisa mengurus dirinya sendiri dan harus menggunakan popok.”
“Maksudnya?”
“Kau harus membersihkan kotoran mereka serta mengganti popok yang penuh kotoran dengan yang baru.” Ucapanku kali ini.
“Maksudmu, setelah mereka BAB & BAK, saya yang harus membersihkan...astaga...tidak salah...” teriakannya.
“Belajarlah untuk mengenal arti kehidupan, tanpa harus memikirkan dalam sekejap saya bisa mendapatkan gadis manapun di dunia ini dengan ketenaran, ketampanan, kekayaan dalam kehidupanku sekarang ini.” Tegurku kemudian pergi meninggalkannya.
“Nara, kalau saya berhasil melalui ini semua, apakah kamu akan menjadi pacarku?” teriakannya membuat wajahku berbalik ke arahnya.
“Kalau kamu bisa melewati hal ini selama 2 bulan, saya akan memberikan tantangan yang lebih baru lagi dari ini.” Jawabanku terhadapnya.
Tidak semua yang ada di dunia ini dapat di raih begitu saja. Belajar untuk mengenal sebuah pembentukan melalui suatu perjalanan hidup pada titik tertentu.Jangan karena di dalam kehidupan benar-benar terlihat sempurna, hingga keangkuhan hidup memainkan iramanya secara tersendiri.
Saya meragukan kemampuan Reynand untuk berada di dunia panti jompo tersebut selama 2 bulan. Manusia seperti dirinya mana bisa bertahan dan mau melakukan pekerjaan-pekerjaan menjijikkan seperti itu. Namun, diluar dugaan manusia itu benar-benar ingin membuktikan sesuatu di dalam dirinya.
“Gadis mungil, jangan pernah memanggil namaku Reynand kalau saya tidak bisa melalui semua ini...” pesan masuk melalui sms.
“Dari mana dia mengetahui nomor telponku?” mencoba berpikir.
Dia benar-benar membuktikan segala ucapannya dengan melakukan apa yang kuperintahkan pada saat itu. Rasa penasaran menerpa duniaku saat ini, apa yang sebenarnya dia inginkan? Saya bukan seseorang dengan pendidikan tinggi, sekalipun sebuah perjalanan misterius menuntut untuk berada di balik layar tertentu. Tidak mempunyai bentuk fisik sama seperti model di luar sana. Dan permasalahannya, apa yang diinginkan olehnya?
“Nara, apa yang sedang kamu pikirkan?” paman Hartono membangunkanku dari lamunan.
“Paman, lagi tidak kenapa-kenapa.” Jawabanku.
“Kami sudah berusaha untuk memainkan suatu peranan tertentu, pasti ada cara untuk Nara suatu hari kelak benar-benar berada di depan membuat sebuah perubahan dan menghadapi semuanya...” ujarnya.
“Yang paman pikirkan pasti hanya Indonesia dan perubahannya, terserah paman sajalah.” Kalimatku acuh tak acuh.
“Untuk saat ini Nara harus belajar lebih lagi, dan kami akan berjuang agar kamu bisa kuliah di kampus terbaik di luar sana suatu hari kelak. Tapi tidak untuk saat ini, karena ada begitu banyak hal yang harus di pelajari dan semua ini bersifat misterius.” Kata-katanya membuatku sama sekali tidak memahami sedang mengarah kemana...
“Jujur, saya tidak mengerti dengan maksud paman.” Ungkapanku.
“Waktu akan membuatmu memahami pernyataan paman saat ini suatu hari kelak.” Kalimatnya dengan tatapan penuh kehangatan.
“Paman, sebenarnya saya lebih suka menjadi orang biasa dan tidak menyukai dunia seperti ini. Kalaupun saya harus berada di jalan seperti ini, itu karena keterpaksaan.” Kalimatku menjelaskan...
“Nara, di balik semua ini ada maksud dan rencana Tuhan, tidak ada yang salah dengan jalanmu.” Paman Hartono berusaha untuk sebijak mungkin dalam berkata-kata.
“Saya juga menyukai untuk berada di belakang layar bukan saat berada di depan...” kalimatku kembali.
“Sekarang sudah malam, sudah saatnya tidur.” Paman Hartono beranjak dari kamarku kemudian berjalan keluar.
Tertidur dan menutup mata, berpikir bahwa semua yang sedang terjadi dalam kehidupanku hanyalah sebuah mimpi belaka. Perjalanan misterius, di mulai dari mimpi paman Hartono untuk mencari daerah tempat tinggalku. Tidak mengenal siapa pria paruh baya tersebut, hingga pada akhirnya oleh karena sesuatu hal, hatiku berjalan untuk mengikuti kehidupan yang serba misterius dan penuh teka teki seperti ini.
“Nara mau kemana pagi-pagi begini?” wajah paman Hartono sedikit terkejut melihatku...
“Ada sesuatu yang ingin saya selesaikan sekarang ini.” Jawabanku.
“Bukan yang aneh-aneh kan?”
“Paman tenang saja, ini tidak ada hubungannya dengan kegiatan paman dan perencanaan tentang apalah yang berhubungan dengan negara ini. Hanya sedikit masalah pribadi.” Ujarku.
“Apakah bundamu kembali sakit? Nara tenang saja, paman selalu mengirim uang kepada mereka setiap bulannya sesuai dengan perjanjian kita sebelumnya.” Kalimatnya lagi.
“Bunda sehat-sehat saja, ada hal yang harus saya selesaikan, mungkin berhubungan dengan salah satu penduduk ibu kota ini sepertinya.” Ujarku kembali kemudian berlalu dari hadapannya.
“Apa yang di inginkan orang itu? Pagi-pagi mengirimkan begitu banyak pesan dan dari dia tahu nomorku?” celotehku berjalan sambil mencari sebuah angkot.
Turun dari mobil angkot tersebut, melangkahkan kaki menuju sebuah yayasan panti jompo untuk menyelesaikan permasalahan ini. Saat berada di sana, bola mataku dikejutkan oleh tingkah laku Reynand yang sedang berusaha mencuci pakaian orang-orang lanjut usia dengan tangannya sendiri di tempat tersebut. Belajar untuk membuat mereka tersenyum dan banyak lagi.
“Saya pikir dia anak manja, tapi, lumayan juga dengan tingkahnya yang seperti ini.” Gumamku telah melupakan tujuanku memijakkan kaki di tempat ini.
Tidak di sangka bahwa Reynand mampu menjalani kehidupan seperti ini selama 2 bulan, percaya atau tidak...Saya yakin dan percaya kalau selama ini hatinya terus saja bersungut-sungut hanya tidak di munculkan olehnya ke sebuah permukaan.
“Gadis mungil, percaya atau tidak percaya kalau saya berhasil melalui rintangan darimu selama 2 bulan berada di neraka bersama orang-orang lanjut usia di sana.” Ujarnya tiba-tiba berada di hadapanku.
“Dari mana dia tahu alamat rumahku yang sebenarnya dan sekarang sudah ada di halaman teras rumah.” Kalimatku di dasar hati.
“Pasti heran yah, dimana saya mendapat alamat rumahmu yang sebenarnya.”
“Dari mana?” tatapanku tajam ke arahnya.
“Dari hatimu.” Jawabannya membuatku ingin tertawa sinis.
“Hanya bercanda, saya mengikutimu dan mencari tahu semuanya...”ujarnya.
“Jadi...” ungkapnya lagi.
“Saya tahu kalau gadis mungil di depanku sekarang adalah keponakan salah satu pejabat wakil rakyat atau ada sesuatu yang di sembunyikan mungkin atau kau ini anak hasil pernikahan sirih bapak Raharjo atau Hartono dengan seorang gadis desa di luar sana...” sindirannya.
“Orang aneh.” Ucapanku.
“Gadis mungil, bagaimana dengan tawaranku kemarin kau menjadi pacarku yah?”
“Ini baru tahap awal, masih ada lagi hal yang harus dilalui olehmu.” Kata-kataku penuh penekanan.
“Apa itu?”
“Ikut saya ke suatu tempat.” Tanganku menarik tangannya
“Kita mau kemana?” pertanyaannya.
“Kau harus berada di rumah sakit ini untuk merawat orang-orang yang ada di sini, belajarlah arti kehidupan dan jangan pernah menyombongkan segala sesuatu yang ada dalam dirimu.” Penjelasanku setelah sampai di sebuah rumah sakit dengan menggunakan mobil angkot.
“Gadis mungil...”
“Tugasmu adalah menjadi cleaning servis di rumah sakit ini tanpa uang sepersen pun.”
“Bagaimana kalau banyak media meliput dan menyadari apa yang sedang saya kerjakan saat ini?”
“Itu penderitaanmu bossss, bukan saya punya penderitaan, ngerti.” Gertakanku.
“Benar-benar mengerikan, untuk pertama kalinya saya mendapatkan tipekal perempuan seperti ini.” Sedikit memelankan suaranya.
“Apa kau bilang? Satu lagi, lakukan ini selama 3 bulan.” Ucapanku kembali.
Entah kekuatan dari mana, yang membuatku ingin membuatnya mengenal akan sesuatu hal. Saya tidak mengenalnya, hanya saja inilah yang sedang terjadi...perjalanan misteri sedang bermain dalam nafasku, yang entah kapan akan berakhir...
Secara tidak terduga dia kembali membuktikan bahwa rintangan tersebut dapat dilaluinya. Tidak peduli dengan apa kata orang dan dunia media. Satu pertanyaan dalam benakku, sebenarnya apa yang ada di dalam pola pikirnya saat ini? Apakah ia mencari sesuatu hal ataukah sekedar membuat sensasi belaka?
“Bapak belajarlah arti kehidupan.” Ungkapannya terhadap salah seorang pasien.
Tanpa di sadarinya, saya sedang berada di balik pintu memperhatikan apa yang sedang di perbuatnya. Berusaha membuat pria paruh bayah tersebut memahami sesuatu hal yang terlalu sulit untuk dipahami oleh karena sebuah keadaan.
“Kenapa mengatakan hal seperti itu, dan bagaimana caranya untuk memahami makna kehidupan yang sebenarnya?” pertanyaan balik dari pasien tersebut.
“Seseorang mengajarkan duniaku untuk mengenal arti kehidupan, dan saya pun ingin agar bapak memahami maksud di balik pernyataan tersebut.” Ujarnya.
“Contohnya?”
“Bapak harus belajar membuat sebuah perubahan bukan karena sebuah kekayaan, kekuasaan, ketenaran, sesuatu yang hanya di nilai oleh kasat mata banyak orang...” ucapan Reynand.
“Jadi...”
“Melainkan mempelajari makna kehidupan dengan sesuatu yang membentuk hati bapak secara pribadi. Kalau bapak berhasil melewati semua ini, saya yakin anda dapat melupakan penyakit yang sedang membungkus perjalanan saat ini. Bahkan bisa saja, anda dapat sembuh seketika itu juga.” kata-katanya sama sekali tidak pernah terbayangkan olehku.
“Saya harus melanjutkan kembali tugas bersih-bersihku.” Senyumannya segera mengambil seluruh peralatan pel kemudian berlalu dari hadapan pasien tersebut.
Dia menjadi berubah untuk waktu yang cukup singkat, ataukah dengan kesengajaan memainkan ucapan-ucapan tertentu terhadapku pada saat itu. Hanya Tuhan dan hatinya yang dapat menjawab segala pertanyaan-pertanyaan tersebut.
“Gadis mungil, tinggal beberapa hari lagi waktu 3 bulan tersebut berakhir...” ucapannya mengagetkan dan telah ada di halaman rumahku.
“Paman Hartono bisa saja melihatmu berada di sini, sangat beresiko.” Sedikit khawatir mengingat jam pulang paman Hartono sebentar lagi. Pada dasarnya, paman mempunyai rumah sendiri hanya saja tempat ini merupakan gudang rahasia yang sama sekali tidak disadari oleh siapapun juga.
“Pergilah sebelum paman melihatmu.” Kalimatku mendorong sekuat tenaga.
BAGIAN TUJUH...

REYNAND GOLDY...
Siapa sih yang tidak mengenalku, salah satu artis terkenal di negara ini dengan prestasi luar biasa dalam hal akting dan dunia modeling. Papi merupakan salah satu manusia terkaya di negara Indonesia tercinta, namun, belum mampu menyaingi kekayaan Bill Gates. Apa yang kuinginkan pasti kudapatkan dalam sekejap, hal seperti inilah yang membentuk akar kesombongan dalam perjalananku. Keangkuhan hidup mewarnai perjalananku tanpa seorangpun menyadari. Berbicara sebagai salah satu publik figur, harus tampil dengan senyuman dan sikap bersahabat pada siapapun. Pada dasarnya, sifatku bagi pandangan mata masyarakat penuh kerendaha hati oleh kerena senyuman luar biasa yang terus saja kumainkan. Namun, pada dasarnya akar kesombongan lebih memainkan perannya dalam nafasku.
Hingga suatu ketika, secara tidak sengaja bolaku mengenai kepala seorang gadis mungil...tentu saja, aku menyebutnya dengan sebutan gadis mungil oleh karena bentuk wajah, bibir,jemari tangan/kakinya, tubuhnya segala sesuatunya bersifat mungil-mungil. Entahkah Tuhan dengan kesengajaan membuat pertemuan tersebut untuk merubah duniaku atau seperti apa pun, hanya DIA saja yang menyadari segalanya.
Secara tiba-tiba, untuk pertama kali dalam , detak jantungku berdetak dengan begitu cepat tak beraturan sama sekali. Apakah saya menyukai gadis mungil yang ada di depanku saat ini ataukah hanya secara kebetulan saja...kemungkinan saya belum sarapan sejak tadi hingga tubuhku terus saja gemetar. Pertama kali bertemu, dia tidak seperti dengan wanita-wanita lain di luar sana.
“Tuhan, apa pun yang terjadi saya ingin di pertemukan kembali dengannya.” Suara hatiku menggema. Dan pada akhirnya, dalam waktu singkat doaku terjawab. Tanpa sengaja tanganku sedikit terluka oleh karena menjauh dari para fans fanatikku saat itu. Berlari dan berlari bahkan terus saja berlari hingga tubuhku bersembunyi pada sebuah pohon besar yang kembali mempertemukanku dengan dirinya.
“Gadis mungil.” Semangatku melupakan luka pada tanganku. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saya sudah berada di atas sebuah ranjang. Ternyata saya pingsan saat berhadapan dengannya...
Keluar dari ruangan kamar tersebut dan mendapati dirinya sedang berada di dapur. Saya seakan mengenal seseorang yang sedang berbicara dengannya dan tidak lain merupakan salah satu pejabat terkenal di negara ini. Hubungan antara gadis mungil tersebut dengan pejabat tersebut sebenarnya seperti apa? Tidak mungkin gadis mungil ini merupakan simpanan pejabat tersebut...pasti ada sesuatu yang di sembunyikan oleh mereka. Walaupun saya tidak terlalu memahami dunia politik dan para pemainnya, namun, siapa yang tidak mengenal bapak Raharjo dan rekannya bapak Hartono. Kedua pejabat tersebut selalu kritis saat berhadapan dengan sesuatu yang ada di depannya.
Saya tidak perduli akan kedua pejabat tersebut, hanya saja duniaku lebih tertarik dengan gadis mungil tersebut. Dengan kesengajaan mengejeknya merupakan salah satu simpanan pejabat, pada hal saya sadar betul kalau dia hanyalah seorang gadis polos terlihat jelas dari raut wajahnya. Hanya sekedar memancing emosionalnya belaka, tapi, untuk yang satu ini jangan pernah mengikuti kelakuanku apa pun yang terjadi...
Entah apa yang ada dalam benakku, secara langsung menyuruhnya agar dia mau menjadi pacarku. Namun, di luar dugaan apa yang diingini oleh hatiku tidak akan pernah di raihnya dalam sekejap mata. Semua membutuhkan perjuangan luar biasa, untuk mengejar...
Untuk pertama kalinya, seorang Reynand Goldy di tolak oleh seorang gadis dalam sekejap mata. Untuk pertama kalinya seseorang mengucapkan sebuah pernyataan yang tidak akan pernah kulupakan sedikitpun dalam perjalananku. Belajarlah untuk mengenal arti kehidupan, itulah ucapannya setiap saat. Membawaku ke suatu tempat dan mengajarkan hidupku akan suatu perjalanan. Berada dalam sebuah rumah jompo untuk membuat diriku mengenal serta memahami seni kehidupan yang sebenarnya. Di tantang untuk berada dalam rumah jompo tersebut dan melakukan berbagai hal di dalamnya. Hal yang tidak pernah kulakukan, untuk pertama kalinya belajar dan belajar hingga pada akhirnya menghancurkan akar kesombongan dalam perjalananku.
“Saya pasti bisa membuktikan, bahwa kakiku dapat melewati tantangan dari gadis mungil tersebut.” Kalimatku di dasar hati setiap malam.
“Ketenaran, kekayaan, ketampanan/kecantikan seseorang, kejeniusan, kekuasaan bukanlah hal yang dapat membuat hidup ini terlihat sempurna. Melainkan, saat kaki sedang belajar untuk memahami apa yang di maksud dengan pembentukan melalui sesuatu yang menyakitkan secara luar biasa.” Suara hatiku menggema saat belajar melakukan berbagai hal.
Saya hanyalah salah satu dari manusia yang sama sekali tidak pernah merasakan kehidupan susah seperti apa. Penderitaan di luar sana dalam bentuk apa? Sehingga pada dasarnya ada saat di mana pernyataan dari perbendaharaan mulutku akan selalu mempelihatkan akar kesombongan di hadapan semua orang. Masyarakat bawah tidak pernah menyadari siapa saya, namun, semua orang dalam rumahku menyadari bagaimana seorang Reynand berkata-kata ataupun memerintah dengan seenaknya.
“Belajar untuk membersihkan kotoran-kotoran beberapa orang jompo, belajar melakukan pekerjaan-pekerjaan di mana tidak pernah dianggap oleh mata dunia. Belajar, belajar, dan belajar hanya belajar serta belajar kembali. Itulah yang dilakukan perjalananku saat ini melalui seorang gadis mungil.” Kalimat-kalimatku kembali bergema jauh di dasar hati setiap saat.
Belajar saat berada di sebuah rumah sakit mengerjakan pekerjaan paling tidak pernah di lihat oleh semua orang. Seorang Reynand tidak lagi memperdulikan apa kata orang, secara tiba-tiba meninggalkan dunia hiburan dan mengikuti segala yang di ucapkan oleh gadis mungil tersebut. Memutuskan kontrak-kontrak dengan beberapa pihak production house.
“Reynand, apakah kamu sadar dengan yang kamu lakukan sekarang ini?” Emosional Deynis salah satu manager yang mengatur segala jadwal atau kontrak kerja dengan pihak production house.
“Memangnya kenapa?” jawabanku ingin menenangkan diri.
“Kamu bisa kehilangan pekerjaan dan penggemar, kalau hidupmu seperti ini.” Ujarnya.
“Tidak jadi masalah, bukankah keluargaku memiliki banyak uang saat saya harus kehilangan pekerjaan sebagai artis terkenal.” Kalimatku tidak memperdulikan ucapannya.
“Kemana Reynand yang kemarin dengan segala ambisinya, benar-benar mengejar karir.”
“Pekerjaan sebagai artis hanyalah penghiburan belaka, dan pada akhirnya saya akan tenggelam dari dunia yang telah membesarkan namaku selama ini oleh karena sebuah tuntutan keluarga.” Ucapanku memandang pemandangan keluar melalui kaca jendela.
“Sekarang keluarlah dari kamarku sekarang juga.” perintahku membuka pintu kamar. Dengan wajah kesal, Deynis berjalan keluar tanpa berkata-kata sedikitpun.Sesuai dengan ucapan gadis mungil tersebut adalah belajar untuk memahami akan sesuatu yang membentuk dalam perjalanan seseorang.
“Hei, gadis mungil...” tegurku terhadapnya secara tiba-tiba berada di halaman rumahnya.
“Pergilah, sebelum paman Hartono berada di sini.” Tegurnya. Saya mencurigai sesuatu hal yang tersembunyi antara dia dan 2 pejabat tersebut. Setelah melakukan beberapa penyelidikan, ternyata kedua pejabat tersebut sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan Nara. Ada sesuatu yang tersembunyi, hanya saja terlalu sulit untuk menggali lebih jauh. Saya tahu pasti, bahwa Nara bukanlah simpanan, sangat terlihat jelas pada wajahnya. Rumah Nara benar-benar jauh dari penduduk setempat dan di desain dengan beberapa tekhnik-tehknik tertentu.
“Baiklah saya akan pergi dengan syarat besok kita bertemu di rumah sakit tempatku bekerja sebagai cleaning servis.” Kata-kataku penuh penekanan.
“Sebenarnya apa maumu?” teriakannya.
“Mauku, gadis mungil di depanku menjadi pacarku dalam sekejap.” Senyuman luar biasa terpampang pada wajahku.
“Kau belum menyelesaikan tantangan 3 bulanmu.”
“Tapi akan berakhir esok hari.” Ucapku memotong pembicaraannya.
“Benar katamu, berakhir esok hari dan akan dimulai dengan perjalanan baru kembali.” Tatapan tajam kembali di arahkan terhadapku yang kemudian segera berlalu memasuki pintu rumahnya.
Inilah kehidupannya, penuh dengan sesuatu yang tidak terduga. Terkadang, terdapat sebuah pertanyaan dalam benakku mengapa saya ingin melakukan apa yang diperintahkannya? Seakan ada sebuah kekuatan besar untuk melakukan apa pun ucapannya. Suatu hari kelak, waktu akan berkata-kata, istilah mengapa akan terjawab....
“Kukira gadis mungilku tidak akan datang ke rumah sakit ini.” Ucapanku sedikit menggodanya.
“Sejak kapan saya menjadi gadis mungilmu, dengarkan kau bukan pacar atau apa pun itu.” Ujarnya dengan nada menggertak.
“Okey, sesuai dengan ucapanku kemarin tentang perjalanan baru.” Menarik tanganku seperti biasanya saat ingin memperlihatkan sesuatu yang baru...Tidak lama kemudian, kami berada di sebuah gubuk kecil dengan begitu banyaknya rumah-rumah kumuh di sertai bau tidak sedap.
“Apa maumu?” pertanyaanku berusaha melepaskan tanganku.
“Tumben balik bertanya...”untuk pertama kalinya memperlihatkan sebuah senyuman dari wajahnya.
“Gadis mungil ternyata kalau tersenyum manis juga yah.” Godaanku yang kemudian dia berusaha mengembalikan mimik wajahnya seperti biasa.
“Saya ingin seorang Reynand tinggal di daerah kumuh ini selama setahun, belajar menjadi pemulung sebagai pekerjaan sampingan. Makan apa adanya tanpa sebuah istana, mencuci pakaian sendiri dan makan hasil masakan sendiri.” Kalimatnya membuatku tidak berkutik.
“Tidak bisakah kau mengucapkan hanya 1 bulan atau 2 bulan, kenapa harus setahun?’ pertanyaanku.
“Kau lihat sekitar perkampungan kumuh di sana, terdapat banyak masyarakat penyakit kusta yang telah di asingkan. Dan tugasmu adalah memberi penghiburan serta menciptakan sesuatu yang baru dalam kehidupan mereka. Jadilah obat bagi mereka dengan nilai yang tidak terukur sama sekali.” ucapannya tanpa menjawab pertanyaanku sebelumnya.
“Kau sadar atau tidak kalau itu penyakit menular...” kata-kataku.
“Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, jadilah obat bagi mereka. Semua dapat saja menjauh, tapi dalam hal ini kau harus belajar untuk mendekap dengan penuh kehangatan.” Pernyataannya kembali.
“Tuhan, apakah ini yang dikatakan hidup?” sesuai dengan ucapannya belajarlah mengenal arti kehidupan.” Suara hatiku paling terdalam.
“Selain hal tersebut, kau hau harus menjalani kehidupan sebagai penjual sayur, tukang becak dengan memainkah roda-roda dari benda tersebut, melakukan pekerjaan kasar seperti kuli bangunan masing-masing 4 bulan.” Kalimatnya sekali lagi, membuat mataku tidak berkedip sama sekali.
“Apakah masih ada lagi yang terlupakan untuk hal yang harus kulakukan?” pancinganku kembali...
“Masih ada, kau tidak pernah belajar untuk berpuasa di hadapan Tuhan. Belajarlah untuk merendahkan hati melalui puasa setiap tiga kali seminggu tanpa seorangpun menyadari apa yang kau lakukan. Ngerti.” Kata-katanya kembali.
“Berpuasa bukan untuk memerkan terhadap semua orang, bahwa kau sedang tidak makan dan minum. Melainkan menyadari arti dari merendahkan hati tanpa seorangpun pernah tahu dalam perjalananmu.” Kata-kata yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku sampai kapanpun juga.
“Bagaimana dengan dunia keartisanku saat ini?” ucapanku.
“Kau diperhadapkan 2 pilihan yaitu meninggalkan dunia keartisan atau mempertahankan. Keputusan ada dalam genggaman tanganmu.” Kalimatnya yang kemudian beranjak dari hadapanku.
“Nara, apakah kamu mau menungguku hingga saya berhasil melewati tantangan ini selama setahun?” teriakanku membuat kakinya terhenti untuk beberapa saat, kemudian kembali berjalan tanpa berkata-kata sepatah kata pun.
Belajar, belajar, dan belajar... setidaknya seorang Renand belajar memahami arti kehidupan sekarang dan ke depannya. Meninggalkan dunia hiburan dan menjadi seseorang paling mengerikan, semua akan menganggap ini adalah kegilaan pada level tinggi. Namun, kata belajar membuatku ingin menyadari seni kehidupan di balik sesuatu yang menyakitkan.
Menghilang tanpa jejak dari dunia hiburan hanya demi sebuah tantangan untuk belajar mengenal arti kehidupan. Tinggal di sebuah gubuk paling kumuh dan menjadi seorang pemulung selama setahun. Kekuatan seperti apa dalam perjalananku untuk melakukan apa pun yang di perintahkannya? Saya tidak memahami duniaku sendiri.
Inikah perjalanan untuk belajar akan makna sebuah sinar dalam pecahan kaca dan pada akhirnya membuat luka-luka begitu hebat. Belajar untuk merendahkan hati tanpa seorangpun pernah menyadari hal tersebut di hadapan Tuhan. Belajar, belajar, belajar, belajar, dan belajar...setidaknya nafasku memahami istilah serta ucapan dari gadis mungil yaitu belajar...
Seakan sesuatu di dalam perjalanannya membuka duniaku akan pembentukan dalam pecahan kaca, dimana mengalirkan darah segar setiap saat.Tuhan, ajar nafasku untuk memahami dunia seperti ini...hanya hal tersebut yang dapat di ungkapkan oleh suara hatiku sekarang.
“Lagi memungut sampah nak?” suara seorang ibu berjalan ke hadapanku membawa sebungkus nasi.
“Trimah kasih bu, tapi, ibu jauh lebih membtuhkan dibandingkan saya.” Menolak makanan tersebut.
“Tidak apa-apa, karena ibu mempunyai lebih dari satu...” senyumannya melekat.
“Inilah yang dikatakan memberi bukan karena kelebihan, melainkan kekurangan.” Suara hatiku menggema.
Belajar menjadi obat bagi mereka di suatu tempat pembuangan tanpa seorangpun menyadari semuanya. Di tempat tersembunyi belajar untuk merendahkan hati. Pada area sekelompok manusia yang terasingkan, belajar untuk membentuk senyum pada wajah mereka. Inilah makna kehidupan sebenarnya, bukan karena ketenaran, kekayaan, kekuasaan, kecantikan/ketampanan, ataupun prestasi luar biasa seseorang terlihat hidup. Melainkan dapat memahami arti kerendahan hati pada titik tertentu setiap saat.
“Tuhan, buat nafasku memahami jauh lebih mendalam akan arti dari perjalanan hidup mereka. Dapat tersenyum, saat semua yang ada di depan mata tidak memiliki nilai bagi siapapun juga oleh karena kemiskinan, penolakan, keterbelakangan, ketidak sempurnaan dan segala hal di dalamnya.” Suara hati memainkan iramanya saat ini.
BAGIAN DELAPAN...

MENARA...
Menutup mata dan pada pagi hari kembali membukanya untuk mempelajari berbagai hal. Tidak pernah terbayangkan sebelumunya akan liputan peristiwa terjadi begitu saja, hingga membungkus duniaku. Mempelajari data-data tertentu setiap harinya di sebuah ruangan bawah tanah dari rumah tersebut. Menyembunyikan kisah misteri dengan teka teki dalam duniaku saat ini.
“Nara, pada pemberitaan media-media terlihat jelas pembengkakan hutang negara ini.” Ucapan paman Hartono membuatku menghentikan aktifitasku di ruangan tersebut.
“Terus...” ucapanku memainkan polpen pada sebuah meja dipenuhi data-data, laptop, buku-buku, majalah, koran, dan lain sebagainya. Inilah yang kulakukan setiap harinya, tanpa seorangpun tahu. Semuanya bersifat rahasia dan tersembunyi, sedangkan paman Hartono dan Raharjo berusaha memainkan perannya di dunia pemerintahan. Berusaha menyembunyikan apa yang seharusnya disembunyikan, dan mencari titik celah atas apa yang seharusnya untuk di jalankan. Demi membuat Indonesia tetap menjadi sebuah negara ke depannya.
“Sekalipun, saya tahu semua yang ada dalam dirimu bersifat keterpaksaan dan oleh karena tidak adanya pengalaman sedikitpun...namun, setidaknya seorang Nara mau belajar dan mencoba menjelaskan...” kata-kata paman Raharjo tiba-tiba muncul dari belakang.
“Menjelaskan tentang apa?” pertanyaan terhadap mereka dengan terus memainkan pulpenku.
“Awalnya, paman meragukan apa pun yang ada di dalam dirimu oleh karena permasalahan hanya mimpi dari Hartono dan sama sekali tidak masuk akal, usiamu yang masih 18 tahun pada saat itu, tidak ada pengalaman sama sekali. Bahkan seorang Nara sama sekali tidak memiliki tingkat prestasi sedikitpun dan banyak lagi.” Penjelasan paman Harjo memandang ke arahku.
“Terlebih iman kepercayaanmu sangat tidak memungkinkan untuk membuatmu berjalan dan memainkan sebuah peranan, oleh karena pola pikir rakyat Indonesia dan terlebih beberapa oknum tertentu dengan kesengjaan memainkan dunia keagamaan sebagai arena permainan.” Ujarnya lagi.
“Terus kenapa paman masih ingin mempertahankan? Saya tidak pernah meminta untuk berada di jalan seperti ini hingga saat ini.” Kalimatku sambil beranjak dari kursi.
“Hingga pada akhirnya, mataku terbuka akan sesuatu hal, bahwa dalam dirimu terdapat sebuah prinsip hidup. Kami percaya semua mempunyai waktu dan akan selalu ada jalan untuk kita, selama ada perjuangan.” Kata-kata paman Harjo menepuk bahuku.
“Mau paman apa sekarang?” berbalik ke arah mereka.
“Nara mempunyai potensi untuk menjelaskan tahapan hutang negara ini, dan kita akan mencari jalan untuk menyelesaikan sesuatu dan menjelaskan dampak dari hutang tersebut.” Jawaban paman Hartono.
Membayangkan apa yang di maksudkan oleh mereka dan mencoba berpikir setiap pernyataan-pernyataan tersebut. Membolak-balikkan buku di depanku, mencatat beberapa data tertentu serta pernyataan-pernyataan beberapa pejabat akan hutang Indonesia. Entah apa yang ada dalam benak para pejabat dengan kesengajaan tertentu membuat hutang negara ini dalam pembengkakan luar biasa.Berbagai alasan mengurangi jumlah kemiskinan dan segala macam, adakah alasan yang lebih spesifik dari ini?
“Paman Hartono, ada sesuatu yang ingin saya jelaskan.” Kata-kataku membawa beberapa catatan dan gambar-gambar pemberitaan media.
“Tentang apa?”
“Tapi, sebelumnya tolong hubungi paman Harjo biar kita sama-sama membahas akan sesuatu yang tidak beres.” Ucapanku menekan nomor telpon paman Harjo agar beliau segera datang bagaimanapun caranya.
“Baiklah kalau itu maumu.” Kalimatnya kembali. Tidak lama kemudian, ±30 menit kami menunggu, akhirnya paman Raharjo tiba...
“Ada masalah apa? Sekedar berjaga-jaga batasi komunikasi melalui penggunaan ponsel, ada begitu banyak cara halus yang sedang di lakukan saat ini.” Kalimat paman Harjo dengan tatapan serius.
“Baiklah, saya akan menjelaskan beberapa hal pembengkakan hutang Indonesia yang dapat saja berdampak ke depan, jika tidak di lunasi secepat mungkin.” Ucapanku mencoba menjelaskan terhadap mereka.
“Hutang Indonesia secara garis besar benar-benar menembus angka luar biasa.”
“Sepertinya data-data hutang negara perlu diperiksa lebih lanjut, saya harap paman dapat memberikan biografi para gubernur BI yang telah menjabat untuk beberapa dekade hingga sekarang.” Ucapanku.
“Kau tidak sedang mencurigai sesuatu kan?” mimik wajah paman Hartono..
“Letak permasalahan di sini para tokoh-tokoh yang memainkan peranan untuk pengambilan keputusan di saat tertentu tentang kondisi keuangan negara ada di beberapa tempat. Seharusnya ada pemeriksaan lebih lanjut, dana hutang tersebut benarkah dengan alasan lebih pada kepentingan rakyat atau apakah terdapat beberapa tanda baca di dalam pernyataan mereka dari waktu ke waktu?”
“Hubungan antara biografi gubernur BI dan...” paman Harjo mencoba mencari jawaban.
“Permasalahan hubungannya luar biasa berkaitan. Siapa yang memainkan peranan pada kondisi tertentu tanpa seorangpun menyadari, program seperti apa yang pada dasarnya sedang berjalan dan mengapa tidak ada kemajuan akan pelunasan hutang-hutang tersebut?” penekanan kata-kata pada beberapa pernyataan.
“Tidak mungkin dari waktu ke waktu secara terus-menerus terjadi pembengkakan luar biasa. Hanya dengan alasan obligasi dan hal lainnya. Sekarang yang jadi pertanyaan apa yang di maksud dengan obligasi dalam dunia perbankan?Ada begitu banyak keganjilan dalam pengelolahan letak permasalahan hutang negara dan pastinya tidak mungkin di perankan hanya pada 1 orang saja. Ada beberapa orang yang sedang menjalankan perannya.” Kembali ucapanku menunjukkan beberapa data-data seakan ada sesuatu yang mengganjal...
“Nara...” Seperti biasanya paman Hartono hanya menyebut satu kata saat saya berada di depannya mencoba menjelaskan.
“Pengumpulan data-data akan tindakan-tindakan dalam keadaan tertentu tentang kondisi keuangan baik keadaan sadar maupun tidak sadar dari bekas pemimpin negara ini, di mulai dari masa Suharto hingga sekarang pemimpin yang sedang menjabat.” Penjelasanku kembali mencoba meneliti akan sebuah kondisi...
“Hutang negara ini sekitar tiga ribuan triliunan keatas, data-data dari beberapa media terdapat beberapa perbedaan angka pada bagian belakang. Namun, akan terus mengalami pembengkakan ke atas. Indonesia sendiri mendapat pinjaman secara bilateral oleh beberapa negara sebagai kreditur terbesar. Sementara secara multilateral ,sesuai informasi bahwa Indonesia meminjam pada Bank Dunia, Bank pembangunan Asia, Bank Pembangunan Islam.” Mencoba mengutarakan beberapa data-data yang ada.
“Dampak apa yang akan terjadi pada hutang negara secara luar biasa?” Pertanyaan paman Raharjo.
“Perkembangan zaman dan perubahan sistem pemerintahan dapat saja terjadi pada masing-masing negara yang akan memberatkan Indonesia suatu hari kelak. Saya tidak katakan bahwa beberapa negara memberikan hutang dan akan melakukan sesuatu untuk sebuah teka-teki pada jalur tertentu. Namun,beberapa hal yang sama sekali tidak diinginkan dapat saja terjadi dan memberikan jurang paling terdalam untuk negara ini suatu hari kelak. Entah pergantian pemimpin dari negara tersebut atau bagaimana dan kemana?” Kalimatku mencoba menjabarkan sedemikian rupa...
“Dimulai dari Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) merupakan sebuah institusi finansial pembangunan multilateral didedikasikan demi mengurangi kemiskinan pada negara-negara Asia Pasifik. Beranggotakan 31 negara pada tahun 1966, dan telah berkembang menjadi 63 negara.” Lanjutan penjelasanku.
“Akar permasalahan pada defenisi tersebut, berada dimana?” paman Hartono mencoba mencari tahu.
“Seperti yang telah diketahui perjalanan negara-negara ke depan tentunya mengalami perbedaan serta perubahan besar. Tidak ada yang dapat mengetahui hati masing-masing pemimpin negara. Bisa saja, salah satu anggota dari Bank tersebut memainkan peranan demi sebuah kepentingan tertentu dan pada akhirnya menjadi jebakan secara tidak terduga untuk Indonesia sendiri. Pemimpin-pemimpin dunia menggunakan otak untuk menjalankan situasi tertentu tanpa seorangpun menyadari, jauh berbeda dengan mereka yang tidak memiliki pendidikan tentunya lebih bersifat pada otot.” Ujarku.
“Maksudnya, disaat situasi tertentu pada saat terdapat celah untuk mendapatkan tujuan-tujuan yang telah terprogram oleh salah satu atau bahkan lebih dari satu pemimpin negara untuk membuat sebuah jebakan dengan alasan hutang Indonesia yang mengalami tingkatan luar biasa.” Kata-kata paman Raharjo mulai memahami maksud dari penjabaran sebelumnya.
“Hati masing-masing pemimpin negara siapa yang menyadari. Hari ini, esok, dan kelak masing-masing mengalami perubahan baik dari segi perkembangan teknologi, sistem perebutan kekuasaan secara halus tanpa disadari oleh siapapun juga, perluasan wilayah, pasar bebas di mana akan memainkan peranannya pada jalur-jalur pemerintahan di seluruh dunia.” Penjelasanku sekali lagi.
“Yang menjadi pertanyaan mengapa pihak-pihak dari mereka selalu menyetujui peminjaman uang terhadap Indonesia, sedangkan hutang-hutang sebelumnya belum terbayar lunas dan dalam jumlah yang tidak tanggung-tanggung.” Kalimat paman Hartono mencoba merenungkan sesuatu...
“Seperti mengarah kemana dan di mana?” kening paman Harjo berkerut.
“Sementara Indonesia tidak hanya berhutang pada Bank Asia, Bank Pembangunan Islam terlebih pada Bank Dunia yang merupakan gabungan negara-negara di seluruh dunia. Dalam hal ini lebih beresiko lagi, dapat membuat negara ini menjadi tidak berkutik dan tanpa dapat berbuat apa pun pada saat celah tersebut terlihat jelas di depan mata.” Ucapan paman Harjo menggeleng-gelengkan kepalanya menghadapi permasalahan yang begitu rumit.
“Bahkan orang-orang yang tidak bersalah dan rakyat-rakyat di bawah akan menjadi korban suatu hari kelak. Terlebih di luar sana terlihat jelas bagaimana konflik dan pertikaian terus bermain antara negara. Sekalipun Indonesia tidak memihak siapapun atau diam di tempat, tetap akan berdampak ataupun salah satu dari negara tersebut memainkan teka teki  jebakan yang dapat saja menghancurkan negara ini dalam sekejap. Terdapat pula, beberapa negara yang terlihat diam seribu bahasa tanpa ada pertikaian atau masalah, namun, siapa yang menyadari jika salah satu darinya menyusun sebuah rencana, program, dan segala macamnya.” Kata-kataku mencoba untuk menjelaskan kembali.
“Saya tidak sedang menakut-nakuti, untuk perjalanan ke depan benar-benar beresiko. Bahkan beberapa negara yang dianggap paling kuat saat ini pun sedang goyang dan tidak dapat berbuat apa pun oleh karena beberapa situasi terlebih Indonesia.” Kata-kataku terhadap mereka lagi...
“Yang sekarang harus di lakukan oleh Indonesia adalah bagaimana melunasi hutang negara yang begitu banyak saat ini.” Kalimat paman Hartono.
“Seperti itulah yang harus dilakukan, bagaimanapun caranya harus segera melakukan pelunasan.” kata-kata paman Harjo memikirkan sesuatu.
“Sekarang strategi paman saja, untuk menyerang pemerintah agar secepatnya melakukan pelunasan terhadap hutang-hutang tersebut. Permasalahan besar benar-benar ada di depan mata jika terus dibiarkan...sedangkan negara yang tanpa hutangpun dalam masalah  ke depan terlebih Indonesia.” Ujarku lagi yang kemudian beranjak dari hadapan mereka menuju dapur untuk meminum segelas air.
Dunia yang kujalani saat ini berbeda dengan hari-hariku saat bersama bunda, ayah, dan satu-satunya kurcaci di sebuah rumah sederhana. Berhadapan dengan artikel-artikel di depanku dan mencari tahu sebab-akibat. Berusaha untuk memahami sesuatu hal di balik layar dan tempat yang tersembunyi tanpa seorangpun dapat menyadari semuanya.Inilah ruanganku, di dipenuhi berbagai jenis buku-buku, majalah-majalah, koran yang terbit beberapa tahun silam, komputer, kertas-kertas berserakan pada meja dan menempel pada sebuah dinding di depan mejaku.
“Bagaimana kabar bunda sekarang, dan apa yang sedang dilakukan oleh ayah bersama kurcaci kesayangannya itu?” Senyumanku menatap foto mereka di depan mejaku.
“Dan apa yang sedang diperbuat oleh artis reseh di luar sana?” Tiba-tiba membayangkan dirinya. Setelah melewati tantangan tiga bulannya, tanpa pernah menyerah dengan begitu mudahnya menyetujui tantangan berikut. Dia tidak akan pernah tahu apa yang sedang kujalani saat ini. Pada awalnya, aku hanya ingin mengajarkan tentang perjalanan hidup yang sebenarnya, untuk belajar menghargai dirinya sendiri. Namun, entah mengapa seakan ada sebuah kekuatan dari dalam untuk terus membuat dunianya berada dalam area tertentu.
“Nara, siapa pria yang terus saja berdiri di pinggir jalan sana, seakan ingin memata-matai rumah ini?” Kekhawatiran paman Hartono ada sesuatu yang ingin diselidikinya.
“Yang mana paman?” tanganku sedikit membuka tirai jendela rumah.
“Yah Tuhan, tu manusia apa yang sedang diperbuatnya?” sedikit terkejut.
“Nara kenal orang itu?” paman Hartono terus saja memperhatikan di balik jendela.
“Itu penjual sayur yang biasa numpang lewat paman.” Jawabanku.
“Sepertinya wajahnya biasa paman lihat, tapi dimana?” mencoba mengingat sesuatu.
“Pastilah paman biasa lihat, dia kan artis terkenal namun, tiba-tiba menghilang dari dunia hiburan karena menjadi seorang pemulung sampah.” Kata-kataku di dasar hati.
Aku berusaha mencari cara agar dapat mengalihkan perhatian paman Hartono, kemudian berjalan menuju tempat Reynand berdiri. Hidup yang dijalaninya saat ini, bukan lagi seperti kemarin...percaya atau tidak percaya, pada akhirnya dia banyak mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Bukan karena siapapun, melainkan sesuatu di dalam dirinya.
“Apa maumu?” tanganku mendorong tubuhnya hingga membuatnya terjatuh.
“Gadis mungil tidak seperti ini juga caranya menjatuhkanku.” Gerutunya.
“Paman Hartono terus saja memperhatikan dirimu sejak tadi dari kejauhan.”
“Pejabat itu, memangnya kau dengan dia punya hubungan apa, saya jadi penasaran.” Kata-katanya mencari jawaban.
“Saya hanyalah pembantu di rumahnya, karena tidak ada yang mengurus rumah itu jadi paman Hartono mencari pembantu di kampung.” Jawabanku.
“Tidak di sangka orang yang saya kejar saat ini ternyata pembantu rumah tangga, apa kata orang nantinya.” Kalimatnya pelan.
“Coba ulangi ucapanmu, lagian saya tidak pernah menyuruhmu untuk suka sama seorang pembantu rumah tangga.” Teriakanku.
“Kenapa kau memanggilnya paman, harusnya tuan? Seperti ada sesuatu yang disembunyikan.” Mencurigai...
“Itu karena paman Hartono tidak mau dipanggil tuan.” Kalimatku.
“Terus kenapa pejabat yang bernama Pak Raharjo kemarin...” pancingnya.
“Mereka itu satu patner kerja di dunia pemerintahan, secara otomatislah selalu bersama. Berhenti bertanya yang aneh-aneh. Ngerti.” Gertakku.
“Gadis mungil, awal menyuruhku tinggal di gubuk penderitaanku benar-benar luar biasa dimulai tidur hanya beralaskan tikar ditemani nyamuk kiri kanan, makan masakan gosong karena saya tidak tahu masak, kalau cuci baju sih sudah terbiasa di panti jompo kemarin.” Curhatan hatinya memasang wajah sedih.
“Terus kenapa kau mau mengikuti apa yang kuperintahkan.” Pertanyaanku.
“Sudah tahu jawabannya pake nanya lagi...” Gerutunya terlihat kesal.
“Gadis mungil, saya belum mati tapi sudah seperti di neraka, pada pagi hari menjadi penjual sayur menjajahkan menggunakan gerobak, terus mencari sampah-sampah di depan rumah-rumah kompleks, menjadi tukang becak juga pada sore harinya.” Wajahnya benar-benar menampakkan rasa kesal...
“Saya tidak menyuruhmu menjadi penarik becak sekarang, hanya setelah melewati 4 bulan menjadi penjual sayur.” Ucapanku.
“Setidaknya saya memiliki nilai plus di matamu bosss. Ngerti.” Ucapnya membuatku ingin tertawa lebar. Terlalu sulit untuk mempercayai semua ini, seorang artis menerima tantangan kehidupan secara wow... Belajar untuk menjadi obat bagi mereka yang sedang terasingkan oleh karena sebuah penyakit, tanpa perasaan jijik sedikitpun. Mencoba untuk membuat mereka tersenyum dan mengajarkan sebuah kerajinan tangan demi mempertahankan kehidupan. Tidak ada yang salah dalam diri mereka, hanya saja seseorang akan mengerti makna kehidupan di balik sesuatu yang menyakitkan.
Hari berganti hari hingga pada akhirnya bulan berganti bulan, tidak ada yang tahu akan perjalanan Reynand saat ini. Belajar untuk merendahkan hati di hadapan Tuhan tanpa seorangpun pernah menyadarinya. Berdoa mencari wajah Tuhan dengan kesunggguhan hatinya, tanpa seorangpun pernah sadar akan perubahan hidupnya. Dia selalu ada menjadi salah satu penghiburan tersendiri bagi mereka di beberapa tempat. Senyumannya menjadi obat tersendiri untuk beberapa area kehidupan tanpa disadarinya.
“Nara, tinggal sedikit lagi...” kalimatnya terlihat seakan ada sesuatu, tanpa terasa waktu berlalu dengan begitu cepat. Menantikan sebuah jawaban atau tantangan berikutnya...
BAGIAN SEMBILAN...

REYNAND...
Tinggal sedikit lagi, saya akan lepas dari kehidupan seperti ini dan kembali berada di istanaku.kenapa saya mau melakukan itu semua? Sebenarnya apa yang salah dalam perjalananku? Mengejar seorang pembantu rumah tangga tanpa pendidikan sedikitpun. Namun, di lain hal saya belajar untuk menjalani kehidupan luar biasa untuk memahami arti sebuah perjalanan kehidupan yang sebenarnya.
Rasa penasaran mulai muncul dalam pemikiranku tentang rumah yang sedang ditempati oleh Nara. Seakan ada sesuatu dimana membuatku sama sekali tidak mempercayai apa pun perkataan Nara. Ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi, lebih parah lagi kedua pejabat tersebut semakin gencar memainkan sesuatu hal pada beberapa media serta dunia pemerintahan. Saya membenci dunia politik, hanya saja pejabat tersebut sangat ramai dalam pemberitaan oleh karena berbagai hal menyangkut keadaan Indonesia. Mengapa pula, rumah tersebut jauh dari kota dan rumah-rumah penduduk?
Petengahan malam, saya berusaha mencari tahu dengan berjalan bagaikan pencuri...Mengapa Nara tidak pernah ingin saya berada di rumah tersebut, sekalipun hanya sekali walaupun di saat pejabat tersebut sedang tidak ada di rumah? Rumah kecil, namun, siapa yang pernah menduga terdapat ruang bawah tanah yang begitu luas. Entah bagaimana caranya, saya berhasil memasuki rumah tersebut dengan sangat berhati-hati. Sepertinya, tidak seorangpun pernah menyadari rumah ini...
“Itu kan Nara...” kata-kataku di dasar hati memperhatikan apa yang sedang dikerjakannya pada sebuah ruangan.
“Katanya, pembantu rumah tangga kenapa mengotak atik komputer dan segala macam?” terus memperhatikan apa yang sedang di kerjakannya. Berusaha bersembunyi, tanpa di sadarinya dan secara tiba-tiba kedua pejabat tersebut memasuki ruangan Nara...
“Nara, pemilihan presiden sebentar lagi di depan mata dan semua partai sedang berkampanye demi merebut kekuasaan.” Ucap pak Hartono.
“Sepertinya ada yang tidak beres dengan dunia militer...” kata-kata Nara memainkan pulpen di tangannya.
“Maksud Nara seperti apa, dan hubungan antara militer dan pemilihan ini?” pertanyaan pejabat lain dan tidak lain adalah pak Raharjo.
“Hubungannya, beberapa partai merupakan anggota militer dan sedang bersaing demi menjadi pemimpin negara ini. Sementara beberapa hal berbau kurang menyenangkan seakan dipermainkan oleh beberapa anggota  kemiliteran.” Ucap Nara menatap tajam secara luar biasa.
“Sejak dulu, kami sudah lama mencurigai sesuatu yang tidak beres dalam dunia kemiliteran.” Kalimat pal Hartono dengan kening berkerut.
“Beberapa serangkain peristiwa kemarin seakan ada sesuatu yang mengganjal. Sepertinya di balik kerusuhan terdapat beberapa permainan dunia kemiliteran. Untuk saat ini belum terdapat bukti, namun ada sesuatu yang benar-benar tidak beres jauh sebelum kejadian 1998 tentang mahasiswa trisakti dan lain sebagainya.” Kata-kata Nara membuatku terkejut di tempat persembunyianku.
“Sekitar tahun 1960-an ke atas ada sesuatu yang dimainkan oleh kemiliteran, hingga pada akhirnya salah satu aktivis diculik dan menjadi korban pemerkosaan. Permasalahan ke-2, permasalahan kembali muncul pada singapura dan berkaitan erat dengan dunia kemiliteran. Kembali pada mahasiswa trisakti, tidak hanya itu kemudian pertikaian di beberapa wilayah tertentu.” Nara mencoba memperlihatkan data-data tertentu terhadap mereka.
“Siapa yang bermain?” pertanyaan pak Raharjo.
“Inilah yang sama sekali tidak ketahui oleh banyak orang. Permasalahannya disini, yang sekarang sedang terjadi adalah konflik antar negara sedang terjadi dan dapat beresiko untuk Indonesia suatu hari kelak.” Kata-kata Nara menegaskan.
“Jadi...” kalimat pak Hartono.
“Kita tidak dapat memahami rangkaian peristiwa ke depan, hanya saja perang dunia ke-3 bisa jadi meledak secara tiba-tiba. Sekalipun negara ini, tidak memihak pada siapapun, tetap Indonesia akan menjadi alat atau permainan sekelompok tertentu kelak...dan inilah yang sangat dikhawatirkan, sementara tidak seorangpun rakyat menyadari hal seperti ini.” Kata-kata Nara membuatku ketakutan.
“Dibutuhkan perbaikan dalam dunia kemiliteran, serta mencari tahu tentang ketidak beresan terhadap rangkaian peristiwa di masa lalu. Bukan maksud untuk menghalangi anggota kemiliteran menjadi pemimpin negara ini, hanya saja untuk sementara jangan sampai salah satu dari mereka berada pada posisi kepresidenan.” Kata-kata Nara kembali.
“Jika di perhatikan kandidat dari si B, sama sekali tidak memiliki kemampuan yang signifikan untuk menjalankan roda pemerintahan. Terus terang saja, rakyat hanya menilai dari bagaimana dirinya bermasyarakat atau berjalan-jalan memeriksa parit-parit dengan pakaian sederhana. Namun, yang dibutuhkan Indonesia bukan sekedar tersenyum pada rakyat kecil, berpakaian sederhana, atau berjalan-jalan pada lokasi-lokasi kumuh. Ini permasalahan, tentang bagaimana mengeluarkan Indonesia dari keterpurukan.” Kata-kata pak Raharjo.
“Kasus yang sedang dihadapi oleh Indonesia benar-benar rumit, bukan permasalahan biasa namun berada pada puncak paling mengerikan. Terserah penilaian akan pencitraan ataupun bukan, namun, pada dasarnya anggota militer untuk saat ini tidak bisa menduduki kursi kepresidenan. Bukan permasalahan siapa yang bersalah atau tidak, melainkan dunia kemiliteran harus menjelaskan sesuatu hal. Tidak mungkin memperbaiki dunia kemiliteran ataupun membuat pondasi baru, apa bila permasalahan di masa lalu belum terselesaikan.” Ucapan Nara kembali.
“Tapi, permasalahan kandidat B, berada pada tangan siapa saat ini dan bisa saja akan menjadi sebuah boneka untuk kepentingan tertentu. Sementara, minimal untuk mempertahankan Indonesia saat ini dibutuhkan beberapa hal dan tidak sekedar hanya berjalan-jalan pada tempat-tempat kumuh serta tersenyum di hadapan rakyat.” Ucapan pak Hartono kembali.
“Permasalahan Indonesia tidak dapat diselesaikan hanya dengan memberikan senyuman dan berjalan-jalan di tempat-tempat kumuh dengan pakaian sederhana. Hanya saja, saat ini tingkatan otak secara berbeda untuk memperbaiki situasi lebih dibutuhkan serta terobosan-terobosan seperti apa harus dimainkan? Konsep pemikiran yang mengarah kemana untuk memperbaiki keadaan Indonesia.” Kata-kata pak Raharjo kembali.
“Paman, jauh lebih baik seperti ini sekalipun Indonesia harus mengalami kesulitan-kesulitan tertentu kelak. Permasalahan yang lebih hebat adalah tentang salah satu pondasi Indonesia saat ini yaitu dunia kemiliteran. Suatu hari kelak, negara ini jauh lebih terjepit dan makin di remehkan oleh bangsa manapun...jika akar permasalahan di dalamnya tidak secepatnya tertangani.” Tutur kata Nara mencoba menjelaskan.
“Jadi, dengan kata lain jangan sampai salah satu anggota militer menduduki kursi kepresidenan untuk sementara waktu, sampai semuanya terlihat jelas. Lebih parahnya lagi beberapa gudang-gudang militer terbakar habis.” Tambahan kata-kata Nara.
“Jangan katakan ini sebuah kesengajaan untuk menghilangkan bukti-bukti kuat.” Kalimat pak Raharjo.
“Bisa jadi, tapi kita tidak punya cukup bukti untuk menjelaskan semua itu.” Kata-kata Nara.
“Permasalahan militer terlalu berat bukan hal sepeleh dan berakibat fatal untuk Indonesia ke depannya. Terlebih keadaan sekarang ini, antar negara seakan ingin saling mencari pertikaian satu dengan lainnya, dan siapa paling terkuat belum lagi teroris-teroris bermunculan pada bebepa tempat. Organisasi-organisasi mengerikan sedang dimainkan. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi 5 menit kemudian ataupun hari esok.” Lanjutan ucapan Nara kembali.
“Siapa sih yang menyadari hati dari para pemimpin dunia. Pada saat pertemuan pemimpin-pemimpin negara di beberapa tempat, kelihatannya biasa namun siapa yang menyadari beberapa hal ataupun dengan kesengajaan  memainkan tanpa seorangpun pernah tahu dimana diperankan oleh salah satu dari mereka. Tetap akan berdampak untuk Indonesia, terlebih seluruh kekayaan negara ini di kelola oleh orang-orang luar bukan dalam.” Kembali Nara menjelaskan lagi.
“Kita harus mencari cara untuk menyelesaikan dunia kemiliteran. Dan tidak membiarkan untuk sementara waktu siapapun anggota kemiliteran menduduki kursi kepresidenan. Sekalipun kandidat yang satu ini berada di bawah tangan seseorang dan tidak memiliki kemampuan cukup untuk menjalankan pemerintahan, setidaknya biarlah dia yang menjabat.” Kalimat pak Hartono terliahat berjalan ke kiri dan ke-kanan. Hampir saja, saya ketahuan menguping pembicaraan mereka.
“Tuhan pasti membuka jalan, kita tidak boleh menyerah.” Ujar pak Raharjo.
“Satu-satunya jalan, paman harus memainkan situasi dan mencari jalan bekerja sama dengan beberapa media-media serta beberapa jurnalis tertentu. Bukan permasalahan berada di pihak mana, melainkan hingga kasus permasalahan ini terselesaikan. Jangan sampai Indonesia jauh terlihat lebih kacau dan benar-benar terpecah bahkan makin di remehkan oleh pihak luar. Indonesia bisa saja tetap menjadi bahan umpan ataupun sesuatu yang begitu mengerikan, hanya saja tidak terlihat karena proses-prosesnya dijalankan sedemikian rupa. Banyak hal yang akan terjadi ke depan oleh karena perselisihan antar negaradan lain sebagainya.” Kalimat Nara kembali.
Gadis mungil yang kukenal ternyata bukanlah seorang pembantu. Apakah saya yang terlalu polos dan tidak pernah ingin menyadari apa pun dalam perjalanannya saat ini. Berusaha keluar dari rumah tersebut secara perlahan-lahan, agar tidak ketahuan oleh mereka terlebih Nara. Memikirkan semua pembicaraan mereka, atas perjalanan negara ini.
“Wajar saja, kedua pejabat tersebut terus saja berusaha mencari celah...” membayangkan apa yang dilakukan pejabat tersebut.
“Mengapa gadis mungil tidak pernah berterus terang dan selalu berbohong kalau dia adalah pembantu rumah tangga?” terus saja mempertanyakan hal tersebut.
Saya mungkin terlalu bodoh untuk memahami kisah hidup dari dunianya. Salah satu hal paling misterius ternyata sedang membuat irama untuk Indonesia, tanpa seorangpun pernah menyadari tentang semua ini.Paradigma saat menjelaskan akan sesuatu di depan mata serta sebab akibat dari beberapa situasi, memiliki perbedaan tersendiri dari seorang Nara.Belajar memahami suatu area kehidupan, tidak semudah membalikkan telapak tangan, itulah maksud dari segala ucapannya untuk menjalani dunia seperti ini.
“Hei...” suara seseorang membangunkan lamunanku dan tidak lain adalah dia yang mengajarkan tentang sesuatu hal di dalam salah satu objek menyakitkan, namun terjadi pembentukan.
“Sejak kapan kau ada disini?” tanyaku acuh tak acuh kemudian berjalan memungut sampah-sampah berserakan depan rumah untuk di timbang.
“Sejak kapan kau bersikap acuh, biasanya terlihat agresif?” bingung melihat perubahanku.

“Nara, tinggal sedikit lagi...” ucapku mencoba berdiri di depannya.
“Sejak kapan wajahmu terlihat gimana-gimana gitu?” Wajah Nara terlihat heran dengan raut wajahku.
“Kau tidak perlu tahu, kapan saya berubah dan tidak ingin seperti kemarin lagi.” Jawabku.
“Wow...” teriakannya.
“Kalau saya mampu dan tidak bertingkah seperti kemarin, bisa saja lupa...” Ujarku.
“Sejak kapan kau berubah jadi sedikit melankolis kemudian tiba-tiba kembali terlihat aneh lagi...” Senyumnya memancar di depan mataku.
“Nara, apa pun yang terjadi tetaplah kuat dan jangan pernah menyerah dengan keadaan paling mengerikan sekalipun.” Kalimatku memegang erat jari-jari tangannya.
“Btw, bicara tidak seperti juga caranya, lepaskan tanganmu.” Gertaknya.
Inilah karakter seorang Menara, selalu saja membuat perbedaan di antara siapapun juga. Tuhan, apakah aku salah kalau menginginkan gadis seperti ini? Rasa sayang luar biasa tumbuh dan tidak ingin melepaskannya apa pun yang terjadi. Sekalipun saya menyadari tentang perjalanannya saat ini dan akan menjadi seperti apa dirinya ke depan.
“Dari tadi kau mengatakan sedikit lagi, itu berarti persiapkan diri saja ke hal terbaru dalam di depan matamu.” Pandangan matanya sangat tajam seperti biasanya disaat menjelaskan tantangan berikut.
“Kalau boleh saya bertanya, arti dari namamu...” pertanyaanku.
“Kau tidak usah mengalihkan pertanyaan, bosss.” Ucapannya menarik tanganku.
“Sebenarnya kita mau kemana?” pikiranku mencurigai sesuatu...
“Kau lihat orang gila yang ada di pinggir jalan sana?” jari telunjuk Nara mengarah pada seseorang dengan berpakaian sangat kotor.
“Apa maumu?” teriakanku berusaha melepaskan tangan.
“Hahahahahahhaha...belum apa-apa sudah ketakutan duluan.” Tawanya meledak.
“Nara...” Kali ini sayalah yang balik menggertaknya.
“Biasanya film-film yang kau mainkan melankolis sekali, ternyata aslinya keluar...” sindiran halus keluar.
“Apa maumu?” gertakku sekali lagi.
“Mauku, kau memelihara beberapa orang gila yang bersebaran di sekitar jalan ini dan rawat mereka dengan penuh kasih sayang. Bersihkan seluruh tubuh mereka dan beri makan.” Jawabannya.
“Kau sadar tidak, mereka itu tidak waras dan bisa saja membunuhku...” kekesalanku sangat terlihat jelas.
“Itu penderitaanmu bosssssssssssss....” Jawaban paling mengerikan.
Satu-satunya kalimat paling mengerikan dari mulutnya bermain... Awalnya perasaan marah muncul untuk beberapa saat, namun secara tiba-tiba pernyataan yang pernah di ucapkannya membuatku tersadar akan sesuatu hal. Belajarlah mengenal arti hidup, itulah kata-katanya mendorongku kembali untuk melakukan tantangan terbaru. Belajarlah merendahkan hati di tempat tersembunyi ucapan tersebut terus terngiang dalam benakku sampai kapanpun.
“Saya tidak akan menyakitimu.” Kalimatku berusaha setenang mungkin menghadapi orang gila di depanku saat ini. Awalnya benar-benar penuh perjuangan untuk membawanya ke rumah dan membersihkan seluruh tubuhnya.Kakiku sedikit terluka terkena pecahan beling, saat berhadapan dengan orang tersebut. Membersihkan seluruh tubuh dan rambutnya, benar-benar penuh perjuangan luar biasa.
“Rambutmu sangat kotor dan bau, perlu diberi sampo biar wangi.” Ucapanku memberi sampo banyak-banyak kalau bisa sih sebotol hanya untuk rambutnya.
“Beruntung saja, kamu ini seorang pria seandainya perempuan gimana caraku untuk memandikan dirimu.” Keningku berkerut sambil menggosok-gosok rambutnya biar bersih secara berulang kali.
Inilah yang kulakukan pada perjalanan serta tantangan baru dari seorang Nara. Di saat tertentu, perutku kesakitan karena tertawa terus memperhatikan tingkah laku pria tersebut. Terkadang rasa khawatir dan takut membayangi diriku disaat memejamkan mata, kenapa? Karena pria tersebut dalam keadaan tidak waras, bisa saja sebuah pisau ditancapkan pada perutku secara tiba-tiba saat sedang tertidur. Setiap harinya, saya selalu berdoa memohon perlindungan dan jangan sampai mati sia-sia di tempat kumuh ini. Orang tuaku tinggal di luar negeri dan menjadi warga negara di sana, jadi mereka tidak tahu tentang kehidupan anaknya sekarang.
Mengumpulkan beberapa orang gila dan menjadi sahabat buat mereka, merupakan salah satu pembelajaran dalam duniku saat ini.Belajar untuk memahami, mengapa kehidupan seperti ini terkadang terjadi dalam perjalanan seseorang. Di saat tekanan luar biasa datang, ada saat seseorang tidak mampu untuk bercerita hingga pada akhir cerita pikirannya menjadi hilang kendali serta berbagai hal bermain.
“Nara, tolong cepat kemari sangat penting.” Ucapanku melalui telpon genggam. Sekitar 30 menit kemudian, dia akhirnya berada di rumah kecil yang telah kutempati setahun lebih....
“Aku ingin, kamu memandikan gadis malang ini.” Ucapku.
“Memangnya, kenapa kalau kau yang memandikannya...” gertakannya.
“Nara, coba pikir dia itu seorang perempuan berbeda jenis kelamin dengan saya, gimana sih.”
“Benar-benar mengganggu saja.” Ucapannya. Kakinya melangkah pada gadis tersebut, berusaha untuk bersikap setenang mungkin...Membersihkan tubuh gadis malang ini, tanpa memperlihatkan wajah kesal sedikitpun.
“Siapa namamu?” pertanyaan Nara setelah memandikan dan memakaikan pakaian bersih pada gadis malang itu.
“Memangnya siapa namaku?” tingkah laku gadis tersebut benar-benar panik untuk berusaha mengingat siapa namanya. Hidup dalam keadaan tidak waras dan berada di jalan, itulah perjalanan gadis tersebut.
“Kalau begitu saya akan memberi nama untukmu.” Kehangatan terpancar dari wajah gadis mungil...
“Namamu Nefrit artinya batu berharga dan paling mahal di tengah taman eden Tuhan. Artinya kau adalah seseorang paling mahal dan terlalu berharga yang akan memancar di hati Tuhan dan dimanapun duniamu berpijak.” Kata-katanya tersenyum.
“Wow...” godaanku memandang mendengar arti dari nama tersebut. Gadis remaja hidup seakan tidak mengenal arah kehidupan ditengah pahitnya dunia. Menurut cerita dari beberapa orang bahwa dia merupakan salah satu korban pemerkosaan oleh orang tua kandungnya sendiri.Pada akhir hidup gadis tersebut, menjadikan dia terus hidup di jalan dan tidak mengenal arah tujuan. Menjadi gila oleh karena sebuah peristiwa di masa lalu, akar kekecewaan secara luar biasa berperan aktif untuk langkahnya.
“Namamu Nefrit...” ucapan Nara sekali lagi.
“Gadis mungil, terimah kasih atas bantuanmu.” Ujarku sambil berusaha memperbaiki beberapa helaian rambut panjang pada wajahnya.
“Kenapa tanganmu terus saja menjalar seperti ini.” Berusaha menghindar, seperti biasa suara jutek Nara kembali lagi...
“Saya tidak akan berbuat macam-macam, hanya memperbaiki rambut panjangmu semata-mata biar kau bisa melihat dengan jelas.” Tanganku terus saja bermain pada helaian rambut gadis mungil di depanku.
“Jangan macam-macam.” Teriakan Nara kembali...
“Tenang saja...” senyumanku. Terimah kasih Tuhan, karena telah mempertemukanku dengan dia membuatku mengenal sebuah kata. Belajar, belajar, belajar, belajar, belajar hingga pada akhir nafas akan selalu memahami kata tersebut.
“Gadis mungil, terimah kasih karena telah mengajarkanku banyak hal.” Ucapku.
“Bunda ingin aku menjadi sebuah menara suatu hari kelak untuk memberikan kekuatan sinar di tengah dunia. Itulah sebabnya mengapa bunda memberiku nama tersebut.” Kalimatnya menjawab pertanyaanku beberapa waktu lalu secara tiba-tiba. Gadis mungil dengan sesuatu tidak terduga dalam perjalanannya. Dia tidak pernah tahu, kalau saya menguping pembicaraannya dengan kedua pejabat tersebut. Saya tahu apa yang sedang dilakukan olehnya di sebuah rumah dengan berbagai rahasia misterius di dalamnya.

BAGIAN SEPULUH...

MENARA...
Ternyata Reynand tidaklah sama seperti kemarin, benar-benar berubah. Saya mulai menyukai apapun dalam dirinya, dimulai saat dia tersenyum, tertawa, berbicara, dan banyak lagi. Untuk pertama kali dalam hidup Nara, menyukai seseorang...
“Bunda, apakah cowok cakep itu rata-rata tidak setia atau gimana?” pertanyaanku terhadap bunda malalui saluran telpon.
“Kebanyakan tidak setia, tapi tidak semua Nara.” Jawaban bunda.
“Nara, jangan pernah lupa untuk berada di gereja dan berdoa. Ngerti.” Tegur bunda.
“Iya bunda.” Jawabanku kembali. Seperti biasa bunda terus saja menegur anaknya untuk terus mengingat Tuhan setiap saat.Sudah sekian lama terpisah dari ayah, bunda, dan satu-satunya kurcaci di keluargaku sekarang telah tumbuh besar.
Bunda tidak pernah tahu perjalanan misterius tentang anaknya. Biarlah waktu akan membuatku secepatnya keluar dari dunia seperti ini. Sepasang bola mataku mengarah pada beberapa pesan masuk melalui email.
“Apa maksud dari pesan ini?” sama sekali tidak memahami hal tersebut.
Mencoba meneliti serta mencari tahu, akan beberapa pesan melalui email. Mencari jawaban dan teka-teki pengirim tersebut. Sepertinya ada beberapa negara mengetahui dengan pasti akan...
“Paman, coba perhartikan pesan ini.” Perintahku memberikan selembar kertas.
“Pesan apa?” pertanyaan paman Hartono mengambil kertas itu.
“Beberapa hari yang lalu, ada pesan melalui email, makanya saya print dan yang menjadi pertanyaan dari mana mereka tahu tentang kita?” mimik wajahku sangat serius.
“Nara, beberapa negara sepertinya mencurigai sesuatu hal di Indonesia.” Ucap paman Hartono.
“Mencurigai seperti apa?”
“Jangan-jangan pengirim pesan ini menginginkan kamu untuk berada di negaranya serta memberikan pikiranmu di sana.” Paman Hartono mencurigai...
“Mana mungkin paman, tidak seorangpun mengetahui semua ini. Dapat dipastikan saya tidak pernah menampakkan diri ataupun bercerita pada siapapun terlebih negara luar. Astaga...” kata-kataku tidak pernah menyangka.
“Nara, beberapa negara merasa ada sesuatu dari Indonesia sedang terjadi. Maka dari itu, beberapa tokoh-tokoh penting di beberapa negara mencoba memancing dengan membuat sebuah penyataan dan pertanyaan.” Ungkap paman Hartono.
“Saya tidak mengerti maksud paman.”
“Secara kasat mata, Indonesia terbungkus oleh kerusuhan dimana-mana, bencana alam untuk beberapa wilayah, krisis moneter, hutang, korupsi, dan lain sebagainya. Hanya saja, mengapa negara ini masih bertahan menjadi sebuah negara?” ucapannya.
“Memangnya hubungan dengan Nara dimana?” Mimik wajahku terlihat serius.
“Permasalahannya, beberapa tahun belakangan ini seakan ada sesuatu yang ganjil di negara ini dan tersembunyi luar biasa oleh siapapun. Pada dasarnya, negara-negara luar menyimpulkan tinggal sedikit waktu lagi hanya menunggu hitungan Indonesia dapat terpecah ataupun tidak membentuk negara.” Ujarnya.
“Waktu yang dinantikan tidak kunjung terlihat dan seakan ada sesuatu mengganjal dari negara ini. Kemungkinan besar beberapa dari tokoh-tokoh penting di lapisan dunia mencoba untuk mencari tahu, apa yang sedang terjadi melalui beberapa sistem tanpa seorangpun tahu hal tersebut.” Lanjutan penjelasan paman Nara.
“Saya semakin tidak mengerti paman.”
“Mereka heran dengan beberapa hal dari dunia pemerintahan Indonesia. Kemungkinan mereka menyelidiki kamu sepenuhnya tentang sesuatu yang ganjil tersebut.” Kalimat paman Hartono.
“Maksudnya?”
“Selama ini kami berjalan dan berusaha untuk melakukan sesuatu hal demi perbaikan Indonesia melalui arahan serta petunjuk-petunjuk darimu. Percaya tidak percaya, hal tersebut bisa saja terjadi terlebih kemajuan teknologi pada beberapa negara-negara besar.” Ungkapannya.
“Nara tidak pernah bercerita tentang apa pun termasuk pada bunda, ini tidak mungkin terjadi paman.”
“Nara ingat mengapa paman mencarimu? Karena sebuah mimpi. Dalam mimpi tersebut, suara itu terdengar jelas bahwa ada begitu banyak negara yang ingin memperebutkan dirimu. Kesimpulannya mereka mencari tahu siapa dirimu. Seluruh masyarakat belum menyadari bahkan pejabat-pejabat diatas, hanya saja, beberapa orang-orang tertentu mulai menaruh curiga terhadapmu.” Penjelasannya.
“Seandainya, itu benar terjadi dan diperhadapkan 2 pilihan...Nara akan memilih mana?” pertanyaan paman Hartono mencari jawaban.
“2 pilihan bagaimana paman?”
“Andai kata diperhadapkan, antara Indonesia dan negara yang ingin mengambilmu suatu hari kelak maka tentunya Nara akan memilih mana?” Pertanyaan paman.
“Semua ini belum tentu betul, hingga saat ini saya sendiri terkadang ragu bahkan tidak mempercayai mimpi paman.”
“Percaya tidak percaya terserah kamu, intinya jawab pertanyaanku sekarang, memilih mana?”
“Paman, andai kata saya diperhadapkan antara mempertahankan iman namun, tidak akan pernah menjadi salah satu tokoh untuk memperlihatkan pemikiranku di Indonesia atau sebaliknya keluar  dari imanku untuk menjadi salah satu tokoh terpenting negara ini...” ucapanku seakan...
“Saya tidak sedang bercerita tentang iman Nara sekarang ini, melainkan tentang akan memilih Indonesia atau negara luar...”
“Jujur, saya lebih memilih Indonesia untuk bertahan seandainya tidak ada penolakan serta pemaksaan untuk mengikuti  agama/ iman kepercayaan terbanyak di negara ini. Sejak kecil, bunda mengajarkanku tentang arti iman dan cara berdoa kepada Tuhan. Saya senang berada dalam gereja dan merasakan warna-warna hidup dariNYA. Sekalipun mereka semua berkata, saya merupakan seseorang dengan tingkat fanatik paling tinggi, tidak menjadi masalah. Tentang iman, sejak awal bertemu dengan paman, saya katakan semua bersifat pribadi masing-masing dan jangan memaksakan.” Penjelasanku kembali.
“Nara, kalau seandainya semua rakyat inginkan dirimu meninggalkan imanmu, namun di negara sana mau menerima apa pun imanmu, hal tersebut merupakan hakmu bukan siapa-siapa. Nara akan memilih mana?” pertanyaan paman kembali.
“Pada dasarnya, saya akan tetap mempertahankan imanku sekalipun harus menjadi orang biasa dan tidak akan pernah dilihat oleh siapapun juga. berbicara agama serta iman kepercayaan, segalanya bersifat pribadi masing-masing. Lagian, bukan mau Nara untuk berada di tempat ini.” Penjelasanku.
“Kalaupun ada negara yang mau menghormati dan tidak memaksa tentang sebuah agama, pastinya, Nara lebih memilih untuk bekerja pada negara tersebut dibandingkan Indonesia. Sekarang paman bertanya saya memilih mana, tergantung keadaan di depan mata.” Tambahanku lagi.
“Sebenarnya, ini hanyalah kesalah pahaman ataupun terdapat beberapa kelompok tertentu memainkan situasi dengan memakai agama/ iman kepercayaan sebagai bahan jebakan ataupun alat tertentu.” Kata-kata paman Hartono.
“Tergantung paman...saya tidak ingin banyak bercerita tentang apa pun karena ini terlalu sensitiv.” Ujarku.
“Bukkkkk....” sebuah suara tiba-tiba terdengar. Ada seseorang dengan kesengajaan menguping pembicaraan kami. Mencari siapa yang berada di luar sana dan mataku terkejut oleh sosok wajah yang sedang berlari dan tidak lain adalah Reynand...
“Reynand...” Teriakanku mengejar dirinya.
“Nara, siapa dia?” Teriakan paman juga.
“Teman Nara...” kakiku terus mengejarnya sekalipun di tengah hujan deras secara tiba-tiba datang hadir untuk membasahi bumi tempatku berpijak. Menutupi sebuah kenyataan dari dia, apakah ini keinginan hatiku. Berusaha mengejar dan mencoba bercerita tentang sebuah rahasia...
REYNAND...
Secara tidak sengaja, saya kembali menguping pembicaraan Nara dan salah satu dari pejabat tersebut. Dan sebuah pot bunga terjatuh di depan rumahnya, hingga saya ketahuan dan segera berlari...namun, gadis mungil mengejar di bawah derasnya air hujan serta guntur begitu keras selalu saja bermain.
“Reynand berhenti...” teriakannya mengejarku.
“Kenapa saya harus mempersalahkan dia, pada hal letak kesalahan ada pada diriku karena menguping pembicaraan mereka.” Batinku di dasar hati, namun, kakiku terus berlari dan tidak ingin berhenti demi mendengar penjelasan apa pun. Memasuki rumah dan segera mungkin menguncinya dari dalam, tanpa harus berada di depan Nara. Beruntungnya, nefrit dan lainnya sudah pada tidur sehingga tidak membuat kegaduhan. Mengambil beberapa orang gila di jalan dan membawanya pulang ke rumah serta menjadi obat buat mereka. Awalnya penuh perjuangan, namun, pada akhirnya mereka sudah bisa untuk dijinakkan sama seperti binatang liar. Inilah perjalananku saat ini...
“Reynand, buka pintunya.” Nara terus mengetuk pintu tersebut.
“Tidak ada yang perlu diucapkan, pulang saja ke rumahmu sekarang. Saya meminta maaf karena telah menguping pembicaraan kalian.” Teriakanku di balik pintu.
“Tolong buka pintunya...” kalimat Nara terus memohon, namun tidak kuindahkan. Setelah beberapa jam, terus berdiri di balik pintu, aku berpikir dia sudah tidak lagi berada di depan rumahku ternyata aku salah karena tidak mendengar suaranya. Tanganku mencoba membuka pintu rumahku dan terlihat...
“Nara...” teriakanku melihatnya tergeletak di depan pintu di tengah hujan deras dan seluruh bajunya basah. Gadis mungil di depanku tidak sadarkan diri dan dalam keadaan pingsan. Suhu tubuh Nara sangat tinggi...
“Maafkan aku, ini semua salahku membuatmu berlari di tengah derasnya hujan serta membiarkanmu kedinginan depan rumahku, membiarkanmu tidak sadarkan diri...” tanpa terasa setetes air mataku terjatuh juga. Apakah saya terlalu cengeng untuk hal seperti ini?
Mengompresnya dengan sebuah handuk dan terus berjaga semalaman di samping Nara. Membayangkan saat berada di hadapan dia. Mengikuti apapun ucapan Nara, dimulai saat berada di sebuah panti jompo untuk membuat kehangatan. Menjadi seorang cleaning servis tanpa babyaran sepersenpun. Belajar membersihkan kotoran puu pada beberapa pasien yang tidak memiliki keluarga di rumah sakit tersebut. Berada dalam sebuah rumah kecil serta belajar tentang arti hidup lainnya. Dan segala tantangan terbaru dari Nara, tetap kulakukan.
“Tuhan, kalau di suruh memilih antara Nara dan lain sebagainya? Saya akan memilih untuk dia yang mengajarkanku berbagai hal. Apakah aku salah untuk mempertahankannya? Pertanyaanku kembali.
“Di satu sisi, Nara harus menjalani sebuah perjalanan serta berada di titik tertentu untuk negara ini. Namun, dilain hal, saya tidak ingin kehilangan dia apa pun yang terjadi. Kalau, seandainya suatu hari kelak Nara benar-benar menjadi salah satu bagian terpenting untuk negara ini ataupun di luar, pasti dia akan pergi dan tidak mau melihatku.” Ucapku membelai rambutnya.
“Maafkan saya terlalu egois, lebih parah lagi menguping pembicaraan kalian.” Ujarku kembali.
“Reynand...Reynand...Reynand...buka pintunya.” Gadis mungil mengigau terus menerus.
“Nara, tenanglah...” ucapku sangat panik.
“Buka pintunya...” kata-katanya lagi sekian kalinya saat mengigau. Sebuah suara gedoran pintu mengagetkanku, ternyata Nefrit membuka pintu tersebut.
“Dimana Nara?” Suara yang tidak asing kudengar, dan ternyata bapak Hartono hingga membuat Nefrit ketakutan.
“Nefrit...” berusaha menenangkannya, sementara yang lainpun terbangun oleh karena suara nyaring kedua pejabat tersebut.
“Nara ada dimana?” amarah pak Hartono tidak terkendali.
“Saya harap bapak tidak berteriak, Nara sedang sakit dan harus beristirahat..” jawabanku.
“Kau apakan Nara hingga berada di tempat seperti ini? Awas kalau terjadi sesuatu terhadap Nara, maka...” ucapannya.
“Bapaklah yang seharusnya bertanggung jawab, secara diam-diam menyembunyikan Nara.” Amarahku meledek pula.
“Kau...” Teriakan pak Hartono.
“Ini hanyalah kesalah pahaman.” Tegur pak Raharjo berada di tengah-tengah. Mencoba untuk menahan emosi sebisaku. Bapak Raharjo berusaha menenangkan keadaan kami saat ini. Memohon agar mereka tidak membawa gadis mungil malam ini, membiarkanku untuk merawatnya sekalipun hanya semalam.
“Suhu tubuh Nara sangat tinggi, dia harus segera dilarikan ke rumah sakit.” Ujar pak Hartono.
“Kami harus membawa Nara malam ini, maafkan kami.” Permohonan maaf pak Raharjo pejabat tersebut. Suara hatiku bertanya-tanya, apakah ini terakhir kali aku akan melihat wajahnya? Situasi seperti ini, tidak memungkinkan Nara harus berdekatan dengan siapapun juga. Nara harus melakukan berbagai hal pada satu area, dan tidak boleh merusak dunianya sekarang. Itulah dalam benak kedua pejabat tersebut.
Andai kata, tidak pernah mengenal dia tentu hatiku tidak akan sesakit ini.Rasanya, begitu menyaktikan melihat Nara harus dibawah pergi oleh kedua pejabat itu.” Ujarku menunduk. Semenjak kejadian malam itu, saya tidak pernah melihat Nara berada di depan rumahnya bahkan berusaha untuk mendatangi rumahku. Andai kata pada saat itu, saya tidak berlari dan membiarkan dia menjelaskan sesuatu tentu Nara masih ada di depanku saat ini.
“Reynand, kemana saja kau selama ini.” Gertak Deynis dari tiba-tiba di depanku. Menghilang dari dunia hiburan dan mengikuti tantangan gadis mungil bernama Nara. Seorangpun tidak menyadari siapa saya selama ini, semua orang berpikir kalau saya sedang berada di luar negeri melanjutkan studi.
“Tidak mungkin Reynand yang kukenal memiliki kehidupan seperti ini, saya pikir...” teriakannya tidak percaya.
“Memangnya kenapa kalau saya mengalami kehidupan seperti ini? Ada yang salah? Berhenti berbicara tentang apa pun juga.” kalimatku.
“Kau bisa kembali menjadi artis lagi, ada begitu banyak fensmu sedang menantikan kehadiranmu.” Ujarnya.
“Saya ingin berhenti dari dunia hiburan. Ini keputusanku.” Ujarku kembali. Saya baru menyadari tujuanku ke Indonesia setelah mengalami kejadian seperti ini. Reynand Goldy merupakan putra tunggal pengusaha terkenal di luar negeri Goldy company. Lahir dan dibesarkan di luar negeri. Papiku merupakan berdarah Portugal, Prancis, Inggris, Spanyol, dan Australia, sedangkan mami asli Indonesia.
Beberapa tahun lalu, saya mendapat mimpi untuk segera ke Indonesia saat keluarga kami berlibur ke New York. Dalam mimpi tersebut, seseorang menyuruh saya membuat sebuah petualangan di Indonesia. Hingga suatu ketika, saya akan dipertemukan oleh seorang gadis mungil dan apa pun diperintahkannya harus saya lakukan. Mimpi tersebut terus saja menghantui pikiranku, hingga akhir cerita saya mengambil keputusan melakukan petualangan di Indonesia. Karena mempunyai wajah cukup sempurna, akhir cerita saya ditawari untuk menjadi seorang artis dengan menyembunyikan identitas keluargaku. Hanya Deynis sahabat sekaligus managerku mengetahui identitas asliku. Beruntung mami mengajarkanku bahasa Indonesia sejak kecil, hingga saya tetap fasih menggunakan bahasa tersebut.
Singkat cerita, seiring berjalannya waktu, saya lupa akan mimpi tersebut oleh karena telah berada di dunia hiburan tanah air. Setelah mengalami peristiwa tersebut dan tidak pernah melihat Nara lagi, tiba-tiba ingatan akan mimpi tersebut kembali bermain dalam hidupku. Berusaha mencari tahu keberadaan Nara serta apa yang sedang dikerjakannya, namun, tidak membuahkan hasil. Satu-satunya jalan berusaha menemui kedua pejabat tersebut berulang kali, hingga mereka mau berterus terang.
“Tolong beri tahu saya di mana Nara berada?” ucapku bersujud ke sekian kalinya di hadapan ke dua pejabat tersebut.
“Kau tidak bisa menemui Nara, karena perjalanan di dirinya berlawanan arah dengan duniamu.” Kalimat pak Hartono.
“Nara harus melakukan berbagai hal, sedangkan kau berlawanan dengannya. Kami tahu betul siapa dirimu merupakan salah satu artis terkenal berdarah blaster.” Kalimatnya lagi.
“Saya menyukai Nara sejak pertama kali melihatnya. Menyuruhku melakukan berbagai hal dan untuk pertama kali saya jujur akan identitas keluargaku di hadapan gadis tersebut. Hingga akhir cerita, mengajarkanku arti kehidupan.” Kata-kataku dengan wajah menunduk.
Hati kedua pejabat tersebut akhirnya luluh melihat karakterku tidak menyerah untuk mencari tahu keberadaan Nara. Mereka berdua menjelaskan, kalau Nara sedang melanjutkan kuliahnya di luar negeri sekaligus menyembunyikan identitas gadis mungil itu yang sebenarnya. Para pejabat seakan mencium sesuatu hal, demi keselamatan juga masa depannya, Nara harus berada di luar negeri.Mempersiapkan penerbangan menuju Jerman,dan mencari Nara di negara tersebut. Menyuruh Deynis merawat Nefrit dan beberapa orang gila yang saya pungut di jalan serta masih dalam pemulihan. Di antara mereka, sudah kembali sadar termasuk Nefrit sekalipun masih bertahap, dan dapat melakukan aktifitas sehari-hari. Nefrit kembali bersekolah serta belajar melupakan masa lalu kelam. Terlihat lebih ceria saat berhadapan dengan siapapun tanpa rasa ketakutan sedikitpun.
MENARA...
Terakhir kali mengingat kenangan bersama dia. Tuhan, andai kata saya menjelaskan keadaanku sebenarnya pada Reynand, tentu permasalahan seperti ini tidak akan terjadi. Tuhan,pertemukan saya dengan dia walaupun hanya sekali. Tuntutan kuliah membuatku berada di negara ini, selain hal tersebut oleh karena menghindari kecurigaan para pejabat.
Menjalani hari-hariku tanpa bunda, ayah, kurcaci kecil dalam keluargaku, paman Hatono, paman Raharjo, Reynand di negara ini. Mengejar mimpi sekaligus bersembunyi menghindari kecurigaan para pejabat mengenai hidupku.Banyak hal terjadi, semua ini bersifat misteri...diawali mimpi paman Hartono tentang diriku, melakukan berbagai hal di sebuah ruang bawah tanah dari rumah kecil sederhana jauh dari penduduk. Berhadapan dengan Reynand disertai berbagai hal dari duninya.
“Tuhan, pertemukan saya dengan dia walaupun hanya sekali.” Isi hatiku menggema dalam sebuah gereja dengan mata terpejam. Membayangkan senyuman manis dari dia. Mengingat setiap ucapan darinya..
“Nara, apakah kamu mau menungguku hingga saya berhasil melewati tantangan ini selama setahun?” teriakannya pada saat itu yang belum pernah kujawab hingga saat ini.
“Nara, pertanyaanku beberapa waktu lalu belum dijawab olehmu, selama 3 tahun saya menunggu jawaban darimu.” Suara seseorang di samping saat mataku masih terpejam dalam gereja.
“Selama setahun lebih semenjak kejadian malam itu, terus mencari keberadaanmu dan akhirnya menemukanmu di negara ini.” Ucapnya kembali.
“Tuhan, apakah doaku saat ini sudah dikabulkan olehMU.” Suara hatiku membuka mataku secara perlahan-lahan. Melihat dengan jelas siapa di sampingku...
“Setelah berhasil melewati tantangan darimu, apakah kau mau jadi pacarku?” pertanyaan Reynand tersenyum ke arahku.
“Tuhan, apakah ini hanya mimpi atau kenyataan?” ucapku tidak mengedipkan mata sedikitpun.
“Ini bukan mimpi dan gadis mungil harus menjawab pertanyaanku sekarang karena saya berhasil melewati berbagai tantangan darinya.”
“Apakah saya sedang melihat hantu?” pertanyaanku lagi.
“Gadis mungil, berhenti berbicara aneh-aneh, mana ada hantu di dalam gereja bossss...” kalimat Reynand terlihat kesal.
“Jawab pertanyaanku sekarang. Diam dan tersenyum menandakan ya.” Ucapnya memegang tangan serta mencolek pipiku menggunakan jari telunjuknya.
“Jangan macam-macam ini di dalam gereja, sedangkan di luar saja jangan berani-berani terlebih...” gertakku.
“Berarti kita berdua resmi menjadi sepasang kekasih, seandainya kau tidak kuliah dan masalah tentang pak Hartono serta pak Raharjo, pasti...” ujarnya.
“Pasti apa?”
“Pasti kita bisa langsung menikah sekarang, hahahahahaha” Tawa Reynand sangat bahagia. Bersama dengan Reynand, tanpa menjawab pun kami resmi menjadi sepasang kekasih.
“Gadis mungil, coba katakan saya sayang kamu.” Ucapnya terus memegang tanganku.
“Bagaimana kabar Nefrit dan lainnya?” mengalihkan pembicaraan.
“Nara...” Kekesalan Reynand pacar pertama & terakhir.  *******TAMAT*******