Jumat, 15 Juli 2016

INDONESIA DI DUA TITIK 2

BAGIAN PERTAMA...

MENARA...
Melanjutkan sekolahku di Jerman merupakan salah satu tujuan dari paman Harjo sebelum memulai perjalanan sebenarnya di Indonesia suatu hari kelak. Keberadaanku benar-benar tersembunyi secara luar biasa, tanpa seorangpun menyadari sesuatu hal. Tidak seorangpun pejabat boleh menyadari apa yang sedang terjadi termasuk masyarakat Indonesia.
Hal tidak terduga adalah Reynand berada di depanku demi mendapat sebuah jawaban apakah aku mau menjadi pacarnya atau sebaliknya? Seperti bermimpi dia ada di sampingku dalam sebuah gereja. Kami berdua memutuskan untuk berpacaran jarak jauh, di karenakan Reynand harus kembali ke Indonesia. Sementara paman Hartono secara diam-diam mengunjungiku di negara orang sekalian menjenguk istri, anak, dan cucunya.
Mempelajari tentang kondisi Indonesia sekarang ini, membuat duniaku selalu saja menggeleng-gelengkan kepala. Tidak tahu harus berbuat apa dan berjalan kemana? Indonesia diperhadapkan beberapa hal, diantaranya hutang dengan hitungan luar biasa, permasalahan militer jika tidak tertangani dapat berakibat fatal ke depan, teroris dan organisasi-organisasi mengatas namakan suatu agama tertentu. Selain hal tersebut dunia korupsi para pejabat, permainan politik, dan lain sebagainya.
“Tuhan, apa yang harus kulakukan?” suara hatiku bertanya-tanya.
Seandaianya, Tuhan menghendaki seorang Menara benar-benar memasuki Indonesia hal pertama yang harus ditangani di antara segala permasalahan ada dimana? Melangkah dengan sedikit saja dan membuat kesalahan dapat berakibat fatal, kenapa? Dikarenakan pihak tertentu dapat saja menyerang atau memainkan situasi atau hal lain yang akan terjadi. Hal seperti ini bukan permasalahan biasa dan sepele, saat berjalan harus benar-benar memikirkan dampak serta sebab-akibat.
“Paman Hartono, apakah kita bisa bertemu?” ucapanku melalui telpon selular dalam keheningan kamar.
“Paman sepertinya sibuk sekarang ini, jadi tidak memungkinkan ke Jerman.” Jawaban paman Hartono di dalam telpon.
“Usahakan paman datang kesini, bagaimanapun caranya.” Cetusku memaksakan...
“Tapi...” kalimatnya.
“Ini benar-benar penting paman...” gertakan nada  suara menakutkan dariku.
“Baiklah,” suaranya dengan nada keterpaksaan.
“Paman, tolong paman Harjo dan Reynand harus ikut kemari bagaimanapun caranya.” Kalimatku tanpa mau mendengar penjelasan paman Hartono dan langsung mematikan telpon seluler tersebut.
Kamarku penuh dengan buku-buku kampus dan semua artikel tentang Indonesia.aku tidak mengizinkan siapapun memasuki apartementku baik teman-teman kampusku. Kalaupun salah satu dari mereka memaksakan diri ingin menginjak apertementku, maka dengan berbagai alasanpun terlontar dari perbendaharaan mulutku. Atau saat benar-benar tidak menemukan alasan tepat, aku membawa mereka ke apartement milik paman Harjo. Secara kebetulan, paman Harjo mempunyai sebuah apartement yang tak jauh dari kampus tempat kuliahku.
“Nara, ada apa memanggil kami kemari secara bersamaan?” pertanyaan paman Harjo memasuki apartement. Mereka berdua tahu benar kode pasport dari apartementku, kecuali Reynand.
“Oh, kalian sudah datang.” Keterkejutanku.
“Pastilah, sudah tahu kami di depan matamu berarti kami sudah datang bos.” Ujar Reynand.
“Nara, kenapa kau menyuruh Reynand dan paman Harjo harus kemari?” pertanyaan paman Hartono sambil memasukkan seluruh barang-barangnya ke kamar sebelah.
“Kalau Reynand sih, tidak usah dipertanyakan pasti mau melepas rindu, nah yang jadi pertanyaan paman Harjo...” kening mereka berkerut.
“Gadis mungil, pasti kau merindukan saya kan.” Godaan Reynand dengan tersenyum.
“Percaya diri amat.” Gerutuku.
“Lantas apa dong?” seperti biasa sedikit mencolek pipiku.
“Jangan macam-macam.” Gertakku berusaha menghindar.
“Berhenti bermain, sekarang kita makan dulu dan setelahnya mendengar penjelasan Nara tentang maksud serta tujuannya.” Nada suara paman Harjo sambil melangkahkan kakinya menuju dapur untuk mencari makanan. Setelah makan makan malam selesai, dan membereskan semua barang-barang yang mereka bawah, akhirnya saya mulai menjelaskan sesuatu hal. Namun, sebelumnya memastikan tidak seorangpun berada di luar dan mengunci pintu apartement dengan rapat. Beruntunglah ruangan ini kedap suara, jadi tidak seorangpun dapat mendengar pembicaraan kami atau bahkan menggunakan alat teknologi tertentu.
“Paman, keadaan Indonesia sangat parah dan tidak mungkin Nara masuk begitu saja tanpa patner.” Mencoba memulai pembicaraan.
“Maksud Nara bagaimana?” paman Harjo tidak memahami sama sekali.
“Nara kan tahu, kalau ada kami berdua.” Ucap paman Hartono.
“Tidak seperti itu paman, permasalahan disini Indonesia berada di 2 titik dan harus berjalan ke titik mana, sedangkan untuk memperbaiki negara ini tidak semudah membalikkan telapak tangan.” Kata-kataku.
“Nara juga sadar kalau tidak mungkin langsung memimpin dan harus mulai setahap demi setahap memasuki dunia pemerintahan. Hanya saja...” kalimatku terhenti.
“Hanya saja apa Nara?” kening paman Harjo berkerut.
“Nara membutuhkan patner kerja dan persiapan secara matang, dengan kata lain perencanaan luar biasa jauh sebelum memasuki dunia Indonesia.” Jawabanku.
“Itu gampang Nara, tinggal menyuruh banyak orang memasukkan lamaran dengan persyaratan IPK sekian, berasal dari kampus sekian, dan mengikuti tes psikologi, tes wawancara dan tertulis. Gampang kan...” ujar paman Hartono tersenyum.
“Kalau begini ceritanya, tidak usah repot-repot menyuruh kami berada di depanmu merusak rencana kerja kami saja.” Gerutu paman Harjo.
“Nara tidak menginginkan cara seperti ini, seandainya ini perusahaan tidak menjadi masalah hanya saja yang sekarang menjadi objek adalah negara bukan benda.” Nada penekanan terdengar jelas dari diriku.
“Maksud dari ucapanmu gadis mungil, dan apa hubungannya dengan saya...apa maumu dan jangan merencanakan hal-hal aneh.” Reynand mulai menyadari sesuatu hal.
“Tahu saja, kalau ada sesuatu yang kuinginkan darimu.” Godaanku tersenyum lebar.
“Apa maksud Reynand berkata-kata seperti itu?” paman Hartono mulai mencium bau-bau aneh dari kalimatku.
“Jujur, pada saat memasuki Indonesia ke suatu tingkatan tertentu, saya tidak ingin mengenal sebuah istilah paling mengerikan.” Ujarku lagi memainkan beberapa lembar kertas di atas meja.
“Maksudnya?” pertanyaan mereka secara serentak.
“Sebuah istilah dan lazim di kalangan masyrakat, tiba masa tiba akal.” Jawabanku.
“Tiba masa tiba akal.” Renynand mencoba memahami pernyataan tersebut.
“Kalau memang pada dasarnya saya harus ke atas, berarti patner kerja untuk memperbaiki Indonesia tidak boleh sembarangan orang dan hanya berpatokan pada sebuah ijazah dengan IPK 3,90 hingga 4,00 dari kampus-kampus terbaik dunia.” Penjelasanku.
“Apa rencanamu selanjutnya?” pancingan paman Hartono tanpa berkedip sekalipun.
“Saya menginginkan sebuah proses untuk persiapan perbaikan Indonesia dengan cara tersendiri, tanpa diketahui oleh semua orang.” Jawabanku.
“Saya tidak mengerti!” ucapan paman Harjo.
“Bukan berarti ingin menonjolkan ajaran kepercayaanku, dan ingin membuat seluruh masyarakat Indonesia menganut agama yang saya yakini. Sama sekali tidak, kita tetap sama-sama saling menghargai antara satu dengan lainnya dan tidak boleh ada pemaksaan ajaran agama manapun.” Ujarku secara perlahan.
“Jelaskan lebih spesifik, saya tidak mengerti dengan membawa agama dan ajaran, maksudnya apa?” kening paman Harjo terus saja berkerut.
“Pada kitab suci yang saya miliki terdapat sebuah kisah seorang hakim Tuhan bernama Samuel dan diperintahkan untuk pergi secara buta-buta mengurapi salah satu anak Isai menjadi seorang raja suatu hari kelak.” Penjelasanku sedikit berhati-hati.
“Maksud dan tujuanmu bercerita tentang ini, hubungannya di mana coba?” ujar Reynand tidak mengerti.
“Maksudku, saya ingin menyuruh seorang pendeta untuk pergi mencari masing-masing perwakilan dari 34 provinsi di Indonesia yang akan dipersiapkan melalui jalan pembentukan tertentu.” Jawabanku kembali.
“Nara, terus terang saya tidak mengerti tentang ucapanmu dan melibatkan pendeta dalam hal ini beresiko besar. Sadar atau tidak, masyarakat akan berpikir hal-hal buruk sekalipun dalam dirimu tidak bermaksud jahat.” Tegur Reynand.
“Tunggu-tunggu, bagaimana cara pendeta tersebut mencari perwakilan provinsi dan kenapa harus seperti itu?” pertanyaan paman Harjo.
“Nara sadar atau tidak, sedangkan untuk membawa Nara ke dunia seperti ini membutuhkan sebuah perjuangan terlebih 34 orang.” Paman Hartono terlihat stress.
“Indnonesia di ujung tanduk, kalau memang Tuhan menghendaki Nara harus berada di atas berarti patner kerjapun tidak boleh sembarangan orang. Terlalu beresiko, sedangkan berbagai konflik terus saja bermain di negara-negara luar dan sangat berpengaruh untuk berbagai bidang di Indonesia.” Ungkapku.
“Kalau memang kalian ingin melihat Indonesia maju, jangan asal memakai sembarang orang. Indonesia diperhadapkan beberapa hal diantaranya hutang yang terlampau besar, permasalahan militer, memperbaiki pola pikir masyarakat tentang dunia fanatisme yang telah dipergunakan salah oleh pihak-pihak tertentu, seluruh SDA Indonesia dikelola oleh pihak asing, permainan politik dan lain sebagainya. Belum lagi kesalahan-kesalahan program yang telah di buat sejak awal orde baru hingga saat ini hanya saja secara keseluruhan belum diperiksa.” Tambahan penjelasanku.
“Jadi...” kalimat paman Hartono.
“Sedangkan rupiah melemah saja, Indonesia kewalahan terlebih hal-hal seperti ini. Belum lagi bidang-bidang lain pada masing-masing provinsi...jujur, Indonesia harus secepatnya keluar dari akar permasalahan karena beberapa hal dan semua membutuhkan terobosan dimana hanya terdapat pada tokoh-tokoh tertentu. Semua itu tidak mudah untuk dijelaskan terlebih dijalani.” Ungkapanku lagi.
“Permasalahan disini Nara terlalu beresiko.” Paman Harjo mencoba menjelaskan.
“Lebih parah lagi ke depan paman. Kalau ada seorang kandidat dalam pemilihan umum berkata bahwa dirinya dapat memperbaiki Indonesia, itu karena dimatanya hanya menginginkan kursi. Sekalipun mulutnya berbusa untuk menjelaskan program ke depan seandainya terpilih menjadi pemimpin baik dari pusat maupun daerah, semua itu bohong.” Kata-kataku menjelaskan.
“Kenapa bisa kau mengucapkan hal tersebut Nara?” tanya Reynand.
“Perbaikan Indonesia tidak semudah membalikkan telapak tangan seperti yang telah saya ucapkan sebelumnya. Mereka hanya menginginkan sebuah kursi dan uang, tidak lebih. Coba mengerti keadaan saya sekarang.” Kata-kataku kembali.
“Saya tidak mau mengambil resiko besar seperti ini, kalau kalian masih menginginkan untuk seorang Nara bertahan yang berarti...” tambahanku kembali.
“Mengikuti segala yang Nara mau.” Paman Harjo melanjutkan.
“Jadi apa yang akan kau lakukan?” pertanyaan paman Hartono.
“Kau belum menjawab pertanyaanku, kenapa harus ada perwakilan masing-masing provinsi?” pertanyaan paman Harjo kembali.
“Kesalahan Indonesia disini, dimana 99% para pejabat yang memimpin dan mengambil alih bidang-bidang penting hanya berpatokan pada 1 suku saja hingga menyebabkan perpecahan. Rata-rata rakyat Indonesia berpikir kenapa hanya suku A saja yang terus-menerus menjadi pemimpin dan mengambil bagian-bagian terpenting dari negara ini? Hal seperti inilah salah satu penyebab utama.” Kalimatku terpotong untuk berhenti sejenak.
“Lanjutkan Nara.” Ucap paman Harjo.
“Jadi, saya ingin masing-masing provinsi harus ada perwakilan sehingga suatu hari kelak terjadi keseimbangan dan tidak membeda-bedakan. Mereka akan memasuki sebuah pembentukan tanpa disadari oleh masing-masing perwakilan tersebut, bahkan harus tertutup rapat secara luar biasa.” Ujarku.
“Apa yang akan dilakukan oleh pendeta tersebut, bagaimana dia akan tahu bahwa si’A merupakan perwakilan provinsi A dan lain sebagainya.” Pertanyaan paman Harjo lagi.
“Pasti akan menjadi pro dan kontra kelak, namun hanya cara seperti ini yang dapat dilakukan untuk perbaikan Indonesia. Pendeta tersebut akan berdoa dan meminta petunjuk Tuhan, hingga diberikan melalui mimpi atau apalah gitu. Selanjutnya pendeta tersebut berdoa untuk orang itu sesuai pilihan Tuhan dan siap memasuki proses luar biasa sebelum membentuk tingkatan otaknya.” Penjelasanku.
“Maksudmu?” Rasa penasaran Reynand.
“Pendeta tersebut akan mengembara ke seluruh daerah, kemudian mencari seseorang dari masing-masing provinsi untuk membentuk karakternya. Kenapa? Keadaaan di atas membutuhkan tokoh-tokoh dengan mental baja, iman kuat, bijaksana, mampu membuat terobosan tertentu di mana tidak seorangpun dapat mengcopi paste segala hal yang diperbuatnya.” Penjelasanku.
“Pembentukan seperti apa yang kau inginkan?” paman Harjo bertanya.
“Mereka tidak boleh sadar pembentukan tersebut dan tentang persiapan perbaikan Indonesia. Intinya menyuruh pendeta tersebut mengembara dahulu selanjutnya akan saya jelaskan lagi hal selanjutnya.” Jawabanku.
“Kami mau Nara menjelaskan sekarang, pembentukan seperti apa?” tutur Reynand.
“Pembentukan sama seperti yang kuperbuat terhadapmu, hanya saja mereka tidak pernah sadar tentang hal tersebut. Dimulai dari mengajarkan mereka kehidupan seperti menjadi petani, pembantu rumah tangga tanpa gaji satu sen pun, memelihara ternak, kuli bangunan, penjual ikan, memelihara beberapa anak yatim piatu, dan lain sebagainya.” Ucapanku menatap tajam Reynand.
“Satu lagi, saya ingin generasi muda untuk membuktikan di dalam dunia mereka terdapat sebuah kekuatan. Bukan berarti paruh bayah tidak terpakai, hanya saja saya punya banyak pertimbangan tertentu.” Kalimatku lagi.
“Kami akan ikuti apa maunya Nara, hanya saja jangan pernah mundur dalam kondisi apa pun juga.” ujar paman Harjo lagi.
“Pasti paman” senyumanku terpampang di hadapan mereka. Tidak ada maksud tertentu atas apa yang kulakukan, Tuhan tahu hati dan perasaanku saat ini. Tidak mungkin, seorang Nara ingin membuat sesuatu hal mengerikan di negara Indonesia.
BAGIAN DUA...

REYNAND...
Saya tidak mengerti dengan jalan pikiran Nara untuk sekarang ini. Secara tiba-tiba menyuruh paman Harjo dan Hartono, termasuk diriku harus secepat mungkin berada di hadapan dia. Berlanjut, hingga paman Hartono dan Harjo mencari jalan serta membuat berbagai alasan meminta cuti tiba-tiba tanpa adanya kecurigaan pihak manapun. Saya pun harus meninggalkan rutinitas pekerjaan demi memenuhi permintaan gadis mungil tersebut. Nara menjelaskan sebuah perencanaan paling mengerikan dan benar-benar beresiko. Hubungan denganku ada dimana, logika pikiranku berbicara jika semua ini sama sekali tidak berhubungan denganku. Saya hanyalah pacar seseorang yang sedang memainkan peran untuk Indonesia, tapi tidak ingin masuk mencampuri apa pun pekerjaaannya.
Nara meminta bantuan dengan berbagai ancaman terhadapku di luar dugaan. Hubungan kami tidak dapat dilanjutkan segala dan lain sebagainya, jika, saya tidak mau terlibat serta membantu apa pun diperintahkan. Menyuruh menghubungi seorang pendeta, yang benar-benar tekun berdoa bahkan jangan abal-abal menurut pemikirannya. Logika pikiranku berjalan, apakah memang ada pendeta abal-abal di dunia ini? Kalimat Nara hanya berkata, bahwa jangan asal mempercayai pendeta dikarenakan sebagian dari mereka selalu memakai topeng kesucian. Jadi, kesimpulan dimana saya harus mencari seorang pendeta yang benar-benar takut Tuhan, tekun berdoa, tegas, mempunyai karakter berbeda dari siapapun di Indonesia.
Saya ini besar di luar dan baru saja menginjakkan kaki disini. Kenapa saya ingin tetap tinggal di Indonesia? Karena tidak menutup kemungkinan Nara tidak akan meninggalkan negara ini oleh karena sesuatu hal. Pada dasarnya, saya terlihat cukup lama hanya saja, ada begitu banyak hal dari negara ini yang belum kusadari. Jadi, untuk mengikuti apa maunya membutuhkan pergumulan luar biasa. Namun, dengan keterpaksaan harus diikuti, kenapa? Karena seorang Reynand sangat takut diputuskan oleh gadis bernama Menara.
“Kau harus mencari pendeta yang dapat melakukan petualangan ke seluruh Indonesia dengan membawa sebotol minyak urapan.” Kalimat Nara terhadapku. Saat itu hanya tinggal kami berdua di apartementnya karena paman Harjo dan Hartono balik duluan ke Indonesia.
“Kenapa bukan paman Harjo atau paman Hartono sih yang melakukan pekerjaan ini? Pertanyaanku.
“Coba pikir dengan logika, memangnya mereka pernah menginjak gereja?”
“Resikonya terlalu berat, saya ini tidak mengenal mana pendeta yang bisa diandalkan dan mana tidak bisa di andalkan.” Gerutuku.
“Itu akar permasalahanmu” ucapan paling cuek seolah tidak perduli apa pun.
“Nara, apa sih yang ada dalam pikiranmu?” tanyaku.
“Andai kata disuruh memilih, saya juga tidak menginginkan jalan seperti ini dan lebih berpikir menjadi orang biasa. Tapi, karena keadaan hingga mengakibatkan saya harus bertahan untuk beberapa saat.” Kata-kata Nara terlihat seakan ingin menjatuhkan sebulir kristal dari kedua bola matanya.
“Maaf karena...” permohonan maafku dengan wajah tertunduk.
“Tidak mungkin saya asal mengambil orang suatu hari kelak, karena Indonesia bukanlah sebuah perusahaan ataupun benda. Berbicara tentang Indonesia berarti mengarah pada sebuah kata yaitu negara bukan perusahaan.” Ucapnya.
“Indonesia menghadapi banyak permasalahan dan tidak mungkin dapat diselesaikan oleh sembarangan orang. Andai kata yang ada di depan mata hanyalah sebuah perusahaan, pastinya saya hanya mengikuti ucapan paman dengan menyuruh banyak orang memasukkan lamaran yang memenuhi persyaratan IPK dari kampus-kampus terbaik dan lain sebagainya.” Kalimatnya lagi.
“Kenapa kau tidak berpikiran pada orang-orang dengan IPK tinggi, IQ paling diatas rata-rata, lulusan dari kampus-kampus terbaik bahwa mereka adalah yang terbaik?” pertanyaanku.
“Seseorang dengan IPK tertinggi belum tentu dapat membuat sesuatu hal luar biasa hingga mencengangkan semua mata. Apa gunanya IQ dan IPK tinggi, jika saat berjalan mereka hanya menggunakan kesombongannya karena mempunyai kejeniusan luar biasa. Terkadang, mereka tidak tahu harus berjalan kemana, tidak dapat disangkal jika untuk beberapa saat semua terlihat wow...saat menyelesaikan sebuah pekerjaan, namun, terkadang jika menyadari pembentukan mereka kaget melihat kursi, harta, dan keegoisan lebih berkuasa di dalam perjalanannya.” Penjelasan Nara lagi.
“Orang-orang jenius di Indonesia banyak dengan lulusan beberapa kampus terbaik. Kalau hanya melihat kejeniusan luar biasa, saya tinggal mengikuti saran paman. Mengumpulkan orang-orang jenius dan memiliki IPK tinggi/IQ tinggi, kemudian melakukan tes tertulis juga wawancara. Setelahnya tes psikologi. Selesaikan!” tambahannya lagi.
“Jadi, Nara ingin yang seperti apa?” tanyaku.
“Saya menginginkan sesuatu perbedaan dan tidak dapat dimiliki oleh siapapun juga, mental/ fisik seperti baja namun terdapat hal dimana pandangan mataku tidak dapat berkedip sedikitpun, karakter tersendiri tanpa harus menjadi orang lain. Kemampuan dalam dirinya bukan pasaran dan hanya dia yang memiliki skil tersebut, tidak dapat difoto kopi oleh siapapun juga serta bagaimanapun caranya.” Jawaban Nara yang tidak kumengerti sama sekali.
“Tuhan, kemungkinan besar saya membutuhkan waktu memahami pernyataan gadis mungil di depanku saat ini.” Bisikan hatiku menggema memandangi kedua bola matanya.
“Tapi, saya tidak katakan kalau seseorang tidak perlu bersusah-susah belajar demi mendapat nilai terbaik. Persepsi seperti inipun salah, pembicaraan harus sesuai dengan tempat juga.” ujar Nara kembali.
Pemikiran dan prinsip Nara berbeda dari siapapun juga, terlalu sulit diselami untuk waktu-waktu tertentu. Ada saat, dimana dirinya akan membuat semua disekelilingnya tidak sadar apa yang telah diperbuatnya hingga pada akhir cerita semua mata tidak berkedip sama sekali. sama seperti diriku, selalu saja dikejutkan oleh segala ucapannya. Apakah pada dasarnya, gadis mungil di depanku memiliki kepribadian introvert tanpa disadari olehnya atau bahkan diriku? Hanya Tuhan maha tahu apa pun itu, selama tidak melewati batas tertentu.
“Gadis mungil, jaga diri baik-baik disini yah.” Senyumanku di hadapan Nara.
“Kau juga harus jaga diri.” Kalimatnya sebelum berpisah di bandara.
“Salam buat Nefrit dan yang lainnya di Indonesia.” Ujarnya lagi sambil memperbaiki syal yang tergantung pada leherku.
“Gadis mungil, kenapa kau tidak pernah sekalipun mengucapkan sebuah kalimat dihadapanku” mimik wajahku terlihat cemberut.
“Tentang apa?”
“Ucapkan, kalau Nara sayang Reynand sampai kapanpun juga.” ucapku serius.
“Jangan lupa hal-hal yang kuperintahkan sebelumnya kalau tidak kita berdua putus, ngerti.” Gertaknya.
“Kenapa kau selalu mengalihkan pembicaraan?” teriakanku sangat marah dan berlalu dari hadapannya. Bahkan tidak sedikitpun memanggilku atau berteriak mengucapkan sebuah kalimat yang telah kuimpikan sejak dulu.
“Reynand...Reynand...Reynand...” teriakan Nara dari belakang, dengan sukacita luar biasa aku berbalik kembali ke hadapannya.
“Jangan lupa semua hal yang harus langsung dikerjakan saat menginjakkan kaki kembali di Indonesia.” Teriakannya sambil tersenyum.
“Saya membencimu gadis mungil...” teriakanku kali ini membuat Nara tertawa luar biasa tanpa memperdulikan perasaanku sedikitpun. Lebih parah lagi, dia malah menghilang secepat kilat dari hadapanku.
“Tuhan, apakah memang dia harus dilahirkan menjadi sosok pribadi seperti ini?” pertanyaanku di dasar hati kemudian berjalan menuju pesawat.
Visi dan misiku sekarang ini adalah mencari seorang pendeta sesuai dengan kepribadian yang Nara inginkan. Penuh perjuangan mencari seorang pendeta sesuai pandangan hati Nara, namun, saya tidak boleh menyerah. Memiliki kepribadian tegas, takut Tuhan, tekun berdoa, tidak membeda-bedakan, dan lain sebagainya. Masih ada lagi, seperti biasa ucapan Nara harus mempunyai ciri khas tersendiri dari siapapun juga.
Pertanyaanku sekarang, dimana saya bisa menemukan orang seperti itu? Perusahaan kecil yang kujalankan, untuk beberapa saat dikelola oleh orang kepercayaanku karena permasalahan seperti ini. Pasti heran, kenapa tiba-tiba seorang Reynand sebelumnya mengatakan kalau mempunyai orang tua kaya dan lain sebagainya, tiba-tiba hanya memiliki perusahaan kecil sekarang. Jawabannya adalah saya harus mempunyai modal sendiri sesuai permintaan Nara tanpa bukan dari orang tua. Meninggalkan dunia keartisan dan menjalani hidup apa adanya, merupakan pilihan hidupku saat ini.
Berjalan pada suatu area tertentu dari sudut jalan serta memberikan kehangatan bagi mereka yang dibuang, lemah untuk mata siapapun, menjadi obat tanpa seorangpun menyadari sesuatu di dalamnya. Inilah kehidupanku saat ini, saya tidak pernah menyesal menjalani semuanya. Seorang Nara mengajarkan nafasku tentang makna kehidupan, kerendahan hati, bagaimana menjadi sinar untuk banyak orang di tempat tersembunyi. Mengajarkan duniaku untuk tidak pernah melihat sesuatu bersifat pujian, ketenaran, harta, kedudukan, dan lain sebagainya. Saya menyukai duniaku sekarang, tanpa harus membuat cerita tentang ambisi mengejar hal-hal yang hanya ingin dilihat oleh mata saja.
“Tuhan, bantu saya saat ini.” Jeritan hatiku melangkahkan kaki menuju sebuah jalan kecil. Kedua bola mataku tidak sengaja melihat gereja kecil, tidak jauh dari tempatku berpijak. Entah kekuatan dari mana kaki berjalan memasuki gereja kecil tersebut, ternyata seseorang sedang berkata-kata di depan.
“Jangan menjadi seseorang paling munafik di dunia ini, pada saat berada di hadapan semua orang dalam gereja terlihat suci luar biasa. Namun, apa yang terjadi dibelakang terlihat menjijikkan luar biasa.” Kata-katanya di depan beberapa jemaat dalam ibadah tersebut.
“Ada begitu banyak orang terlihat rohani, namun pola pikir serta kepribadiannya benar-benar mengerikan. Bercerita di depan mimbar sekian dan sekian, ternyata kehidupannya sendiri sangat kacau. Apakah wajar seseorang yang mengajarkan iman menggunakan jenis pakaian yang terlihat seperti perempuan malam dan lain sebagainya.” Kata-katanya benar-benar menusuk habis.
“Terkadang seseorang selalu saja salah mengartikan tentang sebuah pernyataan, Tuhan melihat hati. Pada hal, konsep akan argument ini pada suatu titik perjalanan tertentu untuk seseorang. Jika seseorang yang telah mengenal isi hati Tuhan sejak lama dan menjadi pelayan, kemudian mempunyai styles/mode pakaian mengerikan berarti kehidupannya itu benar-benar kurang ajar untuk bahasa kasarnya.” Tutur bahasanya di depan mimbar.
“Wow...” teriakanku tidak sadar hingga menjadi pusat perhatian semua jemaat.
“Hahahahahahahahaha...” tawaku meledak tanpa menyadari semua orang memperhatikan gerak-gerikku membuat pendeta di depan berhenti berbicara.
“Maaf...” kalimatku kemudian berlari dari gereja kecil tersebut karena malu luar biasa. Memikirkan ucapan pendeta tersebut beberapa hari, serta mempelajari gerak-geriknya. Membayangkan bahwa semua ucapannya memang benar, ada begitu banyak orang memperlihatkan kalimat-kalimat rohani, namun, pada dasarnya mereka hanyalah hidup dalam sebuah topeng paling tebal. Terlihat rohani, pada hal saat melakukan penyelidikan ternyata rohana 100%. Bagaimana jemaatnya di bawah dalam kehidupan sehari-hari mengenakan styles mengerikan, pamer-pamer paha 1,2,3...karena, bosnya di atas jadi teladan baik luar biasa jenis styles’nya sangat keren.
Sepertinya, pendeta ini cocok untuk visi dan misi kami untuk mengembara ke seluruh Indonesia. Berusaha mencari tahu nama pendeta tersebut dan dimana rumahnya. Ternyata, rumahnya yah di gereja kecil itu juga, bodohnya diriku tidak pernah sadar... Nama pendeta itu adalah Hosea Leonard. “Arti dari nama pendeta itu apaan sih?” gumamku. Setahuku sih nama-nama pendeta tidak akan pernah jauh dari matius, markus, lukas, yohanes, dan kawan-kawannya di belakang mengekor.
“Anak muda, kenapa membuntutiku dari belakang?” suara dari belakang membuat tubuhku seakan terangkat ke atas karena terkejut.
“Maaf pak” jawabanku tiba-tiba gemetar.
“Apa yang kau inginkan, beberapa hari lalu berada dalam gereja tiba-tiba berteriak sendiri tanpa sadar, selanjutnya berlari keluar, dan sekarang mengumpat-umpat mencari tahu tentang identitasku.
“Tidak ada maksud lain, hanya ingin membuat kerja sama dengan bapak.” Kalimatku.
“Tentang apa?” suara menakutkan keluar, sepertinya lebih ganas dari Nara.
“Anda seperti pacar saya, suatu hari nanti dipastikan seorang Reynand mendapat julukan suami takut istri.” Celotehku lagi.
“Namamu Reynand” mengangguk-anggukkan kepala.
“Dari mana bapak tahu?”
“Bukankah baru saja kau menyebutkan namamu.” Ujarnya.
“Memangnya, apa yang telah saya katakan sebelumnya?” tanyaku kebingungan.
“Tidak penting, sekarang jelaskan apa yang kau inginkan?” pertanyaannya.
“Saya akan menjelaskan, tapi tidak disini pak.”
“Baiklah” ujar pak Hosea.
“Kita butuh tempat yang sunyi dan tidak seorangpun mendengarkan percakapan penting seperti ini.” Ucapanku tersenyum.
Saya menjelaskan segala sesuatu, dimulai dari awal hingga akhir tentang Indonesia. Terlalu sulit dipercaya akan hal-hal seperti ini, hanya saja harus dipercaya apa pun yang terjadi. Beberapa saat bapak Hosea tidak ingin bercerita dan mengiyakan semua keinginanku. Membutuhkan waktu memahami misteri sejenis ini dan bapak Hosea menyadari secara pasti tentang resiko luar biasa ke depan.
“Terserah bapak mau percaya dan tidak percaya, hanya saja, penanganan Indonesia tidak boleh sembarangan orang.” Kata-kataku.
“Kau tahu, resiko terbesar serta padangan masyarakat tentang hal ini bagaimana kelak? Posisi saya adalah kaum minoritas di negara ini, bukan mayoritas. Imanku dan imanmu pun benar-benar dipertaruhkan kalau berjalan untuk mengikuti kemauanmu.” Kalimatnya.
“Tolong kami pak, di sini itu bukan untuk memperlihatkan agama siapa paling benar serta membuat permainan politik akan iman kepercayaan. Hanya saja, Indonesia sekarang ini ada di ujung tanduk dan tidak mungkin asal memilih sembarangan orang untuk memperbaiki keadaan negara ini.” Permohonanku terhadap bp. Hosea.
“Merantau ke seluruh provinsi dengan membawa sebotol minyak, berjalan buta-buta dan memohon petunjuk Tuhan. Terserah diperlihatkan melalui mimpi atau suara gaib, dan lain sebagainya. Indonesia diperhadapkan beberapa hal, sedangkan pengelolahan SDA dan kawan-kawannya di belakang tidak semudah membalikkan telapak tangan langsung secara instan.” Kata-kataku berusaha menjelaskan.
Semua membutuhkan waktu untuk memahami keadaan seperti ini. Jalur yang di jalani benar-benar beresiko dan pasti, akan mengalami pro/kontra kelak. Namun, tidak mungkin juga asal mengambil orang untuk memperbaiki keadaan Indonesia, dimulai dari masa orde baru telah melakukan kesalahan hingga sekarang. Apakah ada jalan lain untuk membawa Indonesia keluar dari jalur paling mengerikan?
BAGIAN TIGA...

HOSEA LEONARD...
Mimpi apa saya semalam, tiba-tiba seorang pemuda tampan ke hadapanku bercerita berbagai hal...? Merantau ke seluruh provinsi, kemudian berjalan buta-buta membawa sebotol minyak mencari seseorang masing-masing perwakilan dengan meminta petunjuk Tuhan. Apakah ini tidak salah? Pertanyaanku beberapa hari belakangan semenjak kedatangan pemuda tersebut. Saya tidak menginginkan pertumpahan darah di negara Indonesia lagi, karena kesalah pahaman luar biasa.
Pertumpahan darah sebelumnya merupakan kesalah pahaman akan suatu pengajaran tertentu dengan dimainkan oleh kelompok-kelompok lain. Begitu banyaknya darah orang-orang tidak mengerti apa pun menjadi korban akibat pertikaian tersebut di seluruh wilayah Indonesia. Pada dasarnya, ucapan pemuda itu benar bahwa Indonesia mempunyai hutang luar biasa besar, pengelolahan masing-masing daerah memiliki permasalahan yang tidak main-main, dunia korupsi, permasalahan berbagai bidang, perebutan kekuasaan pada akhir cerita menjatuhkan korban. Demi sebuah kursi, seluruh rakyat di adu domba tentang berbagai hal terlebih agama/ iman kepercayaan antara satu dengan lainnya.
“Tuhan, haruskah saya mempercayai semui ini? Apakah kakiku harus berjalan buta-buta membantu pemuda tersebut?” pertanyaanku terus saja berirama kuat dalam nafasku.
Entah kekuatan dari mana membuatku memenuhi kemauan pemuda tersebut. Setelah sebulan penuh berpikir akan hal ini serta dihantui barbagai ucapannya, pada akhir cerita bergumul secara luar biasa dan berkata “ya” di hadapan Reynand. Saya tidak mengenal Nara, hanya saja jauh di dasar hatiku mempercayai sesuatu hal dalam dirinya.
“Siapapun gadis bernama Menara itu, dia pasti tahu membedakan antara hal buruk dan baik untuk Indonesia.” Bisikan hatiku menggema saat memulai perjalanan untuk melakukan petualangan ke seluruh Indonesia.
Pertama kali dalam perjalananku melakukan hal sejenis ini, semua bersifat rahasia dan tidak seorangpun boleh tahu termasuk mereka yang mewakili masing-masing provinsi untuk perbaikan Indonesia kelak. Mendoakan mereka, kemudian akhir cerita mengoleskan minyak pada keningnya tanpa menjelaskan maksud dan tujuan tertentu.
Apakah saya harus berpura-pura menjadi pedagang keliling dengan pakaian compang-camping serta luka-luka borok pada tubuh menjajahkan jualanku. Tuhan, jika ada seseorang pemuda/i mau membeli jualanku tanpa rasa jijik sedikitpun di daerah ini berarti dialah yang pilihanMU. Berjalan ke sebuah provinsi A, kemudian berkeliling menjajahkan mainan menyamar sebagai manusia buta dengan luka-luka borok pada tubuh. Tidak seorangpun ingin membeli mainan anak-anak yang kujual. Hingga berhari-hari di tempat tersebut, berkeliling mencari pembeli.
“Bapak, berapa harga mainan ini?” pertanyaan seseorang tiba-tiba dari arah belakang.
“Tuhan, apakah dia pilihanMU? Kalau seandainya apa pun yang kuminta dia megikuti berarti pemuda inilah menjadi salah satu bagian perbaikan Indonesia kelak.” Kata-kataku di dasar hati.
“Harganya tidak mahal hanya rp. 20.000 saja nak.” Jawabanku.
“Saya mau membeli beberapa, kebetulan uang gajiku masih berbau harum di dompetku.” Senyuman ramah dari pemuda tersebut.
“Saya ingin menjadikan beberapa mainan ini sebagai hadiah buat adikku.” Tangannya sibuk memilih beberapa permainan di tanganku tanpa perasaan jijik sedikitpun.
“Siapa namamu nak?” tanyaku.
“Namaku, Jaya Guntur anak ke-2 dari 3 bersaudara. Panggil saja, Jaya.” Kalimatnya.
“Tuhan, kalau pemuda ini membawaku ke rumahnya dan memberikanku makanan/minuman berarti tidak salah lagi.” Kata-kataku di dasar hati.
“Apakah bapak lapar? Rumahku tidak jauh dari sini, karena sepertinya bapak buta dan kecapean untuk melanjutkan perjalanan.” Ucapannya tiba-tiba menwarkan pertolonngan.
“Tidak usah nak,” jawabanku.
“Bapak jangan sungkan-sungkan” kata-katanya membawa barang jualanku dan memegang tanganku tanpa rasa jijik sedikitpun. Jaya Guntur, tanpa perasaan jijik membawaku ke rumahnya, memberikan makanan serta membersihkan luka-luka pada tubuhku. Mengganti seluruh pakaianku dengan yang baru bukan bekas miliknya. Tersenyum tulus tanpa dibuat-buat..
Rumahnya terlihat bersih, semua perabot tersusun dengan rapi pada tempat di tiap sudut. Kehangatan benar-benar memancar pada wajah seorang pemuda bernama Jaya Guntur. Setelah ditelusuri, ternyata dia merupakan salah satu maha siswa pada sebuah kampus. Bekerja sambil melanjutkan kuliah tanpa harus mengeluh tentang hidup. Jika diperhatikan, kehidupan keluarganya tidaklah dalam kekurangan, tapi, bukan juga orang kaya.
“Bolehkah saya mendoakanmu sebelum keluar dari rumah ini atas kebaikan yang telah kau perlihatkan?” tanganku memegang jemarinya begitu kuat.
“Boleh saja pak, kenapa tidak” jawabannya sangat bahagia. Tanganku mengambil sebuah botol minyak dari sebuah ransel tua. Kedua matanya terpejam dengan penuh ketulusan dan tidak terdapat kecurigaan sama sekali.
“Tuhan, akan membuatmu kuat dari sekarang sampai kapanpun juga. Jaya Guntur akan membuat irama dalam langkah perjalanannya apa pun yang terjadi, sekalipun air matanya terus mengalir tidak berarti dia akan terlihat lemah.” Kalimatku mengoleskan minyak pada kening dan rambutnya.
“Tuhan, berikan dia kekuatan seperti apa pun pembentukan yang akan terjadi dalam perjalanannya kelak. Sekalipun hatinya begitu perih, tidak berarti dia harus menyerah dan hidup dalam persungutan. Ada saat air matanya akan mengalir begitu deras suatu hari kelak, namun, berikan kekuatan luar biasa dalam langkahnya Tuhan...” Suara hatiku berbicara di dalam, mendekap dirinya dengan penuh kehangatan.
Petualanganku kembali berjalan pada provinsi berikutnya, ada saat saya harus menyamar sebagai pengemis dan gelandangan tua keriput demi mencari seseorang. Menjadi penjual makanan, sayuran, ataupun kuli bangunan pada masing-masing provinsi dan meminta berbagai jenis tanda kepada Tuhan. Mengayuh sepeda becak dengan luka borok pada tubuhku untuk beberapa saat, hanya demi mencari pilihan Tuhan.
Petualangan demi petualangan terus kulakukan, hanya demi mencari seorang pilihan Tuhan dan mengoleskan minyak pada keningya dengan berdoa. Mereka bahkan tidak pernah tahu mengapa minyak tersebut dioleskan pada keningnya? Ada begitu banyak kenangan pahit dalam petualanganku di berbagai daerah. Begitu banyak orang hidup dalam kepribadian berbeda-beda, namun, sulit menemukan hati dengan ketulusan luar biasa tanpa dibuat-buat. Caci maki, keringat mengucur, sikap dingin banyak orang, dan lain sebagainya terus memainkan iramanya dalam nafasku.
Siang itu, kakiku begitu perih berjalan pada salah satu provinsi terbaru merupakan bagian dari Indonesia. Membawa bungkusan keripik singkong dalam bungkusan plastik kresek. Duduk dekat sebuah sumur besar beristirahat sejenak dengan keringat membasahi seluruh pakaian. Rambut putih di kepalaku dengan kesengjaan di cat untuk membuat penyamaran terbaru.
“Tuhan, andai kata seseorang pemuda ataupun pemudi datang menyodorkan bantuan terhadapku serta memberikanku makan/minum juga menimba air dari sumur ini untuk kugunakan membersihkan diri, berarti dialah salah satu pilihanMU.” Kata-kataku di dasar hati. Saya akan berada di tempat ini selama seminggu penuh, bahkan mendirikan tenda sebagai rumah sementara. Selama 2 hari tidak memperlihatkan hasil, bahkan semua orang menganggapku gila hingga harus menjauh ataupun lari ketakutan.
Pada hari ke-3, seorang pemuda berjalan melewati sumur tersebut menggunakan motor besarnya. Ternyata dia dari kota, sedang berjalan menuju sebuah vila sekitar daerah tersebut. Sumur ini memang tidak jauh dari jalan tempat kendaraan lalu lalang. Berjalan ke arahku dengan gaya anak zaman sekarang, sebagian celananya robek tidak jelas. Memperlihatkan sikap dingin, acuh tak acuh, dan sepupu-sepupunya di belakang.
“Pak tua, apakah kau bisa membantuku masalahnya ban motorku bocor dan saya harus ada di vila sekarang ini?” nada suara terlihat aneh tanpa senyum sedikitpun.
“Menolong apa nak, apakah kau tidak melihat saya hanyalah penjual gila yang sedang menunggu seseorang membeli keripik ini untuk menyambung hidup.” Ujarku.
“Pak tua, biasanya orang-orang sengaja melakukan ini biar dikasihani oleh banyak orang, selanjutnya seperti pemikiran semua orang...” kata-katanya terdengar sinis.
“Terserah pikiranmu saja nak, karena saya benar-benar sebatang kara dan sangat miskin.” Kalimatku lagi.
“Memang saya tidak percaya kehidupan pak tua, karena banyak yang sengaja memperlihatkan gaya-gaya aneh. Coba pak tua mempunyai gaya berpakaian seperti saya, terlihat keren.” Kalimatnya membuatku ingin tertawa.
“Seandainya, saya tidak lagi menyamar sudah kena semprotan kau sekarang, kata-kata mutiaraku pasti begitu pedis luar biasa buatmu.” Kata hatiku.
Saya berusaha menahan diri dan tidak menjawab apa pun ucapannya. Tangan pemuda tersebut bergerak mencari sesuatu untuk memperbaiki ban motor yang telah di bawahnya dekat dengan sumur tempatku duduk seperti orang gila. Tanpa rasa kasihan sedikitpun bertanya apakah aku si’tua ini kelaparan atau haus? Hanya diam memperbaiki motornya, makan sebungkus roti dan sebotol soda.
“Pak tua, kalau dilihat dari umurmu kau tidak bisa meminum soda ini. Kenapa?” ucapanya terpotong.
“Karena umurmu sudah lanjut, takutnya banyak penyakitnya nanti.” Lanjutan kalimatnya membuatku sedikit batuk. Tidak lama setelah motornya selesai diperbaiki, ia berlalu dalam sekejap. Saya pikir, pemuda tersebut adalah pilihan Tuhan, ternyata tidak seperti yang dibayangkan.
Setelah sejam kepergian pemuda itu, tiba-tiba sebuah mobil pribadi berhenti pada persimpangan jalan tersebut. Seseorang turun dari mobil, membawa sebuah keranjang. Ternyata...
“Pak tua, apakah kau lapar atau haus?” teriakan suara seseorang dan sepertinya mirip dengan pemuda sejam lalu...
“Saya membawakan makanan/minuman dan beberapa pakaian baru juga selimut buatmu. Sekalipun saya terlihat kasar, setidaknya hatiku lembut sedikitlah seperti awan putih di atas.” Gurauannya.
“Nak, apakah kau tidak jadi ke vila dan kenapa balik lagi kesini?”
“Tidak usah pikirkan vila, masalahnya di jalan saya terus memikirkan dirimu sendiri dekat sumur tanpa seorangpun peduli. Kan kasihan, kalau pak tua mati di sini pasti hantunya gentayangan di rumahku atau vila.” Gurauannya.
“Pemuda ini terlihat kasar, cuek, dan dingin...tapi, masih percaya...” gumamku dalam hati ingin tertawa.
“Pak tua, berikan semua keripikmu biar saya membelinya sebagai oleh-oleh.”
“Kau tinggal dimana nak?”
“Saya tinggal di ibu kota dari provinsi ini, sedangkan yang disinikan desanya pak tua. Tunggu-tunggu, kenapa saya harus jelaskan sepert ini, kan sudah tahu kalau ini desa...” gerutunya sambil menimba air dari sumur itu.
“Kenapa menimba air, nak? Apakah kau mau mandi, nak?”
“Bukan untukku, melainkan buat pak tua karena bajunya sudah bau belum lagi luka bapak harus dibersihkan.” Jawabannya acuh tak acuh. Menimba air dan membersihkan seluruh tubuh bahkan luka-luka yang sengaja kubuat. Mencuci pakaianku, kemudian menjemurnya tidak jauh dari tendaku.
“Pak tua, gunakan pakaian baru saja yah dan ini susu buatmu biar sehat.” Ujarnya.
“Siapa namamu, nak?”
“Tidak penting mengetahui namaku, yang terpenting seluruh tubuhmu sudah tidak berbau asam.”
“Tuhan, kalau seandainya besok pemuda ini datang lagi ke hadapanku dan melakukan sama, berarti memang benar-benar dia pilihanMU.” Bisikan hatiku. Keesokan harinya, pemuda tersebut kembali hadir di depanku dengan membawa sekotak obat, makanan, minuman, selimut, pakaian, dan beberapa barang lainnya. Dia benar-benar melakukan semua hal seperti kemarin dimulai dari menimba air, membersihkan tubuh serta lukaku, memberiku makanan/minuman, menyisir rambutku. Bahkan hal tersebut di lakukannya selama beberapa hari.
“Pak tua, mungkin saya tidak akan melakukan hal seperti ini lagi untukmu karena...”
“Apakah kau akan kembali ke kota, nak?”
“Saya harus kembali bekerja di kota. Tapi, tidak usah khawatir saya ada sedikit uang untuk kehidupanmu. Pak tua, tidak perlu lagi tinggal di tempat seperti ini karena di amplop itu cukup untuk membeli sebuah rumah kecil.” Ujarnya memegang menyerahkan bungkusan amplop berisi uang.
“Lumayan untuk biaya petualanganku berikutnya ke provinsi lain, berarti pemuda di hadapanku merupakan salah satu dari pilihan Tuhan.” Kata-kataku di dasar hati.
“Nak, apakah aku bisa mendoakanmu sebelum kau pergi?” ucapanku.
“Tentu saja bolehlah” ujarnya memejamkan mata.
“Tuhan, bungkus perjalanan anakku dan jangan pernah membiarkan dia keluar dari lingkaranmu. Suatu hari kelak, kakinya membuat irama tersendiri dibandingkan semua orang di sekelilingnya.” Doaku dengan mengoleskan minyak pada kening dan rambutnya.
“Suatu hari kelak duniamu akan berputar 360©, jangan pernah keluar dari lingkaran Tuhan, tetaplah berjalan melihat sinar, apa pun keadaan duniamu. Pembentukan seperti apa pun, tetaplah bertahan dan kau harus lulus demi pemulihan Indonesia.” Suara hatiku dengan terus mendekapnya tanpa berbicara sedikitpun.
“Pak tua, kenapa saya seperti ingin menangis dalam dekapanmu yah?”
“Nak, sampai sekarang saya belum tahu siapa namamu?” ujarku.
“Nama saya Brayn, jaga diri baik-baik pak tua.” Kalimatnya kemudian berlari dari hadapanku menuju mobil.
Sepertinya, saya lupa menanyakan alamat rumah Brayn di kota ini. Sebuah kartu nama ternyata telah di masukkan dalam amplop berisi uang tersebut. “Pak tua, jika kau membutuhkan bantuanku atau ada sesuatu tinggal menghubungiku pada alamat serta nomor telepon dalam kartu di amplop ini.” Isi tulisan Brayn pada secarik kertas. Entah mengapa, saya yang ingin secara langsung memainkan peranan dalam kehidupan Brayn tanpa harus mencari seseorang untuk membentuknya bagaimanapun caranya.
“Tuhan, untuk manusia satu ini setidaknya percayakan kepadaku biar saya secara langsung mengajarkan beberapa hal dalam dunianya.”  Kalimatku.
Setiap petualangan yang kulakukan, sayapun dituntut untuk berdoa serta mencari seseorang demi membentuk orang pilihan Tuhan tersebut. Berusaha menjelaskan sesuatu hal, tentang keadaan Indonesia dan membuat mereka percaya serta mau membentuk dia yang telah di pilih oleh Tuhan tanpa disadari siapapun juga. Bahkan dia yang terpilih tidak boleh menyadari atau mencium sesuatu hal berbau mencurigakan. Semua ini bersifat tersembunyi dari siapapun, benar-benar tertutup. Indonesia membutuhkan tokoh-tokoh penting demi perbaikan serta pemulihan negara ini kelak. Membutuhkan perjuangan demi perjuangan saat melakukan petualangan berkeliling seluruh Indonesia. Tidak dikatakan, semua bersifat instan melainkan perjalanana luar biasa di suatu titik tertentu.
BAGIAN EMPAT...

MENARA...
Aku akan menghabiskan masa liburku di Indonesia selama 2 bulan. Berada di Jakarta kembali dan bertemu bp. Hosea untuk menjelaskan rencana selanjutnya. Berkenalan dengan pendeta tersebut setelah petualangannya berkeliling Indonesia serta mendengarkan cerita semua yang telah dilakukan. Reynand menjemputku di bandara siang itu...
“Kau dimana?” gerutuku melalui hand phone.
“Berbaliklah, kemudian berjalan 100 langkah” jawaban Reynand dari telpon.
“Jangan main-main” gertakku.
“Gadis mungil, apakah kau sadar kalau saya tidak pernah main-main?”
Reynand selalu saja seperti ini, membuatku terlihat kesal luar biasa. Mengikuti petunjuknya, berusaha menghitung 100 langkah dari tempatku berpijak. “hal seperti ini, akan membuatku gila tidak beraturan.” Gerutuku.
“Kau kena jebakan...” teriakan Reynand mengagetkan dari arah belakang.
“Ini bukan permainan bossss.” Amarahku sedikit memuncak.
“Nara, tidak bisakah kau terlihat manis dan lembut walau hanya sedikit saja di hadapanku.” Keluh Reynand.
“Apa maumu?”
“Mauku, seorang Nara dapat mengucapkan sebuah kalimat, selamanya Menara akan selalu sayang Reynand.” Jawabannya membuat wajahku memerah.
“Reynand, ini bukan waktunya bermain.” Mengambil tangannya dan mengarahkan pada koper serta ransel milikku, agar dia membawa semua itu.
“Kenapa tidak sekalian seluruh isi bandara kau perintahkan aku membawanya.” Kekesalan Reynand.
“Reynand, mana bapak yang kau katakan itu?” pertanyaanku berbalik ke hadapannya.
“Kenapa kau selalu mengalihkan pembicaraan, Nara.” Emosinya meledak.
“Saya benar-benar serius” mimik wajahku tidak dalam keadaan bercanda.
“Bapak Hosea ada di mobil menunggu.” Ketusnya.
“Apakah misinya telah berakhir?”
“Seminggu yang lalu, beliau selesai melakukan petualangan luar biasa, dan kau sadar..”
“Tentang apa, Reynand?” tanyaku.
“Bagaimana saya berjuang keras membujuknya agar beliau mau berpetualang luar biasa sesuai perintahmu.” Jawabannya.
“Terimah kasih atas bantuanmu, bossss” ucapan terimah kasihku.
“Hanya itu, tidak ada yang lain?”
“Lantas saya harus bagaimana?” tanyaku balik.
“Katakan padaku, kalau Nara sayang Reynand.” Ucapnya dengan kedua bola mata terus saja menatap ke arahku.
“Perutku sejak tadi berbunyi, bisakah kita membeli makanan terlebih dahulu sebelum ke parkiran mobil?” ujarku memegang perutku.
“Nara...” Amarah Reynand pada level tinggi.
“Reynand, di sana ada penjual makanan?” jari telunjukku menunjuk arah utara dari jalan kami.
“Nara...” Reynand makin kesal tidak memperdulikan apa pun ucapanku.
Melihat tingkah lakunya yang seperti ini, membuatku berjalan sendiri ke arah utara membeli 3 porsi makanan, sedangkan dia menunggu pada sebuah sudut kursi. Kembali ke hadapan Reynand dan menyodorkan sebuah roti untuknya.
“Buatmu, berhentilah memperlihatkan wajah kesalmu.” Kalimatku berjalan menuju parkiran di susul olehnya. Saat berada dalam mobil, ternyata bp. Hosea tertidur pulas dan tidak menyadari kehadiran kami. Meskipun mesin mobil telah dihidupkan serta berjalan menuju rumah, sama sekali tidak dirasakan oleh beliau.
“Ternyata, ini yang namanya bapak Hosea.” Gumamku memandang wajah bp. Hosea dimana tertidur pulas. Hingga tiba di rumahpun, beliau tetap saja belum bangun dari tidurnya.
“Reynand, apakah betulan bp. Hosea tertidur?” curigaanku.
“Ini semua karena dirimu, terlalu lama membeli makanan.” Cetusnya.
“Jangan-jangan dia mati lagi.” Mataku terus memperhatikan nafasnya.
“Suara siapa itu, beraninya berkata kalau saya sudah mati.” Kata-katanya mengagetkan.
“Giliran dibilang mati, tiba-tiba terbangun, giliran...” ucapku di dasar hati.
“Paman Hosea sudah bangun?” sapa Reynand memasang wajah senyum.
“Oh, kita sekarang ada dimana?” pertanyaannya.
“Depan rumahku” jawabku secara spontan.
“Ternyata, ini toh gadis bernama Nara” terus saja memperhatikanku.
“Paman, bagaimana kalau kita bicara di dalam saja.” Kata-kataku dengan tersenyum.
“Baiklah,” bp.Hosea turun dari mobil kemudian berjalan masuk ke sebuah rumah yang telah lama tidak di huni olehku. Kami berjalan masuk, mengarahkannya pada sebuah lorong menuju ruang bawah tanah dari rumah tersebut.
“Ternyata rumah ini mempunyai ruang bawah tanah, terlihat kecil dari luar, tapi, saat masuk ke bawah benar-benar luas pada ruangan bawahnya.” Mata bp.Hosea memperhatikan sekeliling. Memperkenalkan diriku pada bp.Hosea, kemudian menjelaskan beberapa hal terhadap beliau. Mengucapkan banyak terimah kasih atas bantuannya selama ini.
“Nara, apa rencana selanjutnya?” pertanyaan paman Hosea sambil meneguk segelas kopi di depannya.
“Rencanaku adalah membuat mereka masuk dalam pembentukan luar biasa dan belum pernah dirasakan.” Jawabanku.
“Maksudnya?” pertanyaannya lagi.
“Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya pada paman waktu itu,” Reynand tiba-tiba memotong pembicaraan.
“Yang menjadi pertanyaanku terhadapmu, kenapa kau menginginkan proses seperti ini buat mereka bukankah terlalu berlebihan?” pertanyaan paman Hosea.
“Karena beberapa hal” jawabanku.
“Jelaskan Nara, biar saya tidak asal terlibat karena hal seperti ini, kau sadarkan benar-benar beresiko berat dan sangat keterlaluan.” Tatapan tajam paman Hosea terhadapku.
“Setidaknya orang-orang yang masuk dalam perbaikan Indonesia tidak memiliki karakter egois, serakah akan kursi/ketenaran/harta, atau bahkan menjadi musuh dalam selimut dan beberapa hal lain.” Jawabanku.
“Jelaskan lebih mendetail, Nara” tatapannya terus saja terlihat tajam.
“Tidak salah berjalan, sekalipun orang-orang di sekitar mereka bahkan teman paling terdekat sekalipun begitu mengecewakan, kenapa? Karena ini, berbicara tentang negara untuk perbaikan bukan sebuah perusahaan dan lain sebagainya. Apakah imannya tetap kuat, tanpa harus jatuh dalam permainan halus sekalipun.” Penjelasanku lagi.
“Menyatukan perbedaan di Indonesia, serta memperbaiki karakter masing-masing suku tidaklah seperti membuat sulap abra kadabra langsung berubah...” tambahanku lagi.
“Lantas, tentang penjelasan penjebakan untuk mereka?” pertanyaan paman Hosea.
“Salah satu penjebakan yang saya inginkan, dimana orang terdekat dengan beberapa dari mereka menjadi manusia paling terjahat. Dengan kata lain, seseorang yang mengajarkan tentang iman dan beberapa hal dalam pendidikan otak mereka membuat sebuah sensasi luar biasa. Hanya saja, mereka tidak pernah sadar akan hal tersebut.” Penjelasanku.
“Maksudnya?” pertanyaan Reynand.
“Maksudnya, orang yang selama ini mengajarkan beberapa  dari antara mereka tentang sebuah kekuatan tiba-tiba menjadi jahat dengan menyebarkan fitnah, memasukkan salah diantara mereka ke rumah sakit jiwa, mempermalukan nama baik si’A di depan umum, setidaknya terlihat benar-benar jahat atau memasukkan ke dalam penjara dan lain sebagainya.” Ucapku.
“Tujuannya?” paman Hosea bertanya.
“Bukankah telah saya katakan tujuan sebelumnya, kalau ini untuk mendidik apakah mereka masih dapat bijak dan memiliki karakter tersendiri sekalipun orang terdekat benar-benar terlihat mengerikan bahkan menjadi paling jahat di dunia ini.” Ujarku.
“Hubungannya dengan negara dimana?” pertanyaan Reynand.
“Kelak, saat diperhadapkan sesuatu hal dan kebetulan orang paling terdekatnya terlihat mengerikan, sedangkan dia dituntut untuk berjalan memasuki sebuah area tertentu demi perjalanan Indonesia. Maka, dia akan tetap bijaksana untuk bertindak suatu hari kelak tanpa harus melihat hal paling mengerikan sedang membungkus dunianya.” Jawabanku.
“Bisa saja, saya tanpa sadar dapat membuat sebuah akar kekecewaan pada mata mereka, di akhir cerita kedua tangannya bergerak salah untuk mengambil tindakan hingga berakibat fatal bagi bangsa ini. Atau hal lain di sekitar, manusia tidak ada yang sempurna, ada saat akan terlihat mengecewakan di mata seseorang. Bahkan terkadang seseorang yang ingin menjatuhkan adalah orang terdekat sendiri dan bukan orang luar.” Kalimatku lagi.
“Nara, tentang penjebakan seseorang harus menyamar sebagai pemuda beristri, maksudnya apa?” ucapan paman Hosea.
“Seperti ini, seorang pemuda paling tampan sedunia menyamar sebagai pria beristri beranak 2 atau lebih. Disaat salah satu dari mereka terbungkus masalah dan tekanan begitu berat yang pada akhir cerita mengalirkan air mata begitu deras, akhirnya masuklah si’pemuda tampan tersebut menjadi sahabatnya memberikan berbagai nasehat dan bantuan serta segala macam di dalam. Singkat cerita, pemuda tersebut menyatakan perasaannya kemudian...” ucapku terpotong...
“Kemudian apa Nara?” tanya paman Hosea.
“Dari sini kita dapat melihat, apakah gadis ini dapat melihat situasi terbaik dalam hidupnya atau tidak. Dia tahu pemuda tersebut telah beristri, keputusan seperti apa yang akan diambil? Hal seperti ini bisa saja terjadi di atas, dalam keadaan tertentu tekanan luar biasa datang, kemudian beberapa diantara mereka diperhadapkan lawan jenis. Selanjutnya apa yang akan terjadi? Jangan sampai saat menghadapi permasalahan, mereka melampiaskan sesuatu hal ke tempat salah dan tidak dapat keluar dari sana. Singkat cerita, merusak banyak hal, sementara yang mereka hadapi adalah negara dan bangsa bukan sebuah perusahaan.” Penjelasan panjang terhadap paman Hosea.
“Jadi,” ujar paman Hosea lagi.
“Masih banyak lagi susunan perencanaan untuk proses kehidupan mereka semua. Sebagai awal, beberapa bulan mereka harus berada di desa sesuai dengan penjelasan Reynand terhadap paman. Dimana, mereka harus memulai hal-hal terkecil dengan menjadi petani, dan lain sebagainya.” Kalimatku.
“Setelah itu, apa yang akan mereka lakukan?” pertanyaan paman Hosea.
“Masing-masing diproses di daerah mereka untuk sementara waktu, setelah itu mereka memasuki petualangan terbaru. Ada yang akan ditempatkan pada daerah paling pedalaman dari Indonesia dan hidup selama waktu yang ditetapkan. Dia harus bisa merubah tempat tersebut, baik dari segi karakter, pendidikan, dan lain sebagainya. Tetap dalam keadaan mereka tidak menyadari sama sekali, namun dibuatkan strategi.” Jawabanku.
“Ada juga yang berada pada beberapa negara paling termiskin dan memperlihatkan kasih sayang di sana dan menjadi obat untuk penduduk tersebut. Memelihara beberapa anak yatim dengan pendapatan standar untuk membuat mereka belajar tentang kasih sayang yang sebenarnya. Ada saat dimana, mereka diperhadapkan kondisi ekonomi dan dari sinilah langkah seperti apa yang akan diambil? Bermain atau tetap di jalan Tuhan sekalipun air mata kepedihan terus mengalir sementara kondisi keuangan tidak memungkinkan.” Lanjutan penjelasanku.
“Terus...” perkataan paman Hosea.
“Selain hal tersebut, ada pula beberapa dari mereka berada pada negara-negara dengan pergaulan paling bebas dan terkenal dengan sex bebas, tingkat kriminalitas paling tinggi, dan berbagai kejahatan terus bermain. Dalam hal ini, kita dapat melihat apakah mereka yang terbawah arus ataukah sebaliknya? Ada begitu banyak orang, awal cerita kisah kehidupannya terlihat alim/polos luar biasa, singkat cerita karena berada di tempat tertentu akhirnya menjadi liar tidak terkendali.” Kalimatku.
“Mereka dituntut untuk memperbaiki sebuah negara rusak, jangan sampai terjadi hal yang tidak diinginkan. Secara tiba-tiba menjadi liar oleh karena berbagai pergaulan mengerikan di luar sana, sedangkan mereka tidak menyadari hal tersebut. Ini yang membahyakan, seseorang mempermainkan kepolosan hingga menjadikan beberapa dari mereka menjadi liar serta memiliki pergaulan menjijikkan. Saya menyukai sebuah pernyataan, jadilah seperti ikan yang tidak pernah menjadi asin sekalipun hidup di lautan asin. Apakah mereka yang dirubah atau sebaliknya?” Tambahan penjelasanku sekali lagi.
“Saya menyukai semua rencanamu, dan akan berusaha membuat beberapa strategi untuk proses mereka semua.” Kata-kata paman Hosea memandangku.
“Paman, sepertinya ada yang terlupakan.” Ucapku.
“Apa yang terlupakan gadis mungil?” pertanyaan Reynand.
“Saya menginginkan, disamping terbentuk dengan hal-hal kecil di pedesaan masing-masing provinsi selama beberapa bulan, selain itu tolong bentuk sedikit otak mereka dengan menyarankan menyuruh untuk menjelaskan beberapa artikel. Membuat sedikit teka-teki tentang beberapa bidang tertentu, seperti pendidikan, keuangan, hukum, ekonomi. Mereka harus dapat menjabarkan, agar pada saat karakter selesai diproses lebih sedikit memudahkan membentuk wawasannya.” Penjelasanku selanjutnya.
“Maksudnya, saya sama sekali tidak mengerti?” kening paman Hosea berkerut.
“Maksudnya adalah setelah melewati beberapa proses, barulah tingkatan otak mereka dibentuk. Jadi, agar kita tidak kesulitan setidaknya mulai mengajarkan beberapa bidang dengan sedikit memancing untuk menyuruh membaca beberapa buku, membuat pertanyaan tertentu, menjabarkan beberapa gambar teka-teki berhubungan bidang-bidang penting suatu negara.” Penjelasanku terhadap paman Hosea dan Reynand.
“Satu hal yang harus diperhatikan penuh, kalau mereka semua harus menguasai 4 bidang penting yaitu pendidikan, hukum, ekonomi, keuangan. Kenapa? Karena bidang ini akan berkaitan dengan semua bidang lain seperti kesehatan, pembangunan, industri, dan lain sebagainya.” Penjelasanku lagi.
“Saya tahu apa yang kau inginkan sekarang.” Ucapan paman Hosea.
“Kami akan melakukan yang terbaik, gadis mungil.” Senyuman Reynand di hadapanku.
Sesuai dengan perencanaan sebelumnya, masing-masing daerah telah dipilih seseorang untuk membawa mereka memasuki proses luar biasa. Satu hal, paling terpenting bahwa seorangpun dari mereka tidak pernah tahu tentang proses tersebut hingga waktu itu tiba untuk menjelaskan sesuatu hal setelah melewati masa tersulit. Perjalanan tersebut, akan mengajarkan mereka akan sebuah dunia baru.
BAGIAN LIMA...

HOSEA LEONARD...
Keadaan seperti ini mengharuskan Nara menjadi manusia paling terkejam untuk beberapa saat. Selain hal tersebut dia pun membahas untuk mencari beberapa orang membentuk kemampuan otak mereka setelah proses tersebut selesai. Orang-orang yang dapat di ajak bekerja sama mempersiapkan segala bahan serta persiapan tertentu. Bersama dengan Reynand dan kedua pejabat tersebut, membuat strategi serta persiapan lebih lanjut.
Saya sendiri pun harus mengarahkan semua yang terpilih dalam perencanaan proses untuk membentuk mereka pada masing-masing daerah. Entah mengapa, saya ingin terjun langsung berhadapan dengan Brayn hingga membuat sesuatu yang tidak akan pernah dilupakannya. Kembali berjalan ke kota tempat dia tinggal dan mencari alamatnya secara langsung. Melakukan penerbangan dan berpetualang  kembali...
“Permisi, maaf, apakah bapak tahu di mana alamat yang tertera pada kartu ini? Saya terus menanyakan alamat Brayn pada beberapa orang. Hingga pada akhirnya, saya berhasil menemukan alamat rumahnya. Menekan bel rumah pada pintu pagarnya...
“Maaf, bapak cari siapa yah?” pertanyaan seorang wanita paruh bayah setelah membuka pintu pagar rumah.
“Saya ingin bertemu Brayn,” jawabanku.
“Silahkan masuk, tunggu saya panggilkan.” Ujarnya, memasuki sebuah rumah besar dan berdiri sekitar teras. Tidak lama kemudian, seorang pria bertubuh tegak, berotot, rambut gondrong yang terikat satu dibelakang.
“Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” pertanyaan Brayn tidak mengenal siapa yang ada di depannya.
“Jelaslah kita pernah bertemu dalam bentuk penyamaran, hanya saja, sekarang kau sudah tidak mengenaliku lagi.” Ucapanku di dasar hati dan tidak mungkin berterus terang di hadapannya, yang ada dia akan menolak serta berlari kencang...
“Apakah saya mengenal bapak sebelumnya?” pertanyaannya lagi.
“Saya teman lama papa kamu dulu...” jawabanku asal mengadah-ngadah.
“Tuhan, ampuni saya telah berbohong.” Kata-kataku di dasar hati. Untuk profesi sepertiku, dikenal dengan istilah bohong besar bohong kecil sama saja dosa, jadi, jangan pernah berbohong.
“Papa baru saja meninggal karena kecelakaan, tapi beliau tidak pernah bilang apa pun.” Ujarnya.
“Beruntung papanya sudah meninggal, jadi, orang tuanya tidak akan pernah...” dosaku makin parah saja dengan berkata-kata seperti ini di dalam hati.
“Tidak disangka temanku sudah meninggal dan saya baru menyadari semua ini.” Mimik wajahku terlihat menyedihkan. Saya berusaha menghibur Brayn dan menjadi teman baik untuknya. Tanpa pernah ada rasa curiga sedikitpun tentang tujuanku berada di hadapannya. Selama beberapa hari ini, pekerjaan yang kulakukan hanyalah berusaha menghibur anak itu. Namun, dibalik itu semua saya pun sedang membuat rencana mengerikan dalam perjalanan Brayn. Memberikan semangat hidup untuknya, sehingga dia dapat meneriman keadaan yang sedang terjadi.
Terkadang saya berpikir, apakah anak ini dapat bertahan disaat berhadapan tentang badai paling keras atau tidak? Di lain sisi, ayahnya meninggal dunia kehidupan dia seakan terpukul luar biasa dan tidak memperlihatkan semangat hidup. Sementara Nara membutuhkan seseorang dengan kepribadian luar biasa bukannya lemah seperti ini. Prinsip Nara dalam menilai seseorang berbeda dengan siapapun, bahkan tidak pernah sama. Brayn terlebih keluarganya tidak boleh mengetahui sedikitpun tentang perencanaan ini.
Bagaimana mengambil semua kekayaan Brayn, itulah yang ada dalam watakku sekarang? Menjadi manusia paling terjahat dan benar-benar musuh dalam selimut? Tidak dapat disangkal, jika anak ini memiliki kekayaan cukup berlimpah. Sepertinya, saya harus menghubungi Nara dan menanyakan tentang beberapa hal yang berkaitan dengan dunia bisnis.
“Nara, apakah kau tahu tentang dunia bisnis dan cara mengambil alih bahkan menipu sebuah perusahaan?” pesanku melalui email.
“Apakah ada permasalahan, paman?” balasan Nara.
“Permasalahannya adalah salah satu dari mereka mempunyai perusahaan besar, sedangkan ayah dari anak itu baru saja meninggal. Secara otomatis, dia merupakan pewaris utama dalam menjalankan perusahaannya. Bagaimana cara membentuk anak ini, tidak ada jalan yang malahan kita semua bakalan berada di penjara.” Pesanku melalui email.
“Berarti, paman ingin menipu perusahaannya? Wow, untuk pertama kali seorang pendeta jadi penipu ulung, hahahahahaha.” Godaan Nara.
“Itu semua karena perbuatanmu, Nara” pesanku membalas.
“Kenapa juga ada anak orang kaya sekali yang masuk dalam kategori ini?” tulisan Nara.
“Saya juga tidak mengerti, kalau memang semua digariskan Tuhan, jang tanya kepada saya. Tolong bertanya kepada Tuhan, apa dan mengapa?” tulisan pesanku lagi.
“Reynand bisa membantumu dalam hal ini, karena secara keluarganya mempunyai bisnis besar juga di luar negeri.”
“Kalau perusahaan keluarga Reynand sangat besar, kenapa pacarmu itu hanya memiliki perusahaan kecil di ibu kota?” pertanyaanku melalui pesan.
“Itu karena dia mau belajar mandiri, tidak bergantung pada keluarga.” Jawabannya.
“Oke, kalau begitu.” Kalimat terakhirku.
Reynand menyetujui akan berada di provinsi ini untuk membantuku, serta akan memainkan sebuah peranan luar biasa. Beberapa hari kemudian, Reynand berada di hadapanku sesuai dengan perjanjian kami kemarin.
“Rencana apa di dalam otakmu sekarang?” kalimatku di hadapan Reynand.
“Serahkan saja semuanya kepadaku, paman.” Jawaban Reynand.
Beberapa pertanyaan menghantui pikiranku, mengapa Reynand meninggalkan dunia keartisan? Mengapa Reynand tidak mau menjalankan perusahaan besar milik keluarga di luar negeri? Pola pikir seperti apa dalam benak Reynand sekarang? Terlihat ia sangat cekatan serta cerdas menjelaskan lebih mendetail perjalanan sebuah perusahaan. Bagaimana tangannya memainkan dokumen-dokumen di atas meja demi sebuah kasus penipuan. Nasib Brayn akan ditentukan melalui strategi Reynand beberapa hari ke depan.
Reynand sengaja membuat perjanjian kerja sama terhadap perusahaan Brayn. Melakukan presentasi paling hebat di hadapan para pengusaha, tanpa ada kata-kata mencurigakan sedikitpun. Singkat cerita, semua perusahaan dari daerah tersebut tertarik melakukan ikatan kerja sama termasuk Brayn. Dia memang sangat jenius memainkan sebuah peranan, tanpa sedikitpun terlihat mencurigakan.
“Sekarang ini Indonesia sedang gencar-gencarnya melakukan berbagai promosi parawisata. Salah satu kemajuan sebuah daerah, dapat terlihat melalui industri parawisata. Bagaimana pola pikir para pengusaha menciptakan sesuatu yang dapat menjadi perhatian seluruh wisatawan asing maupun lokal.” Kata-kata Reynand di depan para pengusaha dalam sebuah gedung, sedangkan saya berada dibalik layar tanpa seorangpun menyadari mendengarkan presentase tersebut.
“Saya ingin mengajak para pengusaha membuat terobosan terbaru dalam dunia industri parawisata di daerah ini. Sehingga semua provinsi, ibu kota negara, bahkan internasional mengakui kualitas serta perkembangan luar biasa dari tempat ini. Bagaimana caranya?” penjelasan Reynand memperlihatkan beberapa gambar pada layar di depan.
“Langsung pada inti pembicaraan saja,” salah seorang pengusaha tiba-tiba berbicara.
“Baiklah, langsung pada inti presentase, saya ingin mengajak para pengusaha di daerah ini, membuat sebuah parawisata terbaru dan belum pernah ada di belahan dunia manapun juga. Gua kaca berputar-putar di bawah derasnya air terjun.” Kata-kata Reynand lagi.
Seluruh pengusaha dalam pertemuan tersebut, benar-benar serius mendengarkan segala penjelasan Reynand. Bagaimana dia membuat para pengusaha terlibat langsung akan kerja sama menciptakan terobosan tersebut.
“Jadi, membuat beberapa permainan, desain kolam renang yang unik tanpa pernah ada di belahan dunia manapun  sehingga terlihat berbeda, mall/ pusat perbelanjaan, hotel pada suatu tempat. Selanjutnya, membuat tembok raksasa mengelilingi tempat tersebut termasuk pada bagian yang menengadah ke langit/ bagian atas. Akhir cerita, tembok raksasa tersebut terbuat dari lapisan kaca tebal dan tahan banting terhadap apa pun juga, paling terpenting tidak mudah pecah.” Ucapan Reynand.
“Dimana letak konsep tentang gua berputar-putar dan air terjunnya, bosss?” salah satu pengusaha bertanya serta memotong pembicaraan.
“Letak gua berputar-putar itu ada pada bagian yang berperan sebagai tembok raksasa dimana menutupi seluruh tempat tersebut. Tembok inilah, didesain membentuk gua, menggunakan beberapa trik/peralatan teknologi canggih untuk memutar sedemikian rupa mengelilingi sekitar lokasi yang telah ditentukan sebelumnya. Pada bagian atas, dibuatlah air terjun buatan dengan mencari mata air dan tidak jauh lokasi tersebut. Membuat jalanan air, di akhir cerita di desain sama seperti air terjun asli pada umumnya dari sebuah mata air alami menuju gua kaca ini.” Presentasi seorang Reynand berhasil membuat para pengusaha melakukan kerja sama termasuk Brayn.
“Sekitar lokasi gua kaca, juga dibangun danau serta jembatan dengan desain unik namun membuat seluruh mata menjadi tercengang-cengang tanpa kedipan sedikitpun.” Kalimat Reynand sekali lagi. Akhir cerita, semua pengusaha menyukai penjelasan Reynand dan berniat mengadakan kerja sama. Target masuk jebakan, Brayn berjuang keras untuk menjadi bagian paling utama akan pembangunan parawisata tersebut.
Reynand memainkan peranan paling munafik dalam serial drama mengerikan bahkan terkejam sepanjang sejarah. Beberapa jam lagi, Brayn akan jatuh bangkrut dengan kata lain tidak memiliki uang satu sen pun. Tidak bermaksud menjadikan keadaan Brayn terlihat mengerikan, hanya saja keadaan yang memaksakan hal tersebut. Perusahaannya berpindah tangan alias berpindah kepemilikan...
Brayn jatuh miskin, semua aset kekayaan serta rumah tidak lagi atas namanya. Pada saat itulah, saya memainkan peranku sesuai dengan rencana awal. Brayn berjuang keras tidak memperlihatkan rasa frustasi dalam dirinya. Hidup sebatang kara, ayah dari Brayn telah meninggal, sedangkan ibunya sendiri sudah lama bercerai berada entah dimana sekarang. Dapat dikatakan, bahwa Brayn berasal dari keluarga broken akibat perceraian orang tua. Tidak seorangpun ingin membantu dia sekarang, itulah yang menjadi tujuan utama kami.
“Maafkan saya, tidak bermaksud membuatmu menderita seperti sekarang.” Bisikan hatiku berjalan menemui Brayn pinggir jalan dari kota tersebut. Membayangkan bagaimana seorang Brayn membawa selimut, makanan, pakaian, uang, serta mengobati luka pada tubuhku tanpa rasa jijik sedikitpun. Menatap dia dengan pakaian biasa bahkan terlihat sama seperti gelandangan di luar sana.
“Brayn...” suaraku memanggil dia. Beberapa kali memanggil namanya, namun tidak di pedulikan sama sekali untuk beberapa saat.
“Brayn...” menyodorkan sebungkus roti dan sebotol soda di hadapannya. Mengingat bagaimana ia menimba air dan mencuci pakaian kotor berbau tanpa pernah berpikir akan...
“Apakah kehidupanku terlalu menyedihkan untuk dikasihani?” suara serak seakan ingin menangis, namun tersembunyi dengan begitu kuat.
“Jangan pernah berpikir tentang apa pun sekarang,” mendekapnya dan mengingat peristiwa sekitar sumur kemarin melakukan sama seperti yang saya lakukan sekarang.
“Saya merasa seakan pernah merasakan dekapan penuh kehangatan seperti sekarang sebelumnya, namun entahlah.” Dia masih mengingat hal itu...
Membawa Brayn ke rumah sesuai perencanaan kemarin, sedangkan Reynand sendiri telah kembali ke Jakarta. Mencari cara mengeluarkan Brayn dari kota ini serta membuatnya berada di suatu pedesaan terpencil jauh dari kearamaian.
“Belajarlah tentang suatu petualangan dalam perjalananmu hingga akhir cerita memainkan irama tersendiri.” Ucapanku memberikan sebuah buku.
“Petualangan seperti apa? Mencari orang yang telah membuat terlihat tidak berdaya, miskin melarat untuk mencabik-cabik bahkan membuat dia harus merasakan sama seperti keadaanku sekarang, itu maksudnya!” menarik nafas dalam-dalam.
“Saya tidak berkata seperti itu.” Berusaha bijak di hadapannya.
“Jelaskan padaku petualangan dengan akhir cerita menciptakan irama tersendiri,” kedua bola mata Brayn menjelaskan tentang sesuatu hal...
“Lupakan permasalahanmu kemarin, ikutlah denganku di suatu tempat untuk memulai perjalananmu kembali.” Hanya kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku.
“Sebelum meninggal, papa pernah berkata, buatlah sebuah cerita paling berkesan dan tidak akan pernah bisa dilupakan seumur hidup di tengah derasnya gelombang.” Kalimat tersebut menyadarkan duniaku tentang karakter Brayn mengarah kemana?
“Brayn, ucapan papamu berhubungan erat dengan ucapanku tentang petualangan dengan akhir cerita memainkan irama tersendiri.” Kalimatku menepuk-nepuk bahunya.
“Ajarkan duniaku untuk tidak melihat peristiwa kemarin, ataupun permasalahan tentang saya merupakan korban perceraian orang tua. Membuang berbagai jenis luka yang terus saja semakin menyukai perjalananku.” Bola kristal berusaha ingin keluar, namun di balik itu Brayn terus berjuang untuk tidak memperlihatkannya.
“Tetaplah berjuang dan jangan pernah menyerah tentang sebuah keadaan. Kau harus mempunyai kekuatan seperti rajawali hingga Tuhan menangis bukan karena kekecewaan besar melihatmu, melainkan terharu memandang perjalanan dari dunia Brayn tidaklah seperti kebanyakan orang disekelilingnya.” Kata-kataku berusaha sebijak mungkin.
Mengajarkan Brayn bagaimana berpetualang, menjadi kuat, menciptakan irama, dan menjadi berbeda dari siapapun melalui beberapa kalimat. Berhasil membawa Brayn ke sebuah pedesaan kecil, membentuk langkah perjalanan kehidupannya. Wajah kesal terpampang secara jelas, disaat petualangan tersebut ternyata menjadi seorang petani yang sedang menggarap sawah. Namun, tetap ia lakukan karena tidak mempunyai pilihan lain.
Menjadi peternak, belajar memasak menggunakan dapur kayu, mencari kayu bakar, mencuci pakaian menggunakan tangan sebuah keluarga di kali, dan berbagai pekerjaan yang tidak pernah dilakukan olehnya selama ini. Terlahir dari keluarga kaya, mempunyai istana megah, aneka jenis makanan hanyalah segelintir kenangan juga sejarah perjalanan Brayn. Belajar makan tanpa harus melihat jenis makanan di depan mata seperti apa? Dunia Brayn tidak lagi bercerita tentang kekayaan, melainkan petualangan baru hingga suatu hari kelak menciptakan irama tersendiri.
“Brayn, bisakah kau menjabarkan secara pasti maksud dari pernyataan ini, pondasi negara berada pada jalur tertentu ditemani bibit-bibit yang tersembunyi.” Ucapanku berada di hadapannya saat ia sedang mencuci pakaian sebaskom penuh di kali.
“Paman terus saja mengerjaiku.” Gerutu Brayn.
Butuh perjuangan memancing Brayn, agar mau menjabarkan pernyataan tersebut. Menemukan strategi membuat kepala sedikit pusing. Reynand memerintahkan, agar anak itu, dapat menjabarkan pernyataan tersebut melalui beberapa gambaran serta tulisan tangannya sebanyak mungkin. Mengharuskan Brayn menulis ratusan lembar tentang penjabaran dari pernyataan ini, membutuhkan perjuangan luar biasa tanpa rasa curiga sedikitpun. Memancing beberapa pertanyaan tentang tulisan yang dibuat oleh Brayn sendiri, agar ia mau menjawab lebih spesifik hingga ke akar-akar tertentu. Merekam seluruh jawaban Brayn melalui hand phone secara tersembunyi dan tidak pernah diketahui olehnya. Mengrimkan seluruh tulisan dan hasil rekaman tersebut untuk dipelajari oleh Reynand.
BAGIAN ENAM...

BRAYN...
Kehidupanku benar-benar menyedihkan, sangat mengerikan bagi siapapun yang melihat. Menjatuhkan air mata tidak dapat menyelesaikan permasalahan sedikitpun bahkan semakin memperlihatkan titik kelemahan seorang Brayn. Papa dan mama bercerai saat saya masih berusia 10 tahun dikarenakan perselingkuhan. Mama berselingkuh bersama sahabat papa, akhir cerita mereka kawin lari serta meninggalkan surat cerai yang telah ditanda tangani. Kesimpulan, bahwa saya tidak pernah bisa merasakan kasih sayang seorang ibu selama bertahun-tahun. Kejadian paling aneh adalah papa tetap setia menunggu mama kembali hingga hembusan nafas terakhirnya.
Kenapa papa terus saja menantikan mama yang begitu jahat bagi kehidupan kami? Papa selalu mengatakan pernikahan itu sakral dan jadikan sekali seumur hidupmu sepahit apa pun bahtera rumah tangga. Sebelum memasuki bahtera rumah tangga, perhatikan siapa yang ada di depanmu Setelah berada di dalam seperti apa pun keadaannya itu pilihan hidup, jangan pernah menjadikan pernikahan sebagai ajang permainan. Sepahit-pahitnya pilihan hidup dalam mengarungi bahtera pernikahan tersebut, tetap pertahankan. Jujur, saya tidak pernah mengerti pola pikir papa ada dimana?
Menginjak usia dewasa, mulai memasuki dunia kerja dengan mengelola perusahaan papa. Setelah beberapa tahun kemudian, papa pergi tanpa pernah melihat mama kembali ke rumah. Tidak lama setelah hal tersebut, perusahaan saya diambil orang yang dengan sengaja membuat jebakan. Saya menjadi gelandangan, tidur hanya beralaskan tikar di jalan tanpa uang satu sen pun. Kehidupan hancur terus saja membungkus perjalanan. Paling aneh dalam langkahku, entah kekuatan dari mana ataukah karena tidak ada pilihan, sehingga saya mau mengikuti apa pun perkataan seseorang yang mengaku sahabat papa.
Berada di sebuah pedesaan kecil serta melakukan semua perintahnya. Untuk kesekian kali dalam perjalanan, saya harus tertipu kembali. Melakukan segala pekerjaan-pekerjaan kasar yang selama ini belum pernah saya lakukan. Menjadi babu dengan mengerjakan semua pekerjaan rumah, mencari kayu bakar, bertani, beternak, dan lain sebagainya tanpa gaji sedikiitpun. Tuhan, petualangan seperti apa yang sedang membungkus langkahku sekarang?
Lebih parah lagi paman Leond, menyuruhku menulis tangan sekian ratus halaman tentang penyataan pondasi negara berada pada jalur tertentu, ditemani bibit-bibit tersembunyi. Menjabarkan maksud pernyataan tersebut, kemudian menulis semua konsep beserta maksudnya menggunakan tulisan tangan sekian ratus lembar. Tidak memahami, apa yang sebenarnya diinginkan oleh paman Leond? Menyuruhku mempertanggung jawabkan seluruh istilah-istilah dari tulisan tanganku dengan berbagai alasan paling tidak masuk akal.
“Jelaskan istilah-istilah dari penjabaranmu ini?” ucap paman Leond.
“Saya hanya sekedar menulis paman itu karena keterpaksaan,” balasan jawabanku.
Berbagai alasan dikeluarkan, pada akhirnya saya berusaha menjawab segala pertanyaannya. Hal paling kusesalkan adalah melalui tangan paman Leond, rambut pada kepalaku dengan susah payah terawat baik menjadi botak alias tidak terdapat sehelaipun. Seorang pria jauh terlihat lebih tampan, jika rambutnya pendek tidak gondrong menurut nasehat beliau. Ini bukan pendek lagi, melainkan sama sekali tidak memiliki sehelai rambutpun. Ia mencukur rambutku tanpa menyisahkan sedikitpun. Paman Leond juga berkata, kalau cowok itu jauh lebih keren tanpa tato sedikitpun pada tubuhnya. Bagi pandangan sebagian orang dan para artis, tato merupakan seni. Namun, bagi paman Leond tato akan membuat karakter seseorang berada pada suatu dimensi paling mengerikan yang terlalu sulit untuk dilukiskan.
 Bukan karena memakai tato akan terlihat seperti berandalan, hanya saja ada sesuatu yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata pada suatu dimensi lain. Paman Leond menggunakan berbagai cara, agar saya mau menjawab serta mempertanggung jawabkan segala tulisan tanganku.
“Kenapa saya menulis pondasi negara berada pada jalur tertentu dengan arti bahwa kekuatan sebuah negara berada di sebuah lingkaran dengan kualitas luar biasa bahkan tidak terdapat pada siapapun di sekitarnya?” ucapanku di bawah sebuah pohon besar dari desa terpencil tersebut.
“Dikarenakan, lingkaran kualitas menentukan perkembangan negara itu sendiri. Lingkaran kualitas seperti apa? Memainkan terobosan tertentu, namun, belum pernah ada di luar sana. Baik dari segi pendidikan, ekonomi, pengelolahan serta penguasaan sesuatu yang berbeda pada masing-masing bidang hingga menciptakan sebuah kekuatan.” Ucapanku kembali.
Berbagai jenis jawaban hingga ke akar-akar paling terdalam telah kuberikan. Paling anehnya, paman masih saja terus menggali serta memancing untuk menjelaskan segala sesuatu lebih mendetail. Saya tidak memahami maksud paman menyerang pertanyaan aneh. Menyuruhku menjelaskan berbagai gambar dengan mendeskripsikan melalui alur tersendiri. Terkadang paman Leond menjadi seorang ayah paling bijaksana, namun hanya beberapa saat. setelah itu, membuat tingkat kesulitan terhadap langkah perjalananku.
Karakter seperti apa berada dalam langkah paman Leond, seakan beliau terlihat memiliki kepribadian ganda. Suatu ketika, beliau menjadi tiba-tiba begitu jahat luar biasa dengan menyebarkan berbagai ucapan penghinaan pada semua orang tentang kehidupanku. Saya berpikir, beliau adalah pengganti papa namun, semua itu salah bahkan tidak pernah ada. Lebih menyakitkan lagi, mendengar bahwa dibalik kasus penipuan perusahaanku hingga saya jatuh miskin adalah dirinya. Orang paling terdekat dan selalu memberikan kekuatan ternyata manusia paling kejam.
“Perusahaanmu berpindah tangan, itu karena saya bekerja sama dengan pengusaha tersebut untuk menghancurkan kehidupanmu.” Ucapannya tanpa perasaan menyesal sedikitpun, membuat hatiku begitu terluka bahkan jauh lebih perih dibandingkan tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu.
“Tuhan, kenapa saya tidak pernah bisa membencinya?” jeritan hatiku seakan ingin menangis sejadi-jadinya. Membuatku kakiku harus terpasung sekitar rumah kecil dari desa tersebut. Semua orang menganggap saya gila, karena berbagai cerita dengan kesengajaan dibuat oleh paman. Kedua matanya, memancarkan rasa puas melihat tubuhku terpasung seperti ini.
“Tetaplah berjuang dan jangan pernah menyerah tentang sebuah keadaan. Kau harus mempunyai kekuatan seperti rajawali hingga Tuhan menangis bukan karena kekecewaan besar melihatmu, melainkan terharu memandang perjalanan dari dunia Brayn tidaklah seperti kebanyakan orang disekelilingnya.” Entah mengapa kata-kata orang yang membuatku terpasung seperti sekarang terus terngiang di telingaku. Air mataku secara tiba-tiba mengalir begitu deras dan tidak dapat kuhentikan begitu saja. Berusaha untuk tidak pernah mengeluarkan setetes air matapun, pada akhirnya mengalir begitu saja dengan begitu deras.
“Membuat Tuhan menangis, bukan karena kecewa melihatku melainkan perasaan terharu oleh karena perjalanan Bayn berbeda dari siapapun.” Jeritan hatiku.
HOSEA LEONARD...
Di tempat tersembunyi, air mataku seakan tertumpah keluar begitu saja atas segala penderitaan Brayn. Menjebak anak itu, pada akhir cerita kaki serta tangannya terpasung di sebuah rumah kecil. Seluruh warga berkata, Brayn mengalami gangguan jiwa.
“Bertahanlah, semua untuk perbaikan Indonesia suatu hari kelak. Tidak ada maksud menjadi paling terjahat diantara manusia paling kejam, keadaanlah yang mengharuskan semua ini terjadi.” Bisikan hatiku menggema bersembunyi di balik pohon memperhatikan keadaannya.
Proses ini harus di jalani oleh Brayn, demi pembentukan berbagai hal dalam langkah perjalanannya. Tubuhnya kurus kering, tidak terurus, rambutnya kembali memanjang, dan tidak menampakkan seperti manusia lagi. Begitu banyak luka pada tubuh Brayn, membuat air mataku terus saja mengalir setiap saat.
“Paman Hosea, jangan pernah memperlihatkan air mata setetespun di hadapan Brayn.” Tegur Reynand di hadapanku.
“Sejak kapan kau ada di desa ini?” saya berusaha menghapus air mata pada wajahku.
“Setelah mengantarkan Nara kembali ke Jerman, saya langsung menuju desa ini mencari keberadaan paman.” Jawaban Reynand.
“Saya tahu pasti, kalau paman sangat menyayangi Brayn, hanya saja, Nara tetap bertahan pada pendiriannya untuk tahapan proses mengerikan seperti ini pada mereka.” Kalimat Reynand lagi.
“Sejak kecil, Brayn di tinggal oleh ibunya hingga tidak pernah merasakan kasih sayang sedikitpun. Kehilangan seorang ayah, perusahaannya ditipu, menjadi gelandangan di jalan, hidup di desa dengan melakoni berbagai pekerjaan kasar, mendapat berita buruk tentang kejahatanku, dan sekarang kaki serta tangannya terpasung dengan begitu banyak luka pada tubuhnya.” Tangisku tiba-tiba pecah tidak tertahankan.
“Berhenti menangis, paman” tegur Reynand.
“Bukan permasalahan bagaimana penderitaan Brayn. Coba berpikir lebih bijak, proses ini akan mengajarkan sebuah kekuatan luar biasa untuk langkah Brayn selanjutnya. Nara tidak mau asal memilih sembarang orang untuk memperbaiki negara ini.” Reynand berusaha membuat sadar tentang sesuatu...
“Saya sadar betul, tapi, melihat penderitaan Brayn sekarang membuat air mataku ingin terus mengalir sejadi-jadinya.” Tangisku terus saja bermain.
“Jika dilihat dari hasil tulisan Brayn dan bagaimana penjabaran beberapa pertanyaan yang diberikan. Ternyata cukup memuaskan, cara dia mengungkapkan dan mempertanggung jawabkan terlihat biasa, namun, setelah ditelusuri terdapat sesuatu dengan meninggalkan jejak teka-teki.” Kalimat Reynand kembali.
“Pastilah, karena pada kenyataan bahwa Brayn merupakan pria berpendidikan juga cerdas.” Ucapanku.
“Kecerdasan seseorang tidak menjamin kualitas perbaikan negara ini. Indonesia membutuhkan tingkatan kualitas karakter diimbangi kecerdasan dimana terbungkus ciri khas tersendiri.” Kalimat Reynand berusaha menyadarkanku akan sesuatu hal.
“Bersabarlah dan percaya bahwa Brayn dapat melewati semua ini.” Perkataan Reynand kembali.
“Berapa lama, membuat Brayn terpasung seperti ini?” pertanyaanku.
“Tunggu intruksi dari Nara melalui email.” Jawabannya.
“Saya hanya ingin tahu sekitar berapa lama?”
“Kemungkinan sekitar 3 bulan lagi, setelah itu kita akan berusaha membebaskan dia dan rencana selanjutnya...” kening Reynand berkerut.
“Apa rencana selanjutnya?” pertanyaanku.
“Membawa Brayn ke negara paling termiskin untuk membuat sesuatu hal di sana.” Jawabannya.
“Sekitar negara mana?”
“Negara bagian Afrika dan harus berbaur dengan masyarakat di sana, sedangkan Jaya Guntur tetap berada di Indonesia, hanya saja, di bagian paling pedalaman.” Ucapan Reynand.
“Wow...” tanpa sadar terkejut mendengar hal tersebut.
“Jaya akan berada di sebuah pedalaman yang sama sekali belum mengenal pakaian untuk menutupi tubuh.” Ucap Reynand lagi.
“Bisakah saya memberikan sebungkus roti untuk Brayn dan sebotol susu?” pertanyaanku tidak tahan melihat penderitaan anak itu.
“Jangan paman secara langsung mengantarkan, lebih baik menyuruh orang lain.” Kalimat Reynand.
Menyuruh orang untuk membawa makanan ke rumah kecil tersebut, dengan menyelipkan secarik kertas kecil untuk Brayn. “Tetaplah kuat, jangan pernah menjadi lemah karena seluruh peristiwa yang membungkus perjalananmu sejak awal hingga sekarang.” Setidaknya tulisan tersebut dapat menjadi penyemangat Brayn untuk terus bertahan dan berjuang.
Membayar seseorang mengobati seluruh luka pada tubuh Brayn secara diam-diam. Membersihkan tubuhnya serta menggunting rambut panjangnya menjadi pendek. “Semua pasti bisa dilalui oleh Brayn” jeritan hatiku setiap hari bersembunyi dari kejauhan memperhatikan keadaannya.
“Jadilah seperti rajawali, semakin terbang tinggi di tengah badai. Hingga setiap langkah perjalananmu membuat Tuhan menangis bukan karena kekecewaan, melainkan terharu melihat langkahmu.” Suara hatiku menggema.
Saya harus meninggalkan desa itu, dalam keadaan Brayn masih terpasung untuk kembali ke Jakarta bersama Reynand. Bertemu kedua pejabat membicarakan rencana lanjutan ke depan. Mempersiapkan beberapa pasport serta dokumen-dokumen penting...
“Pria terlihat tangguh bukan karena berotot, melainkan dia dapat mengambil batu besar dari pundaknya dan menghancurkannya berkeping-keping melalui kekuatan doa terbungkus air mata di tempat tersembunyi tanpa seorangpun pernah tahu.” Tulisanku pada secarik kertas dan menyuruh orang mengirimkan kepada Brayn secara diam-diam, sekalipun saya berada di Jakarta.
Mengingat kembali bagaimana dia menyebutku pak tua pertama kali bertemu dengannya. Indonesia berada di tangan generasi muda, melalui jalan seperti inilah maka pemulihan dapat terjadi. Bukan permasalahan kecerdasan menjadi landasan utama perbaikan Indonesia melainkan sebuah proses kehidupan di suatu lingkaran tertentu.
“Nara, segitu bengisnya proses-proses yang kau terapkan.” Nada tinggi salah pejabat.
“Paman, andai kata disuruh memilih saya juga tidak pernah menginginkan seperti ini atau membuat luka di hati mereka.” Jawaban Nara melalui sambungan telpon.
“Paman Hartono, berhenti berbicara, jangan sampai ada yang sedang memeriksa pembicaraanmu melalui komunikasi celuler.” Tegur Reynand menarik hand phone kemudian menutupnya.
“Nara benar-benar keterlaluan.” Ujar pak Hartono.
“Saya rasa tidak perlu menyalahkan Nara, sesuai kesepakatan bersama kan sebelumnya.” Kalimatku memotong pembicaraan.
“Bukankah Nara telah mengancam tidak akan mau berada di atas, jika patner kerjanya sembarang orang.” Tegur Reynand mencoba mengingatkan.
“Saya pikir proses yang dimaksud itu tidak sampai melewati batas sewajarnya, sekalipun...” ucap pak Hartono.
“Coba ingat pembicaraan dengan Nara sewaktu di Jerman, tidak ada cara lain terlebih keadaan indonesia dengan hutang menumpuk seperti gunung, merubah pola pikir masing-masing suku tentang sesuatu objek tidaklah mudah, pengelolahan SDA, dan masih banyak lagi.” Reynand mencoba menyadarkan pak Hartono.
“Kenapa para pejabat tidak pernah peduli rakyatnya sendiri? Karena mereka langsung memasuki area tanpa pernah belajar arti kehidupan, tanpa pernah mengerti tentang belas kasih terhadap sesama.” Kalimat pak Raharjo menegur Hartono.
“Seenaknya parpol memainkan permainan atau mengambil beberapa artis untuk menjalankan roda pemerintahan tanpa pernah berpikir sesuatu hal. Saya juga bekas artis, hanya saja, peranku berusaha membantu pacar tercintaku.” Celoteh Reynand.
“Ikuti saja kemauan Nara, tidak mungkin semua ini diberhentikan begitu saja. Terlebih dia mengancam tidak mau masuk jika rekan kerjanya kelak asal salah pilih.” Tegur Reynan kembali.
“Betul yang diucapkan Reynand, tidak ada niat melakukan kejahatan buat mereka, lagian ini hanyalah sebuah proses.” Ucapanku menenangkan Hartono.
BAGIAN TUJUH...

REYNAND...
Tuntutan mengharuskan Nara dan kami semua melakukan perbuatan paling kejam bagi pemandangan mata. Permasalahan Indonesia memasuki tahap serius, sedangkan Nara bertahan tidak akan masuk ke dunia pemerintahan dengan memakai patner sembarang atau asal-asalan. Saya pun terancam habis-habisan putus hubungan, jika tidak ikut membantu mempersiapkan semua yang dia diinginkan. Namun, jauh di dasar hati bukan karena Nara mengancam tentang hubungan kami, melainkan saya mulai menyadari persoalan-persoalan di depan akan menjadi bumerang Indonesia.
Mengumpulkan seluruh hasil tulisan tangan mereka, kemudian mempelajari lebih lanjut. Menyuruh mereka menjabarkan teka-teki gambar, bahasa tubuh, dan lain sebagainya menggunakan beberapa tekhnik tanpa diketahui sedikitpun. Tidak pernah menyadari tentang rencana besar akan perjalanan tertentu suatu hari kelak. Bersifat tersembunyi bahkan terlalu rahasia. Suatu hari nanti, mereka akan tahu langkah kaki mengharuskan untuk mengalami proses luar biasa.
Saya harus mempelajari istilah-istilah dari seluruh tulisan tangan di depan. Bagaimana penjelasan tentang sebuah penyataan, gambar-gambar biasa namun terdapat sesuatu yang tidak disadari oleh siapapun, gerak-gerik objek tertentu. Membutuhkan strategi memancing serta berhasil membuat mereka mengerjakan semua ini. Paman Hartono dan paman Harjo menolong saya dalam mempelajari gaya bahasa, mimik, ungkapan, penjelasan, serta beberapa hal lain lagi melalui rekaman suara mereka.
Di samping membuat proses luar biasa tanpa mereka pernah tahu ataupun sadar, kami juga memancing/ membentuk pola pikir di masing-masing daerah. Beberapa kegiatan sengaja diarahkan, sebelum membuat mereka berada dalam lingkaran dimana air mata akan terus mengalir deras. Terus berada di depan layar komputer, hanya itulah kegiatanku setiap harinya.
“Paman, arahkan kepada mereka yang membuat proses tertentu untuk tidak memperlihatkan air mata sedikitpun. Bisa kacau semuanya.” Gertakku terhadap paman Budi, adalah orang terpilih untuk memproses salah satu dari mereka.
Selain memeriksa serta mempelajari tulisan di depan mataku, saya pun harus mempersiapkan pasport juga dokumen-dokumen penting. Sementara Nara mencari data-data/artikel dari berbagai sumber untuk persiapan setelah melewati semua proses tersebut. Mengumpulkan buku, majalah, korang bekas, alat-alat elekronik bekas untuk membentuk wawasan mereka kelak. Mempersiapkan materi-materi dari berbagai bidang, mempelajari istilah-istilah tertentu, dan banyak lagi.
Perjalanan otonomi daerah di seluruh Indonesia bersifat dan mengarah ke titik mana? Bagaimana kelebihan/ kekurangan terhadap otonomi daerah yang telah ditelah di undang-undangkan selama ini? Apa penyebab munculnya otonomi daerah? Merupakan sebagian dari materi-materi persiapan untuk mengarahkan mereka.
“Nara, buku-buku tentang kekayaan Indonesia kau letakkan dimana?” pertanyaanku kepada Nara melalui saluran telpon, karena dia telah kembali ke Jerman.
“Coba cari pada rak lemari bagian bawah, semuanya ada telah kuletakkan disitu.” Jawabnya di telpon.
“Sudah ketemu...” 10 menit kemudian.
“Kalau begitu saya tutup telponnya,” kalimat Nara.
“Tunggu-tunggu, kau belum mengatakan kalau Nara sayang Reynand.” Gerutuku.
“Berhenti bercanda, bossss.” Tiba-tiba saluran telponnya diputus.
“Selalu saja begitu,” kekesalanku menggeleng-gelengkan kepala. Sumber kekayaan negara dengan ribuan pertanyaan serta materi-materi terpenting. Apa penyebab utama sehingga seluruh kekayaan Indonesia semenjak orde baru telah dikelola oleh piha luar? Mencari jawaban dari sekian pertanyaan ini, dampak terhadap Indonesia untuk beberapa arah. Pengelolahan/ terobosan/ program bagaimana yang harus dijalankan, jika seandainya semua itu kembali ke tangan Indonesia.
“Reynand, ini kaset yang kau minta.” Suara paman Harjo tiba-tiba dari arah belakang.
“Letakkan saja di atas meja, paman.” Balasku.
“Ada sesuatu yang ingin kukatakan terhadapmu dan Nara,”
“Tentang apa? Serius amat, paman”
“Masalahnya, Nara tidak ada disini.” Ujar paman Harjo sedikit pusing.
“Gampang, tinggal menggunakan saluran telpon atau email. Selesai” ucapku.
“Baiklah, nyalakan layar di depanmu dan hubungi Nara.” Perintah paman Harjo.
“Ada apa, paman Harjo?” pertanyaan Nara dengan wajahnya terpampang jelas di layar sedang duduk.
“Begini, saya membaca sebuah buku biografi seorang anak jenius dari Surabaya.” Ucap paman Harjo.
“Siapa nama anak jenius itu, penasaran.” Ujarku.
“Maria alexa, menguasai banyak bahasa asing, pada usia masih belasan tahun telah menjadi professor, usianya sekitar 2 tahun telah lancar membaca. Ada lagi, kulit putih, wajah lumayan cantik, anak tunggal.” Ujar paman Harjo.
“Terus permasalahan tentang gadis itu dimana, paman?” tanya Nara.
“Iya betul, apakah ingin membuat Nara cemburu, boleh juga.” candaanku.
“Maksudnya, membuatku cemburu?” mata Nara terus saja berkedip-kedip.
“Biar bisa diajak kenalan gitu, terus diajak jalan, terakhir naksir deh ma saya, terakhir lagi kau panas tidak jelas...”godaanku.
“Memang kau berani jalan ma seorang cewek?” ucap Nara.
“Berani, siapa takut...” balasku.
“Silahkan...” ucapan Nara seakan tidak perduli, luar biasa sulitnya membuat seorang Nara cemburu buta. Yang ada malah, saya begitu takut kehilangan dia sampai kapanpun juga.
“Saya tidak menyuruh kalian bertengkar,” teriak paman Harjo.
“Kembali ke permasalahan gadis jenius itu, paman.” Ucapku.
“Menurut cerita, gadis itu menjadi rebutan banyak negara karena kejeniusannya.” Kalimat paman Harjo.
“Terus, kenapa kalau gadis tersebut menjadi rebutan seluruh negara.” Kalimat sinis Nara.
“Apakah kau tidak tertarik untuk mengambil dia sebagai salah satu tokoh bagi perbaikan Indonesia?” tanya paman Harjo.
“Paman, bukankah telah kukatakan, jika gadis itu tidak termasuk pilihan serta tidak bisa memasuki proses sesuai kehendakku, saya menolak.” Perkataan Nara.
“Nara, coba bayangkan dia itu menjadi rebutan seluruh dunia menurut buku biografinya, anak didik Yohanis Saputra sebelum berada di luar negeri.” Paman Harjo berusaha mempertahankan gadis tersebut.
“Coba paman berpikir, dia berasal dari keluarga berkecukupan, anak tunggal bahkan tidak pernah merasakan kehidupan susah/sulit. Mencari makan sebutir dengan menguras keringat tidak pernah terjadi dalam hidupnya.” Ucapan Nara.
“Betul dikatakan Nara, sedangkan saya yang ingin menjadi pacarnya kemarin berjuang keras luar biasa terlebih permasalahan Indonesia...Gimana cerita, saya tahu watak Nara.” Ujarku menyadari karakter Nara.
“Andai kata gadis itu masuk tanpa proses sekarang, seseorang yang tidak pernah merasakan kehidupan di bawah, 100% keegoisan/kesombongan/asal berjalan/kemunafikan dan lain sebagainya bisa saja membungkus perjalanannya. Sekarang kita sedang berbicara negara bukan perusahaan.” Tutur kata Nara penuh penekanan.
“Negara menyangkut banyak manusia di sana bukan hanya 1 atau 100 orang, melainkan jutaan orang. Belum tentu dia lulus, andai kata mengikuti proses sekarang, kenapa? Karena bukan pilihan Tuhan. Belum tentu juga dia mau mengikuti semua yang dikatakan, kenapa?” kalimat Nara lagi.
“Kenapa?” tanyaku.
“Karena anak ini merasa bahwa dia menjadi rebutan seluruh negara. Jadi, kalau ada negara yang mau mengambil, silahkan, saya relakan...” Jawaban Nara.
“Bukankah Brayn juga orang kaya di negara ini, kenapa dia bisa, sedangkan gadis itu tidak bisa?” pertanyaan paman Harjo tidak mengerti.
“Brayn berbeda cerita dengan gadis itu, tidak dapat disamakan. Menurut cerita paman Hosea, bagaimana karakter Brayn pertama kali menghadapi objek  dan keadaan di hadapannya. Tuhan memang menetapkan Brayn, dengan melihat beberapa hal. Manusia melihat luar, tetapi Tuhan melihat kedalaman seseorang.” Jawaban Nara lagi.
“Paman, jangan salah sangka dulu terhadap Brayn. Coba perhatikan, setiap Brayn menghadapi permasalahan apakah ada kalimat serapah keluar. Saya membuat Brayn jatuh miskin dan tidur di jalan, tidak ada karakter aneh yang saya perhatikan...” ujarku.
“Menurut ucapan paman Hosea, dia hanya berkata tentang perkataan papanya, buatlah sebuah cerita paling berkesan dan tidak akan pernah bisa dilupakan seumur hidup di tengah derasnya gelombang.” Perkataan Nara menjelaskan.
“Brayn sadar akan sesuatu hal, sekarang kaki juga tangannya terpasung di sebuah rumah kecil dengan begitu banyak luka pada tubuhnya, sama sekali dia tidak berkata kenapa Tuhan? Saya membenciMU Tuhan? Kau dimana Tuhan? Betulkah KAU benar-benar ada Tuhan?” ucapanku memperlihatkan kehidupan seorang Brayn.
“Paman, Suatu hari kelak ada begitu banyak hal akan diperhadapkan baik tentang seluruh bidang, perkembangan pembangunan, politik aneh kiri kanan bermain, konflik luar dalam, serangan-serangan pembenci baik secara halus bahkan paling kasar, permasalahan-permasalahan kecil tapi dibesar-besarkan apa lagi jika memang sudah besar. Sekarang kita sedang bercerita tentang negara bukan perusahaan atau benda.” Ucapan Nara lagi.
“Yang dibutuhkan adalah seseorang dengan kekuatan berbeda dari siapapun. Bagaimana dia bijak dalam berjalan sekalipun begitu banyak tekanan kiri-kanan. Memperlihatkan hasil terbaik, bahkan tidak memperdulikan nyawanya sendiri demi apa? Demi sebuah perjuangan memperlihatkan hasil.” Kembali Nara menjelaskan.
“Terserah kalian saja...” ucapan paman Harjo menyadari akan permasalahan di depan.
Saya menyukai dunia Nara, itulah mengapa seorang Reynand berjuang demi mendapat perhatiannya. Terus berada di hadapan layar mengarahkan bagaimana kisah lanjutan perjalanan masing-masing dari mereka semua. Selain tertarik mempelajari karakter Brayn diantara 34 orang ini, saya seakan di arahkan pada 2 kisah kehidupan lagi. Rasa ingin menangis memantau kehidupan Brayn...bahkan paman Hosea, Nara, dan lainnya tidak pernah tahu bagaimana saya menjatuhkan bola-bola kristal dari sepasang mataku.
Selain Brayn, terdapat 2 orang lagi menarik perhatian menyimak kehidupannya. Jaya Guntur dan Mekar Sari diantara 34 orang dari seluruh provinsi. Baik dari segi kepribadian saat berada di suatu area tertentu, juga potensi mengembangkan beberapa bidang di Indonesia. Pemikiran Jaya dapat di teliti melalui hasil tulisan tangannya, bagaimana dia menyelesaikan beberapa tes yang diberikan tanpa disadari olehnya. Hasil rekaman suara Jaya memperlihatkan, bahwa dia dapat menjadi seorang penemu untuk mengembangkan perkembangan teknologi untuk pembangunan negara juga dunia. Sementara Ditha dapat bergerak untuk pertanian, kehutanan, perikanan dengan beberapa terobosan dari pemikirannya. Untuk saat ini, potensi mereka berdua belum terlihat sepenuhnya, namun, suatu hari kelak hanya dengan membentuk ataupun melatih akan benar-benar kelihatan secara sempurna/utuh.
“Paman Budi, bisakah mengarahkan Jaya menyelesaikan beberapa pertanyaan?” pesanku lewat email.
“Pertanyaan seperti apa yang ingin kau lemparkan ke arah Jaya?” balasan email dari paman Budi.
“Pertanyaannya seperti ini, jika di depanmu terdapat sebuah elektronik benar-benar rusak pada level paling terparah, apakah kau masih berusaha untuk memperbaiki atau  membuang bahkan menganggap sebagai sampah?” tulisan pesanku.
“Serahkan saja padaku, suara Jaya akan kurekam kemudian kukirim.”
“Usahakan jangan sampai mengundang kecurigaan apa pun, saya akan memantau dari ruanganku, kalau perlu gunakan kamera tersembunyi tanpa sepengetahuan Jaya.” Ujarku.
“Bagaimana caranya, Reynand?”
“Paman, gunakan segala ide di kepalamu, karena saya akan mengarahkan paman memberikan kembali beberapa pertanyaan.” Kalimatku terhadapnya.
“Baiklah.” Balasan email paman Budi. Sesuai perencanaan, paman Budi mencari berbagai cara membujuk Jaya berada disuatu ruangan dengan kamera tersembunyi. Saya sendiri terus mengarahkan paman memberikan berbagai pertanyaan melalui kecanggihan teknologi sekarang. Memantau gerakan Jaya dari ruanganku lewat layar besar di depan meja kerja. Pertanyaan ini memang biasa, hanya saja bagi seseorang yang memiliki dunia lain, pasti akan membuat perbedaan.
“Bagaimana jika di depanmu terdapat sebuah elektronik benar-benar rusak pada level paling kacau/parah minta ampun, apakah kau masih berusaha untuk memperbaiki atau  membuang bahkan menganggap sebagai sampah?” pertanyaan paman Budi berusaha untuk tidak menimbulkan sedikitpun kecurigaan.
“Paman, pertaanyaanmu itu aneh benner, emangnya apa yang akan dilakukan semua orang dengan elektronik kacau begitu, pasti dibuanglah.” Gurauan Jaya masih bisa tertawa.
“Kau pikir saya ini terlalu bodoh diberikan jawaban seperti itu.” Ujar paman Budi.
“Paman, jawaban itu hanyalah kesengajaan dan bukan itu yang saya cari, pancing dia terus.” Kalimatku mengarahkan dari ruanganku dengan melihat pembicaraan mereka depan layar sedang.
“Saya juga tahu kalau barang gituan pasti dibuanglah, emang mau diapain coba? Tapi ga gini juga yang gua mau dengerin dari lu.” Bicara paman Budi berusaha...
“Kalau untuk saya pribadi, masih berusaha memperbaiki sekalipun telah memasuki kerusakan terparah. Kalaupun, seandainya tidak ada harapan, saya akan mengambil beberapa alat-alat di dalam kemudian dibuat sesuatu. Bukan berarti tv rusak baberapa organ tubuhnya tidak berharga lagi kan,” jawaban Jaya.
“Mengambil organ tubuhnya buat apa coba?” pancing paman Budi.
“Banyak yang bisa dibuat paman, contoh, mungkin kerajinan tertentu seperti rak buku, lemari, dan lain-lain. Sementara organ tubuh lain yang masih berfungsi dapat digunakan pada elektronik yang juga dalam perbaikan, atau dirakit menjadi sebuah alat terbaru mungkin.” Jawaban Jaya.
“Jaya, bisakah kau jelasin tentang gambaran elektronik rusak terhadap negara ini?”
“Emang negara ini macam radio rusak? Tapi, kalau dipikir-pikir betulan juga sih, Indonesia emang dari sononya dah rusak parah, bentar lagi malaikat pencabut nyawa datang menghabisi ibarat orang yang sakit parah dah mau mati.” Kalimat Jaya.
Jaya Guntur membuat sebuah argument memeh tentang Indonesia, tidak habis pikir tentang ucapannya memakai sindiran paling kacau, namun menusuk hingga ke tulang sum-sum belakang. Tapi, jika disimak, argumentnya tidak sampai menusuk tulang sum-sum belakang juga sih, hanya sekedar bercanda...
BAGIAN DELAPAN...

JAYA GUNTUR...
Awal bulan, tanggal baru, semangat baru, kenapa? Uang gaji siap menanti di depan mata, itulah jawaban paling tepat. Bekerja pada salah satu perusahaan, dan kuliah pada malam hari. Orang tuaku masih sanggup membiayai seluruh kuliahku, hanya saja, saya ingin mandiri baik bahkan tidak melibatkan keluarga tentang biaya kuliah terlebih makan. Papi mami tidak termasuk deretan ekonomi kelas atas, tapi, setidaknya masih bisa membiayai seluruh anak-anaknya. Namun, saya terbiasa membiayai sekolahku semenjak memasuki bangku SMU kemarin, hingga perguruan tinggi sekarang.
Siang itu saya berjalan keluar dari kantor mengantarkan barang pesanan sebuah toko. Sepulang dari toko langganan perusahaan, perhatian saya mengarah pada seorang lelaki tua sedang menjajahkan mainan. Gejolak hati saya sedang berperang, menaruh rasa kasihan atau berpikir bahwa pria tua itu hanyalah sekelompok penipu? Zaman sekarang banyak orang dengan kesengajaan menghalalkan segala cara biar diberi uang dan segalanya, ibarat mengemis. Tidak memiliki cacat kaki, tapi berbohong pada lapisan masyarakat.
Apa bedanya pria tua keriput di pinggir jalan sana, sengaja membuat luka atau apa gitu terus dikasihani, singkat cerita hipnotis kiri kanan dan membawa lari banyak uang korban. Namun, seakan ada yang aneh di dasar hatiku sekarang, entahlah hanya saja maha tahu. Beberapa hari saya selalu dipertemukan oleh pria tersebut di jalan, hanya dia tidak pernah menyadari hal tersebut. Perbedaannya adalah dia berjalan kaki sedangkan saya menggunakan motor.
“Tuhan, kalau pria tua itu bukanlah penipu untuk menghipnotis orang atau pengemis yang berpura-pura tua, berarti dia akan melewati jalan rumahku sebentar.” Ujarku di dasar hati meminta bukti kepada Tuhan tentang pria tua di sana. Entah bagaimana caranya, pria itu benar-benar berjalan sekitar arah rumahku pertengahan hari. Saya benar-benar dikejutkan olehnya...
Berjalan menuju ke arah pria tersebut, sedangkan motor saya tinggalkan di rumah. Menyapa pria tersebut, tidak tahu kenapa ada sesuatu hal yang ingin saya lakukan untuknya. Dengan alasan membeli mainannya untuk adik saya, tersenyum dihadapannya itulah kisahku.mengajak pria tua itu ke rumahkum membersihkan luka-luka pada tubuhya serta mengganti pakaian usang bahkan sangat bau. Sebelum pergi, dia berdoa untukku dalam dekapannya ada sesuatu dimana sama sekali belum pernah kurasakan dalam hidup.
” Tuhan, akan membuatmu kuat dari sekarang sampai kapanpun juga. Jaya Guntur akan membuat irama dalam langkah perjalanannya apa pun yang terjadi, sekalipun air matanya terus mengalir tidak berarti dia akan terlihat lemah.” Ucapan doa pria tersebut, membuatku merasakan bahwa sesuatu hal akan terjadi dalam perjalananku, namun, entahlah...
Dua bulan kemudian, begitu banyak hal menimpa kehidupanku. Permasalahan demi permasalahan menimpa secara bertubi-tubi. Papi mami menganggap saya bukan lagi anaknya, karena seseorang menyebarkan fitnah. Begitu banyak wanita mengaduh ke rumah, kalau saya telah meniduri bahkan memperkosa hingga hamil. Seseorang dengan kesengajaan memberiku orang tidur, saat tersadar saya sudah berada di atas tempat tidur sendirian. Selang beberapa hari, tiba-tiba saja pria bertubuh besar datang ke perusahaan tempatku bekerja berteriak di depan semua orang. Pria tersebut mengaku jika saya telah tidur bersama dengan istrinya.
“Semua itu tidak benar,” teriakanku. Wajahku beberapa kali terkena pukulan dari pria tersebut hingga babak belur.
“Ini buktinya” kalimat pria itu menyerahkan beberapa lembar foto. Saya benar-benar terkejut, bagaimana bisa wajahku bersama seorang wanita.
“Mulai detik ini, jangan pernah menampakkan batang hidungmu lagi,” kegeraman atasanku. Saya harus kehilangan pekerjaan, bukan hanya hal itu pihak kampus mengeluarkan dari proses perkuliahan. Masa depanku hancur dalam sekejap. Orang tuaku tidak menganggapku lagi sebagai anak mereka. Paling mengerikan, kenapa begitu banyak wanita berkata telah mempunyai anak dari saya. Yang benar saja, mengenal wanita seorangpun belum pernah. Tidur di jalan dan menjadi seorang gelandangan. Tidak seorangpun memberiku pekerjaan, sekalipun hanya sebagai buruh kasar. Dari mana mereka tahu, kalau saya berhenti bekerja karena sebuah permasalahan telah meniduri istri orang.
“Apakah saya harus menangis,” jerit hatiku. Di bawah derasnya hujan, saya berjalan seolah kehilangan arah kehidupan. Perutku benar-benar lapar, sedangkan saya tidak memiliki uang satu sen pun. Beberapa hari lalu, seseorang menjambret seluruh isi tas saya dimulai dari hand phone, uang, dan jam tangan.
“Tuhan, sekalipun air mataku terjatuh saat ini tidak berarti saya adalah orang lemah.” Air mataku terus saja mengalir di tengah derasnya air hujan pada pertengahan malam.
“Hikhikhikhik...apakah kehidupan jauh lebih kacau dibandingkan anak perempuan?” ucapanku di dasar hati. Saya seperti orang bodoh bahkan sangat menjijikkan mencari sisa makanan sekitar tempat dan tidak jauh dari restoran siap saji.
“Balut luka-luka yang begitu kuat menancap pada seluruh tubuhku, Tuhan.” Air mataku terus saja mengalir. Memungut makanan sisa bahkan basih dan memasukkannya ke dalam mulutku. Tidur di pinggir jalan setiap hari, berjuang keras mencari pekerjaan...
“Saya tidak akan menyerah dengan keadaan bahkan terlihat lemah. Saya tidak akan pernah mau menjadi pengemis di jalan.” Kalimatku di dasar hati. Air mataku dapat saja mengalir di setiap sudut jalan, bukan berarti langkahku berada pada area lingkaran paling terburuk. Gelombang ombak dapat saja mempermainkan nafasku saat ini, tidak berarti saya harus menjadi manusia terburuk.
“Luka yang begitu kuat bisa saja menancap secara hebat, tidak berarti duniaku lenyap begitu saja,” bisikan hatiku menggema kembali di bawah derasnya air hujan. Entah mengapa, sejak awal kehidupanku mengalami badai, hujanpun tidak pernah berhenti membasahi bumi. Apakah bumi ikut bersedih atas segala yang sedang membungkus langkahku saat ini. Tiba-tiba seseorang datang ke hadapanku membawa sebuah payung untuk memberiku perlindungan. Air mataku terus saja mengalir, sama seperti perempuan. Andai kata, saya terlahir sebagai anak perempuan saja.
“Menagislah, jika semua itu dapat meringankan bebanmu.” Kalimat pria paruh bayah itu mendekapku di tengah derasnya hujan.
“Sekalipun air mataku mengalir deras, tidak berarti saya terlihat lemah. Saya berusaha untuk tidak mengalirkan butiran kristal, akhir cerita, saya tidak pernah berhasil menghentikannya.” Kata-kataku berada dalam dekapannya dengan kepala menunduk.
Hanya itu yang dapat kulakukan sekarang, mengalirkan butiran kristal di tengah derasnya hujan. Tiba-tiba pandangan mata saya menjadi kabur dan gelap beberapa jam kemudian. Saat tersadar, saya merasakan sedang berada di sebuah ranjang ditemani selimut tebal memberikan kehangatan.
“Kau sudah bangun?” pertanyaan seseorang dan tidak lain  adalah pria semalam.
“Ada saat dimana seseorang akan mengalami gelombang ombak, kembali kepada diri sendiri...apakah akan terlalihat lemah atau kuat.” Senyuman pria tersebut di hadapanku. Pria tua itu bernama Budi. Beliau yang telah menolong saya. Memberikan tempat tinggal di sebuah pedesaan, mengajarkan tentang kekuatan.
Hal paling mengganjal untuk perjalananku, adalah kenapa saya mau mengikuti apa pun yang diperintahkan oleh paman Budi. Ada apa dengan duniaku? Rasanya segala ucapannya terus saja kulakukan bukan karena permasalahan saya tidak memiliki siapapun lagi sekarang, namun entahlah...
Menyuruhku merawat serta menjaga anak-anak yatim di sebuah rumah sederhana. Memasak, mencuci pakaian beberapa bayi yang masih kecil, memandikan anak-anak yatim, dan lain sebagainya. Di lain hal, berkebun buat makan sehari-hari anak yatim, juga berada di sawah menanam padi. Paman Budi berucap, tidak ada seorangpun donatur yang ingin menolong anak-anak yatim ini, jadi, kita harus berusaha memberik makan dengan berusaha...
Lebih parah lagi, saya harus bisa mengatur waktu menyelesaikan seluruh pekerjaan di depanku sekarang. Mengikuti kemauan paman Budi, menulis ratusan lembar hasil deskripisiku sendiri dari beberapa pernyataan. Hanya sebuah pernyataan, saya diperintahkan untuk menjelaskan menurut pemikiranku sebanyak ratusan lembar hingga berulang-ulang. Menghubungkan pernyataan, teka-teki gambar, dan lain sebagainya terhadap berbagai bidang pembangunan dari negara ini. Alasan paman, karena beliau tidak ingin terlihat bodoh di hadapan semua orang, jadi, aku harus membantunya.
“Saya ingin menjadi kepala desa di tempat ini.” Jawaban paman Budi setiap saat. Paman Budi harus benar-benar terlihat seperti orang berpendidikan, jadi, siang malam beliau terus saja berguru terhadapku. Sekalipun, kemampuan di dalam diriku berada pada standar terbawah, namun, saya tetap berusaha menjelaskan beberapa hal dan mengikuti semua kemauan paman Budi.
“Dunia pendidikan membutuhkan beberapa ide-ide terbaru, tidak berarti yang ada di depan mata sekarang terlihat biasa saja. Melainkan, Indonesia berada di bawah standar akan permasalahan jalur pendidikan. Permasalahan lebih parah, adalah pemerintah membiarkan orang-orang berkompeten dengan tingkat kualitas kemampuan tinggi di ambil oleh negara lain. Inilah kelemahan pemerintah, tidak adanya dukungan terhadap generasi untuk berkarya. Bahkan lebih parah menganggap remeh atau memandang sebelah mata tentang kemampuan rakyatnya sendiri.” Jawabanku berusaha menghubungkan penyataan paman Budi pada area pendidikan.
“Lantas, bagaimana dengan situasi bibit-bibit penerus berada pada jalur pergaulan negatif hingga merusak masa depan. Aborsi, narkoba, pelecehan seksual, sek bebas, keterikatan akan hal-hal berbau kriminal dan lain sebagainya terus saja bermain bermain di negara ini?” pertanyaan paman Budi.
“Paman ini hanya mau jadi kepala desa, lo kok pertanyaannya mpe ke akar-akar gitu.” Tanyaku keheranan.
“Jaya, apakah kau tidak sadar menjadi kepala desa itu harus benar-benar jenius, mengerti dunianya bibit-bibit penerus demi kemajuan desa ini.” Jawaban paman berambisi amat jadi kepala desa...
“Pemerintah harus tahu mengarahkan, membentuk bibit demi kemajuan pembangunan, tidak saling menyalahkan serta asal berkata darurat...Permasalahan lebih parah dengan aturan HAM, sebenarnya tidak ada yang salah, hanya saja, permasalahan disini selalu dipergunakan salah oleh pihak tertentu.” Ujarku.
“Maksudnya?” tidak mengerti tentang pembicaraanku.
“Salah satu contoh kecil, permasalahan dunia pendidikan tidak dapat melakukan tindak tegas dengan memberi hukuman terhadap murid. Sementara, emas ada diujung rotan ucap mami sekalipun belia tidak menganggapku lagi sebagai anak sekarang.” Jawabku menunduk.
“Jelaskan arti tentang emas ada di ujung rotan?” benar-benar paman Budi pertanyaannya terus saja dimainkan.
“Seorang anak tidak dapat terbentuk, tanpa sebatang rotan sejak kecil, itulah perkataan mami. Selama bersifat membentuk dan tidak melewati batas, hanya sekedar mencubit atau memukul telapak tangan seorang anak semua itu tidak menjadi masalah demi mengajarkan kata disiplin. Pada dasarnya, anak zaman sekarang semakin orang tua bertindak keras makin melawan. Tapi untuk dunia pendidikan juga terhadap orang tua, harus tetap menggunakan sebatang rotan untuk membentuk. Itulah yang dikatakan mami.” Ucapanku.
“Namun, pada saat membentuk menggunakan sebatang rotan harus tetap bijak dan pada tempatnya. Permasalahannya adalah para orang tua membawa salah anak mereka ke hal-hal, dimana bersifat memanjakan. Akhir cerita, dunia bibit-bibit penerus menjadi tidak memiliki arah dan terlihat rusak.” Tambahanku lagi.
“Lantas, bagaimana dengan hukuman kebiri terhadap para pemerkosa ataupun tersangka kasus pelecehan seksual, yang diterapkan oleh pemerintah?” pertanyaan paman lagi.
“Pemerintah tidak bisa seenaknya berkata darurat, tanpa bijak melihat akar permasalahan. Pondasi seorang anak adalah agama dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan dan terlihat dari hal-hal buruk. Permasalahan disini, yaitu penggunaan teknologi ke jalur salah, hingga merangsang hal-hal berbau pornografi. Pembicaraan negatif dalam suatu dialog dapat pula merangsang daya seksual secara medis, hingga terjadi kasus pemerkosaan. Selain itu, kurangnya perhatian terhadap anak, narkoba, minuman keras, dan banyak lagi.” Kalimatku.
“Jika hal-hal sejenis ini tidak dapat di tanggulangi maka permasalahan pelecehan seksual akan tetap bermain di negara ini. Permasalahan hukuman kebiri tidak pernah bisa menyelesaikan masalah, karena akar permasalahan sebenarnya tidak dihancurkan.” Tambahan penjelasanku lebih lanjut.
Paman Budi tidak lagi kembali bertanya, “cukup untuk hari ini” ucapnya.
Beberapa hari ini, dia gencar-gencarnya mengadakan kampanye sehingga seluruh warga mau memilihnya sebagai kepala desa. Beliau terus saja belajar dan mengajukan berbagai pertanyaan yang tidak dipahaminya. Menyuruhku untuk mencari berbagai istilah-istilah yang tidak dimengertinya, kemudian menjabarkan ke dalam ratusan halaman hingga membuatku stres bertubi-tubi. Terkadang, saya berpikir sebenarnya paman atau saya yang lagi mencalonkan diri atau gimana cerita...?
Akhir cerita, tibalah pemilihan kepala desa yang selama ini dinanti-nantikan oleh para kandidat. Namun, apa yang terjadi setelah diberitahukan hasil pemilihan suara, paman Budi tidak memenangkan pemilihan tersebut. Siang malam, paman Budi terus saja belajar dan belajar berusaha sebaik mungkin, tapi kalah dalam pemilihan kepala desa. Lebih parah lagi, beliau menyalahkan saya atas kejadian tersebut. Karakter paman yang kemarin berbeda dengan sekarang. Paman terlihat sangat kejam bahkan melakukan berbagai hal-hal kasar terhadap diriku. Berteriak di depan para warga, tentang masa laluku di kota dan lain sebagainya.
“Anak ini berada disini, karena telah meniduri, memperkosa banyak wanita. Hati-hati anak gadis kalian semua, jangan sampai menjadi korban...” teriakannya di depan para warga.
Ada saat dimana seseorang akan mengalami gelombang ombak, kembali kepada diri sendiri...apakah akan terlalihat lemah atau kuat.” Ucapannya terngiang terus di telingaku, membuatku tidak dapat berkata-kata sedikitpun. Paman Budi tidak langsung puas atas semua yang dilakukannya, dia menuduhku mencuri banyak uang di rumah kepala desa terpilih. Apakah ini sebagai aksi balas dendam karena tidak terpilih sebagai kepala desa dan terus saja menyalahkanku?
Paman ingin mengusir semua anak yatim dari rumahnya ke jalan. “Tuhan, apa yang harus kulakukan?” jeritan hatiku. Berjalan ke arahnya dan memohon untuk tidak mengusir semua anak-anak yatim.
“Apa yang harus kulakukan, agar paman tidak membiarkan mereka tinggal di jalan?” pertanyaanku.
“Hal yang harus kau lakukan sekarang adalah membayar semua kerugian besar, karena saya tidak terpilih menjadi kepala desa di tempat ini.” Ujarnya.
“Kau harus mengambil kunci rumah tempat tinggal anak yatim ini menggunakan mulutmu di lumpur ini.” Kalimat paman Budi melemparkan sebuah kunci dan jatuh tepat pada lumpur basah bercampur kotoran manusia. Saya tidak tahu harus berbicara ataukah melawan?
“Kenapa? kau tidak bisa merendahkan dirimu sendiri demi tempat tinggal mereka?”
Kedua lututku bertelut ke sebuah lumpur bercampur kotoran manusia, mengambil kunci tersebut menggunakan mulutku hingga seluruh wajahku penuh kotoran menjijikkan. Senyuman kemenangan terukir pada wajahnya. Menyuruhku mencium kedua kakinya demi sebuah harga diri...hatiku begitu sakit, melakukan hal tersebut...
“Kau harus mengakui kesalahan yang tidak dilakukan olehmu melalui rekaman ini demi anak-anak yatim.” Tatapan sinis paman Budi terus saja bermain.
“Sayalah yang telah mencuri uang di rumah kepala desa karena tidak tahan hidup dengan penderitaan.” Berusaha menahan bulir kristal pada sepasang bola mataku saat ini.
“Apakah kau sadar, kalau saya orang yang telah menyebarkan fitnah terhadap orang tuamu dan lain-lain saat masih berada di kota. Saya juga menaruh obat tidur dan membuatmu berfoto dengan seorang wanita, hingga kau harus dipecat dan banyak lagi.” Ucapan paman semakin membuat goresan luka pada kedalaman paling dalam...
“Kenapa saya tidak pernah bisa membencimu,?” suara hatiku berbicara jauh di dasar paling dalam, hanya terus mengingat sebuah kalimat darinya saat pertama kali berada di desa ini. Paman Budi mengatakan tentang permasalahan di balik peristiwa kemarin.
“Semua ini kulakukan demi mencalonkan diri sebagai kepala desa di tempat ini, secara tidak sengaja melihat seseorang yang tepat untuk mempermudah jalanku memenangkan pemilihan tersebut. Tapi, apa yang kudapat, kau menghancurkan semuanya?” ucapannya dengan nada begitu membenciku. Menghalalkan segala cara hanya demi menjadi kepala desa...
Ada saat dimana seseorang akan mengalami gelombang ombak, kembali kepada diri sendiri...apakah akan terlalihat lemah atau kuat.” Kata-kata paman terus saja terngiang pada kedalaman hatiku.
“Tuhan, Tuhan, Tuhan...” hanya kata-kata itu yang dapat ucapkan di dasar hati saat ini. Paman Budi menelpon polisi dan membawa rekaman tersebut ke hadapan masyarakat serta kepala desa. Saya harus mendekap dalam penjara selama beberapa bulan, tanpa seorangpun datang melihat keadaanku.
” Tuhan, akan membuatmu kuat dari sekarang sampai kapanpun juga. Jaya Guntur akan membuat irama dalam langkah perjalanannya apa pun yang terjadi, sekalipun air matanya terus mengalir tidak berarti dia akan terlihat lemah.” Tidak tahu kenapa, ucapan doa pria tua di rumahku kemarin terus saja terngiang setiap saat.
Berada dalam sel penjara bersama dengan begitu banyak napi dimana memiliki karakter berbeda-beda. Butiran kristal terus saja bermain, sekalipun saya berusaha keras dengan sekuat tenaga menghentikannya. “Kenapa saya tidak bisa mengehentikan butiran kristal ini dari wajahku.” Jerit Hatiku.
“Kenapa terus saja mengalir membuatku terlihat lemah di hadapan siapapun sekarang?” suara hatiku menggema, saat semua orang tertidur pulas dalam sel penjara saat ini. Seseorang dapat menjadi kuat atau lemah, saat gelombang bermain tanpa pernah berhenti di suatu area.
BAGIAN SEMBILAN...

REYNAND...
Air mataku tiba-tiba saja mengalir melihat keadaan Jaya sekarang ini. Air mata paman Budi seakan ingin terjatuh begitu kuat di hadapan Jaya, namun, beliau berjuang keras untuk tidak membiarkan hal tersebut terjadi.
“Paman, jangan jadi manusia paling lemah.” Tegurku melalui saluran celuler dengan layar besar di meja kerjaku setiap hari.
“Reynand, bagaimana bisa saya harus melakukan semua ini. Anak itu benar-benar menderita.” Sebutir kristal terjatuh pada dari sepasang matanya.
“Anak itu harus belajar menghadapi berbagai permasalahan dari terkecil hingga paling mengejetkan dunianya. Kelak, dia akan diperhadapkan tentang permasalahan tertentu, apakah melihat keegoisannya atau kepentingan banyak orang. Apakah di dalam dirinya dapat berkorban luar biasa bagi mereka yang lemah atau tidak sama sekali?” Kata-kataku terhadap paman Budi.
“Reynand, seandainya kau yang berada di sana, melihatnya mengambil sebuah kunci menggunakan mulut sekitar area lumpur bercampur kotoran manusia...hatimu pasti sakit dan ingin menangis sekeras-kerasnya.” Ucapannya lagi.
“Untung saja, paman tidak benar-benar menangis masih terlihat kejam. Habislah kita berdua kalau itu sampai terjadi. Nara akan mengamuk besar dari sana...” Gerutuku.
“Apakah hanya jalan ini saja yang dapat dipakai, tidak ada jalan lain?” pertanyaan paman Budi kembali.
“Tidak ada jalan lain paman, coba perhatikan kondisi Indonesia, apakah sudah membaik hanya dengan mengandalkan bicara semata, ijazah, kejeniusan, kampus terbaik?” pertanyaanku kembali.
“Paman Budi sama saja dengan paman Hosea seperti anak perempuan terlalu lemah,” tegurku.
“Reynand, kalau saya lemah tidak mungkin sekarang Jaya berada di penjara...” pembelaan paman Budi tidak bisa menerima pernyataan tersebut. Kisah perjalanan Brayn dan Jaya sebelas dua belas, sama seperti hati kedua orang yang sedang mempermainkan mereka beda-beda tipis...
“Sekitar 2 atau 3 bulan, kita akan mencari cara untuk mengeluarkan Jaya dari penjara.” Ucapanku terhadapnya lagi.
“Apakah Nara sudah menjelaskan kelanjutan ke depan setelah melewati semua proses ini?” pertanyaan paman.
“Pokoknya semua beres, dimulai dari materi-materi untuk mengarahkan/membentuk wawasan mereka masing-masing. Saya juga sudah menjelaskan kepada Nara tentang potensi masing-masing dari mereka. Akhir lanjutan, dia akan membagi mereka ke beberapa bidang. Tapi, mereka semua harus menguasai 4 bidang penting.” Penjelasanku lagi.
“Paman, jangan terlalu terbawa perasaan, berdoa saja agar Jaya mampu melewati semua ini.” Tegurku terhadap paman Budi. Skenario luar biasa, dimulai membuat fitnah hingga keluarga Jaya tidak lagi menganggapnya sebagai anak. Secara kebetulan, sekitar kampung paman Budi akan di adakan pemilihan kepala desa. Dengan alasan paman Budi mencalonkan diri sebagai kepala desa serta memainkan skenario paling sempurna. Sebenarnya, paman Budi bisa saja menang pada pemilihan tersebut, namun, dengan kesengajaan dibuat kalah sesuai perencanaan semula.
Terus memancing Jaya menjelaskan berbagai istilah dan lain-lain, dengan alasan paman Budi harus terlihat jenius. Akting luar biasa, bahkan pantas untuk meraih penghargaan paling bergengsi sepanjang sejarah perfilman. Sementara itu, paman Hartono berpura-pura menjadi orang biasa serta membuat berbagai alasan tidak masuk akal untuk menjalankan skenario lain di sebuah provinsi.
Targetnya adalah Mekar Sari, membuat dia berada dalam situasi paling tersulit sepanjang perjalanan dalam hidupnya. Lebih parah lagi, paman Hartono menyuruhku masuk dalam bagian skenario ini, sedangkan meja kerjaku harus memeriksa semua tulisan tangan mereka. Saya harus menyamar, disaat gadis itu terlilit masalah besar dengan terus berada disampingnya. Status beristri dan memiliki anak 3, namun, menyatakan perasaan terhadap Mekar Sari. Mempermainkan perasaan gadis seperti ini, wajahnya tidak masuk kategori cantik jelita layaknya mis universe atau para model ibu kota.
“Saya tidak bisa melakukan ini, paman,” emosiku memuncak.
“Reynand hanya wajahmu saja yang menjamin, tidak mungkin muka paman Harjo.” Tegur paman Hartono.
“Cari saja pria lain, tinggal membayar mereka untuk berpura-pura akting gitu, selesai kan.” Celotehku.
“Kau takut sama Nara yah?” kecurigaan paman Hartono mulai menjadi-jadi.
“Tidak begitu paman, tapi masalahnya...”
“Reynand, coba pikir kalau memakai orang lain rahasia kita tercium pihak luar, sementara semua ini harus tertutup rapat. Dan memang wajahmu benar-benar sempurna untuk alur cerita ini.” Ucapan paman kembali.
“Bagaimana kalau gadis itu benar-benar jatuh cinta? Apakah itu tidak keterlaluan namanya?” celotehku.
“Paling terjadi cinta segi tiga antar kau, Nara, dan gadis itu. Hahahahaha...” godaan paman Hartono.
“Saya tidak mau tahu tentang perasaan gadis itu, beri tahu Nara ini semua perbuatannya dan rasakan akibatnya sendiri...” Gertak paman Hartono.
“Paman...” emosionalku.
“Semua gadis mengidolakanmu, bahkan tidak pernah seorangpun menolak ketampananmu. Untuk kali ini, kau orang paling tepat melakoni skenario tersebut.” Tegas paman Hartono tidak mau berkompromi. Mau tidak mau harus kujalani. Setelah Mekar melewati berbagai permasalahan dalam perjalanannya sesuai dengan permainan paman Hartono maka masuklah saya sebagai pria beristri dengan 3 anak. Nara harus kembali ke Jakarta dengan terpaksa sebagai pengganti saya di depan layar. Memeriksa seluruh lembar kerja mereka, mengarahkan semuanya, serta mempersiapkan beberapa artikel lagi...
Awalnya, Nara sedikit keberatan, namun, ini memang skenario darinya jadi harus menerima kenyataan...Membuang perasaan cemburu dan membiarkan saya menjalankan skenario ini. Memangnya, sejak kapan seorang Nara menjadi gadis cemburuan? Yang ada juga saya selalu saja ketakutan dari jarak jauh, kalau Nara menyukai pria lain...
“Lakukan yang terbaik, bossss” sahut Nara saat mengantarku ke bandara. Sehari setelah Nara berada di Indonesia, saya pun harus langsung berjalan menuju suatu daerah tempat Mekar Sari berada membuat sebuah jebakan.
Menyuruh Nara untuk selfie bersama 3 orang anak, dalam foto tersebut benar-benar terlihat sebagai keluarga paling bahagia. Tidak seorangpun mengenal siapa Nara sebenarnya, jadi, kesimpulan, wajahnya dapat menjadi foto keluarga dalam menjalankan misi sekarang. Mencari cara agar tidak seorangpun mengenalku, mantan artis yang telah fakum sekian lama alias berhenti sampai kapanpun.
Mekar Sari tanpa disadari harus berhadapan berbagai hal-hal aneh, bahkan tidak seorangpun mendekatinya. Paman Hartono tidak seperti yang lain masih memberikan beberapa kalimat bijak untuk menguatkan. Kesengajaan mencuri seluruh isi tas dari gadis itu perjalanan pulang bekerja. Hingga gadis tersebut, tidak dapat mengirimkan uang ke kampung juga untuk membayar uang kontrakan serta makanan sehari-hari.
Mekar adalah gadis desa yang datang ke kota untuk mencari pekerjaan. Dia bekerja pada salah satu supermarket kecil di ibu kota provinsi tersebut. Karena tidak memiliki uang melanjutkan kuliah, sehingga keadaan memaksa Mekar untuk bekerja. Paman Hosea sendiri bertemu dengan Mekar, saat masih berada di desa tempat kelahirannya. Setiap tahun, Mekar pulang menjenguk keluarganya. Dia telah bekerja menjadi spg supermarket kecil sekitar 3 tahun lalu.
Secara manusia, Mekar Sari tidak seperti yang lainnya dari 34 orang tersebut yaitu mereka masih sedang atau telah selesai menempuh pendidikan strata satu. Saya juga tidak habis pikir, kenapa paman Hosea yakin bahwa Mekar adalah pilihan Tuhan. Menurut ucapan, paman Hosea bahwa ini semua berdasarkan petunjuk yang dimintanya dari Tuhan. Beliau menjelaskan, kalau Nara pun mempunyai sejarah kehidupan sama seperti gadis itu. Jadi, jangan pernah meremehkan kemampuan dalam dirinya, kalau pada dasarnya gadis itu adalah pilihan Tuhan.
Untuk sekarang ini tidak terlihat apa pun skil dalam dirinya, hanya berbicara kekurangan dan kekurangan. Namun, suatu hari nanti gadis itu bisa saja mengagetkan sekelilingnya bahkan lebih unggul dibandingkan 34 orang ini. Paman Hartono tidak setuju cara yang digunakan membawanya ke desa, karena gadis itu pada dasarnya berasal desa. Seseorang dengan kesengajaan telah dibayar untuk melamar pekerjaan pada supermarket tempat dia bekerja. Reynand mencari jalan agar pemilik supermarket tersebut mau menerimanya bekerja dengan berbagai cara.
Setiap harinya, Murni dengan sengaja menjelek-jelekkan Mekar di hadapan para karyawan lain. Murni merupakan seseorang yang telah di bayar untuk menjalankan perintah ini. Membuat semua orang membenci Mekar dengan mengadu domba dan membuat cerita-cerita aneh. Mekar mempunyai ilmu-ilmu hitam, ilmu sihir, dan teman-temannya di belakang. Suatu hari, dengan kesengajaan mencari jalan menaruh bubuk pada beberapa karyawan di sana, hingga seluruh badan-badan mereka merah dan bengkak. Di lain hal, seseorang diberikan obat tidur hingga tiba-tiba pingsan. Selanjutnya, membuat cerita dibalik semua ini merupakan ulah Mekar Sari.
Semua orang menjauhi Mekar, bahkan bosnya sendiri tidak mempercayai lagi apa pun perkataannya. Singkat cerita, nama baik Mekar rusak di mana-mana, bahkan dihadapan para tetangga, rekan kerja, dan seluruh konsumen dari supermarket tempat dia bekerja. Hingga suatu ketika, Murni ditemukan meninggal depan sekitar ruang gudang tempat dia bekerja. Saya dan paman Hartono sengaja membuat jebakan, menaruh percikan darah pada tubuh Murni hingga seluruh tubuhnya hanya terbungkus darah segar seakan seperti telah tertikam benda tajam. Mencari jalan agar Mekar memasuki gedung tersebut dan membuat dirinya memegang sebuah pisau tajam.
“Mekar telah menusukku menggunakan benda tajam di tangannya.” Tangan Murni menunjuk Mekar di hadapan para karyawan dan bosnya sebelum pingsan.
“Kau telah membunuh Murni” teriak bosnya tiba-tiba terkejut melihat begitu banyak darah sekitar gudang tersebut. Membuat skenario, bahwa Murni dinyatakan meninggal saat perjalanan menuju rumah sakit terdekat.
“Kerjamu sangat bagus, pergilah dari kota ini sejauh mungkin bahkan larilah ke ujung dunia dimana tidak seorangpun melihatmu. Tunggu sampai waktu yang ditentukan, kau kembali lagi ke sini.” Kalimat paman Hartono terhadap Murni sambil menyerahkan sejumlah uang kepada gadis tersebut. Sementara itu, saya harus mengambil mayat lain sebagai pengganti Murni dan berpura-pura menjadi dokter. Mengatur semua skenario termasuk memasukkan target pada jebakan paling dramatis.
Mekar harus mendekam di penjara sekarang, tidak seorangpun datang menjenguk bahkan keluarganya di kampung tidak menyadari permasalahan sebenarnya. Saya sendiri menyamar sebagai seorang dokter paling tampan sedunia menjenguk Mekar Sari. Mulai membuat cerita konyol...
“Apakah kau gadis itu, maksud saya Mekar Sari...” sapaku terhadap Mekar mulai berbicara. Dia hanya mengangguk, setetespun air matanya nampak. Mulai memancing agar dia mau berbicara tentang keadaan sebenarnya saat kejadian tersebut terjadi. Memperkenalkan diri sebagai dokter yang melakukan otopsi terhadap mayat Murni.
“Saya tidak tahu kenapa ingin berbicara denganmu di penjara, seakan ada sesuatu yang mendorongku untuk percaya bahwa kau bukanlah pelaku dari peristiwa pembunuhan ini.” Ucapanku mulai memegang jemari tangan Murni. Setiap hari, datang berkunjung ke sel penjara untuk menemui gadis itu. Menyamar sebagai dr. Abdir berstatus pria beristri dan mempunyai 3 anak. Siapa sih tidak terpesona akan ketampanan wajahku, semua pasti akan menggelepak-gelepak dalam sekejap. Membuktikan akan iman Mekar seperti apa?
Di saat semua orang pergi menjauh, saya ada memperkenalkan diri dan mau menjadi sahabat terbaiknya. Saat semua orang menganggap Mekar sebagai pembunuh, saya pun selalu ada untuknya dan percaya kalau dia bukanlah pelaku sebenarnya. Disaat semua orang bahkan ketika keluarga menyadari deretan peristiwa permasalahan gadis itu, mereka semua membuangnya dan menganggap sebagai sampah masyarakat, saya selalu ada memberikan kekuatan serta berbagai nasehat. Berjuang agar Murni keluar dari sel penjara, bagaimanapun caranya itulah yang kulakukan.
Gadis itu baru menyadari, setelah saya setiap saat berada di sampingnya selama 2 bulan penuh tentang statusku yang telah menikah. Terlihat pada wajah Mekar rasa kecewa luar biasa, dikarenakan tanpa disadari bahwa perasaan suka bahkan lebih mulai muncul dari hatinya. Perasaan bersalah terus saja menghantui pikiranku, tapi, hal seperti ini harus kujalankan apa pun resiko di depan mata. Membuat gadis itu patah hati dan semakin terluka oleh sebuah keadaan.
“Wow, aktingmu benar-benar keren,” kalimat Nara lewat sambung telpon.
“Kau cemburu, bukankah ini yang kau inginkan bos...” perkataanku membalasnya.
“Kamusku tidak pernah terdapat kalimat cemburu, bos...” ucapannya.
“Gadis mungil, yang kukasihani sekarang adalah gadis itu harus patah hati. Tapi, lebih menyebalkan lagi, sikapmu tidak pernah menampakkan rasa kesal saat saya berdekatan dengan seorang wanita.” Gumamku menatap foto Nara.
“Halo, Reynand sudah dulu...” ucap Nara memutuskan sambungan telpon. Nara selalu saja seperti itu...Saya berhasil membuat permainan dan terlihat sebagai malaikat penolong bagi kehidupan Mekar. Paman Hartono bekerja sama dengan kepala polisi di tempat tersebut untuk membuat jebakan. Beberapa jenis alasan di sampaikan terhadap kepala polisi di tempat itu, tanpa rasa curiga sedikitpun.
“Akhirnya, kau bebas dari penjara,” senyumanku menebar pesona menggenggam jemari tangan Mekar. Saya sadar betul, bahwa gadis itu menyimpan perasaan mendalam terhadap diriku. Membawa Mekar ke rumah, dimana merupakan tempat menguji kedalaman imannya. Alasan bahwa, istri saya sedang menjenguk orang tuanya di luar negeri bersama ke tiga buah hati kami. Di rumah itu, terpajang foto pernikahan saya, saat bersama ketiga anak-anak paling cute sedunia sesuai skenario sebelumnya. Di rumah hanya terdapat saya dan Mekar, sedangkan paman Hartono menyamar sebagai pemotong rumput.
“Kenapa dokter Abdir menolong saya sampai detik ini?” pertanyaan Mekar memegang segelas air di ruang makan dari rumah ini.
“Karena kami ingin melihat imanmu sampai dimana? Apakah seorang Mekar berhasil mempertahankan imannya atau terjebak cinta pria tampan berstatus telah menikah dan memiliki 3 anak. Banyak orang jatuh ke dalam pencobaan karena pemandangan mata.” Celotehku di dasar hati.
“Kenapa dokter diam?” ucapannya kembali,
“Karena, sejak awal melihatmu tidak tahu kenapa hati saya berkata bahwa kau bukan pembunuh. Jauh sebelum peristiwa pembunuhan tersebut, saya selalu memperhatikan dirimu di supermarket tampatmu bekerja.” jawabanku menjelaskan alasan tertentu. Berkata, bahwa saya selalu memperhatikan dia saat bekerja,hanya saja Mekar tidak pernah menyadari hal tersebut. Membuat dia terpesona akan ketampananku setiap saat. Beruntung, Mekar tidak mengenal identitasku yang merupakan mantan artis ibu kota kemarin. Tidak terlalu sulit memancing dia menulis tangan ratusan penjelasan akan beberapa hal. Tidak ada kecurigaan sedikitpun dalam dirinya dan membuat pelbagai pertanyaan. Sementara itu, Nara memeriksa seluruh jawabannya melalui beberapa sistem.
“Reynand, coba arahkan dia menjelaskan pernyataan media dan para tokoh-tokoh tertentu. Hati-hati, jangan sampai dia menyadari sesuatu hal sedikitpun.” Pesan Nara melalui pesan email. Berusaha mencari cara, agar Mekar mencoba menjelaskan tentang beberapa situasi. Alasan sederhana kugunakan yaitu saya ingin mempelajari banyak hal...
Setelah berhasil memancing wawasan dalam dirinya. Saya memulai aksi luar biasa terhadap gadis tersebut. Memegang jemari tangannya setiap saat, sekaligus membuat Nara panas luar biasa, hahahahahahahaha... Mekar tersadar dan berusaha menjauh, sekalipun terlihat bahwa jauh di dasar hatinya benar-benar memendam perasaan suka terhadap pria beristri. Pertengahan malam, dengan kesengajaan menyusup ke kamar dan membuat Mekar terbangun. Di sinilah imannya akan terlihat sampai dimana..
“Saya sudah menyukaimu sejak pertama kali melihatmu...” ucapanku terhadapnya. Saya masih berusaha menjaga sedikit jarak, namun, sesekali memegang tangan serta punggungnya. Siapa sih, yang tidak bisa jatuh dalam pesona Reynand, terlebih berperan sebagai dokter. Mekar berusaha menjaga jarak dengan berjalan mundur ke belakang.
“Dokter sudah menikah, jadi semua itu tidak mungkin...” kalimatnya.
“Saya tidak peduli dengan status pernikahan, intinya saya menyukai dirimu. Kalau dipikir-pikir, pernikahanku sudah berada diujung tanduk dan tidak bisa dipertahankan lagi.” Mimik kesedihan terpampang di wajahku. Menjelaskan, kalau setiap hari saya dan istri selalu saja bertengkar, sekalipun kami telah memiliki 3 anak. Berkata, saya tidak pernah bahagia dengan pernikahan kami karena tidak berlandaskan cinta.
Mekar tetap berpegang teguh pada pendiriannya, tidak akan menjalin hubungan gelap sedikitpun. Berlari untuk keluar dari kamar tersebut. Beruntung saja dia keluar, mana mungkin saya membuat hal menjijikkan terhadap gadis itu. Setiap hari terus-menerus menggoda Mekar, supaya mau menjalin hubungan terlarang. Mekar berusaha untuk keluar dari rumah, namun, saya berjuang untuk tidak membiarkan hal tersebut. Hingga suatu ketika gadis itu kembali terjebak oleh perangkap. Di tuduh percobaan pembunuhan, dan secara kebetulan Mekar ada di tempat tersebut serta kembali secara tidak sengaja memegang botol pecah berlumur darah. Tukang kebun yang diperankan oleh paman Hartono, berusaha menggodanya dan membuat jebakan seolah-olah Mekar berusaha melakukan pembunuhan terencana.
“Apa yang terjadi?” ucapku terkejut melihat begitu banyak darah sekitar ruang tamu.
Polisi tiba-tiba saja datang ke rumah, dan menangkap Mekar dengan tuduhan percobaan pembunuhan. Saya mengaku tidak pernah menelpon polisi sebelumnya, dan tidak tahu menahu akan hal tersebut. Mekar kembali mendekap dalam tahanan sel, namun, kali ini si’korban kritis di rumah sakit dan belum sadarkan diri. Kembali menjadi orang yang akan selalu ada untuk Mekar disaat badai terhebat menerpanya secara bertubi-tubi.
“Berhentilah memperdulikan diriku, dokter.” Tangisnya pecah.
“Saya cinta Mekar, bahkan saya akan berjuang membebaskan dirimu...” perkataanku.
“Dokter sudah menikah. Coba berpikir, andai kata saya berada di pihak istri dokter bagaimana perasaannya.” Air matanya terus saja jatuh. Memperlihatkan kata tidak menyerah untuk datang menjenguknya dan berusaha menolongnya.
“Kalau boleh jujur, saya juga menyukai dokter, kenapa? Saat semua beban mendekap, hanya dokter yang selalu ada. Tapi, saya bukan perempuan murah menjalin hubungan dengan pria beristtri.” Air mata Mekar terus saja mengalir tidak tahu harus berbuat apa pun.
“Katakan padaku, apa yang harus kulakukan dokter?” tangisnya makin pecah setiap saat. Memperhadapkan Mekar 2 pilihan, menolong dengan persyaratan akan menjalin hubungan asmara, atau tetap di penjara? Entahlah, skenario paling mengerikan, berusaha mempermainkan gadis polos di hadapanku.
“Biarlah saya tetap di penjara, dan jangan pernah berada di hadapanku lagi. Seumur hidup saya tidak akan melupakan kebaikan anda. Sekalipun rasa suka bahkan terlalu mendalam juga terhadap anda, namun, saya tidak mau jatuh dalam sebuah dosa besar. Jauh lebih baik mendekam di penjara dibandingkan bersama anda.” Air mata kepedihan terus saja mengalir. Rasa sayang untukku benar-benar terpancar pada matanya. Namun, dia tetap bertahan untuk tidak akan pernah menjalin hubungan asmara sedikitpun.
“Tuhan, ampuni saya telah mempermainkan perasaan gadis ini, berpura-pura menyukai dirinya hingga menancapkan goresan luka bagi perjalanannya.” Jeritan hatiku memandang dirinya yang terus saja mengalirkan air mata kepedihan. Sampai kapanpun Reynand hanya akan menyayangi Nara bukan gadis lain. Skenario ini, cukup sampai disini, dan saya tidak akan menampakkan batang hidungku di hadapan Mekar.
“Reynand hanya menyukai Nara seumur hidupnya,” menatap foto Nara saat terduduk dalam sebuah ruangan sunyi.
BAGIAN SEPULUH...

MENARA...
Ada denganku, seakan merasakan perasaan aneh saat melihat Reynand terus bersama gadis tersebut. Jujur, rasa bersalah juga membungkus duniaku menjadikan Reynand sebagai umpan dan akhir cerita mempermainkan perasaan Mekar. Jauh di dasar hati paling dalam, rasa sayang untuk Reynand berakar kuat sampai kapanpun juga. Saya tidak pernah mengenal dunia seorang laki-laki, hingga pada akhirnya dipertemukan olehnya. Melihat perjuangannya untuk belajar tentang banyak hal, hingga memperlihatkan iman luar biasa dalam diri Reynand. Untuk pertama kali dalam nafasku, mengenal kata pacaran setelah perjuangang Reynang selama beberapa tahun terhadap pembuktian akan sesuatu hal.
Mendengar Mekar berkata jujur tentang perasaan mendalam terhadap Reynand, membuatku tidak dapat berkata-kata. Memerintahkan Reynand agar tetap melanjutkan sandiwara tersebut, sekalipun luka mendalam tertancap hebat membuat goresan tersendiri diantara kami bertiga. Tangisan Mekar terus saja pecah setiap saat, luka tentang perasaannya paling mendalam jauh lebih menyakitkan dibandingkan tuduhan kasus pembunuhan.
“Nara, bagaimanapun perasaan Reynand sekarang, bijaksanalah mengambil sikap.” Ucapan paman Harjo tiba-tiba, tidak menyadari kehadirannya...
“Saya tidak selemah yang paman bayangkan,” balasan terhadap tutur kata beliau. Saya tidak tahu sekarang, apakah Reynand benar-benar menyukai gadis tersebut? Kalaupun itu terjadi, berarti saya harus siap menerima segala hal di depan mata. Merelakan dia untuk pergi bersama gadis lain suatu hari kelak. Jika memang Reynand bukan jodohku, berarti Tuhan akan memberikan jauh lebih baik suatu hari kelak.
Permasalahan pribadi, tidak dapat dibawah ke dalam hal seperti ini. Gadis itu benar-benar menjadi pemenang, sekalipun mengorbankan perasaannya. Andai kata, suatu hari kelak dia menyadari Reynand belum menikah, bahkan mereka sama-sama saling menyukai, saya akan siap menerima segalanya hal...merelakan dia untuk orang lain...
“Andai kata, kita tidak berdua tidak ditakdirkan bersama, saya akan siap menerima kenyataan tersebut. Jodoh berada di tangan Tuhan, dan saya tidak memaksakan kehendak.” Kata-kataku di dasar hati.
Setelah beberapa bulan melewati proses demi proses yang terus saja berjalan. Akhirnya, 34 orang ini akan berpencar ke beberapa tempat tanpa pernah tahu maksud dan tujuan dibalik hal tersebut. Mereka yang berada dalam sel penjara akan dikeluarkan. Selama beberapa bulan Brayn terpasung akibat permainan kami, sekaranglah saatnya untuk membebaskan dia. Bahkan beberapa dari mereka berada di hutan seorang diri, menjadi tarsan akibat rekayasa skenario.
“Nara, apakah pasport serta dokumen-dokumen tentang mereka telah siap?”pertanyaan paman Hosea.
“Semua telah dipersiapkan jauh sebelumnya, jadi, tidak usah takut.” Jawabanku. Beberapa dari mereka akan dikirim ke beberapa negara paling termiskin di dunia ini demi memasuki petualangan terbaru. Ada pula akan terkirim ke beberapa negara memiliki tempat bersarangnya penyakit-penyakit menular. Tujuannya adalah bagaimana memberikan kekuatan serta memperlihatkan belas kasih dengan tulus hati. Berada di negara-negara yang memiliki angka kejahatan paling tinggi, apakah terbawah arus kehidupan atau sebaliknya tetap berada pada jalur Tuhan. Ada begitu banyak cobaan arus hidup menanti perjalanan mereka kelak. Jangan karena beberapa dari mereka terbawah arus kehidupan, hingga akhir cerita mengorbankan begitu banyak orang dari negara Indonesia ataupun lainnya.
“Nara, apakah kau akan kembali ke Jerman setelah 34 orang ini berada di tempat yang telah ditentukan?” pertanyaan Reynand terhadapku.
“Tentu saja, saya harus menyelesaikan studiku, masalahnya mereka berada di sana kurang lebih setahun lamanya. Setelah hal tersebut, mencari tempat membentuk wawasan masing-masing dari mereka.” Jawabanku.
“Mekar akan di tempatkan dimana?” pertanyaan Reynand menyadarkanku tentang suatu perasaan suka tumbuh begitu kuat dalam nafasnya.
“Akan di tempatkan pada suatu negara dengan penduduk dimana terbungkus oleh berbagai jenis kejahatan, sex bebas, narkoba, pembunuhan, pelacuran, dan lain sebagainya.” Kalimatku.
“Apakah itu tidak berlebihan, sedangkan dia adalah seorang gadis lugu?”
“Reynand, justru hal seperti itu harus dilakukan, kenapa? Terkadang gadis-gadis seperti Mekar saat berada di atas akan kaget terhadap berbagai pergaulan, jadi, dia harus belajar tetap bertahan pada jalan lurus, atau mengikuti arus menjijikkan.” Jawabanku terhadapnya.
“Tidak usah takut, kalau memang dia pilihan Tuhan pasti tidak akan terjadi sesuatu apa pun. Bahkan seseorang telah dikirim untuk terus memantau dari kejauhan, jika seorangpun tidak dapat berbuat jahat terhadap gadis itu.” Kalimatku sekali lagi meyakinkan dirinya.
Sesuai perencanaan mengirim mereka, telah dilaksanakan. Satu sama lain belum pernah bertemu, akan dipertemukan setelah setahun melewati proses terpanjang dalam hidup mereka. Rencana semula Jaya akan tetap berada di Indonesia, hanya saja, kurang tepat, karena saya masih menginginkan mencari sesuatu di dalam dunianya. Akhir cerita, Jaya di tempatkan pada sebuah negara dengan rata-rata penduduk mengidap penyakit menular, bahkan tidak seorangpun dapat bertahan disana. Jaya harus belajar tanpa membeda-bedakan siapapun di hadapannya suatu hari kelak. Apakah dalam dunia Jaya tetap mempunyai perbedaan untuk membuat perubahan bagi sekelompok manusia dalam lingkaran tertentu...
Membuat skenario sehingga tidak seorangpun tentang perjalanan ke suatu tempat untuk membuat petualangan. Berada di negara paling termiskin bagi mata dunia, itulah sekarang terjadi terhadap perjalanan Brayn. Indonesia masih hidup pada garis kemiskinan, bagaimana dunia Brayn berhadapan terhadap hal-hal seperti ini? Apakah menjadi manusia paling munafik berpura-pura tulus demi sesuatu hal? Ataukah memandang banyak orang di sekelilingnya bukan karena pencitraan melainkan benar-benar berasal dari dasar hatinya paling terdalam. Siapa sih, yang dapat mengukur kedalaman hati manusia selain Tuhan...
“Bertahanlah dan buatlah sebuah cerita, dimana mataku tidak dapat berkedip oleh karena kisah hidupmu selama setahun.” Kata-kata seperti itu saja yang dapat kulontarkan jauh di dasar hatiku sekarang ini...
“Memperlihatkan bahwa kau layak menjadi pemimpin dan memasuki deretan tokoh-tokoh penting. Membuktikan kepada Indonesia kalian orang paling tepat memperbaiki negara ini suatu hari nanti...bersabarlah dan terus berjuang,” kembali suara hatiku menggema.
Tuhan tidak pernah buta terhadap sebuah perjuangan. Siapa yang dipilihnya dan apakah perjalanannya membuat sebuah gerakan pemulihan secara besar-besaran. Bukan hanya sekedar berbicara di depan umum, menjadi manasia munafik, melainkan benar-benar memperlihatkan karakter tersendiri terbungkus ketulusan...
BRAYN...
Kenapa saya bisa berada di negara orang lain dan menjadi penduduk asing? Seingatku, kaki tanganku masih terpasung tidak berdaya karena mereka semua berkata saya mengalami penyakit kejiwaan. Secara manusia, berbagai kemarahan tentu saja bermain, kenapa saya hanya diam seribu bahasa dan tidak dapat berkata-kata? Memandang orang-orang di sekitarku hidup dan tinggal di sebuah gubuk kecil, berjalan kaki begitu jauh mengambil air, berpakaian seadanya. Warna kulit mereka begitu gelap, makan seadanya tanpa pernah berkata-kata akan berbagai pertanyaan tentang penderitaan...
Wajah anak-anak di sekitarku sedang bermain, tertawa lebar tanpa harus membayangkan kenapa Tuhan menciptakan diriku terbungkus penderitaan dikarenakan kemiskinan atau hal mengerikan lainnya? Tempatku berpijak sekarang, mempunyai kehidupan sangat mengiris hati. Kesekian kalinya seseorang mengirimkan secarik kertas...
“Menjadi pribadi berbeda di mata Tuhan membutuhkan perjuangan. Jadilah sinar, dimana kakimu sedang berpijak sekarang. Menyayangi tanpa pernah berpikir tentang perbedaan. Mendekap tanpa pernah bercerita tentang kemunafikan. Mengahapus air mata mereka, bukan untuk mendapat pujian, melainkan karena ketulusan hati.” Kata-kata pada secarik kertas terdapat dalam saku celanaku. Tidak merasakan kasih sayang seorang ibu semenjak usiaku masih terbilang kecil. Papa meninggal dan saya tidak memiliki sahabat, perusahaanku diambil hingga akhir cerita berada di jalan tanpa sepersen uangpun. Menjadi petani, bekerja seperti babu, terhina, bahkan semua orang berkata saya gila, hingga seluruh tubuhku terpasung pada sebuah rumah kecil. Dan sekarang saya berada di negara asing...haruskah amarahku meledak, karena seakan langkahku sedang dipermainkan?
Menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Kesekian kalinya saya mencoba belajar menghadapi sesuatu di depan mata. Belajar untuk tidak pernah marah terhadap Tuhan dan membuat berbagai pertanyaan. Kembali belajar beradaptasi di tempat asing jauh dari negaraku sendiri. Belajar menjadi sinar, sekalipun luka terus saja menancap. Belajar membuat senyum pada wajah mereka dan mengajarkan akan kekuatan di dalam suatu lingkaran hidup.
“Tetaplah berjuang dan jangan pernah menyerah tentang sebuah keadaan. Kau harus mempunyai kekuatan seperti rajawali hingga Tuhan menangis bukan karena kekecewaan besar melihatmu, melainkan terharu memandang perjalanan dari dunia Brayn tidaklah seperti kebanyakan orang disekelilingnya.” Kata-kata tersebut terus saja terngiang di  telingaku.
Membuat Tuhan menangis bukan karena kekecewaan melihat perjalananku, melainkan duniaku tidak mengenal kata lemah bahkan marah hingga membuat begitu banyak pertanyaan terhadapNYA. Begitu banyak kesulitan yang kuhadapi, baik dari pola pikir, bahasa, kepercayaan dan lain-lain selama berada di tempat asing ini. Entah mengapa, kakiku tidak berusaha mencari jalan untuk keluar dari negara dimana kakiku sedang berpijak. Belajar tersenyum bersama mereka. Mencari jalan sehingga dapat mempelajari bahasa dari penduduk tersebut. Menciptakan kehangatan diantara penduduk, bersama-sama mencari jalan sehingga para penduduk tidak lagi kesulitan air.
Bersama mereka membangun sebuah gedung sekolah, mencari kayu serta mendesainnya, sehingga anak-anak mereka dapat belajar. Tertawa bersama mereka, berjalan menuju sebuah pasar hingga berjualan hasil kebun jerih lelah penduduk. Seorang Brayn menyadari warna-warna hidup saat berada di negara asing jauh dari keramaian.
JAYA GUNTUR...
Secara tiba-tiba seseorang mengeluarkanku dari sel penjara selama beberapa bulan mendekam sebagai tahanan napi. Bagaimana bisa, saya seakan terhipnotis mengikuti segala kemauan pria tak dikenal yang telah menolongku. Mobil pribadi membawaku ke suatu tempat, saat tersadar ternyata kami telah berada di bandara pada saat itu. Tanpa berkata apa pun pria tersebut membawaku memasuki pesawat. Tidak tahu akan berjalan kemana perjalananku saat ini. Lebih parah seseorang menyuntikkan sesuatu saat berada di pesawat hiingga membuatku tidak sadar selama 24 jam.
Saat terbangun, saya telah berada di sebuah desa kecil jauh dari Indonesia. Penduduk di sekelilingku mayoritas menderita penyakit menular. Ebola merupakan  penyakit mematikan dan telah ada sekian tahun lalu, hanya saja tiba-tiba menjadi pusat perhatian dunia saat ini. Ketakutan luar biasa menyerangku, berada sendiri tanpa mengenal seorangpun dari penduduk setempat. Bagaimana jika saya tertular penyakit ini? Apa yang harus saya perbuat sekarang, Tuhan? Jeritan hatiku memohon...
Saya menangis sejadi-jadinya di tempat tersebut, berdoa kepada Tuhan di suatu tempat tidak jauh dari rumah penduduk. Tiba-tiba seseorang berjalan ke arahku dan menganjurkan menggunakan beberapa pelindung agar tidak terinfeksi terhadap penyakit tersebut.  Salah satu jenis virus berasal dari gen ebolavirus dan termasuk famili dari filoviridae. Membawaku ke sebuah rumah sakit kecil untuk menjadi perawat sukarela di tempat tersebut. Ternyata, orang itu mengerti bahasaku, sebelum menghilang dari keramaian rumah sakit tersebut, dia mengucapkan sebuah kalimat...
“Jadilah sahabat dan jangan pernah menjauhi mereka. Menangis tidak akan pernah menyelesaikan permasalahanmu sekarang.” Kalimat tersebut terlontar dan setelahnya dia secara tiba-tiba menghilang. Berusaha mempelajari bahasa penduduk setempat untuk mengerti apa yang mereka ucapkan. Mencari jalan agar keluar dari negara ini pun tidak pernah ada...
Menjadi sahabat dan jangan pernah menjauh dari dunia mereka. Seakan ada sesuatu yang terus mendorongku terus berada di samping mereka. Tidak menjauh memberikan kekuatan serta merawat mereka semua.
“Tuhan, jadilah dokter yang tidak terkalahkan bagi penduduk di tempat ini. Mengobati mereka bahkan tidak akan pernah menjauh sekalipun semua orang menjauh.” Ucapan doaku menggenggam tangan salah dari pasien di rumah sakit tersebut.
Merawat penuh ketulusan tanpa memikirkan hal-hal negatif akan penyakit menular tersebut. Memberikan kekuatan buat mereka melalui doa, tanpa pernah takut virus tersebut akan menyerang tubuh sendiri. Tuhan membuat mujizat bagi perjalananku selama berada di tempat tersebut, virus ebola sama sekali tidak pernah hinggap ke dalam tubuh Jaya Guntur.
Menciptakan senyum pada wajah mereka, hingga sebuah kekuatan terbentuk. Menghancurkan ketakutan luar biasa dari tubuh mereka, hingga terdapat semangat hidup untuk berjalan keluar dari penyakit tersebut. Memberikan kehangatan melalui doa-doa dengan menggenggam jemari tangan mereka.
“Saya tidak pernah tahu, kenapa semua ini terjadi dimulai oleh berbagai peristiwa sewaktu berada di kota tempatku berasal hingga terdampar di negara orang.” Kata-kataku dalam sebuah ruangan kecil.
“Tuhan, apa pun kisah hidupku sekarang, tetaplah bersamaku hingga setiap langkah kemenangan tetap ada membungkus. Jadilah sahabat penduduk disini, menjadi pelindung disaat semua orang pergi menjauh.” Setiap harinya isi dari doaku tanpa pernah bosan hingga Tuhanpun menangis bukan karena kecewa, melainkan menyadari apa yang sedang terjadi.
MEKAR SARI...
Menyukai pria beristri merupakan sesuatu hal paling menjijikkan bagi perjalananku sekarang. Luka demi luka berjuang membuang perasaan sayang untuknya, hingga tidak menciptakan dosa sedikitpun bagi duniaku. Permasalahan luar biasa terus saja membungkus hidupku sekarang.
Disaat semua orang pergi menjauh, dia selalu ada membalut lukaku. Disaat semua orang tidak mempercayai apa pun dalam diriku, namun, dia tetap ada untuk berkata, saya tetap percaya... Akhir cerita, menancapkan luka begitu kuat bagi duniaku.
“Saya memang berdosa karena menyukai dr. Abdir, tapi apa yang harus kulakukan? Jeritku setiap saat berjuang keras bahkan berperang agar tidak menciptakan dosa di tiap sudut perjalananku. Jauh lebih baik menjadi tahanan sel, dibandingkan mengikuti permainan dosa. Harus kuakui dr. Abdir benar-benar berparas tampan, pintar, baik, dokter impian siapapun. Namun, dr.Abdir tidak dapat lepas dari statusnya sebagai pria beristri dan beranak 3.
Hari itu, merupakan hari dimana saya akan berpindah sel penjara. Pertengahan jalan, tiba-tiba saja beberapa kelompok menghadang mobil tempat kami berada. Mengancam serta membawa kabur diriku dari petugas keamanan menuju suatu tempat. Mereka membiusku hingga saat tersadar, yang terlihat hanyalah dunia malam, diskotik, hal-hal menjijikkan di sekeliling pemandangan. Saya berada di negara asing dengan kehidupan paling menjijikkan yang pernah terlihat oleh kasat mataku.
Depan mataku sendiri, begitu banyak pasangan melakukan hal-hal tidak senonoh bahkan berhubungan lebih jauh. Tuhan, tolong saya, jeritan hatiku ketakutan. Berhari-hari berada di tempat menjijikkan terbungkus ketakutan luar biasa. Berjuang keras agar terhindar dari bahaya pergaulan. Hanya 2 pilihan jika kaki berpijak di tempat tersebut, terbawah arus ataukan menjadi sinar dengan cara melawan arus....mencari jalan, agar salah satu dari mereka tidak berbuat macam-macam terhadap diriku.
Daerah tempatku berpijak sekarang salah satu bagian dari sebuah negara jauh dari Indonesia, 99% penduduknya hidup dalam dosa. Sex bebas, pembunuhan, narkoba, kekerasan, perkelahian, aborsi, dan segala jenis akar kejahatan membungkus penduduk tersebut. Saya seorang diri sajalah yang terlihat sebagai gadis polos di tempat ini. Tidak mengerti bahasa mereka, namun, berjuang keras mempelajari sekedar berjaga-jaga serta agar dapat keluar dari negara tersebut.
Berusaha berlari mencari jalan agar bisa keluar dari daerah ini, tidak pernah berhasil. Semua usahaku tidak membuahkan hasil sama sekali, hanyalah kesia-sian belaka. Seseorang menolongku dengan memberikan tumpangan tempat tinggal sementara waktu. Setiap hari, saya harus melihat wanita itu membawa berbagai macam pria. Rasa takut luar biasa menerpa, bagaimana jika salah dari mereka berbuat jahat terhadapku? Tuhan, saya begitu takut bahkan terlalu takut, air mataku terus saja menetes.
Seseorang melemparkan sebuah benda ke dalam kamarku, memecahkan kaca jendela hingga membuatku makin ketakutan. Pandangan mataku beralih pada kertas bungkusan batu yang dilemparkan untuk memecahkan kaca jendela. Tangan gemetar, air mataku masih saja mengalir berjalan mengambil kertas tersebut.
“Jangan menjadi orang lemah. Kau diperhadapkan 2 pilihan, terbawah arus atau merubah kehidupan mereka. Jika kau berhasil membuat perubahan di tempat ini selama setahun, pasti ada jalan keluar untuk membawamu keluar dan kembali ke negaramu sendiri.” Isi tulisan dari kertas itu yang ternyata adalah surat kaleng.
“Siapa kau, keluarlah...” teriakanku terus mencari pengirim surat kaleng tersebut. Tidak ada jalan keluar, selain berusaha mengikuti kemauan pengirim suarat kaleng tersebut. Mengikuti arus atau membuat perubahan, itulah pilihan hidupku sekarang. Gadis polos harus belajar membuat perubahan seperti apa, ribuan pertanyaan menghampiriku. Setiap hari, saya harus terbiasa melihat banyak penduduk berjalan tanpa busana sekalipun, bahkan berhubungan sex di jalan seperti binatang. Berdoa, berdoa, dan berdoa hanya itu yang bisa kulakukan setiap saat.
Mulai belajar beradaptasi, namun tidak terbawah arus serta hidup sama seperti mereka. Awal mula semua penduduk mengejekku, masih hidup di zaman hutan tanpa menikmati semuanya. Tidak kehabisan akal membuat dunia mereka berubah, bagaimanapun caranya. Tidak mengenal kata menyerah dan terus berjuang menarik mereka keluar dari suatu jurang. Hingga suatu ketika, setahap demi setahap penduduk tersebut mulai berubah. Satu demi satu hal-hal menjijikkan keluar dari dunia mereka masing-masing. Mulai berpakain sopan tanpa harus telanjang itulah yang sekarang sedang terjadi. Sex bebas, aborsi, diskotik, pembunuhan, dan segala kejahatan mulai keluar dari daerah tersebut.
“Tuhan, terimah kasih karena membuatku sadar tentang suatu pergumulan doa ditengah lingkungan semacam ini.” Isi dari doaku menyadari sesuatu dibalik semua yang terjadi.
BAGIAN SEBELAS...

MENARA...
Selama setahun saya kembali melanjutkan studi, sambil terus memantau perkembangan mereka. Terus berkomunikasi dengan Reynand, paman Hosea, paman Budi, dan beberapa orang lain lagi untuk terus melihat perkembangan 34 orang ini. Proses berkepanjangan tanpa di sadari oleh mereka semua. Menunggu waktu tepat mengembalikan mereka kembali ke tanah air. Perbaikan Indonesia tidaklah semudah membalikkan telapak tangan dan tidak mungkin memakai sembarangan orang.
Dunia fanatisme terhadap suatu aliran kepercayaan yang dipermainkan oleh beberapa kelompok, di akhir cerita berakar kuat dalam lapisan masyarakat. Merubah pola pikir, karakter buruk masing-masing suku, memperbaiki keadaan paling rusak, kembali membangun pondasi dengan kekuatan berbeda bahkan paling kuat membutuhkan seseorang bermental baja. Menciptakan terobosan di berbagai bidang membutuhkan seseroang yang memiliki sesuatu hal/kelebihan tersendir dimana tidak seorangpun memilikinya.
“Reynand, jemput saya di bandara sekarang.” Perintahku melalui telpon. Mereka tidak tahu jika saya telah kembali ke Indonesia untuk menyusun langkah selanjutnya, setelah waktu berjalan berjalan begitu cepat. Setahun sudah 34 orang perwakilan masing-masing provinsi berada di situasi paling terburuk bagi dunia mereka. Sekarang waktu tepat menarik mereka, mempertemukan antara satu dengan lainnya. Menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dimulai awal perjalanan hingga detik sekarang. Memulai membentuk tingkat kecerdasan dengan membagi sesuai potensi masing-masing.
“Kenapa tidak cerita, kalau kau telah berada di Indonesia?” ucapan Reynand pertama kali melihatku di bandara. Terkadang, sesuatu menyerangku, apakah dia memiliki perasaan khusus terhadap Mekar? Saya harus siap menerima kenyataan, apa pun perasaannya sekarang. Bukan berarti seorang Nara harus menjadi lemah, hanya karena pria yang disayanginya telah berpindah haluan.
“Bukankah saya telah menelpon, berarti sudah diberitahukan?” berbalik ke arah Reynand memberikan semua barang-barangku agar dibawah olehnya.
“Kenapa saya merasa ada sesuatu mengganjal...” Reynand mencoba menerka-nerka...
“Itu hanya perasaanmu saja,” ucapanku kemudian berjalan menuju parkiran. Objek pemikiranku sekarang adalah mengembalikan 34 orang ini ke Indonesia, untuk melatih serta membentuk tingkat kecerdasan masing-masing dari mereka.
“Nara, bagaimana perencanaan selanjutnya?” pertanyaan paman Harjo ke hadapanku.
“Sesuai perencanaan, membawa mereka semua ke suatu daerah, jauh dari ibu kota serta mengembangkan skil, wawasan sesuai potensi masing-masing.” Jawabanku saat kami semua berkumpul di ruang bawah tanah.
“Paman, tak perlu khawatir karena saya telah mempersiapkan tempat membentuk kejeniusan mereka. Letaknya pasti jauh dari ibu kota.” Reynand masuk menjelaskan tempat mereka akan bertemu serta memulai membentuk potensi ke-34 orang ini.
“Kita akan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dimulai awal mula hal-hal aneh hingga saat dimana mereka tiba-tiba berada di negara asing tanpa mengenal seorang pun di sekelilingnya.” Ucapanku.
Memulai menyusun rencana mengembalikan 34 orang ke Indonesia. Beberapa cara dilakukan agar terhindar dari kecurigaan. Menculik mereka, membuat skenario tertentu, dan beberapa hal lain sehingga semua berjalan teratur bahkan tidak menimbulkan kekacauan. Akhir cerita 34 perwakilan berhasil kembali ke tanah air. Menyembunyikan mereka di suatu tempat, jauh dari keramaian ibu kota.
Antara satu sama lain saling terkejut, bertanya-tanya, serta mencari jalan keluar dari ruangan tersebut. Sementara itu, kami berjalan ke hadapan mereka semua...
“dr. Abdir...” teriakan Mekar mengenali wajah Reynand sekalipun tanpa memakai kaca mata.
“Paman,” kaki Brayn terus melangkah mencari jawaban dari paman Hosea. Mencurigai ada sesuatu hal yang sedang terjadi.
“Kami ingin menjelaskan kenapa kalian berada disini.” Kalimat Reynand memulai pembicaraan.
“Jangan katakan kalau...” ucapan Mekar mencoba menerka-nerka akan...
“Dibalik penderitaan kalian selama ini, kamilah yang selalu bermain.” Ucapanku menjelaskan sesuatu hal...
Menjelaskan kronologi awal mula deretan peristiwa pahit menyerang, hingga akhir cerita air mata mereka terus saja berjatuhan. Paman Hosea memulai mengatakan sejujurnya terhadap Brayn, kenapa hal tersebut dilakukan.
“Indonesia dengan segala permasalahan di dalam, baik dari segi kelemahan-kelemahan masing-masing daerah yang selalu saja dimanfaatkan oleh oknum tertentu, permainan politik, permasalahan agama menitik beratkan terhadap paradigma salah diakhir cerita membuat perpecahan/kerusakan/kerugian. Hutang Indonesia dalam jumlah besar, kesalahan-kesalahan pemerintah mulai dari orde baru hingga sekarang.” Kalimat demi kalimat keluar dari mulutku mencoba mengatakan beberapa hal.
“Memperbaiki seluruh kesalahan tersebut, membutuhkan perjuangan yang tidak main-main. Dapat mengorbankan banyak hal termasuk perasaan bahkan nyawa sendiri. Dibutuhkan tokoh-tokoh bermental baja. Tidak mudah goyah ataupun jatuh karena berhadapan dengan banyak hal, seperti suatu hari kelak kaget akan sebuah kursi, ketenaran, harta, lawan jenisnya. Hingga akhir cerita melakukan berbagai kisah-kisah mengerikan, sama seperti lainnya.” Perkataanku membuat mereka menyadari...
“Apa maksud membuat kami seperti ini?” pertanyaan Jaya tiba-tiba.
“Begini...” ujarku,
“Nara, biar saya yang menjelaskan,” paman Budi mengambil alih pembicaraan ini.
“Jaya, sebelumnya saya minta maaf atas semua yang terjadi selama ini. Membuatmu terbuang dari keluarga, rekan kerja, bahkan tidak dapat melanjutkan kuliah. Tidak ada maksud menghacurkan masa depanmu, melainkan kami semua ingin mengajarkanmu bagaimana menjadi seorang bermental baja, mempunyai belas kasih terhadap sesama terlebih kalangan masyarakat bawah, tetap kuat sepahit apa pun keadaan.” Kata-kata paman Budi memandang pemuda di hadapannya.
“Semua ini kami lakukan, demi membentuk iman, kekuatan, mental baja untuk perjalanan kalian ke depan. Tidak dikatakan permasalahan ke depan adalah hal-hal biasa, begitu banyak permainan dan lain sebagainya terus membungkus. Kesimpulannya, adalah Indonesia membutuhkan tokoh-tokoh yang memiliki nilai tinggi dan bukan pasaran, demi pemulihan negara.” Kata-kata paman Budi kembali.
“Tidak ada maksud membuatmu terkucilkan, menggunakan alasan kalau paman Budi harus memenangkan pemilihan kepala desa. Memancing pengetahuan tentang sesuatu hal, demi mempelajari segala potensi yang dimiliki olehmu. Kesengajaan bermain, saat pemilu paman Budi kalah dan tidak terpilih sebagai kepala desa. Juga masuk barisan skenario kami.” Kalimat Reynand.
“Termasuk menyuruh saya mengambil sebuah kunci menggunakan mulut pada lumpur bercampur kotoran manusia. Berada di penjara, menjadi orang asing di negara orang lain lebih parah lagi hidup dan menetap bersama penduduk terinfeksi ebola virus.” Jaya mengingat semua peristiwa yang terus terjadi.
“Betul, kami sengaja melakukan semua itu terhadap kehidupanmu, kenapa?” ujarku.
“Apa tujuan kalian?” pertanyaan Jaya.
“Seandainya suatu hari kelak, kau diperhadapkan permasalahan tertentu, berada diantara 2 pilihan, apakah kau masih bijak dalam bertindak. Memikirkan diri sendiri atau ada begitu banyak korban berjatuhan dari berbagai aspek terlebih orang-orang bawah.” Jawabanku terhadapnya.
“Andai kata kau di perhadapkan seorang paling berarti dalam perjalanan, entah itu anak/ istri setelah menikah atau kehidupan banyak orang diluar sana. Apakah pilihanmu selanjutnya?” imbuhku sekali lagi.
“Maksudnya?” Jaya sedikit tidak memahami.
“Jaya, kalau Tuhan menghendaki kau masuk deretan salah satu tokoh penting Indonesia, secara otomatis ada begitu banyak orang yang tidak akan menyukai caramu bertindak, kenapa? Dikarenakan faktor iri hati atau takut segala rahasia beberapa kelompok tertentu terbuka semua.” Ucapan Reynand tiba-tiba masuk berbicara.
“Tidak menutup kemungkinan, bisa saja salah satu orang terpenting dalam hidupmu berada dalam bahaya serta beberapa kelompok tertentu mengancam. Diantara 2 pilihan, mempertahankan orang yang paling berarti bagi perjalananmu dengan mengambil keputusan mengikuti kemauan pihak tertentu. Atau tetap berjalan dan melihat kehidupan ribuan manusia dibawah, namun, rela kehilangan orang yang paling kau sayangi.” Kalimat Reynan berlanjut.
“Coba berpikir, mereka yang tetap berada di jalur Tuhan dengan bersikap tegas, keras, mempertahankan keadilan, memiliki belas kasih terhadap banyak orang, tentunya tidak semudah itu. Kebanyakan tokoh-tokoh berpengaruh harus meninggalkan jalur Tuhan, karena ada begitu banyak hal yang dapat mengancam keselamatan mereka.” Ucapanku menjelaskan beberapa.
“Bagaimana kalian dapat menyadari, bahwa kami merupakan orang paling tepat memasuki perjalanan seperti ini...?” pertanyaan Jaya lagi.
“Seperti yang diceritakan sebelumnya, jika saya harus mengembara ke seluruh provinsi dan meminta berbagai tanda kepada Tuhan. Menyamar sebagai orang tua dipenuhi luka-luka borok, penjual makanan, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, saya harus berjalan keliling memakai pakaian compang-camping, berpura-pura buta, seluruh tubuh terbungkus luka-luka. Meminta petunjuk Tuhan, jika seorang anak muda datang ke hadapanku bahkan mau membersihkan seluruh luka-lukaku, memberikan pakaian baru...Berarti pemuda itu adalah pilihan untuk memperbaiki Indonesia.” Kata-kata paman Hosea menerangkan apa yang sebenarnya terjadi.
“Ternyata kakek tua itu adalah paman sendiri.” Brayn bahkan hampir tidak mempercayai semua deretan peristiwa dalam perjalanannya.
Mengatakan apa yang mesti mereka dengar dan pahami. Berkata-kata akan berbagai hal tentang dunia mereka selama ini. Menjebak serta membuat secara keseluruhan berada di luar Indonesia. Memancing agar mau menulis berbagai pemikiran/ pengetahuan akan beberapa pernyataan yang berikan.
“Jangan katakan kalau paman sengaja membuat tipu muslihat terhadap perusahaanku.” Brayn baru menyadari akan perusahaannya.
“Betul Brayn, apakah kau tidak mengingat wajah dari seseorang yang sedang mempresentasikan gagasannya di hadapan para pengusaha tentang sebuah objek wisata terbaru. Hingga kau berhasil masuk jebakan....” Reynand mencoba mengingatkan.
“Tapi...” ucapnya.
“Pada saat itu, saya menyamar sebagai pengusaha berjenggot dipenuhi banyak bulu pada wajah. Rambut berwarna pirang berkaca mata. Kesimpulan, saya berhasil membuatmu jatuh miskin. Kenapa?” pancingan Reynand.
“Kenapa?” Brayn balik bertanya.
“Karena kami ingin menyadari apakah hidupmu akan berakhir atau seperti apa setelahnya? Apakah duniamu begitu marah kepada Tuhan bahkan mengeluarkan sumpar serapah atau sebaliknya.” Jawaban Reynand.
“Tujuannya, adalah jika seandainya seorang Brayn berada diatas dengan berbagai permasalahan paling mengerikan. Apakah dia akan tetap bijak mengambil keputusan dan tidak memihak hal-hal yang dapat menghancurkan semua orang dalam sekejap mata.” Tambahan penjelasanku terhadapnya.
“Ada begitu banyak orang tidak dapat mengambil keputusan dengan bijak, kenapa? Karena mereka hidup dibawah tekanan dari berbagai arah, ataupun terpancing akan sebuah ketenaran, harta, tahta, bahkan lawan jenis. Sementara Indonesia merupakan sebuah negara, jangan karena perbuatannya, hingga menghancurkan banyak orang terlebih orang-orang lemah.” Kata-kataku mencoba kembali membuat Brayn menyadari hal seperti ini.
“Menyebarkan fitnah, bahwa kau memiliki kelainan jiwa, hingga membuat kaki dan tanganmu terpasung di sebuah rumah kecil selama beberapa waktu. Kami hanya ingin melihat bagaimana duniamu bereaksi akan hal tersebut.” Paman Hosea mengutarakan apa yang ingin dijelaskan...
“Jadi, kemarin anda menyamar sebagai dokter beristri hanya demi mencari sampai dimana kedalaman iman..” Mekar berdiri ditengah-tengah mereka menatap tajam Reynand.
“Kami ingin mengetahui, tentang kedalaman imanmu, jangan sampai saat berada diatas kau akan jatuh karena lawan di depan mata benar-benar menggiurkan sedemikian rupa. Ada begitu banyak torang jatuh dan tidak dapat berdiri oleh karena lawan jenisnya. Sementara begitu banyak yang menjadi korban akibat hal seperti ini.” Ucapan Reynand menjelaskan.
“Berarti , anda tidak benar-benar menyukaiku?” lirih Mekar.
“Saya minta maaf Mekar, betul apa yang kau ucapkan saya tidak pernah menyukaimu, hanya karena tuntutan skenario hingga membuat perasaan menjadi kacau balau.” Jawaban Reynand.
“Apakah wanita di foto itu bukan istrimu yang sebenarnya?” tanya Mekar kembali.
“Masih belum mengenalnya, gadis itu berdiri di hadapanmu sekarang bernama Nara. Pada dasarnya kami bukan pasangan suami istri betulan, tapi akan menuju bahtera dalam suatu ikatan serius. Sekali lagi, saya minta maaf, percayalah suatu hari kelak kau akan mendapatkan pria terbaik. Jangan terlihat lemah untuk hal seperti apa pun.” Jawaban Reynand membuatku tidak menyangka atas ucapannya.
“Mekar, sekali lagi saya minta maaf telah mempermainkan perasaanmu, tapi, kami semua salut terhadap karakter dalam dirimu, menjadi pemenang sekalipun hal paling menggiurkan di depan mata...” kalimat Reynand melanjutkan ucapannya.
Menceritakan hingga pada akhirnya mereka semua menyadari tentang maksud Tuhan dibalik semua ini. Begitu banyak pertanyaan terus saja dilemparkan oleh mereka, hingga kami mencoba menjawab satu per satu. Bersyukur, 34 orang perwakilan dapat menerima mengapa deretan peristiwa tersebut terus terjadi.
“Kalaupun, ada diantara kalian menyimpan kepahitan, silahkan...tapi, harus menyadari beberapa hal bahwa dibalik semua itu akan menjadikanmu berkualitas suatu hari kelak. Sayalah orang yang bettanggung jawab dibalik semua permasalahan tersebut, jadi, jangan persalahkan Reynand, paman Hosea, dan lainnya.” Perkataanku kembali.
“Tidak yang perlu disalahkan. Kami mau belajar apa pun itu...” ujar Brayn tersenyum.
“Terimah kasih karena mengajarkanku tentang kualitas hidup.” Kalimat Mekar, memahami akan sebuah lingkaran perjalanan.
Kami menjelaskan, bahwa mereka tidak dapat keluar dari sekitar lingkaran tempat tinggal yang telah kami patok. Harus menjalani pembelajaran hingga pembentukan kecerdasan mereka masing-masing setahap demi setahap setahap.
“Bagaimana jika kita masyarakat Indonesia terus saja mempermasalahkan tentang keyakinan seseorang yang harus menjadi bagian tokoh-tokoh terpenting Indonesia?” pertanyaan Brayn secara tiba-tiba, sambil memegang buku-bukunya...
“Betul itu...” ujar satu dari antara mereka.
“Kami sudah memikirkan semua hal yang terjadi. Pada dasarnya, permasalahan keyakinan hanyalah kesalah pahaman antara penganut agama satu dengan lainnya. Terdapat beberapa oknum tertentu menjadi senjata untuk sesuatu yang ingin diraih.” Perkataanku menjawab pertanyaan tersebut.
“Andai kata, keadaan tidak memungkinkan serta masyarakat jauh lebih terikat tentang fanatisme mayoritas penganut kepercayaan, apa yang akan kita lakukan?” pertanyaan Brayn kembali.
“Kalaupun rakyar Indonesia memilih hal seperti itu, maka kita akan meninggalkan negara Indonesia. Di luar sana ada begitu banyak negara mencari kalian untuk dipekerjakan demi kemajuan pembangunan rakyatnya.” Jawabanku lagi.
“Tidak usah takut hal tersebut terjadi, kita tidak langsung masuk, melainkan setahap demi setahap. Namun, andai kata kepercayaan menjadi permasalahan terbesar, tentunya kita semua akan meninggalkan negara ini. Iman kepercayaan bersifat pribadi dan tidak boleh memaksa bahkan membawa hal tersebut ke dunia pemerintahan.” Ucapanku kembali.
“Maka dari itu, kalian harus berjuang memperlihatkan kualitas karakter terbaik, tetap di jalur Tuhan, dan skill terbaik dibanding siapapun di sekeliling.” Kata-kata Reynand dari arah belakang.
“Kalian juga akan dibagi menjadi beberapa area sesuai potensi masing-masing. Namun, semua dari kalian harus menguasai 4 bidang penting diantaranya pendidikan, hukum, ekonomi, keuangan. Kenapa? Karena satu dengan lainnya saling berkaitan erat dengan semua bidang.” Penjelasanku kembali.
“Bagaimana dengan penemuan yang tertulis pada materi ini?” pertanyaan Jaya sedikit bingung.
“Kami ingin beberapa dari kalian termasuk Jaya, mencari sebuah alat penemuan yang tidak pernah ada sebelumnya di dunia ini.” Jawaban Reynand.
“Penemuan seperti apa?” pertanyaan Jaya.
“Mesin pembuat gedung, periksa beberapa mesin-mesin yang biasa digunakan oleh berbagai perusahaan. Selain itu mempelajari seluruh data-data kemajuan sebuah negara dimana memiliki teknologi-teknologi tercanggih.” Jawabanku terhadapnya.
Menjelaskan lebih mendetail tentang materi-materi yang harus mereka pelajari. Berjuang, belajar, tidak mengenal kata menyerah itulah karakter terbaik bagi dunia kalian sekarang. Tidak ada hal mustahil, selama semua itu masih tetap berada pada jalur Tuhan. Bersikap rendah hati di hadapan Tuhan, hingga usaha demi usaha selalu membuahkan hasil.