INDONESIA
DI 2 TITIK...
BAGIAN SATU...
Di kenal sebagai paru-paru dunia,
sudah tidak akan berlaku lagi untuk negaraku saat ini. Ada begitu banyak
pertanyaan yang sedang membungkus Indonesia saat ini. Apa yang sedang terjadi
dengan negara ini? Siapakah yang harus dipersalahkan untuk segala sesuatu yang
sedang terjadi selama bertahun-tahun di negara dan bangsa ini? Dimanakah letak
keadilan dalam hukum tata negara yang selalu saja dipermainkan oleh berbagai
oknum-oknum tertentu? Pertanyaan demi pertanyaan terus menerus bermunculan
sedang membayangi perjalanan untuk negara yang di katakan memiliki banyak
kekayaan secara kasat mata seluruh dunia.
Seluruh
dunia menyadari tentang sebuah semangat juang 45 dari beberapa toko-toko
penting, hanya demi merebut sebuah KEMERDEKAAN. Selama tiga ratus lima puluh
tahun atau tiga setengah abad, di jajah oleh pemerintahan kolonial Belanda,
yang kemudian di lanjutkan oleh penjajahan bangsa lain. Perjuangan toko-toko
tersebut mempunyai peranan penting untuk masa depan Indonesia. Namun, apa yang
sedang terjadi saat ini? Seakan ada sesuatu yang selalu saja menjadi bahan
permainan atau pertentangan dari berbagai arah.
Indonesia
dengan berbagai permasalahan setelah berhasil meraih kemerdekaan secara luar
biasa pada tahun 1945 kemarin. Begitu banyak darah yang tertumpah hanya demi
sebuah kata yaitu kemerdekaan atau dengan kata lain bebas dari penjajah. Di
balik kemerdekaan tersebut ada begitu banyak makna yang tersimpan bagi rakyat
Indonesia hingga saat ini.
Yang
menjadi pertanyaan apakah Indonesia telah lepas dari segala akar permasalahan
setelah Sukarno-Hatta mengumumkan proklamasi kemerdekaan? Seperti yang telah di
perhatikan selama ini tentang perjalanan negara ini sedang berada di 2 titik. Bukan
permasalahan tentang perjuangan beberapa tokoh-tokoh kekerdekaan, hanya saja,
lebih mengarah pada sesuatu yang tidak akan pernah di hargai oleh beberapa
kelompok tertentu.
Kejatuhan
Suharto dan orde baru menjadi salah satu hal yang luar biasa untuk perjalanan
negara ini. Kerusuhan di berbagai tempat/ wilayah Indonesia hingga pada akhir
cerita begitu banyak nyawa melayang dalam sekejap mata. Hanya demi sebuah kursi
politik, hal paling mengerikan di buat
luar biasa hebat oleh beberapa tokoh-tokoh tertentu. Beberapa provinsi di
permainkan oleh sebuah situasi, dan akhir cerita menelan banyak korban.
Politik, perang antar suku, pertentangan tentang agama, pertumpahan darah, air
mata, kemiskinan,maha siswa yang merasa begitu hebat dengan melakukan berbagai
atraksi demo di berbagai daerah, dan berbagai hal-hal mengerikan sedang
membungkus perjalanan Indonesia saat ini...
MENARA...
Namaku
Menara berasal dari Kalimantan Barat dengan ibu kota Pontianak, kabupaten
Sanggau. Perlu diketahui, bahwa, Sanggau di topang oleh 2 komoditas utama yaitu
karet dan sawit. Pada dasarnya, keluargaku bukanlah asli dari penduduk
Pontianak, ayahku merupakan campuran Jawa-Tionghoa, sedangkan bunda merupakan
campuran Dayak-Bugis. Penduduk asli Sanggau adalah suku Melayu. Berasal dari
keluarga sederhana membuatku terkadang memiliki suatu perasaan minder untuk
beberapa saat dalam perjalananku.
Jujur,
duniaku sangat membenci tentang hal-hal yang berbau berita, politik, tinju, dan
banyak cabang olah raga. Itu bukan duniaku, hal-hal tersebut hanya di arahkan
bagi kaum lelaki. Terlebih berita, politik, ekonomi bagi pemikiranku hanya di
ciptakan untuk para lelaki paruh baya bukan untuk kehidupanku secara pribadi.
Saya lebih menyukai sesuatu yang bersifat komik serial cantik, drama korea,
film-film kartun. Satu hal lagi yang perlu di ketahui, kalau saya sangat senang
menonton film barat tapi versi anak-anak dan dalam ceritanya terdapat anak
anjing yang lucu, pintar, juga sangat cute. Salah satu jenis film yang paling saya
gemari adalah Home Alone, ceritanya menarik serta terdapat banyak kejahilan di
dalamnya.
Sejak
kecil bunda selalu membawaku ke sebuah ibadah persekutuan gereja. Aku seorang
nasrani yang selalu di ajarkan tentang bagaimana mempunyai iman kuat dalam
perjalanan kehidupan. Bunda tidak pernah takut akan kerusuhan-kerusuhan dan
pertikaian antara agama. Dalam pekirannya saat ini, hanya satu yaitu
pembentukan kehidupan untuk anak-anaknya melalui persekutuan ibadah. Bunda
tidak akan segan-segan mencubit perutku, jika saya mempunyai banyak alasan
untuk tidak menghadiri ibdah persekuuan.
“Nara,
emas ada di ujung rotan...” Kalimat bunda setiap marah terhadapku saat saya
sedang melakukan kesalahan.
“Membosankan”
kalimatku di dasar hati, tapi tidak mungkin aku keluarkan di hadapannya. Rasa
takut pada bundaku, jauh lebih besar di bandingkan saat berhadapan dengan ayah.
“Jangan
pikir, kalau kamu sudah besar terus bunda tidak bisa melakukan sesuatu
terhadapmu.” Ancaman bunda setiap kali marah.
“Benar-benar
membosankan.” Hanya hal tersebut yang terus berada dalam benakku. Namun,
sekalipun kalimat-kalimat bunda terasa membosankan pada telingaku, Nara
tetaplah Nara anak rumahan luar binasa. Kehidupanku sangat jauh berbeda dengan
teman-teman sebayaku yang selalu menghabiskan waktu untuk terus berada di luar
rumah. Saya lebih menyukai saat berada di rumah dan menghabiskan waktu dengan
menonton film-film kartun, drama korea, atau drama komedi yang dapat membuatku
tertawa.
Saya
salah satu pendengar setia, setiap kali teman-temanku bercerita tentang
gebetan/ pacar mereka di mulai sejak duduk di bangku SLTP. Membayangkan untuk
mempunyai pasangan sepertinya belum ada dalam kehidupanku.“Astaga, cowok di
sana cakep bangettt yah...” Celoteh Diaz seperti biasanya.
“Yang
mana?” Pertanyaan Munawarah dengan penuh rasa penasaran luar biasa. Seperti
biasanya, mataku pun ikut penasaran dengan celoteh Diaz hingga wajahku berbalik
ke kiri dan kanan untuk beberapa saat.
“Masih
kecil juga sudah pacaran tidak jelas dan ceritanya hanya cowok
terus-terusan...” Kalimatku di dasar hati, namun tetap menjadi pendengar setia
yang baik di hadapan mereka.
Lebih
parah lagi, sewaktu saya masih berada di bangku kelas lima sekolah dasar.
Beberapa temanku sudah tahu yang namanya pacaran dengan banyak pria. Bayangkan
saja, cowok-cowok yang di pacari sekaligus langsung lebih dari lima orang.
Zamanku sewaktu sekolah dasar belum kenal telpon genggam dan dunia medsos.
Jadi, saling berkomunikasi melalui surat cinta.
“Wow...
pintar benner plus lancar habis kalau nulis surat cinta.” Kata-kataku
menggeleng-gelengkan kepala luar biasa.
“Tapi,
giliran pelajaran pasti mati kutu luar binasa.” Di dasar hati kembali menggema
minta ampun luar biasa...
Hal
yang paling kugemari adalah saat berada di rumah tanpa suara bunda hanya
seorang diri. Kenapa? Di karenakan bunda sedang bekerja di sebuah rumah makan
kecil hingga sore hari, jadinya, saya dapat berada di depan tv untuk menonton
salah satu telenovela anak atau tertidur pulas selama beberapa jam tanpa
gangguan sejenis apa pun.
“Nara,
kenapa piring belum di cuci?” Ocehan bunda seperti biasa saat pulang ke rumah
kalau saya lupa melakukan pekerjaan saya sebagaimana mestinya.
“Nara
sadar tidak, kalau bunda pulang benar-benar capek terus saat sampai di sini
melihat rumah berantakan apa lagi dapur tidak ada yang beres?” Teriak bunda
kembali dengan sangat geram. Seperti biasanya, saya menunduk bahkan tidak tahu
apa yang harus di ucapkan. Kalau berbicara sekali, jangan di tanya lagi apa
yang akan terjadi selanjutnya...
“Saya
lupa...” Jawabanku dengan kepala menunduk dan mengingat apa yang telah saya
lakukan sebelumnya.
“Saya
keasikan nonton, terus tertidur pulas selama beberapa jam, jadi, wajar saja
kalau piring-piringnya belum dicuci.” Seperti biasanya kata-kataku di dasar
hati paling terdalam.
Saat
bunda berkata-kata, satu hal yang terus berada dalam benakku bagaimana caranya
untuk menyumbat mulutnya sehingga berhenti berkata-kata. Seperti biasanya,
bunda akan mengamuk besar jika saya
tidak mengikuti dirinya untuk berada di sebuah persekutuan. Jadi, dengan
kata lain saya harus selalu mengikuti apa pun kemauannya suka atau tidak suka.
“Bunda,
tidak pernah adil.” Gerutuku di dasar hati memasang wajah cemberut, tapi, tidak
dapat melawan apa pun yang keluar dari mulutnya.
“Nara,
jangan jadi anak malas untuk datang mencari Tuhan.” Gertakan bunda saat melihat
wajah cemberutku. Pada dasarnya, sewaktu sekolah dasar saya sangat senang jika
bunda membawaku ke persekutuan, namun, seiring berjalannya waktu entah mengapa
rasa malas terkadang membungkus kehidupanku.“Bunda, kenapa saya terus yang
pergi persekutuan dan kenapa kurcaci di sana tidak pergi?” pertanyaanku saat
sedang berjalan kaki menuju rumah ibadah seperti biasanya.
“Adikmu
kan masih kecil dan kamu harus memberikan contoh yang baik.” Kalimat bunda yang
terkadang membuatku makin menggerutu di dasar hati.Inilah kehidupan Nara, saat
berada dalam rumah persekutuan terkadang tertidur pulas sewaktu berdoa syafaat
atau firman sedang berjalan, tapi tidak keseringan juga. Lebih parah lagi, saat
pujian penyembahan di naikkan kepada Tuhan, semua orang di sekitarku
benar-benar bersungguh-sungguh datang kepada Tuhan, sedangkan saya sendiri
tertidur pulas. Ibaratnya tidur di alam roh untuk istilah-istilah tersendiri
bagi kehidupan anggota persekutuan lainnya, yang ingin menjadikannya sebagai
bahan lelucon belaka.
“Doakan
Indonesia, jadilah pendoa syafaat untuk negara kalian...” Kata-kata pengkotbah
dari atas mimbar. Ada saat saya merasa sangat kecewa dan bertanya-tanya, kenapa
saya harus dilahirkan di negara yang selalu bertikai? Kenapa Tuhan tidak menciptakan
saya melalui rahim orang bule di luar sana, biar saat lahir mataku berwarna
biru atau hijau? Kenapa harus berada di negara yang hanya mengenal pertumpahan
darah, demonstrasi dari berbagai kalangan hanya demi sesuatu yang...?
“Kaki
dian ada di Indonesia.” Pernyataan pengkotbah kembali, membangunkanku dari
sebuah lamunan luar biasa.
“Ada
di Indonesia apanya, jelas-jelas sesama rakyatnya saling bertikai oleh karena
perbedaan aliran kepercayaan dan lebih parah lagi pemeriksaan KTP di beberapa
daerah sedang terjadi. Pertumpahan darah terus bermain di negara ini. Kaki dian
dari hongkong...” kalimatku di dasar hati kembali. Dalam kepercayaan yang aku
yakini, berbicara tentang kaki dian, dimana menjelaskan bahwa Roh Tuhan ada di
Indonesia dan akan memperbaiki serta memulihkan negara ini. Kaki dian mempunyai
7 kaki, yang berarti tujuh Roh Tuhan membungkus negara dan bangsa ini.
Setiap
hari orang-orang di gereja-gereja selalu berdoa untuk PEMULIHAN INDONESIA,
terus memohon dan memohon... Bahkan mengadakan doa puasa bersama, agar negara
ini lepas dari krisis yang berkepanjangan ataupun pertikaian, teroris,
perselisihan antar penganut kepercayaan. Sekalipun, saya tidak menyukai tentang
politik, berita, pemerintahan, dan semua permasalahan di Indonesia, namun,
entah mengapa suara hatiku selalu saja menaikkan doa untuk negara ini.
“Setidaknya,
Indonesia bebas dari pertikaian, kerusuhan, ataupun demonstrasi yang selalu
saja merusak jalanan di berbagai daerah akibat perbuatan para mahasiswa di luar
sana.” Gerutuku di dasar hati.
“Tuhan,
ampuni bangsa kami dan PULIHKAN NEGARA kami...Indonesia akan menjadi negara
yang besar dan maju, ini kerinduan kami” seru doa mereka setiap hari baik di
gereja dan dalam persekutuan doa di manapun menginjakkan kaki dengan air mata
yang terus menerus mengalir deras. Satu hal, terus saja menyerang akal
pemikiranku, apakah para pemuka agama dan mereka yang menganggap hanya imannya
saja paling berharga hingga dengan kesengajaan membuat segala sesuatunya
menjadi pertumpahan darah di berbagai wilayah dapat menyadari tentang hal
semacam ini. Air mata mengalir deras, bukan berdoa agar Tuhan membalas segala
pertumpahan darah kemarin hingga begitu banyaknya tempat-tempat ibadah mereka
hancur dalam sekejap mata. Mereka berdoa agar Tuhan mau mengampuni bangsa
Indonesia dan memulihkan negara ini.
Begitu
banyaknya kaum ibu menjadi janda, namun, apa yang mereka katakan “saya
mengampuni orang yang telah menganiaya serta membunuh suamiku saat ini.”
Kata-kata tersebut dapat di keluarkan begitu saja. Dapatkah seseorang
memberikan sebuah pengampunan begitu saja, bahkan hal lebih parah seakan segala
sesuatunya diputar balikkan oleh beberapa kelompok tertentu.
“Nara,
apa yang sedang kamu lakukan?” pertanyaan salah satu dari temanku di dalam
kelas.
“Membaca
komik serial cantik.” Jawabanku cukup simple.
“Ceritanya,
seperti apa?”
“Tentang
cowok yang selalu saja menjadi idola di sekolah menyukai cewek paling bodoh dan
ceroboh.” Jawabanku kembali.
“Pinjam
yah, kalau sudah selesai bacanya...” Bujuk temanku.
“Ini
komik juga saya pinjam dari Stevi.” Kalimatku kembali.
“Stevi,
pinjam komikmu habis Nara baca yach.” Teriak Diaz tiba-tiba.
“Telingaku
bisa pecah...” gerutuku menatap dengan memasang wajah asam.
Seperti
biasanya, kehidupanku saat berada di sekolah hanya membaca komik saat jam
istirahat. Kalau bunda sampai tahu, anaknya membaca buku-buku seperti ini
jangan di tanya apa yang akan terjadi lagi...kemungkinan besar perang dunia
ke-3 pasti terjadi di rumahku. Bunda
sangat tidak senang kalau anaknya membaca buku-buku seperti komik, majalah anak
remaja, dan teman-temannya di belakang. Jangan pernah membawa buku aneh-aneh ke
rumah, pasti sudah di robek-robek tidak jelas, pada hal benda tersebut punya
orang yang di pinjam. Bunda hanya mau, kalau anaknya yang satu ini membaca
buku-buku bersifat rohani dan bukan duniawi seperti komik, majalah-majalah
remaja, dan segala macamnya.
Setiap
harinya, saya hanya bisa membaca di sekolah saja dan jangan sekali-kali membawa
benda-benda tersebut pulang ke rumah. Satu lagi yang paling mengerikan dari
kalimat bunda sejak saya duduk di bangku SLTP, jangan sekali-sekali mempunyai
hubungan dengan seorang pria manapun. Bukan hanya bunda, melainkan ayah pun
mengatakan hal yang sama di karenakan mereka ketakutan kalau anaknya bisa saja
hamil di luar nikah.
“Nara,
jangan sekali-kali berdekatan dengan cowok manapun, kalau tidak...” ancaman
mereka.
“Kalau
tidak, apa yang akan terjadi?” Pertanyaanku.
“Kakimu
pasti kupatahkan di tempat.” Kalimatnya mengancam. Kemungkinan besar inilah
yang membuatku tidak pernah merasakan yang namanya pacaran hingga di sekolah
menengah kejuruan. Bukan permasalahan saya tidak laku, melainkan kemungkinan
besar beberapa cowok yang menyimpan perasaannya secara mendalam sudah ketakutan
duluan saat melihat wajah bunda yang begitu menyeramkan. Sejelek-jeleknya saya,
akan tetapi masih tetap laku di mata beberapa kaum adam di sekitar rumah
ataupun sekolahku.Seperti biasanya, pekerjaan ayah saat berada di rumah
menonton berbagai berita seputar politik, ekonomi, dan segala macamnya.
Benar-benar membosankan kehidupan ayahku dan para kaum pria paruh bayah di
negara ini, hanya menonton hal-hal paling mengerikan sedunia.
“Pertumpahan darah di beberapa
wilayah...” setiap harinya pembawa berita akan berkata-kata hal-hal seperti
ini.
“Membosankan...”
Ucapanku dalam hati menatap mimik wajah ayahku setiap harinya.
Seperti
biasanya, saat pulang dari sekolah berjalan kaki menuju rumah sambil memainkan
permen kaki berwarna merah menyala pada mulutku.“Biar bibirku terlihat merah
luar biasa...hahahahahaha” ucapku, terus-menerus menggosok-gosokkan permen
tersebut pada bibirku. Seorang Nara, di larang luar biasa oleh bundanya untuk
sekali-sekali mengenakan lipstik pada bibirnya. Kenapa? Karena bunda tidak mau
kalau bibir anaknya rusak dan terlihat pecicilan di mata banyak orang. Lipstik
tidak bisa, permen merah menyala pun jadilah. Tidak terasa sebentar lagi, saya
akan menamatkan diri dari sekolah menengah umum. Sudah dipastikan, saya tidak
akan melanjutkan kuliah karena terkendala pada masalah biaya.
BAGIAN
DUA
HARTONO
SAPUTRA WIJAYA...
Menjadi
salah satu wakil rakyat sama sekali tidak pernah terbayangkan dalam
perjalananku. Pertikaian, pertengkaran/perselisihan, politik, hukum yang sedang
diperjual belikan dan selalu saja dipermainkan, demonstrasi para mahasiswa dari
berbagai daerah hingga pada akhir cerita menelan korban luar biasa, pertumpahan
darah, beberapa kalangan tertentu memainkan situasi hanya demi sebuah
kekuasaan, dan masih banyak lagi sedang membungkus Indonesia saat ini.
Peperangan
antar suku terus saja bermain di negara ini. Rasa benci kepada penganut agama kepercayaan
lain terus bermain hingga menjatuhkan banyak korban secara luar biasa terus
membungkus bangsaku. Apakah Indonesia akan selamanya mengalami hal-hal terparah
dalam perjalannya? Apakah air mata akan mengalir dengan begitu deras pada wajah
mereka yang tidak bersalah dan selalu menjadi korban dari para
kelompok-kelompok tertentu? Kapan hal-hal mengerikan seperti ini akan berakhir?
“Tragedi
Trisakti 1998 menelan banyak korban jiwa dan berpengaruh pada berbagai daerah.”
Kata-kataku membayangkan sesuatu hal dalam sebuah ruangan hening yang begitu
mencekam. Kerusuhan Ambon besar-besaran pun terjadi sekitar tahun 1999, di
mulai dengan pertentangan antar kelompok yang melibatkan sentimen agama.
Pertengahan bulan Januari berkembang isu konflik antar agama dan bahaya saling
menyerang, yang pada akhirnya menelan korban begitu banyak. Pengrusakan dan
penyerangan antar kelompok terjadi di
berbagau lokasi dan hampir seluruh kota Ambon. Pengrusakan dan pembakaran
mengarah pada tempat-tempat ibadah baik mesjid maupun gereja, rumah-rumah
penduduk, pertokoan, dan pasar.
Dalam
tragedi tersebut, terdapat banyak kejanggalan-kejanggalan secara luar biasa
yang entah kapan akan terbongkar secara menyeluruh. Kepentingan politik sedang
dimainkan oleh beberapa kalangan dalam situasi mengerikan. Kerusuhan Kalimantan
tengah yang terjadi sekitar tahun 2001 antara suku Dayak dan Madura hingga
menewaskan banyak jiwa yang harus menjadi korban secara luar biasa. Terdapat
pula kerusuhan untuk mengeluarkan kaum Tionghoa dari Indonesia di mainkan oleh
beberapa kelompok tertentu. Di Poso pun tidak luput dari kerusuhan. Makassar terus saja mengamuk oleh karena sesuatu yang tidak masuk di
akal dan berbagai macam kerusuhan pun selalu saja terjadi, hingga pada
pemeriksaan KTP tentang penganut kepercayaan.
“Tuhan,
kapan semuanya ini akan berakhir keluar dari negaraku?” jeritan hatiku menggema
seakan ingin mengeluarkan air mata sejadi-jadinya.
“Selamat
siang pak, sebentar lagi rapat Dewan Perwakilan Rakyat akan segera di adakan.?”
Seperti biasanya salah satu bawahanku di kantor memberi tahu tentang pertemuan
yang akan di lakukan.
“Saya
sudah tahu.” Penjelasanku memainkan telpon genggam saat berdiri di depan sebuah
pintu yang tidak jauh dari ruang informasi.
“Sepertinya,
bapak...” Ucapan Prayitno sambil menunduk.
“Sepertinya
kenapa?” kalimatku menghentikan untuk memainkan telpon genggam di depanku.
“Bukan
maksudku untuk berbicara, hanya saja...” kalimatnya kembali.
“Jangan
berbelit-belit jika sedang berbicara dan langsung pada intinya.” Kalimatku
kembali menatap dengan tatapan sangat tajam.
“Raut
wajah bapak menampakkan, jika tekanan luar biasa sedang membungkus pikiran anda
saat ini.”
“Sok
tahu kamu.” Kalimatku kemudian berlalu dari hadapannya.
“Tuhan,
adakah yang dapat memahami segala sesuatu dalam benakku saat ini?” Hembusan
nafasku keluar sambil melangkahkan kakiku ke sebuah ruangan.
Seperti
biasanya para wakil rakyat hanya mementingkan diri mereka sendiri, dan tidak
akan pernah melihat apa yang paling terpenting saat ini. Keegoisan,
kemunafikan, permainan, keserakahan, korupsi, dan masih banyak lagi selalu saja
bermain membuat irama langkah perjalanan dalam kehidupan mereka. Perkelahian
antara sesama pejabat semakin menambah daftar garis hitam untuk Indonesia
sendiri. Korupsi luar biasa terus-menerus terjadi di kalangan pejabat dan
membuat negaranya menjadi semakin hidup dalam kehancuran.
“Sampai
kapan negaraku akan mengalami kejadian-kejadian seperti ini?” teriakanku di dasar
hati.
“Aaaaarrrrrrrrggggggggggghhhhhhhh...”
sekali lagi teriakan yang benar-benar keluar dari bibir mulutku di depan sebuah
danau sekitar rumahku.
“Bapak
tidak kenapa-kenapa kan?” sebuah suara sangat khawatir dengan teriakanku.
“Memangnya,
kenapa kalau saya berteriak?” ungkapku kesal kemudian berlalu dari hadapannya.
“Beberapa
artikel tentang kejatuhan Suharto dan orde baru.” Suara seseorang secara
tiba-tiba membangunkanku dari lamunan.
“Sejak
kapan kamu datang datang dan masuk dengan cara yang tidak sopan?” tatapan
mataku yang mengalir begitu saja dan sangat sinis.
“Sejak
dari tadi, hanya saja, seorang Hartono Wijaya terus melamun dan entah kapan
akan bangun hingga tersadar...” singgungan luar biasa dari Raharjo pratmojo.
“Keluar
dari ruanganku sekarang juga.” gertakanku tiba-tiba.
“Menyerahlah
pada keadaan, bahwa pada dasarnya Indonesia akan selamanya ditakdirkan hidup
dalam kesengsaraan serta sesuatu yang berbau mengerikan.” Ucapnya tiba-tiba
membuatku terdiam.
“Saya
sadar betul, bahwa satu-satunya pejabat yang peduli akan negaranya hanya
Hartono Wijaya saja...tapi, satu hal jangan pernah memaksakan keadaan yang
tidak mungkin.” Ungkapannya kembali.
“Maksud
dari ungkapanmu sebenarnya ingin membuat segalanya hancur atau seperti apa?”
Pertanyaanku semakin geram.
“Gak
usah pake urat, tapi harus pake otak bosssss.” Senyumannya terpancar kemudian
meninggalkanku dalam ruangan tersebut.
“Apakah
saya harus menerima kenyataan tentang Indonesia?” teriakanku luar biasa sekali
lagi, yang pada akhirnya membuatku mengalirkan air mata disertai isakan tangis
luar biasa...
“Tuhan,
pada dasarnya saya bukanlah orang suci dan paling suci, tapi, satu hal jangan
pernah meninggalkan bangsaku dan membiarkan mereka yang tidak mengerti apa-apa
menjadi korban untuk kesekian kalinya.” Jeritanku tersungkur di lantai.
“Bebaskan
negaraku dari keadaan mengerikan seperti ini.” Air mataku terus saja mengalir
hingga pada akhirnya membuatku tertidur pulas pada lantai dari ruangan
tersebut.
Dalam
tidurku seakan saya berada di suatu tempat yang sama sekali tidak pernah
terbayangkan olehku. Dan seperti ada suara yang sedang berkata-kata...
“Hartono
Saputra Wijaya, dengarkan baik-baik hal yang akan kukatakan...” suara tersebut
terngiang begitu saja dan sangat jelas tanpa memperlihatkan wajahnya.
“Siapa
kamu dan kenapa bisa mengenal nama saya?” Teriakanku sangat ketakutan.
“Indonesia
dapat pulih melalui tangan seorang anak perempuan. Otoritas ada dalam
kehidupannya, dia yang akan memperbaiki keadaan negara ini ke depannya. Semua
membutuhkan waktu, jadi, jangan pernah menyerah...” kalimatnya dengan begitu
lembut.
“Kenapa
kamu bisa berkata seperti itu?” pertanyaanku seakan tidak mempercayai semuanya.
“Pergilah
dan berjalan mencari gadis bernama Menara berasal dari Kalimantan Tengah,
kabupaten Sanggau. Tuhan telah menetapkan dirinya untuk memperbaiki situasi
yang ada di negara ini. Bersabarlah, hinggga waktu itu tiba untuk mengajarinya
sesuatu hal dan membuatnya menyadari akan rencana Tuhan di dalam perjalanan
gadis tersebut.” Ucapannya sekali lagi, yang kemudian memperlihatkan wajah
seorang gadis dengan begitu jelas...
“Satu
hal yang perlu kamu ketahui, jika Indonesia melepaskan anak ini untuk negara
lain, maka kerugian besar ada dalam negara ini. Ada begitu banyak negara yang
ingin memperebutkan dirinya dan semua keputusan kembali pada tangan Indonesia
sendiri, bagaimana cara untuk mempertahankan dirinya sehingga tetap berada
untuk bangsa ini.” Kalimatnya sekali lagi dengan begitu jelas dan sangat
lembut.
“Siapa
kamu?” seluruh tubuhku berkeringat luar biasa hingga membuat bajuku basah.
“Hanya
sebuah mimpi...”kalimatku tersadar bahwa semuanya itu adalah mimpi belaka.
Namun, tanpa kusadari merupakan awal dari perjalanan untuk sesuatu yang
kuinginkan dan semua orang impikan.
Semenjak
mengalami mimpi seperti itu, seakan ada sesuatu yang terus saja menghantui
perjalananku setiap saat. Antara suara hatiku menuntut untuk mempercayai akan
hal tersebut dan tidak mempercayai sesuatu...
“Tidak
mungkin, ini hanyalah bunga-bunga tidur yang biasa dialami oleh kebanyakan
orang pada umumnya.” Gumamku.
“Pak,
jangan terlalu banyak berpikir.” Ucapan bijak seorang istri yang dengan setia
terus berada di sampingku dan menjadi pondasi untuk perjalananku.
“Kakek...”
suara cucuku memperlihatkan senyuman termanisnya buatku.
“Tuhan,
buat kakekku kembali memperlihatkan senyumannya.” Kepolosan seorang anak
berusia 5 tahun terpampang di hadapanku.
“Cucu
kakek...” Senyumanku mulai terlihat dengan berusaha memberikan dekapan hangat
untuk dirinya.
“Ayah,
besok kami akan berangkat ke luar negeri...” ucapan anak semata wayangku
berusaha menjelaskan sesuatu hal.
“Apakah
keputusanmu itu sudah bulat untuk meninggalkan Indonesia?” pertanyaanku
tiba-tiba.
“Ayah
pasti sadar, kenapa kami mengambil keputusan seperti ini.” Jawabannya.
“Haliza,
apa pun keputusanmu itulah yang terbaik.” Kalimat bijak seorang ayah mencoba
untuk bersikap tenang.
“Kami
semua pasti akan merindukan ayah.” Kalimatnya berusaha hadir dalam dekapanku.
“Haliza,
apakah kamu bisa membantu ayah?” ucapku tiba-tiba.
“Tentang
apa? Katakan saja, kalau aku bisa pasti...”
“Tolong
bawah ibumu ke luar negeri bersama dengan kalian, ada hal yang harus ayah
lakukan.” Kalimatku yang entah dengan dorongan dari mana...
“Bapak,
tidak mungkin ibu bepergian ke luar negeri sementara...” ucapan Halifa istri
tercintaku.
“Ibu,
tolong untuk sekali ini saja dan berhentilah mengkhawatirkan keadaan bapak.”
Ucapku mengambil jemari tangan Halifa dan memegangnya dengan penuh kehangatan.
“Tapi
pak...”
“Keadaan
di Indonesia tidak memungkinkan untuk ibu tetap bertahan di sini.” Kalimatku
kembali.
“Ada
hal yang bapak harus kerjakan dan sangat beresiko.” Berusaha membuatnya
menyadari tentang pekerjaanku saat ini.
Setelah
membujuknya secara luar biasa, akhirnya Halifa istriku menuruti apa yang
kuinginkan. Tinggal di luar negeri beberapa waktu jauh lebih baik, dibandingkan
bertahan di Indonesia. Mimpi tersebut terus saja menghantui kehidupanku setiap
saat, yang pada akhirnya membuatku untuk mencoba melakukan sebuah pencaharian
secara langsung. Melakukan sebuah perjalanan ke sebuah provinsi setelah istri,
anak, menantu, dan cucuku berada di luar negeri. Mengikuti petunjuk-petunjuk
yang masih terekam secara jelas dalam ingatan dari mimpi tersebut.
“Di
mana gadis bernama Menara? Apakah gadis tersebut benar-benar ada atau
jangan-jangan...” Kalimatku di dasar hati yang terus melakukan sebuah
perjalanan tanpa sepengetahuan siapapun juga.
“Permisi
pak, apakah saya bisa bertanya?” Sapaku pada salah satu penduduk setempat.
“Tentang
apa pak?” Balik pertanyaannya kembali.
“Apakah
bapak mengenal seorang gadis bernama Menara, dengan ciri-ciri matanya bulat
besar, kulit putih, rambut lurus panjang dan berwarna gelap, memiliki tubuh
mungil,juga warna bibirnya merah dan mungil-mungil juga seperti postur
tubuhnya.” Penjelasanku sedetail mungkin.
“Ciri-ciri
dan nama yang bapak sebutkan sepertinya tidak ada di daerah ini pak.”
Jawabannya mencoba mengingat sesuatu hal.
“Kalau
begitu terimah kasih banyak, saya permisi dulu yah pak.” Ucapku.
“Silahkan...”
Sapaannya kembali.
Bertanya
pada semua orang di daerah tersebut, dan
apa yang terjadi tidak memperlihatkan hasil. Apakah mimpi ini hanyalah
bunga-bunga tidur belaka? Keringatku mengalir membasahi seluruh bajuku, oleh
karena melakukan perjalanan luar biasa mengelilingi daerah tersebut. Rasa lelah
menghampiri tubuhku dalam sekejap, yang membuatku kembali tertidur pulas tanpa
sadar di bawah sebuah pohon besar.
“Hartono
Saputra Wijaya, jangan pernah menyerah mencari gadis tersebut...” suara
tersebut kembali hadir dalam mimpiku dengan begitu jelas, yang pada akhirnya
membangunkanku dari tidur.
“Ternyata
sudah malam...” Mataku melihat jalanan gelap gulita.
“Apakah
di sekitar daerah ini, sama sekali tidak memiliki hotel atau penginapan gitu?”
pertanyaanku pada diri sendiri. Beruntunglah salah satu penduduk mau memberikan tumpangan untuk satu
malam di rumahnya dan pada keesokan harinya saya kembali melanjurkan
pencaharian ke tempat lain. Selama sebulan berkeliling daerah tersebut, hanya
untuk mencari gadis bernama Menara dan tidak memperlihatkan hasil sedikitpun.
“Jangan-jangan
semua yang saya alami selama ini, hanyalah bunga-bunga tidur belaka dan gadis
bernama Menara sama sekali tidak ada di daerah ini.” Kicauanku kembali pada
diri sendiri sambil berjalan untuk menuju sebuah pelabuhan. Rasa-rasanya aku di
bodoh-bodohi oleh sebuah mimpi yang sama sekali tidak memperlihatkan apa pun.
Aku memutuskan untuk kembali ibu kota dikarenakan masa cutiku telah berakhir.
Tiba-tiba pandangan mataku mengarah pada seorang anak gadis yang sedang
menjemur pakaian di depan rumahnya...
“Gadis
itu, sangat mirip dengan yang ada dalam mimpiku.” Kata-kataku di dasar hati.
“Apakah
dia anak perempuan yang selama ini ada dalam mimpiku? Ciri-cirinya sama di
mulai dari bola mata bulat besar, rambut hitam lurus panjang, bibirnya mungil
dan berwarna merah, tubuhnya mungil dengan warna kulit putih bersih.”
Kata-kataku membayangkan wajahnya kembali.
“Menara,
Menara, Menara...” Teriakanku memanggil namanya yang membuatnya menoleh
mencari-cari arah suara tersebut.
“Menara..,
Menara...” teriakanku sekali lagi membuatnya sedikit merinding karena tidak
menemukan asal suara tersebut.
BAGIAN
TIGA...
MENARA...
Kehidupanku
sepertinya akan berakhir dengan bekerja setelah lulus sekolah beberapa waktu
lagi. Ayah dan bunda tidak memiliki biaya untuk melanjutkan sekolahku ke
jenjang yang lebih tinggi. Ayahku hanya bekerja sebagai buruh pada sebuah
pabrik kecil dengan gaji sedikit pula.
“Tuhan,
entah apa yang akan terjadi dengan perjalananku selanjutnya. Namun, satu hal
yang kupercayai bahwa setelah lulus dari sekolah ini Engkau akan memberikanku
sesuatu yang sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku. Aminnn.” Ucapan doaku
di dasar hati sambil memainkan permen kaki pada bibirku di tengah jalan sehabis
pulang dari sekolah.
Mataku
mengarah pada sebuah kesaksian hidup seseorang di sebuah buku dalam kamarku
sore itu. Melihat perjalanan kehidupan seorang gadis berasal dari Inggris di
dalam kesederhanaannya selalu memeluk para kupu-kupu malam dengan penuh
kehangatan. Gadis tersebut bernama Helen Ewan, pada pagi hari berdoa di tengah
dinginnya London tanpa penghangat ruangan sedikitpun dalam ruangan kamarnya.
Berjalan kaki menuju kampus, dan menyisahkan uangnya untuk mereka yang
membutuhkan tanpa seorangpun menyadari hal tersebut. Selalu berada pada barisan
terbelakang saat berada di sebuah gereja, namun kehadiran begitu terasa untuk
orang-orang di sekitarnya. Meninggal pada usia 19 tahun, oleh karena sebuah
penyakit. Pada upacara pemakamannya, rasa harum/wangi berada di sekitar tempat
tersebut. Terbukti dengang jelas bagaimana Tuhan memperlihatkan bahwa Helen
Ewan kehidupannya begitu luar biasa hidup di mataNYA setiap saat.
“Saya
ingin menjadi seperti sosok Helen Ewan yang selalu menjadi sinar untuk
orang-orang di sekitarnya. Tapi, entah bagaimana caranya sedangkan kehidupanku
selalu saja terlihat mengerikan di mataMU...” ungkapan hatiku menyukai
perjalanan seorang gadis bernama Helen Ewan.
“Tuhan,
hanya saja saya tidak ingin cepat mati seperti dirinya...cepat amat meninggalnya.”
Kalimatku kembali.
“Tuhan,
sebenarnya saya terkadang ragu apakah namaku sudah ada dalam kitab kehidupanMU
atau tidak? Kenapa? Karena saya terkadang bertengkar mulut dengan adikku
satu-satunya yang bernama Divon, dan hal paling mengerikan terkadang yang saya
lakukan adalah tertidur pulas di persekutuan saat ibadah. Mereka kiranya saya
berdoa, pada hal tertidur pulas, tapi, tidak keseringan sih...” curhatanku
kepada Tuhan sambil tersenyum manis.
Apa
pun yang akan terjadi dalam perjalananku ke depannya, intinya jangan pernah
khawatir akan hari esok berada di titik mana...Akhirnya ujian akhir sekolah
mulai berjalan, yang kemudian di lanjutkan dengan ujian kompetinsi untuk
kejuruan. Tidak lama setelah ujian selesai, hasilnya pun di umumkan.
“Nara,
bagaimana pengumumannya?” teriak Stevi teman sekelasku.
“Saya
juga baru lihat pengumuman kelulusan.” Jawabanku.
“Nara
saya lulus...” teriak Diaz dari belakang.
“Saya
tidak lulus di ujian kompetensi, hikhikhikhik” tangis Stevi pecah seketika. Tangan
saya segera membuka hasil ujian yang menyatakan apakah lulus atau tidak...
“Ternyata
lulus untuk ujian akhir sekolah, sedangkan ujian kompetensinya sama sekali
tidak lulus dan harus mengikuti ujian susulan.” Kalimatku setelah membaca
sebuah kertas di depanku.
“Tamat
sudah riwayatku saat sampai di rumah sebentar...” kalimatku tiba-tiba...
“Ada
apa Nara?” pertanyaan Stevi menghentikan air matanya.
“Saya
tidak lulus ujian kompetensi juga.” menjawabnya dengan begitu sedih.
“Berarti
nasib kita berdua sama dong.” Ucapnya sangat bahagia secara tibaa-tiba
menghentikan tangisannya.
“Yang
berarti nih manusia, senang kalau saya tidak lulus sama seperti dirinya. Hebat
sekali kamu jadi orang...” cetusku di dasar hati sangat marah.
“Senangnya
ada teman yang senasib dengan diriku saat ini.” Senyuman Stevi kembali berjalan
pulang ke rumahnya.
Habis
sudah riwayatku berakhir dengan nilai-nilai terburuk di sekolah. Sesampainya di
rumah ayah mengamuk luar biasa dan begitu marah dengan nilai-nilaiku. Kenapa
saya tidak lulus dan beberapa hal. Ayah sebenarnya tidak menuntut nilai-nilai
tinggi, hanya saja, jangan sampai tidak lulus seperti ini. Lebih parahnya lagi,
ujianku yang dinyatakan lulus kemarin mendapat nilai 3,4,5...benar-benar nilai
mengejek, sama saja tidak lulus namanya kalau begini...hufffffffffftttttttttttttttt....
Saya
tidak mau mengikuti ujian susulan kompetensi, karena terlalu kecewa dengan
nilai-nilai di sekolah. Masuk sekolah negeri sejak kecil hingga remaja dan
berakhir dengan nilai paling terkacau sekarang ini. Paling terpayah...
“Semua
teman-temanku pasti sekarang sudah berada di perguruan tinggi sekarang, hanya
saya saja yang nasibnya seperti ini. Lagian ngapain juga lanjut, kalau nilainya
mnegejek seperti ini...” gerutuku pada diri sendiri saat menjemur pakaian
setelah di cuci.
Selama
beberapa bulan ini, saya mengikuti bunda bekerja untuk sementara waktu bekerja
di sebuah restoran kecil yang tidak jauh dari rumah. Kebetulan restoran
tersebut masih membutuhkan seorang karyawan lagi. Bunda menginginkan saya
kursus sambil bekerja di restoran kecil tersebut. Untuk hari ini, saya libur
kerja, makanya tidak masuk dan menghabiskan waktu di sumur untuk mencuci...sama
saja bohong kalau seperti ini jalan ceritanya...
“Menara...Menara...Menara...”
sepertinya seseorang memanggil namaku.
“Siapa
yang memanggilku, sepertinya ada suara tapi tidak ada gambar...” bulu kudukku
berdiri.
“Menara...Menara...”
sekali lagi suara tersebut terdengar...
“Jangan-jangan
di sekitar rumahku sekarang sudah banyak hantu yang bergentayangan...”
kalimatku semakin ketakutan, berusaha berlari masuk ke rumah secepat mungkin.
“Tapi,
masalahnya kalau saya masuk ke rumah pasti hantunya bisa menembus dinding
rumahku, terus larinya nanti lebih sulit lagi, mending lari keluar di jalan.”
Secepatnya kakiku berlari meninggalkan segala cucian yang masih tersisa untuk
di jemur. Bola mataku mengarah pada sosok seorang pria paruh bayah berjalan ke
arahku.
“Tuhan,
lindungi hidupku dan keluargaku saat ini.” Teriakanku di dasar hati, mengingat
begitu banyaknya kerusuhan-kerusuhan yang terjadi sekarang ini. Hanya saja,
untuk sekitar darahku sedikit aman, Tuhan masih terus melindungi kami sehingga
terhindar dari kerusuhan tersebut.
“Apa
bapak yang memanggil saya?” pertanyaanku secara tiba-tiba memecah keheningan,
di karenakan pria tersebut hanya diam seribu bahasa tanpa berbicara saat berada
di depanku.
“Dari
mana bapak mengetahui nama saya?” Tanyaku kembali.
“Jadi
benar, nama kamu adalah Menara?”
“Apakah
kita pernah bertemu sebelumnya pak?” tanyaku lagi.
“Jadi
gadis ini benar-benar nyata dan bukan lagi mimpi.” Teriakannya ingin menangis.
“Jangan
katakan, kalau bapak adalah ayah kandung saya sama seperti di film-film.”
Mataku tidak berkedip.
“Hahahahahahhahahaha....ternyata
Menara korban sinetron rupanya.”
“Apakah
kita bisa bicara empat mata di rumahmu.” Ucapannya lagi.
“Saya
bukan orang jahat, ada sesuatu hal yang penting untuk kamu dengarkan...”
membuatku semakin tidak mengerti apa yang di ucapkannya. Kemudian, saya
mengajaknya ke rumah dan mencoba untuk mempercayai ucapan orang asing yang ada
di depanku saat ini.
Bapak
itu menceritakan segala sesuatu yang tidak masuk akal dalam kehidupan saya
secara pribadi. Bagaimana mungkin bapak tersebut mendapat mimpi dan
berkata-kata hal yang sulit untuk di percaya oleh pemikiran siapapun terlebih
saya secara pribadi. Sangat-sangat tidak masuk akal...
“Nama
saya Hartono Saputra Wijaya, salah satu pejabat ibu kota,...” Kata-katanya
menjelaskan segala identitas dan maksud kedatangannya hingga menginjakkan kaki
Kalimantan saat ini.
“Bapak,
apakah saya tidak salah dengar dengan kalimat yang anda ucapkan?” kata-kataku
tertawa...
“Ini
kenyataan Nara...”
“Hubungan
antara Indonesia dan saya ada di mana? Satu lagi, saya ini masih terlalu kecil
yang ingin bebas bukan memikirkan dunia politik serta kerusuhan dan apa lagi
teman-temannya di belakang.” Kata-kataku menatap wajahnya.
“Indonesia
berada dalam kondisi yang begitu sulit, dan bapak mendapat mimpi bahwa otoritas
di berikan Tuhan dalam kehidupan seorang anak perempuan bernama Menara.” Mimik
wajahnya betul-betul terlihat...
“Kalau
itu betul, berarti Tuhan mataNYA benar-benar mines tingkat tinggi memilih
seorang gadis ingusan seperti saya. Astaga, di sini itu pasti ada kesalah
pahaman.” Mencoba meyakinkan bapak di depanku.
“Dalam
mimpiku, yang saya lihat adalah wajahmu dan coba pikir bagaimana mungkin saya
bisa ada di depan kalau bukan petunjuk dari mimpi tersebut.”
“Apakah
bapak tahu kalau nilai-nilai ujian saya adalah 3,4,5 sekalipun dinyatakan lulus
dan lebih parahnya saya tidak lulus ujian kompetensi.” Kalimatku kembali.
“Bunda
saja selalu menegur kalau sifatku itu masih terlalu kekanak-kanakan tidak
seperti dengan sepupu atau teman-temanku yang lain, gimana ceritanya saya
berurusan dengan dunia politik suatu hari kelak.” Penjelasanku lebih mendetail
lagi.
“Saya
juga tidak mengerti, tapi yang jelas dalam mimpiku itu mengarah pada wajahmu
dan bukan orang lain.” Kata-katanya.
“Apakah
bapak sadar kalau saya sangat tidak menyukai berita-berita, politik, ekonomi, dan
membaca hal-hal berbau pemerintahan?” pertanyaanku sangat panas...
“Saya
tidak tahu sama sekali,,,” Jawabannya.
“Maka
dari itu, bapak harus sadar kalau saya membenci hal-hal yang mengarah pada
politik dan pemerintahannya serta teman-temannya di belakang.” Kalimatku
menatap dengan sangat tajam.
“Saya
lebih menyukai hal-hal yang bersifat film-film kartun seperti sinchan,
sailormoon, tom & jerry, dan masih banyak lagi kartun lainnya. Satu lagi,
saya juga menyukai drama korea, film-film barat yang berbau anak-anak, komik
serial cantik bukannya tentang hobi bapak-bapak seperti politik dan
teman-temannya di belakang.” Penjelasanku kembali.
“Karena
kita baru ketemu, jadi, bapak juga baru sadar...” kalimatnya tersenyum.
“Satu
lagi, saya juga adalah pendengar setia yang baik kalau teman-temanku bercerita
tentang pacar mereka. Saya juga anak rumah yang tidak suka keluar rumah lebih
senang menonton atau tidur di rumah bukan seseorang yang mengenal dunia luar.”
Kata-kataku lagi.
“Anda
salah orang dan permasalahan tentang Indonesia adalah urusan kalian bukan
saya...” Mencoba mengusir secara halus.
“Nara,
di dalam mimpiku jelas-jelas ada sebuah suara yang mengatakan harus ke daerah
ini dan mencari gadis bernama Menara. Wajahmu benar-benar ada dalam mimpiku,
pada hal kita sama sekali belum pernah bertemu. Berarti, mimpi ini berasal dari
Tuhan dan bukan bunga-bunga tidur.” Ungkapnya benar-benar berusaha bersikap
tenang.
“Apa
lagi yang di katakan oleh suara tersebut pak, sampai-sampai segitunya...”
Kalimatku sama sekali tidak mempercayai.
“Jangan-jangan
bapak mau menjual saya atau ada dendam terselebung di dasar hati, kemungkinan
karena masa lalu luar biasa.” Keningku berkerut-kerut membayangkan sesuatu hal.
“Dendam
masa lalu...” raut wajahnya sama sekali tidak memahami arah pembicaraanku.
“Bisa
jadi, kemungkinan bapak menyukai bunda sewaktu masih muda, hanya saja, ayah
lebih dipilih bunda ketimbang bapak...jadinya, faktor balas dendampun dimulai.”
Celotehku membayangkan kembali...
“Bapak
tidak mengenal bunda kamu.”
“Tapi,
biasanya itu terjadi sama seperti di film-film pak.” Jari telunjukku berada di keningku
sambil mengeutuk-ngetuknya dengan mata yang mengarah ke atas.
“Hahahahahahhahahahahaaha,
benar-benar korban sinetron.” Tawanya menggema.
“Kenapa
bapak tertawa?”
“Karena
kata-katamu terlalu lucu dan seorang Nara ternyata korban sinetron.”
“Asal
bapak sadar, kalau saya tidak terlalu menyukai sinetron. Biasanya sih kalau di
nonton, paling episode-episode awalnya kemudian gak bakalan di nonton lagi yang
pertengahannya gitulah, tunggu episode akhir baru kembali di nonton.”
Kata-kataku kembali.
“Benar-benar
polos.” Ucapan bapak tersebut.
“Bapak
pulang saja dan kembali ke asal kota anda, sebentar lagi bunda pulang jangan
sampai saya di tuduh yang macam-macam.” Kalimatku.
“Dituduh
yang bagaimana?”
“Masa
bapak tidak mengerti, anak-anak sekarang kebanyakan jalan sama om-om yang
banyak uangnya gitu, yang ini lebih parah sudah mengarah pada kakek-kakek
malahan.” Tanganku berjalan sambil membuka pintu rumah.
“Nara,
Indonesia berada di ujung tanduk saat ini dan mimpi bapak tidak mungkin salah
orang.” Mimik wajahnya berusaha memohon. Apapun yang di katakannya, tidak akan
pernah saya percaya sedikitpun. Akhirnya, saya berhasil mengusir orang tersebut
keluar dari rumah walaupun penuh perjuangan luar biasa. Ternyata pak Hartono
tidak menyerah untuk terus berada di hadapanku, setiap hari berusaha mencari
jalan untuk berbicara langsung. Namun, dengan strategi yang saya miliki
akhirnya dapat terhindar juga dari kehadirannya.
Mana
mungkin saya seorang gadis yang masih belasan harus berurusan dengan hal-hal
beresiko tinggi. Terlebih tidak memiliki pengalaman, paling parahnya setahuku
mereka yang berusaha melawan dan berhadapan dengan orang-orang penting
jangankan nyawanya sendiri yang melayang bahkan keluargapun habis jadi santapan.
Hanya mengedipkan mata sekali, semua yang ada di hadapannya dapat hancur dalam
sekejap hanya saja tidak terlihat, kenapa? Karena, mereka memakai otak secara
halus bukan otot.
Saya
seorang yang benar-benar membenci dunia politik dan bukan seseorang dengan prestasi
luar biasa. Lebih parahnya lagi, saya tidak tahu sama sekali bahasa inggris dan
benar-benar mati kutu untuk pelajaran yang satu ini. Kalau urusan makan sih,
saya nomor satu sekali, tapi untuk pelajaran pergi aja ke laut...
“Tidak
mungkin ini sesuatu yang tidak masuk akal.” Ucapnku di kamar menggerutu
sendiri.
“Adakah
hal yang lebih parah dari kejadianku saat ini?” gumamku.
BAGIAN
EMPAT...
HARTONO SAPUTRA WIJAYA...
Akhirnya
pencaharianku membuahkan hasil luar biasa, disaat rasa putus asa menerpa dan
menganggap semua ini hanyalah bunga-bunga tidur,,,namun, di saat itulah Tuhan
bekerja dalam perjalananku. Antara mempercayai semua yang sedang kualami atau
tidak, inilah yang terjadi. Gadis itu benar-benar nyata sesuai dengan petunjuk
yang ada dalam mimpiku beberapa waktu lalu.
Tidak
di sangka, ternyata gadis yang berada di depanku luar biasa polos dan tidak
pernah ingin peduli dengan hal-hal berbau politik. Lebih mengejutkan, di saat
dia memberi tahu nilai-nilainya setelah lulus. Astaga, 3,4,5...memangnya segitu
hancurnyakah prestasi-prestasinya di sekolah.
Kenapa
juga harus dia yang Tuhan pilih, kalau memang mimpiku itu berasal dariNYA?
Benar apa yang di katakannya juga, apakah mata Tuhan benar-benar mines level
tinggi untuk memilih gadis tanpa prestasi sedikitpun seperti ini? Tidak adakah
orang lain di luar sana yang jauh lebih berprestasi bahkan lulusan terbaik dari
kampus terbaik di luar negeri? Saya berpikir, gadis bernama Menara itu
merupakan anak yang cerdas, multi talenta, dan memiliki segudang prestasi.
Namun, di luar dugaan saya salah besar dan benar-benar mengerikan.
Perbaikan
Indonesia benar-benar membutuhkan tokoh-tokoh yang memiliki tingkat kemampuan
luar biasa di sertai pengalaman-pengalaman berbeda dari siapapun juga. namun,
di luar dugaan gadis yang berada di depan saya sangat jauh dari hitungan akal
pemikiran siapapun juga. Benar apa yang di katakannya, kemungkinan ada kesalah
pahaman dalam hal ini.
Hal
yang lebih mengerikan adalah entah kekuatan dari mana dan dorongan apa yang membuat
saya terus-menerus berusaha keras untuk menemuinya. Memohon secara luar biasa
dan mengatakan bahwa Indonesia berada di ujung tanduk, sedangkan, Tuhan menaruh
otoritas tertentu dalam kehidupannya untuk mengeluarkan negara ini dari
keterpurukan serta kekacauan luar biasa.
“Tuhan,
bantu saya untuk keluar dari akar permasalahan ini.” Kata-kataku menatap gadis
yang sedang melakukan aktifitasnya.
“Di
luar sana ada begitu banyak orang yang memiliki prestasi luar biasa dan berasal
dari kampus-kampus terbaik. Kenapa harus perempuan setidaknya laki-laki yang
harus berperan aktif dalam hal seperti ini?” Pertanyaan demi pertanyaan
membayangi pemikiranku.
“Lebih
parahnya lagi, gadis usia belasan tahun, tidak lulus ujian kompetensi, hanya
tamatan sekolah menengah dengan nilai 3,4,5... tidak melanjutkan kuliah ke
tingkat yang lebih tinggi. Benar-benar aneh bin tidak ajaib.” Gerutuku mencoba
mendalami maksud dari semua ini.
Semua
orang akan mengejeknya, termasuk saya di mana letak kelebihan dari gadis
belasan tahun bahkan tanpa pengalaman sedikitpun. Semua orang akan mencibir dan
belum apa-apa dia sudah mati duluan dalam sekejap mata. Apa tidak salah Tuhan?
Sifat yang masih kekanak-kanakan bahkan selalu saja menjadi korban film-film
tidak jelas. Oh my God...
Menurut
suara dalam mimpiku itu mengatakan kalau dia akan menjadi rebutan negara di
dunia. Indonesia terlalu rugi jika melepaskan anak ini untuk negara lain. Letak
kerugian Indonesia ada di mana coba? Dia saja kerja sebagai tukang cuci piring
di sebuah restoran sangat kecil di sekitar daerah tersebut. Yang ada malahan
semua orang akan menertawakan dirinya secara luar biasa. Tatapan sinis serta
ejekan semua orang akan mengarah pada kehidupannya. Tidak adakah orang lain
yang jauh lebih berkompeten Tuhan?
“Kekuatan
apa yang mendorong saya untuk terus berada di depannya dan mengemis-ngemis
seperti cacing kepanasan hanya untuk sesuatu hal.” Gerutuku dalam hati.
“Bapak
Hartono Wijaya berhenti mengganggu kehidupan saya...” Teriakannya.
“Saya
juga tidak tahu kenapa kaki ini terus saja ingin berada di depanmu. Indonesia
berada di ujung tanduk oleh karena kemiskinan, korupsi, kerusuhan, permainan,
bom-bom yang terus saja bermain, pihak-pihak asing seakan membuat sesuatu hal,
hutang negara ini dalam jumlah besar dan pastinya sangat berdampak ke depan,
pertumpahan darah, air mata orang-orang yang tidak bersalah harus menjadi
korban.” Penjelasanku masih mencoba untuk mengajaknya berkompromi dalam hal
ini, pada hal jauh di dasar hatiku saya sangat meragukan atas segala
kemampuannya.
“Saya
ini masih kecil bukan bapak-bapak yang terus memikirkan politik.”
“Indonesia
membutuhkan perubahan untuk mengeluarkan bangsa ini oleh sebuah faham akan
pengajaran ataupun perselisihan antara penganut kepercayaan.” Ucapannya lagi.
“Apakah
bapak tidak sadar, kalau saya seorang nasrani dan tidak mungkin untuk berada di
atas memperbaiki sesuatu yang sama sekali tidak masuk akal untuk gadis belasan
tahun.”
“Maksud
dari ucapanmu?” pertanyaanku tidak mengerti.
“Bapak
Hartono, seluruh dunia juga tahu mayoritas penduduk Indonesia menganut
kepercayaan kepada siapa? Dan untuk berada di atas harus memiliki iman yang
sama dengan agama terbanyak di negara ini.” Ucapanya kembali.
“Jadi...”
mulutku sedikit mengangnga.
“Saya
tidak mungkin mengorbankan iman kepercayaan dalam kehidupanku hanya demi berada
pada sebuah titik puncak ataupun menjadi salah satu dari orang-orang penting
Indonesia.” Ucapan dengantatapan wajah lebih mendalam.
“Nara,
Indonesia merupakan negara Pancasila.”
“Negara
Pancasila dari mana, dari hongkong. Kelihatannya saja dari media dan pejabat
berkata negara ini berlandaskan Pancasila, tapi, pada dasarnya apa yang
terjadi?” kalimat tajam darinya.
“Semua
itu penuh dengan kebohongan, segala sesuatu harus berlandaskan ataupun melihat
agama dan kepercayaan seseorang. Pada akhirnya banyak yang harus dengan
terpaksa atau karena melihat ketenaran, kursi, uang pada dasarnya berpindah
keyakinan.” Lanjutannya.
“Nara...”
hanya itu yang dapat keluar...
“Semiskin-miskinnya
saya, satu hal seorang Nara tidak akan pernah menjual imannya untuk hal apa
pun. Hal yang lebih menyedihkan masyarakat bawah sengaja di pancing oleh
pemberitaan atau film tentang hal-hal yang sensitif akan keagamaan serta
perpindahan keyakinan. Apakah ini yang dikatakan negara Pancasila?” ucapan Nara
kembali.
“Apakah
bapak bisa menjelaskan tentang pemaksaan ataupun dengan kesengajaan memainkan
drama-drama film yang mengarah pada perpecahan bangsa Indonesia? Seakan-akan
dunia perfilman sengaja memanas-manasi orang-orang di bawah dengan kisah
melankolis akan perpindahan keyakinan seseorang secara wow...apakah mereka
sadar tentang banyaknya nyawa orang-orang tidak bersalah akan menjadi korban
setelah ini.” Penjelasan Nara kembali.
Seorang
gadis belasan tahun, terlihat seakan tidak memiliki apa pun dalam kehidupannya.
tapi, setidaknya dia ingin mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar dan
tidak salah. Perbedaan pola pikir dalam dirinya jauh dari dugaan untuk saat
ini. Perbedaam prinsip kehidupan...
“Kalau
kamu ingin berjuang bersama dengan bapak pasti ada jalan untuk hal ini.”
Untuk
pertama kalinya, saya menyadari akan sebuah prinsip kehidupan dalam kehidupan
gadis tersebut, jauh berbeda di bandingkan siapapun. Namun, entahlah mengapa
Tuhan memilihnya untuk jalan seperti ini? Biarlah waktu yang akan berbicara
suatu hari kelak...
Perjuangan
untuk membawanya ke ibu kota benar-benar membutuhkan strategi luar biasa. Kata
yah begitu sulit untuk keluar dari bibir mulutnya, inilah yang terjadi. Hingga
pada akhirnya ibunya jatuh sakit dan membutuhkan biaya cukup besar untuk
pengobatan.
“Saya
bisa membantu pengobatan bundamu dengan satu syarat kamu harus ikut ke ibu kota
setelah ini.” Kalimatku menyodorkan penawaran luar biasa.
“Jadi
bapak mau bermain-main dan menggunakan kesempatan dalam kesempitan.”
“Bukan
permasalahan kesempatan dalam kesempitan, melainkan Indonesia berada di ujung
tanduk dan sebentar akan hancur dalam sekejap mata bahkan memang pada dasarnya
sudah terlalu hancur malahan.” Penjelasanku kemudian meninggalkan dirinya di
rumah sakit.
Setelah
berpikir dalam waktu 2 hari, akhirnya dia berada di hadapan saya saat ini
dengan wajah menunduk. Untuk pertama kalinya air matanya terus saja mengalir
deras dan tidak tahu harus berkata-kata...
“Saya
akan mengikuti apa pun yang bapak inginkan, asalkan bunda bisa mendapat biaya
operasi saat ini juga, asalkan tidak menjual diri saja pak.” Kata-katanya terus
saja menangis.
“Saya
hanya ingin kita berdua bekerja sama bukan membuatmu untuk melakukan hal yang
aneh-aneh.” Kata-kataku menepuk-nepuk bahunya.
“Baiklah,
tapi dengan syarat setelah bunda operasi.”
“Okey,
kalau memang itu maumu.” Kalimatku dengan tersenyum sangat senang.
“Setelah
bunda sadar, berikan saya waktu untuk meminta izin padanya.” Kata-katanya.
“Untuk
apa?” tanyaku.
“Agar
ayah dan bunda mau memberikan izin kepada saya untuk merantau ke ibu kota
dengan alasan merantau untuk membayar hutang pengobatan yang telah dipakai.”
Kalimatnya sambil memainkan jemari tangannya.
“Bapak
mau supaya kamu menanda tangani surat perjanjian ini, sekedar berjaga-jaga.”
Sedikit memicingkan mataku ke arahnya.
“Bapak
takut kalau saya akan melarikan diri dan melanggar janji?”
“Siapa
yang lihat, hati manusia mana ada yang tehu kecuali Tuhan saja.” Senyumanku
memasang wajah mencurigakan.
“Baiklah
pak.” Kalimatnya dengan nada sangat kesal.
Akhirnya
Nara menanda tangani surat perjanjian tersebut yang mengatakan kalau dia tidak
akan berlari dari hal-hal yang harus di hadapinya. Setelah bundanya menjalani
operasi dan dinyatakan sehat total oleh dokter, dia akhirnya menepati janjinya
untuk ikut bersama dengan saya menuju ibu kota. Nara berhasil meyakinkan kedua
orang tuanya untuk merantau ke ibu kota untuk melunasi segala hutang-hutang
keluarga.
Dalam
perjalanan ke ibu kota mukanya terus memperlihatkan wajah murung dan tidak
bersemangat. Saya yakin akan perasaan yang ada dalam dirinya tentang kemampuan
untuk menjalani semua. Awalnya saya memang meragukan segala skil dalam diri
Nara, bahkan hingga detik ini hanya saja, entah kenapa seakan ada sebuah
kekuatan yang membuatku terus ingin mempertahankan dan berusaha mempercayai
mimpiku.
“Nara,
akhirnya kita sudah sampai di ibu kota.” Senyumanku lebar saat berada di
bandara sukarno-hatta.
“Apakah
bapak tidak salah pilih?” pertanyaannya tiba-tiba.
“Maksudmu?”
“Pak
Hartono, ini masih belum terlambat.” Mimik wajahnya benar-benar serius.
“Nara
tenanglah, apa lagi kamu tidak langsung masuk tentunya harus menyusun rencana
lebih dahulu.” Ucapanku mencoba menenangkan dirinya. Mencarikan rumah yang aman
dan berusaha menyembunyikan identitas aslinya sehingga tidak seorangpun
menyadari siapa Nara yang sebenarnya. Berpikir panjang tentang beberapa hal
yang harus di lakukan dalam tahap permasalahan negara ini.
“Nara,
tidak mungkin kamu melanjutkan kuliah sekarang ini.” Ucapanku saat berhadapan
di depannya dalam sebuah rumah kecil.
“Bapak,
masih belum terlambat setidaknya pulangkan saya kembali ke kampungku.”
“Tidak
mungkin Nara, yang sekarang harus kita lakukan adalah menyusun strategi dan...”
ucapku.
“Dan
apa pak?”
“Kamu
harus belajar autodidak tentang permasalahan bangsa ini di mulai dari
ekonomi,politik, pendidikan, kerusuhan-kerusahan, hukum, pembangunan yang
saling berkaitan erat.” Penjelasanku.
“Autodidak
itu apa yah pak? Boleh dijelaskan?”
“Astaga
Nara, autodidak itu kamu harus belajar sendiri tanpa bantuan siapapun.”
Penjelasanku.
“Bapak
sadar atau tidak?”
“Tentang
apa?” tanyaku balik.
“Mengoperasikan
komputer saja saya sama sekali tidak tahu, bahkan untuk menghidupkan dan
mematikan komputerpun saya terlalu bodoh.” Kalimatnya.
“Whattttt?”
suaraku agak nyaring.
“Saya
kan orang kampung dan miskin, tidak punya komputer, sedangkan untuk makan saja
penuh pergumulan.” Memasang wajah lucunya.
“Oh
my God...” suaraku nyaring lagi.
“Siapa
suruh bapak memaksa terus, alasannya wajahku ada dalam mimpi, akhirnya jadi
seperti inilah...tanya sama Tuhan dan jangan persalahkan saya pak.” Celoteh
anak tersebut tersenyum sinis.
Berusaha
untuk mengajarinya menghidupkan dan mematikan komputer. Mencoba menggali
pemikirannya walaupun dia sama sekali tidak memahami dunia politik dan
kawan-kawannya di belakang.
“Bapak,
kalau seandainya semua yang saya alami ini betul berarti otakku mirip dong
dengan salah satu toko di negara ini.” Ujarnya tersenyum.
“Mirip
siapa?”
“Siapa
lagi itu namanya tokoh yang mempunyai tingkat kejeniusan tinggi di Indonesia,
sewaktu SMP saya belajar tentang biografinya...”
“Siapa
yang Nara maksudkan?” tanyaku.
“Oh
saya ingat, Bj, Habibie dan sekarang ini memberikan tenaganya untuk Jerman
bahkan kuliahpun di sana kan?” senyumnya, entah apa yang ada dalam benak gadis
sepolos ini.
“Memangnya
Nara punya mimpi kuliah di Jerman gitu?”
“Saya
kan hanya mengingat biografi Habibie, tapi, permasalahan kuliah...astaga pak,
untuk makan saja susah apa lagi kuliah ke luar negeri.” Celoteh seorang gadis
lugu di hadapanku.
“Baku
liat-liat saja pak, hahahahaahaha.” Kembali ucapannya.
“Saya
tidak mengerti tentang baku liat-liat?”
“Masa
bapak tidak mengerti, berarti otak bapak masih lebih bodoh dibanding saya.”
Teriakannya.
“Wow...”
untuk pertama kalinya ada anak belasan tahun mengatakan hal seperti ini.
Seorang
gadis bernama Menara untuk pertama kalinya belajar mengenal dunia luar seperti
apa? Kehidupannya lebih menyukai berada di rumah dibandingkan menjadi kalelawar
pada malam hari ataupun berjalan pada
siang hari. Untuk saat ini, tidak seorangpun yang mengetahui visi dan misinya
berada di Jakarta. Biarlah waktu berbicara, suatu hari kelak dia akan
memperlihatkan sesuatu yang ada dalam dirinya. Untuk beberapa saat segala
sesuatu akan bersifat tersembunyi tanpa seorangpun menyadari untuk kalangan
rakyat Indonesia sendiri...
“Hartono...”
sebuah suara yang tidak asing lagi di telingaku.
“Ada
apa seorang Raharjo Pratmojo mencari saya?”
“Saya
mencurigai ada sesuatu yang kamu sembunyikan sekarang ini.” Memicingkan matanya
mencari titik kebenaran tertentu.
“Menyembunyikan
apa?”
“Yang
pertama, kamu mengambil cuti secara tiba-tiba dan menghilang selama sebulan
lebih. Yang ke-dua, istrimu berada di luar negeri dan lebih parahnya lagi saya
melihatmu berjalan dengan seorang gadis sepertinya masih belasan.” Tuturnya.
“Tutup
mulutmu.” Kalimatku segera membungkam mulutnya dengan tanganku dan membawanya
ke dalam mobil.
“Pasti
ada sesuatu yang di sembunyikan, hati-hati loh sekarang ini banyak pejabat yang
saling menjatuhkan dan kalau ketahuan habislah dirimu....”godaannya.
“Ada
sesuatu yang ingin kujelaskan, tapi tidak di sini...” kalimatku menyalakan
mesin mobil...
“Sepertinya
serius, hati-hati kalau nyetir mobil dan jangan dibalap.” Kata-katanya
ketakutan melihatku yang sedang mengemudikan mobil ini.
Membawa
sahabat sekaligus bersama-sama menyandang wakil rakyat ke suatu tempat dan
menjelaskan segala sesuatunya. Di mulai dari mimpi hingga perjalananku menuju
sebuah daerah untuk memastikan apakah yang di katakan suara dalam tidurku itu
benar-benar nyata atau tidak. Awalnya sama sekali dirinya tidak mempercayai apa
pun yang kukatakan, hanya menganggap sebuah bunga tidur semata. Berusaha
membuatnya menyadari sesuatu hal, yang pada akhir cerita Raharjo dapat menerima
keadaan tersebut.
“Hartono,
apakah tidak salah gadis ini yang menurut mimpimu dapat...” Raharjo hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya pertanda seribu keraguan.
“Astaga,
gayanya aneh, kerjanya hanya nonton film kartun...tidak salah...” mulutnya
hanya mengangnga memperhatikan dari kejauhan aksi Nara di dalam rumah.
“Entahlah...”
ucapanku.
“Kau
saja meragukan gimana coba yang lain belum apa-apa, anak itu sudah di habisi
duluan tuh ma oknum-oknum tertentu.” Ledekannya.
“Setidaknya
kamu menyembunyikan hal tersebut dari siapapun juga dan hanya kita berdua yang
tahu. Ngerti.” Gertakku.
“Kalau
itu sih, rahasiamu aman terkendali, hanya saja...”
“Hanya
apa?”
“Kamu
sadar tidak agamanya itu apa? Tidak seperti dirimu dan kebanyakan dari rakyat
Indonesia.” Cetusnya.
“Saya
juga tidak tahu harus bagaimana, tapi pasti ada sesuatu di dalam dirinya yang
dapat membuat perbedaan di antara lainnya.” Penjelasanku.
“Kalau
itu sih terserah, namun, yang menjadi akar permasalahan adalah iman kepercayaan
gadis tersebut. Mayoritas rakyat Indonesia di butakan oleh suatu paradigma
tertentu akan sebuah kepemimpinan, mereka lebih menilai dari sudut pandang
agama ketimbang potensi dalam perjalanan seseorang. Belum lagi pihak-pihak
tertentu akan bermain di area tersebut.” Kalimatnya kembali.
“Entahlah...”
hanya itu yang dapat kukatakan.
“Iman
kepercayaan dan pola pikir rakyat saat ini sedang mengarah kemana? Terlebih
anak tersebut sama sekali tidak memiliki pengalaman tertentu dan terlihat tidak
ada yang menarik dalam dirinya. Kalaupun ada dan memperlihatkan prestasi kelak,
yang menjadi pertanyaan merubah cara pandang rakyat Indonesia tentang perbedaan
keyakinan.” Kalimatnya lagi.
“Hal
seperti ini terlalu sulit untuk di lakoni oleh seorang gadis berusia belasan
tahun.” Ujarnya sekali lagi.
BAGIAN
LIMA....
MENARA...
Setelah
berpikir panjang tentang apa yang ada dalam perjalananku saat ini, seakan
segalanya membuatku ingin bertanya kenapa, apa, mengapa, siapa, dan banyak
lagi...Bapak Hartono terus saja menggangguku dan tidak pernah menyerah untuk
berada di hadapanku. Hingga suatu ketika bunda jatuh sakit serta membutuhkan
biaya yang cukup besar dalam pengobatannya. Bapak tersebut mengambil kesempatan
dalam kesempitan untuk membuatku menerima segala keinginannya. Suka ataupun
tidak suka, mau tidak mau saya harus menanda tangani surat perjanjian demi
biaya pengobatan bunda.
Mencari
seribu alasan meninggalkan ayah dan bunda serta satu-satunya kurcaci di rumahku
yang sederhana, siapa lagi kalau bukan aduk laki-lakiku satu-satunya. Merantau
ke ibu kota demi membayar lunas hutang biaya pengobatan bunda. Inilah alasan
yang tepat meninggalkan mereka. Sesampainya di ibu kota pikiranku masih saja
terus memikirkan hal-hal yang akan terjadi selanjutnya. Apakah aku bisa
melakukan dan menjalani sesuatu di depanku saat ini? Tuhan, rasanya ini
benar-benar seakan seperti hidupku ada di sebuah neraka saat ini terlebih suatu
hari kelak.
Bapak
Hartono melarang keras untuk memberi tahu apa pun tentang semua yang menyangkut
dengan Indonesia. Ini rahasia antara kami berdua saja. Saya di haruskan untuk
mempelajari semuanya secara autodidak alias belajar tanpa seorang gurupun. Apakah
saya bisa, sedangkan menghidupkan komputer saja saya tidak bisa? Karena tidak
mengerti apa pun, pekerjaanku setiap harinya hanya menonton film-film kartun
kesayanganku atau drama korea atau berdoa di kamarku setelah menyelesaikan
pekerjaan rumah.
“Tuhan,
pada jam-jam segini bunda selalu membawaku ke sebuah persekutuan ibadah dan
mendengarkan kotbah pendeta tentang ini dan itu.” Memoryku kembali mengingat
saat bunda memegang tanganku untuk berjalan kaki ke sebuah rumah kecil ibadah
persekutuan. Ada saat terkadang, bunda akan marah dan mengeluarkan
kalimat-kalimatnya di jalan oleh karena caraku berpakaian yang sedikit aneh
pada pandangan matanya. Apakah seorang Nara dapat hidup tanpa kelurga kecilnya
saat ini? Biarlah waktu akan menjawab semuanya...
Malam
itu sepertinya ada suara orang berbicara di luar rumah yang aku tempati. Salah
satu dari suara tersebut sudah tidak asing lagi di telingaku. Mereka sedang
berbicara sesuatu yang terlalu serius di dalam sebuah ruangan dari rumah
tersebut.
“Kamu
sadar tidak, segala yang kamu rencanakan saat ini?” pertanyaan rekan paman Hartono.
“Saya
sadar betul apa yang akan terjadi.” Kalimat dari paman Hartono.
“Saya
menginginkan yang terbaik untuk negara ini, namun di luar dugaan ada begitu
banyak keegoisan, kemunafikan, permainan, dan kawan-kawannya di belakang di
balik senyuman para pejabat pada dasarnya.” Lanjutan ucapan paman Hartono.
“Kelemahan
dalam kehidupan Indonesia seakan dipermainkan oleh oknum-oknum tertentu baik
dari luar maupun dalam. Dan hal paling terparah, entah apa yang ada dalam benak
mereka dengan terus-menerus membuat hutang Indonesia semakin menumpuk di luar.”
Ucapan rekan dari paman Hartono.
“Ada
sesuatu yang tidak beres dalam dunia kemiliteran negara ini, sedangkan salah
satu pondasi sebuah negara adalah dunia militer sendiri. Jika sesuatu yang
tidak beres ini tidak segera di munculkan ke permukaan maka akan berakibat
fatal ke depannya. Terlebih beberapa hal akan terjadi antara bangsa/negara
suatu hari kelak, dan hal seperti ini akan saling berhubungan ataupun menjadi
jurang untuk Indonesia.” Kalimat paman Hartono.
“Btw,
bagaimana dengan gadis itu?”
“Saya
tidak tahu untuk tahap selanjutnya?” jawaban paman Hartono singkat.
“Apakah
kamu yakin akan kemampuannya, sedangkan yang saya perhatikan dia gadis kecil
berusia belasan tahun dan tidak memiliki pengalaman sedikitpun. Terlebih dengan
iman kepercayaan dalam dirinya saat ini merupakan titik lemah untuk
menghancurkan dirinya dalam sekejap.” Kalimatnya kembali.
“Rakyat
Indonesia untuk saat ini telah di butakan oleh sebuah pengajaran, mayoritas
masyarakat lebih melihat agama yang di yakini oleh seseorang dibandingkan
melihat sebuah potensi yang dapat merubah serta membawa negara ini keluar dari
kehancuran. Itu pun kalau di dalam dirinya terdapat sebuah kemampuan luar biasa
sesuai dengan yang di katakan oleh mimpimu, tapi jika tidak? Apa yang akan
terjadi selanjutnya?” ungkapannya pada paman Hartono.
“Entah
kekuatan apa yang membuat saya ingin mempertahankan gadis tersebut dan
membawanya ke ibu kota serta menyembunyikan segala sesuatunya. Untuk beberapa
saat pemikiranku sama seperti dirimu, bahwa dia tidak dapat melakukan apa pun
bahkan pengalaman sama sekali tidak terdapat dalam dirinya. Sifat
kekanak-kanakan dan kepolosannya membuatku ragu.” Kalimat paman Hartono.
“Namun
kenapa kau ingin mempertahankannya?”
“Dia
memiliki prinsip kehidupan, di balik segala kelemahan dan kepolosannya terdapat
sesuatu yang tersembunyi. Hanya saja, membutuhkan tingkat kesabaran agar dia
dapat membawanya ke permukaan suatu hari kelak.” Jawaban seorang bapak Hartono.
“Jadi...”
“Kamu
percaya atau tidak terserah, dalam sebuah buku catatannya terdapat sebuah
tulisan tangannya sendiri.” Senyuman paman Hartono menunjukkan sesuatu.
“Tentang
apa? Memangnya segitu pentingnyakah tulisan tangannya?”
“Apa
yang di anggap lemah bagi dunia, dipilih Tuhan untuk mempermalukan sesuatu yang
kuat bagi mata dunia dan semua orang. Orang yang terlihat bodoh dan lemah,
tidak akan selamanya menjadi bodoh dan lemah. Orang yang terlihat kuat dan
pintar, tidak akan selamanya akan terlihat kuat dan pintar.” Kata-katanya
mengutip sebuah tulisan.
“Hartono,
apakah kamu mempercayai kalimat tersebut?”
“Apa
yang dianggap bodoh bagi dunia, akan mempermalukan mereka yang terlihat wow di
mana memiliki tingkat kecerdasan luar biasa bahkan tidak tersaingi. Arti dari
pernyataan tersebut...”mencoba menjabarkan kata-kata dalam tulisanku.
Mendengar
percakapan mereka berdua membuatku menyadari akan sesuatu yang penting. paman
Hartono menaruh kepercayaan terhadapku, sekalipun secara kasat mata benar-benar
mustahil untuk...
“Tuhan,
apa yang harus kulakukan saat ini?” air mataku menetes secara tiba-tiba dalam
kamarku.
“Begitu
banyaknya pertanyaan dalam benakku saat ini, bantu aku untuk mengerti sesuatu
yang tersembunyi dalam perjalananku saat ini?” tangisku semakin pecah.
Aku
belajar menyadari beberapa hal akan Indonesia dan sesuatu yang misterius sedang
bermain dalam perjalananku saat ini. Sejak dulu, nafasku tidak pernah ingin
mengenal akan segala hal tentang politik, ekonomi, serta banyak lagi di
dalamnya. Namun, hari ini aku belajar untuk memahami semuanya. Mengumpulkan
majalah-majalah, koran-koran, buku-buku untuk mempelajari segala sesuatu yang
berbau politik dan kawan-kawannya. Hanya menonton acara berita pada layar kaca.
Belajar membuka dunia geogle untuk mempelajari banyak hal. Mencatat sebuah
istilah-istilah penting, sebuah pernyataan di mana merupakan sebuah teka
teki...
“Pendidikan
dengan perubahan kurikulum yang terus di lakukan oleh negara ini guna membuat
sebuah perubahan.” Mencoba memikirkan antara pendidikan Indonesia dan sesuatu
yang saling berhubungan.
“Politik
yang di mainkan oleh oknum-oknum tertentu dengan kesengajaan berada pada satu
titik tertentu secara halus, namun tidak menggunakan otot.” Catatanku kembali.
Inilah
yang berusaha untuk saya pelajari lebih lanjut saat ini. Bagaimana merubah
persepsi rakyat Indonesia melalui sebuah jalur pendidikan di mana di desain
secara khusus baik dari segi pembentukan IQ terlebih pada karakter
masing-masing daerah. Masing-masing suku mempunyai kelebihan dan kekurangan
serta mempunyai cara pandang tersendiri dalam menanggapi maupun menerima sebuah
objek yang ada di depannya. Terdapat beberapa suku di mana memiliki karakter
luar biasa keras untuk menghadapi sesuatu yang bersifat biasa bahkan asing.
Pola
pikir dapat di rubah melalui jalur pendidikan tertentu dan di sesuaikan dengan
keadaan dari daerah tersebut. Harus ada penyesuaian untuk kurikulum tertentu
dalam pembentukan bibit pada suku-suku tertentu dengan karakter serta pola
pikir di mana memiliki tingkat kesulitan-kesulitan tertentu saat menghadapinya.
Sebagai
contoh kasus Ambon, seperti yang telah di ketahui bahwa pengajaran dari bangsa
luar terekam jelas dan benar-benar di pertahankan di tempat tersebut. Saya
tidak katakan bahwa, pengajaran dari bangsa portugis tersebut sepenuhnya salah.
Hanya saja, pola pikir dengan karakter tersendiri di sertai emosional luar
biasa dapat di manfaatkan oleh oknum-oknum tertentu baik bersifat dari luar
maupun dalam. Pada dasarnya, kejadian serupa bahkan lebih buruk dari yang
sebelumnya akan pertumpahan darah dapat saja kembali terjadi.
Penanganan
terhadap sudut pandang mereka dalam segi apa pun membutuhkan sebuah strategi
untuk membawa keluar sesuatu yang salah dalam diri suku tersebut. Sesuatu yang
dianggap luar biasa dalam karakter suku tersebut merupakan titik lemah dan
dapat saja menjadi bahan permainan oleh oknum tertentu. Berbicara tentang
pembangunan secara otomatis akan mengarah pada dunia pendidikan kemudian
merambat ke segala arah. Pembentukan bibit di dasari melalui jalur pendidikan,
hanya saja, pada kasus karakter suku ini tingkat kurikulum harus di buat
berbeda dengan daerah manapun.
Kerusuhan
yang terjadi sebelumnya tentang pertumpahan darah antara satu dengan lainnya,
pada dasarnya bersifat akar sebuah karakter seperti apa dan pola pikir dalam
melihat akar permasalahan tersebut. Permasalahan di sini bagaimana mengubah
karakter seperti ini dalam suku tersebut dan pada dasarnya siapapun tidak dapat
memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada demi sebuah kepentingan tertentu
atapun dunia politik.
Begitupun
halnya pada masyarakat Papua, terdapat titik di mana pihak luar maupun dalam
sendiri dapat memainkan peranan luar biasa, hanya saja, tidak terlihat pada
kasat mata siapapun juga. Dalam hal ini tidak di katakan hanya sekedar menjadi
pendidik, namun seorang tenaga pengajar yang dapat menyusun sebuah strategi
guna mengubah karakter tersendiri dalam area suku ini. Pihak pemerintah harus
tahu menempatkan porsi dalam mengarahkan ataupun membentuk sudut pandang rakyat
dari suku Papua. Masing-masing suku memiliki ciri khas tersendiri dalam
menyampaikan sebuah objek tertentu, adaptasi terhadap sesuatu hal dan lain
sebagainya. Namun, terkadang ada karakter-karakter tersendiri pada beberapa suku
yang dapat menjadi bahan permainan pihak luar maupun dari dalam.
“Nara,apa
yang sedang kamu lakukan?” suara yang tidak asing lagi di telingaku.
“Seperti
yang bapak lihat, kalau saya sedang berusaha untuk mewujudkan mimpi anda
membawa Indonesia pada pemulihan.” Buku-buku di depanku terus saja
dibolak-balikkan oleh jemari tanganku dan begitu banyaknya majalah, koran,
serta segala macam catatan memenuhi ruangan kamar.
“Pikiranmu
sudah mulai terbuka?” pancingannya.
“Sepertinya
bapak sedikit memancing, saya tidak sepintar orang-orang di luar sana yang
memiliki prestasi luar biasa dengan lulusan terbaik bahkan dari kampus terbaik pula
di luar sana. Hanya saja..” jemari tanganku menghentikan aktifitasnya.
“Lanjutkan...”
“Saya
akan belajar dan berjuang keras, kalaupun ada kata gagal dalam perjalananku
setidaknya saya pernah mencoba dan mencoba serta mencoba...” penjelasanku lagi.
“Nara
yang saya kenal kemarin terlihat kekanak-kanakan dengan kepolosan luar biasa
dalam dirinya, bahkan selalu saja menjadi korban-korban drama korea. Tapi yang
sekarang, jauh terlihat lebih berbeda...” senyuman menghiasi wajah paman
Hartono.
“Kalau
boleh tahu, apa yang sedang kamu pelajari sekarang Nara?”
“Bapak
ingin tahu apa yang sedang saya teliti dan pelajari?” pertanyaanku balik.
“Sangat
ingin...”
“Mempelajari
pola pikir, karakter, kelebihan/ kelemahan, dan cara untuk menerima sesuatu hal
ataupun objek pada masing-masing suku yang ada di Indonesia.” Penjelasanku
cukup sederhana.
“Bisa
Nara jelaskan tentang hal-hal yang disebutkan tadi?”
“Baiklah,
seperti yang telah di ketahui bahwa di Indonesia terdapat beragam suku bangsa,
yang menjadi akar permasalahan kenapa, mengapa, apa, bagaimana, siapa dan
segala macam pertanyaan tentunya langsung berkaitan pada kasus-kasus
terorisme,perselisihan antara penganut kepercayaan, pertumpahan darah,
keegoisan, dan masih banyak lagi...” ucapku mencoba menyodorkan beberapa
gambar-gambar pertikaian, berita-berita pertumpahan darah.
“Perbedaan
masing-masing suku menjadi tolak ukur terhadap sebuah objek tertentu. Bagaimana
merubah ataupun beradaptasi terhadap mereka melalui pendidikan-pendidikan
tertentu dan tidak dapat di samakan antara satu dengan yang lainnya. Kenapa? Di
karenakan sistem untuk mengubah karakter-karakter buruk dalam perjalanan masing-masing
suku, harus menyesuaikan tentang cara-cara menerima sesuatu hal.” Penjelasanku
lagi.
“Maksudnya?”
“Salah
satu contoh kecil, pada suku A memiliki karakter emosional di atas rata-rata
atau ada saat dimana tanpa mereka sadari sifat ingin menonjolkan sesuatu
terlihat jelas. Pada akhir cerita oknum ataupun kelompok tertentu dapat
mempermainkan dalam sekejap mata dengan kata lain memanfaatkan. Secara
otomatis, dibutuhkan beberapa tahap/penyesuaian, kurikulum tersendiri (untuk
pembentukan bibit baik dalam hal keceradasan terlebih karakter) yang berbeda
dari pembentukan karakter/pendidikan suku-suku manapun.” Penjelasanku sekali
lagi.
“Terus...”
“Di
lain sisi, terdapat suku C dengan karakter dan pola pikir yang tergolong diam
di tempat, secara otomatis harus di buat perbedaan kembali. Inti dari
permasalahan Indonesia di sini, kenapa pertumpahan darah bahkan banyak pihak
tertentu baik luar dan dalam memanfaatkan di karenakan...” ungkapanku.
“Di
karenakan apa?” rasa penasaran paman Hartono.
“Di
karenakan dalam dunia pendidikan serta program pemerintahan...penyesuaian
terhadap pembentukan pola pikir serta karakter semuanya sama, sedangkan
masing-masing suku memiliki tahapan-tahapan tertentu dan perbedaan-perbedaan
pada saat membuang atau pun menerima suatu objek tertentu.” Ungkapan
penjelasanku kembali.
“Yang
berarti harus ada perbedaan dalam hal ini?’
“Yah
seperti itulah, harus ada kerja sama antara presiden, gubernur, wali kota,
bupati masing-masing daerah, serta tidak luput adalah dunia pendidikan yang
berjalan kemana dan berada di titik seperti apa...” Penjelasanku kembali.
“Hanya
saja, yang jadi permasalahan terkadang pejabat bersifat masa bodoh dan
keegoisan ada dalam perjalanan mereka. Jadi, segala sesuatu yang ingin di rubah
akan terhambat bahkan ada yang lebih mementingkan kursi dan hal-hal yang
berbau...” kalimatku sekali lagi.
“Bapak
mengerti maksud dari ucapanmu, tapi, percaya saja Tuhan pasti buka jalan untuk
perubahan Indonesia.” Pernyataan paman Hartono berusaha membuatku menyadari
akan sesuatu hal.
Inilah
perjalananku saat ini, tanpa seorangpun yang menyadari sesuatu hal telah
membungkus nafasku. Memasuki sebuah dunia yang sama sekali tidak pernah
terpikirkan olehku sebelumnya, bahkan orang-orang terdekatku pun tidak akan
pernah tahu...
Mencari
jalan, berusaha dan berjuang di balik layar tanpa seorangpun menyadari bahkan
akan selamanya tertutup oleh siapapun... Tidak pernah terbayangkan, sama sekali
akan dunia lain dalam perjalanan dan nafasku saat ini dan suatu hari kelak.
Bapak Hartono dan rekannya berusaha mencari titik celah untuk perubahan
akan pondasi Indonesia saat ini.
Memperjuangkan negara ini untuk sebuah perubahan tidaklah semudah membalikkan
telapak tangan oleh karena perbedaan dan tingkat-tingkat kesulitan terhadap
pola pikir ataupun sudut pandang saat menghadapi/menerima sesuatu hal untuk
masing-masing suku. Air mata dapat saja mengalir untuk menyatukan setiap
perbedaaan bahkan seseorang harus bertarung dengan nyawa sendiri.
Siang
itu, cuaca ibu kota sangat panas berjalan kaki suatu tempat sekedar menghibur
diri sendiri. Untuk pertama kalinya, aku dapat berjalan bebas keluar dari rumah
setelah hidupku hanya di habiskan dalam sebuah ruangan saja. Tidak seorangpun
boleh tahu, akan kehadiranku saat ini semuanya masih harus tertutup oleh karena
beberapa alasan tertentu. Memberikan arahan dan beberapa hal melalui paman
Hartono serta rekannya, sedangkan mereka yang bekerja terlebih mencari
celah/jalan tertentu.
“Auuuuwwwwwwww...”
menahan sakit akibat terkena sebuah benda yang datang entah dari mana.
“Siapa
di sana?” sebuah suara dari arah utara.
“Siapa
yang berjalan di depanku saat ini?” batinku bertanya-tanya, seorang pemuda
berperawakan, wajahnya jauh melebihi model-model ternama...
“Sorry,
bolaku mengenai kepalamu.” Ujarnya tersenyum.
“Tidak
apa-apa.” Ucapku kemudian berlalu dari hadapannya sesegera mungkin. Tidak
berarti saya akan menjadi gadis mengerikan terlihat genit bahkan kaget oleh
karena sebuah pemandangan wow...di depan mataku saat ini.
Mataku
lebih di kejutkan lagi oleh sekelompok manusia sedang berkerumun pada pemuda
tersebut secara tiba-tiba. Memangnya pria ini siapa? Begitu banyaknya
orang-orang yang ingin meminta tanda tangan darinya.
“Masa
bodoh...” ujarku kemudian berusaha untuk berlalu dari kerumunan di tempat
tersebut.
Kakiku
melangkah mencari sesuatu yang bisa di minum sekitar jalanan yang kulalui.
Namun, sekali lagi seakan aku merasa ada sesuatu yang sedang membayangi
langkahku saat ini. Entahlah...
“Bermain
di belakang layar sama seperti seorang sutradara...” merenungi perjalananku
saat ini dan ke depannya. Seorang anak gadis, pada pandangan mata siapapun akan
terlalu polos...namun, siapa yang akan menyangka kakinya melangkah ke suatu
titik untuk belajar membuat irama tertentu di balik layar paling luar biasa
dari negara ini. Suka atau tidak suka, namun, inilah yang sedang terjadi hari
ini dan suatu hari kelak. Tanpa seorangpun menyadari, apa yang sedang
terjadi...
“Siapa
di sana?” kalimatku mencurigai sesuatu yang sedang mengikutiku sejak tadi.
“Keluarlah
dari tempat persembunyianmu.” Mencoba memancing dan berusaha berjalan pada
sebuah pohon besar yang tidak jauh dari sekitar jalan tersebut.
“Maafkan
saya untuk yang ke-dua kalinya.” Suara seseorang secara tiba-tiba dari balik
pohon.
“Kau
pria yang tadi itu kan.” Pertanyaanku, namun, secara tiba-tiba pria tersebut
terjatuh di hadapanku.
“Hei,
kau tidak apa-apa?” pertanyaanku melihat tangannya penuh dengan luka.
“Tolong,
jangan bawah saya ke rumah sakit...” ujarnya memohon sesuatu sebelum akhirnya
dia pingsan.
“Hei,
bangunlah...” teriakanku tidak tahu harus melakukan sesuatu.
“Nara...”
Ujar pak Raharjo dari arah belakang. Bersyukur paman Harjo datang di saat yang
tidak terduga. Awalnya paman Harjo ingin membawanya ke rumah sakit, namun, saya
memohon agar membawanya ke rumah saja karena pria tersebut sebelum pingsan
memohon...Beruntung dia tidak kenapa-kenapa dan luka pada tangannya tidak
begitu parah. Hanya membutuhkan istirahat beberapa saat dan setelahnya pria
tersebut akan kembali pulih seperti sedia kala.
BAGIAN
ENAM...
MENARA...
Sepertinya
wajah pria yang sedang berbaring di hadapanku sekarang sudah tidak asing lagi,
namun, entahlah...Awalnya hanya sekedar mencari angin segar, di luar dugaan
berhadapan dengan sebuah kejadian luar biasa.
“Di
mana saya sekarang?” Suara pria tersebut pagi-pagi.
“Oh,
rupanya sudah siuman...sudah baikan...” pertanyaanku sambil memotong
sayur-sayuran yang ada di depanku.
“Nara,
jaga rumah baik-baik dan paman Harjo mau berangkat kerja dulu...” teriak paman
dengan membawa dokumen-dokumen penting.
“Beres
paman...” balasku. Untuk sementara, saya harus menginap di rumah paman Harjo
sampai pemuda tersebut siuman dan pulih. Paman Harjo mengatakan terlalu
beresiko, jika di bawah ke rumah yang kutempati, kerena ada begitu banyak
data-data yang tidak seorangpun boleh menyadari segala sesuatunya. Tidak
seorangpun menyadari bahwa dalam rumah paman Hartono terdapat ruang bawah tanah
untuk mempelajari semua data-data dan hal-hal yang berhubungan dengan
Indonesia. Resikonya terlalu besar, jika tercium oleh pejabat-pejabat lainnya.
“Sepertinya
saya mengenal orang yang menyapamu tadi?” ucapan pria tersebut kembali.
“Memangnya
kenapa?”
“Jangan-jangan
kamu simpanan om-om gitu yah?” ledekannya kembali.
“Terus
masalahnya di mana?” pertanyaanku kembali.
“Paman
itu kan, salah satu pejabat wakil rakyat dan biasa muncul di tv.” Celotehnya
kembali.
“Namanya
bapak Raharjo, kalau bicara sangat pedas...pelan, halus tapi jika seseorang yang berusaha untuk
mempelajari arah pembicaraannya sangat menusuk alias pedas benner.” Celotehnya
sekali lagi.
“Terus
masalahnya denganmu di mana?”
“Jutek
amat sih, kamu ga kenal siapa saya yah?” berdiri sambil bertolak pinggang.
“Memangnya
kamu siapa?”
“Astaga,
saya seorang artis/model paling terkenal di negara ini, bahkan kemarin itu
tanganku terluka gara-gara lari dari penggemar.” Memasang tatapan bola mata
serius.
“Ternyata
orang yang di depanku ini adalah seorang artis, pantes saja wajahnya sepertinya
saya pernah lihat wajahnya, tapi saya
lupa di mana...ternyata di tv...” kalimatku di dasar hati.
“Saya
mencurigai sesuatu hal, kalau di pikir-pikir bapak Raharjo benar-benar tajam
dalam berbicara, namun dibalik itu semua memiliki simpanan juga rupanya sama
seperti pejabat lainnya.” Sindirannya luar biasa.
“Kalau
sudah baikan, tolong segera angkat kaki dari rumah ini secepatnya.” Perintahku
membuka pintu depan.
“Kalau
di pikir-pikir anak bapak Raharjo sudah menikah semua, jadi tidak mungkin kamu
itu anaknya.” Kata-katanya kembali menyindir.
“Tidak
peduli apa pun yang dikatakan pria di depanku saat ini, jangan pernah
terpancing oleh sebuah keadaan.” Berusaha untuk bersabar menahan emosi.
“Kalau
di perhatikan, gadis seperti dirimu terlalu sayang untuk menjadi simpanan
pejabat, mending ikut saya saja.” Untuk pertama kalinya ada seorang cowok
dengan beraninya mengatakan kalimat-kalimat seperti ini. Pada dasarnya, saya
sama sekali tidak mengenal dunia pria seperti apa, hanya saja ini sudah lewat
dari batas-batas yang seharusnya.
“Keluar
dari rumah ini...” teriakanku luar biasa mengusirnya, jangan karena dia seorang
artis terkenal, seenaknya saja menyombongkan dirinya.
Akhirnya
pria tersebut berhasil keluar dari rumah. Bunda tidak pernah mengajarkan
hidupku untuk berkata-kata yang tidak sepantasnya. Hanya saja, kelakuan pria
tersebut telah melewati batas secara luar biasa. Saya saja tidak pernah
mengenal istilah pacaran itu seperti apa, ini sudah melewati batas ...memangnya
bentuk wajahku semurah itu?
Apakah
Tuhan dengan sengaja membuatku terus berada di hadapan pria tersebut? Saat
kakiku mulai mencari udara segar dan di manapun saya berada, secara otomatis
sosknya akan terus berada di hadapanku. Entak secara kesengajaan atau pun
tidak...Apakah takdir yang membuatku berada di hadapannya untuk mengenal
beberapa karakter tertentu?
Seakan
dunia ini terlalu sempit, sehingga setiap kakiku berjalan keluar dari rumah
pasti akan selalu dipertemukan dengan dirinya. Apakah pada dasarnya nasibku untuk
terus saja berurusan dengan pria semacam ini?
“Gadis
mungil, kenapa kita selalu saja bertemu yah?” godaannya.
“Tuhan,
untuk beberapa saat saya belajar menerima tentang sesuatu yang misterius dalam
perjalananku, hanya saja permasalahan lain lagi, dimana harus berurusan dengan
pria di hadapanku yang sekarang benar-benar membangkitkan emosionalku.” Gerutuku
di dasar hati.
“Gadis
mungil, dari pada menjadi simpanan pejabat itu mending jadi pacarku saja
yah...” senyumannya mengambang kembali. Seakan ada sesuatu yang membakar diriku
dengan api paling mengerikan...
Berusaha
menahan diri agar terpancing dengan ucapannya adalah jauh lebih baik
dibandingkan berkomentar tentang apapun yang di katakannya. Berlalu dari
hadapannya jauh lebih baik dibandingkan berkata-kata yang pada dasarnya akan
menimbulkan dosa lebih hebat...
“Gadis
mungil...” teriakannya berusaha menarik tanganku untuk menghindari sebuha truk
yang berjalan dengan kecepatan tinggi ke arahku tanpa sadar.
“Kamu
tidak apa-apa?” tanyanya sangat khawatir.
“Tidak
kenapa-kenapa?” ucapku segera berdiri dan melangkah untuk berlalu dari depan
matanya.
“Kenapa
kau ingin menolong simpanan pejabat agar terhindar dari maut?” pertanyaanku
menghentikan langkah kakiku.
“Karena
saya menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu, pada saat bolaku mengenai
kepalamu.” Jawabannya.
“Kau
kan tahu saya simpanan pejabat? Masih berusaha mengejar?”
“Kamu
pikir saya terlalu bodoh untuk membedakan mana gadis baik-baik dan simpanan
seorang pejabat..” ujarnya .
“Maksudnya?”
“Itu
hanya sekedar akal-akalan saya saja, setidaknya ingin melihatmu marah luar
biasa, tapi jauh di dasar hati saya minta ampun juga sama Tuhan.
Hahahahahahaha, lucu kan” godaannya menyentuh pipiku dengan jari telunjuknya
untuk beberapa saat.
“Tidak
ada yang lucu...”
“Gadis
mungil, jadi pacarku saja yah? Secara saya ini kan seorang artis terkenal dan
wajahku di pajang di mana-mana. Ada lagi yang tidak kamu ketahui, kalau saya
ini salah satu anak paling terkaya di negara ini.” Celotehnya kembali.
“Terlalu
sombong...” batinku.
“Jadi
bagaimana? Apakah bersedia menjadi pacarku?’ pertanyaannya kembali mencolek
pipiku menggunakan jari telunjuknya.
“Sampai
detik ini saya tidak mengenal siapa namamu sekalipun kau itu artis terkenal.
Dan jangan karena kau seorang artis terkenal, secara otomatis semua orang
membayangkan ingin menjadi pacarmu. Kau salah besar di sini.” Suara nyaring
dari mulutku.
“Masa
kamu tidak mengenal siapa namaku?”
“Sama
sekali tidak...” jawabku.
“Nama
saya Reynand Goldy, salah satu artis paling terkenal dan anak pengusaha
terkenal di Indonesia.” Celotehnya kembali.
“Dalam
kamusku, cinta pada pandangan pertama itu tidak pernah ada. Belajarlah tentang
arti kehidupan...” pernyataanku sebelum meninggalkan dirinya.
“Gadis
mungil belajar arti kehidupan itu yang seperti apa? Saya jadi penasaran...”
“Kau
benar-benar ingin tahu?” kalimatku menghentikan irama langkahku.
“Benar-benar
sangat ingin gadis mungil...”
“Ikut
saya...” kalimatku mengajaknya ke suatu tempat.
“Kau
mengajakku ke panti jompo seperti ini untuk apa?” teriakannya, saat kami sudah
berada di sebuah panti jompo.
“Tugasmu
adalah memandikan kakek-kakek yang ada di panti jompo ini, serta mencuci
pakaian mereka bukan menggunakan mesin cuci melainkan tanganmu sendiri,
memasak,serta membersihkan panti ini.” Ujarku menatapnya dengan sangat tajam.
“Ta..ta..ta...pi...”
ujarnya ingin memotong.
“Satu
lagi, dalam panti ini terdapat beberapa kakek yang sudah tidak bisa mengurus
dirinya sendiri dan harus menggunakan popok.”
“Maksudnya?”
“Kau
harus membersihkan kotoran mereka serta mengganti popok yang penuh kotoran dengan
yang baru.” Ucapanku kali ini.
“Maksudmu,
setelah mereka BAB & BAK, saya yang harus membersihkan...astaga...tidak
salah...” teriakannya.
“Belajarlah
untuk mengenal arti kehidupan, tanpa harus memikirkan dalam sekejap saya bisa
mendapatkan gadis manapun di dunia ini dengan ketenaran, ketampanan, kekayaan
dalam kehidupanku sekarang ini.” Tegurku kemudian pergi meninggalkannya.
“Nara,
kalau saya berhasil melalui ini semua, apakah kamu akan menjadi pacarku?”
teriakannya membuat wajahku berbalik ke arahnya.
“Kalau
kamu bisa melewati hal ini selama 2 bulan, saya akan memberikan tantangan yang
lebih baru lagi dari ini.” Jawabanku terhadapnya.
Tidak
semua yang ada di dunia ini dapat di raih begitu saja. Belajar untuk mengenal
sebuah pembentukan melalui suatu perjalanan hidup pada titik tertentu.Jangan
karena di dalam kehidupan benar-benar terlihat sempurna, hingga keangkuhan
hidup memainkan iramanya secara tersendiri.
Saya
meragukan kemampuan Reynand untuk berada di dunia panti jompo tersebut selama 2
bulan. Manusia seperti dirinya mana bisa bertahan dan mau melakukan
pekerjaan-pekerjaan menjijikkan seperti itu. Namun, diluar dugaan manusia itu
benar-benar ingin membuktikan sesuatu di dalam dirinya.
“Gadis
mungil, jangan pernah memanggil namaku Reynand kalau saya tidak bisa melalui
semua ini...” pesan masuk melalui sms.
“Dari
mana dia mengetahui nomor telponku?” mencoba berpikir.
Dia
benar-benar membuktikan segala ucapannya dengan melakukan apa yang
kuperintahkan pada saat itu. Rasa penasaran menerpa duniaku saat ini, apa yang
sebenarnya dia inginkan? Saya bukan seseorang dengan pendidikan tinggi,
sekalipun sebuah perjalanan misterius menuntut untuk berada di balik layar
tertentu. Tidak mempunyai bentuk fisik sama seperti model di luar sana. Dan
permasalahannya, apa yang diinginkan olehnya?
“Nara,
apa yang sedang kamu pikirkan?” paman Hartono membangunkanku dari lamunan.
“Paman,
lagi tidak kenapa-kenapa.” Jawabanku.
“Kami
sudah berusaha untuk memainkan suatu peranan tertentu, pasti ada cara untuk
Nara suatu hari kelak benar-benar berada di depan membuat sebuah perubahan dan
menghadapi semuanya...” ujarnya.
“Yang
paman pikirkan pasti hanya Indonesia dan perubahannya, terserah paman sajalah.”
Kalimatku acuh tak acuh.
“Untuk
saat ini Nara harus belajar lebih lagi, dan kami akan berjuang agar kamu bisa
kuliah di kampus terbaik di luar sana suatu hari kelak. Tapi tidak untuk saat
ini, karena ada begitu banyak hal yang harus di pelajari dan semua ini bersifat
misterius.” Kata-katanya membuatku sama sekali tidak memahami sedang mengarah
kemana...
“Jujur,
saya tidak mengerti dengan maksud paman.” Ungkapanku.
“Waktu
akan membuatmu memahami pernyataan paman saat ini suatu hari kelak.” Kalimatnya
dengan tatapan penuh kehangatan.
“Paman,
sebenarnya saya lebih suka menjadi orang biasa dan tidak menyukai dunia seperti
ini. Kalaupun saya harus berada di jalan seperti ini, itu karena keterpaksaan.”
Kalimatku menjelaskan...
“Nara,
di balik semua ini ada maksud dan rencana Tuhan, tidak ada yang salah dengan
jalanmu.” Paman Hartono berusaha untuk sebijak mungkin dalam berkata-kata.
“Saya
juga menyukai untuk berada di belakang layar bukan saat berada di depan...”
kalimatku kembali.
“Sekarang
sudah malam, sudah saatnya tidur.” Paman Hartono beranjak dari kamarku kemudian
berjalan keluar.
Tertidur
dan menutup mata, berpikir bahwa semua yang sedang terjadi dalam kehidupanku
hanyalah sebuah mimpi belaka. Perjalanan misterius, di mulai dari mimpi paman
Hartono untuk mencari daerah tempat tinggalku. Tidak mengenal siapa pria paruh
baya tersebut, hingga pada akhirnya oleh karena sesuatu hal, hatiku berjalan
untuk mengikuti kehidupan yang serba misterius dan penuh teka teki seperti ini.
“Nara
mau kemana pagi-pagi begini?” wajah paman Hartono sedikit terkejut melihatku...
“Ada
sesuatu yang ingin saya selesaikan sekarang ini.” Jawabanku.
“Bukan
yang aneh-aneh kan?”
“Paman
tenang saja, ini tidak ada hubungannya dengan kegiatan paman dan perencanaan
tentang apalah yang berhubungan dengan negara ini. Hanya sedikit masalah
pribadi.” Ujarku.
“Apakah
bundamu kembali sakit? Nara tenang saja, paman selalu mengirim uang kepada
mereka setiap bulannya sesuai dengan perjanjian kita sebelumnya.” Kalimatnya
lagi.
“Bunda
sehat-sehat saja, ada hal yang harus saya selesaikan, mungkin berhubungan
dengan salah satu penduduk ibu kota ini sepertinya.” Ujarku kembali kemudian
berlalu dari hadapannya.
“Apa
yang di inginkan orang itu? Pagi-pagi mengirimkan begitu banyak pesan dan dari
dia tahu nomorku?” celotehku berjalan sambil mencari sebuah angkot.
Turun
dari mobil angkot tersebut, melangkahkan kaki menuju sebuah yayasan panti jompo
untuk menyelesaikan permasalahan ini. Saat berada di sana, bola mataku
dikejutkan oleh tingkah laku Reynand yang sedang berusaha mencuci pakaian
orang-orang lanjut usia dengan tangannya sendiri di tempat tersebut. Belajar
untuk membuat mereka tersenyum dan banyak lagi.
“Saya
pikir dia anak manja, tapi, lumayan juga dengan tingkahnya yang seperti ini.”
Gumamku telah melupakan tujuanku memijakkan kaki di tempat ini.
Tidak
di sangka bahwa Reynand mampu menjalani kehidupan seperti ini selama 2 bulan,
percaya atau tidak...Saya yakin dan percaya kalau selama ini hatinya terus saja
bersungut-sungut hanya tidak di munculkan olehnya ke sebuah permukaan.
“Gadis
mungil, percaya atau tidak percaya kalau saya berhasil melalui rintangan darimu
selama 2 bulan berada di neraka bersama orang-orang lanjut usia di sana.”
Ujarnya tiba-tiba berada di hadapanku.
“Dari
mana dia tahu alamat rumahku yang sebenarnya dan sekarang sudah ada di halaman
teras rumah.” Kalimatku di dasar hati.
“Pasti
heran yah, dimana saya mendapat alamat rumahmu yang sebenarnya.”
“Dari
mana?” tatapanku tajam ke arahnya.
“Dari
hatimu.” Jawabannya membuatku ingin tertawa sinis.
“Hanya
bercanda, saya mengikutimu dan mencari tahu semuanya...”ujarnya.
“Jadi...”
ungkapnya lagi.
“Saya
tahu kalau gadis mungil di depanku sekarang adalah keponakan salah satu pejabat
wakil rakyat atau ada sesuatu yang di sembunyikan mungkin atau kau ini anak
hasil pernikahan sirih bapak Raharjo atau Hartono dengan seorang gadis desa di
luar sana...” sindirannya.
“Orang
aneh.” Ucapanku.
“Gadis
mungil, bagaimana dengan tawaranku kemarin kau menjadi pacarku yah?”
“Ini
baru tahap awal, masih ada lagi hal yang harus dilalui olehmu.” Kata-kataku
penuh penekanan.
“Apa
itu?”
“Ikut
saya ke suatu tempat.” Tanganku menarik tangannya
“Kita
mau kemana?” pertanyaannya.
“Kau
harus berada di rumah sakit ini untuk merawat orang-orang yang ada di sini,
belajarlah arti kehidupan dan jangan pernah menyombongkan segala sesuatu yang
ada dalam dirimu.” Penjelasanku setelah sampai di sebuah rumah sakit dengan
menggunakan mobil angkot.
“Gadis
mungil...”
“Tugasmu
adalah menjadi cleaning servis di rumah sakit ini tanpa uang sepersen pun.”
“Bagaimana
kalau banyak media meliput dan menyadari apa yang sedang saya kerjakan saat
ini?”
“Itu
penderitaanmu bossss, bukan saya punya penderitaan, ngerti.” Gertakanku.
“Benar-benar
mengerikan, untuk pertama kalinya saya mendapatkan tipekal perempuan seperti
ini.” Sedikit memelankan suaranya.
“Apa
kau bilang? Satu lagi, lakukan ini selama 3 bulan.” Ucapanku kembali.
Entah
kekuatan dari mana, yang membuatku ingin membuatnya mengenal akan sesuatu hal.
Saya tidak mengenalnya, hanya saja inilah yang sedang terjadi...perjalanan
misteri sedang bermain dalam nafasku, yang entah kapan akan berakhir...
Secara
tidak terduga dia kembali membuktikan bahwa rintangan tersebut dapat
dilaluinya. Tidak peduli dengan apa kata orang dan dunia media. Satu pertanyaan
dalam benakku, sebenarnya apa yang ada di dalam pola pikirnya saat ini? Apakah
ia mencari sesuatu hal ataukah sekedar membuat sensasi belaka?
“Bapak
belajarlah arti kehidupan.” Ungkapannya terhadap salah seorang pasien.
Tanpa
di sadarinya, saya sedang berada di balik pintu memperhatikan apa yang sedang
di perbuatnya. Berusaha membuat pria paruh bayah tersebut memahami sesuatu hal
yang terlalu sulit untuk dipahami oleh karena sebuah keadaan.
“Kenapa
mengatakan hal seperti itu, dan bagaimana caranya untuk memahami makna
kehidupan yang sebenarnya?” pertanyaan balik dari pasien tersebut.
“Seseorang
mengajarkan duniaku untuk mengenal arti kehidupan, dan saya pun ingin agar
bapak memahami maksud di balik pernyataan tersebut.” Ujarnya.
“Contohnya?”
“Bapak
harus belajar membuat sebuah perubahan bukan karena sebuah kekayaan, kekuasaan,
ketenaran, sesuatu yang hanya di nilai oleh kasat mata banyak orang...” ucapan
Reynand.
“Jadi...”
“Melainkan
mempelajari makna kehidupan dengan sesuatu yang membentuk hati bapak secara
pribadi. Kalau bapak berhasil melewati semua ini, saya yakin anda dapat
melupakan penyakit yang sedang membungkus perjalanan saat ini. Bahkan bisa
saja, anda dapat sembuh seketika itu juga.” kata-katanya sama sekali tidak
pernah terbayangkan olehku.
“Saya
harus melanjutkan kembali tugas bersih-bersihku.” Senyumannya segera mengambil
seluruh peralatan pel kemudian berlalu dari hadapan pasien tersebut.
Dia
menjadi berubah untuk waktu yang cukup singkat, ataukah dengan kesengajaan
memainkan ucapan-ucapan tertentu terhadapku pada saat itu. Hanya Tuhan dan
hatinya yang dapat menjawab segala pertanyaan-pertanyaan tersebut.
“Gadis
mungil, tinggal beberapa hari lagi waktu 3 bulan tersebut berakhir...”
ucapannya mengagetkan dan telah ada di halaman rumahku.
“Paman
Hartono bisa saja melihatmu berada di sini, sangat beresiko.” Sedikit khawatir
mengingat jam pulang paman Hartono sebentar lagi. Pada dasarnya, paman
mempunyai rumah sendiri hanya saja tempat ini merupakan gudang rahasia yang
sama sekali tidak disadari oleh siapapun juga.
“Pergilah
sebelum paman melihatmu.” Kalimatku mendorong sekuat tenaga.
BAGIAN
TUJUH...
REYNAND GOLDY...
Siapa
sih yang tidak mengenalku, salah satu artis terkenal di negara ini dengan
prestasi luar biasa dalam hal akting dan dunia modeling. Papi merupakan salah
satu manusia terkaya di negara Indonesia tercinta, namun, belum mampu menyaingi
kekayaan Bill Gates. Apa yang kuinginkan pasti kudapatkan dalam sekejap, hal
seperti inilah yang membentuk akar kesombongan dalam perjalananku. Keangkuhan
hidup mewarnai perjalananku tanpa seorangpun menyadari. Berbicara sebagai salah
satu publik figur, harus tampil dengan senyuman dan sikap bersahabat pada
siapapun. Pada dasarnya, sifatku bagi pandangan mata masyarakat penuh kerendaha
hati oleh kerena senyuman luar biasa yang terus saja kumainkan. Namun, pada
dasarnya akar kesombongan lebih memainkan perannya dalam nafasku.
Hingga
suatu ketika, secara tidak sengaja bolaku mengenai kepala seorang gadis mungil...tentu
saja, aku menyebutnya dengan sebutan gadis mungil oleh karena bentuk wajah,
bibir,jemari tangan/kakinya, tubuhnya segala sesuatunya bersifat mungil-mungil.
Entahkah Tuhan dengan kesengajaan membuat pertemuan tersebut untuk merubah
duniaku atau seperti apa pun, hanya DIA saja yang menyadari segalanya.
Secara
tiba-tiba, untuk pertama kali dalam , detak jantungku berdetak dengan begitu
cepat tak beraturan sama sekali. Apakah saya menyukai gadis mungil yang ada di
depanku saat ini ataukah hanya secara kebetulan saja...kemungkinan saya belum
sarapan sejak tadi hingga tubuhku terus saja gemetar. Pertama kali bertemu, dia
tidak seperti dengan wanita-wanita lain di luar sana.
“Tuhan,
apa pun yang terjadi saya ingin di pertemukan kembali dengannya.” Suara hatiku
menggema. Dan pada akhirnya, dalam waktu singkat doaku terjawab. Tanpa sengaja
tanganku sedikit terluka oleh karena menjauh dari para fans fanatikku saat itu.
Berlari dan berlari bahkan terus saja berlari hingga tubuhku bersembunyi pada
sebuah pohon besar yang kembali mempertemukanku dengan dirinya.
“Gadis
mungil.” Semangatku melupakan luka pada tanganku. Entah bagaimana caranya,
tiba-tiba saya sudah berada di atas sebuah ranjang. Ternyata saya pingsan saat
berhadapan dengannya...
Keluar
dari ruangan kamar tersebut dan mendapati dirinya sedang berada di dapur. Saya
seakan mengenal seseorang yang sedang berbicara dengannya dan tidak lain
merupakan salah satu pejabat terkenal di negara ini. Hubungan antara gadis
mungil tersebut dengan pejabat tersebut sebenarnya seperti apa? Tidak mungkin
gadis mungil ini merupakan simpanan pejabat tersebut...pasti ada sesuatu yang
di sembunyikan oleh mereka. Walaupun saya tidak terlalu memahami dunia politik
dan para pemainnya, namun, siapa yang tidak mengenal bapak Raharjo dan rekannya
bapak Hartono. Kedua pejabat tersebut selalu kritis saat berhadapan dengan
sesuatu yang ada di depannya.
Saya
tidak perduli akan kedua pejabat tersebut, hanya saja duniaku lebih tertarik
dengan gadis mungil tersebut. Dengan kesengajaan mengejeknya merupakan salah
satu simpanan pejabat, pada hal saya sadar betul kalau dia hanyalah seorang
gadis polos terlihat jelas dari raut wajahnya. Hanya sekedar memancing
emosionalnya belaka, tapi, untuk yang satu ini jangan pernah mengikuti
kelakuanku apa pun yang terjadi...
Entah
apa yang ada dalam benakku, secara langsung menyuruhnya agar dia mau menjadi
pacarku. Namun, di luar dugaan apa yang diingini oleh hatiku tidak akan pernah
di raihnya dalam sekejap mata. Semua membutuhkan perjuangan luar biasa, untuk
mengejar...
Untuk
pertama kalinya, seorang Reynand Goldy di tolak oleh seorang gadis dalam
sekejap mata. Untuk pertama kalinya seseorang mengucapkan sebuah pernyataan
yang tidak akan pernah kulupakan sedikitpun dalam perjalananku. Belajarlah
untuk mengenal arti kehidupan, itulah ucapannya setiap saat. Membawaku ke suatu
tempat dan mengajarkan hidupku akan suatu perjalanan. Berada dalam sebuah rumah
jompo untuk membuat diriku mengenal serta memahami seni kehidupan yang
sebenarnya. Di tantang untuk berada dalam rumah jompo tersebut dan melakukan
berbagai hal di dalamnya. Hal yang tidak pernah kulakukan, untuk pertama
kalinya belajar dan belajar hingga pada akhirnya menghancurkan akar kesombongan
dalam perjalananku.
“Saya
pasti bisa membuktikan, bahwa kakiku dapat melewati tantangan dari gadis mungil
tersebut.” Kalimatku di dasar hati setiap malam.
“Ketenaran,
kekayaan, ketampanan/kecantikan seseorang, kejeniusan, kekuasaan bukanlah hal
yang dapat membuat hidup ini terlihat sempurna. Melainkan, saat kaki sedang
belajar untuk memahami apa yang di maksud dengan pembentukan melalui sesuatu
yang menyakitkan secara luar biasa.” Suara hatiku menggema saat belajar melakukan
berbagai hal.
Saya
hanyalah salah satu dari manusia yang sama sekali tidak pernah merasakan
kehidupan susah seperti apa. Penderitaan di luar sana dalam bentuk apa?
Sehingga pada dasarnya ada saat di mana pernyataan dari perbendaharaan mulutku
akan selalu mempelihatkan akar kesombongan di hadapan semua orang. Masyarakat
bawah tidak pernah menyadari siapa saya, namun, semua orang dalam rumahku
menyadari bagaimana seorang Reynand berkata-kata ataupun memerintah dengan
seenaknya.
“Belajar
untuk membersihkan kotoran-kotoran beberapa orang jompo, belajar melakukan
pekerjaan-pekerjaan di mana tidak pernah dianggap oleh mata dunia. Belajar,
belajar, dan belajar hanya belajar serta belajar kembali. Itulah yang dilakukan
perjalananku saat ini melalui seorang gadis mungil.” Kalimat-kalimatku kembali
bergema jauh di dasar hati setiap saat.
Belajar
saat berada di sebuah rumah sakit mengerjakan pekerjaan paling tidak pernah di
lihat oleh semua orang. Seorang Reynand tidak lagi memperdulikan apa kata
orang, secara tiba-tiba meninggalkan dunia hiburan dan mengikuti segala yang di
ucapkan oleh gadis mungil tersebut. Memutuskan kontrak-kontrak dengan beberapa
pihak production house.
“Reynand,
apakah kamu sadar dengan yang kamu lakukan sekarang ini?” Emosional Deynis
salah satu manager yang mengatur segala jadwal atau kontrak kerja dengan pihak
production house.
“Memangnya
kenapa?” jawabanku ingin menenangkan diri.
“Kamu
bisa kehilangan pekerjaan dan penggemar, kalau hidupmu seperti ini.” Ujarnya.
“Tidak
jadi masalah, bukankah keluargaku memiliki banyak uang saat saya harus
kehilangan pekerjaan sebagai artis terkenal.” Kalimatku tidak memperdulikan
ucapannya.
“Kemana
Reynand yang kemarin dengan segala ambisinya, benar-benar mengejar karir.”
“Pekerjaan
sebagai artis hanyalah penghiburan belaka, dan pada akhirnya saya akan
tenggelam dari dunia yang telah membesarkan namaku selama ini oleh karena
sebuah tuntutan keluarga.” Ucapanku memandang pemandangan keluar melalui kaca
jendela.
“Sekarang
keluarlah dari kamarku sekarang juga.” perintahku membuka pintu kamar. Dengan
wajah kesal, Deynis berjalan keluar tanpa berkata-kata sedikitpun.Sesuai dengan
ucapan gadis mungil tersebut adalah belajar untuk memahami akan sesuatu yang
membentuk dalam perjalanan seseorang.
“Hei,
gadis mungil...” tegurku terhadapnya secara tiba-tiba berada di halaman
rumahnya.
“Pergilah,
sebelum paman Hartono berada di sini.” Tegurnya. Saya mencurigai sesuatu hal
yang tersembunyi antara dia dan 2 pejabat tersebut. Setelah melakukan beberapa
penyelidikan, ternyata kedua pejabat tersebut sama sekali tidak memiliki
hubungan darah dengan Nara. Ada sesuatu yang tersembunyi, hanya saja terlalu
sulit untuk menggali lebih jauh. Saya tahu pasti, bahwa Nara bukanlah simpanan,
sangat terlihat jelas pada wajahnya. Rumah Nara benar-benar jauh dari penduduk
setempat dan di desain dengan beberapa tekhnik-tehknik tertentu.
“Baiklah
saya akan pergi dengan syarat besok kita bertemu di rumah sakit tempatku
bekerja sebagai cleaning servis.” Kata-kataku penuh penekanan.
“Sebenarnya
apa maumu?” teriakannya.
“Mauku,
gadis mungil di depanku menjadi pacarku dalam sekejap.” Senyuman luar biasa
terpampang pada wajahku.
“Kau
belum menyelesaikan tantangan 3 bulanmu.”
“Tapi
akan berakhir esok hari.” Ucapku memotong pembicaraannya.
“Benar
katamu, berakhir esok hari dan akan dimulai dengan perjalanan baru kembali.”
Tatapan tajam kembali di arahkan terhadapku yang kemudian segera berlalu
memasuki pintu rumahnya.
Inilah
kehidupannya, penuh dengan sesuatu yang tidak terduga. Terkadang, terdapat
sebuah pertanyaan dalam benakku mengapa saya ingin melakukan apa yang
diperintahkannya? Seakan ada sebuah kekuatan besar untuk melakukan apa pun
ucapannya. Suatu hari kelak, waktu akan berkata-kata, istilah mengapa akan
terjawab....
“Kukira
gadis mungilku tidak akan datang ke rumah sakit ini.” Ucapanku sedikit
menggodanya.
“Sejak
kapan saya menjadi gadis mungilmu, dengarkan kau bukan pacar atau apa pun itu.”
Ujarnya dengan nada menggertak.
“Okey,
sesuai dengan ucapanku kemarin tentang perjalanan baru.” Menarik tanganku
seperti biasanya saat ingin memperlihatkan sesuatu yang baru...Tidak lama
kemudian, kami berada di sebuah gubuk kecil dengan begitu banyaknya rumah-rumah
kumuh di sertai bau tidak sedap.
“Apa
maumu?” pertanyaanku berusaha melepaskan tanganku.
“Tumben
balik bertanya...”untuk pertama kalinya memperlihatkan sebuah senyuman dari
wajahnya.
“Gadis
mungil ternyata kalau tersenyum manis juga yah.” Godaanku yang kemudian dia
berusaha mengembalikan mimik wajahnya seperti biasa.
“Saya
ingin seorang Reynand tinggal di daerah kumuh ini selama setahun, belajar
menjadi pemulung sebagai pekerjaan sampingan. Makan apa adanya tanpa sebuah
istana, mencuci pakaian sendiri dan makan hasil masakan sendiri.” Kalimatnya
membuatku tidak berkutik.
“Tidak
bisakah kau mengucapkan hanya 1 bulan atau 2 bulan, kenapa harus setahun?’
pertanyaanku.
“Kau
lihat sekitar perkampungan kumuh di sana, terdapat banyak masyarakat penyakit
kusta yang telah di asingkan. Dan tugasmu adalah memberi penghiburan serta
menciptakan sesuatu yang baru dalam kehidupan mereka. Jadilah obat bagi mereka
dengan nilai yang tidak terukur sama sekali.” ucapannya tanpa menjawab
pertanyaanku sebelumnya.
“Kau
sadar atau tidak kalau itu penyakit menular...” kata-kataku.
“Seperti
yang telah saya katakan sebelumnya, jadilah obat bagi mereka. Semua dapat saja
menjauh, tapi dalam hal ini kau harus belajar untuk mendekap dengan penuh
kehangatan.” Pernyataannya kembali.
“Tuhan,
apakah ini yang dikatakan hidup?” sesuai dengan ucapannya belajarlah mengenal
arti kehidupan.” Suara hatiku paling terdalam.
“Selain
hal tersebut, kau hau harus menjalani kehidupan sebagai penjual sayur, tukang
becak dengan memainkah roda-roda dari benda tersebut, melakukan pekerjaan kasar
seperti kuli bangunan masing-masing 4 bulan.” Kalimatnya sekali lagi, membuat
mataku tidak berkedip sama sekali.
“Apakah
masih ada lagi yang terlupakan untuk hal yang harus kulakukan?” pancinganku
kembali...
“Masih
ada, kau tidak pernah belajar untuk berpuasa di hadapan Tuhan. Belajarlah untuk
merendahkan hati melalui puasa setiap tiga kali seminggu tanpa seorangpun
menyadari apa yang kau lakukan. Ngerti.” Kata-katanya kembali.
“Berpuasa bukan untuk memerkan terhadap
semua orang, bahwa kau sedang tidak makan dan minum. Melainkan menyadari arti dari
merendahkan hati tanpa seorangpun pernah tahu dalam perjalananmu.” Kata-kata
yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku sampai kapanpun juga.
“Bagaimana
dengan dunia keartisanku saat ini?” ucapanku.
“Kau
diperhadapkan 2 pilihan yaitu meninggalkan dunia keartisan atau mempertahankan.
Keputusan ada dalam genggaman tanganmu.” Kalimatnya yang kemudian beranjak dari
hadapanku.
“Nara,
apakah kamu mau menungguku hingga saya berhasil melewati tantangan ini selama
setahun?” teriakanku membuat kakinya terhenti untuk beberapa saat, kemudian
kembali berjalan tanpa berkata-kata sepatah kata pun.
Belajar,
belajar, dan belajar... setidaknya seorang Renand belajar memahami arti
kehidupan sekarang dan ke depannya. Meninggalkan dunia hiburan dan menjadi
seseorang paling mengerikan, semua akan menganggap ini adalah kegilaan pada
level tinggi. Namun, kata belajar membuatku ingin menyadari seni kehidupan di
balik sesuatu yang menyakitkan.
Menghilang
tanpa jejak dari dunia hiburan hanya demi sebuah tantangan untuk belajar
mengenal arti kehidupan. Tinggal di sebuah gubuk paling kumuh dan menjadi
seorang pemulung selama setahun. Kekuatan seperti apa dalam perjalananku untuk
melakukan apa pun yang di perintahkannya? Saya tidak memahami duniaku sendiri.
Inikah
perjalanan untuk belajar akan makna sebuah sinar dalam pecahan kaca dan pada
akhirnya membuat luka-luka begitu hebat. Belajar untuk merendahkan hati tanpa
seorangpun pernah menyadari hal tersebut di hadapan Tuhan. Belajar, belajar,
belajar, belajar, dan belajar...setidaknya nafasku memahami istilah serta
ucapan dari gadis mungil yaitu belajar...
Seakan
sesuatu di dalam perjalanannya membuka duniaku akan pembentukan dalam pecahan
kaca, dimana mengalirkan darah segar setiap saat.Tuhan, ajar nafasku untuk
memahami dunia seperti ini...hanya hal tersebut yang dapat di ungkapkan oleh
suara hatiku sekarang.
“Lagi
memungut sampah nak?” suara seorang ibu berjalan ke hadapanku membawa sebungkus
nasi.
“Trimah
kasih bu, tapi, ibu jauh lebih membtuhkan dibandingkan saya.” Menolak makanan
tersebut.
“Tidak
apa-apa, karena ibu mempunyai lebih dari satu...” senyumannya melekat.
“Inilah
yang dikatakan memberi bukan karena kelebihan, melainkan kekurangan.” Suara
hatiku menggema.
Belajar
menjadi obat bagi mereka di suatu tempat pembuangan tanpa seorangpun menyadari
semuanya. Di tempat tersembunyi belajar untuk merendahkan hati. Pada area
sekelompok manusia yang terasingkan, belajar untuk membentuk senyum pada wajah
mereka. Inilah makna kehidupan sebenarnya, bukan karena ketenaran, kekayaan,
kekuasaan, kecantikan/ketampanan, ataupun prestasi luar biasa seseorang
terlihat hidup. Melainkan dapat memahami arti kerendahan hati pada titik
tertentu setiap saat.
“Tuhan,
buat nafasku memahami jauh lebih mendalam akan arti dari perjalanan hidup
mereka. Dapat tersenyum, saat semua yang ada di depan mata tidak memiliki nilai
bagi siapapun juga oleh karena kemiskinan, penolakan, keterbelakangan, ketidak
sempurnaan dan segala hal di dalamnya.” Suara hati memainkan iramanya saat ini.
BAGIAN
DELAPAN...
MENARA...
Menutup
mata dan pada pagi hari kembali membukanya untuk mempelajari berbagai hal. Tidak
pernah terbayangkan sebelumunya akan liputan peristiwa terjadi begitu saja,
hingga membungkus duniaku. Mempelajari data-data tertentu setiap harinya di
sebuah ruangan bawah tanah dari rumah tersebut. Menyembunyikan kisah misteri
dengan teka teki dalam duniaku saat ini.
“Nara,
pada pemberitaan media-media terlihat jelas pembengkakan hutang negara ini.”
Ucapan paman Hartono membuatku menghentikan aktifitasku di ruangan tersebut.
“Terus...”
ucapanku memainkan polpen pada sebuah meja dipenuhi data-data, laptop,
buku-buku, majalah, koran, dan lain sebagainya. Inilah yang kulakukan setiap
harinya, tanpa seorangpun tahu. Semuanya bersifat rahasia dan tersembunyi,
sedangkan paman Hartono dan Raharjo berusaha memainkan perannya di dunia
pemerintahan. Berusaha menyembunyikan apa yang seharusnya disembunyikan, dan
mencari titik celah atas apa yang seharusnya untuk di jalankan. Demi membuat
Indonesia tetap menjadi sebuah negara ke depannya.
“Sekalipun,
saya tahu semua yang ada dalam dirimu bersifat keterpaksaan dan oleh karena
tidak adanya pengalaman sedikitpun...namun, setidaknya seorang Nara mau belajar
dan mencoba menjelaskan...” kata-kata paman Raharjo tiba-tiba muncul dari
belakang.
“Menjelaskan
tentang apa?” pertanyaan terhadap mereka dengan terus memainkan pulpenku.
“Awalnya,
paman meragukan apa pun yang ada di dalam dirimu oleh karena permasalahan hanya
mimpi dari Hartono dan sama sekali tidak masuk akal, usiamu yang masih 18 tahun
pada saat itu, tidak ada pengalaman sama sekali. Bahkan seorang Nara sama
sekali tidak memiliki tingkat prestasi sedikitpun dan banyak lagi.” Penjelasan
paman Harjo memandang ke arahku.
“Terlebih
iman kepercayaanmu sangat tidak memungkinkan untuk membuatmu berjalan dan
memainkan sebuah peranan, oleh karena pola pikir rakyat Indonesia dan terlebih
beberapa oknum tertentu dengan kesengjaan memainkan dunia keagamaan sebagai
arena permainan.” Ujarnya lagi.
“Terus
kenapa paman masih ingin mempertahankan? Saya tidak pernah meminta untuk berada
di jalan seperti ini hingga saat ini.” Kalimatku sambil beranjak dari kursi.
“Hingga
pada akhirnya, mataku terbuka akan sesuatu hal, bahwa dalam dirimu terdapat
sebuah prinsip hidup. Kami percaya semua mempunyai waktu dan akan selalu ada
jalan untuk kita, selama ada perjuangan.” Kata-kata paman Harjo menepuk bahuku.
“Mau
paman apa sekarang?” berbalik ke arah mereka.
“Nara
mempunyai potensi untuk menjelaskan tahapan hutang negara ini, dan kita akan
mencari jalan untuk menyelesaikan sesuatu dan menjelaskan dampak dari hutang
tersebut.” Jawaban paman Hartono.
Membayangkan
apa yang di maksudkan oleh mereka dan mencoba berpikir setiap
pernyataan-pernyataan tersebut. Membolak-balikkan buku di depanku, mencatat
beberapa data tertentu serta pernyataan-pernyataan beberapa pejabat akan hutang
Indonesia. Entah apa yang ada dalam benak para pejabat dengan kesengajaan
tertentu membuat hutang negara ini dalam pembengkakan luar biasa.Berbagai
alasan mengurangi jumlah kemiskinan dan segala macam, adakah alasan yang lebih
spesifik dari ini?
“Paman
Hartono, ada sesuatu yang ingin saya jelaskan.” Kata-kataku membawa beberapa
catatan dan gambar-gambar pemberitaan media.
“Tentang
apa?”
“Tapi,
sebelumnya tolong hubungi paman Harjo biar kita sama-sama membahas akan sesuatu
yang tidak beres.” Ucapanku menekan nomor telpon paman Harjo agar beliau segera
datang bagaimanapun caranya.
“Baiklah
kalau itu maumu.” Kalimatnya kembali. Tidak lama kemudian, ±30 menit kami menunggu,
akhirnya paman Raharjo tiba...
“Ada
masalah apa? Sekedar berjaga-jaga batasi komunikasi melalui penggunaan ponsel,
ada begitu banyak cara halus yang sedang di lakukan saat ini.” Kalimat paman
Harjo dengan tatapan serius.
“Baiklah,
saya akan menjelaskan beberapa hal pembengkakan hutang Indonesia yang dapat
saja berdampak ke depan, jika tidak di lunasi secepat mungkin.” Ucapanku
mencoba menjelaskan terhadap mereka.
“Hutang
Indonesia secara garis besar benar-benar menembus angka luar biasa.”
“Sepertinya
data-data hutang negara perlu diperiksa lebih lanjut, saya harap paman dapat
memberikan biografi para gubernur BI yang telah menjabat untuk beberapa dekade
hingga sekarang.” Ucapanku.
“Kau
tidak sedang mencurigai sesuatu kan?” mimik wajah paman Hartono..
“Letak
permasalahan di sini para tokoh-tokoh yang memainkan peranan untuk pengambilan
keputusan di saat tertentu tentang kondisi keuangan negara ada di beberapa
tempat. Seharusnya ada pemeriksaan lebih lanjut, dana hutang tersebut benarkah
dengan alasan lebih pada kepentingan rakyat atau apakah terdapat beberapa tanda
baca di dalam pernyataan mereka dari waktu ke waktu?”
“Hubungan
antara biografi gubernur BI dan...” paman Harjo mencoba mencari jawaban.
“Permasalahan
hubungannya luar biasa berkaitan. Siapa yang memainkan peranan pada kondisi
tertentu tanpa seorangpun menyadari, program seperti apa yang pada dasarnya
sedang berjalan dan mengapa tidak ada kemajuan akan pelunasan hutang-hutang
tersebut?” penekanan kata-kata pada beberapa pernyataan.
“Tidak
mungkin dari waktu ke waktu secara terus-menerus terjadi pembengkakan luar
biasa. Hanya dengan alasan obligasi dan hal lainnya. Sekarang yang jadi
pertanyaan apa yang di maksud dengan obligasi dalam dunia perbankan?Ada begitu
banyak keganjilan dalam pengelolahan letak permasalahan hutang negara dan
pastinya tidak mungkin di perankan hanya pada 1 orang saja. Ada beberapa orang
yang sedang menjalankan perannya.” Kembali ucapanku menunjukkan beberapa
data-data seakan ada sesuatu yang mengganjal...
“Nara...”
Seperti biasanya paman Hartono hanya menyebut satu kata saat saya berada di
depannya mencoba menjelaskan.
“Pengumpulan
data-data akan tindakan-tindakan dalam keadaan tertentu tentang kondisi
keuangan baik keadaan sadar maupun tidak sadar dari bekas pemimpin negara ini,
di mulai dari masa Suharto hingga sekarang pemimpin yang sedang menjabat.”
Penjelasanku kembali mencoba meneliti akan sebuah kondisi...
“Hutang
negara ini sekitar tiga ribuan triliunan keatas, data-data dari beberapa media
terdapat beberapa perbedaan angka pada bagian belakang. Namun, akan terus
mengalami pembengkakan ke atas. Indonesia sendiri mendapat pinjaman secara
bilateral oleh beberapa negara sebagai kreditur terbesar. Sementara secara
multilateral ,sesuai informasi bahwa Indonesia meminjam pada Bank Dunia, Bank
pembangunan Asia, Bank Pembangunan Islam.” Mencoba mengutarakan beberapa
data-data yang ada.
“Dampak
apa yang akan terjadi pada hutang negara secara luar biasa?” Pertanyaan paman
Raharjo.
“Perkembangan
zaman dan perubahan sistem pemerintahan dapat saja terjadi pada masing-masing
negara yang akan memberatkan Indonesia suatu hari kelak. Saya tidak katakan
bahwa beberapa negara memberikan hutang dan akan melakukan sesuatu untuk sebuah
teka-teki pada jalur tertentu. Namun,beberapa hal yang sama sekali tidak
diinginkan dapat saja terjadi dan memberikan jurang paling terdalam untuk
negara ini suatu hari kelak. Entah pergantian pemimpin dari negara tersebut
atau bagaimana dan kemana?” Kalimatku mencoba menjabarkan sedemikian rupa...
“Dimulai
dari Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) merupakan sebuah institusi
finansial pembangunan multilateral didedikasikan demi mengurangi kemiskinan
pada negara-negara Asia Pasifik. Beranggotakan 31 negara pada tahun 1966, dan
telah berkembang menjadi 63 negara.” Lanjutan penjelasanku.
“Akar
permasalahan pada defenisi tersebut, berada dimana?” paman Hartono mencoba
mencari tahu.
“Seperti
yang telah diketahui perjalanan negara-negara ke depan tentunya mengalami
perbedaan serta perubahan besar. Tidak ada yang dapat mengetahui hati
masing-masing pemimpin negara. Bisa saja, salah satu anggota dari Bank tersebut
memainkan peranan demi sebuah kepentingan tertentu dan pada akhirnya menjadi
jebakan secara tidak terduga untuk Indonesia sendiri. Pemimpin-pemimpin dunia
menggunakan otak untuk menjalankan situasi tertentu tanpa seorangpun menyadari,
jauh berbeda dengan mereka yang tidak memiliki pendidikan tentunya lebih
bersifat pada otot.” Ujarku.
“Maksudnya,
disaat situasi tertentu pada saat terdapat celah untuk mendapatkan
tujuan-tujuan yang telah terprogram oleh salah satu atau bahkan lebih dari satu
pemimpin negara untuk membuat sebuah jebakan dengan alasan hutang Indonesia
yang mengalami tingkatan luar biasa.” Kata-kata paman Raharjo mulai memahami
maksud dari penjabaran sebelumnya.
“Hati
masing-masing pemimpin negara siapa yang menyadari. Hari ini, esok, dan kelak
masing-masing mengalami perubahan baik dari segi perkembangan teknologi, sistem
perebutan kekuasaan secara halus tanpa disadari oleh siapapun juga, perluasan
wilayah, pasar bebas di mana akan memainkan peranannya pada jalur-jalur pemerintahan
di seluruh dunia.” Penjelasanku sekali lagi.
“Yang
menjadi pertanyaan mengapa pihak-pihak dari mereka selalu menyetujui peminjaman
uang terhadap Indonesia, sedangkan hutang-hutang sebelumnya belum terbayar
lunas dan dalam jumlah yang tidak tanggung-tanggung.” Kalimat paman Hartono
mencoba merenungkan sesuatu...
“Seperti
mengarah kemana dan di mana?” kening paman Harjo berkerut.
“Sementara
Indonesia tidak hanya berhutang pada Bank Asia, Bank Pembangunan Islam terlebih
pada Bank Dunia yang merupakan gabungan negara-negara di seluruh dunia. Dalam
hal ini lebih beresiko lagi, dapat membuat negara ini menjadi tidak berkutik
dan tanpa dapat berbuat apa pun pada saat celah tersebut terlihat jelas di
depan mata.” Ucapan paman Harjo menggeleng-gelengkan kepalanya menghadapi
permasalahan yang begitu rumit.
“Bahkan
orang-orang yang tidak bersalah dan rakyat-rakyat di bawah akan menjadi korban
suatu hari kelak. Terlebih di luar sana terlihat jelas bagaimana konflik dan
pertikaian terus bermain antara negara. Sekalipun Indonesia tidak memihak
siapapun atau diam di tempat, tetap akan berdampak ataupun salah satu dari
negara tersebut memainkan teka teki
jebakan yang dapat saja menghancurkan negara ini dalam sekejap. Terdapat
pula, beberapa negara yang terlihat diam seribu bahasa tanpa ada pertikaian
atau masalah, namun, siapa yang menyadari jika salah satu darinya menyusun
sebuah rencana, program, dan segala macamnya.” Kata-kataku mencoba untuk
menjelaskan kembali.
“Saya
tidak sedang menakut-nakuti, untuk perjalanan ke depan benar-benar beresiko.
Bahkan beberapa negara yang dianggap paling kuat saat ini pun sedang goyang dan
tidak dapat berbuat apa pun oleh karena beberapa situasi terlebih Indonesia.”
Kata-kataku terhadap mereka lagi...
“Yang
sekarang harus di lakukan oleh Indonesia adalah bagaimana melunasi hutang
negara yang begitu banyak saat ini.” Kalimat paman Hartono.
“Seperti
itulah yang harus dilakukan, bagaimanapun caranya harus segera melakukan
pelunasan.” kata-kata paman Harjo memikirkan sesuatu.
“Sekarang
strategi paman saja, untuk menyerang pemerintah agar secepatnya melakukan
pelunasan terhadap hutang-hutang tersebut. Permasalahan besar benar-benar ada
di depan mata jika terus dibiarkan...sedangkan negara yang tanpa hutangpun
dalam masalah ke depan terlebih
Indonesia.” Ujarku lagi yang kemudian beranjak dari hadapan mereka menuju dapur
untuk meminum segelas air.
Dunia
yang kujalani saat ini berbeda dengan hari-hariku saat bersama bunda, ayah, dan
satu-satunya kurcaci di sebuah rumah sederhana. Berhadapan dengan
artikel-artikel di depanku dan mencari tahu sebab-akibat. Berusaha untuk
memahami sesuatu hal di balik layar dan tempat yang tersembunyi tanpa
seorangpun dapat menyadari semuanya.Inilah ruanganku, di dipenuhi berbagai
jenis buku-buku, majalah-majalah, koran yang terbit beberapa tahun silam,
komputer, kertas-kertas berserakan pada meja dan menempel pada sebuah dinding
di depan mejaku.
“Bagaimana
kabar bunda sekarang, dan apa yang sedang dilakukan oleh ayah bersama kurcaci
kesayangannya itu?” Senyumanku menatap foto mereka di depan mejaku.
“Dan
apa yang sedang diperbuat oleh artis reseh di luar sana?” Tiba-tiba
membayangkan dirinya. Setelah melewati tantangan tiga bulannya, tanpa pernah
menyerah dengan begitu mudahnya menyetujui tantangan berikut. Dia tidak akan
pernah tahu apa yang sedang kujalani saat ini. Pada awalnya, aku hanya ingin
mengajarkan tentang perjalanan hidup yang sebenarnya, untuk belajar menghargai
dirinya sendiri. Namun, entah mengapa seakan ada sebuah kekuatan dari dalam
untuk terus membuat dunianya berada dalam area tertentu.
“Nara,
siapa pria yang terus saja berdiri di pinggir jalan sana, seakan ingin
memata-matai rumah ini?” Kekhawatiran paman Hartono ada sesuatu yang ingin
diselidikinya.
“Yang
mana paman?” tanganku sedikit membuka tirai jendela rumah.
“Yah
Tuhan, tu manusia apa yang sedang diperbuatnya?” sedikit terkejut.
“Nara
kenal orang itu?” paman Hartono terus saja memperhatikan di balik jendela.
“Itu
penjual sayur yang biasa numpang lewat paman.” Jawabanku.
“Sepertinya
wajahnya biasa paman lihat, tapi dimana?” mencoba mengingat sesuatu.
“Pastilah
paman biasa lihat, dia kan artis terkenal namun, tiba-tiba menghilang dari
dunia hiburan karena menjadi seorang pemulung sampah.” Kata-kataku di dasar
hati.
Aku
berusaha mencari cara agar dapat mengalihkan perhatian paman Hartono, kemudian
berjalan menuju tempat Reynand berdiri. Hidup yang dijalaninya saat ini, bukan
lagi seperti kemarin...percaya atau tidak percaya, pada akhirnya dia banyak
mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Bukan karena siapapun, melainkan
sesuatu di dalam dirinya.
“Apa
maumu?” tanganku mendorong tubuhnya hingga membuatnya terjatuh.
“Gadis
mungil tidak seperti ini juga caranya menjatuhkanku.” Gerutunya.
“Paman
Hartono terus saja memperhatikan dirimu sejak tadi dari kejauhan.”
“Pejabat
itu, memangnya kau dengan dia punya hubungan apa, saya jadi penasaran.”
Kata-katanya mencari jawaban.
“Saya
hanyalah pembantu di rumahnya, karena tidak ada yang mengurus rumah itu jadi
paman Hartono mencari pembantu di kampung.” Jawabanku.
“Tidak
di sangka orang yang saya kejar saat ini ternyata pembantu rumah tangga, apa
kata orang nantinya.” Kalimatnya pelan.
“Coba
ulangi ucapanmu, lagian saya tidak pernah menyuruhmu untuk suka sama seorang
pembantu rumah tangga.” Teriakanku.
“Kenapa
kau memanggilnya paman, harusnya tuan? Seperti ada sesuatu yang disembunyikan.”
Mencurigai...
“Itu
karena paman Hartono tidak mau dipanggil tuan.” Kalimatku.
“Terus
kenapa pejabat yang bernama Pak Raharjo kemarin...” pancingnya.
“Mereka
itu satu patner kerja di dunia pemerintahan, secara otomatislah selalu bersama.
Berhenti bertanya yang aneh-aneh. Ngerti.” Gertakku.
“Gadis
mungil, awal menyuruhku tinggal di gubuk penderitaanku benar-benar luar biasa
dimulai tidur hanya beralaskan tikar ditemani nyamuk kiri kanan, makan masakan
gosong karena saya tidak tahu masak, kalau cuci baju sih sudah terbiasa di
panti jompo kemarin.” Curhatan hatinya memasang wajah sedih.
“Terus
kenapa kau mau mengikuti apa yang kuperintahkan.” Pertanyaanku.
“Sudah
tahu jawabannya pake nanya lagi...” Gerutunya terlihat kesal.
“Gadis
mungil, saya belum mati tapi sudah seperti di neraka, pada pagi hari menjadi penjual
sayur menjajahkan menggunakan gerobak, terus mencari sampah-sampah di depan
rumah-rumah kompleks, menjadi tukang becak juga pada sore harinya.” Wajahnya
benar-benar menampakkan rasa kesal...
“Saya
tidak menyuruhmu menjadi penarik becak sekarang, hanya setelah melewati 4 bulan
menjadi penjual sayur.” Ucapanku.
“Setidaknya
saya memiliki nilai plus di matamu bosss. Ngerti.” Ucapnya membuatku ingin
tertawa lebar. Terlalu sulit untuk mempercayai semua ini, seorang artis
menerima tantangan kehidupan secara wow... Belajar untuk menjadi obat bagi
mereka yang sedang terasingkan oleh karena sebuah penyakit, tanpa perasaan
jijik sedikitpun. Mencoba untuk membuat mereka tersenyum dan mengajarkan sebuah
kerajinan tangan demi mempertahankan kehidupan. Tidak ada yang salah dalam diri
mereka, hanya saja seseorang akan mengerti makna kehidupan di balik sesuatu
yang menyakitkan.
Hari
berganti hari hingga pada akhirnya bulan berganti bulan, tidak ada yang tahu
akan perjalanan Reynand saat ini. Belajar untuk merendahkan hati di hadapan
Tuhan tanpa seorangpun pernah menyadarinya. Berdoa mencari wajah Tuhan dengan
kesunggguhan hatinya, tanpa seorangpun pernah sadar akan perubahan hidupnya. Dia
selalu ada menjadi salah satu penghiburan tersendiri bagi mereka di beberapa
tempat. Senyumannya menjadi obat tersendiri untuk beberapa area kehidupan tanpa
disadarinya.
“Nara,
tinggal sedikit lagi...” kalimatnya terlihat seakan ada sesuatu, tanpa terasa
waktu berlalu dengan begitu cepat. Menantikan sebuah jawaban atau tantangan
berikutnya...
BAGIAN
SEMBILAN...
REYNAND...
Tinggal
sedikit lagi, saya akan lepas dari kehidupan seperti ini dan kembali berada di
istanaku.kenapa saya mau melakukan itu semua? Sebenarnya apa yang salah dalam
perjalananku? Mengejar seorang pembantu rumah tangga tanpa pendidikan
sedikitpun. Namun, di lain hal saya belajar untuk menjalani kehidupan luar
biasa untuk memahami arti sebuah perjalanan kehidupan yang sebenarnya.
Rasa
penasaran mulai muncul dalam pemikiranku tentang rumah yang sedang ditempati
oleh Nara. Seakan ada sesuatu dimana membuatku sama sekali tidak mempercayai
apa pun perkataan Nara. Ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi, lebih
parah lagi kedua pejabat tersebut semakin gencar memainkan sesuatu hal pada
beberapa media serta dunia pemerintahan. Saya membenci dunia politik, hanya
saja pejabat tersebut sangat ramai dalam pemberitaan oleh karena berbagai hal
menyangkut keadaan Indonesia. Mengapa pula, rumah tersebut jauh dari kota dan
rumah-rumah penduduk?
Petengahan
malam, saya berusaha mencari tahu dengan berjalan bagaikan pencuri...Mengapa
Nara tidak pernah ingin saya berada di rumah tersebut, sekalipun hanya sekali
walaupun di saat pejabat tersebut sedang tidak ada di rumah? Rumah kecil,
namun, siapa yang pernah menduga terdapat ruang bawah tanah yang begitu luas.
Entah bagaimana caranya, saya berhasil memasuki rumah tersebut dengan sangat
berhati-hati. Sepertinya, tidak seorangpun pernah menyadari rumah ini...
“Itu
kan Nara...” kata-kataku di dasar hati memperhatikan apa yang sedang
dikerjakannya pada sebuah ruangan.
“Katanya,
pembantu rumah tangga kenapa mengotak atik komputer dan segala macam?” terus
memperhatikan apa yang sedang di kerjakannya. Berusaha bersembunyi, tanpa di
sadarinya dan secara tiba-tiba kedua pejabat tersebut memasuki ruangan Nara...
“Nara,
pemilihan presiden sebentar lagi di depan mata dan semua partai sedang
berkampanye demi merebut kekuasaan.” Ucap pak Hartono.
“Sepertinya
ada yang tidak beres dengan dunia militer...” kata-kata Nara memainkan pulpen
di tangannya.
“Maksud
Nara seperti apa, dan hubungan antara militer dan pemilihan ini?” pertanyaan
pejabat lain dan tidak lain adalah pak Raharjo.
“Hubungannya,
beberapa partai merupakan anggota militer dan sedang bersaing demi menjadi
pemimpin negara ini. Sementara beberapa hal berbau kurang menyenangkan seakan
dipermainkan oleh beberapa anggota
kemiliteran.” Ucap Nara menatap tajam secara luar biasa.
“Sejak
dulu, kami sudah lama mencurigai sesuatu yang tidak beres dalam dunia
kemiliteran.” Kalimat pal Hartono dengan kening berkerut.
“Beberapa
serangkain peristiwa kemarin seakan ada sesuatu yang mengganjal. Sepertinya di
balik kerusuhan terdapat beberapa permainan dunia kemiliteran. Untuk saat ini
belum terdapat bukti, namun ada sesuatu yang benar-benar tidak beres jauh
sebelum kejadian 1998 tentang mahasiswa trisakti dan lain sebagainya.”
Kata-kata Nara membuatku terkejut di tempat persembunyianku.
“Sekitar
tahun 1960-an ke atas ada sesuatu yang dimainkan oleh kemiliteran, hingga pada
akhirnya salah satu aktivis diculik dan menjadi korban pemerkosaan.
Permasalahan ke-2, permasalahan kembali muncul pada singapura dan berkaitan
erat dengan dunia kemiliteran. Kembali pada mahasiswa trisakti, tidak hanya itu
kemudian pertikaian di beberapa wilayah tertentu.” Nara mencoba memperlihatkan
data-data tertentu terhadap mereka.
“Siapa
yang bermain?” pertanyaan pak Raharjo.
“Inilah
yang sama sekali tidak ketahui oleh banyak orang. Permasalahannya disini, yang
sekarang sedang terjadi adalah konflik antar negara sedang terjadi dan dapat
beresiko untuk Indonesia suatu hari kelak.” Kata-kata Nara menegaskan.
“Jadi...”
kalimat pak Hartono.
“Kita
tidak dapat memahami rangkaian peristiwa ke depan, hanya saja perang dunia ke-3
bisa jadi meledak secara tiba-tiba. Sekalipun negara ini, tidak memihak pada
siapapun, tetap Indonesia akan menjadi alat atau permainan sekelompok tertentu
kelak...dan inilah yang sangat dikhawatirkan, sementara tidak seorangpun rakyat
menyadari hal seperti ini.” Kata-kata Nara membuatku ketakutan.
“Dibutuhkan
perbaikan dalam dunia kemiliteran, serta mencari tahu tentang ketidak beresan
terhadap rangkaian peristiwa di masa lalu. Bukan maksud untuk menghalangi
anggota kemiliteran menjadi pemimpin negara ini, hanya saja untuk sementara
jangan sampai salah satu dari mereka berada pada posisi kepresidenan.”
Kata-kata Nara kembali.
“Jika
di perhatikan kandidat dari si B, sama sekali tidak memiliki kemampuan yang
signifikan untuk menjalankan roda pemerintahan. Terus terang saja, rakyat hanya
menilai dari bagaimana dirinya bermasyarakat atau berjalan-jalan memeriksa
parit-parit dengan pakaian sederhana. Namun, yang dibutuhkan Indonesia bukan
sekedar tersenyum pada rakyat kecil, berpakaian sederhana, atau berjalan-jalan
pada lokasi-lokasi kumuh. Ini permasalahan, tentang bagaimana mengeluarkan
Indonesia dari keterpurukan.” Kata-kata pak Raharjo.
“Kasus
yang sedang dihadapi oleh Indonesia benar-benar rumit, bukan permasalahan biasa
namun berada pada puncak paling mengerikan. Terserah penilaian akan pencitraan
ataupun bukan, namun, pada dasarnya anggota militer untuk saat ini tidak bisa
menduduki kursi kepresidenan. Bukan permasalahan siapa yang bersalah atau
tidak, melainkan dunia kemiliteran harus menjelaskan sesuatu hal. Tidak mungkin
memperbaiki dunia kemiliteran ataupun membuat pondasi baru, apa bila
permasalahan di masa lalu belum terselesaikan.” Ucapan Nara kembali.
“Tapi,
permasalahan kandidat B, berada pada tangan siapa saat ini dan bisa saja akan
menjadi sebuah boneka untuk kepentingan tertentu. Sementara, minimal untuk
mempertahankan Indonesia saat ini dibutuhkan beberapa hal dan tidak sekedar
hanya berjalan-jalan pada tempat-tempat kumuh serta tersenyum di hadapan
rakyat.” Ucapan pak Hartono kembali.
“Permasalahan
Indonesia tidak dapat diselesaikan hanya dengan memberikan senyuman dan
berjalan-jalan di tempat-tempat kumuh dengan pakaian sederhana. Hanya saja,
saat ini tingkatan otak secara berbeda untuk memperbaiki situasi lebih
dibutuhkan serta terobosan-terobosan seperti apa harus dimainkan? Konsep
pemikiran yang mengarah kemana untuk memperbaiki keadaan Indonesia.” Kata-kata
pak Raharjo kembali.
“Paman,
jauh lebih baik seperti ini sekalipun Indonesia harus mengalami
kesulitan-kesulitan tertentu kelak. Permasalahan yang lebih hebat adalah
tentang salah satu pondasi Indonesia saat ini yaitu dunia kemiliteran. Suatu
hari kelak, negara ini jauh lebih terjepit dan makin di remehkan oleh bangsa
manapun...jika akar permasalahan di dalamnya tidak secepatnya tertangani.”
Tutur kata Nara mencoba menjelaskan.
“Jadi,
dengan kata lain jangan sampai salah satu anggota militer menduduki kursi
kepresidenan untuk sementara waktu, sampai semuanya terlihat jelas. Lebih
parahnya lagi beberapa gudang-gudang militer terbakar habis.” Tambahan
kata-kata Nara.
“Jangan
katakan ini sebuah kesengajaan untuk menghilangkan bukti-bukti kuat.” Kalimat
pak Raharjo.
“Bisa
jadi, tapi kita tidak punya cukup bukti untuk menjelaskan semua itu.” Kata-kata
Nara.
“Permasalahan
militer terlalu berat bukan hal sepeleh dan berakibat fatal untuk Indonesia ke
depannya. Terlebih keadaan sekarang ini, antar negara seakan ingin saling
mencari pertikaian satu dengan lainnya, dan siapa paling terkuat belum lagi
teroris-teroris bermunculan pada bebepa tempat. Organisasi-organisasi
mengerikan sedang dimainkan. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi
5 menit kemudian ataupun hari esok.” Lanjutan ucapan Nara kembali.
“Siapa
sih yang menyadari hati dari para pemimpin dunia. Pada saat pertemuan
pemimpin-pemimpin negara di beberapa tempat, kelihatannya biasa namun siapa
yang menyadari beberapa hal ataupun dengan kesengajaan memainkan tanpa seorangpun pernah tahu dimana
diperankan oleh salah satu dari mereka. Tetap akan berdampak untuk Indonesia,
terlebih seluruh kekayaan negara ini di kelola oleh orang-orang luar bukan
dalam.” Kembali Nara menjelaskan lagi.
“Kita
harus mencari cara untuk menyelesaikan dunia kemiliteran. Dan tidak membiarkan
untuk sementara waktu siapapun anggota kemiliteran menduduki kursi
kepresidenan. Sekalipun kandidat yang satu ini berada di bawah tangan seseorang
dan tidak memiliki kemampuan cukup untuk menjalankan pemerintahan, setidaknya
biarlah dia yang menjabat.” Kalimat pak Hartono terliahat berjalan ke kiri dan
ke-kanan. Hampir saja, saya ketahuan menguping pembicaraan mereka.
“Tuhan
pasti membuka jalan, kita tidak boleh menyerah.” Ujar pak Raharjo.
“Satu-satunya
jalan, paman harus memainkan situasi dan mencari jalan bekerja sama dengan
beberapa media-media serta beberapa jurnalis tertentu. Bukan permasalahan
berada di pihak mana, melainkan hingga kasus permasalahan ini terselesaikan.
Jangan sampai Indonesia jauh terlihat lebih kacau dan benar-benar terpecah
bahkan makin di remehkan oleh pihak luar. Indonesia bisa saja tetap menjadi
bahan umpan ataupun sesuatu yang begitu mengerikan, hanya saja tidak terlihat
karena proses-prosesnya dijalankan sedemikian rupa. Banyak hal yang akan
terjadi ke depan oleh karena perselisihan antar negaradan lain sebagainya.”
Kalimat Nara kembali.
Gadis
mungil yang kukenal ternyata bukanlah seorang pembantu. Apakah saya yang
terlalu polos dan tidak pernah ingin menyadari apa pun dalam perjalanannya saat
ini. Berusaha keluar dari rumah tersebut secara perlahan-lahan, agar tidak
ketahuan oleh mereka terlebih Nara. Memikirkan semua pembicaraan mereka, atas
perjalanan negara ini.
“Wajar
saja, kedua pejabat tersebut terus saja berusaha mencari celah...” membayangkan
apa yang dilakukan pejabat tersebut.
“Mengapa
gadis mungil tidak pernah berterus terang dan selalu berbohong kalau dia adalah
pembantu rumah tangga?” terus saja mempertanyakan hal tersebut.
Saya
mungkin terlalu bodoh untuk memahami kisah hidup dari dunianya. Salah satu hal
paling misterius ternyata sedang membuat irama untuk Indonesia, tanpa
seorangpun pernah menyadari tentang semua ini.Paradigma saat menjelaskan akan
sesuatu di depan mata serta sebab akibat dari beberapa situasi, memiliki
perbedaan tersendiri dari seorang Nara.Belajar memahami suatu area kehidupan,
tidak semudah membalikkan telapak tangan, itulah maksud dari segala ucapannya
untuk menjalani dunia seperti ini.
“Hei...”
suara seseorang membangunkan lamunanku dan tidak lain adalah dia yang
mengajarkan tentang sesuatu hal di dalam salah satu objek menyakitkan, namun
terjadi pembentukan.
“Sejak
kapan kau ada disini?” tanyaku acuh tak acuh kemudian berjalan memungut
sampah-sampah berserakan depan rumah untuk di timbang.
“Sejak
kapan kau bersikap acuh, biasanya terlihat agresif?” bingung melihat
perubahanku.
“Nara,
tinggal sedikit lagi...” ucapku mencoba berdiri di depannya.
“Sejak
kapan wajahmu terlihat gimana-gimana gitu?” Wajah Nara terlihat heran dengan
raut wajahku.
“Kau
tidak perlu tahu, kapan saya berubah dan tidak ingin seperti kemarin lagi.”
Jawabku.
“Wow...”
teriakannya.
“Kalau
saya mampu dan tidak bertingkah seperti kemarin, bisa saja lupa...” Ujarku.
“Sejak
kapan kau berubah jadi sedikit melankolis kemudian tiba-tiba kembali terlihat
aneh lagi...” Senyumnya memancar di depan mataku.
“Nara,
apa pun yang terjadi tetaplah kuat dan jangan pernah menyerah dengan keadaan
paling mengerikan sekalipun.” Kalimatku memegang erat jari-jari tangannya.
“Btw,
bicara tidak seperti juga caranya, lepaskan tanganmu.” Gertaknya.
Inilah
karakter seorang Menara, selalu saja membuat perbedaan di antara siapapun juga.
Tuhan, apakah aku salah kalau menginginkan gadis seperti ini? Rasa sayang luar
biasa tumbuh dan tidak ingin melepaskannya apa pun yang terjadi. Sekalipun saya
menyadari tentang perjalanannya saat ini dan akan menjadi seperti apa dirinya
ke depan.
“Dari
tadi kau mengatakan sedikit lagi, itu berarti persiapkan diri saja ke hal
terbaru dalam di depan matamu.” Pandangan matanya sangat tajam seperti biasanya
disaat menjelaskan tantangan berikut.
“Kalau
boleh saya bertanya, arti dari namamu...” pertanyaanku.
“Kau
tidak usah mengalihkan pertanyaan, bosss.” Ucapannya menarik tanganku.
“Sebenarnya
kita mau kemana?” pikiranku mencurigai sesuatu...
“Kau
lihat orang gila yang ada di pinggir jalan sana?” jari telunjuk Nara mengarah
pada seseorang dengan berpakaian sangat kotor.
“Apa
maumu?” teriakanku berusaha melepaskan tangan.
“Hahahahahahhaha...belum
apa-apa sudah ketakutan duluan.” Tawanya meledak.
“Nara...”
Kali ini sayalah yang balik menggertaknya.
“Biasanya
film-film yang kau mainkan melankolis sekali, ternyata aslinya keluar...”
sindiran halus keluar.
“Apa
maumu?” gertakku sekali lagi.
“Mauku,
kau memelihara beberapa orang gila yang bersebaran di sekitar jalan ini dan
rawat mereka dengan penuh kasih sayang. Bersihkan seluruh tubuh mereka dan beri
makan.” Jawabannya.
“Kau
sadar tidak, mereka itu tidak waras dan bisa saja membunuhku...” kekesalanku
sangat terlihat jelas.
“Itu
penderitaanmu bosssssssssssss....” Jawaban paling mengerikan.
Satu-satunya
kalimat paling mengerikan dari mulutnya bermain... Awalnya perasaan marah
muncul untuk beberapa saat, namun secara tiba-tiba pernyataan yang pernah di
ucapkannya membuatku tersadar akan sesuatu hal. Belajarlah mengenal arti hidup,
itulah kata-katanya mendorongku kembali untuk melakukan tantangan terbaru.
Belajarlah merendahkan hati di tempat tersembunyi ucapan tersebut terus
terngiang dalam benakku sampai kapanpun.
“Saya
tidak akan menyakitimu.” Kalimatku berusaha setenang mungkin menghadapi orang gila
di depanku saat ini. Awalnya benar-benar penuh perjuangan untuk membawanya ke
rumah dan membersihkan seluruh tubuhnya.Kakiku sedikit terluka terkena pecahan
beling, saat berhadapan dengan orang tersebut. Membersihkan seluruh tubuh dan
rambutnya, benar-benar penuh perjuangan luar biasa.
“Rambutmu
sangat kotor dan bau, perlu diberi sampo biar wangi.” Ucapanku memberi sampo
banyak-banyak kalau bisa sih sebotol hanya untuk rambutnya.
“Beruntung
saja, kamu ini seorang pria seandainya perempuan gimana caraku untuk memandikan
dirimu.” Keningku berkerut sambil menggosok-gosok rambutnya biar bersih secara
berulang kali.
Inilah
yang kulakukan pada perjalanan serta tantangan baru dari seorang Nara. Di saat
tertentu, perutku kesakitan karena tertawa terus memperhatikan tingkah laku
pria tersebut. Terkadang rasa khawatir dan takut membayangi diriku disaat
memejamkan mata, kenapa? Karena pria tersebut dalam keadaan tidak waras, bisa
saja sebuah pisau ditancapkan pada perutku secara tiba-tiba saat sedang tertidur.
Setiap harinya, saya selalu berdoa memohon perlindungan dan jangan sampai mati
sia-sia di tempat kumuh ini. Orang tuaku tinggal di luar negeri dan menjadi
warga negara di sana, jadi mereka tidak tahu tentang kehidupan anaknya
sekarang.
Mengumpulkan
beberapa orang gila dan menjadi sahabat buat mereka, merupakan salah satu pembelajaran
dalam duniku saat ini.Belajar untuk memahami, mengapa kehidupan seperti ini
terkadang terjadi dalam perjalanan seseorang. Di saat tekanan luar biasa
datang, ada saat seseorang tidak mampu untuk bercerita hingga pada akhir cerita
pikirannya menjadi hilang kendali serta berbagai hal bermain.
“Nara,
tolong cepat kemari sangat penting.” Ucapanku melalui telpon genggam. Sekitar
30 menit kemudian, dia akhirnya berada di rumah kecil yang telah kutempati
setahun lebih....
“Aku
ingin, kamu memandikan gadis malang ini.” Ucapku.
“Memangnya,
kenapa kalau kau yang memandikannya...” gertakannya.
“Nara,
coba pikir dia itu seorang perempuan berbeda jenis kelamin dengan saya, gimana
sih.”
“Benar-benar
mengganggu saja.” Ucapannya. Kakinya melangkah pada gadis tersebut, berusaha
untuk bersikap setenang mungkin...Membersihkan tubuh gadis malang ini, tanpa
memperlihatkan wajah kesal sedikitpun.
“Siapa
namamu?” pertanyaan Nara setelah memandikan dan memakaikan pakaian bersih pada
gadis malang itu.
“Memangnya
siapa namaku?” tingkah laku gadis tersebut benar-benar panik untuk berusaha
mengingat siapa namanya. Hidup dalam keadaan tidak waras dan berada di jalan,
itulah perjalanan gadis tersebut.
“Kalau
begitu saya akan memberi nama untukmu.” Kehangatan terpancar dari wajah gadis
mungil...
“Namamu
Nefrit artinya batu berharga dan paling mahal di tengah taman eden Tuhan. Artinya
kau adalah seseorang paling mahal dan terlalu berharga yang akan memancar di
hati Tuhan dan dimanapun duniamu berpijak.” Kata-katanya tersenyum.
“Wow...”
godaanku memandang mendengar arti dari nama tersebut. Gadis remaja hidup seakan
tidak mengenal arah kehidupan ditengah pahitnya dunia. Menurut cerita dari
beberapa orang bahwa dia merupakan salah satu korban pemerkosaan oleh orang tua
kandungnya sendiri.Pada akhir hidup gadis tersebut, menjadikan dia terus hidup
di jalan dan tidak mengenal arah tujuan. Menjadi gila oleh karena sebuah
peristiwa di masa lalu, akar kekecewaan secara luar biasa berperan aktif untuk
langkahnya.
“Namamu
Nefrit...” ucapan Nara sekali lagi.
“Gadis
mungil, terimah kasih atas bantuanmu.” Ujarku sambil berusaha memperbaiki beberapa
helaian rambut panjang pada wajahnya.
“Kenapa
tanganmu terus saja menjalar seperti ini.” Berusaha menghindar, seperti biasa
suara jutek Nara kembali lagi...
“Saya
tidak akan berbuat macam-macam, hanya memperbaiki rambut panjangmu semata-mata
biar kau bisa melihat dengan jelas.” Tanganku terus saja bermain pada helaian
rambut gadis mungil di depanku.
“Jangan
macam-macam.” Teriakan Nara kembali...
“Tenang
saja...” senyumanku. Terimah kasih Tuhan, karena telah mempertemukanku dengan
dia membuatku mengenal sebuah kata. Belajar, belajar, belajar, belajar, belajar
hingga pada akhir nafas akan selalu memahami kata tersebut.
“Gadis
mungil, terimah kasih karena telah mengajarkanku banyak hal.” Ucapku.
“Bunda
ingin aku menjadi sebuah menara suatu hari kelak untuk memberikan kekuatan
sinar di tengah dunia. Itulah sebabnya mengapa bunda memberiku nama tersebut.”
Kalimatnya menjawab pertanyaanku beberapa waktu lalu secara tiba-tiba. Gadis
mungil dengan sesuatu tidak terduga dalam perjalanannya. Dia tidak pernah tahu,
kalau saya menguping pembicaraannya dengan kedua pejabat tersebut. Saya tahu
apa yang sedang dilakukan olehnya di sebuah rumah dengan berbagai rahasia
misterius di dalamnya.
BAGIAN
SEPULUH...
MENARA...
Ternyata
Reynand tidaklah sama seperti kemarin, benar-benar berubah. Saya mulai menyukai
apapun dalam dirinya, dimulai saat dia tersenyum, tertawa, berbicara, dan
banyak lagi. Untuk pertama kali dalam hidup Nara, menyukai seseorang...
“Bunda,
apakah cowok cakep itu rata-rata tidak setia atau gimana?” pertanyaanku
terhadap bunda malalui saluran telpon.
“Kebanyakan
tidak setia, tapi tidak semua Nara.” Jawaban bunda.
“Nara,
jangan pernah lupa untuk berada di gereja dan berdoa. Ngerti.” Tegur bunda.
“Iya
bunda.” Jawabanku kembali. Seperti biasa bunda terus saja menegur anaknya untuk
terus mengingat Tuhan setiap saat.Sudah sekian lama terpisah dari ayah, bunda,
dan satu-satunya kurcaci di keluargaku sekarang telah tumbuh besar.
Bunda
tidak pernah tahu perjalanan misterius tentang anaknya. Biarlah waktu akan
membuatku secepatnya keluar dari dunia seperti ini. Sepasang bola mataku
mengarah pada beberapa pesan masuk melalui email.
“Apa
maksud dari pesan ini?” sama sekali tidak memahami hal tersebut.
Mencoba
meneliti serta mencari tahu, akan beberapa pesan melalui email. Mencari jawaban
dan teka-teki pengirim tersebut. Sepertinya ada beberapa negara mengetahui
dengan pasti akan...
“Paman,
coba perhartikan pesan ini.” Perintahku memberikan selembar kertas.
“Pesan
apa?” pertanyaan paman Hartono mengambil kertas itu.
“Beberapa
hari yang lalu, ada pesan melalui email, makanya saya print dan yang menjadi
pertanyaan dari mana mereka tahu tentang kita?” mimik wajahku sangat serius.
“Nara,
beberapa negara sepertinya mencurigai sesuatu hal di Indonesia.” Ucap paman
Hartono.
“Mencurigai
seperti apa?”
“Jangan-jangan
pengirim pesan ini menginginkan kamu untuk berada di negaranya serta memberikan
pikiranmu di sana.” Paman Hartono mencurigai...
“Mana
mungkin paman, tidak seorangpun mengetahui semua ini. Dapat dipastikan saya
tidak pernah menampakkan diri ataupun bercerita pada siapapun terlebih negara
luar. Astaga...” kata-kataku tidak pernah menyangka.
“Nara,
beberapa negara merasa ada sesuatu dari Indonesia sedang terjadi. Maka dari
itu, beberapa tokoh-tokoh penting di beberapa negara mencoba memancing dengan
membuat sebuah penyataan dan pertanyaan.” Ungkap paman Hartono.
“Saya
tidak mengerti maksud paman.”
“Secara
kasat mata, Indonesia terbungkus oleh kerusuhan dimana-mana, bencana alam untuk
beberapa wilayah, krisis moneter, hutang, korupsi, dan lain sebagainya. Hanya
saja, mengapa negara ini masih bertahan menjadi sebuah negara?” ucapannya.
“Memangnya
hubungan dengan Nara dimana?” Mimik wajahku terlihat serius.
“Permasalahannya,
beberapa tahun belakangan ini seakan ada sesuatu yang ganjil di negara ini dan
tersembunyi luar biasa oleh siapapun. Pada dasarnya, negara-negara luar
menyimpulkan tinggal sedikit waktu lagi hanya menunggu hitungan Indonesia dapat
terpecah ataupun tidak membentuk negara.” Ujarnya.
“Waktu
yang dinantikan tidak kunjung terlihat dan seakan ada sesuatu mengganjal dari
negara ini. Kemungkinan besar beberapa dari tokoh-tokoh penting di lapisan
dunia mencoba untuk mencari tahu, apa yang sedang terjadi melalui beberapa
sistem tanpa seorangpun tahu hal tersebut.” Lanjutan penjelasan paman Nara.
“Saya
semakin tidak mengerti paman.”
“Mereka
heran dengan beberapa hal dari dunia pemerintahan Indonesia. Kemungkinan mereka
menyelidiki kamu sepenuhnya tentang sesuatu yang ganjil tersebut.” Kalimat
paman Hartono.
“Maksudnya?”
“Selama
ini kami berjalan dan berusaha untuk melakukan sesuatu hal demi perbaikan
Indonesia melalui arahan serta petunjuk-petunjuk darimu. Percaya tidak percaya,
hal tersebut bisa saja terjadi terlebih kemajuan teknologi pada beberapa
negara-negara besar.” Ungkapannya.
“Nara
tidak pernah bercerita tentang apa pun termasuk pada bunda, ini tidak mungkin
terjadi paman.”
“Nara
ingat mengapa paman mencarimu? Karena sebuah mimpi. Dalam mimpi tersebut, suara
itu terdengar jelas bahwa ada begitu banyak negara yang ingin memperebutkan
dirimu. Kesimpulannya mereka mencari tahu siapa dirimu. Seluruh masyarakat
belum menyadari bahkan pejabat-pejabat diatas, hanya saja, beberapa orang-orang
tertentu mulai menaruh curiga terhadapmu.” Penjelasannya.
“Seandainya,
itu benar terjadi dan diperhadapkan 2 pilihan...Nara akan memilih mana?”
pertanyaan paman Hartono mencari jawaban.
“2
pilihan bagaimana paman?”
“Andai
kata diperhadapkan, antara Indonesia dan negara yang ingin mengambilmu suatu
hari kelak maka tentunya Nara akan memilih mana?” Pertanyaan paman.
“Semua
ini belum tentu betul, hingga saat ini saya sendiri terkadang ragu bahkan tidak
mempercayai mimpi paman.”
“Percaya
tidak percaya terserah kamu, intinya jawab pertanyaanku sekarang, memilih
mana?”
“Paman,
andai kata saya diperhadapkan antara mempertahankan iman namun, tidak akan
pernah menjadi salah satu tokoh untuk memperlihatkan pemikiranku di Indonesia
atau sebaliknya keluar dari imanku untuk
menjadi salah satu tokoh terpenting negara ini...” ucapanku seakan...
“Saya
tidak sedang bercerita tentang iman Nara sekarang ini, melainkan tentang akan
memilih Indonesia atau negara luar...”
“Jujur,
saya lebih memilih Indonesia untuk bertahan seandainya tidak ada penolakan serta
pemaksaan untuk mengikuti agama/ iman
kepercayaan terbanyak di negara ini. Sejak kecil, bunda mengajarkanku tentang
arti iman dan cara berdoa kepada Tuhan. Saya senang berada dalam gereja dan
merasakan warna-warna hidup dariNYA. Sekalipun mereka semua berkata, saya
merupakan seseorang dengan tingkat fanatik paling tinggi, tidak menjadi
masalah. Tentang iman, sejak awal bertemu dengan paman, saya katakan semua
bersifat pribadi masing-masing dan jangan memaksakan.” Penjelasanku kembali.
“Nara,
kalau seandainya semua rakyat inginkan dirimu meninggalkan imanmu, namun di
negara sana mau menerima apa pun imanmu, hal tersebut merupakan hakmu bukan
siapa-siapa. Nara akan memilih mana?” pertanyaan paman kembali.
“Pada
dasarnya, saya akan tetap mempertahankan imanku sekalipun harus menjadi orang
biasa dan tidak akan pernah dilihat oleh siapapun juga. berbicara agama serta
iman kepercayaan, segalanya bersifat pribadi masing-masing. Lagian, bukan mau
Nara untuk berada di tempat ini.” Penjelasanku.
“Kalaupun
ada negara yang mau menghormati dan tidak memaksa tentang sebuah agama,
pastinya, Nara lebih memilih untuk bekerja pada negara tersebut dibandingkan
Indonesia. Sekarang paman bertanya saya memilih mana, tergantung keadaan di
depan mata.” Tambahanku lagi.
“Sebenarnya,
ini hanyalah kesalah pahaman ataupun terdapat beberapa kelompok tertentu
memainkan situasi dengan memakai agama/ iman kepercayaan sebagai bahan jebakan
ataupun alat tertentu.” Kata-kata paman Hartono.
“Tergantung
paman...saya tidak ingin banyak bercerita tentang apa pun karena ini terlalu
sensitiv.” Ujarku.
“Bukkkkk....”
sebuah suara tiba-tiba terdengar. Ada seseorang dengan kesengajaan menguping
pembicaraan kami. Mencari siapa yang berada di luar sana dan mataku terkejut
oleh sosok wajah yang sedang berlari dan tidak lain adalah Reynand...
“Reynand...”
Teriakanku mengejar dirinya.
“Nara,
siapa dia?” Teriakan paman juga.
“Teman
Nara...” kakiku terus mengejarnya sekalipun di tengah hujan deras secara
tiba-tiba datang hadir untuk membasahi bumi tempatku berpijak. Menutupi sebuah
kenyataan dari dia, apakah ini keinginan hatiku. Berusaha mengejar dan mencoba
bercerita tentang sebuah rahasia...
REYNAND...
Secara
tidak sengaja, saya kembali menguping pembicaraan Nara dan salah satu dari
pejabat tersebut. Dan sebuah pot bunga terjatuh di depan rumahnya, hingga saya
ketahuan dan segera berlari...namun, gadis mungil mengejar di bawah derasnya
air hujan serta guntur begitu keras selalu saja bermain.
“Reynand
berhenti...” teriakannya mengejarku.
“Kenapa
saya harus mempersalahkan dia, pada hal letak kesalahan ada pada diriku karena
menguping pembicaraan mereka.” Batinku di dasar hati, namun, kakiku terus
berlari dan tidak ingin berhenti demi mendengar penjelasan apa pun. Memasuki
rumah dan segera mungkin menguncinya dari dalam, tanpa harus berada di depan
Nara. Beruntungnya, nefrit dan lainnya sudah pada tidur sehingga tidak membuat
kegaduhan. Mengambil beberapa orang gila di jalan dan membawanya pulang ke
rumah serta menjadi obat buat mereka. Awalnya penuh perjuangan, namun, pada
akhirnya mereka sudah bisa untuk dijinakkan sama seperti binatang liar. Inilah
perjalananku saat ini...
“Reynand,
buka pintunya.” Nara terus mengetuk pintu tersebut.
“Tidak
ada yang perlu diucapkan, pulang saja ke rumahmu sekarang. Saya meminta maaf
karena telah menguping pembicaraan kalian.” Teriakanku di balik pintu.
“Tolong
buka pintunya...” kalimat Nara terus memohon, namun tidak kuindahkan. Setelah
beberapa jam, terus berdiri di balik pintu, aku berpikir dia sudah tidak lagi
berada di depan rumahku ternyata aku salah karena tidak mendengar suaranya.
Tanganku mencoba membuka pintu rumahku dan terlihat...
“Nara...”
teriakanku melihatnya tergeletak di depan pintu di tengah hujan deras dan
seluruh bajunya basah. Gadis mungil di depanku tidak sadarkan diri dan dalam
keadaan pingsan. Suhu tubuh Nara sangat tinggi...
“Maafkan
aku, ini semua salahku membuatmu berlari di tengah derasnya hujan serta
membiarkanmu kedinginan depan rumahku, membiarkanmu tidak sadarkan diri...”
tanpa terasa setetes air mataku terjatuh juga. Apakah saya terlalu cengeng
untuk hal seperti ini?
Mengompresnya
dengan sebuah handuk dan terus berjaga semalaman di samping Nara. Membayangkan
saat berada di hadapan dia. Mengikuti apapun ucapan Nara, dimulai saat berada
di sebuah panti jompo untuk membuat kehangatan. Menjadi seorang cleaning servis
tanpa babyaran sepersenpun. Belajar membersihkan kotoran puu pada beberapa
pasien yang tidak memiliki keluarga di rumah sakit tersebut. Berada dalam
sebuah rumah kecil serta belajar tentang arti hidup lainnya. Dan segala
tantangan terbaru dari Nara, tetap kulakukan.
“Tuhan,
kalau di suruh memilih antara Nara dan lain sebagainya? Saya akan memilih untuk
dia yang mengajarkanku berbagai hal. Apakah aku salah untuk mempertahankannya?
Pertanyaanku kembali.
“Di
satu sisi, Nara harus menjalani sebuah perjalanan serta berada di titik
tertentu untuk negara ini. Namun, dilain hal, saya tidak ingin kehilangan dia
apa pun yang terjadi. Kalau, seandainya suatu hari kelak Nara benar-benar
menjadi salah satu bagian terpenting untuk negara ini ataupun di luar, pasti
dia akan pergi dan tidak mau melihatku.” Ucapku membelai rambutnya.
“Maafkan
saya terlalu egois, lebih parah lagi menguping pembicaraan kalian.” Ujarku
kembali.
“Reynand...Reynand...Reynand...buka
pintunya.” Gadis mungil mengigau terus menerus.
“Nara,
tenanglah...” ucapku sangat panik.
“Buka
pintunya...” kata-katanya lagi sekian kalinya saat mengigau. Sebuah suara
gedoran pintu mengagetkanku, ternyata Nefrit membuka pintu tersebut.
“Dimana
Nara?” Suara yang tidak asing kudengar, dan ternyata bapak Hartono hingga
membuat Nefrit ketakutan.
“Nefrit...”
berusaha menenangkannya, sementara yang lainpun terbangun oleh karena suara
nyaring kedua pejabat tersebut.
“Nara
ada dimana?” amarah pak Hartono tidak terkendali.
“Saya
harap bapak tidak berteriak, Nara sedang sakit dan harus beristirahat..”
jawabanku.
“Kau
apakan Nara hingga berada di tempat seperti ini? Awas kalau terjadi sesuatu
terhadap Nara, maka...” ucapannya.
“Bapaklah
yang seharusnya bertanggung jawab, secara diam-diam menyembunyikan Nara.”
Amarahku meledek pula.
“Kau...”
Teriakan pak Hartono.
“Ini
hanyalah kesalah pahaman.” Tegur pak Raharjo berada di tengah-tengah. Mencoba
untuk menahan emosi sebisaku. Bapak Raharjo berusaha menenangkan keadaan kami
saat ini. Memohon agar mereka tidak membawa gadis mungil malam ini,
membiarkanku untuk merawatnya sekalipun hanya semalam.
“Suhu
tubuh Nara sangat tinggi, dia harus segera dilarikan ke rumah sakit.” Ujar pak
Hartono.
“Kami
harus membawa Nara malam ini, maafkan kami.” Permohonan maaf pak Raharjo
pejabat tersebut. Suara hatiku bertanya-tanya, apakah ini terakhir kali aku
akan melihat wajahnya? Situasi seperti ini, tidak memungkinkan Nara harus
berdekatan dengan siapapun juga. Nara harus melakukan berbagai hal pada satu
area, dan tidak boleh merusak dunianya sekarang. Itulah dalam benak kedua
pejabat tersebut.
Andai
kata, tidak pernah mengenal dia tentu hatiku tidak akan sesakit ini.Rasanya,
begitu menyaktikan melihat Nara harus dibawah pergi oleh kedua pejabat itu.”
Ujarku menunduk. Semenjak kejadian malam itu, saya tidak pernah melihat Nara
berada di depan rumahnya bahkan berusaha untuk mendatangi rumahku. Andai kata
pada saat itu, saya tidak berlari dan membiarkan dia menjelaskan sesuatu tentu
Nara masih ada di depanku saat ini.
“Reynand,
kemana saja kau selama ini.” Gertak Deynis dari tiba-tiba di depanku.
Menghilang dari dunia hiburan dan mengikuti tantangan gadis mungil bernama
Nara. Seorangpun tidak menyadari siapa saya selama ini, semua orang berpikir
kalau saya sedang berada di luar negeri melanjutkan studi.
“Tidak
mungkin Reynand yang kukenal memiliki kehidupan seperti ini, saya pikir...”
teriakannya tidak percaya.
“Memangnya
kenapa kalau saya mengalami kehidupan seperti ini? Ada yang salah? Berhenti
berbicara tentang apa pun juga.” kalimatku.
“Kau
bisa kembali menjadi artis lagi, ada begitu banyak fensmu sedang menantikan
kehadiranmu.” Ujarnya.
“Saya
ingin berhenti dari dunia hiburan. Ini keputusanku.” Ujarku kembali. Saya baru
menyadari tujuanku ke Indonesia setelah mengalami kejadian seperti ini. Reynand
Goldy merupakan putra tunggal pengusaha terkenal di luar negeri Goldy company.
Lahir dan dibesarkan di luar negeri. Papiku merupakan berdarah Portugal,
Prancis, Inggris, Spanyol, dan Australia, sedangkan mami asli Indonesia.
Beberapa
tahun lalu, saya mendapat mimpi untuk segera ke Indonesia saat keluarga kami
berlibur ke New York. Dalam mimpi tersebut, seseorang menyuruh saya membuat
sebuah petualangan di Indonesia. Hingga suatu ketika, saya akan dipertemukan
oleh seorang gadis mungil dan apa pun diperintahkannya harus saya lakukan.
Mimpi tersebut terus saja menghantui pikiranku, hingga akhir cerita saya
mengambil keputusan melakukan petualangan di Indonesia. Karena mempunyai wajah
cukup sempurna, akhir cerita saya ditawari untuk menjadi seorang artis dengan
menyembunyikan identitas keluargaku. Hanya Deynis sahabat sekaligus managerku
mengetahui identitas asliku. Beruntung mami mengajarkanku bahasa Indonesia
sejak kecil, hingga saya tetap fasih menggunakan bahasa tersebut.
Singkat
cerita, seiring berjalannya waktu, saya lupa akan mimpi tersebut oleh karena
telah berada di dunia hiburan tanah air. Setelah mengalami peristiwa tersebut
dan tidak pernah melihat Nara lagi, tiba-tiba ingatan akan mimpi tersebut
kembali bermain dalam hidupku. Berusaha mencari tahu keberadaan Nara serta apa
yang sedang dikerjakannya, namun, tidak membuahkan hasil. Satu-satunya jalan
berusaha menemui kedua pejabat tersebut berulang kali, hingga mereka mau
berterus terang.
“Tolong
beri tahu saya di mana Nara berada?” ucapku bersujud ke sekian kalinya di
hadapan ke dua pejabat tersebut.
“Kau
tidak bisa menemui Nara, karena perjalanan di dirinya berlawanan arah dengan
duniamu.” Kalimat pak Hartono.
“Nara
harus melakukan berbagai hal, sedangkan kau berlawanan dengannya. Kami tahu
betul siapa dirimu merupakan salah satu artis terkenal berdarah blaster.”
Kalimatnya lagi.
“Saya
menyukai Nara sejak pertama kali melihatnya. Menyuruhku melakukan berbagai hal
dan untuk pertama kali saya jujur akan identitas keluargaku di hadapan gadis
tersebut. Hingga akhir cerita, mengajarkanku arti kehidupan.” Kata-kataku
dengan wajah menunduk.
Hati
kedua pejabat tersebut akhirnya luluh melihat karakterku tidak menyerah untuk
mencari tahu keberadaan Nara. Mereka berdua menjelaskan, kalau Nara sedang
melanjutkan kuliahnya di luar negeri sekaligus menyembunyikan identitas gadis
mungil itu yang sebenarnya. Para pejabat seakan mencium sesuatu hal, demi
keselamatan juga masa depannya, Nara harus berada di luar negeri.Mempersiapkan
penerbangan menuju Jerman,dan mencari Nara di negara tersebut. Menyuruh Deynis
merawat Nefrit dan beberapa orang gila yang saya pungut di jalan serta masih
dalam pemulihan. Di antara mereka, sudah kembali sadar termasuk Nefrit
sekalipun masih bertahap, dan dapat melakukan aktifitas sehari-hari. Nefrit
kembali bersekolah serta belajar melupakan masa lalu kelam. Terlihat lebih
ceria saat berhadapan dengan siapapun tanpa rasa ketakutan sedikitpun.
MENARA...
Terakhir
kali mengingat kenangan bersama dia. Tuhan, andai kata saya menjelaskan
keadaanku sebenarnya pada Reynand, tentu permasalahan seperti ini tidak akan
terjadi. Tuhan,pertemukan saya dengan dia walaupun hanya sekali. Tuntutan
kuliah membuatku berada di negara ini, selain hal tersebut oleh karena
menghindari kecurigaan para pejabat.
Menjalani
hari-hariku tanpa bunda, ayah, kurcaci kecil dalam keluargaku, paman Hatono,
paman Raharjo, Reynand di negara ini. Mengejar mimpi sekaligus bersembunyi
menghindari kecurigaan para pejabat mengenai hidupku.Banyak hal terjadi, semua
ini bersifat misteri...diawali mimpi paman Hartono tentang diriku, melakukan
berbagai hal di sebuah ruang bawah tanah dari rumah kecil sederhana jauh dari
penduduk. Berhadapan dengan Reynand disertai berbagai hal dari duninya.
“Tuhan,
pertemukan saya dengan dia walaupun hanya sekali.” Isi hatiku menggema dalam
sebuah gereja dengan mata terpejam. Membayangkan senyuman manis dari dia.
Mengingat setiap ucapan darinya..
“Nara,
apakah kamu mau menungguku hingga saya berhasil melewati tantangan ini selama
setahun?” teriakannya pada saat itu yang belum pernah kujawab hingga saat ini.
“Nara,
pertanyaanku beberapa waktu lalu belum dijawab olehmu, selama 3 tahun saya
menunggu jawaban darimu.” Suara seseorang di samping saat mataku masih terpejam
dalam gereja.
“Selama
setahun lebih semenjak kejadian malam itu, terus mencari keberadaanmu dan
akhirnya menemukanmu di negara ini.” Ucapnya kembali.
“Tuhan,
apakah doaku saat ini sudah dikabulkan olehMU.” Suara hatiku membuka mataku
secara perlahan-lahan. Melihat dengan jelas siapa di sampingku...
“Setelah
berhasil melewati tantangan darimu, apakah kau mau jadi pacarku?” pertanyaan
Reynand tersenyum ke arahku.
“Tuhan,
apakah ini hanya mimpi atau kenyataan?” ucapku tidak mengedipkan mata
sedikitpun.
“Ini
bukan mimpi dan gadis mungil harus menjawab pertanyaanku sekarang karena saya
berhasil melewati berbagai tantangan darinya.”
“Apakah
saya sedang melihat hantu?” pertanyaanku lagi.
“Gadis
mungil, berhenti berbicara aneh-aneh, mana ada hantu di dalam gereja bossss...”
kalimat Reynand terlihat kesal.
“Jawab
pertanyaanku sekarang. Diam dan tersenyum menandakan ya.” Ucapnya memegang
tangan serta mencolek pipiku menggunakan jari telunjuknya.
“Jangan
macam-macam ini di dalam gereja, sedangkan di luar saja jangan berani-berani
terlebih...” gertakku.
“Berarti
kita berdua resmi menjadi sepasang kekasih, seandainya kau tidak kuliah dan
masalah tentang pak Hartono serta pak Raharjo, pasti...” ujarnya.
“Pasti
apa?”
“Pasti
kita bisa langsung menikah sekarang, hahahahahaha” Tawa Reynand sangat bahagia.
Bersama dengan Reynand, tanpa menjawab pun kami resmi menjadi sepasang kekasih.
“Gadis
mungil, coba katakan saya sayang kamu.” Ucapnya terus memegang tanganku.
“Bagaimana
kabar Nefrit dan lainnya?” mengalihkan pembicaraan.
“Nara...”
Kekesalan Reynand pacar pertama & terakhir.
*******TAMAT*******