INDONESIA DI DUA TITIK 2
BAGIAN PERTAMA...
MENARA...
Melanjutkan
sekolahku di Jerman merupakan salah satu tujuan dari paman Harjo sebelum
memulai perjalanan sebenarnya di Indonesia suatu hari kelak. Keberadaanku
benar-benar tersembunyi secara luar biasa, tanpa seorangpun menyadari sesuatu
hal. Tidak seorangpun pejabat boleh menyadari apa yang sedang terjadi termasuk
masyarakat Indonesia.
Hal
tidak terduga adalah Reynand berada di depanku demi mendapat sebuah jawaban
apakah aku mau menjadi pacarnya atau sebaliknya? Seperti bermimpi dia ada di
sampingku dalam sebuah gereja. Kami berdua memutuskan untuk berpacaran jarak
jauh, di karenakan Reynand harus kembali ke Indonesia. Sementara paman Hartono
secara diam-diam mengunjungiku di negara orang sekalian menjenguk istri, anak,
dan cucunya.
Mempelajari
tentang kondisi Indonesia sekarang ini, membuat duniaku selalu saja menggeleng-gelengkan
kepala. Tidak tahu harus berbuat apa dan berjalan kemana? Indonesia diperhadapkan
beberapa hal, diantaranya hutang dengan hitungan luar biasa, permasalahan
militer jika tidak tertangani dapat berakibat fatal ke depan, teroris dan
organisasi-organisasi mengatas namakan suatu agama tertentu. Selain hal
tersebut dunia korupsi para pejabat, permainan politik, dan lain sebagainya.
“Tuhan,
apa yang harus kulakukan?” suara hatiku bertanya-tanya.
Seandaianya,
Tuhan menghendaki seorang Menara benar-benar memasuki Indonesia hal pertama
yang harus ditangani di antara segala permasalahan ada dimana? Melangkah dengan
sedikit saja dan membuat kesalahan dapat berakibat fatal, kenapa? Dikarenakan
pihak tertentu dapat saja menyerang atau memainkan situasi atau hal lain yang
akan terjadi. Hal seperti ini bukan permasalahan biasa dan sepele, saat
berjalan harus benar-benar memikirkan dampak serta sebab-akibat.
“Paman
Hartono, apakah kita bisa bertemu?” ucapanku melalui telpon selular dalam
keheningan kamar.
“Paman
sepertinya sibuk sekarang ini, jadi tidak memungkinkan ke Jerman.” Jawaban
paman Hartono di dalam telpon.
“Usahakan
paman datang kesini, bagaimanapun caranya.” Cetusku memaksakan...
“Tapi...”
kalimatnya.
“Ini
benar-benar penting paman...” gertakan nada
suara menakutkan dariku.
“Baiklah,”
suaranya dengan nada keterpaksaan.
“Paman,
tolong paman Harjo dan Reynand harus ikut kemari bagaimanapun caranya.”
Kalimatku tanpa mau mendengar penjelasan paman Hartono dan langsung mematikan
telpon seluler tersebut.
Kamarku
penuh dengan buku-buku kampus dan semua artikel tentang Indonesia.aku tidak mengizinkan
siapapun memasuki apartementku baik teman-teman kampusku. Kalaupun salah satu
dari mereka memaksakan diri ingin menginjak apertementku, maka dengan berbagai
alasanpun terlontar dari perbendaharaan mulutku. Atau saat benar-benar tidak
menemukan alasan tepat, aku membawa mereka ke apartement milik paman Harjo.
Secara kebetulan, paman Harjo mempunyai sebuah apartement yang tak jauh dari
kampus tempat kuliahku.
“Nara,
ada apa memanggil kami kemari secara bersamaan?” pertanyaan paman Harjo
memasuki apartement. Mereka berdua tahu benar kode pasport dari apartementku,
kecuali Reynand.
“Oh,
kalian sudah datang.” Keterkejutanku.
“Pastilah,
sudah tahu kami di depan matamu berarti kami sudah datang bos.” Ujar Reynand.
“Nara,
kenapa kau menyuruh Reynand dan paman Harjo harus kemari?” pertanyaan paman
Hartono sambil memasukkan seluruh barang-barangnya ke kamar sebelah.
“Kalau
Reynand sih, tidak usah dipertanyakan pasti mau melepas rindu, nah yang jadi
pertanyaan paman Harjo...” kening mereka berkerut.
“Gadis
mungil, pasti kau merindukan saya kan.” Godaan Reynand dengan tersenyum.
“Percaya
diri amat.” Gerutuku.
“Lantas
apa dong?” seperti biasa sedikit mencolek pipiku.
“Jangan
macam-macam.” Gertakku berusaha menghindar.
“Berhenti
bermain, sekarang kita makan dulu dan setelahnya mendengar penjelasan Nara tentang
maksud serta tujuannya.” Nada suara paman Harjo sambil melangkahkan kakinya
menuju dapur untuk mencari makanan. Setelah makan makan malam selesai, dan
membereskan semua barang-barang yang mereka bawah, akhirnya saya mulai
menjelaskan sesuatu hal. Namun, sebelumnya memastikan tidak seorangpun berada
di luar dan mengunci pintu apartement dengan rapat. Beruntunglah ruangan ini
kedap suara, jadi tidak seorangpun dapat mendengar pembicaraan kami atau bahkan
menggunakan alat teknologi tertentu.
“Paman,
keadaan Indonesia sangat parah dan tidak mungkin Nara masuk begitu saja tanpa
patner.” Mencoba memulai pembicaraan.
“Maksud
Nara bagaimana?” paman Harjo tidak memahami sama sekali.
“Nara
kan tahu, kalau ada kami berdua.” Ucap paman Hartono.
“Tidak
seperti itu paman, permasalahan disini Indonesia berada di 2 titik dan harus
berjalan ke titik mana, sedangkan untuk memperbaiki negara ini tidak semudah
membalikkan telapak tangan.” Kata-kataku.
“Nara
juga sadar kalau tidak mungkin langsung memimpin dan harus mulai setahap demi
setahap memasuki dunia pemerintahan. Hanya saja...” kalimatku terhenti.
“Hanya
saja apa Nara?” kening paman Harjo berkerut.
“Nara
membutuhkan patner kerja dan persiapan secara matang, dengan kata lain perencanaan
luar biasa jauh sebelum memasuki dunia Indonesia.” Jawabanku.
“Itu
gampang Nara, tinggal menyuruh banyak orang memasukkan lamaran dengan
persyaratan IPK sekian, berasal dari kampus sekian, dan mengikuti tes
psikologi, tes wawancara dan tertulis. Gampang kan...” ujar paman Hartono
tersenyum.
“Kalau
begini ceritanya, tidak usah repot-repot menyuruh kami berada di depanmu
merusak rencana kerja kami saja.” Gerutu paman Harjo.
“Nara
tidak menginginkan cara seperti ini, seandainya ini perusahaan tidak menjadi
masalah hanya saja yang sekarang menjadi objek adalah negara bukan benda.” Nada
penekanan terdengar jelas dari diriku.
“Maksud
dari ucapanmu gadis mungil, dan apa hubungannya dengan saya...apa maumu dan jangan
merencanakan hal-hal aneh.” Reynand mulai menyadari sesuatu hal.
“Tahu
saja, kalau ada sesuatu yang kuinginkan darimu.” Godaanku tersenyum lebar.
“Apa
maksud Reynand berkata-kata seperti itu?” paman Hartono mulai mencium bau-bau
aneh dari kalimatku.
“Jujur,
pada saat memasuki Indonesia ke suatu tingkatan tertentu, saya tidak ingin
mengenal sebuah istilah paling mengerikan.” Ujarku lagi memainkan beberapa
lembar kertas di atas meja.
“Maksudnya?”
pertanyaan mereka secara serentak.
“Sebuah
istilah dan lazim di kalangan masyrakat, tiba masa tiba akal.” Jawabanku.
“Tiba
masa tiba akal.” Renynand mencoba memahami pernyataan tersebut.
“Kalau
memang pada dasarnya saya harus ke atas, berarti patner kerja untuk memperbaiki
Indonesia tidak boleh sembarangan orang dan hanya berpatokan pada sebuah ijazah
dengan IPK 3,90 hingga 4,00 dari kampus-kampus terbaik dunia.” Penjelasanku.
“Apa
rencanamu selanjutnya?” pancingan paman Hartono tanpa berkedip sekalipun.
“Saya
menginginkan sebuah proses untuk persiapan perbaikan Indonesia dengan cara
tersendiri, tanpa diketahui oleh semua orang.” Jawabanku.
“Saya
tidak mengerti!” ucapan paman Harjo.
“Bukan
berarti ingin menonjolkan ajaran kepercayaanku, dan ingin membuat seluruh
masyarakat Indonesia menganut agama yang saya yakini. Sama sekali tidak, kita
tetap sama-sama saling menghargai antara satu dengan lainnya dan tidak boleh
ada pemaksaan ajaran agama manapun.” Ujarku secara perlahan.
“Jelaskan
lebih spesifik, saya tidak mengerti dengan membawa agama dan ajaran, maksudnya
apa?” kening paman Harjo terus saja berkerut.
“Pada
kitab suci yang saya miliki terdapat sebuah kisah seorang hakim Tuhan bernama
Samuel dan diperintahkan untuk pergi secara buta-buta mengurapi salah satu anak
Isai menjadi seorang raja suatu hari kelak.” Penjelasanku sedikit berhati-hati.
“Maksud
dan tujuanmu bercerita tentang ini, hubungannya di mana coba?” ujar Reynand
tidak mengerti.
“Maksudku,
saya ingin menyuruh seorang pendeta untuk pergi mencari masing-masing
perwakilan dari 34 provinsi di Indonesia yang akan dipersiapkan melalui jalan
pembentukan tertentu.” Jawabanku kembali.
“Nara,
terus terang saya tidak mengerti tentang ucapanmu dan melibatkan pendeta dalam
hal ini beresiko besar. Sadar atau tidak, masyarakat akan berpikir hal-hal
buruk sekalipun dalam dirimu tidak bermaksud jahat.” Tegur Reynand.
“Tunggu-tunggu,
bagaimana cara pendeta tersebut mencari perwakilan provinsi dan kenapa harus
seperti itu?” pertanyaan paman Harjo.
“Nara
sadar atau tidak, sedangkan untuk membawa Nara ke dunia seperti ini membutuhkan
sebuah perjuangan terlebih 34 orang.” Paman Hartono terlihat stress.
“Indnonesia
di ujung tanduk, kalau memang Tuhan menghendaki Nara harus berada di atas
berarti patner kerjapun tidak boleh sembarangan orang. Terlalu beresiko, sedangkan
berbagai konflik terus saja bermain di negara-negara luar dan sangat
berpengaruh untuk berbagai bidang di Indonesia.” Ungkapku.
“Kalau
memang kalian ingin melihat Indonesia maju, jangan asal memakai sembarang
orang. Indonesia diperhadapkan beberapa hal diantaranya hutang yang terlampau
besar, permasalahan militer, memperbaiki pola pikir masyarakat tentang dunia
fanatisme yang telah dipergunakan salah oleh pihak-pihak tertentu, seluruh SDA
Indonesia dikelola oleh pihak asing, permainan politik dan lain sebagainya.
Belum lagi kesalahan-kesalahan program yang telah di buat sejak awal orde baru
hingga saat ini hanya saja secara keseluruhan belum diperiksa.” Tambahan
penjelasanku.
“Jadi...”
kalimat paman Hartono.
“Sedangkan
rupiah melemah saja, Indonesia kewalahan terlebih hal-hal seperti ini. Belum
lagi bidang-bidang lain pada masing-masing provinsi...jujur, Indonesia harus
secepatnya keluar dari akar permasalahan karena beberapa hal dan semua
membutuhkan terobosan dimana hanya terdapat pada tokoh-tokoh tertentu. Semua
itu tidak mudah untuk dijelaskan terlebih dijalani.” Ungkapanku lagi.
“Permasalahan
disini Nara terlalu beresiko.” Paman Harjo mencoba menjelaskan.
“Lebih
parah lagi ke depan paman. Kalau ada seorang kandidat dalam pemilihan umum
berkata bahwa dirinya dapat memperbaiki Indonesia, itu karena dimatanya hanya
menginginkan kursi. Sekalipun mulutnya berbusa untuk menjelaskan program ke
depan seandainya terpilih menjadi pemimpin baik dari pusat maupun daerah, semua
itu bohong.” Kata-kataku menjelaskan.
“Kenapa
bisa kau mengucapkan hal tersebut Nara?” tanya Reynand.
“Perbaikan
Indonesia tidak semudah membalikkan telapak tangan seperti yang telah saya
ucapkan sebelumnya. Mereka hanya menginginkan sebuah kursi dan uang, tidak
lebih. Coba mengerti keadaan saya sekarang.” Kata-kataku kembali.
“Saya
tidak mau mengambil resiko besar seperti ini, kalau kalian masih menginginkan
untuk seorang Nara bertahan yang berarti...” tambahanku kembali.
“Mengikuti
segala yang Nara mau.” Paman Harjo melanjutkan.
“Jadi
apa yang akan kau lakukan?” pertanyaan paman Hartono.
“Kau
belum menjawab pertanyaanku, kenapa harus ada perwakilan masing-masing
provinsi?” pertanyaan paman Harjo kembali.
“Kesalahan
Indonesia disini, dimana 99% para pejabat yang memimpin dan mengambil alih
bidang-bidang penting hanya berpatokan pada 1 suku saja hingga menyebabkan
perpecahan. Rata-rata rakyat Indonesia berpikir kenapa hanya suku A saja yang
terus-menerus menjadi pemimpin dan mengambil bagian-bagian terpenting dari
negara ini? Hal seperti inilah salah satu penyebab utama.” Kalimatku terpotong
untuk berhenti sejenak.
“Lanjutkan
Nara.” Ucap paman Harjo.
“Jadi,
saya ingin masing-masing provinsi harus ada perwakilan sehingga suatu hari
kelak terjadi keseimbangan dan tidak membeda-bedakan. Mereka akan memasuki
sebuah pembentukan tanpa disadari oleh masing-masing perwakilan tersebut,
bahkan harus tertutup rapat secara luar biasa.” Ujarku.
“Apa
yang akan dilakukan oleh pendeta tersebut, bagaimana dia akan tahu bahwa si’A
merupakan perwakilan provinsi A dan lain sebagainya.” Pertanyaan paman Harjo
lagi.
“Pasti
akan menjadi pro dan kontra kelak, namun hanya cara seperti ini yang dapat dilakukan
untuk perbaikan Indonesia. Pendeta tersebut akan berdoa dan meminta petunjuk
Tuhan, hingga diberikan melalui mimpi atau apalah gitu. Selanjutnya pendeta
tersebut berdoa untuk orang itu sesuai pilihan Tuhan dan siap memasuki proses
luar biasa sebelum membentuk tingkatan otaknya.” Penjelasanku.
“Maksudmu?”
Rasa penasaran Reynand.
“Pendeta
tersebut akan mengembara ke seluruh daerah, kemudian mencari seseorang dari
masing-masing provinsi untuk membentuk karakternya. Kenapa? Keadaaan di atas
membutuhkan tokoh-tokoh dengan mental baja, iman kuat, bijaksana, mampu membuat
terobosan tertentu di mana tidak seorangpun dapat mengcopi paste segala hal
yang diperbuatnya.” Penjelasanku.
“Pembentukan
seperti apa yang kau inginkan?” paman Harjo bertanya.
“Mereka
tidak boleh sadar pembentukan tersebut dan tentang persiapan perbaikan
Indonesia. Intinya menyuruh pendeta tersebut mengembara dahulu selanjutnya akan
saya jelaskan lagi hal selanjutnya.” Jawabanku.
“Kami
mau Nara menjelaskan sekarang, pembentukan seperti apa?” tutur Reynand.
“Pembentukan
sama seperti yang kuperbuat terhadapmu, hanya saja mereka tidak pernah sadar
tentang hal tersebut. Dimulai dari mengajarkan mereka kehidupan seperti menjadi
petani, pembantu rumah tangga tanpa gaji satu sen pun, memelihara ternak, kuli
bangunan, penjual ikan, memelihara beberapa anak yatim piatu, dan lain
sebagainya.” Ucapanku menatap tajam Reynand.
“Satu
lagi, saya ingin generasi muda untuk membuktikan di dalam dunia mereka terdapat
sebuah kekuatan. Bukan berarti paruh bayah tidak terpakai, hanya saja saya punya
banyak pertimbangan tertentu.” Kalimatku lagi.
“Kami
akan ikuti apa maunya Nara, hanya saja jangan pernah mundur dalam kondisi apa
pun juga.” ujar paman Harjo lagi.
“Pasti
paman” senyumanku terpampang di hadapan mereka. Tidak ada maksud tertentu atas apa
yang kulakukan, Tuhan tahu hati dan perasaanku saat ini. Tidak mungkin, seorang
Nara ingin membuat sesuatu hal mengerikan di negara Indonesia.
BAGIAN
DUA...
REYNAND...
Saya
tidak mengerti dengan jalan pikiran Nara untuk sekarang ini. Secara tiba-tiba menyuruh
paman Harjo dan Hartono, termasuk diriku harus secepat mungkin berada di
hadapan dia. Berlanjut, hingga paman Hartono dan Harjo mencari jalan serta
membuat berbagai alasan meminta cuti tiba-tiba tanpa adanya kecurigaan pihak
manapun. Saya pun harus meninggalkan rutinitas pekerjaan demi memenuhi
permintaan gadis mungil tersebut. Nara menjelaskan sebuah perencanaan paling
mengerikan dan benar-benar beresiko. Hubungan denganku ada dimana, logika
pikiranku berbicara jika semua ini sama sekali tidak berhubungan denganku. Saya
hanyalah pacar seseorang yang sedang memainkan peran untuk Indonesia, tapi
tidak ingin masuk mencampuri apa pun pekerjaaannya.
Nara
meminta bantuan dengan berbagai ancaman terhadapku di luar dugaan. Hubungan
kami tidak dapat dilanjutkan segala dan lain sebagainya, jika, saya tidak mau
terlibat serta membantu apa pun diperintahkan. Menyuruh menghubungi seorang
pendeta, yang benar-benar tekun berdoa bahkan jangan abal-abal menurut
pemikirannya. Logika pikiranku berjalan, apakah memang ada pendeta abal-abal di
dunia ini? Kalimat Nara hanya berkata, bahwa jangan asal mempercayai pendeta
dikarenakan sebagian dari mereka selalu memakai topeng kesucian. Jadi,
kesimpulan dimana saya harus mencari seorang pendeta yang benar-benar takut
Tuhan, tekun berdoa, tegas, mempunyai karakter berbeda dari siapapun di
Indonesia.
Saya
ini besar di luar dan baru saja menginjakkan kaki disini. Kenapa saya ingin
tetap tinggal di Indonesia? Karena tidak menutup kemungkinan Nara tidak akan
meninggalkan negara ini oleh karena sesuatu hal. Pada dasarnya, saya terlihat
cukup lama hanya saja, ada begitu banyak hal dari negara ini yang belum
kusadari. Jadi, untuk mengikuti apa maunya membutuhkan pergumulan luar biasa.
Namun, dengan keterpaksaan harus diikuti, kenapa? Karena seorang Reynand sangat
takut diputuskan oleh gadis bernama Menara.
“Kau
harus mencari pendeta yang dapat melakukan petualangan ke seluruh Indonesia
dengan membawa sebotol minyak urapan.” Kalimat Nara terhadapku. Saat itu hanya
tinggal kami berdua di apartementnya karena paman Harjo dan Hartono balik
duluan ke Indonesia.
“Kenapa
bukan paman Harjo atau paman Hartono sih yang melakukan pekerjaan ini?
Pertanyaanku.
“Coba
pikir dengan logika, memangnya mereka pernah menginjak gereja?”
“Resikonya
terlalu berat, saya ini tidak mengenal mana pendeta yang bisa diandalkan dan
mana tidak bisa di andalkan.” Gerutuku.
“Itu
akar permasalahanmu” ucapan paling cuek seolah tidak perduli apa pun.
“Nara,
apa sih yang ada dalam pikiranmu?” tanyaku.
“Andai
kata disuruh memilih, saya juga tidak menginginkan jalan seperti ini dan lebih
berpikir menjadi orang biasa. Tapi, karena keadaan hingga mengakibatkan saya
harus bertahan untuk beberapa saat.” Kata-kata Nara terlihat seakan ingin
menjatuhkan sebulir kristal dari kedua bola matanya.
“Maaf
karena...” permohonan maafku dengan wajah tertunduk.
“Tidak
mungkin saya asal mengambil orang suatu hari kelak, karena Indonesia bukanlah
sebuah perusahaan ataupun benda. Berbicara tentang Indonesia berarti mengarah
pada sebuah kata yaitu negara bukan perusahaan.” Ucapnya.
“Indonesia
menghadapi banyak permasalahan dan tidak mungkin dapat diselesaikan oleh
sembarangan orang. Andai kata yang ada di depan mata hanyalah sebuah
perusahaan, pastinya saya hanya mengikuti ucapan paman dengan menyuruh banyak
orang memasukkan lamaran yang memenuhi persyaratan IPK dari kampus-kampus
terbaik dan lain sebagainya.” Kalimatnya lagi.
“Kenapa
kau tidak berpikiran pada orang-orang dengan IPK tinggi, IQ paling diatas
rata-rata, lulusan dari kampus-kampus terbaik bahwa mereka adalah yang terbaik?”
pertanyaanku.
“Seseorang
dengan IPK tertinggi belum tentu dapat membuat sesuatu hal luar biasa hingga
mencengangkan semua mata. Apa gunanya IQ dan IPK tinggi, jika saat berjalan
mereka hanya menggunakan kesombongannya karena mempunyai kejeniusan luar biasa.
Terkadang, mereka tidak tahu harus berjalan kemana, tidak dapat disangkal jika
untuk beberapa saat semua terlihat wow...saat menyelesaikan sebuah pekerjaan,
namun, terkadang jika menyadari pembentukan mereka kaget melihat kursi, harta,
dan keegoisan lebih berkuasa di dalam perjalanannya.” Penjelasan Nara lagi.
“Orang-orang
jenius di Indonesia banyak dengan lulusan beberapa kampus terbaik. Kalau hanya
melihat kejeniusan luar biasa, saya tinggal mengikuti saran paman. Mengumpulkan
orang-orang jenius dan memiliki IPK tinggi/IQ tinggi, kemudian melakukan tes
tertulis juga wawancara. Setelahnya tes psikologi. Selesaikan!” tambahannya
lagi.
“Jadi,
Nara ingin yang seperti apa?” tanyaku.
“Saya
menginginkan sesuatu perbedaan dan tidak dapat dimiliki oleh siapapun juga,
mental/ fisik seperti baja namun terdapat hal dimana pandangan mataku tidak
dapat berkedip sedikitpun, karakter tersendiri tanpa harus menjadi orang lain.
Kemampuan dalam dirinya bukan pasaran dan hanya dia yang memiliki skil
tersebut, tidak dapat difoto kopi oleh siapapun juga serta bagaimanapun
caranya.” Jawaban Nara yang tidak kumengerti sama sekali.
“Tuhan,
kemungkinan besar saya membutuhkan waktu memahami pernyataan gadis mungil di
depanku saat ini.” Bisikan hatiku menggema memandangi kedua bola matanya.
“Tapi,
saya tidak katakan kalau seseorang tidak perlu bersusah-susah belajar demi
mendapat nilai terbaik. Persepsi seperti inipun salah, pembicaraan harus sesuai
dengan tempat juga.” ujar Nara kembali.
Pemikiran
dan prinsip Nara berbeda dari siapapun juga, terlalu sulit diselami untuk
waktu-waktu tertentu. Ada saat, dimana dirinya akan membuat semua
disekelilingnya tidak sadar apa yang telah diperbuatnya hingga pada akhir
cerita semua mata tidak berkedip sama sekali. sama seperti diriku, selalu saja
dikejutkan oleh segala ucapannya. Apakah pada dasarnya, gadis mungil di depanku
memiliki kepribadian introvert tanpa disadari olehnya atau bahkan diriku? Hanya
Tuhan maha tahu apa pun itu, selama tidak melewati batas tertentu.
“Gadis
mungil, jaga diri baik-baik disini yah.” Senyumanku di hadapan Nara.
“Kau
juga harus jaga diri.” Kalimatnya sebelum berpisah di bandara.
“Salam
buat Nefrit dan yang lainnya di Indonesia.” Ujarnya lagi sambil memperbaiki syal
yang tergantung pada leherku.
“Gadis
mungil, kenapa kau tidak pernah sekalipun mengucapkan sebuah kalimat
dihadapanku” mimik wajahku terlihat cemberut.
“Tentang
apa?”
“Ucapkan,
kalau Nara sayang Reynand sampai kapanpun juga.” ucapku serius.
“Jangan
lupa hal-hal yang kuperintahkan sebelumnya kalau tidak kita berdua putus,
ngerti.” Gertaknya.
“Kenapa
kau selalu mengalihkan pembicaraan?” teriakanku sangat marah dan berlalu dari
hadapannya. Bahkan tidak sedikitpun memanggilku atau berteriak mengucapkan sebuah
kalimat yang telah kuimpikan sejak dulu.
“Reynand...Reynand...Reynand...”
teriakan Nara dari belakang, dengan sukacita luar biasa aku berbalik kembali ke
hadapannya.
“Jangan
lupa semua hal yang harus langsung dikerjakan saat menginjakkan kaki kembali di
Indonesia.” Teriakannya sambil tersenyum.
“Saya
membencimu gadis mungil...” teriakanku kali ini membuat Nara tertawa luar biasa
tanpa memperdulikan perasaanku sedikitpun. Lebih parah lagi, dia malah
menghilang secepat kilat dari hadapanku.
“Tuhan,
apakah memang dia harus dilahirkan menjadi sosok pribadi seperti ini?”
pertanyaanku di dasar hati kemudian berjalan menuju pesawat.
Visi
dan misiku sekarang ini adalah mencari seorang pendeta sesuai dengan
kepribadian yang Nara inginkan. Penuh perjuangan mencari seorang pendeta sesuai
pandangan hati Nara, namun, saya tidak boleh menyerah. Memiliki kepribadian tegas,
takut Tuhan, tekun berdoa, tidak membeda-bedakan, dan lain sebagainya. Masih
ada lagi, seperti biasa ucapan Nara harus mempunyai ciri khas tersendiri dari
siapapun juga.
Pertanyaanku
sekarang, dimana saya bisa menemukan orang seperti itu? Perusahaan kecil yang
kujalankan, untuk beberapa saat dikelola oleh orang kepercayaanku karena
permasalahan seperti ini. Pasti heran, kenapa tiba-tiba seorang Reynand
sebelumnya mengatakan kalau mempunyai orang tua kaya dan lain sebagainya,
tiba-tiba hanya memiliki perusahaan kecil sekarang. Jawabannya adalah saya harus
mempunyai modal sendiri sesuai permintaan Nara tanpa bukan dari orang tua.
Meninggalkan dunia keartisan dan menjalani hidup apa adanya, merupakan pilihan
hidupku saat ini.
Berjalan
pada suatu area tertentu dari sudut jalan serta memberikan kehangatan bagi
mereka yang dibuang, lemah untuk mata siapapun, menjadi obat tanpa seorangpun
menyadari sesuatu di dalamnya. Inilah kehidupanku saat ini, saya tidak pernah
menyesal menjalani semuanya. Seorang Nara mengajarkan nafasku tentang makna
kehidupan, kerendahan hati, bagaimana menjadi sinar untuk banyak orang di
tempat tersembunyi. Mengajarkan duniaku untuk tidak pernah melihat sesuatu
bersifat pujian, ketenaran, harta, kedudukan, dan lain sebagainya. Saya
menyukai duniaku sekarang, tanpa harus membuat cerita tentang ambisi mengejar
hal-hal yang hanya ingin dilihat oleh mata saja.
“Tuhan,
bantu saya saat ini.” Jeritan hatiku melangkahkan kaki menuju sebuah jalan
kecil. Kedua bola mataku tidak sengaja melihat gereja kecil, tidak jauh dari
tempatku berpijak. Entah kekuatan dari mana kaki berjalan memasuki gereja kecil
tersebut, ternyata seseorang sedang berkata-kata di depan.
“Jangan
menjadi seseorang paling munafik di dunia ini, pada saat berada di hadapan
semua orang dalam gereja terlihat suci luar biasa. Namun, apa yang terjadi
dibelakang terlihat menjijikkan luar biasa.” Kata-katanya di depan beberapa
jemaat dalam ibadah tersebut.
“Ada
begitu banyak orang terlihat rohani, namun pola pikir serta kepribadiannya
benar-benar mengerikan. Bercerita di depan mimbar sekian dan sekian, ternyata
kehidupannya sendiri sangat kacau. Apakah wajar seseorang yang mengajarkan iman
menggunakan jenis pakaian yang terlihat seperti perempuan malam dan lain
sebagainya.” Kata-katanya benar-benar menusuk habis.
“Terkadang
seseorang selalu saja salah mengartikan tentang sebuah pernyataan, Tuhan
melihat hati. Pada hal, konsep akan argument ini pada suatu titik perjalanan
tertentu untuk seseorang. Jika seseorang yang telah mengenal isi hati Tuhan
sejak lama dan menjadi pelayan, kemudian mempunyai styles/mode pakaian
mengerikan berarti kehidupannya itu benar-benar kurang ajar untuk bahasa
kasarnya.” Tutur bahasanya di depan mimbar.
“Wow...”
teriakanku tidak sadar hingga menjadi pusat perhatian semua jemaat.
“Hahahahahahahahaha...”
tawaku meledak tanpa menyadari semua orang memperhatikan gerak-gerikku membuat
pendeta di depan berhenti berbicara.
“Maaf...”
kalimatku kemudian berlari dari gereja kecil tersebut karena malu luar biasa.
Memikirkan ucapan pendeta tersebut beberapa hari, serta mempelajari
gerak-geriknya. Membayangkan bahwa semua ucapannya memang benar, ada begitu
banyak orang memperlihatkan kalimat-kalimat rohani, namun, pada dasarnya mereka
hanyalah hidup dalam sebuah topeng paling tebal. Terlihat rohani, pada hal saat
melakukan penyelidikan ternyata rohana 100%. Bagaimana jemaatnya di bawah dalam
kehidupan sehari-hari mengenakan styles mengerikan, pamer-pamer paha
1,2,3...karena, bosnya di atas jadi teladan baik luar biasa jenis styles’nya
sangat keren.
Sepertinya,
pendeta ini cocok untuk visi dan misi kami untuk mengembara ke seluruh
Indonesia. Berusaha mencari tahu nama pendeta tersebut dan dimana rumahnya.
Ternyata, rumahnya yah di gereja kecil itu juga, bodohnya diriku tidak pernah
sadar... Nama pendeta itu adalah Hosea Leonard. “Arti dari nama pendeta itu
apaan sih?” gumamku. Setahuku sih nama-nama pendeta tidak akan pernah jauh dari
matius, markus, lukas, yohanes, dan kawan-kawannya di belakang mengekor.
“Anak
muda, kenapa membuntutiku dari belakang?” suara dari belakang membuat tubuhku
seakan terangkat ke atas karena terkejut.
“Maaf
pak” jawabanku tiba-tiba gemetar.
“Apa
yang kau inginkan, beberapa hari lalu berada dalam gereja tiba-tiba berteriak
sendiri tanpa sadar, selanjutnya berlari keluar, dan sekarang mengumpat-umpat
mencari tahu tentang identitasku.
“Tidak
ada maksud lain, hanya ingin membuat kerja sama dengan bapak.” Kalimatku.
“Tentang
apa?” suara menakutkan keluar, sepertinya lebih ganas dari Nara.
“Anda
seperti pacar saya, suatu hari nanti dipastikan seorang Reynand mendapat
julukan suami takut istri.” Celotehku lagi.
“Namamu
Reynand” mengangguk-anggukkan kepala.
“Dari
mana bapak tahu?”
“Bukankah
baru saja kau menyebutkan namamu.” Ujarnya.
“Memangnya,
apa yang telah saya katakan sebelumnya?” tanyaku kebingungan.
“Tidak
penting, sekarang jelaskan apa yang kau inginkan?” pertanyaannya.
“Saya
akan menjelaskan, tapi tidak disini pak.”
“Baiklah”
ujar pak Hosea.
“Kita
butuh tempat yang sunyi dan tidak seorangpun mendengarkan percakapan penting
seperti ini.” Ucapanku tersenyum.
Saya
menjelaskan segala sesuatu, dimulai dari awal hingga akhir tentang Indonesia.
Terlalu sulit dipercaya akan hal-hal seperti ini, hanya saja harus dipercaya
apa pun yang terjadi. Beberapa saat bapak Hosea tidak ingin bercerita dan
mengiyakan semua keinginanku. Membutuhkan waktu memahami misteri sejenis ini
dan bapak Hosea menyadari secara pasti tentang resiko luar biasa ke depan.
“Terserah
bapak mau percaya dan tidak percaya, hanya saja, penanganan Indonesia tidak
boleh sembarangan orang.” Kata-kataku.
“Kau
tahu, resiko terbesar serta padangan masyarakat tentang hal ini bagaimana
kelak? Posisi saya adalah kaum minoritas di negara ini, bukan mayoritas. Imanku
dan imanmu pun benar-benar dipertaruhkan kalau berjalan untuk mengikuti
kemauanmu.” Kalimatnya.
“Tolong
kami pak, di sini itu bukan untuk memperlihatkan agama siapa paling benar serta
membuat permainan politik akan iman kepercayaan. Hanya saja, Indonesia sekarang
ini ada di ujung tanduk dan tidak mungkin asal memilih sembarangan orang untuk
memperbaiki keadaan negara ini.” Permohonanku terhadap bp. Hosea.
“Merantau
ke seluruh provinsi dengan membawa sebotol minyak, berjalan buta-buta dan
memohon petunjuk Tuhan. Terserah diperlihatkan melalui mimpi atau suara gaib,
dan lain sebagainya. Indonesia diperhadapkan beberapa hal, sedangkan
pengelolahan SDA dan kawan-kawannya di belakang tidak semudah membalikkan
telapak tangan langsung secara instan.” Kata-kataku berusaha menjelaskan.
Semua
membutuhkan waktu untuk memahami keadaan seperti ini. Jalur yang di jalani
benar-benar beresiko dan pasti, akan mengalami pro/kontra kelak. Namun, tidak
mungkin juga asal mengambil orang untuk memperbaiki keadaan Indonesia, dimulai
dari masa orde baru telah melakukan kesalahan hingga sekarang. Apakah ada jalan
lain untuk membawa Indonesia keluar dari jalur paling mengerikan?
BAGIAN
TIGA...
HOSEA LEONARD...
Mimpi
apa saya semalam, tiba-tiba seorang pemuda tampan ke hadapanku bercerita
berbagai hal...? Merantau ke seluruh provinsi, kemudian berjalan buta-buta
membawa sebotol minyak mencari seseorang masing-masing perwakilan dengan
meminta petunjuk Tuhan. Apakah ini tidak salah? Pertanyaanku beberapa hari
belakangan semenjak kedatangan pemuda tersebut. Saya tidak menginginkan
pertumpahan darah di negara Indonesia lagi, karena kesalah pahaman luar biasa.
Pertumpahan
darah sebelumnya merupakan kesalah pahaman akan suatu pengajaran tertentu
dengan dimainkan oleh kelompok-kelompok lain. Begitu banyaknya darah
orang-orang tidak mengerti apa pun menjadi korban akibat pertikaian tersebut di
seluruh wilayah Indonesia. Pada dasarnya, ucapan pemuda itu benar bahwa
Indonesia mempunyai hutang luar biasa besar, pengelolahan masing-masing daerah
memiliki permasalahan yang tidak main-main, dunia korupsi, permasalahan
berbagai bidang, perebutan kekuasaan pada akhir cerita menjatuhkan korban. Demi
sebuah kursi, seluruh rakyat di adu domba tentang berbagai hal terlebih agama/
iman kepercayaan antara satu dengan lainnya.
“Tuhan,
haruskah saya mempercayai semui ini? Apakah kakiku harus berjalan buta-buta
membantu pemuda tersebut?” pertanyaanku terus saja berirama kuat dalam nafasku.
Entah
kekuatan dari mana membuatku memenuhi kemauan pemuda tersebut. Setelah sebulan
penuh berpikir akan hal ini serta dihantui barbagai ucapannya, pada akhir
cerita bergumul secara luar biasa dan berkata “ya” di hadapan Reynand. Saya
tidak mengenal Nara, hanya saja jauh di dasar hatiku mempercayai sesuatu hal
dalam dirinya.
“Siapapun
gadis bernama Menara itu, dia pasti tahu membedakan antara hal buruk dan baik
untuk Indonesia.” Bisikan hatiku menggema saat memulai perjalanan untuk
melakukan petualangan ke seluruh Indonesia.
Pertama
kali dalam perjalananku melakukan hal sejenis ini, semua bersifat rahasia dan
tidak seorangpun boleh tahu termasuk mereka yang mewakili masing-masing
provinsi untuk perbaikan Indonesia kelak. Mendoakan mereka, kemudian akhir
cerita mengoleskan minyak pada keningnya tanpa menjelaskan maksud dan tujuan
tertentu.
Apakah
saya harus berpura-pura menjadi pedagang keliling dengan pakaian
compang-camping serta luka-luka borok pada tubuh menjajahkan jualanku. Tuhan,
jika ada seseorang pemuda/i mau membeli jualanku tanpa rasa jijik sedikitpun di
daerah ini berarti dialah yang pilihanMU. Berjalan ke sebuah provinsi A,
kemudian berkeliling menjajahkan mainan menyamar sebagai manusia buta dengan
luka-luka borok pada tubuh. Tidak seorangpun ingin membeli mainan anak-anak
yang kujual. Hingga berhari-hari di tempat tersebut, berkeliling mencari
pembeli.
“Bapak,
berapa harga mainan ini?” pertanyaan seseorang tiba-tiba dari arah belakang.
“Tuhan,
apakah dia pilihanMU? Kalau seandainya apa pun yang kuminta dia megikuti
berarti pemuda inilah menjadi salah satu bagian perbaikan Indonesia kelak.”
Kata-kataku di dasar hati.
“Harganya
tidak mahal hanya rp. 20.000 saja nak.” Jawabanku.
“Saya
mau membeli beberapa, kebetulan uang gajiku masih berbau harum di dompetku.”
Senyuman ramah dari pemuda tersebut.
“Saya
ingin menjadikan beberapa mainan ini sebagai hadiah buat adikku.” Tangannya
sibuk memilih beberapa permainan di tanganku tanpa perasaan jijik sedikitpun.
“Siapa
namamu nak?” tanyaku.
“Namaku,
Jaya Guntur anak ke-2 dari 3 bersaudara. Panggil saja, Jaya.” Kalimatnya.
“Tuhan,
kalau pemuda ini membawaku ke rumahnya dan memberikanku makanan/minuman berarti
tidak salah lagi.” Kata-kataku di dasar hati.
“Apakah
bapak lapar? Rumahku tidak jauh dari sini, karena sepertinya bapak buta dan
kecapean untuk melanjutkan perjalanan.” Ucapannya tiba-tiba menwarkan
pertolonngan.
“Tidak
usah nak,” jawabanku.
“Bapak
jangan sungkan-sungkan” kata-katanya membawa barang jualanku dan memegang
tanganku tanpa rasa jijik sedikitpun. Jaya Guntur, tanpa perasaan jijik
membawaku ke rumahnya, memberikan makanan serta membersihkan luka-luka pada
tubuhku. Mengganti seluruh pakaianku dengan yang baru bukan bekas miliknya.
Tersenyum tulus tanpa dibuat-buat..
Rumahnya
terlihat bersih, semua perabot tersusun dengan rapi pada tempat di tiap sudut.
Kehangatan benar-benar memancar pada wajah seorang pemuda bernama Jaya Guntur.
Setelah ditelusuri, ternyata dia merupakan salah satu maha siswa pada sebuah
kampus. Bekerja sambil melanjutkan kuliah tanpa harus mengeluh tentang hidup.
Jika diperhatikan, kehidupan keluarganya tidaklah dalam kekurangan, tapi, bukan
juga orang kaya.
“Bolehkah
saya mendoakanmu sebelum keluar dari rumah ini atas kebaikan yang telah kau
perlihatkan?” tanganku memegang jemarinya begitu kuat.
“Boleh
saja pak, kenapa tidak” jawabannya sangat bahagia. Tanganku mengambil sebuah
botol minyak dari sebuah ransel tua. Kedua matanya terpejam dengan penuh
ketulusan dan tidak terdapat kecurigaan sama sekali.
“Tuhan,
akan membuatmu kuat dari sekarang sampai kapanpun juga. Jaya Guntur akan
membuat irama dalam langkah perjalanannya apa pun yang terjadi, sekalipun air
matanya terus mengalir tidak berarti dia akan terlihat lemah.” Kalimatku
mengoleskan minyak pada kening dan rambutnya.
“Tuhan,
berikan dia kekuatan seperti apa pun pembentukan yang akan terjadi dalam
perjalanannya kelak. Sekalipun hatinya begitu perih, tidak berarti dia harus
menyerah dan hidup dalam persungutan. Ada saat air matanya akan mengalir begitu
deras suatu hari kelak, namun, berikan kekuatan luar biasa dalam langkahnya
Tuhan...” Suara hatiku berbicara di dalam, mendekap dirinya dengan penuh
kehangatan.
Petualanganku
kembali berjalan pada provinsi berikutnya, ada saat saya harus menyamar sebagai
pengemis dan gelandangan tua keriput demi mencari seseorang. Menjadi penjual
makanan, sayuran, ataupun kuli bangunan pada masing-masing provinsi dan meminta
berbagai jenis tanda kepada Tuhan. Mengayuh sepeda becak dengan luka borok pada
tubuhku untuk beberapa saat, hanya demi mencari pilihan Tuhan.
Petualangan
demi petualangan terus kulakukan, hanya demi mencari seorang pilihan Tuhan dan
mengoleskan minyak pada keningya dengan berdoa. Mereka bahkan tidak pernah tahu
mengapa minyak tersebut dioleskan pada keningnya? Ada begitu banyak kenangan
pahit dalam petualanganku di berbagai daerah. Begitu banyak orang hidup dalam
kepribadian berbeda-beda, namun, sulit menemukan hati dengan ketulusan luar
biasa tanpa dibuat-buat. Caci maki, keringat mengucur, sikap dingin banyak
orang, dan lain sebagainya terus memainkan iramanya dalam nafasku.
Siang
itu, kakiku begitu perih berjalan pada salah satu provinsi terbaru merupakan
bagian dari Indonesia. Membawa bungkusan keripik singkong dalam bungkusan
plastik kresek. Duduk dekat sebuah sumur besar beristirahat sejenak dengan
keringat membasahi seluruh pakaian. Rambut putih di kepalaku dengan kesengjaan
di cat untuk membuat penyamaran terbaru.
“Tuhan,
andai kata seseorang pemuda ataupun pemudi datang menyodorkan bantuan
terhadapku serta memberikanku makan/minum juga menimba air dari sumur ini untuk
kugunakan membersihkan diri, berarti dialah salah satu pilihanMU.” Kata-kataku
di dasar hati. Saya akan berada di tempat ini selama seminggu penuh, bahkan
mendirikan tenda sebagai rumah sementara. Selama 2 hari tidak memperlihatkan
hasil, bahkan semua orang menganggapku gila hingga harus menjauh ataupun lari
ketakutan.
Pada
hari ke-3, seorang pemuda berjalan melewati sumur tersebut menggunakan motor
besarnya. Ternyata dia dari kota, sedang berjalan menuju sebuah vila sekitar
daerah tersebut. Sumur ini memang tidak jauh dari jalan tempat kendaraan lalu
lalang. Berjalan ke arahku dengan gaya anak zaman sekarang, sebagian celananya
robek tidak jelas. Memperlihatkan sikap dingin, acuh tak acuh, dan
sepupu-sepupunya di belakang.
“Pak
tua, apakah kau bisa membantuku masalahnya ban motorku bocor dan saya harus ada
di vila sekarang ini?” nada suara terlihat aneh tanpa senyum sedikitpun.
“Menolong
apa nak, apakah kau tidak melihat saya hanyalah penjual gila yang sedang
menunggu seseorang membeli keripik ini untuk menyambung hidup.” Ujarku.
“Pak
tua, biasanya orang-orang sengaja melakukan ini biar dikasihani oleh banyak
orang, selanjutnya seperti pemikiran semua orang...” kata-katanya terdengar
sinis.
“Terserah
pikiranmu saja nak, karena saya benar-benar sebatang kara dan sangat miskin.”
Kalimatku lagi.
“Memang
saya tidak percaya kehidupan pak tua, karena banyak yang sengaja memperlihatkan
gaya-gaya aneh. Coba pak tua mempunyai gaya berpakaian seperti saya, terlihat
keren.” Kalimatnya membuatku ingin tertawa.
“Seandainya,
saya tidak lagi menyamar sudah kena semprotan kau sekarang, kata-kata mutiaraku
pasti begitu pedis luar biasa buatmu.” Kata hatiku.
Saya
berusaha menahan diri dan tidak menjawab apa pun ucapannya. Tangan pemuda
tersebut bergerak mencari sesuatu untuk memperbaiki ban motor yang telah di
bawahnya dekat dengan sumur tempatku duduk seperti orang gila. Tanpa rasa
kasihan sedikitpun bertanya apakah aku si’tua ini kelaparan atau haus? Hanya
diam memperbaiki motornya, makan sebungkus roti dan sebotol soda.
“Pak
tua, kalau dilihat dari umurmu kau tidak bisa meminum soda ini. Kenapa?”
ucapanya terpotong.
“Karena
umurmu sudah lanjut, takutnya banyak penyakitnya nanti.” Lanjutan kalimatnya
membuatku sedikit batuk. Tidak lama setelah motornya selesai diperbaiki, ia
berlalu dalam sekejap. Saya pikir, pemuda tersebut adalah pilihan Tuhan,
ternyata tidak seperti yang dibayangkan.
Setelah
sejam kepergian pemuda itu, tiba-tiba sebuah mobil pribadi berhenti pada
persimpangan jalan tersebut. Seseorang turun dari mobil, membawa sebuah
keranjang. Ternyata...
“Pak
tua, apakah kau lapar atau haus?” teriakan suara seseorang dan sepertinya mirip
dengan pemuda sejam lalu...
“Saya
membawakan makanan/minuman dan beberapa pakaian baru juga selimut buatmu.
Sekalipun saya terlihat kasar, setidaknya hatiku lembut sedikitlah seperti awan
putih di atas.” Gurauannya.
“Nak,
apakah kau tidak jadi ke vila dan kenapa balik lagi kesini?”
“Tidak
usah pikirkan vila, masalahnya di jalan saya terus memikirkan dirimu sendiri
dekat sumur tanpa seorangpun peduli. Kan kasihan, kalau pak tua mati di sini
pasti hantunya gentayangan di rumahku atau vila.” Gurauannya.
“Pemuda
ini terlihat kasar, cuek, dan dingin...tapi, masih percaya...” gumamku dalam
hati ingin tertawa.
“Pak
tua, berikan semua keripikmu biar saya membelinya sebagai oleh-oleh.”
“Kau
tinggal dimana nak?”
“Saya
tinggal di ibu kota dari provinsi ini, sedangkan yang disinikan desanya pak
tua. Tunggu-tunggu, kenapa saya harus jelaskan sepert ini, kan sudah tahu kalau
ini desa...” gerutunya sambil menimba air dari sumur itu.
“Kenapa
menimba air, nak? Apakah kau mau mandi, nak?”
“Bukan
untukku, melainkan buat pak tua karena bajunya sudah bau belum lagi luka bapak
harus dibersihkan.” Jawabannya acuh tak acuh. Menimba air dan membersihkan
seluruh tubuh bahkan luka-luka yang sengaja kubuat. Mencuci pakaianku, kemudian
menjemurnya tidak jauh dari tendaku.
“Pak
tua, gunakan pakaian baru saja yah dan ini susu buatmu biar sehat.” Ujarnya.
“Siapa
namamu, nak?”
“Tidak
penting mengetahui namaku, yang terpenting seluruh tubuhmu sudah tidak berbau
asam.”
“Tuhan,
kalau seandainya besok pemuda ini datang lagi ke hadapanku dan melakukan sama,
berarti memang benar-benar dia pilihanMU.” Bisikan hatiku. Keesokan harinya,
pemuda tersebut kembali hadir di depanku dengan membawa sekotak obat, makanan,
minuman, selimut, pakaian, dan beberapa barang lainnya. Dia benar-benar melakukan
semua hal seperti kemarin dimulai dari menimba air, membersihkan tubuh serta
lukaku, memberiku makanan/minuman, menyisir rambutku. Bahkan hal tersebut di
lakukannya selama beberapa hari.
“Pak
tua, mungkin saya tidak akan melakukan hal seperti ini lagi untukmu karena...”
“Apakah
kau akan kembali ke kota, nak?”
“Saya
harus kembali bekerja di kota. Tapi, tidak usah khawatir saya ada sedikit uang
untuk kehidupanmu. Pak tua, tidak perlu lagi tinggal di tempat seperti ini
karena di amplop itu cukup untuk membeli sebuah rumah kecil.” Ujarnya memegang
menyerahkan bungkusan amplop berisi uang.
“Lumayan
untuk biaya petualanganku berikutnya ke provinsi lain, berarti pemuda di
hadapanku merupakan salah satu dari pilihan Tuhan.” Kata-kataku di dasar hati.
“Nak,
apakah aku bisa mendoakanmu sebelum kau pergi?” ucapanku.
“Tentu
saja bolehlah” ujarnya memejamkan mata.
“Tuhan,
bungkus perjalanan anakku dan jangan pernah membiarkan dia keluar dari
lingkaranmu. Suatu hari kelak, kakinya membuat irama tersendiri dibandingkan
semua orang di sekelilingnya.” Doaku dengan mengoleskan minyak pada kening dan
rambutnya.
“Suatu
hari kelak duniamu akan berputar 360©,
jangan pernah keluar dari lingkaran Tuhan, tetaplah berjalan melihat sinar, apa
pun keadaan duniamu. Pembentukan seperti apa pun, tetaplah bertahan dan kau
harus lulus demi pemulihan Indonesia.” Suara hatiku dengan terus mendekapnya
tanpa berbicara sedikitpun.
“Pak
tua, kenapa saya seperti ingin menangis dalam dekapanmu yah?”
“Nak,
sampai sekarang saya belum tahu siapa namamu?” ujarku.
“Nama
saya Brayn, jaga diri baik-baik pak tua.” Kalimatnya kemudian berlari dari hadapanku
menuju mobil.
Sepertinya,
saya lupa menanyakan alamat rumah Brayn di kota ini. Sebuah kartu nama ternyata
telah di masukkan dalam amplop berisi uang tersebut. “Pak tua, jika kau
membutuhkan bantuanku atau ada sesuatu tinggal menghubungiku pada alamat serta
nomor telepon dalam kartu di amplop ini.” Isi tulisan Brayn pada secarik
kertas. Entah mengapa, saya yang ingin secara langsung memainkan peranan dalam
kehidupan Brayn tanpa harus mencari seseorang untuk membentuknya bagaimanapun
caranya.
“Tuhan,
untuk manusia satu ini setidaknya percayakan kepadaku biar saya secara langsung
mengajarkan beberapa hal dalam dunianya.”
Kalimatku.
Setiap
petualangan yang kulakukan, sayapun dituntut untuk berdoa serta mencari
seseorang demi membentuk orang pilihan Tuhan tersebut. Berusaha menjelaskan
sesuatu hal, tentang keadaan Indonesia dan membuat mereka percaya serta mau
membentuk dia yang telah di pilih oleh Tuhan tanpa disadari siapapun juga.
Bahkan dia yang terpilih tidak boleh menyadari atau mencium sesuatu hal berbau
mencurigakan. Semua ini bersifat tersembunyi dari siapapun, benar-benar
tertutup. Indonesia membutuhkan tokoh-tokoh penting demi perbaikan serta
pemulihan negara ini kelak. Membutuhkan perjuangan demi perjuangan saat
melakukan petualangan berkeliling seluruh Indonesia. Tidak dikatakan, semua
bersifat instan melainkan perjalanana luar biasa di suatu titik tertentu.
BAGIAN
EMPAT...
MENARA...
Aku
akan menghabiskan masa liburku di Indonesia selama 2 bulan. Berada di Jakarta
kembali dan bertemu bp. Hosea untuk menjelaskan rencana selanjutnya. Berkenalan
dengan pendeta tersebut setelah petualangannya berkeliling Indonesia serta
mendengarkan cerita semua yang telah dilakukan. Reynand menjemputku di bandara
siang itu...
“Kau
dimana?” gerutuku melalui hand phone.
“Berbaliklah,
kemudian berjalan 100 langkah” jawaban Reynand dari telpon.
“Jangan
main-main” gertakku.
“Gadis
mungil, apakah kau sadar kalau saya tidak pernah main-main?”
Reynand
selalu saja seperti ini, membuatku terlihat kesal luar biasa. Mengikuti
petunjuknya, berusaha menghitung 100 langkah dari tempatku berpijak. “hal
seperti ini, akan membuatku gila tidak beraturan.” Gerutuku.
“Kau
kena jebakan...” teriakan Reynand mengagetkan dari arah belakang.
“Ini
bukan permainan bossss.” Amarahku sedikit memuncak.
“Nara,
tidak bisakah kau terlihat manis dan lembut walau hanya sedikit saja di
hadapanku.” Keluh Reynand.
“Apa
maumu?”
“Mauku,
seorang Nara dapat mengucapkan sebuah kalimat, selamanya Menara akan selalu
sayang Reynand.” Jawabannya membuat wajahku memerah.
“Reynand,
ini bukan waktunya bermain.” Mengambil tangannya dan mengarahkan pada koper
serta ransel milikku, agar dia membawa semua itu.
“Kenapa
tidak sekalian seluruh isi bandara kau perintahkan aku membawanya.” Kekesalan
Reynand.
“Reynand,
mana bapak yang kau katakan itu?” pertanyaanku berbalik ke hadapannya.
“Kenapa
kau selalu mengalihkan pembicaraan, Nara.” Emosinya meledak.
“Saya
benar-benar serius” mimik wajahku tidak dalam keadaan bercanda.
“Bapak
Hosea ada di mobil menunggu.” Ketusnya.
“Apakah
misinya telah berakhir?”
“Seminggu
yang lalu, beliau selesai melakukan petualangan luar biasa, dan kau sadar..”
“Tentang
apa, Reynand?” tanyaku.
“Bagaimana
saya berjuang keras membujuknya agar beliau mau berpetualang luar biasa sesuai
perintahmu.” Jawabannya.
“Terimah
kasih atas bantuanmu, bossss” ucapan terimah kasihku.
“Hanya
itu, tidak ada yang lain?”
“Lantas
saya harus bagaimana?” tanyaku balik.
“Katakan
padaku, kalau Nara sayang Reynand.” Ucapnya dengan kedua bola mata terus saja
menatap ke arahku.
“Perutku
sejak tadi berbunyi, bisakah kita membeli makanan terlebih dahulu sebelum ke
parkiran mobil?” ujarku memegang perutku.
“Nara...”
Amarah Reynand pada level tinggi.
“Reynand,
di sana ada penjual makanan?” jari telunjukku menunjuk arah utara dari jalan
kami.
“Nara...”
Reynand makin kesal tidak memperdulikan apa pun ucapanku.
Melihat
tingkah lakunya yang seperti ini, membuatku berjalan sendiri ke arah utara
membeli 3 porsi makanan, sedangkan dia menunggu pada sebuah sudut kursi.
Kembali ke hadapan Reynand dan menyodorkan sebuah roti untuknya.
“Buatmu,
berhentilah memperlihatkan wajah kesalmu.” Kalimatku berjalan menuju parkiran
di susul olehnya. Saat berada dalam mobil, ternyata bp. Hosea tertidur pulas
dan tidak menyadari kehadiran kami. Meskipun mesin mobil telah dihidupkan serta
berjalan menuju rumah, sama sekali tidak dirasakan oleh beliau.
“Ternyata,
ini yang namanya bapak Hosea.” Gumamku memandang wajah bp. Hosea dimana
tertidur pulas. Hingga tiba di rumahpun, beliau tetap saja belum bangun dari
tidurnya.
“Reynand,
apakah betulan bp. Hosea tertidur?” curigaanku.
“Ini
semua karena dirimu, terlalu lama membeli makanan.” Cetusnya.
“Jangan-jangan
dia mati lagi.” Mataku terus memperhatikan nafasnya.
“Suara
siapa itu, beraninya berkata kalau saya sudah mati.” Kata-katanya mengagetkan.
“Giliran
dibilang mati, tiba-tiba terbangun, giliran...” ucapku di dasar hati.
“Paman
Hosea sudah bangun?” sapa Reynand memasang wajah senyum.
“Oh,
kita sekarang ada dimana?” pertanyaannya.
“Depan
rumahku” jawabku secara spontan.
“Ternyata,
ini toh gadis bernama Nara” terus saja memperhatikanku.
“Paman,
bagaimana kalau kita bicara di dalam saja.” Kata-kataku dengan tersenyum.
“Baiklah,”
bp.Hosea turun dari mobil kemudian berjalan masuk ke sebuah rumah yang telah
lama tidak di huni olehku. Kami berjalan masuk, mengarahkannya pada sebuah
lorong menuju ruang bawah tanah dari rumah tersebut.
“Ternyata
rumah ini mempunyai ruang bawah tanah, terlihat kecil dari luar, tapi, saat
masuk ke bawah benar-benar luas pada ruangan bawahnya.” Mata bp.Hosea
memperhatikan sekeliling. Memperkenalkan diriku pada bp.Hosea, kemudian
menjelaskan beberapa hal terhadap beliau. Mengucapkan banyak terimah kasih atas
bantuannya selama ini.
“Nara,
apa rencana selanjutnya?” pertanyaan paman Hosea sambil meneguk segelas kopi di
depannya.
“Rencanaku
adalah membuat mereka masuk dalam pembentukan luar biasa dan belum pernah
dirasakan.” Jawabanku.
“Maksudnya?”
pertanyaannya lagi.
“Seperti
yang telah saya jelaskan sebelumnya pada paman waktu itu,” Reynand tiba-tiba
memotong pembicaraan.
“Yang
menjadi pertanyaanku terhadapmu, kenapa kau menginginkan proses seperti ini
buat mereka bukankah terlalu berlebihan?” pertanyaan paman Hosea.
“Karena
beberapa hal” jawabanku.
“Jelaskan
Nara, biar saya tidak asal terlibat karena hal seperti ini, kau sadarkan
benar-benar beresiko berat dan sangat keterlaluan.” Tatapan tajam paman Hosea
terhadapku.
“Setidaknya
orang-orang yang masuk dalam perbaikan Indonesia tidak memiliki karakter egois,
serakah akan kursi/ketenaran/harta, atau bahkan menjadi musuh dalam selimut dan
beberapa hal lain.” Jawabanku.
“Jelaskan
lebih mendetail, Nara” tatapannya terus saja terlihat tajam.
“Tidak
salah berjalan, sekalipun orang-orang di sekitar mereka bahkan teman paling
terdekat sekalipun begitu mengecewakan, kenapa? Karena ini, berbicara tentang
negara untuk perbaikan bukan sebuah perusahaan dan lain sebagainya. Apakah
imannya tetap kuat, tanpa harus jatuh dalam permainan halus sekalipun.”
Penjelasanku lagi.
“Menyatukan
perbedaan di Indonesia, serta memperbaiki karakter masing-masing suku tidaklah
seperti membuat sulap abra kadabra langsung berubah...” tambahanku lagi.
“Lantas,
tentang penjelasan penjebakan untuk mereka?” pertanyaan paman Hosea.
“Salah
satu penjebakan yang saya inginkan, dimana orang terdekat dengan beberapa dari
mereka menjadi manusia paling terjahat. Dengan kata lain, seseorang yang
mengajarkan tentang iman dan beberapa hal dalam pendidikan otak mereka membuat
sebuah sensasi luar biasa. Hanya saja, mereka tidak pernah sadar akan hal
tersebut.” Penjelasanku.
“Maksudnya?”
pertanyaan Reynand.
“Maksudnya,
orang yang selama ini mengajarkan beberapa
dari antara mereka tentang sebuah kekuatan tiba-tiba menjadi jahat
dengan menyebarkan fitnah, memasukkan salah diantara mereka ke rumah sakit
jiwa, mempermalukan nama baik si’A di depan umum, setidaknya terlihat
benar-benar jahat atau memasukkan ke dalam penjara dan lain sebagainya.”
Ucapku.
“Tujuannya?”
paman Hosea bertanya.
“Bukankah
telah saya katakan tujuan sebelumnya, kalau ini untuk mendidik apakah mereka
masih dapat bijak dan memiliki karakter tersendiri sekalipun orang terdekat
benar-benar terlihat mengerikan bahkan menjadi paling jahat di dunia ini.”
Ujarku.
“Hubungannya
dengan negara dimana?” pertanyaan Reynand.
“Kelak,
saat diperhadapkan sesuatu hal dan kebetulan orang paling terdekatnya terlihat
mengerikan, sedangkan dia dituntut untuk berjalan memasuki sebuah area tertentu
demi perjalanan Indonesia. Maka, dia akan tetap bijaksana untuk bertindak suatu
hari kelak tanpa harus melihat hal paling mengerikan sedang membungkus
dunianya.” Jawabanku.
“Bisa
saja, saya tanpa sadar dapat membuat sebuah akar kekecewaan pada mata mereka,
di akhir cerita kedua tangannya bergerak salah untuk mengambil tindakan hingga
berakibat fatal bagi bangsa ini. Atau hal lain di sekitar, manusia tidak ada
yang sempurna, ada saat akan terlihat mengecewakan di mata seseorang. Bahkan
terkadang seseorang yang ingin menjatuhkan adalah orang terdekat sendiri dan
bukan orang luar.” Kalimatku lagi.
“Nara,
tentang penjebakan seseorang harus menyamar sebagai pemuda beristri, maksudnya
apa?” ucapan paman Hosea.
“Seperti
ini, seorang pemuda paling tampan sedunia menyamar sebagai pria beristri
beranak 2 atau lebih. Disaat salah satu dari mereka terbungkus masalah dan
tekanan begitu berat yang pada akhir cerita mengalirkan air mata begitu deras,
akhirnya masuklah si’pemuda tampan tersebut menjadi sahabatnya memberikan
berbagai nasehat dan bantuan serta segala macam di dalam. Singkat cerita,
pemuda tersebut menyatakan perasaannya kemudian...” ucapku terpotong...
“Kemudian
apa Nara?” tanya paman Hosea.
“Dari
sini kita dapat melihat, apakah gadis ini dapat melihat situasi terbaik dalam
hidupnya atau tidak. Dia tahu pemuda tersebut telah beristri, keputusan seperti
apa yang akan diambil? Hal seperti ini bisa saja terjadi di atas, dalam keadaan
tertentu tekanan luar biasa datang, kemudian beberapa diantara mereka
diperhadapkan lawan jenis. Selanjutnya apa yang akan terjadi? Jangan sampai
saat menghadapi permasalahan, mereka melampiaskan sesuatu hal ke tempat salah
dan tidak dapat keluar dari sana. Singkat cerita, merusak banyak hal, sementara
yang mereka hadapi adalah negara dan bangsa bukan sebuah perusahaan.” Penjelasan
panjang terhadap paman Hosea.
“Jadi,”
ujar paman Hosea lagi.
“Masih
banyak lagi susunan perencanaan untuk proses kehidupan mereka semua. Sebagai
awal, beberapa bulan mereka harus berada di desa sesuai dengan penjelasan
Reynand terhadap paman. Dimana, mereka harus memulai hal-hal terkecil dengan
menjadi petani, dan lain sebagainya.” Kalimatku.
“Setelah
itu, apa yang akan mereka lakukan?” pertanyaan paman Hosea.
“Masing-masing
diproses di daerah mereka untuk sementara waktu, setelah itu mereka memasuki petualangan
terbaru. Ada yang akan ditempatkan pada daerah paling pedalaman dari Indonesia
dan hidup selama waktu yang ditetapkan. Dia harus bisa merubah tempat tersebut,
baik dari segi karakter, pendidikan, dan lain sebagainya. Tetap dalam keadaan
mereka tidak menyadari sama sekali, namun dibuatkan strategi.” Jawabanku.
“Ada
juga yang berada pada beberapa negara paling termiskin dan memperlihatkan kasih
sayang di sana dan menjadi obat untuk penduduk tersebut. Memelihara beberapa
anak yatim dengan pendapatan standar untuk membuat mereka belajar tentang kasih
sayang yang sebenarnya. Ada saat dimana, mereka diperhadapkan kondisi ekonomi
dan dari sinilah langkah seperti apa yang akan diambil? Bermain atau tetap di
jalan Tuhan sekalipun air mata kepedihan terus mengalir sementara kondisi
keuangan tidak memungkinkan.” Lanjutan penjelasanku.
“Terus...”
perkataan paman Hosea.
“Selain
hal tersebut, ada pula beberapa dari mereka berada pada negara-negara dengan
pergaulan paling bebas dan terkenal dengan sex bebas, tingkat kriminalitas
paling tinggi, dan berbagai kejahatan terus bermain. Dalam hal ini, kita dapat
melihat apakah mereka yang terbawah arus ataukah sebaliknya? Ada begitu banyak
orang, awal cerita kisah kehidupannya terlihat alim/polos luar biasa, singkat
cerita karena berada di tempat tertentu akhirnya menjadi liar tidak terkendali.”
Kalimatku.
“Mereka
dituntut untuk memperbaiki sebuah negara rusak, jangan sampai terjadi hal yang
tidak diinginkan. Secara tiba-tiba menjadi liar oleh karena berbagai pergaulan
mengerikan di luar sana, sedangkan mereka tidak menyadari hal tersebut. Ini
yang membahyakan, seseorang mempermainkan kepolosan hingga menjadikan beberapa
dari mereka menjadi liar serta memiliki pergaulan menjijikkan. Saya menyukai
sebuah pernyataan, jadilah seperti ikan yang tidak pernah menjadi asin
sekalipun hidup di lautan asin. Apakah mereka yang dirubah atau sebaliknya?”
Tambahan penjelasanku sekali lagi.
“Saya
menyukai semua rencanamu, dan akan berusaha membuat beberapa strategi untuk
proses mereka semua.” Kata-kata paman Hosea memandangku.
“Paman,
sepertinya ada yang terlupakan.” Ucapku.
“Apa
yang terlupakan gadis mungil?” pertanyaan Reynand.
“Saya
menginginkan, disamping terbentuk dengan hal-hal kecil di pedesaan
masing-masing provinsi selama beberapa bulan, selain itu tolong bentuk sedikit
otak mereka dengan menyarankan menyuruh untuk menjelaskan beberapa artikel. Membuat
sedikit teka-teki tentang beberapa bidang tertentu, seperti pendidikan,
keuangan, hukum, ekonomi. Mereka harus dapat menjabarkan, agar pada saat
karakter selesai diproses lebih sedikit memudahkan membentuk wawasannya.” Penjelasanku
selanjutnya.
“Maksudnya,
saya sama sekali tidak mengerti?” kening paman Hosea berkerut.
“Maksudnya
adalah setelah melewati beberapa proses, barulah tingkatan otak mereka
dibentuk. Jadi, agar kita tidak kesulitan setidaknya mulai mengajarkan beberapa
bidang dengan sedikit memancing untuk menyuruh membaca beberapa buku, membuat
pertanyaan tertentu, menjabarkan beberapa gambar teka-teki berhubungan bidang-bidang
penting suatu negara.” Penjelasanku terhadap paman Hosea dan Reynand.
“Satu
hal yang harus diperhatikan penuh, kalau mereka semua harus menguasai 4 bidang
penting yaitu pendidikan, hukum, ekonomi, keuangan. Kenapa? Karena bidang ini
akan berkaitan dengan semua bidang lain seperti kesehatan, pembangunan,
industri, dan lain sebagainya.” Penjelasanku lagi.
“Saya
tahu apa yang kau inginkan sekarang.” Ucapan paman Hosea.
“Kami
akan melakukan yang terbaik, gadis mungil.” Senyuman Reynand di hadapanku.
Sesuai
dengan perencanaan sebelumnya, masing-masing daerah telah dipilih seseorang
untuk membawa mereka memasuki proses luar biasa. Satu hal, paling terpenting
bahwa seorangpun dari mereka tidak pernah tahu tentang proses tersebut hingga
waktu itu tiba untuk menjelaskan sesuatu hal setelah melewati masa tersulit. Perjalanan
tersebut, akan mengajarkan mereka akan sebuah dunia baru.
BAGIAN
LIMA...
HOSEA LEONARD...
Keadaan
seperti ini mengharuskan Nara menjadi manusia paling terkejam untuk beberapa
saat. Selain hal tersebut dia pun membahas untuk mencari beberapa orang
membentuk kemampuan otak mereka setelah proses tersebut selesai. Orang-orang
yang dapat di ajak bekerja sama mempersiapkan segala bahan serta persiapan
tertentu. Bersama dengan Reynand dan kedua pejabat tersebut, membuat strategi
serta persiapan lebih lanjut.
Saya
sendiri pun harus mengarahkan semua yang terpilih dalam perencanaan proses
untuk membentuk mereka pada masing-masing daerah. Entah mengapa, saya ingin
terjun langsung berhadapan dengan Brayn hingga membuat sesuatu yang tidak akan
pernah dilupakannya. Kembali berjalan ke kota tempat dia tinggal dan mencari
alamatnya secara langsung. Melakukan penerbangan dan berpetualang kembali...
“Permisi,
maaf, apakah bapak tahu di mana alamat yang tertera pada kartu ini? Saya terus
menanyakan alamat Brayn pada beberapa orang. Hingga pada akhirnya, saya
berhasil menemukan alamat rumahnya. Menekan bel rumah pada pintu pagarnya...
“Maaf,
bapak cari siapa yah?” pertanyaan seorang wanita paruh bayah setelah membuka
pintu pagar rumah.
“Saya
ingin bertemu Brayn,” jawabanku.
“Silahkan
masuk, tunggu saya panggilkan.” Ujarnya, memasuki sebuah rumah besar dan
berdiri sekitar teras. Tidak lama kemudian, seorang pria bertubuh tegak,
berotot, rambut gondrong yang terikat satu dibelakang.
“Apakah
kita pernah bertemu sebelumnya?” pertanyaan Brayn tidak mengenal siapa yang ada
di depannya.
“Jelaslah
kita pernah bertemu dalam bentuk penyamaran, hanya saja, sekarang kau sudah
tidak mengenaliku lagi.” Ucapanku di dasar hati dan tidak mungkin berterus
terang di hadapannya, yang ada dia akan menolak serta berlari kencang...
“Apakah
saya mengenal bapak sebelumnya?” pertanyaannya lagi.
“Saya
teman lama papa kamu dulu...” jawabanku asal mengadah-ngadah.
“Tuhan,
ampuni saya telah berbohong.” Kata-kataku di dasar hati. Untuk profesi
sepertiku, dikenal dengan istilah bohong besar bohong kecil sama saja dosa,
jadi, jangan pernah berbohong.
“Papa
baru saja meninggal karena kecelakaan, tapi beliau tidak pernah bilang apa
pun.” Ujarnya.
“Beruntung
papanya sudah meninggal, jadi, orang tuanya tidak akan pernah...” dosaku makin
parah saja dengan berkata-kata seperti ini di dalam hati.
“Tidak
disangka temanku sudah meninggal dan saya baru menyadari semua ini.” Mimik
wajahku terlihat menyedihkan. Saya berusaha menghibur Brayn dan menjadi teman
baik untuknya. Tanpa pernah ada rasa curiga sedikitpun tentang tujuanku berada
di hadapannya. Selama beberapa hari ini, pekerjaan yang kulakukan hanyalah
berusaha menghibur anak itu. Namun, dibalik itu semua saya pun sedang membuat
rencana mengerikan dalam perjalanan Brayn. Memberikan semangat hidup untuknya,
sehingga dia dapat meneriman keadaan yang sedang terjadi.
Terkadang
saya berpikir, apakah anak ini dapat bertahan disaat berhadapan tentang badai
paling keras atau tidak? Di lain sisi, ayahnya meninggal dunia kehidupan dia
seakan terpukul luar biasa dan tidak memperlihatkan semangat hidup. Sementara
Nara membutuhkan seseorang dengan kepribadian luar biasa bukannya lemah seperti
ini. Prinsip Nara dalam menilai seseorang berbeda dengan siapapun, bahkan tidak
pernah sama. Brayn terlebih keluarganya tidak boleh mengetahui sedikitpun
tentang perencanaan ini.
Bagaimana
mengambil semua kekayaan Brayn, itulah yang ada dalam watakku sekarang? Menjadi
manusia paling terjahat dan benar-benar musuh dalam selimut? Tidak dapat
disangkal, jika anak ini memiliki kekayaan cukup berlimpah. Sepertinya, saya
harus menghubungi Nara dan menanyakan tentang beberapa hal yang berkaitan
dengan dunia bisnis.
“Nara,
apakah kau tahu tentang dunia bisnis dan cara mengambil alih bahkan menipu
sebuah perusahaan?” pesanku melalui email.
“Apakah
ada permasalahan, paman?” balasan Nara.
“Permasalahannya
adalah salah satu dari mereka mempunyai perusahaan besar, sedangkan ayah dari
anak itu baru saja meninggal. Secara otomatis, dia merupakan pewaris utama
dalam menjalankan perusahaannya. Bagaimana cara membentuk anak ini, tidak ada
jalan yang malahan kita semua bakalan berada di penjara.” Pesanku melalui
email.
“Berarti,
paman ingin menipu perusahaannya? Wow, untuk pertama kali seorang pendeta jadi
penipu ulung, hahahahahaha.” Godaan Nara.
“Itu
semua karena perbuatanmu, Nara” pesanku membalas.
“Kenapa
juga ada anak orang kaya sekali yang masuk dalam kategori ini?” tulisan Nara.
“Saya
juga tidak mengerti, kalau memang semua digariskan Tuhan, jang tanya kepada
saya. Tolong bertanya kepada Tuhan, apa dan mengapa?” tulisan pesanku lagi.
“Reynand
bisa membantumu dalam hal ini, karena secara keluarganya mempunyai bisnis besar
juga di luar negeri.”
“Kalau
perusahaan keluarga Reynand sangat besar, kenapa pacarmu itu hanya memiliki
perusahaan kecil di ibu kota?” pertanyaanku melalui pesan.
“Itu
karena dia mau belajar mandiri, tidak bergantung pada keluarga.” Jawabannya.
“Oke,
kalau begitu.” Kalimat terakhirku.
Reynand
menyetujui akan berada di provinsi ini untuk membantuku, serta akan memainkan
sebuah peranan luar biasa. Beberapa hari kemudian, Reynand berada di hadapanku
sesuai dengan perjanjian kami kemarin.
“Rencana
apa di dalam otakmu sekarang?” kalimatku di hadapan Reynand.
“Serahkan
saja semuanya kepadaku, paman.” Jawaban Reynand.
Beberapa
pertanyaan menghantui pikiranku, mengapa Reynand meninggalkan dunia keartisan?
Mengapa Reynand tidak mau menjalankan perusahaan besar milik keluarga di luar
negeri? Pola pikir seperti apa dalam benak Reynand sekarang? Terlihat ia sangat
cekatan serta cerdas menjelaskan lebih mendetail perjalanan sebuah perusahaan.
Bagaimana tangannya memainkan dokumen-dokumen di atas meja demi sebuah kasus
penipuan. Nasib Brayn akan ditentukan melalui strategi Reynand beberapa hari ke
depan.
Reynand
sengaja membuat perjanjian kerja sama terhadap perusahaan Brayn. Melakukan
presentasi paling hebat di hadapan para pengusaha, tanpa ada kata-kata
mencurigakan sedikitpun. Singkat cerita, semua perusahaan dari daerah tersebut
tertarik melakukan ikatan kerja sama termasuk Brayn. Dia memang sangat jenius
memainkan sebuah peranan, tanpa sedikitpun terlihat mencurigakan.
“Sekarang
ini Indonesia sedang gencar-gencarnya melakukan berbagai promosi parawisata. Salah
satu kemajuan sebuah daerah, dapat terlihat melalui industri parawisata.
Bagaimana pola pikir para pengusaha menciptakan sesuatu yang dapat menjadi
perhatian seluruh wisatawan asing maupun lokal.” Kata-kata Reynand di depan
para pengusaha dalam sebuah gedung, sedangkan saya berada dibalik layar tanpa
seorangpun menyadari mendengarkan presentase tersebut.
“Saya
ingin mengajak para pengusaha membuat terobosan terbaru dalam dunia industri
parawisata di daerah ini. Sehingga semua provinsi, ibu kota negara, bahkan
internasional mengakui kualitas serta perkembangan luar biasa dari tempat ini.
Bagaimana caranya?” penjelasan Reynand memperlihatkan beberapa gambar pada
layar di depan.
“Langsung
pada inti pembicaraan saja,” salah seorang pengusaha tiba-tiba berbicara.
“Baiklah,
langsung pada inti presentase, saya ingin mengajak para pengusaha di daerah
ini, membuat sebuah parawisata terbaru dan belum pernah ada di belahan dunia
manapun juga. Gua kaca berputar-putar di bawah derasnya air terjun.” Kata-kata
Reynand lagi.
Seluruh
pengusaha dalam pertemuan tersebut, benar-benar serius mendengarkan segala
penjelasan Reynand. Bagaimana dia membuat para pengusaha terlibat langsung akan
kerja sama menciptakan terobosan tersebut.
“Jadi,
membuat beberapa permainan, desain kolam renang yang unik tanpa pernah ada di
belahan dunia manapun sehingga terlihat
berbeda, mall/ pusat perbelanjaan, hotel pada suatu tempat. Selanjutnya,
membuat tembok raksasa mengelilingi tempat tersebut termasuk pada bagian yang
menengadah ke langit/ bagian atas. Akhir cerita, tembok raksasa tersebut
terbuat dari lapisan kaca tebal dan tahan banting terhadap apa pun juga, paling
terpenting tidak mudah pecah.” Ucapan Reynand.
“Dimana
letak konsep tentang gua berputar-putar dan air terjunnya, bosss?” salah satu
pengusaha bertanya serta memotong pembicaraan.
“Letak
gua berputar-putar itu ada pada bagian yang berperan sebagai tembok raksasa
dimana menutupi seluruh tempat tersebut. Tembok inilah, didesain membentuk gua,
menggunakan beberapa trik/peralatan teknologi canggih untuk memutar sedemikian
rupa mengelilingi sekitar lokasi yang telah ditentukan sebelumnya. Pada bagian
atas, dibuatlah air terjun buatan dengan mencari mata air dan tidak jauh lokasi
tersebut. Membuat jalanan air, di akhir cerita di desain sama seperti air
terjun asli pada umumnya dari sebuah mata air alami menuju gua kaca ini.” Presentasi
seorang Reynand berhasil membuat para pengusaha melakukan kerja sama termasuk
Brayn.
“Sekitar
lokasi gua kaca, juga dibangun danau serta jembatan dengan desain unik namun
membuat seluruh mata menjadi tercengang-cengang tanpa kedipan sedikitpun.” Kalimat
Reynand sekali lagi. Akhir cerita, semua pengusaha menyukai penjelasan Reynand
dan berniat mengadakan kerja sama. Target masuk jebakan, Brayn berjuang keras
untuk menjadi bagian paling utama akan pembangunan parawisata tersebut.
Reynand
memainkan peranan paling munafik dalam serial drama mengerikan bahkan terkejam
sepanjang sejarah. Beberapa jam lagi, Brayn akan jatuh bangkrut dengan kata
lain tidak memiliki uang satu sen pun. Tidak bermaksud menjadikan keadaan Brayn
terlihat mengerikan, hanya saja keadaan yang memaksakan hal tersebut.
Perusahaannya berpindah tangan alias berpindah kepemilikan...
Brayn
jatuh miskin, semua aset kekayaan serta rumah tidak lagi atas namanya. Pada
saat itulah, saya memainkan peranku sesuai dengan rencana awal. Brayn berjuang
keras tidak memperlihatkan rasa frustasi dalam dirinya. Hidup sebatang kara,
ayah dari Brayn telah meninggal, sedangkan ibunya sendiri sudah lama bercerai
berada entah dimana sekarang. Dapat dikatakan, bahwa Brayn berasal dari
keluarga broken akibat perceraian orang tua. Tidak seorangpun ingin membantu
dia sekarang, itulah yang menjadi tujuan utama kami.
“Maafkan
saya, tidak bermaksud membuatmu menderita seperti sekarang.” Bisikan hatiku
berjalan menemui Brayn pinggir jalan dari kota tersebut. Membayangkan bagaimana
seorang Brayn membawa selimut, makanan, pakaian, uang, serta mengobati luka
pada tubuhku tanpa rasa jijik sedikitpun. Menatap dia dengan pakaian biasa
bahkan terlihat sama seperti gelandangan di luar sana.
“Brayn...”
suaraku memanggil dia. Beberapa kali memanggil namanya, namun tidak di
pedulikan sama sekali untuk beberapa saat.
“Brayn...”
menyodorkan sebungkus roti dan sebotol soda di hadapannya. Mengingat bagaimana
ia menimba air dan mencuci pakaian kotor berbau tanpa pernah berpikir akan...
“Apakah
kehidupanku terlalu menyedihkan untuk dikasihani?” suara serak seakan ingin menangis,
namun tersembunyi dengan begitu kuat.
“Jangan
pernah berpikir tentang apa pun sekarang,” mendekapnya dan mengingat peristiwa
sekitar sumur kemarin melakukan sama seperti yang saya lakukan sekarang.
“Saya
merasa seakan pernah merasakan dekapan penuh kehangatan seperti sekarang
sebelumnya, namun entahlah.” Dia masih mengingat hal itu...
Membawa
Brayn ke rumah sesuai perencanaan kemarin, sedangkan Reynand sendiri telah
kembali ke Jakarta. Mencari cara mengeluarkan Brayn dari kota ini serta
membuatnya berada di suatu pedesaan terpencil jauh dari kearamaian.
“Belajarlah
tentang suatu petualangan dalam perjalananmu hingga akhir cerita memainkan
irama tersendiri.” Ucapanku memberikan sebuah buku.
“Petualangan
seperti apa? Mencari orang yang telah membuat terlihat tidak berdaya, miskin
melarat untuk mencabik-cabik bahkan membuat dia harus merasakan sama seperti
keadaanku sekarang, itu maksudnya!” menarik nafas dalam-dalam.
“Saya
tidak berkata seperti itu.” Berusaha bijak di hadapannya.
“Jelaskan
padaku petualangan dengan akhir cerita menciptakan irama tersendiri,” kedua
bola mata Brayn menjelaskan tentang sesuatu hal...
“Lupakan
permasalahanmu kemarin, ikutlah denganku di suatu tempat untuk memulai
perjalananmu kembali.” Hanya kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku.
“Sebelum
meninggal, papa pernah berkata, buatlah sebuah cerita paling berkesan dan tidak
akan pernah bisa dilupakan seumur hidup di tengah derasnya gelombang.” Kalimat
tersebut menyadarkan duniaku tentang karakter Brayn mengarah kemana?
“Brayn,
ucapan papamu berhubungan erat dengan ucapanku tentang petualangan dengan akhir
cerita memainkan irama tersendiri.” Kalimatku menepuk-nepuk bahunya.
“Ajarkan
duniaku untuk tidak melihat peristiwa kemarin, ataupun permasalahan tentang
saya merupakan korban perceraian orang tua. Membuang berbagai jenis luka yang
terus saja semakin menyukai perjalananku.” Bola kristal berusaha ingin keluar,
namun di balik itu Brayn terus berjuang untuk tidak memperlihatkannya.
“Tetaplah
berjuang dan jangan pernah menyerah tentang sebuah keadaan. Kau harus mempunyai
kekuatan seperti rajawali hingga Tuhan menangis bukan karena kekecewaan besar
melihatmu, melainkan terharu memandang perjalanan dari dunia Brayn tidaklah
seperti kebanyakan orang disekelilingnya.” Kata-kataku berusaha sebijak
mungkin.
Mengajarkan
Brayn bagaimana berpetualang, menjadi kuat, menciptakan irama, dan menjadi
berbeda dari siapapun melalui beberapa kalimat. Berhasil membawa Brayn ke
sebuah pedesaan kecil, membentuk langkah perjalanan kehidupannya. Wajah kesal
terpampang secara jelas, disaat petualangan tersebut ternyata menjadi seorang
petani yang sedang menggarap sawah. Namun, tetap ia lakukan karena tidak
mempunyai pilihan lain.
Menjadi
peternak, belajar memasak menggunakan dapur kayu, mencari kayu bakar, mencuci
pakaian menggunakan tangan sebuah keluarga di kali, dan berbagai pekerjaan yang
tidak pernah dilakukan olehnya selama ini. Terlahir dari keluarga kaya, mempunyai
istana megah, aneka jenis makanan hanyalah segelintir kenangan juga sejarah perjalanan
Brayn. Belajar makan tanpa harus melihat jenis makanan di depan mata seperti
apa? Dunia Brayn tidak lagi bercerita tentang kekayaan, melainkan petualangan
baru hingga suatu hari kelak menciptakan irama tersendiri.
“Brayn,
bisakah kau menjabarkan secara pasti maksud dari pernyataan ini, pondasi negara
berada pada jalur tertentu ditemani bibit-bibit yang tersembunyi.” Ucapanku
berada di hadapannya saat ia sedang mencuci pakaian sebaskom penuh di kali.
“Paman
terus saja mengerjaiku.” Gerutu Brayn.
Butuh
perjuangan memancing Brayn, agar mau menjabarkan pernyataan tersebut. Menemukan
strategi membuat kepala sedikit pusing. Reynand memerintahkan, agar anak itu,
dapat menjabarkan pernyataan tersebut melalui beberapa gambaran serta tulisan
tangannya sebanyak mungkin. Mengharuskan Brayn menulis ratusan lembar tentang
penjabaran dari pernyataan ini, membutuhkan perjuangan luar biasa tanpa rasa
curiga sedikitpun. Memancing beberapa pertanyaan tentang tulisan yang dibuat
oleh Brayn sendiri, agar ia mau menjawab lebih spesifik hingga ke akar-akar
tertentu. Merekam seluruh jawaban Brayn melalui hand phone secara tersembunyi
dan tidak pernah diketahui olehnya. Mengrimkan seluruh tulisan dan hasil
rekaman tersebut untuk dipelajari oleh Reynand.
BAGIAN
ENAM...
BRAYN...
Kehidupanku
benar-benar menyedihkan, sangat mengerikan bagi siapapun yang melihat.
Menjatuhkan air mata tidak dapat menyelesaikan permasalahan sedikitpun bahkan
semakin memperlihatkan titik kelemahan seorang Brayn. Papa dan mama bercerai
saat saya masih berusia 10 tahun dikarenakan perselingkuhan. Mama berselingkuh
bersama sahabat papa, akhir cerita mereka kawin lari serta meninggalkan surat
cerai yang telah ditanda tangani. Kesimpulan, bahwa saya tidak pernah bisa
merasakan kasih sayang seorang ibu selama bertahun-tahun. Kejadian paling aneh
adalah papa tetap setia menunggu mama kembali hingga hembusan nafas
terakhirnya.
Kenapa
papa terus saja menantikan mama yang begitu jahat bagi kehidupan kami? Papa
selalu mengatakan pernikahan itu sakral dan jadikan sekali seumur hidupmu
sepahit apa pun bahtera rumah tangga. Sebelum memasuki bahtera rumah tangga,
perhatikan siapa yang ada di depanmu Setelah berada di dalam seperti apa pun
keadaannya itu pilihan hidup, jangan pernah menjadikan pernikahan sebagai ajang
permainan. Sepahit-pahitnya pilihan hidup dalam mengarungi bahtera pernikahan
tersebut, tetap pertahankan. Jujur, saya tidak pernah mengerti pola pikir papa
ada dimana?
Menginjak
usia dewasa, mulai memasuki dunia kerja dengan mengelola perusahaan papa.
Setelah beberapa tahun kemudian, papa pergi tanpa pernah melihat mama kembali
ke rumah. Tidak lama setelah hal tersebut, perusahaan saya diambil orang yang
dengan sengaja membuat jebakan. Saya menjadi gelandangan, tidur hanya
beralaskan tikar di jalan tanpa uang satu sen pun. Kehidupan hancur terus saja
membungkus perjalanan. Paling aneh dalam langkahku, entah kekuatan dari mana
ataukah karena tidak ada pilihan, sehingga saya mau mengikuti apa pun perkataan
seseorang yang mengaku sahabat papa.
Berada
di sebuah pedesaan kecil serta melakukan semua perintahnya. Untuk kesekian kali
dalam perjalanan, saya harus tertipu kembali. Melakukan segala
pekerjaan-pekerjaan kasar yang selama ini belum pernah saya lakukan. Menjadi
babu dengan mengerjakan semua pekerjaan rumah, mencari kayu bakar, bertani,
beternak, dan lain sebagainya tanpa gaji sedikiitpun. Tuhan, petualangan
seperti apa yang sedang membungkus langkahku sekarang?
Lebih
parah lagi paman Leond, menyuruhku menulis tangan sekian ratus halaman tentang
penyataan pondasi negara berada pada jalur tertentu, ditemani bibit-bibit
tersembunyi. Menjabarkan maksud pernyataan tersebut, kemudian menulis semua
konsep beserta maksudnya menggunakan tulisan tangan sekian ratus lembar. Tidak
memahami, apa yang sebenarnya diinginkan oleh paman Leond? Menyuruhku
mempertanggung jawabkan seluruh istilah-istilah dari tulisan tanganku dengan
berbagai alasan paling tidak masuk akal.
“Jelaskan
istilah-istilah dari penjabaranmu ini?” ucap paman Leond.
“Saya
hanya sekedar menulis paman itu karena keterpaksaan,” balasan jawabanku.
Berbagai
alasan dikeluarkan, pada akhirnya saya berusaha menjawab segala pertanyaannya.
Hal paling kusesalkan adalah melalui tangan paman Leond, rambut pada kepalaku
dengan susah payah terawat baik menjadi botak alias tidak terdapat sehelaipun.
Seorang pria jauh terlihat lebih tampan, jika rambutnya pendek tidak gondrong
menurut nasehat beliau. Ini bukan pendek lagi, melainkan sama sekali tidak memiliki
sehelai rambutpun. Ia mencukur rambutku tanpa menyisahkan sedikitpun. Paman
Leond juga berkata, kalau cowok itu jauh lebih keren tanpa tato sedikitpun pada
tubuhnya. Bagi pandangan sebagian orang dan para artis, tato merupakan seni.
Namun, bagi paman Leond tato akan membuat karakter seseorang berada pada suatu
dimensi paling mengerikan yang terlalu sulit untuk dilukiskan.
Bukan karena memakai tato akan terlihat
seperti berandalan, hanya saja ada sesuatu yang tidak bisa dilukiskan dengan
kata-kata pada suatu dimensi lain. Paman Leond menggunakan berbagai cara, agar
saya mau menjawab serta mempertanggung jawabkan segala tulisan tanganku.
“Kenapa
saya menulis pondasi negara berada pada jalur tertentu dengan arti bahwa
kekuatan sebuah negara berada di sebuah lingkaran dengan kualitas luar biasa
bahkan tidak terdapat pada siapapun di sekitarnya?” ucapanku di bawah sebuah
pohon besar dari desa terpencil tersebut.
“Dikarenakan,
lingkaran kualitas menentukan perkembangan negara itu sendiri. Lingkaran
kualitas seperti apa? Memainkan terobosan tertentu, namun, belum pernah ada di
luar sana. Baik dari segi pendidikan, ekonomi, pengelolahan serta penguasaan
sesuatu yang berbeda pada masing-masing bidang hingga menciptakan sebuah
kekuatan.” Ucapanku kembali.
Berbagai
jenis jawaban hingga ke akar-akar paling terdalam telah kuberikan. Paling
anehnya, paman masih saja terus menggali serta memancing untuk menjelaskan
segala sesuatu lebih mendetail. Saya tidak memahami maksud paman menyerang
pertanyaan aneh. Menyuruhku menjelaskan berbagai gambar dengan mendeskripsikan
melalui alur tersendiri. Terkadang paman Leond menjadi seorang ayah paling
bijaksana, namun hanya beberapa saat. setelah itu, membuat tingkat kesulitan
terhadap langkah perjalananku.
Karakter
seperti apa berada dalam langkah paman Leond, seakan beliau terlihat memiliki
kepribadian ganda. Suatu ketika, beliau menjadi tiba-tiba begitu jahat luar
biasa dengan menyebarkan berbagai ucapan penghinaan pada semua orang tentang
kehidupanku. Saya berpikir, beliau adalah pengganti papa namun, semua itu salah
bahkan tidak pernah ada. Lebih menyakitkan lagi, mendengar bahwa dibalik kasus
penipuan perusahaanku hingga saya jatuh miskin adalah dirinya. Orang paling
terdekat dan selalu memberikan kekuatan ternyata manusia paling kejam.
“Perusahaanmu
berpindah tangan, itu karena saya bekerja sama dengan pengusaha tersebut untuk
menghancurkan kehidupanmu.” Ucapannya tanpa perasaan menyesal sedikitpun, membuat
hatiku begitu terluka bahkan jauh lebih perih dibandingkan tidak pernah
merasakan kasih sayang seorang ibu.
“Tuhan,
kenapa saya tidak pernah bisa membencinya?” jeritan hatiku seakan ingin
menangis sejadi-jadinya. Membuatku kakiku harus terpasung sekitar rumah kecil
dari desa tersebut. Semua orang menganggap saya gila, karena berbagai cerita
dengan kesengajaan dibuat oleh paman. Kedua matanya, memancarkan rasa puas
melihat tubuhku terpasung seperti ini.
“Tetaplah berjuang dan
jangan pernah menyerah tentang sebuah keadaan. Kau harus mempunyai kekuatan
seperti rajawali hingga Tuhan menangis bukan karena kekecewaan besar melihatmu,
melainkan terharu memandang perjalanan dari dunia Brayn tidaklah seperti
kebanyakan orang disekelilingnya.” Entah mengapa kata-kata
orang yang membuatku terpasung seperti sekarang terus terngiang di telingaku.
Air mataku secara tiba-tiba mengalir begitu deras dan tidak dapat kuhentikan
begitu saja. Berusaha untuk tidak pernah mengeluarkan setetes air matapun, pada
akhirnya mengalir begitu saja dengan begitu deras.
“Membuat
Tuhan menangis, bukan karena kecewa melihatku melainkan perasaan terharu oleh
karena perjalanan Bayn berbeda dari siapapun.” Jeritan hatiku.
HOSEA LEONARD...
Di
tempat tersembunyi, air mataku seakan tertumpah keluar begitu saja atas segala
penderitaan Brayn. Menjebak anak itu, pada akhir cerita kaki serta tangannya
terpasung di sebuah rumah kecil. Seluruh warga berkata, Brayn mengalami
gangguan jiwa.
“Bertahanlah,
semua untuk perbaikan Indonesia suatu hari kelak. Tidak ada maksud menjadi
paling terjahat diantara manusia paling kejam, keadaanlah yang mengharuskan
semua ini terjadi.” Bisikan hatiku menggema bersembunyi di balik pohon
memperhatikan keadaannya.
Proses
ini harus di jalani oleh Brayn, demi pembentukan berbagai hal dalam langkah
perjalanannya. Tubuhnya kurus kering, tidak terurus, rambutnya kembali
memanjang, dan tidak menampakkan seperti manusia lagi. Begitu banyak luka pada
tubuh Brayn, membuat air mataku terus saja mengalir setiap saat.
“Paman
Hosea, jangan pernah memperlihatkan air mata setetespun di hadapan Brayn.”
Tegur Reynand di hadapanku.
“Sejak
kapan kau ada di desa ini?” saya berusaha menghapus air mata pada wajahku.
“Setelah
mengantarkan Nara kembali ke Jerman, saya langsung menuju desa ini mencari
keberadaan paman.” Jawaban Reynand.
“Saya
tahu pasti, kalau paman sangat menyayangi Brayn, hanya saja, Nara tetap
bertahan pada pendiriannya untuk tahapan proses mengerikan seperti ini pada
mereka.” Kalimat Reynand lagi.
“Sejak
kecil, Brayn di tinggal oleh ibunya hingga tidak pernah merasakan kasih sayang
sedikitpun. Kehilangan seorang ayah, perusahaannya ditipu, menjadi gelandangan
di jalan, hidup di desa dengan melakoni berbagai pekerjaan kasar, mendapat
berita buruk tentang kejahatanku, dan sekarang kaki serta tangannya terpasung
dengan begitu banyak luka pada tubuhnya.” Tangisku tiba-tiba pecah tidak
tertahankan.
“Berhenti
menangis, paman” tegur Reynand.
“Bukan
permasalahan bagaimana penderitaan Brayn. Coba berpikir lebih bijak, proses ini
akan mengajarkan sebuah kekuatan luar biasa untuk langkah Brayn selanjutnya. Nara
tidak mau asal memilih sembarang orang untuk memperbaiki negara ini.” Reynand
berusaha membuat sadar tentang sesuatu...
“Saya
sadar betul, tapi, melihat penderitaan Brayn sekarang membuat air mataku ingin
terus mengalir sejadi-jadinya.” Tangisku terus saja bermain.
“Jika
dilihat dari hasil tulisan Brayn dan bagaimana penjabaran beberapa pertanyaan
yang diberikan. Ternyata cukup memuaskan, cara dia mengungkapkan dan mempertanggung
jawabkan terlihat biasa, namun, setelah ditelusuri terdapat sesuatu dengan
meninggalkan jejak teka-teki.” Kalimat Reynand kembali.
“Pastilah,
karena pada kenyataan bahwa Brayn merupakan pria berpendidikan juga cerdas.”
Ucapanku.
“Kecerdasan
seseorang tidak menjamin kualitas perbaikan negara ini. Indonesia membutuhkan
tingkatan kualitas karakter diimbangi kecerdasan dimana terbungkus ciri khas
tersendiri.” Kalimat Reynand berusaha menyadarkanku akan sesuatu hal.
“Bersabarlah
dan percaya bahwa Brayn dapat melewati semua ini.” Perkataan Reynand kembali.
“Berapa
lama, membuat Brayn terpasung seperti ini?” pertanyaanku.
“Tunggu
intruksi dari Nara melalui email.” Jawabannya.
“Saya
hanya ingin tahu sekitar berapa lama?”
“Kemungkinan
sekitar 3 bulan lagi, setelah itu kita akan berusaha membebaskan dia dan
rencana selanjutnya...” kening Reynand berkerut.
“Apa
rencana selanjutnya?” pertanyaanku.
“Membawa
Brayn ke negara paling termiskin untuk membuat sesuatu hal di sana.”
Jawabannya.
“Sekitar
negara mana?”
“Negara
bagian Afrika dan harus berbaur dengan masyarakat di sana, sedangkan Jaya
Guntur tetap berada di Indonesia, hanya saja, di bagian paling pedalaman.” Ucapan
Reynand.
“Wow...”
tanpa sadar terkejut mendengar hal tersebut.
“Jaya
akan berada di sebuah pedalaman yang sama sekali belum mengenal pakaian untuk
menutupi tubuh.” Ucap Reynand lagi.
“Bisakah
saya memberikan sebungkus roti untuk Brayn dan sebotol susu?” pertanyaanku
tidak tahan melihat penderitaan anak itu.
“Jangan
paman secara langsung mengantarkan, lebih baik menyuruh orang lain.” Kalimat
Reynand.
Menyuruh
orang untuk membawa makanan ke rumah kecil tersebut, dengan menyelipkan secarik
kertas kecil untuk Brayn. “Tetaplah kuat, jangan pernah menjadi lemah karena
seluruh peristiwa yang membungkus perjalananmu sejak awal hingga sekarang.”
Setidaknya tulisan tersebut dapat menjadi penyemangat Brayn untuk terus
bertahan dan berjuang.
Membayar
seseorang mengobati seluruh luka pada tubuh Brayn secara diam-diam.
Membersihkan tubuhnya serta menggunting rambut panjangnya menjadi pendek.
“Semua pasti bisa dilalui oleh Brayn” jeritan hatiku setiap hari bersembunyi
dari kejauhan memperhatikan keadaannya.
“Jadilah
seperti rajawali, semakin terbang tinggi di tengah badai. Hingga setiap langkah
perjalananmu membuat Tuhan menangis bukan karena kekecewaan, melainkan terharu
melihat langkahmu.” Suara hatiku menggema.
Saya
harus meninggalkan desa itu, dalam keadaan Brayn masih terpasung untuk kembali
ke Jakarta bersama Reynand. Bertemu kedua pejabat membicarakan rencana lanjutan
ke depan. Mempersiapkan beberapa pasport serta dokumen-dokumen penting...
“Pria
terlihat tangguh bukan karena berotot, melainkan dia dapat mengambil batu besar
dari pundaknya dan menghancurkannya berkeping-keping melalui kekuatan doa terbungkus
air mata di tempat tersembunyi tanpa seorangpun pernah tahu.” Tulisanku pada
secarik kertas dan menyuruh orang mengirimkan kepada Brayn secara diam-diam,
sekalipun saya berada di Jakarta.
Mengingat
kembali bagaimana dia menyebutku pak tua pertama kali bertemu dengannya.
Indonesia berada di tangan generasi muda, melalui jalan seperti inilah maka
pemulihan dapat terjadi. Bukan permasalahan kecerdasan menjadi landasan utama
perbaikan Indonesia melainkan sebuah proses kehidupan di suatu lingkaran tertentu.
“Nara,
segitu bengisnya proses-proses yang kau terapkan.” Nada tinggi salah pejabat.
“Paman,
andai kata disuruh memilih saya juga tidak pernah menginginkan seperti ini atau
membuat luka di hati mereka.” Jawaban Nara melalui sambungan telpon.
“Paman
Hartono, berhenti berbicara, jangan sampai ada yang sedang memeriksa
pembicaraanmu melalui komunikasi celuler.” Tegur Reynand menarik hand phone
kemudian menutupnya.
“Nara
benar-benar keterlaluan.” Ujar pak Hartono.
“Saya
rasa tidak perlu menyalahkan Nara, sesuai kesepakatan bersama kan sebelumnya.”
Kalimatku memotong pembicaraan.
“Bukankah
Nara telah mengancam tidak akan mau berada di atas, jika patner kerjanya
sembarang orang.” Tegur Reynand mencoba mengingatkan.
“Saya
pikir proses yang dimaksud itu tidak sampai melewati batas sewajarnya,
sekalipun...” ucap pak Hartono.
“Coba
ingat pembicaraan dengan Nara sewaktu di Jerman, tidak ada cara lain terlebih
keadaan indonesia dengan hutang menumpuk seperti gunung, merubah pola pikir
masing-masing suku tentang sesuatu objek tidaklah mudah, pengelolahan SDA, dan
masih banyak lagi.” Reynand mencoba menyadarkan pak Hartono.
“Kenapa
para pejabat tidak pernah peduli rakyatnya sendiri? Karena mereka langsung
memasuki area tanpa pernah belajar arti kehidupan, tanpa pernah mengerti
tentang belas kasih terhadap sesama.” Kalimat pak Raharjo menegur Hartono.
“Seenaknya
parpol memainkan permainan atau mengambil beberapa artis untuk menjalankan roda
pemerintahan tanpa pernah berpikir sesuatu hal. Saya juga bekas artis, hanya
saja, peranku berusaha membantu pacar tercintaku.” Celoteh Reynand.
“Ikuti
saja kemauan Nara, tidak mungkin semua ini diberhentikan begitu saja. Terlebih
dia mengancam tidak mau masuk jika rekan kerjanya kelak asal salah pilih.”
Tegur Reynan kembali.
“Betul
yang diucapkan Reynand, tidak ada niat melakukan kejahatan buat mereka, lagian
ini hanyalah sebuah proses.” Ucapanku menenangkan Hartono.
BAGIAN
TUJUH...
REYNAND...
Tuntutan
mengharuskan Nara dan kami semua melakukan perbuatan paling kejam bagi pemandangan
mata. Permasalahan Indonesia memasuki tahap serius, sedangkan Nara bertahan
tidak akan masuk ke dunia pemerintahan dengan memakai patner sembarang atau
asal-asalan. Saya pun terancam habis-habisan putus hubungan, jika tidak ikut
membantu mempersiapkan semua yang dia diinginkan. Namun, jauh di dasar hati
bukan karena Nara mengancam tentang hubungan kami, melainkan saya mulai
menyadari persoalan-persoalan di depan akan menjadi bumerang Indonesia.
Mengumpulkan
seluruh hasil tulisan tangan mereka, kemudian mempelajari lebih lanjut.
Menyuruh mereka menjabarkan teka-teki gambar, bahasa tubuh, dan lain sebagainya
menggunakan beberapa tekhnik tanpa diketahui sedikitpun. Tidak pernah menyadari
tentang rencana besar akan perjalanan tertentu suatu hari kelak. Bersifat
tersembunyi bahkan terlalu rahasia. Suatu hari nanti, mereka akan tahu langkah
kaki mengharuskan untuk mengalami proses luar biasa.
Saya
harus mempelajari istilah-istilah dari seluruh tulisan tangan di depan.
Bagaimana penjelasan tentang sebuah penyataan, gambar-gambar biasa namun
terdapat sesuatu yang tidak disadari oleh siapapun, gerak-gerik objek tertentu.
Membutuhkan strategi memancing serta berhasil membuat mereka mengerjakan semua
ini. Paman Hartono dan paman Harjo menolong saya dalam mempelajari gaya bahasa,
mimik, ungkapan, penjelasan, serta beberapa hal lain lagi melalui rekaman suara
mereka.
Di
samping membuat proses luar biasa tanpa mereka pernah tahu ataupun sadar, kami
juga memancing/ membentuk pola pikir di masing-masing daerah. Beberapa kegiatan
sengaja diarahkan, sebelum membuat mereka berada dalam lingkaran dimana air
mata akan terus mengalir deras. Terus berada di depan layar komputer, hanya
itulah kegiatanku setiap harinya.
“Paman,
arahkan kepada mereka yang membuat proses tertentu untuk tidak memperlihatkan
air mata sedikitpun. Bisa kacau semuanya.” Gertakku terhadap paman Budi, adalah
orang terpilih untuk memproses salah satu dari mereka.
Selain
memeriksa serta mempelajari tulisan di depan mataku, saya pun harus
mempersiapkan pasport juga dokumen-dokumen penting. Sementara Nara mencari
data-data/artikel dari berbagai sumber untuk persiapan setelah melewati semua
proses tersebut. Mengumpulkan buku, majalah, korang bekas, alat-alat elekronik
bekas untuk membentuk wawasan mereka kelak. Mempersiapkan materi-materi dari
berbagai bidang, mempelajari istilah-istilah tertentu, dan banyak lagi.
Perjalanan
otonomi daerah di seluruh Indonesia bersifat dan mengarah ke titik mana?
Bagaimana kelebihan/ kekurangan terhadap otonomi daerah yang telah ditelah di
undang-undangkan selama ini? Apa penyebab munculnya otonomi daerah? Merupakan
sebagian dari materi-materi persiapan untuk mengarahkan mereka.
“Nara,
buku-buku tentang kekayaan Indonesia kau letakkan dimana?” pertanyaanku kepada
Nara melalui saluran telpon, karena dia telah kembali ke Jerman.
“Coba
cari pada rak lemari bagian bawah, semuanya ada telah kuletakkan disitu.”
Jawabnya di telpon.
“Sudah
ketemu...” 10 menit kemudian.
“Kalau
begitu saya tutup telponnya,” kalimat Nara.
“Tunggu-tunggu,
kau belum mengatakan kalau Nara sayang Reynand.” Gerutuku.
“Berhenti
bercanda, bossss.” Tiba-tiba saluran telponnya diputus.
“Selalu
saja begitu,” kekesalanku menggeleng-gelengkan kepala. Sumber kekayaan negara
dengan ribuan pertanyaan serta materi-materi terpenting. Apa penyebab utama
sehingga seluruh kekayaan Indonesia semenjak orde baru telah dikelola oleh piha
luar? Mencari jawaban dari sekian pertanyaan ini, dampak terhadap Indonesia untuk
beberapa arah. Pengelolahan/ terobosan/ program bagaimana yang harus
dijalankan, jika seandainya semua itu kembali ke tangan Indonesia.
“Reynand,
ini kaset yang kau minta.” Suara paman Harjo tiba-tiba dari arah belakang.
“Letakkan
saja di atas meja, paman.” Balasku.
“Ada
sesuatu yang ingin kukatakan terhadapmu dan Nara,”
“Tentang
apa? Serius amat, paman”
“Masalahnya,
Nara tidak ada disini.” Ujar paman Harjo sedikit pusing.
“Gampang,
tinggal menggunakan saluran telpon atau email. Selesai” ucapku.
“Baiklah,
nyalakan layar di depanmu dan hubungi Nara.” Perintah paman Harjo.
“Ada
apa, paman Harjo?” pertanyaan Nara dengan wajahnya terpampang jelas di layar
sedang duduk.
“Begini,
saya membaca sebuah buku biografi seorang anak jenius dari Surabaya.” Ucap paman
Harjo.
“Siapa
nama anak jenius itu, penasaran.” Ujarku.
“Maria
alexa, menguasai banyak bahasa asing, pada usia masih belasan tahun telah
menjadi professor, usianya sekitar 2 tahun telah lancar membaca. Ada lagi,
kulit putih, wajah lumayan cantik, anak tunggal.” Ujar paman Harjo.
“Terus
permasalahan tentang gadis itu dimana, paman?” tanya Nara.
“Iya
betul, apakah ingin membuat Nara cemburu, boleh juga.” candaanku.
“Maksudnya,
membuatku cemburu?” mata Nara terus saja berkedip-kedip.
“Biar
bisa diajak kenalan gitu, terus diajak jalan, terakhir naksir deh ma saya,
terakhir lagi kau panas tidak jelas...”godaanku.
“Memang
kau berani jalan ma seorang cewek?” ucap Nara.
“Berani,
siapa takut...” balasku.
“Silahkan...”
ucapan Nara seakan tidak perduli, luar biasa sulitnya membuat seorang Nara
cemburu buta. Yang ada malah, saya begitu takut kehilangan dia sampai kapanpun
juga.
“Saya
tidak menyuruh kalian bertengkar,” teriak paman Harjo.
“Kembali
ke permasalahan gadis jenius itu, paman.” Ucapku.
“Menurut
cerita, gadis itu menjadi rebutan banyak negara karena kejeniusannya.” Kalimat
paman Harjo.
“Terus,
kenapa kalau gadis tersebut menjadi rebutan seluruh negara.” Kalimat sinis
Nara.
“Apakah
kau tidak tertarik untuk mengambil dia sebagai salah satu tokoh bagi perbaikan
Indonesia?” tanya paman Harjo.
“Paman,
bukankah telah kukatakan, jika gadis itu tidak termasuk pilihan serta tidak
bisa memasuki proses sesuai kehendakku, saya menolak.” Perkataan Nara.
“Nara,
coba bayangkan dia itu menjadi rebutan seluruh dunia menurut buku biografinya,
anak didik Yohanis Saputra sebelum berada di luar negeri.” Paman Harjo berusaha
mempertahankan gadis tersebut.
“Coba
paman berpikir, dia berasal dari keluarga berkecukupan, anak tunggal bahkan
tidak pernah merasakan kehidupan susah/sulit. Mencari makan sebutir dengan
menguras keringat tidak pernah terjadi dalam hidupnya.” Ucapan Nara.
“Betul
dikatakan Nara, sedangkan saya yang ingin menjadi pacarnya kemarin berjuang
keras luar biasa terlebih permasalahan Indonesia...Gimana cerita, saya tahu
watak Nara.” Ujarku menyadari karakter Nara.
“Andai
kata gadis itu masuk tanpa proses sekarang, seseorang yang tidak pernah
merasakan kehidupan di bawah, 100% keegoisan/kesombongan/asal
berjalan/kemunafikan dan lain sebagainya bisa saja membungkus perjalanannya.
Sekarang kita sedang berbicara negara bukan perusahaan.” Tutur kata Nara penuh
penekanan.
“Negara
menyangkut banyak manusia di sana bukan hanya 1 atau 100 orang, melainkan
jutaan orang. Belum tentu dia lulus, andai kata mengikuti proses sekarang,
kenapa? Karena bukan pilihan Tuhan. Belum tentu juga dia mau mengikuti semua
yang dikatakan, kenapa?” kalimat Nara lagi.
“Kenapa?”
tanyaku.
“Karena
anak ini merasa bahwa dia menjadi rebutan seluruh negara. Jadi, kalau ada
negara yang mau mengambil, silahkan, saya relakan...” Jawaban Nara.
“Bukankah
Brayn juga orang kaya di negara ini, kenapa dia bisa, sedangkan gadis itu tidak
bisa?” pertanyaan paman Harjo tidak mengerti.
“Brayn
berbeda cerita dengan gadis itu, tidak dapat disamakan. Menurut cerita paman
Hosea, bagaimana karakter Brayn pertama kali menghadapi objek dan keadaan di hadapannya. Tuhan memang
menetapkan Brayn, dengan melihat beberapa hal. Manusia melihat luar, tetapi
Tuhan melihat kedalaman seseorang.” Jawaban Nara lagi.
“Paman,
jangan salah sangka dulu terhadap Brayn. Coba perhatikan, setiap Brayn
menghadapi permasalahan apakah ada kalimat serapah keluar. Saya membuat Brayn
jatuh miskin dan tidur di jalan, tidak ada karakter aneh yang saya
perhatikan...” ujarku.
“Menurut
ucapan paman Hosea, dia hanya berkata tentang perkataan papanya, buatlah sebuah
cerita paling berkesan dan tidak akan pernah bisa dilupakan seumur hidup di
tengah derasnya gelombang.” Perkataan Nara menjelaskan.
“Brayn
sadar akan sesuatu hal, sekarang kaki juga tangannya terpasung di sebuah rumah
kecil dengan begitu banyak luka pada tubuhnya, sama sekali dia tidak berkata
kenapa Tuhan? Saya membenciMU Tuhan? Kau dimana Tuhan? Betulkah KAU benar-benar
ada Tuhan?” ucapanku memperlihatkan kehidupan seorang Brayn.
“Paman,
Suatu hari kelak ada begitu banyak hal akan diperhadapkan baik tentang seluruh
bidang, perkembangan pembangunan, politik aneh kiri kanan bermain, konflik luar
dalam, serangan-serangan pembenci baik secara halus bahkan paling kasar,
permasalahan-permasalahan kecil tapi dibesar-besarkan apa lagi jika memang
sudah besar. Sekarang kita sedang bercerita tentang negara bukan perusahaan
atau benda.” Ucapan Nara lagi.
“Yang
dibutuhkan adalah seseorang dengan kekuatan berbeda dari siapapun. Bagaimana
dia bijak dalam berjalan sekalipun begitu banyak tekanan kiri-kanan.
Memperlihatkan hasil terbaik, bahkan tidak memperdulikan nyawanya sendiri demi
apa? Demi sebuah perjuangan memperlihatkan hasil.” Kembali Nara menjelaskan.
“Terserah
kalian saja...” ucapan paman Harjo menyadari akan permasalahan di depan.
Saya
menyukai dunia Nara, itulah mengapa seorang Reynand berjuang demi mendapat
perhatiannya. Terus berada di hadapan layar mengarahkan bagaimana kisah
lanjutan perjalanan masing-masing dari mereka semua. Selain tertarik
mempelajari karakter Brayn diantara 34 orang ini, saya seakan di arahkan pada 2
kisah kehidupan lagi. Rasa ingin menangis memantau kehidupan Brayn...bahkan
paman Hosea, Nara, dan lainnya tidak pernah tahu bagaimana saya menjatuhkan bola-bola
kristal dari sepasang mataku.
Selain
Brayn, terdapat 2 orang lagi menarik perhatian menyimak kehidupannya. Jaya Guntur
dan Mekar Sari diantara 34 orang dari seluruh provinsi. Baik dari segi
kepribadian saat berada di suatu area tertentu, juga potensi mengembangkan
beberapa bidang di Indonesia. Pemikiran Jaya dapat di teliti melalui hasil
tulisan tangannya, bagaimana dia menyelesaikan beberapa tes yang diberikan
tanpa disadari olehnya. Hasil rekaman suara Jaya memperlihatkan, bahwa dia
dapat menjadi seorang penemu untuk mengembangkan perkembangan teknologi untuk
pembangunan negara juga dunia. Sementara Ditha dapat bergerak untuk pertanian,
kehutanan, perikanan dengan beberapa terobosan dari pemikirannya. Untuk saat
ini, potensi mereka berdua belum terlihat sepenuhnya, namun, suatu hari kelak
hanya dengan membentuk ataupun melatih akan benar-benar kelihatan secara
sempurna/utuh.
“Paman
Budi, bisakah mengarahkan Jaya menyelesaikan beberapa pertanyaan?” pesanku
lewat email.
“Pertanyaan
seperti apa yang ingin kau lemparkan ke arah Jaya?” balasan email dari paman
Budi.
“Pertanyaannya
seperti ini, jika di depanmu terdapat sebuah elektronik benar-benar rusak pada
level paling terparah, apakah kau masih berusaha untuk memperbaiki atau membuang bahkan menganggap sebagai sampah?”
tulisan pesanku.
“Serahkan
saja padaku, suara Jaya akan kurekam kemudian kukirim.”
“Usahakan
jangan sampai mengundang kecurigaan apa pun, saya akan memantau dari ruanganku,
kalau perlu gunakan kamera tersembunyi tanpa sepengetahuan Jaya.” Ujarku.
“Bagaimana
caranya, Reynand?”
“Paman,
gunakan segala ide di kepalamu, karena saya akan mengarahkan paman memberikan
kembali beberapa pertanyaan.” Kalimatku terhadapnya.
“Baiklah.”
Balasan email paman Budi. Sesuai perencanaan, paman Budi mencari berbagai cara
membujuk Jaya berada disuatu ruangan dengan kamera tersembunyi. Saya sendiri
terus mengarahkan paman memberikan berbagai pertanyaan melalui kecanggihan
teknologi sekarang. Memantau gerakan Jaya dari ruanganku lewat layar besar di
depan meja kerja. Pertanyaan ini memang biasa, hanya saja bagi seseorang yang
memiliki dunia lain, pasti akan membuat perbedaan.
“Bagaimana
jika di depanmu terdapat sebuah elektronik benar-benar rusak pada level paling
kacau/parah minta ampun, apakah kau masih berusaha untuk memperbaiki atau membuang bahkan menganggap sebagai sampah?”
pertanyaan paman Budi berusaha untuk tidak menimbulkan sedikitpun kecurigaan.
“Paman,
pertaanyaanmu itu aneh benner, emangnya apa yang akan dilakukan semua orang
dengan elektronik kacau begitu, pasti dibuanglah.” Gurauan Jaya masih bisa
tertawa.
“Kau
pikir saya ini terlalu bodoh diberikan jawaban seperti itu.” Ujar paman Budi.
“Paman,
jawaban itu hanyalah kesengajaan dan bukan itu yang saya cari, pancing dia
terus.” Kalimatku mengarahkan dari ruanganku dengan melihat pembicaraan mereka
depan layar sedang.
“Saya
juga tahu kalau barang gituan pasti dibuanglah, emang mau diapain coba? Tapi ga
gini juga yang gua mau dengerin dari lu.” Bicara paman Budi berusaha...
“Kalau
untuk saya pribadi, masih berusaha memperbaiki sekalipun telah memasuki
kerusakan terparah. Kalaupun, seandainya tidak ada harapan, saya akan mengambil
beberapa alat-alat di dalam kemudian dibuat sesuatu. Bukan berarti tv rusak
baberapa organ tubuhnya tidak berharga lagi kan,” jawaban Jaya.
“Mengambil
organ tubuhnya buat apa coba?” pancing paman Budi.
“Banyak
yang bisa dibuat paman, contoh, mungkin kerajinan tertentu seperti rak buku,
lemari, dan lain-lain. Sementara organ tubuh lain yang masih berfungsi dapat
digunakan pada elektronik yang juga dalam perbaikan, atau dirakit menjadi
sebuah alat terbaru mungkin.” Jawaban Jaya.
“Jaya,
bisakah kau jelasin tentang gambaran elektronik rusak terhadap negara ini?”
“Emang
negara ini macam radio rusak? Tapi, kalau dipikir-pikir betulan juga sih,
Indonesia emang dari sononya dah rusak parah, bentar lagi malaikat pencabut
nyawa datang menghabisi ibarat orang yang sakit parah dah mau mati.” Kalimat
Jaya.
Jaya
Guntur membuat sebuah argument memeh tentang Indonesia, tidak habis pikir
tentang ucapannya memakai sindiran paling kacau, namun menusuk hingga ke tulang
sum-sum belakang. Tapi, jika disimak, argumentnya tidak sampai menusuk tulang
sum-sum belakang juga sih, hanya sekedar bercanda...
BAGIAN
DELAPAN...
JAYA GUNTUR...
Awal
bulan, tanggal baru, semangat baru, kenapa? Uang gaji siap menanti di depan
mata, itulah jawaban paling tepat. Bekerja pada salah satu perusahaan, dan
kuliah pada malam hari. Orang tuaku masih sanggup membiayai seluruh kuliahku, hanya
saja, saya ingin mandiri baik bahkan tidak melibatkan keluarga tentang biaya
kuliah terlebih makan. Papi mami tidak termasuk deretan ekonomi kelas atas,
tapi, setidaknya masih bisa membiayai seluruh anak-anaknya. Namun, saya
terbiasa membiayai sekolahku semenjak memasuki bangku SMU kemarin, hingga
perguruan tinggi sekarang.
Siang
itu saya berjalan keluar dari kantor mengantarkan barang pesanan sebuah toko. Sepulang
dari toko langganan perusahaan, perhatian saya mengarah pada seorang lelaki tua
sedang menjajahkan mainan. Gejolak hati saya sedang berperang, menaruh rasa
kasihan atau berpikir bahwa pria tua itu hanyalah sekelompok penipu? Zaman
sekarang banyak orang dengan kesengajaan menghalalkan segala cara biar diberi
uang dan segalanya, ibarat mengemis. Tidak memiliki cacat kaki, tapi berbohong
pada lapisan masyarakat.
Apa
bedanya pria tua keriput di pinggir jalan sana, sengaja membuat luka atau apa
gitu terus dikasihani, singkat cerita hipnotis kiri kanan dan membawa lari
banyak uang korban. Namun, seakan ada yang aneh di dasar hatiku sekarang,
entahlah hanya saja maha tahu. Beberapa hari saya selalu dipertemukan oleh pria
tersebut di jalan, hanya dia tidak pernah menyadari hal tersebut. Perbedaannya
adalah dia berjalan kaki sedangkan saya menggunakan motor.
“Tuhan,
kalau pria tua itu bukanlah penipu untuk menghipnotis orang atau pengemis yang
berpura-pura tua, berarti dia akan melewati jalan rumahku sebentar.” Ujarku di
dasar hati meminta bukti kepada Tuhan tentang pria tua di sana. Entah bagaimana
caranya, pria itu benar-benar berjalan sekitar arah rumahku pertengahan hari.
Saya benar-benar dikejutkan olehnya...
Berjalan
menuju ke arah pria tersebut, sedangkan motor saya tinggalkan di rumah. Menyapa
pria tersebut, tidak tahu kenapa ada sesuatu hal yang ingin saya lakukan
untuknya. Dengan alasan membeli mainannya untuk adik saya, tersenyum
dihadapannya itulah kisahku.mengajak pria tua itu ke rumahkum membersihkan
luka-luka pada tubuhya serta mengganti pakaian usang bahkan sangat bau. Sebelum
pergi, dia berdoa untukku dalam dekapannya ada sesuatu dimana sama sekali belum
pernah kurasakan dalam hidup.
”
Tuhan, akan membuatmu kuat dari sekarang sampai kapanpun juga. Jaya Guntur akan
membuat irama dalam langkah perjalanannya apa pun yang terjadi, sekalipun air
matanya terus mengalir tidak berarti dia akan terlihat lemah.” Ucapan doa pria
tersebut, membuatku merasakan bahwa sesuatu hal akan terjadi dalam
perjalananku, namun, entahlah...
Dua
bulan kemudian, begitu banyak hal menimpa kehidupanku. Permasalahan demi
permasalahan menimpa secara bertubi-tubi. Papi mami menganggap saya bukan lagi
anaknya, karena seseorang menyebarkan fitnah. Begitu banyak wanita mengaduh ke
rumah, kalau saya telah meniduri bahkan memperkosa hingga hamil. Seseorang dengan
kesengajaan memberiku orang tidur, saat tersadar saya sudah berada di atas
tempat tidur sendirian. Selang beberapa hari, tiba-tiba saja pria bertubuh
besar datang ke perusahaan tempatku bekerja berteriak di depan semua orang.
Pria tersebut mengaku jika saya telah tidur bersama dengan istrinya.
“Semua
itu tidak benar,” teriakanku. Wajahku beberapa kali terkena pukulan dari pria
tersebut hingga babak belur.
“Ini
buktinya” kalimat pria itu menyerahkan beberapa lembar foto. Saya benar-benar
terkejut, bagaimana bisa wajahku bersama seorang wanita.
“Mulai
detik ini, jangan pernah menampakkan batang hidungmu lagi,” kegeraman atasanku.
Saya harus kehilangan pekerjaan, bukan hanya hal itu pihak kampus mengeluarkan
dari proses perkuliahan. Masa depanku hancur dalam sekejap. Orang tuaku tidak
menganggapku lagi sebagai anak mereka. Paling mengerikan, kenapa begitu banyak
wanita berkata telah mempunyai anak dari saya. Yang benar saja, mengenal wanita
seorangpun belum pernah. Tidur di jalan dan menjadi seorang gelandangan. Tidak
seorangpun memberiku pekerjaan, sekalipun hanya sebagai buruh kasar. Dari mana
mereka tahu, kalau saya berhenti bekerja karena sebuah permasalahan telah
meniduri istri orang.
“Apakah
saya harus menangis,” jerit hatiku. Di bawah derasnya hujan, saya berjalan
seolah kehilangan arah kehidupan. Perutku benar-benar lapar, sedangkan saya
tidak memiliki uang satu sen pun. Beberapa hari lalu, seseorang menjambret
seluruh isi tas saya dimulai dari hand phone, uang, dan jam tangan.
“Tuhan,
sekalipun air mataku terjatuh saat ini tidak berarti saya adalah orang lemah.”
Air mataku terus saja mengalir di tengah derasnya air hujan pada pertengahan
malam.
“Hikhikhikhik...apakah
kehidupan jauh lebih kacau dibandingkan anak perempuan?” ucapanku di dasar hati.
Saya seperti orang bodoh bahkan sangat menjijikkan mencari sisa makanan sekitar
tempat dan tidak jauh dari restoran siap saji.
“Balut
luka-luka yang begitu kuat menancap pada seluruh tubuhku, Tuhan.” Air mataku
terus saja mengalir. Memungut makanan sisa bahkan basih dan memasukkannya ke
dalam mulutku. Tidur di pinggir jalan setiap hari, berjuang keras mencari
pekerjaan...
“Saya
tidak akan menyerah dengan keadaan bahkan terlihat lemah. Saya tidak akan
pernah mau menjadi pengemis di jalan.” Kalimatku di dasar hati. Air mataku
dapat saja mengalir di setiap sudut jalan, bukan berarti langkahku berada pada
area lingkaran paling terburuk. Gelombang ombak dapat saja mempermainkan
nafasku saat ini, tidak berarti saya harus menjadi manusia terburuk.
“Luka
yang begitu kuat bisa saja menancap secara hebat, tidak berarti duniaku lenyap
begitu saja,” bisikan hatiku menggema kembali di bawah derasnya air hujan.
Entah mengapa, sejak awal kehidupanku mengalami badai, hujanpun tidak pernah
berhenti membasahi bumi. Apakah bumi ikut bersedih atas segala yang sedang
membungkus langkahku saat ini. Tiba-tiba seseorang datang ke hadapanku membawa
sebuah payung untuk memberiku perlindungan. Air mataku terus saja mengalir,
sama seperti perempuan. Andai kata, saya terlahir sebagai anak perempuan saja.
“Menagislah,
jika semua itu dapat meringankan bebanmu.” Kalimat pria paruh bayah itu
mendekapku di tengah derasnya hujan.
“Sekalipun
air mataku mengalir deras, tidak berarti saya terlihat lemah. Saya berusaha
untuk tidak mengalirkan butiran kristal, akhir cerita, saya tidak pernah
berhasil menghentikannya.” Kata-kataku berada dalam dekapannya dengan kepala
menunduk.
Hanya
itu yang dapat kulakukan sekarang, mengalirkan butiran kristal di tengah
derasnya hujan. Tiba-tiba pandangan mata saya menjadi kabur dan gelap beberapa
jam kemudian. Saat tersadar, saya merasakan sedang berada di sebuah ranjang
ditemani selimut tebal memberikan kehangatan.
“Kau
sudah bangun?” pertanyaan seseorang dan tidak lain adalah pria semalam.
“Ada
saat dimana seseorang akan mengalami gelombang ombak, kembali kepada diri
sendiri...apakah akan terlalihat lemah atau kuat.” Senyuman pria tersebut di
hadapanku. Pria tua itu bernama Budi. Beliau yang telah menolong saya.
Memberikan tempat tinggal di sebuah pedesaan, mengajarkan tentang kekuatan.
Hal
paling mengganjal untuk perjalananku, adalah kenapa saya mau mengikuti apa pun
yang diperintahkan oleh paman Budi. Ada apa dengan duniaku? Rasanya segala
ucapannya terus saja kulakukan bukan karena permasalahan saya tidak memiliki
siapapun lagi sekarang, namun entahlah...
Menyuruhku
merawat serta menjaga anak-anak yatim di sebuah rumah sederhana. Memasak,
mencuci pakaian beberapa bayi yang masih kecil, memandikan anak-anak yatim, dan
lain sebagainya. Di lain hal, berkebun buat makan sehari-hari anak yatim, juga
berada di sawah menanam padi. Paman Budi berucap, tidak ada seorangpun donatur
yang ingin menolong anak-anak yatim ini, jadi, kita harus berusaha memberik
makan dengan berusaha...
Lebih
parah lagi, saya harus bisa mengatur waktu menyelesaikan seluruh pekerjaan di
depanku sekarang. Mengikuti kemauan paman Budi, menulis ratusan lembar hasil
deskripisiku sendiri dari beberapa pernyataan. Hanya sebuah pernyataan, saya
diperintahkan untuk menjelaskan menurut pemikiranku sebanyak ratusan lembar
hingga berulang-ulang. Menghubungkan pernyataan, teka-teki gambar, dan lain
sebagainya terhadap berbagai bidang pembangunan dari negara ini. Alasan paman,
karena beliau tidak ingin terlihat bodoh di hadapan semua orang, jadi, aku
harus membantunya.
“Saya
ingin menjadi kepala desa di tempat ini.” Jawaban paman Budi setiap saat. Paman
Budi harus benar-benar terlihat seperti orang berpendidikan, jadi, siang malam
beliau terus saja berguru terhadapku. Sekalipun, kemampuan di dalam diriku
berada pada standar terbawah, namun, saya tetap berusaha menjelaskan beberapa
hal dan mengikuti semua kemauan paman Budi.
“Dunia
pendidikan membutuhkan beberapa ide-ide terbaru, tidak berarti yang ada di
depan mata sekarang terlihat biasa saja. Melainkan, Indonesia berada di bawah
standar akan permasalahan jalur pendidikan. Permasalahan lebih parah, adalah
pemerintah membiarkan orang-orang berkompeten dengan tingkat kualitas kemampuan
tinggi di ambil oleh negara lain. Inilah kelemahan pemerintah, tidak adanya
dukungan terhadap generasi untuk berkarya. Bahkan lebih parah menganggap remeh
atau memandang sebelah mata tentang kemampuan rakyatnya sendiri.” Jawabanku
berusaha menghubungkan penyataan paman Budi pada area pendidikan.
“Lantas,
bagaimana dengan situasi bibit-bibit penerus berada pada jalur pergaulan
negatif hingga merusak masa depan. Aborsi, narkoba, pelecehan seksual, sek
bebas, keterikatan akan hal-hal berbau kriminal dan lain sebagainya terus saja
bermain bermain di negara ini?” pertanyaan paman Budi.
“Paman
ini hanya mau jadi kepala desa, lo kok pertanyaannya mpe ke akar-akar gitu.”
Tanyaku keheranan.
“Jaya,
apakah kau tidak sadar menjadi kepala desa itu harus benar-benar jenius,
mengerti dunianya bibit-bibit penerus demi kemajuan desa ini.” Jawaban paman
berambisi amat jadi kepala desa...
“Pemerintah
harus tahu mengarahkan, membentuk bibit demi kemajuan pembangunan, tidak saling
menyalahkan serta asal berkata darurat...Permasalahan lebih parah dengan aturan
HAM, sebenarnya tidak ada yang salah, hanya saja, permasalahan disini selalu
dipergunakan salah oleh pihak tertentu.” Ujarku.
“Maksudnya?”
tidak mengerti tentang pembicaraanku.
“Salah
satu contoh kecil, permasalahan dunia pendidikan tidak dapat melakukan tindak
tegas dengan memberi hukuman terhadap murid. Sementara, emas ada diujung rotan
ucap mami sekalipun belia tidak menganggapku lagi sebagai anak sekarang.”
Jawabku menunduk.
“Jelaskan
arti tentang emas ada di ujung rotan?” benar-benar paman Budi pertanyaannya
terus saja dimainkan.
“Seorang
anak tidak dapat terbentuk, tanpa sebatang rotan sejak kecil, itulah perkataan
mami. Selama bersifat membentuk dan tidak melewati batas, hanya sekedar
mencubit atau memukul telapak tangan seorang anak semua itu tidak menjadi
masalah demi mengajarkan kata disiplin. Pada dasarnya, anak zaman sekarang
semakin orang tua bertindak keras makin melawan. Tapi untuk dunia pendidikan
juga terhadap orang tua, harus tetap menggunakan sebatang rotan untuk
membentuk. Itulah yang dikatakan mami.” Ucapanku.
“Namun,
pada saat membentuk menggunakan sebatang rotan harus tetap bijak dan pada
tempatnya. Permasalahannya adalah para orang tua membawa salah anak mereka ke
hal-hal, dimana bersifat memanjakan. Akhir cerita, dunia bibit-bibit penerus
menjadi tidak memiliki arah dan terlihat rusak.” Tambahanku lagi.
“Lantas,
bagaimana dengan hukuman kebiri terhadap para pemerkosa ataupun tersangka kasus
pelecehan seksual, yang diterapkan oleh pemerintah?” pertanyaan paman lagi.
“Pemerintah
tidak bisa seenaknya berkata darurat, tanpa bijak melihat akar permasalahan.
Pondasi seorang anak adalah agama dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan dan
terlihat dari hal-hal buruk. Permasalahan disini, yaitu penggunaan teknologi ke
jalur salah, hingga merangsang hal-hal berbau pornografi. Pembicaraan negatif
dalam suatu dialog dapat pula merangsang daya seksual secara medis, hingga
terjadi kasus pemerkosaan. Selain itu, kurangnya perhatian terhadap anak,
narkoba, minuman keras, dan banyak lagi.” Kalimatku.
“Jika
hal-hal sejenis ini tidak dapat di tanggulangi maka permasalahan pelecehan
seksual akan tetap bermain di negara ini. Permasalahan hukuman kebiri tidak
pernah bisa menyelesaikan masalah, karena akar permasalahan sebenarnya tidak
dihancurkan.” Tambahan penjelasanku lebih lanjut.
Paman
Budi tidak lagi kembali bertanya, “cukup untuk hari ini” ucapnya.
Beberapa
hari ini, dia gencar-gencarnya mengadakan kampanye sehingga seluruh warga mau
memilihnya sebagai kepala desa. Beliau terus saja belajar dan mengajukan berbagai
pertanyaan yang tidak dipahaminya. Menyuruhku untuk mencari berbagai
istilah-istilah yang tidak dimengertinya, kemudian menjabarkan ke dalam ratusan
halaman hingga membuatku stres bertubi-tubi. Terkadang, saya berpikir
sebenarnya paman atau saya yang lagi mencalonkan diri atau gimana cerita...?
Akhir
cerita, tibalah pemilihan kepala desa yang selama ini dinanti-nantikan oleh
para kandidat. Namun, apa yang terjadi setelah diberitahukan hasil pemilihan
suara, paman Budi tidak memenangkan pemilihan tersebut. Siang malam, paman Budi
terus saja belajar dan belajar berusaha sebaik mungkin, tapi kalah dalam
pemilihan kepala desa. Lebih parah lagi, beliau menyalahkan saya atas kejadian
tersebut. Karakter paman yang kemarin berbeda dengan sekarang. Paman terlihat
sangat kejam bahkan melakukan berbagai hal-hal kasar terhadap diriku. Berteriak
di depan para warga, tentang masa laluku di kota dan lain sebagainya.
“Anak
ini berada disini, karena telah meniduri, memperkosa banyak wanita. Hati-hati
anak gadis kalian semua, jangan sampai menjadi korban...” teriakannya di depan
para warga.
“Ada saat dimana seseorang akan mengalami
gelombang ombak, kembali kepada diri sendiri...apakah akan terlalihat lemah
atau kuat.” Ucapannya terngiang terus di telingaku, membuatku tidak dapat
berkata-kata sedikitpun. Paman Budi tidak langsung puas atas semua yang
dilakukannya, dia menuduhku mencuri banyak uang di rumah kepala desa terpilih.
Apakah ini sebagai aksi balas dendam karena tidak terpilih sebagai kepala desa
dan terus saja menyalahkanku?
Paman
ingin mengusir semua anak yatim dari rumahnya ke jalan. “Tuhan, apa yang harus
kulakukan?” jeritan hatiku. Berjalan ke arahnya dan memohon untuk tidak
mengusir semua anak-anak yatim.
“Apa
yang harus kulakukan, agar paman tidak membiarkan mereka tinggal di jalan?”
pertanyaanku.
“Hal
yang harus kau lakukan sekarang adalah membayar semua kerugian besar, karena
saya tidak terpilih menjadi kepala desa di tempat ini.” Ujarnya.
“Kau
harus mengambil kunci rumah tempat tinggal anak yatim ini menggunakan mulutmu
di lumpur ini.” Kalimat paman Budi melemparkan sebuah kunci dan jatuh tepat
pada lumpur basah bercampur kotoran manusia. Saya tidak tahu harus berbicara
ataukah melawan?
“Kenapa?
kau tidak bisa merendahkan dirimu sendiri demi tempat tinggal mereka?”
Kedua
lututku bertelut ke sebuah lumpur bercampur kotoran manusia, mengambil kunci
tersebut menggunakan mulutku hingga seluruh wajahku penuh kotoran menjijikkan.
Senyuman kemenangan terukir pada wajahnya. Menyuruhku mencium kedua kakinya
demi sebuah harga diri...hatiku begitu sakit, melakukan hal tersebut...
“Kau
harus mengakui kesalahan yang tidak dilakukan olehmu melalui rekaman ini demi
anak-anak yatim.” Tatapan sinis paman Budi terus saja bermain.
“Sayalah
yang telah mencuri uang di rumah kepala desa karena tidak tahan hidup dengan
penderitaan.” Berusaha menahan bulir kristal pada sepasang bola mataku saat
ini.
“Apakah
kau sadar, kalau saya orang yang telah menyebarkan fitnah terhadap orang tuamu
dan lain-lain saat masih berada di kota. Saya juga menaruh obat tidur dan
membuatmu berfoto dengan seorang wanita, hingga kau harus dipecat dan banyak
lagi.” Ucapan paman semakin membuat goresan luka pada kedalaman paling dalam...
“Kenapa
saya tidak pernah bisa membencimu,?” suara hatiku berbicara jauh di dasar
paling dalam, hanya terus mengingat sebuah kalimat darinya saat pertama kali
berada di desa ini. Paman Budi mengatakan tentang permasalahan di balik
peristiwa kemarin.
“Semua
ini kulakukan demi mencalonkan diri sebagai kepala desa di tempat ini, secara
tidak sengaja melihat seseorang yang tepat untuk mempermudah jalanku
memenangkan pemilihan tersebut. Tapi, apa yang kudapat, kau menghancurkan
semuanya?” ucapannya dengan nada begitu membenciku. Menghalalkan segala cara
hanya demi menjadi kepala desa...
“Ada saat dimana seseorang akan mengalami
gelombang ombak, kembali kepada diri sendiri...apakah akan terlalihat lemah
atau kuat.” Kata-kata paman terus saja terngiang pada kedalaman hatiku.
“Tuhan,
Tuhan, Tuhan...” hanya kata-kata itu yang dapat ucapkan di dasar hati saat ini.
Paman Budi menelpon polisi dan membawa rekaman tersebut ke hadapan masyarakat
serta kepala desa. Saya harus mendekap dalam penjara selama beberapa bulan,
tanpa seorangpun datang melihat keadaanku.
”
Tuhan, akan membuatmu kuat dari sekarang sampai kapanpun juga. Jaya Guntur akan
membuat irama dalam langkah perjalanannya apa pun yang terjadi, sekalipun air
matanya terus mengalir tidak berarti dia akan terlihat lemah.” Tidak tahu
kenapa, ucapan doa pria tua di rumahku kemarin terus saja terngiang setiap
saat.
Berada
dalam sel penjara bersama dengan begitu banyak napi dimana memiliki karakter
berbeda-beda. Butiran kristal terus saja bermain, sekalipun saya berusaha keras
dengan sekuat tenaga menghentikannya. “Kenapa saya tidak bisa mengehentikan
butiran kristal ini dari wajahku.” Jerit Hatiku.
“Kenapa
terus saja mengalir membuatku terlihat lemah di hadapan siapapun sekarang?”
suara hatiku menggema, saat semua orang tertidur pulas dalam sel penjara saat
ini. Seseorang dapat menjadi kuat atau lemah, saat gelombang bermain tanpa
pernah berhenti di suatu area.
BAGIAN
SEMBILAN...
REYNAND...
Air
mataku tiba-tiba saja mengalir melihat keadaan Jaya sekarang ini. Air mata
paman Budi seakan ingin terjatuh begitu kuat di hadapan Jaya, namun, beliau
berjuang keras untuk tidak membiarkan hal tersebut terjadi.
“Paman,
jangan jadi manusia paling lemah.” Tegurku melalui saluran celuler dengan layar
besar di meja kerjaku setiap hari.
“Reynand,
bagaimana bisa saya harus melakukan semua ini. Anak itu benar-benar menderita.”
Sebutir kristal terjatuh pada dari sepasang matanya.
“Anak
itu harus belajar menghadapi berbagai permasalahan dari terkecil hingga paling
mengejetkan dunianya. Kelak, dia akan diperhadapkan tentang permasalahan
tertentu, apakah melihat keegoisannya atau kepentingan banyak orang. Apakah di
dalam dirinya dapat berkorban luar biasa bagi mereka yang lemah atau tidak sama
sekali?” Kata-kataku terhadap paman Budi.
“Reynand,
seandainya kau yang berada di sana, melihatnya mengambil sebuah kunci
menggunakan mulut sekitar area lumpur bercampur kotoran manusia...hatimu pasti
sakit dan ingin menangis sekeras-kerasnya.” Ucapannya lagi.
“Untung
saja, paman tidak benar-benar menangis masih terlihat kejam. Habislah kita berdua
kalau itu sampai terjadi. Nara akan mengamuk besar dari sana...” Gerutuku.
“Apakah
hanya jalan ini saja yang dapat dipakai, tidak ada jalan lain?” pertanyaan
paman Budi kembali.
“Tidak
ada jalan lain paman, coba perhatikan kondisi Indonesia, apakah sudah membaik
hanya dengan mengandalkan bicara semata, ijazah, kejeniusan, kampus terbaik?”
pertanyaanku kembali.
“Paman
Budi sama saja dengan paman Hosea seperti anak perempuan terlalu lemah,”
tegurku.
“Reynand,
kalau saya lemah tidak mungkin sekarang Jaya berada di penjara...” pembelaan
paman Budi tidak bisa menerima pernyataan tersebut. Kisah perjalanan Brayn dan
Jaya sebelas dua belas, sama seperti hati kedua orang yang sedang mempermainkan
mereka beda-beda tipis...
“Sekitar
2 atau 3 bulan, kita akan mencari cara untuk mengeluarkan Jaya dari penjara.”
Ucapanku terhadapnya lagi.
“Apakah
Nara sudah menjelaskan kelanjutan ke depan setelah melewati semua proses ini?”
pertanyaan paman.
“Pokoknya
semua beres, dimulai dari materi-materi untuk mengarahkan/membentuk wawasan
mereka masing-masing. Saya juga sudah menjelaskan kepada Nara tentang potensi
masing-masing dari mereka. Akhir lanjutan, dia akan membagi mereka ke beberapa
bidang. Tapi, mereka semua harus menguasai 4 bidang penting.” Penjelasanku
lagi.
“Paman,
jangan terlalu terbawa perasaan, berdoa saja agar Jaya mampu melewati semua
ini.” Tegurku terhadap paman Budi. Skenario luar biasa, dimulai membuat fitnah
hingga keluarga Jaya tidak lagi menganggapnya sebagai anak. Secara kebetulan,
sekitar kampung paman Budi akan di adakan pemilihan kepala desa. Dengan alasan
paman Budi mencalonkan diri sebagai kepala desa serta memainkan skenario paling
sempurna. Sebenarnya, paman Budi bisa saja menang pada pemilihan tersebut,
namun, dengan kesengajaan dibuat kalah sesuai perencanaan semula.
Terus
memancing Jaya menjelaskan berbagai istilah dan lain-lain, dengan alasan paman
Budi harus terlihat jenius. Akting luar biasa, bahkan pantas untuk meraih
penghargaan paling bergengsi sepanjang sejarah perfilman. Sementara itu, paman
Hartono berpura-pura menjadi orang biasa serta membuat berbagai alasan tidak
masuk akal untuk menjalankan skenario lain di sebuah provinsi.
Targetnya
adalah Mekar Sari, membuat dia berada dalam situasi paling tersulit sepanjang
perjalanan dalam hidupnya. Lebih parah lagi, paman Hartono menyuruhku masuk
dalam bagian skenario ini, sedangkan meja kerjaku harus memeriksa semua tulisan
tangan mereka. Saya harus menyamar, disaat gadis itu terlilit masalah besar
dengan terus berada disampingnya. Status beristri dan memiliki anak 3, namun,
menyatakan perasaan terhadap Mekar Sari. Mempermainkan perasaan gadis seperti
ini, wajahnya tidak masuk kategori cantik jelita layaknya mis universe atau
para model ibu kota.
“Saya
tidak bisa melakukan ini, paman,” emosiku memuncak.
“Reynand
hanya wajahmu saja yang menjamin, tidak mungkin muka paman Harjo.” Tegur paman
Hartono.
“Cari
saja pria lain, tinggal membayar mereka untuk berpura-pura akting gitu, selesai
kan.” Celotehku.
“Kau
takut sama Nara yah?” kecurigaan paman Hartono mulai menjadi-jadi.
“Tidak
begitu paman, tapi masalahnya...”
“Reynand,
coba pikir kalau memakai orang lain rahasia kita tercium pihak luar, sementara
semua ini harus tertutup rapat. Dan memang wajahmu benar-benar sempurna untuk
alur cerita ini.” Ucapan paman kembali.
“Bagaimana
kalau gadis itu benar-benar jatuh cinta? Apakah itu tidak keterlaluan namanya?”
celotehku.
“Paling
terjadi cinta segi tiga antar kau, Nara, dan gadis itu. Hahahahaha...” godaan
paman Hartono.
“Saya
tidak mau tahu tentang perasaan gadis itu, beri tahu Nara ini semua
perbuatannya dan rasakan akibatnya sendiri...” Gertak paman Hartono.
“Paman...”
emosionalku.
“Semua
gadis mengidolakanmu, bahkan tidak pernah seorangpun menolak ketampananmu.
Untuk kali ini, kau orang paling tepat melakoni skenario tersebut.” Tegas paman
Hartono tidak mau berkompromi. Mau tidak mau harus kujalani. Setelah Mekar
melewati berbagai permasalahan dalam perjalanannya sesuai dengan permainan
paman Hartono maka masuklah saya sebagai pria beristri dengan 3 anak. Nara
harus kembali ke Jakarta dengan terpaksa sebagai pengganti saya di depan layar.
Memeriksa seluruh lembar kerja mereka, mengarahkan semuanya, serta mempersiapkan
beberapa artikel lagi...
Awalnya,
Nara sedikit keberatan, namun, ini memang skenario darinya jadi harus menerima
kenyataan...Membuang perasaan cemburu dan membiarkan saya menjalankan skenario
ini. Memangnya, sejak kapan seorang Nara menjadi gadis cemburuan? Yang ada juga
saya selalu saja ketakutan dari jarak jauh, kalau Nara menyukai pria lain...
“Lakukan
yang terbaik, bossss” sahut Nara saat mengantarku ke bandara. Sehari setelah
Nara berada di Indonesia, saya pun harus langsung berjalan menuju suatu daerah
tempat Mekar Sari berada membuat sebuah jebakan.
Menyuruh
Nara untuk selfie bersama 3 orang anak, dalam foto tersebut benar-benar
terlihat sebagai keluarga paling bahagia. Tidak seorangpun mengenal siapa Nara
sebenarnya, jadi, kesimpulan, wajahnya dapat menjadi foto keluarga dalam
menjalankan misi sekarang. Mencari cara agar tidak seorangpun mengenalku,
mantan artis yang telah fakum sekian lama alias berhenti sampai kapanpun.
Mekar
Sari tanpa disadari harus berhadapan berbagai hal-hal aneh, bahkan tidak
seorangpun mendekatinya. Paman Hartono tidak seperti yang lain masih memberikan
beberapa kalimat bijak untuk menguatkan. Kesengajaan mencuri seluruh isi tas
dari gadis itu perjalanan pulang bekerja. Hingga gadis tersebut, tidak dapat
mengirimkan uang ke kampung juga untuk membayar uang kontrakan serta makanan
sehari-hari.
Mekar
adalah gadis desa yang datang ke kota untuk mencari pekerjaan. Dia bekerja pada
salah satu supermarket kecil di ibu kota provinsi tersebut. Karena tidak
memiliki uang melanjutkan kuliah, sehingga keadaan memaksa Mekar untuk bekerja.
Paman Hosea sendiri bertemu dengan Mekar, saat masih berada di desa tempat
kelahirannya. Setiap tahun, Mekar pulang menjenguk keluarganya. Dia telah
bekerja menjadi spg supermarket kecil sekitar 3 tahun lalu.
Secara
manusia, Mekar Sari tidak seperti yang lainnya dari 34 orang tersebut yaitu
mereka masih sedang atau telah selesai menempuh pendidikan strata satu. Saya
juga tidak habis pikir, kenapa paman Hosea yakin bahwa Mekar adalah pilihan
Tuhan. Menurut ucapan, paman Hosea bahwa ini semua berdasarkan petunjuk yang
dimintanya dari Tuhan. Beliau menjelaskan, kalau Nara pun mempunyai sejarah
kehidupan sama seperti gadis itu. Jadi, jangan pernah meremehkan kemampuan
dalam dirinya, kalau pada dasarnya gadis itu adalah pilihan Tuhan.
Untuk
sekarang ini tidak terlihat apa pun skil dalam dirinya, hanya berbicara
kekurangan dan kekurangan. Namun, suatu hari nanti gadis itu bisa saja
mengagetkan sekelilingnya bahkan lebih unggul dibandingkan 34 orang ini. Paman
Hartono tidak setuju cara yang digunakan membawanya ke desa, karena gadis itu
pada dasarnya berasal desa. Seseorang dengan kesengajaan telah dibayar untuk
melamar pekerjaan pada supermarket tempat dia bekerja. Reynand mencari jalan
agar pemilik supermarket tersebut mau menerimanya bekerja dengan berbagai cara.
Setiap
harinya, Murni dengan sengaja menjelek-jelekkan Mekar di hadapan para karyawan
lain. Murni merupakan seseorang yang telah di bayar untuk menjalankan perintah
ini. Membuat semua orang membenci Mekar dengan mengadu domba dan membuat
cerita-cerita aneh. Mekar mempunyai ilmu-ilmu hitam, ilmu sihir, dan
teman-temannya di belakang. Suatu hari, dengan kesengajaan mencari jalan
menaruh bubuk pada beberapa karyawan di sana, hingga seluruh badan-badan mereka
merah dan bengkak. Di lain hal, seseorang diberikan obat tidur hingga tiba-tiba
pingsan. Selanjutnya, membuat cerita dibalik semua ini merupakan ulah Mekar Sari.
Semua
orang menjauhi Mekar, bahkan bosnya sendiri tidak mempercayai lagi apa pun
perkataannya. Singkat cerita, nama baik Mekar rusak di mana-mana, bahkan
dihadapan para tetangga, rekan kerja, dan seluruh konsumen dari supermarket
tempat dia bekerja. Hingga suatu ketika, Murni ditemukan meninggal depan
sekitar ruang gudang tempat dia bekerja. Saya dan paman Hartono sengaja membuat
jebakan, menaruh percikan darah pada tubuh Murni hingga seluruh tubuhnya hanya
terbungkus darah segar seakan seperti telah tertikam benda tajam. Mencari jalan
agar Mekar memasuki gedung tersebut dan membuat dirinya memegang sebuah pisau
tajam.
“Mekar
telah menusukku menggunakan benda tajam di tangannya.” Tangan Murni menunjuk
Mekar di hadapan para karyawan dan bosnya sebelum pingsan.
“Kau
telah membunuh Murni” teriak bosnya tiba-tiba terkejut melihat begitu banyak
darah sekitar gudang tersebut. Membuat skenario, bahwa Murni dinyatakan
meninggal saat perjalanan menuju rumah sakit terdekat.
“Kerjamu
sangat bagus, pergilah dari kota ini sejauh mungkin bahkan larilah ke ujung
dunia dimana tidak seorangpun melihatmu. Tunggu sampai waktu yang ditentukan,
kau kembali lagi ke sini.” Kalimat paman Hartono terhadap Murni sambil
menyerahkan sejumlah uang kepada gadis tersebut. Sementara itu, saya harus
mengambil mayat lain sebagai pengganti Murni dan berpura-pura menjadi dokter.
Mengatur semua skenario termasuk memasukkan target pada jebakan paling
dramatis.
Mekar
harus mendekam di penjara sekarang, tidak seorangpun datang menjenguk bahkan
keluarganya di kampung tidak menyadari permasalahan sebenarnya. Saya sendiri
menyamar sebagai seorang dokter paling tampan sedunia menjenguk Mekar Sari.
Mulai membuat cerita konyol...
“Apakah
kau gadis itu, maksud saya Mekar Sari...” sapaku terhadap Mekar mulai
berbicara. Dia hanya mengangguk, setetespun air matanya nampak. Mulai memancing
agar dia mau berbicara tentang keadaan sebenarnya saat kejadian tersebut
terjadi. Memperkenalkan diri sebagai dokter yang melakukan otopsi terhadap
mayat Murni.
“Saya
tidak tahu kenapa ingin berbicara denganmu di penjara, seakan ada sesuatu yang
mendorongku untuk percaya bahwa kau bukanlah pelaku dari peristiwa pembunuhan
ini.” Ucapanku mulai memegang jemari tangan Murni. Setiap hari, datang
berkunjung ke sel penjara untuk menemui gadis itu. Menyamar sebagai dr. Abdir
berstatus pria beristri dan mempunyai 3 anak. Siapa sih tidak terpesona akan
ketampanan wajahku, semua pasti akan menggelepak-gelepak dalam sekejap.
Membuktikan akan iman Mekar seperti apa?
Di
saat semua orang pergi menjauh, saya ada memperkenalkan diri dan mau menjadi
sahabat terbaiknya. Saat semua orang menganggap Mekar sebagai pembunuh, saya
pun selalu ada untuknya dan percaya kalau dia bukanlah pelaku sebenarnya.
Disaat semua orang bahkan ketika keluarga menyadari deretan peristiwa
permasalahan gadis itu, mereka semua membuangnya dan menganggap sebagai sampah
masyarakat, saya selalu ada memberikan kekuatan serta berbagai nasehat.
Berjuang agar Murni keluar dari sel penjara, bagaimanapun caranya itulah yang
kulakukan.
Gadis
itu baru menyadari, setelah saya setiap saat berada di sampingnya selama 2
bulan penuh tentang statusku yang telah menikah. Terlihat pada wajah Mekar rasa
kecewa luar biasa, dikarenakan tanpa disadari bahwa perasaan suka bahkan lebih
mulai muncul dari hatinya. Perasaan bersalah terus saja menghantui pikiranku,
tapi, hal seperti ini harus kujalankan apa pun resiko di depan mata. Membuat
gadis itu patah hati dan semakin terluka oleh sebuah keadaan.
“Wow,
aktingmu benar-benar keren,” kalimat Nara lewat sambung telpon.
“Kau
cemburu, bukankah ini yang kau inginkan bos...” perkataanku membalasnya.
“Kamusku
tidak pernah terdapat kalimat cemburu, bos...” ucapannya.
“Gadis
mungil, yang kukasihani sekarang adalah gadis itu harus patah hati. Tapi, lebih
menyebalkan lagi, sikapmu tidak pernah menampakkan rasa kesal saat saya
berdekatan dengan seorang wanita.” Gumamku menatap foto Nara.
“Halo,
Reynand sudah dulu...” ucap Nara memutuskan sambungan telpon. Nara selalu saja
seperti itu...Saya berhasil membuat permainan dan terlihat sebagai malaikat
penolong bagi kehidupan Mekar. Paman Hartono bekerja sama dengan kepala polisi
di tempat tersebut untuk membuat jebakan. Beberapa jenis alasan di sampaikan
terhadap kepala polisi di tempat itu, tanpa rasa curiga sedikitpun.
“Akhirnya,
kau bebas dari penjara,” senyumanku menebar pesona menggenggam jemari tangan
Mekar. Saya sadar betul, bahwa gadis itu menyimpan perasaan mendalam terhadap
diriku. Membawa Mekar ke rumah, dimana merupakan tempat menguji kedalaman
imannya. Alasan bahwa, istri saya sedang menjenguk orang tuanya di luar negeri
bersama ke tiga buah hati kami. Di rumah itu, terpajang foto pernikahan saya,
saat bersama ketiga anak-anak paling cute sedunia sesuai skenario sebelumnya.
Di rumah hanya terdapat saya dan Mekar, sedangkan paman Hartono menyamar
sebagai pemotong rumput.
“Kenapa
dokter Abdir menolong saya sampai detik ini?” pertanyaan Mekar memegang segelas
air di ruang makan dari rumah ini.
“Karena
kami ingin melihat imanmu sampai dimana? Apakah seorang Mekar berhasil
mempertahankan imannya atau terjebak cinta pria tampan berstatus telah menikah
dan memiliki 3 anak. Banyak orang jatuh ke dalam pencobaan karena pemandangan
mata.” Celotehku di dasar hati.
“Kenapa
dokter diam?” ucapannya kembali,
“Karena,
sejak awal melihatmu tidak tahu kenapa hati saya berkata bahwa kau bukan pembunuh.
Jauh sebelum peristiwa pembunuhan tersebut, saya selalu memperhatikan dirimu di
supermarket tampatmu bekerja.” jawabanku menjelaskan alasan tertentu. Berkata,
bahwa saya selalu memperhatikan dia saat bekerja,hanya saja Mekar tidak pernah
menyadari hal tersebut. Membuat dia terpesona akan ketampananku setiap saat. Beruntung,
Mekar tidak mengenal identitasku yang merupakan mantan artis ibu kota kemarin. Tidak
terlalu sulit memancing dia menulis tangan ratusan penjelasan akan beberapa
hal. Tidak ada kecurigaan sedikitpun dalam dirinya dan membuat pelbagai
pertanyaan. Sementara itu, Nara memeriksa seluruh jawabannya melalui beberapa
sistem.
“Reynand,
coba arahkan dia menjelaskan pernyataan media dan para tokoh-tokoh tertentu.
Hati-hati, jangan sampai dia menyadari sesuatu hal sedikitpun.” Pesan Nara
melalui pesan email. Berusaha mencari cara, agar Mekar mencoba menjelaskan
tentang beberapa situasi. Alasan sederhana kugunakan yaitu saya ingin
mempelajari banyak hal...
Setelah
berhasil memancing wawasan dalam dirinya. Saya memulai aksi luar biasa terhadap
gadis tersebut. Memegang jemari tangannya setiap saat, sekaligus membuat Nara
panas luar biasa, hahahahahahahaha... Mekar tersadar dan berusaha menjauh,
sekalipun terlihat bahwa jauh di dasar hatinya benar-benar memendam perasaan
suka terhadap pria beristri. Pertengahan malam, dengan kesengajaan menyusup ke
kamar dan membuat Mekar terbangun. Di sinilah imannya akan terlihat sampai
dimana..
“Saya
sudah menyukaimu sejak pertama kali melihatmu...” ucapanku terhadapnya. Saya
masih berusaha menjaga sedikit jarak, namun, sesekali memegang tangan serta
punggungnya. Siapa sih, yang tidak bisa jatuh dalam pesona Reynand, terlebih
berperan sebagai dokter. Mekar berusaha menjaga jarak dengan berjalan mundur ke
belakang.
“Dokter
sudah menikah, jadi semua itu tidak mungkin...” kalimatnya.
“Saya
tidak peduli dengan status pernikahan, intinya saya menyukai dirimu. Kalau
dipikir-pikir, pernikahanku sudah berada diujung tanduk dan tidak bisa
dipertahankan lagi.” Mimik kesedihan terpampang di wajahku. Menjelaskan, kalau
setiap hari saya dan istri selalu saja bertengkar, sekalipun kami telah
memiliki 3 anak. Berkata, saya tidak pernah bahagia dengan pernikahan kami
karena tidak berlandaskan cinta.
Mekar
tetap berpegang teguh pada pendiriannya, tidak akan menjalin hubungan gelap
sedikitpun. Berlari untuk keluar dari kamar tersebut. Beruntung saja dia
keluar, mana mungkin saya membuat hal menjijikkan terhadap gadis itu. Setiap
hari terus-menerus menggoda Mekar, supaya mau menjalin hubungan terlarang.
Mekar berusaha untuk keluar dari rumah, namun, saya berjuang untuk tidak
membiarkan hal tersebut. Hingga suatu ketika gadis itu kembali terjebak oleh
perangkap. Di tuduh percobaan pembunuhan, dan secara kebetulan Mekar ada di
tempat tersebut serta kembali secara tidak sengaja memegang botol pecah
berlumur darah. Tukang kebun yang diperankan oleh paman Hartono, berusaha
menggodanya dan membuat jebakan seolah-olah Mekar berusaha melakukan pembunuhan
terencana.
“Apa
yang terjadi?” ucapku terkejut melihat begitu banyak darah sekitar ruang tamu.
Polisi
tiba-tiba saja datang ke rumah, dan menangkap Mekar dengan tuduhan percobaan
pembunuhan. Saya mengaku tidak pernah menelpon polisi sebelumnya, dan tidak
tahu menahu akan hal tersebut. Mekar kembali mendekap dalam tahanan sel, namun,
kali ini si’korban kritis di rumah sakit dan belum sadarkan diri. Kembali
menjadi orang yang akan selalu ada untuk Mekar disaat badai terhebat menerpanya
secara bertubi-tubi.
“Berhentilah
memperdulikan diriku, dokter.” Tangisnya pecah.
“Saya
cinta Mekar, bahkan saya akan berjuang membebaskan dirimu...” perkataanku.
“Dokter
sudah menikah. Coba berpikir, andai kata saya berada di pihak istri dokter
bagaimana perasaannya.” Air matanya terus saja jatuh. Memperlihatkan kata tidak
menyerah untuk datang menjenguknya dan berusaha menolongnya.
“Kalau
boleh jujur, saya juga menyukai dokter, kenapa? Saat semua beban mendekap,
hanya dokter yang selalu ada. Tapi, saya bukan perempuan murah menjalin
hubungan dengan pria beristtri.” Air mata Mekar terus saja mengalir tidak tahu
harus berbuat apa pun.
“Katakan
padaku, apa yang harus kulakukan dokter?” tangisnya makin pecah setiap saat.
Memperhadapkan Mekar 2 pilihan, menolong dengan persyaratan akan menjalin
hubungan asmara, atau tetap di penjara? Entahlah, skenario paling mengerikan,
berusaha mempermainkan gadis polos di hadapanku.
“Biarlah
saya tetap di penjara, dan jangan pernah berada di hadapanku lagi. Seumur hidup
saya tidak akan melupakan kebaikan anda. Sekalipun rasa suka bahkan terlalu
mendalam juga terhadap anda, namun, saya tidak mau jatuh dalam sebuah dosa
besar. Jauh lebih baik mendekam di penjara dibandingkan bersama anda.” Air mata
kepedihan terus saja mengalir. Rasa sayang untukku benar-benar terpancar pada
matanya. Namun, dia tetap bertahan untuk tidak akan pernah menjalin hubungan
asmara sedikitpun.
“Tuhan,
ampuni saya telah mempermainkan perasaan gadis ini, berpura-pura menyukai
dirinya hingga menancapkan goresan luka bagi perjalanannya.” Jeritan hatiku
memandang dirinya yang terus saja mengalirkan air mata kepedihan. Sampai
kapanpun Reynand hanya akan menyayangi Nara bukan gadis lain. Skenario ini,
cukup sampai disini, dan saya tidak akan menampakkan batang hidungku di hadapan
Mekar.
“Reynand
hanya menyukai Nara seumur hidupnya,” menatap foto Nara saat terduduk dalam
sebuah ruangan sunyi.
BAGIAN
SEPULUH...
MENARA...
Ada
denganku, seakan merasakan perasaan aneh saat melihat Reynand terus bersama
gadis tersebut. Jujur, rasa bersalah juga membungkus duniaku menjadikan Reynand
sebagai umpan dan akhir cerita mempermainkan perasaan Mekar. Jauh di dasar hati
paling dalam, rasa sayang untuk Reynand berakar kuat sampai kapanpun juga. Saya
tidak pernah mengenal dunia seorang laki-laki, hingga pada akhirnya
dipertemukan olehnya. Melihat perjuangannya untuk belajar tentang banyak hal,
hingga memperlihatkan iman luar biasa dalam diri Reynand. Untuk pertama kali dalam
nafasku, mengenal kata pacaran setelah perjuangang Reynang selama beberapa
tahun terhadap pembuktian akan sesuatu hal.
Mendengar
Mekar berkata jujur tentang perasaan mendalam terhadap Reynand, membuatku tidak
dapat berkata-kata. Memerintahkan Reynand agar tetap melanjutkan sandiwara
tersebut, sekalipun luka mendalam tertancap hebat membuat goresan tersendiri
diantara kami bertiga. Tangisan Mekar terus saja pecah setiap saat, luka
tentang perasaannya paling mendalam jauh lebih menyakitkan dibandingkan tuduhan
kasus pembunuhan.
“Nara,
bagaimanapun perasaan Reynand sekarang, bijaksanalah mengambil sikap.” Ucapan
paman Harjo tiba-tiba, tidak menyadari kehadirannya...
“Saya
tidak selemah yang paman bayangkan,” balasan terhadap tutur kata beliau. Saya
tidak tahu sekarang, apakah Reynand benar-benar menyukai gadis tersebut?
Kalaupun itu terjadi, berarti saya harus siap menerima segala hal di depan
mata. Merelakan dia untuk pergi bersama gadis lain suatu hari kelak. Jika
memang Reynand bukan jodohku, berarti Tuhan akan memberikan jauh lebih baik
suatu hari kelak.
Permasalahan
pribadi, tidak dapat dibawah ke dalam hal seperti ini. Gadis itu benar-benar
menjadi pemenang, sekalipun mengorbankan perasaannya. Andai kata, suatu hari
kelak dia menyadari Reynand belum menikah, bahkan mereka sama-sama saling
menyukai, saya akan siap menerima segalanya hal...merelakan dia untuk orang
lain...
“Andai
kata, kita tidak berdua tidak ditakdirkan bersama, saya akan siap menerima
kenyataan tersebut. Jodoh berada di tangan Tuhan, dan saya tidak memaksakan
kehendak.” Kata-kataku di dasar hati.
Setelah
beberapa bulan melewati proses demi proses yang terus saja berjalan. Akhirnya,
34 orang ini akan berpencar ke beberapa tempat tanpa pernah tahu maksud dan
tujuan dibalik hal tersebut. Mereka yang berada dalam sel penjara akan
dikeluarkan. Selama beberapa bulan Brayn terpasung akibat permainan kami,
sekaranglah saatnya untuk membebaskan dia. Bahkan beberapa dari mereka berada
di hutan seorang diri, menjadi tarsan akibat rekayasa skenario.
“Nara,
apakah pasport serta dokumen-dokumen tentang mereka telah siap?”pertanyaan
paman Hosea.
“Semua
telah dipersiapkan jauh sebelumnya, jadi, tidak usah takut.” Jawabanku.
Beberapa dari mereka akan dikirim ke beberapa negara paling termiskin di dunia
ini demi memasuki petualangan terbaru. Ada pula akan terkirim ke beberapa
negara memiliki tempat bersarangnya penyakit-penyakit menular. Tujuannya adalah
bagaimana memberikan kekuatan serta memperlihatkan belas kasih dengan tulus
hati. Berada di negara-negara yang memiliki angka kejahatan paling tinggi,
apakah terbawah arus kehidupan atau sebaliknya tetap berada pada jalur Tuhan.
Ada begitu banyak cobaan arus hidup menanti perjalanan mereka kelak. Jangan
karena beberapa dari mereka terbawah arus kehidupan, hingga akhir cerita
mengorbankan begitu banyak orang dari negara Indonesia ataupun lainnya.
“Nara,
apakah kau akan kembali ke Jerman setelah 34 orang ini berada di tempat yang
telah ditentukan?” pertanyaan Reynand terhadapku.
“Tentu
saja, saya harus menyelesaikan studiku, masalahnya mereka berada di sana kurang
lebih setahun lamanya. Setelah hal tersebut, mencari tempat membentuk wawasan
masing-masing dari mereka.” Jawabanku.
“Mekar
akan di tempatkan dimana?” pertanyaan Reynand menyadarkanku tentang suatu
perasaan suka tumbuh begitu kuat dalam nafasnya.
“Akan
di tempatkan pada suatu negara dengan penduduk dimana terbungkus oleh berbagai
jenis kejahatan, sex bebas, narkoba, pembunuhan, pelacuran, dan lain
sebagainya.” Kalimatku.
“Apakah
itu tidak berlebihan, sedangkan dia adalah seorang gadis lugu?”
“Reynand,
justru hal seperti itu harus dilakukan, kenapa? Terkadang gadis-gadis seperti
Mekar saat berada di atas akan kaget terhadap berbagai pergaulan, jadi, dia
harus belajar tetap bertahan pada jalan lurus, atau mengikuti arus
menjijikkan.” Jawabanku terhadapnya.
“Tidak
usah takut, kalau memang dia pilihan Tuhan pasti tidak akan terjadi sesuatu apa
pun. Bahkan seseorang telah dikirim untuk terus memantau dari kejauhan, jika
seorangpun tidak dapat berbuat jahat terhadap gadis itu.” Kalimatku sekali lagi
meyakinkan dirinya.
Sesuai
perencanaan mengirim mereka, telah dilaksanakan. Satu sama lain belum pernah
bertemu, akan dipertemukan setelah setahun melewati proses terpanjang dalam
hidup mereka. Rencana semula Jaya akan tetap berada di Indonesia, hanya saja,
kurang tepat, karena saya masih menginginkan mencari sesuatu di dalam dunianya.
Akhir cerita, Jaya di tempatkan pada sebuah negara dengan rata-rata penduduk
mengidap penyakit menular, bahkan tidak seorangpun dapat bertahan disana. Jaya
harus belajar tanpa membeda-bedakan siapapun di hadapannya suatu hari kelak. Apakah
dalam dunia Jaya tetap mempunyai perbedaan untuk membuat perubahan bagi
sekelompok manusia dalam lingkaran tertentu...
Membuat
skenario sehingga tidak seorangpun tentang perjalanan ke suatu tempat untuk membuat
petualangan. Berada di negara paling termiskin bagi mata dunia, itulah sekarang
terjadi terhadap perjalanan Brayn. Indonesia masih hidup pada garis kemiskinan,
bagaimana dunia Brayn berhadapan terhadap hal-hal seperti ini? Apakah menjadi
manusia paling munafik berpura-pura tulus demi sesuatu hal? Ataukah memandang
banyak orang di sekelilingnya bukan karena pencitraan melainkan benar-benar
berasal dari dasar hatinya paling terdalam. Siapa sih, yang dapat mengukur
kedalaman hati manusia selain Tuhan...
“Bertahanlah
dan buatlah sebuah cerita, dimana mataku tidak dapat berkedip oleh karena kisah
hidupmu selama setahun.” Kata-kata seperti itu saja yang dapat kulontarkan jauh
di dasar hatiku sekarang ini...
“Memperlihatkan
bahwa kau layak menjadi pemimpin dan memasuki deretan tokoh-tokoh penting.
Membuktikan kepada Indonesia kalian orang paling tepat memperbaiki negara ini
suatu hari nanti...bersabarlah dan terus berjuang,” kembali suara hatiku
menggema.
Tuhan
tidak pernah buta terhadap sebuah perjuangan. Siapa yang dipilihnya dan apakah
perjalanannya membuat sebuah gerakan pemulihan secara besar-besaran. Bukan
hanya sekedar berbicara di depan umum, menjadi manasia munafik, melainkan
benar-benar memperlihatkan karakter tersendiri terbungkus ketulusan...
BRAYN...
Kenapa
saya bisa berada di negara orang lain dan menjadi penduduk asing? Seingatku, kaki
tanganku masih terpasung tidak berdaya karena mereka semua berkata saya
mengalami penyakit kejiwaan. Secara manusia, berbagai kemarahan tentu saja
bermain, kenapa saya hanya diam seribu bahasa dan tidak dapat berkata-kata? Memandang
orang-orang di sekitarku hidup dan tinggal di sebuah gubuk kecil, berjalan kaki
begitu jauh mengambil air, berpakaian seadanya. Warna kulit mereka begitu
gelap, makan seadanya tanpa pernah berkata-kata akan berbagai pertanyaan
tentang penderitaan...
Wajah
anak-anak di sekitarku sedang bermain, tertawa lebar tanpa harus membayangkan
kenapa Tuhan menciptakan diriku terbungkus penderitaan dikarenakan kemiskinan
atau hal mengerikan lainnya? Tempatku berpijak sekarang, mempunyai kehidupan sangat
mengiris hati. Kesekian kalinya seseorang mengirimkan secarik kertas...
“Menjadi
pribadi berbeda di mata Tuhan membutuhkan perjuangan. Jadilah sinar, dimana
kakimu sedang berpijak sekarang. Menyayangi tanpa pernah berpikir tentang
perbedaan. Mendekap tanpa pernah bercerita tentang kemunafikan. Mengahapus air
mata mereka, bukan untuk mendapat pujian, melainkan karena ketulusan hati.”
Kata-kata pada secarik kertas terdapat dalam saku celanaku. Tidak merasakan
kasih sayang seorang ibu semenjak usiaku masih terbilang kecil. Papa meninggal
dan saya tidak memiliki sahabat, perusahaanku diambil hingga akhir cerita
berada di jalan tanpa sepersen uangpun. Menjadi petani, bekerja seperti babu,
terhina, bahkan semua orang berkata saya gila, hingga seluruh tubuhku terpasung
pada sebuah rumah kecil. Dan sekarang saya berada di negara asing...haruskah
amarahku meledak, karena seakan langkahku sedang dipermainkan?
Menangis
tidak akan menyelesaikan masalah. Kesekian kalinya saya mencoba belajar
menghadapi sesuatu di depan mata. Belajar untuk tidak pernah marah terhadap
Tuhan dan membuat berbagai pertanyaan. Kembali belajar beradaptasi di tempat
asing jauh dari negaraku sendiri. Belajar menjadi sinar, sekalipun luka terus
saja menancap. Belajar membuat senyum pada wajah mereka dan mengajarkan akan
kekuatan di dalam suatu lingkaran hidup.
“Tetaplah berjuang dan
jangan pernah menyerah tentang sebuah keadaan. Kau harus mempunyai kekuatan
seperti rajawali hingga Tuhan menangis bukan karena kekecewaan besar melihatmu,
melainkan terharu memandang perjalanan dari dunia Brayn tidaklah seperti kebanyakan
orang disekelilingnya.” Kata-kata tersebut terus saja
terngiang di telingaku.
Membuat
Tuhan menangis bukan karena kekecewaan melihat perjalananku, melainkan duniaku
tidak mengenal kata lemah bahkan marah hingga membuat begitu banyak pertanyaan
terhadapNYA. Begitu banyak kesulitan yang kuhadapi, baik dari pola pikir,
bahasa, kepercayaan dan lain-lain selama berada di tempat asing ini. Entah
mengapa, kakiku tidak berusaha mencari jalan untuk keluar dari negara dimana
kakiku sedang berpijak. Belajar tersenyum bersama mereka. Mencari jalan
sehingga dapat mempelajari bahasa dari penduduk tersebut. Menciptakan
kehangatan diantara penduduk, bersama-sama mencari jalan sehingga para penduduk
tidak lagi kesulitan air.
Bersama
mereka membangun sebuah gedung sekolah, mencari kayu serta mendesainnya,
sehingga anak-anak mereka dapat belajar. Tertawa bersama mereka, berjalan
menuju sebuah pasar hingga berjualan hasil kebun jerih lelah penduduk. Seorang
Brayn menyadari warna-warna hidup saat berada di negara asing jauh dari
keramaian.
JAYA GUNTUR...
Secara
tiba-tiba seseorang mengeluarkanku dari sel penjara selama beberapa bulan
mendekam sebagai tahanan napi. Bagaimana bisa, saya seakan terhipnotis
mengikuti segala kemauan pria tak dikenal yang telah menolongku. Mobil pribadi
membawaku ke suatu tempat, saat tersadar ternyata kami telah berada di bandara
pada saat itu. Tanpa berkata apa pun pria tersebut membawaku memasuki pesawat.
Tidak tahu akan berjalan kemana perjalananku saat ini. Lebih parah seseorang
menyuntikkan sesuatu saat berada di pesawat hiingga membuatku tidak sadar
selama 24 jam.
Saat
terbangun, saya telah berada di sebuah desa kecil jauh dari Indonesia. Penduduk
di sekelilingku mayoritas menderita penyakit menular. Ebola merupakan penyakit mematikan dan telah ada sekian tahun
lalu, hanya saja tiba-tiba menjadi pusat perhatian dunia saat ini. Ketakutan
luar biasa menyerangku, berada sendiri tanpa mengenal seorangpun dari penduduk
setempat. Bagaimana jika saya tertular penyakit ini? Apa yang harus saya
perbuat sekarang, Tuhan? Jeritan hatiku memohon...
Saya
menangis sejadi-jadinya di tempat tersebut, berdoa kepada Tuhan di suatu tempat
tidak jauh dari rumah penduduk. Tiba-tiba seseorang berjalan ke arahku dan
menganjurkan menggunakan beberapa pelindung agar tidak terinfeksi terhadap
penyakit tersebut. Salah satu jenis
virus berasal dari gen ebolavirus dan termasuk famili dari filoviridae. Membawaku
ke sebuah rumah sakit kecil untuk menjadi perawat sukarela di tempat tersebut.
Ternyata, orang itu mengerti bahasaku, sebelum menghilang dari keramaian rumah
sakit tersebut, dia mengucapkan sebuah kalimat...
“Jadilah
sahabat dan jangan pernah menjauhi mereka. Menangis tidak akan pernah
menyelesaikan permasalahanmu sekarang.” Kalimat tersebut terlontar dan
setelahnya dia secara tiba-tiba menghilang. Berusaha mempelajari bahasa
penduduk setempat untuk mengerti apa yang mereka ucapkan. Mencari jalan agar
keluar dari negara ini pun tidak pernah ada...
Menjadi
sahabat dan jangan pernah menjauh dari dunia mereka. Seakan ada sesuatu yang
terus mendorongku terus berada di samping mereka. Tidak menjauh memberikan
kekuatan serta merawat mereka semua.
“Tuhan,
jadilah dokter yang tidak terkalahkan bagi penduduk di tempat ini. Mengobati
mereka bahkan tidak akan pernah menjauh sekalipun semua orang menjauh.” Ucapan
doaku menggenggam tangan salah dari pasien di rumah sakit tersebut.
Merawat
penuh ketulusan tanpa memikirkan hal-hal negatif akan penyakit menular
tersebut. Memberikan kekuatan buat mereka melalui doa, tanpa pernah takut virus
tersebut akan menyerang tubuh sendiri. Tuhan membuat mujizat bagi perjalananku
selama berada di tempat tersebut, virus ebola sama sekali tidak pernah hinggap
ke dalam tubuh Jaya Guntur.
Menciptakan
senyum pada wajah mereka, hingga sebuah kekuatan terbentuk. Menghancurkan
ketakutan luar biasa dari tubuh mereka, hingga terdapat semangat hidup untuk
berjalan keluar dari penyakit tersebut. Memberikan kehangatan melalui doa-doa
dengan menggenggam jemari tangan mereka.
“Saya
tidak pernah tahu, kenapa semua ini terjadi dimulai oleh berbagai peristiwa
sewaktu berada di kota tempatku berasal hingga terdampar di negara orang.”
Kata-kataku dalam sebuah ruangan kecil.
“Tuhan,
apa pun kisah hidupku sekarang, tetaplah bersamaku hingga setiap langkah
kemenangan tetap ada membungkus. Jadilah sahabat penduduk disini, menjadi
pelindung disaat semua orang pergi menjauh.” Setiap harinya isi dari doaku
tanpa pernah bosan hingga Tuhanpun menangis bukan karena kecewa, melainkan
menyadari apa yang sedang terjadi.
MEKAR SARI...
Menyukai
pria beristri merupakan sesuatu hal paling menjijikkan bagi perjalananku
sekarang. Luka demi luka berjuang membuang perasaan sayang untuknya, hingga
tidak menciptakan dosa sedikitpun bagi duniaku. Permasalahan luar biasa terus
saja membungkus hidupku sekarang.
Disaat
semua orang pergi menjauh, dia selalu ada membalut lukaku. Disaat semua orang
tidak mempercayai apa pun dalam diriku, namun, dia tetap ada untuk berkata,
saya tetap percaya... Akhir cerita, menancapkan luka begitu kuat bagi duniaku.
“Saya
memang berdosa karena menyukai dr. Abdir, tapi apa yang harus kulakukan?
Jeritku setiap saat berjuang keras bahkan berperang agar tidak menciptakan dosa
di tiap sudut perjalananku. Jauh lebih baik menjadi tahanan sel, dibandingkan mengikuti
permainan dosa. Harus kuakui dr. Abdir benar-benar berparas tampan, pintar,
baik, dokter impian siapapun. Namun, dr.Abdir tidak dapat lepas dari statusnya
sebagai pria beristri dan beranak 3.
Hari
itu, merupakan hari dimana saya akan berpindah sel penjara. Pertengahan jalan,
tiba-tiba saja beberapa kelompok menghadang mobil tempat kami berada. Mengancam
serta membawa kabur diriku dari petugas keamanan menuju suatu tempat. Mereka membiusku
hingga saat tersadar, yang terlihat hanyalah dunia malam, diskotik, hal-hal
menjijikkan di sekeliling pemandangan. Saya berada di negara asing dengan
kehidupan paling menjijikkan yang pernah terlihat oleh kasat mataku.
Depan
mataku sendiri, begitu banyak pasangan melakukan hal-hal tidak senonoh bahkan
berhubungan lebih jauh. Tuhan, tolong saya, jeritan hatiku ketakutan.
Berhari-hari berada di tempat menjijikkan terbungkus ketakutan luar biasa.
Berjuang keras agar terhindar dari bahaya pergaulan. Hanya 2 pilihan jika kaki
berpijak di tempat tersebut, terbawah arus ataukan menjadi sinar dengan cara
melawan arus....mencari jalan, agar salah satu dari mereka tidak berbuat
macam-macam terhadap diriku.
Daerah
tempatku berpijak sekarang salah satu bagian dari sebuah negara jauh dari
Indonesia, 99% penduduknya hidup dalam dosa. Sex bebas, pembunuhan, narkoba,
kekerasan, perkelahian, aborsi, dan segala jenis akar kejahatan membungkus
penduduk tersebut. Saya seorang diri sajalah yang terlihat sebagai gadis polos
di tempat ini. Tidak mengerti bahasa mereka, namun, berjuang keras mempelajari
sekedar berjaga-jaga serta agar dapat keluar dari negara tersebut.
Berusaha
berlari mencari jalan agar bisa keluar dari daerah ini, tidak pernah berhasil.
Semua usahaku tidak membuahkan hasil sama sekali, hanyalah kesia-sian belaka.
Seseorang menolongku dengan memberikan tumpangan tempat tinggal sementara
waktu. Setiap hari, saya harus melihat wanita itu membawa berbagai macam pria.
Rasa takut luar biasa menerpa, bagaimana jika salah dari mereka berbuat jahat
terhadapku? Tuhan, saya begitu takut bahkan terlalu takut, air mataku terus
saja menetes.
Seseorang
melemparkan sebuah benda ke dalam kamarku, memecahkan kaca jendela hingga
membuatku makin ketakutan. Pandangan mataku beralih pada kertas bungkusan batu
yang dilemparkan untuk memecahkan kaca jendela. Tangan gemetar, air mataku
masih saja mengalir berjalan mengambil kertas tersebut.
“Jangan
menjadi orang lemah. Kau diperhadapkan 2 pilihan, terbawah arus atau merubah
kehidupan mereka. Jika kau berhasil membuat perubahan di tempat ini selama
setahun, pasti ada jalan keluar untuk membawamu keluar dan kembali ke negaramu
sendiri.” Isi tulisan dari kertas itu yang ternyata adalah surat kaleng.
“Siapa
kau, keluarlah...” teriakanku terus mencari pengirim surat kaleng tersebut.
Tidak ada jalan keluar, selain berusaha mengikuti kemauan pengirim suarat
kaleng tersebut. Mengikuti arus atau membuat perubahan, itulah pilihan hidupku
sekarang. Gadis polos harus belajar membuat perubahan seperti apa, ribuan
pertanyaan menghampiriku. Setiap hari, saya harus terbiasa melihat banyak
penduduk berjalan tanpa busana sekalipun, bahkan berhubungan sex di jalan
seperti binatang. Berdoa, berdoa, dan berdoa hanya itu yang bisa kulakukan
setiap saat.
Mulai
belajar beradaptasi, namun tidak terbawah arus serta hidup sama seperti mereka.
Awal mula semua penduduk mengejekku, masih hidup di zaman hutan tanpa menikmati
semuanya. Tidak kehabisan akal membuat dunia mereka berubah, bagaimanapun
caranya. Tidak mengenal kata menyerah dan terus berjuang menarik mereka keluar
dari suatu jurang. Hingga suatu ketika, setahap demi setahap penduduk tersebut
mulai berubah. Satu demi satu hal-hal menjijikkan keluar dari dunia mereka
masing-masing. Mulai berpakain sopan tanpa harus telanjang itulah yang sekarang
sedang terjadi. Sex bebas, aborsi, diskotik, pembunuhan, dan segala kejahatan
mulai keluar dari daerah tersebut.
“Tuhan,
terimah kasih karena membuatku sadar tentang suatu pergumulan doa ditengah
lingkungan semacam ini.” Isi dari doaku menyadari sesuatu dibalik semua yang
terjadi.
BAGIAN
SEBELAS...
MENARA...
Selama
setahun saya kembali melanjutkan studi, sambil terus memantau perkembangan
mereka. Terus berkomunikasi dengan Reynand, paman Hosea, paman Budi, dan
beberapa orang lain lagi untuk terus melihat perkembangan 34 orang ini. Proses berkepanjangan
tanpa di sadari oleh mereka semua. Menunggu waktu tepat mengembalikan mereka
kembali ke tanah air. Perbaikan Indonesia tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan dan tidak mungkin memakai sembarangan orang.
Dunia
fanatisme terhadap suatu aliran kepercayaan yang dipermainkan oleh beberapa
kelompok, di akhir cerita berakar kuat dalam lapisan masyarakat. Merubah pola
pikir, karakter buruk masing-masing suku, memperbaiki keadaan paling rusak,
kembali membangun pondasi dengan kekuatan berbeda bahkan paling kuat
membutuhkan seseorang bermental baja. Menciptakan terobosan di berbagai bidang
membutuhkan seseroang yang memiliki sesuatu hal/kelebihan tersendir dimana
tidak seorangpun memilikinya.
“Reynand,
jemput saya di bandara sekarang.” Perintahku melalui telpon. Mereka tidak tahu
jika saya telah kembali ke Indonesia untuk menyusun langkah selanjutnya,
setelah waktu berjalan berjalan begitu cepat. Setahun sudah 34 orang perwakilan
masing-masing provinsi berada di situasi paling terburuk bagi dunia mereka.
Sekarang waktu tepat menarik mereka, mempertemukan antara satu dengan lainnya.
Menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dimulai awal perjalanan hingga detik
sekarang. Memulai membentuk tingkat kecerdasan dengan membagi sesuai potensi
masing-masing.
“Kenapa
tidak cerita, kalau kau telah berada di Indonesia?” ucapan Reynand pertama kali
melihatku di bandara. Terkadang, sesuatu menyerangku, apakah dia memiliki
perasaan khusus terhadap Mekar? Saya harus siap menerima kenyataan, apa pun
perasaannya sekarang. Bukan berarti seorang Nara harus menjadi lemah, hanya
karena pria yang disayanginya telah berpindah haluan.
“Bukankah
saya telah menelpon, berarti sudah diberitahukan?” berbalik ke arah Reynand
memberikan semua barang-barangku agar dibawah olehnya.
“Kenapa
saya merasa ada sesuatu mengganjal...” Reynand mencoba menerka-nerka...
“Itu
hanya perasaanmu saja,” ucapanku kemudian berjalan menuju parkiran. Objek
pemikiranku sekarang adalah mengembalikan 34 orang ini ke Indonesia, untuk
melatih serta membentuk tingkat kecerdasan masing-masing dari mereka.
“Nara,
bagaimana perencanaan selanjutnya?” pertanyaan paman Harjo ke hadapanku.
“Sesuai
perencanaan, membawa mereka semua ke suatu daerah, jauh dari ibu kota serta
mengembangkan skil, wawasan sesuai potensi masing-masing.” Jawabanku saat kami
semua berkumpul di ruang bawah tanah.
“Paman,
tak perlu khawatir karena saya telah mempersiapkan tempat membentuk kejeniusan
mereka. Letaknya pasti jauh dari ibu kota.” Reynand masuk menjelaskan tempat
mereka akan bertemu serta memulai membentuk potensi ke-34 orang ini.
“Kita
akan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dimulai awal mula hal-hal aneh
hingga saat dimana mereka tiba-tiba berada di negara asing tanpa mengenal
seorang pun di sekelilingnya.” Ucapanku.
Memulai
menyusun rencana mengembalikan 34 orang ke Indonesia. Beberapa cara dilakukan
agar terhindar dari kecurigaan. Menculik mereka, membuat skenario tertentu, dan
beberapa hal lain sehingga semua berjalan teratur bahkan tidak menimbulkan
kekacauan. Akhir cerita 34 perwakilan berhasil kembali ke tanah air.
Menyembunyikan mereka di suatu tempat, jauh dari keramaian ibu kota.
Antara
satu sama lain saling terkejut, bertanya-tanya, serta mencari jalan keluar dari
ruangan tersebut. Sementara itu, kami berjalan ke hadapan mereka semua...
“dr.
Abdir...” teriakan Mekar mengenali wajah Reynand sekalipun tanpa memakai kaca
mata.
“Paman,”
kaki Brayn terus melangkah mencari jawaban dari paman Hosea. Mencurigai ada
sesuatu hal yang sedang terjadi.
“Kami
ingin menjelaskan kenapa kalian berada disini.” Kalimat Reynand memulai
pembicaraan.
“Jangan
katakan kalau...” ucapan Mekar mencoba menerka-nerka akan...
“Dibalik
penderitaan kalian selama ini, kamilah yang selalu bermain.” Ucapanku
menjelaskan sesuatu hal...
Menjelaskan
kronologi awal mula deretan peristiwa pahit menyerang, hingga akhir cerita air
mata mereka terus saja berjatuhan. Paman Hosea memulai mengatakan sejujurnya
terhadap Brayn, kenapa hal tersebut dilakukan.
“Indonesia
dengan segala permasalahan di dalam, baik dari segi kelemahan-kelemahan
masing-masing daerah yang selalu saja dimanfaatkan oleh oknum tertentu,
permainan politik, permasalahan agama menitik beratkan terhadap paradigma salah
diakhir cerita membuat perpecahan/kerusakan/kerugian. Hutang Indonesia dalam
jumlah besar, kesalahan-kesalahan pemerintah mulai dari orde baru hingga
sekarang.” Kalimat demi kalimat keluar dari mulutku mencoba mengatakan beberapa
hal.
“Memperbaiki
seluruh kesalahan tersebut, membutuhkan perjuangan yang tidak main-main. Dapat
mengorbankan banyak hal termasuk perasaan bahkan nyawa sendiri. Dibutuhkan tokoh-tokoh
bermental baja. Tidak mudah goyah ataupun jatuh karena berhadapan dengan banyak
hal, seperti suatu hari kelak kaget akan sebuah kursi, ketenaran, harta, lawan
jenisnya. Hingga akhir cerita melakukan berbagai kisah-kisah mengerikan, sama
seperti lainnya.” Perkataanku membuat mereka menyadari...
“Apa
maksud membuat kami seperti ini?” pertanyaan Jaya tiba-tiba.
“Begini...”
ujarku,
“Nara,
biar saya yang menjelaskan,” paman Budi mengambil alih pembicaraan ini.
“Jaya,
sebelumnya saya minta maaf atas semua yang terjadi selama ini. Membuatmu terbuang
dari keluarga, rekan kerja, bahkan tidak dapat melanjutkan kuliah. Tidak ada
maksud menghacurkan masa depanmu, melainkan kami semua ingin mengajarkanmu
bagaimana menjadi seorang bermental baja, mempunyai belas kasih terhadap sesama
terlebih kalangan masyarakat bawah, tetap kuat sepahit apa pun keadaan.”
Kata-kata paman Budi memandang pemuda di hadapannya.
“Semua
ini kami lakukan, demi membentuk iman, kekuatan, mental baja untuk perjalanan
kalian ke depan. Tidak dikatakan permasalahan ke depan adalah hal-hal biasa,
begitu banyak permainan dan lain sebagainya terus membungkus. Kesimpulannya,
adalah Indonesia membutuhkan tokoh-tokoh yang memiliki nilai tinggi dan bukan
pasaran, demi pemulihan negara.” Kata-kata paman Budi kembali.
“Tidak
ada maksud membuatmu terkucilkan, menggunakan alasan kalau paman Budi harus
memenangkan pemilihan kepala desa. Memancing pengetahuan tentang sesuatu hal,
demi mempelajari segala potensi yang dimiliki olehmu. Kesengajaan bermain, saat
pemilu paman Budi kalah dan tidak terpilih sebagai kepala desa. Juga masuk
barisan skenario kami.” Kalimat Reynand.
“Termasuk
menyuruh saya mengambil sebuah kunci menggunakan mulut pada lumpur bercampur
kotoran manusia. Berada di penjara, menjadi orang asing di negara orang lain
lebih parah lagi hidup dan menetap bersama penduduk terinfeksi ebola virus.”
Jaya mengingat semua peristiwa yang terus terjadi.
“Betul,
kami sengaja melakukan semua itu terhadap kehidupanmu, kenapa?” ujarku.
“Apa
tujuan kalian?” pertanyaan Jaya.
“Seandainya
suatu hari kelak, kau diperhadapkan permasalahan tertentu, berada diantara 2
pilihan, apakah kau masih bijak dalam bertindak. Memikirkan diri sendiri atau
ada begitu banyak korban berjatuhan dari berbagai aspek terlebih orang-orang
bawah.” Jawabanku terhadapnya.
“Andai
kata kau di perhadapkan seorang paling berarti dalam perjalanan, entah itu
anak/ istri setelah menikah atau kehidupan banyak orang diluar sana. Apakah
pilihanmu selanjutnya?” imbuhku sekali lagi.
“Maksudnya?”
Jaya sedikit tidak memahami.
“Jaya,
kalau Tuhan menghendaki kau masuk deretan salah satu tokoh penting Indonesia,
secara otomatis ada begitu banyak orang yang tidak akan menyukai caramu
bertindak, kenapa? Dikarenakan faktor iri hati atau takut segala rahasia
beberapa kelompok tertentu terbuka semua.” Ucapan Reynand tiba-tiba masuk
berbicara.
“Tidak
menutup kemungkinan, bisa saja salah satu orang terpenting dalam hidupmu berada
dalam bahaya serta beberapa kelompok tertentu mengancam. Diantara 2 pilihan,
mempertahankan orang yang paling berarti bagi perjalananmu dengan mengambil
keputusan mengikuti kemauan pihak tertentu. Atau tetap berjalan dan melihat kehidupan
ribuan manusia dibawah, namun, rela kehilangan orang yang paling kau sayangi.” Kalimat
Reynan berlanjut.
“Coba
berpikir, mereka yang tetap berada di jalur Tuhan dengan bersikap tegas, keras,
mempertahankan keadilan, memiliki belas kasih terhadap banyak orang, tentunya
tidak semudah itu. Kebanyakan tokoh-tokoh berpengaruh harus meninggalkan jalur
Tuhan, karena ada begitu banyak hal yang dapat mengancam keselamatan mereka.” Ucapanku
menjelaskan beberapa.
“Bagaimana
kalian dapat menyadari, bahwa kami merupakan orang paling tepat memasuki
perjalanan seperti ini...?” pertanyaan Jaya lagi.
“Seperti
yang diceritakan sebelumnya, jika saya harus mengembara ke seluruh provinsi dan
meminta berbagai tanda kepada Tuhan. Menyamar sebagai orang tua dipenuhi
luka-luka borok, penjual makanan, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, saya
harus berjalan keliling memakai pakaian compang-camping, berpura-pura buta, seluruh
tubuh terbungkus luka-luka. Meminta petunjuk Tuhan, jika seorang anak muda
datang ke hadapanku bahkan mau membersihkan seluruh luka-lukaku, memberikan
pakaian baru...Berarti pemuda itu adalah pilihan untuk memperbaiki Indonesia.”
Kata-kata paman Hosea menerangkan apa yang sebenarnya terjadi.
“Ternyata
kakek tua itu adalah paman sendiri.” Brayn bahkan hampir tidak mempercayai
semua deretan peristiwa dalam perjalanannya.
Mengatakan
apa yang mesti mereka dengar dan pahami. Berkata-kata akan berbagai hal tentang
dunia mereka selama ini. Menjebak serta membuat secara keseluruhan berada di
luar Indonesia. Memancing agar mau menulis berbagai pemikiran/ pengetahuan akan
beberapa pernyataan yang berikan.
“Jangan
katakan kalau paman sengaja membuat tipu muslihat terhadap perusahaanku.” Brayn
baru menyadari akan perusahaannya.
“Betul
Brayn, apakah kau tidak mengingat wajah dari seseorang yang sedang
mempresentasikan gagasannya di hadapan para pengusaha tentang sebuah objek
wisata terbaru. Hingga kau berhasil masuk jebakan....” Reynand mencoba
mengingatkan.
“Tapi...”
ucapnya.
“Pada
saat itu, saya menyamar sebagai pengusaha berjenggot dipenuhi banyak bulu pada
wajah. Rambut berwarna pirang berkaca mata. Kesimpulan, saya berhasil membuatmu
jatuh miskin. Kenapa?” pancingan Reynand.
“Kenapa?”
Brayn balik bertanya.
“Karena
kami ingin menyadari apakah hidupmu akan berakhir atau seperti apa setelahnya?
Apakah duniamu begitu marah kepada Tuhan bahkan mengeluarkan sumpar serapah
atau sebaliknya.” Jawaban Reynand.
“Tujuannya,
adalah jika seandainya seorang Brayn berada diatas dengan berbagai permasalahan
paling mengerikan. Apakah dia akan tetap bijak mengambil keputusan dan tidak
memihak hal-hal yang dapat menghancurkan semua orang dalam sekejap mata.”
Tambahan penjelasanku terhadapnya.
“Ada
begitu banyak orang tidak dapat mengambil keputusan dengan bijak, kenapa?
Karena mereka hidup dibawah tekanan dari berbagai arah, ataupun terpancing akan
sebuah ketenaran, harta, tahta, bahkan lawan jenis. Sementara Indonesia
merupakan sebuah negara, jangan karena perbuatannya, hingga menghancurkan
banyak orang terlebih orang-orang lemah.” Kata-kataku mencoba kembali membuat
Brayn menyadari hal seperti ini.
“Menyebarkan
fitnah, bahwa kau memiliki kelainan jiwa, hingga membuat kaki dan tanganmu terpasung
di sebuah rumah kecil selama beberapa waktu. Kami hanya ingin melihat bagaimana
duniamu bereaksi akan hal tersebut.” Paman Hosea mengutarakan apa yang ingin
dijelaskan...
“Jadi,
kemarin anda menyamar sebagai dokter beristri hanya demi mencari sampai dimana
kedalaman iman..” Mekar berdiri ditengah-tengah mereka menatap tajam Reynand.
“Kami
ingin mengetahui, tentang kedalaman imanmu, jangan sampai saat berada diatas
kau akan jatuh karena lawan di depan mata benar-benar menggiurkan sedemikian
rupa. Ada begitu banyak torang jatuh dan tidak dapat berdiri oleh karena lawan
jenisnya. Sementara begitu banyak yang menjadi korban akibat hal seperti ini.” Ucapan
Reynand menjelaskan.
“Berarti
, anda tidak benar-benar menyukaiku?” lirih Mekar.
“Saya
minta maaf Mekar, betul apa yang kau ucapkan saya tidak pernah menyukaimu,
hanya karena tuntutan skenario hingga membuat perasaan menjadi kacau balau.” Jawaban
Reynand.
“Apakah
wanita di foto itu bukan istrimu yang sebenarnya?” tanya Mekar kembali.
“Masih
belum mengenalnya, gadis itu berdiri di hadapanmu sekarang bernama Nara. Pada dasarnya
kami bukan pasangan suami istri betulan, tapi akan menuju bahtera dalam suatu
ikatan serius. Sekali lagi, saya minta maaf, percayalah suatu hari kelak kau
akan mendapatkan pria terbaik. Jangan terlihat lemah untuk hal seperti apa pun.”
Jawaban Reynand membuatku tidak menyangka atas ucapannya.
“Mekar,
sekali lagi saya minta maaf telah mempermainkan perasaanmu, tapi, kami semua
salut terhadap karakter dalam dirimu, menjadi pemenang sekalipun hal paling
menggiurkan di depan mata...” kalimat Reynand melanjutkan ucapannya.
Menceritakan
hingga pada akhirnya mereka semua menyadari tentang maksud Tuhan dibalik semua
ini. Begitu banyak pertanyaan terus saja dilemparkan oleh mereka, hingga kami
mencoba menjawab satu per satu. Bersyukur, 34 orang perwakilan dapat menerima mengapa
deretan peristiwa tersebut terus terjadi.
“Kalaupun,
ada diantara kalian menyimpan kepahitan, silahkan...tapi, harus menyadari
beberapa hal bahwa dibalik semua itu akan menjadikanmu berkualitas suatu hari
kelak. Sayalah orang yang bettanggung jawab dibalik semua permasalahan
tersebut, jadi, jangan persalahkan Reynand, paman Hosea, dan lainnya.” Perkataanku
kembali.
“Tidak
yang perlu disalahkan. Kami mau belajar apa pun itu...” ujar Brayn tersenyum.
“Terimah
kasih karena mengajarkanku tentang kualitas hidup.” Kalimat Mekar, memahami
akan sebuah lingkaran perjalanan.
Kami
menjelaskan, bahwa mereka tidak dapat keluar dari sekitar lingkaran tempat
tinggal yang telah kami patok. Harus menjalani pembelajaran hingga pembentukan
kecerdasan mereka masing-masing setahap demi setahap setahap.
“Bagaimana
jika kita masyarakat Indonesia terus saja mempermasalahkan tentang keyakinan
seseorang yang harus menjadi bagian tokoh-tokoh terpenting Indonesia?”
pertanyaan Brayn secara tiba-tiba, sambil memegang buku-bukunya...
“Betul
itu...” ujar satu dari antara mereka.
“Kami
sudah memikirkan semua hal yang terjadi. Pada dasarnya, permasalahan keyakinan
hanyalah kesalah pahaman antara penganut agama satu dengan lainnya. Terdapat beberapa
oknum tertentu menjadi senjata untuk sesuatu yang ingin diraih.” Perkataanku menjawab
pertanyaan tersebut.
“Andai
kata, keadaan tidak memungkinkan serta masyarakat jauh lebih terikat tentang
fanatisme mayoritas penganut kepercayaan, apa yang akan kita lakukan?”
pertanyaan Brayn kembali.
“Kalaupun
rakyar Indonesia memilih hal seperti itu, maka kita akan meninggalkan negara
Indonesia. Di luar sana ada begitu banyak negara mencari kalian untuk
dipekerjakan demi kemajuan pembangunan rakyatnya.” Jawabanku lagi.
“Tidak
usah takut hal tersebut terjadi, kita tidak langsung masuk, melainkan setahap
demi setahap. Namun, andai kata kepercayaan menjadi permasalahan terbesar,
tentunya kita semua akan meninggalkan negara ini. Iman kepercayaan bersifat
pribadi dan tidak boleh memaksa bahkan membawa hal tersebut ke dunia
pemerintahan.” Ucapanku kembali.
“Maka
dari itu, kalian harus berjuang memperlihatkan kualitas karakter terbaik, tetap
di jalur Tuhan, dan skill terbaik dibanding siapapun di sekeliling.” Kata-kata
Reynand dari arah belakang.
“Kalian
juga akan dibagi menjadi beberapa area sesuai potensi masing-masing. Namun,
semua dari kalian harus menguasai 4 bidang penting diantaranya pendidikan,
hukum, ekonomi, keuangan. Kenapa? Karena satu dengan lainnya saling berkaitan
erat dengan semua bidang.” Penjelasanku kembali.
“Bagaimana
dengan penemuan yang tertulis pada materi ini?” pertanyaan Jaya sedikit
bingung.
“Kami
ingin beberapa dari kalian termasuk Jaya, mencari sebuah alat penemuan yang
tidak pernah ada sebelumnya di dunia ini.” Jawaban Reynand.
“Penemuan
seperti apa?” pertanyaan Jaya.
“Mesin
pembuat gedung, periksa beberapa mesin-mesin yang biasa digunakan oleh berbagai
perusahaan. Selain itu mempelajari seluruh data-data kemajuan sebuah negara
dimana memiliki teknologi-teknologi tercanggih.” Jawabanku terhadapnya.
Menjelaskan
lebih mendetail tentang materi-materi yang harus mereka pelajari. Berjuang,
belajar, tidak mengenal kata menyerah itulah karakter terbaik bagi dunia kalian
sekarang. Tidak ada hal mustahil, selama semua itu masih tetap berada pada
jalur Tuhan. Bersikap rendah hati di hadapan Tuhan, hingga usaha demi usaha
selalu membuahkan hasil.