LANGKAHKU SEDANG MEMAINKAN IRAMA
BAGIAN PERTAMA...
ARELHYNID
Namaku Arelhyind merupakan singkatan dari area lingkaran
hidup yang menjadikan indah. Nenekku memberikan nama unik bahkan belum pernah
ada di dunia ini sepertinya, terlebih sekitar area kampungku di Toraja. Semua
orang memanggilku dengan sebutan Rehyind termasuk teman-temanku.Hidupku
terlihat begitu bahagia sebelum nenek meninggal.Tidak terlihat kesedihan
sedikitpun langkahku bermain dengan irama paling mengerikan sedunia.Lebih parah
lagi, sewaktu usiaku yang masih anak-anak, harus menerima kenyataan pahit
diantara hal paling menyedihkan. Kedua orang tuaku bercerai, mereka bahkan tidak ada yang ingin memperdulikan
perasaanku. Mereka masing-masing telah mempunyai keluarga.
Mama hidup bersama suami barunya di sebuah kota jauh
dari kampungku. Saya sendiri tidak tahu dimana papa hidup bersama keluarga barunya. Mereka tidak memperdulikanku lebih
tepatnya membuangku, tanpa pernah menyadari bagaimana luka memainkan langkahku.
Tinggal di rumah om Bongi, tidak lain adalah saudara kandung mama membuat
langkahku seperti sedang berada di neraka.Saya tidak pernah menikmati masa
kecil dengan segala cerita unik di dalam sampai kapanpun juga.
‘Rehyinnd…’ seseorang berteriak dan tidak lain
adalah…
‘Maleko massasa, (pergi mencuci sana)’ teriakan
tante Bungan. Mulutnya akan terus berkotek-kotek seperti bebek setiap hari.
Seluruh pekerjaan rumah harus kuselesaikan sebelum berangkat sekolah.Pukul
03.00 dini hari harus bangun menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah.Memasak,
membersihkan rumah, mencari makan hewan peliharaan dan memberi makan, bahkan
masih banyak lagi pekerjaan yang harus kukerjakan.Belum perjalanan ke sekolah
memakan waktu sejam untuk berjalan kaki.Kampung tempat tinggalku di Toraja
sangat terpencil.Aliran listrik saja belum masuk ke kampong kami, karena begitu
terpencilnya.Pulang sekolah harus bekerja di sawah demi mencukupi kebutuhan.
Menjadi pemikiranku, kenapa nenek memberikan nama
Arelhyind, pada hal beliau kurang begitu fasih berbahasa Indonesia. Bahasa yang
digunakannya hanyalah bahasa daerah khas kampung kami.Sebelum nenek meninggal
hidupku benar-benar menyenangkan, tanpa air mata sedikitpun.Seakan kehidupan
tidak pernah adil untuk membuat irama tersendiri dalam perjalananku saat ini.Apakah
ini yang dikatakan kehidupan? Benar-benar mengerikan…
“Aparakah mu po gau inde tu’ (apa yang kau perbuat
disitu)?” teriakan tante Bungan tidak pernah membiarkanku istirahat sedikit
saja.
“Den bayungku kudaka, tanta (saya sedang mencari
bajuku, tante)”
“Masannang tonganko tiro-tiro tu pa’jaman le’ (kau
betul-betul senang melihat pekerjaan berantakan)”
“Taemo apa la’dijaman, maserrong nasang mo to banua,
tanta (sudah tidak ada yang perlu dikerja, semua ruangan rumah sudah bersih,
tante)” jawabanku terhadapnya.
“Umbami utan tandua kayu mutut’tuk’ (mana sayur daun
ubi yang sudah kau tumbuk)?” seakan ingin terus menerus mencari kesalahanku.Berteriak
tidak jelas dengan berbagai kata-kata aneh, hanya karena sebuah masalah
kecil.Terkadang mencubit, memukul setiap harinya untuk masalah kecil terlebih
masalah besar.Mengurus ke-3 anaknya yang masih kecil-kecil, dimulai saat
makanan, memandikan mereka pagi & sore, mengantar ke sekolah, masih banyak
lagi pekerjaan berhubungan dengan rumah ini.
Seakan Tuhan tidak adil terhadap langkahku saat ini.Kedua
orang tuaku bercerai, bahkan mereka membuangku tanpa pernah mengingat siapa
anaknya.Masing-masing telah memiliki kehidupan baru dengan keluarganya, sangat
mengerikan.Tuhan mengambil satu-satunya orang yang begitu berharga dalam
langkah perjalananku.Membuatku berada di sebuah rumah yang penuh dengan neraka
bahkan jauh melebihi dari kerajaan maut tingkat paling terparah.Langkahku
sedang membuat irama tentang akar luka paling terdalam di setiap sudut
lingkaran hidupku.
“Puang Matua, umbaKo...(Tuhan, dimana Kau)?”
teriakan hatiku setiap saat…
“Mangapako inde tu’ Rehyind (kau lagi berbuat apa
disitu, Rehyind)?” pertanyaan Marta sedari tadi memperhatikan tingkahku tanpa
sadar. Berpikir, bahwa di area pematang sawah ini hanya terdapat diriku,
ternyata aku salah.
“Taerah (tidak buat apa-apa)” berusaha menutupi
setiap akar permasalahanku.
“Kutiroko tummangi mukua’ (saya melihatmu menangis,
jangan bohong)” menyadari ada sesuatu tersembunyi bahkan tertutup rapat.
“Massikolahko melomelo, kutandaimo mangapa mutumangi,
(Kau harus sekolah baik-baik, saya sudah tahu mengapa kau menangis)?” ucapannya
kembali secara mengejutkan.
“Matumbai mupokada susitoo’ (kenapa kau berkata
seperti itu)?” wajahku berbalik ke arahnya ingin mencari jawaban..
“Kutiro tu tanta Bungan kalettek sola nasambakkiko, nang’ susimo too’ yake
dikua diongki banuanna tau tangia indo sola ambeta’ (saya selalu melihat tante
Bungan mencubit dan memukulmu, memang seperti itulah keadaan hidup, namanya
tinggal di rumahnya orang bukan di rumah ibu dan ayah).” Pernyataan tidak
terduga dari teman sekolahku.
“Dau male magosip…(jangan pergi bergosip yang
tidak-tidak),” cetusku.
“Tirona dolo, (lihat saya dulu)” perintahnya.
“Jangan pernah menyerah terhadap keadaan hidup,
seperti apa pun,” kalimatnya dengan tatapan tajam sebagai seorang sahabat.
“Marta, untuk hari ini kalimatmu sangat bijak tidak
seperti yang kukenal kemarin!”
“Rehyind, berusahako keluar dari kampungta baru
pergi merantau di kotanya orang demi masa depan.” Ujar Marta membuatku sama
sekali tidak pernah membayangkan apa pun tentang perantauan.
“Kau taumi to, saya tidak kenal siapapun diluar,
sedangkan indo sola ambeku na buangka disini, bagaimana cerita mau
keluar.”Tanganku terus saja memainkan tanaman padi.
“Kau lihatmi saja sekarang, kalau disiniko terus
tidak jadi orangko, bahkan kau tidak akan pernah tahu namanya dunia luar
seperti apa.”
“Marta, andai kata densia solata doing perantauanna
tau, ambai bisasia’ (Marta, andai kata ada orang sekampung dari toraja yang
saya kenal, munngkin bias saja merantau ke kota orang).” Tuturku memandangnya.
“Rehyind, namanya perantauan itu terkadang bersifat
nekat-nekatan, pintar-pintarnya kita sebagai orang Toraja untuk beradaptasi di
kota orang biar tidak ada dikenal siapapun.”Ucapannya kembali.
“Matakkunah’ (saya takut)”
“Bagaimana caramu berbaur dengan yang bukan sukumu,
supaya bisako jadi orang untuk kejar mimpimmu,” Marta memperlihatkan mimic
waajah serius.
“Kenapa musuruhkah merantau sedang kau sendiri?”
“Astaga Rehyind, dengarko nah, pasangki telingamu baek-baek,”
“Tidak begituji juga caranya, Marta saudaranya
Maria” cetusku…
“Saya toh maukah juga pergi merantau, makanya
kutanyako memangko sebelum pergikah,”
“La’maleko umbananai (kau mau pergi dimana)?”
teriakku…
“Maukah pergi Jakarta lanjutkan sekolahku, langsung
mentong ibu kota kutembak” jawabannya.
“Jadi, tidak bisamikih ketemu ato tegur sapa?”
“Maka dari itulah kubilang, bulan ini saya lulusmo
SMP, sedangkan kau baru mau naik kelas 3.”Kalimat Marta kembali.
“Tunggumo dulu sampena luluskah tahun depan, taemo
sangbaineku yake’ meleko dako (sudah tidak ada lagi sahabatku kalau kau
pergi).”
“Orang tuaku suruhkah cepat ke ibu kota, karena
ambeku ditugaskan disanaki sekarang.”Ujarnya.
“Tidak mungkin, saya tungguko sampe selesai, intinya
cariko cara bagaimana kau bisa keluar dari kampung baru pergiko merantau di
kotanya orang. Rehyind, kejarko mimmpimu baru buktikanki sama tanta ganasmu
kalau kau pasti lebih berhasil dari pada anak-anaknya nanti.” Ucapan seorang
sahabat pemberi semangat.
“Betul juga kata-katamu, menangis bahkan marah tidak
bakalan menyelesaikan masalah, yang ada malah memperpanjang kekecewaan.” Ujarku
tersenyum…
“Sekarang memang kau dibawah, tapi, suatu hari nanti
pasti Puang Matua (Tuhan sang pencipta) membuatmu diatas. Dengarko baek-baek,
pasti itu semua keluargamu datang cariko kalau berhasilmiko.”Sahabat pemberi
semangat setiap saat.
“Betul juga ucapanmu, Marta.”
“Itu tanta Bungan sola muanena masirrik liu yake
dadi tauko dako, ambai moi makkako lese’ kotoran binatang na udung tumukua’
(itu tante Bunga bersama suaminya pasti akan malu luar biasa, kalau kau jadi
orang kelak, biar kau baru menginjak kotoran binatang pasti tetap dia akan cium
kakimu.” Kata-katanya membuatku harus mengejar masa depan.
“Hahahahahaha…” kalimatnya membuatku melupakan semua
masalah.
“Begituji semua suku biar bukan suku Toraja, kalau
kau tidak punya apa-apa tidak akan pernahko na anggap bahkan mereka melupakan
kalau kau adalah keluarganya.Tapi, coba kalau kau sudah berhasil datang semua
mengaku sebagai keluarga besar dan kecilnya.Rata-rata seperti ituji,
dimana-mana…” ungkapan Marta ada benarnya juga.
“Jangankan om/tante, sepupu dekat atau jauh, orang
tuaku sendiri na buangkah.Ada semuami masing-masing keluarga
barunya.”Kata-katanya kecewa melihat dunia orang tuaku sendiri.
“Sabar-sabarko saja, ambil positifnya, siapa tahu
kalau kau tinggal sama orang tuamu sifatpemalasmu bisa jadi main terus…tapi,
dari sini kau bisa mandiri dan mau berjuang dengan masa depan sampai terbentuk
karaktermu.”
Ucapannya mengajarkan langkahku agar tetap menjalani
masalah di depan mata dengan berpikiran positif bukan negative. Jangan
menyalahkan keadaan, oleh karena perjalanan tidak pernah melihat ataupun
merasakan kasih sayang. Berjalan menggapai mimpi apa pun rintangan di depan.
Suatu hari kelak, saya pasti bisa meraih mimpiku untuk membuat irama tersendiri
bagi area kehidupanku.Goresan luka dapat saja tertawa sekarang, tapi dibalik
itu semua pada dasarnya membentuk sebuah batu permata bahkan lebih itu.
Tuhan, kelak buat saya bisa mencapai impianku apa
pun keadaannya pada pemandangan mataku sekarang. Mata dapat saja tertipu, tapi
keadaan bisa berbalik arah untuk menjadi terdepan karena saya adalah pemenang.
Tuhan, buat duniaku melupakan tentang kekejaman om& tante, serta kedua
orang tuaku karena mereka menganggapku tidak pernah ada. Buat duniaku melupakan
setiap goresan luka yang mereka tancapkan begitu kuat bagi langkah
perjalananku.
Saya akan berjuang mengejar mimpiku, karena
pengharapanku masih ada apa pun keadaanku saat ini. Suatu hari kelak, Tuhan
pasti bisa membuatku menjadi seorang pemimpin paling disegani oleh
siapapun.Suatu hari kelak, Tuhan pasti membuat seluruh hasil pemikiranku
menjadi nomor 1 diantara yang terbaik. Kata mustahil tidak akan pernah bermain
bagi nafasku, karena Tuhan selalu bersamaku. Kelak, saya pasti menjadi seorang
pendesain arsitek dimana hasil karyanya dapat diperhitungkan oleh dunia.
“Jaga dirimu baek-baek nah sang baine (sahabat)”
kalimat terakhir Marta sebelum berada di kota orang.
Kehidupan masih terus berputar serta berjalan dalam
lingkaran bulat bumi.Setahun setelah kepergian Marta, akhirnya saya bisa keluar
dari neraka paling terkejam bagi duniaku. Tante Bungan menuduhku telah
mengambil uangnya, sementara om Bongi menodongkan sebuah parang pada leherku untuk
sesuatu yang sama sekali tidak kulakukan. Malam itu, saya berlari keluar dari
rumah saat perhatian mereka teralih ke tempat lain. Hingga akhir cerita, saya
tiba di Makale tanpa tujuan sedikitpun.Beruntung, seseorang mau memberikan
tempat tinggal serta menyekolahkanku.Ibu itu bukan keluargaku, namun, Tuhan
memakainya untuk memberikan tumpangan.
Memelihara ternak peliharaannya, kemudian membagi
hasil sebagai biaya sekolah.Memberikan tempat tinggal gratis, tanpa hidup dalam
tekanan bagi lingkarang hidupku. Akan tetapi, yang namanya suku Toraja, jika
berada di rumah orang harus tahu diri, dengan kata lain melakukan pekerjaan
rumah selain pekerjaan sendiri. Merencanakan melakukan perantauan sama seperti
Marta akan kujalani setelah lulus SMU. Sekarang ini, saya masih membutuhkan
waktu serta biaya membuat perjalanan terbesar bagi hidupku.
“Tiro-tiro tu’lalan dako tobang tau ato iko
(lihat-lihat jalan, sebentar orang jatuh atau kau)” tegur seseorang, hampir
saja saya menabraknya karena terburu-buru menuju kelas.
Juan adalah teman sekolah bahkan sekelas denganku,
hampir saja kami berdua jatuh ke sebuah parit sekitar lapangan sekolah.
Kehidupan bahkan penderitaannya sama denganku, tidak ada bedanya. Seluruh kisah
kehidupan Juan kuketahui melalui beberapa gosip yang sudah lama beredar disekitarku.
Hidup sebatang kara tanpa orang tua atau keluarga sedikitpun, berjuang
membiayai seluruh uang sekolahnya sama sepertiku. Namun, untuk pertama kalinya,
dia mau berbicara denganku. Pada hal selama di sekolah, sedikitpun senyuman
pada wajah Juan tidak akan pernah diperlihatkan.
Akhir cerita, dimana dia berusaha menolongku lepas dari sebuah jurang
tebing, saat saya berjalan mencari makanan ternak. Saat itulah kami mulai
berteman berujung pada persahabatan abadi lebih tepatnya.Juan yang kukenal
kemarin mempunyai sifat tertutup bahkan sulit untuk percaya pada
seseorang.Namun, Juan sekarang membuatku memahami tentang arti persahabatan
secara luar biasa.Pertama kali bagi perjalananku memiliki seorang sahabat
selain Marta. Setelah Marta berada di kota orang, Tuhan mengirimkan seorang
sahabat lain bernama Juan.
“Rencanamu ke depan seperti apa selanjutnya?
Pertanyaan Juan tiba-tiba terhadapku sekitar area pematang sawah.
“Mangaparakah mupokada susitoo’ (mengapa kau berkata
seperti itu)”
“Rehyind, dau’ putus sekolah le’ (Rehyind, jangan
pernah putus sekolah)”
“Tonganna tee’ taekutandai apa maksud arah
pembicaraanta ini sodara (betulan ini, saya sama sekali tidak mengerti arah
pembicaraanmu sobat).” Mimic wajahku benar-benar terlihat tidak memahami
ucapannya.
“Saya tahu kalau kehidupanmu benar-benar sulit
terlebih permasalahan keuangan,” pernyataannya membuatku mulai memahami arti
dari ucapan Juan.
“Rehyind, harus terus berjuang untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang lebih tinggi apa pun masalah di depan mata sekarang,”
“Mutaumi to, orang tuaku bercerai baru pergikah
na’kasih tinggal begitu saja, hidupkah sama om dan tanteku nasiksa teruska
sampai sekarang masih ada bekas lukanya di tanganku.” Kata-kataku menjelaskan
terhadapnya.
“Justru karena itu, buktikan kalau kau suatu hari
kelak bisa menjadi orang paling berhasil.”
“Karaktermu beda-beda tipis dengan sahabatku yang
terdahulu, namanya Marta.Menekankan pada duniaku untuk mengejar pendidikan dan
membuktikan bahwa suatu hari kelak saya harus menjadi seseorang paling
berpengaruh.”Ucapanku dengan memainkan air pada perairan sawah.
“Moi disanga tae apata’, tapi ya’ke’ den’sia
kemauanta na’nang bisa tu (biar dibilang, kalau kita tidak memiliki apa-apa,
namun, jika kemauan ada dalam diri pasti bisa mengejar).”Ucapan seorang sahabat
sekali lagi mengajarkanku untuk tetap berjuang dan berjuang…Perjuangan harus
tetap bermain bagi areaku saat ini, setidaknnya saya memiliki pengharapan saat
ini.
BAGIAN DUA…
JUAN…
Pendidikan dari seorang ibu mengajarkan nafasku
tentang arti kekuatan mengejar mimpi.Hal terpahit bagi duniaku sekarang, bahwa
saya harus hidup tanpa ayah, ibu, bahkan adikku, kenapa?Karena mereka semua
telah berada di sebuah alam berbeda dengan dunia manusia. Ayah meninggal saat
saya masih berusia 12 tahun, karena sebuah kecelakaan. Ibuku saat itu tengah
hamil dan beberapa bulan lagi saya akan memiliki adik kecil. Semua kenyataan
pahit harus saya terimah, di tahun yang sama. Selang beberapa bulan ibu
mengalami pendarahan setelah melahirkan, karena terlambatnya pertolongan dari
tenaga kesehatan. Keluargaku begitu miskin, hingga kami tidak mampu untuk
mencari dana…
“Juan, dau’ tumangi lee moi taemo tu ambemu sola
indomu (Juan, jangan pernah menangis sekalipun kau sudah tidak memiliki ayah
ataupun ibu).”Kalimat ibu sebelum mendekati ajalnya.
“Den Puang Matua tiroko, dau rusak tu lalanmu lee’
(Tuhan selalu ada melihatmu, jangan
pernah merusak jalanmu sendiri).” Sekali lagi ibu mengucapkan pernyataan
terakhir kalinya, kemudian menghembuskan nafasnya.Sekian tahun, saya menantikan
seorang adik, ternyata diluar kehendak Tuhan kalau dia pun pergi sejam setelah
ibu menghembuskan nafas terakhirnya.Adikku mengalami gawat janin saat masih berada
dalam uterus dan belum lahir ke dunia, pada akhirnya mereka berdua
meninggalkanku seorang diri.
Inilah perjalananku, harus menghadapi keadaan paling
terpahit setelah kepergian ayah, ibu, dan adik kecilku. Saya harus sekolah
sebaik mungkin demi meraih impianku, apa pun keadaanku sekarang. Duniaku tidak
boleh larut dalam kesedihan bagaimanapun luka yang terus mempermainkan
hidupku.Tuhan, suatu hari kelak saya ingin menjadi dokter spesialis kandungan untuk
menolong banyak orang-orang seperti ibuku. Tidak akan pernah membeda-bedakan
pasien manapun, atau mengejar uang hanya demi mengejar kekayaan.
Berjuang demi meraih sebuah prestasi, hanya untuk
mengejar cita-citaku.Saya harus kembali ke Toraja atas permintaan tanteku.
Berpikir, bahwa masih ada yang pedulli terhadapku ternyata diluar dugaan… Mereka
hanya mau menjadikanku sebagai pembantu demi mengurus sawah, kerbau, memasak
serta mengerjakan semua pekerjaan rumah.Kenyataan terpahit adalah kehilangan
bahkan mengalami dilema akan berbagai sudut persimpangan dari kehidupan. Inikah
yang dikataakan sebagai kehidupan paling menyenangkan diantara semua
perjalanan.
“Dau kumande ya’ke tae nasangpi tu pekkarangan banua
mu jama-jama (kau tidak boleh makan, kalau seluruh pekerjaan rumah belum
dikerjakan semua).”Teriakan mereka setiap saat memecah di telingaku.Karena
tidak tahan dengan keadaan, akhir cerita saya lari dari rumah mereka, dan
berjuang sendiri untuk makan seluruh biaya biaya sekolahku.
Berusaha membagi waktu sebaik mungkin antara bekerja
dan bersekolah. Jika, masa panen tiba maka saya akan berada di sawah orang
untuk membantu, setidaknya diberi sedikit demi menyambung hidup. Tanpa pernah
lelah bekerja demi mengumpulkan dana hanya untuk meraih impianku. Ketika
memasuki dunia sekolah menengah, saya bertemu dengan seseorang yang memiliki
kehidupan sama sepertiku. Saya tahu perjalanan hidupnya dari bujang sekolah,
ternyata dia menutupi rapat-rapat segala dunianya.
Karakterku berbeda dengan orang lain, saya tidak
suka terlalu banyak berbicara ataupun mencari bahan candaan agar bisa membuat
di sekitarku menjadi tertawa. Sepulang dari sungai mencari batu kerikil guna
memperbanyak tabungan, saya melihat dia sedikit lagi akan pasti terjadi ke
jurang. Daerah sekitar Toraja merupakan pegunungan, jadi, terdapat beberapa
jalan rusak dan jika tidak berhati-hati dapat beraada di sebuah jurang.
“Rehyind, toi dolo tu batang pao (Rehyind, kau harus
memegang untuk sementara batang manga).”Karena di sekitar area tersebut
terdapat pohon manga besar.
Berusaha menolongnya, agar dia bisa selamat dari
tepi jurang.Akhirnya, dia bisa lepas dari jurang tersebut, “kurre sumanga Puang
Matua (terimah kasih, Tuhan).”Ucapannya.Sejak saat itu, kami mulai menjadi
seperti sahabat dalam suka maupun duka.Berbagi cerita tentang kisah kehidupan,
bahkan bersama-sama belajar membentuk irama langkah tersendiri dari siapapun.
Entahkah, karena kehidupan Rehyind sama sepertiku, hingga saya menyukai
berbagai hal dari hidupnya. Saya ingin melindungi dia, apa pun yang terjadi
hingga semua terdapat pondasi kuat diantara terkuat.
“Rehyind, harus berjuang bagaimanapun keadaanmu
sekarang.”Kalimatku setiap saat tanpa pernah bosan mengucapkan pernyataan
tersebut.
“Astaga, kumengertimi itu ucapanta tidak usah lagi
diulang terus,” celotehnya setiap saya mengeluarkan pernyataan tersebut
kembali.
“Rehyind, sebenarnya cita-citamu itu apa?”
“Saya ingin menjadi seorang arsitek, dimana membuat
berbagai konsep desain gedung, kota, pariwisata dengan keunikan-keunikan
tertentu.”Jawabannya di hadapanku.
“Berarti kau bisa memajukan parawisatanya Toraja
nanti itu, kalau begitu ceritanya.”
“Kalau Tuhan menghendaki saya kembali ke Toraja
setelah dari perantauan.”
“Rehyind, biar kita itu di daerah atau negaranya
orang, haruski tetap ingat kampung halaman danasal daerah kita sendiri.”
“Itu baru rencana, tapi, sesuai pernyataanmu saya
akan berjuang mengejar mimpi bagaimanapun keadaanku sekarang.”Kalimatnya penuh
semangat.
“Itulah yang kusukai dari dunia Arelhyind,”
teriakanku.
“Tapi, saya mau kerja dulu baru setelah itu
kulanjutkan sekolahku kembali di ibu kota,” kalimatnya kembali.
“Kenapa bisa?”
“Uangku sekarang tidak cukup buat lanjut di
universitas, saya mengumpulkan uang hanya bisa membiayai sekolahku yang
sekarang.”Jawaban dari pertanyaanku.
“Tetap semangat,” tanganku menepuk bahunya.
“Kalau boleh tahu, kau mau kuliah dimana ssetelah
lulus nanti?”
“Saya ingin menjadi seorang dokter spesialis
kandungan, suatu hari kelak mempunyai sebuah rumah sakit bagi mereka yang
berkekurangan.”Kalimatku.
“Wow, seperti bahasa unyu-unyu sekali itu
kata-katamu, tidak sperti biasanya berkata-kata,” tawa Rehyind meledak seketika.
“Tidak bercandaji orang bosss…” sindiranku.
“Bagaimanakah caramu juga bicara seperti anak
perempuan, bos,” celotehnya.
“Rehyind, ini hanya sekedar berandai-andai, dengar
garis bawahi istilah andai kata,”
“Terus,” ujarnya.
“Kalau saya berhasil menjadi seorang dokter
spesialis bahkan telah memiliki uang banyak, dan rencanaku mebuat rumah sakit
berkualitas tanpa membeda-bedakan ataupun menolak pasien dengan berbagai alasan
dalam hal keuangan…” kalimatku.
“Langsung pada pokok pembicaraan saja, tidak usah berbelit-belit,”
kata-katanya sedikit emosi.
“Yang ingin saya katakan, konsep desain untuk
bangunan rumah sakitku nanti seperti apa cocoknya?” pertanyaanku.
“Kenapa pertanyaan seperti ini diarahkan kepada
saya?Mana saya tahu,” celotehnya.
“Pasti kau tahu, karena kelak seorang Rehyind akan
menjadi arsitek terkenal.”
“Hahahahahaha, belum saatnya masih maukah belajar,”
gurauannya.
“Mulai dari sekarang itu kemampuan digali, bos”
teriakanku di telinganya.
“Konsep rumah sakit yang tepat untuk perencanaan,
bercerita tentang pohon kaktus.”
“What, coba diulang pernyataanmu tadi,” lengkingan
suaraku sedikit mengejutkan.
“Kau harus dengar dulu, tentang desain gedunng yang
kujelaskan…” tutur Rehyind.
“Gedung rumah sakit berbentuk kaktus dengan beberapa
tetes embun pada tubuhnya di tengah padang pasir. Hal paling menarik adalah
seakan semua yang terlihat hanya padang pasir dan pohon kaktus terbungkus duri
pada tubuhnya, tidak ada air sama sekali. Akan tetapi, di bagian paling
terbawah bahkan kedalaman akar tingkat terbawah terdapat limpahan air luar
biasa.Kesimpulannya, gedung rumah sakitmu nanti, harus memiliki akuarium besar di
ruang bawah tanah seperti saat berada di lautan dengan segala
keindahannya.”Penjelasannya.
“Kenapa konsepmu seperti itu, apakah ada makna
terselubung dibalik jenis gedung rumah sakit yang kau tawarkan terhadapku?”
“Pohon Kaktus itu dipenuhi banyak duri bahkan begitu
menyakitkan pada setiap tusukannya, menggambarkan bahwa banyak orang yang masuk
ke rumah sakit ini terbungkus berbagai penyakit bahkan menusuk di tingkat
kedalaman paling mengerikan.Duri berbicara tentang berbagai penyakit mematikan
menusuk seluruh tubuh.Padang gurun bercerita lingkaran kehidupan dengan
berbagai pergumulan.Kemudian, pada tubuh kaktus terdapat beberapa tetes embun
menggambarkan tentang sebuah pengharapan ditengah penyakit mematikan yang terus
saja membungkus tubuh.”Ucapannya, tanpa terputus sedikitpun.
“Terus akuariumnya bercerita tentang apa?”
“Berbicara tentang seseorang mempunyai pengharapan
sekalipun semua terlihat mustahil, mempercayai bahwa di tengah padang gurun
tersebut masih terdapat air yang berlimpah. Seberapa mengerikan apa pun
penyakit, tetap percaya pasti ada kehidupan, hingga pengharapan akan kesembuhan
benar-benar akan menjadi nyata suatu hari kelak.Itulah mengapa saya
menginginkan akuarium luas di dasar bawah tanah rumah sakitmu nanti.” Dunia
Rehyind dan saya sama seperti pohon kaktus tersebut di tengah padang gurun.
Suatu hari kelak mimpiku akan terwujud, hingga rumah
sakit dengan konsep desain yang dijelaskan oleh Rehyind dapat tergenapi dalam
langkahku. Sejak ucapannya tentang pohon kaktus, sebuah perasaan special muncul
begitu saja di dasar hatiku.Saya menyukai Rehyind bahkan sedetikpun tidak ingin
melepasnya sedikitpun. Saya ingin bersama-sama mewujudkan impian, bagaimanapun
dan seperti apa pun keadaan di depan mata. Pemgharapanku masih ada untuk
mengejar mimpi tersebut.
“Umba minanai dako lanjutkan tu pendidikanmu,
(dimana kau akan pendidikanmu)?” Rehyind
bertanya.Menyadari maksud dari pertanyaannya, dikarenakan kami hanya menunggu
hitungan minggu untuk meninggalkan sekolah ini. Apakah saya akan melakukan hal
yang sama seperti dirinya, bekerja untuk beberapa waktu kemudian melanjutkan
pendidikanku selanjutnya.
“Entahlah,” jawaban dariku.
“Kenapa kau berkata entahlah, sedangkan hal seperti
ini merupakan masa depanmu selanjutnya?”
“Saya masih dalam pergumulan tentang keuangan,
sementara kuliah kedokteran membutuhkan biaya banyak.”
“Seorang Juan mempunyai impian menjadi seprang
dokter spesialis kandungan kelak, saya meragukan pernyataanmu tentang dana.”
Tatapan mata Rehyind benar-benar tajam.
Untuk pertama kali tatapan Rehyind benar-benar tajam
menjelaskan tentang mimpi yang harus dikejar apa pun keadaan di depan mata
sekarang. Menginginkan langkahku harus memainkan irama di suatu lingkaran
tertentu, itulah maksud dari pernyataannya.Masing-masing orang memiliki
tingkatan karakter berbeda-beda dengan dunia tersendiri. Perjalananku dalam
dunia medis sebentar lagi akan dimulai, hanya menunggu waktu.
Hari berganti hari, hingga bulan juga berganti dan
pada akhir cerita kami berdua lulus dari sekolah tempat berjuang untuk beberapa
saat. Perjalananku akan berlanjut di ibu kota, tidak lagi duniaku bercerita
sekitar Tanah Toraja. Saya ingin tetap berada berada Rehyind sahabat terbaik
yang mampu memahami berbagai aspek kehidupanku.
“Rehyind, maukah juga pergi merantau di ibu kota
sama-samaki.” Kata-kata itu keluar begitu saja…
“Saya kira kau mau pergi di Makassar saja ikut tes jurusan kedok, kenapa kau ikutkah lagi ke
Jakarta.” Ujarnya.
“Tidak jadi, maukah ikotko saja di Jakarta baru saya
coba-cobami tes kedokteran di sana kalau lulus yah puji Tuhan, tapi kalau
tidak, berarti saya akan mengulang lagi tahun depan.” Jawaban buat sahabat
terbaikku.
“Wow, jalan ceritanya ini bosku tidak menyerah di
tengah jalan andai kata belum berhasil.” Celotehnya.
“Seperti itulah bos, hahahahahaha…” tawaku meledak
mendengar ucapannya.
“Kejar mimpimu, jangan ikut-ikut seperti saya harus
nganggur hanya demi mengumpulkan uang menuju perguruan tinggi.”
“Rehyind benar-benar aneh mentong, jangan seperti
saya, maksudnya?”
“Astaga, kalau kau uangmu pasti sudah cukup,
sedangkan saya masih membutuhkan banyak pergumulan lagi…” cetusnya.
“Kita mempunyai jalan kehidupan sama-sama miris
bahkan tidak merasakan kasih sayang sejak usia masih terlalu muda.Perbedaan
diantara kita hanya beda-beda tipis ibaratnya sebelas dua belas.”Kalimatku.
“Berarti kita akan bersama-sama menjalani berbagai
hal, apa pun itu,” sekali lagi pernyataanku keluar begitu saja.
Inilah kehidupan kami berdua antara dengan lainnya
harus saling memberikan kekuatan. Bersama-sama menjalani kehidupan baik susah,
senang, tertawa bersama, merasakan sakit, serta berbagai hal di suatu
lingkaran. Inilah yang dikatakan sahabat, akan selalu ada disaat apa pun
keadaan. Namun, jauh di dasar hati saya menyukainya lebih dari sekedar sahabat.
Setelah berhasil meyakinkan Rehyind, akhirnya kami
meninggalkan kampung tercinta menuju ibu kota. Awalnya, dia tidak mau kalau
seorang Juan hanya ikut-ikutan mengekor menuju ibu kota karena tidak mau
berpisah dari sahabat sejati. Memberikan jawaban paling mendetail tidak ada
hubungannya dengan apa pun juga. Saya hanya ingin mempunyai pengalaman serta
dunia lain tentang pendidikan, pemahaman/ pola pikir, wawasan dan berbagai hal
baru, hingga memilih ibu kota sebagai tempat kaki untuk berpijak. Sebagai
alasan agar tetap bersama sahabat terbaik
Menuju Makassar menggunakan bis, kemudian memakai
transportasi laut setelahnya hingga kami berada di Jakarta. Tanpa mengenal
siapapun di Jakarta, sebenarnya Rehyind memiliki teman di kota ini hanya saja
semua kontak hilang saat masih sekolah kemarin. Berjalan buta-buta tanpa
mengenal seorangpun di kota besar seperti Jakarta. Tinggal di sebuah rumah
susun pada lantai lantai paling atas, inilah yang dikatakan kehidupan paling…
Rehyind memutuskan bekerja selama beberapa saat,
kemudian melanjutkan kuliahnya. Saya sendiri mencoba mengikuti UMPTN kampus
negeri sekitar ibu kota, mengambil jurusan kedokteran. Uang untuk kuliah sudah
cukup, selama ini saya pantang menyerah bekerja demi biaya pendidikan
sendiri.Selama beberapa saat, tabungan buat makan masih dapat dikendalikan
hingga mendapat pekerjaan.
“Juan, aparakah napokada tu pia muane nenah (Juan,
apa yang dibicarakan itu cowok tadi)?Pertanyaan Rehyind membuatku tertawa.
“Saya juga tidak tahu, sepertinya orang Jawa itu
tadi.” Jawabanku..
“Ternyata,
bermacam-macam suku penuhi ibu kota, dimanami tinggal itu semua?”
“Di rumah keluarganya toh,” kalimatku tertawa
mendengar ocehannya.
BAGIAN TIGA…
JUAN…
Kalimat Rehyind ternyata jauh lebih kampung dibanding
dengan kehidupanku sendiri.Hal seperti ini membuatku sering tertawa sendiri
saat tertentu.Tutur katanya, benar-benar
membuatku tertawa selama berada di ibu kota, dia berusaha beradaptasi dengan
gaya logat bahasa khas Jakarta. Mendengar Rehyind berbicara seperti itu,
terlihat ganjil dan aneh saja. Mulai memakai kalimat lu dan gua, rasa-rasanya
mengocok perutku setiap saat.
“Gua makan dulu,” teriakannya.
“Sana lu, gua yang disini…” itulah kalimat ucapannya
setiap saat.
“Rehyind, santaimiki kalau bicara dan tidak usah
menjadi orang lain bos,” kalimatku setiap mendengar ucapannya.
“Itu urusan gua,” tidak memperdulikan ucapanku.
“Wow, dunia seorang Rehyind langsung berubah hanya
beberapa waktu di Jakarta, gimana kalau sudah sebulan…”
“Sini lu,” kalimatnya.
“Astaga, mauko logat dan gaya bicaramu seperti anak
gaul, tapi tetap muka juga logat-logatmu seperti orang Toraja, hahaahahaha…”
kalimatku tertawa lebar mengejek gaya bahasa yang dilontarkannya setiap saat.
“Berhentiko mengejek nah,” langsung kembali pada
logat semula, semakin mengocok perutku untuk tertawa.
Mencari pekerjaan di ibu kota begitu sulit, hingga
mengharuskan duniaku bekerja kembali menjadi kuli bangunan sama seperti yang
telah kulakukan sebelumnya di kampung. Pekerjaan sambilan demi biaya kehidupanku
di Toraja, menjadi seorang pengumpul pasir/kerikil di sungai, kuli bangunan,
bertani, memelihara ternak orang dengan membagi hasil.Inilah kehidupanku, namun
demi meraih cita-cita, seorang Juan tidak harus mengenal dunia gengsi-gengsian
seperti kebanyakan orang. Mendapatkan impian, akan terlihat menyenangkan jika
memiliki jalanan pendakian luar biasa tinggi hingga menguras keringat. Jika
semua bersifat lurus-lurus saja di depan mata, karakter paling mengerikan akan
mempermainkan iramanya lebih kuat.
Akhirnya pengumuman hasil UMPTN keluar juga,
tanganku membuka koran mencari namaku. Begitu banyaknya pendaftar bahkan
mencapai belasan ribu berjuang keras memasuki jurusan ini, hanya beberapa saja
dinyatakan lulus.
“Juan Allo,” membaca sebuah nama terselip diantara
nama-nama yang dinyatakan lulus.
“Terimah kasih Tuhan,” teriakanku melihat berita
kelulusanku. Berlari kencang hanya demi memberi tahu kelulusanku terhadap
Rehyind tanpa memperdulikan apa pun.
“Rehyind, ada berita terbaru,” teriakanku terhadap
Rehyind yang sedang berjalan ke arahku.Saya menyuruhnya bertemu denganku di
sekitar pinggir jalan raya yang tidak jauh dari rumah susun tempat tinggal
kami.Secara tiba-tiba, sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi ke arah
Rehyind.
“Rehyind…” teriakanku berlari kearah Rehyind
terbungkus darah segar.
“Tidak…” teriakanku melihat dia tergeletak tanpa
mendengar sedikitpun suaraku.Suara ambulans berbunyi keras, namun, detakan
jantungku jauh lebih kuat berteriak oleh karena Rehyind.
“Tuhan, jangan ambil Rehyind,” jeritan hatiku terus
saja berteriak melihat bagaimana Rehyind tidak dapat membuka matanya sama
sekali.
“Dokter, bagaimana keadaan Rehyind?” ujarku,
mengejar dokter yang baru keluar dari ruang pemeriksaan Rehyind.
“Beberapa tulang Rehyind patah dan harus di operasi,
jika tidak…” kalimat dokter terhenti…
“Jika tidak, kenapa dok?” ujarku sangat ketakutan.
“Rehyind akan mengalami cacat seumur hidupnya,
bahkan untuk melakukan aktifitas ringanpun dia tidak akan pernah bisa…”
penjelasan dokter.
“Biaya operasi Rehyind sekitar berapa dok?”
“Sekitar 70 juta karena keadaan Rehyind memasuki
kasus paling kritis diantara semua kasus yang pernah ditangani.” Membuatku
tidak dapat berbicara apa pun. Membayangkan senyuman seorang sahabat membuatku
tidak akan pernah bisa kehilangan dirinya. Mimpiku di depan mata dan sedikit
lagi akan tercapai untuk menjadi seorang dokter.
“Apa yang harus kulakukan, Tuhan?” jeritan
hatiku.Air mataku mengalir jauh mengalahkan air hujan disaat-saat tertentu
membasahi bumi. Bertahun-tahun saya bekerja demi mengumpulkan dana, untuk
meraih mimpiku saat ini.
“Seorang Juan
mempunyai mimpi, tanpa mengenal kata menyerah pasti bisa meraih segala
impiannya.”Kata-kata Rehyind terus saja terngiang pada telingaku.
“Rehyind, kenapa bisa jadi seperti ini?” tangisku
terus saja pecah, selama bertahun-tahun air mataku tidak pernah mengalir hingga
akhir cerita sedang mempermainkan langkahku sekarang.
“Dokter, lakukan yang terbaik buat Rehyind,”
kalimatku berusaha menghentikan butiran Kristal pada sepasang bola mataku.
“Baiklah,” ucapan dokter.
Uang bisa kukumpulkan kembali demi sebuah impian,
sekalipun harus membutuhkan waktu membuatnya seperti gunung. Seseorang yang
dapat menciptakan senyum dalam berbagai keadaan jauh lebih berharga lebih dari
apa pun. Tuhan tidak buta, melihat tentang sebuah keadaan pada lingkaran titik
tertentu dari perjalananku.
“Rehyind, harus berjuang untuk hidup,” jeritku jauh
di dasar hati.
“Kita sama-sama mempunyai mimpi, jangan pernah pergi
dari lingkaran kehidupanku.”Rasa takut terus saja membungkus perjalananku
sekarang.Pertama kalinya seseorang membuatku tertawa setiap saat adalah
dirinya.Kami sama-sama memiliki kehidupan mengiris hati bahkan tidak merasakan
kasih sayang keluarga. Saling menguatkan antara satu dengan lainnya…
“Suatu hari kelak, kamu akan meraih mimpimu menjadi
seorang arsitek ternama, bahkan hasil karyanya akan menjadi rebutan perusahaan
di tiap Negara. Berjuanglah dan tetap berada dalam lingkaran bumi, apa pun dan
bagaimanapun keadaannya.” Ungkapan hatiku terus memegang erat bahkan sangat
kuat jemari tangannya, sebelum menuju kamar operasi.
Pernyataan dari seorang Rehyind bercerita tentang, sepasang
kakinya terus saja memainkan irama di suatu titik tertentu.Irama tersebut
disaat tertentu membuatnya harus menjatuhkan butiran Kristal di tempat
tersembunyi. Dibalik semua itu membentuk dunia Rehyind belajar untuk bertahan,
apa pun bahkan bagaimanapun keadaan di depan mata. Tuhan, jangan ambil dia
sekarang, masih banyak hal yang harus dibuktikannya oleh langkahnya. Menit berganti
menit, jam berganti jam menunggu Rehyind keluar dari kamar operasi…
“Dokter, bagaimana keadaan Rehyind?” pertanyaanku
menghampiri dokter yang baru saja keluar dari kamar operasi.
“Berdoa saja, biar Rehyind dapat melewati masa
kritisnya,” jawaban dokter menepuk bahuku, kemudian berlalu…
“Rehyind, pasti dapat melewati keadaan ini,”
menanamkan begitu kuat dalam pemikiraku tentang dunia Rehyind.Berjaga sepanjang
malam di sampingnya bahkan terus saja menggenggam jemari yang terbiasa
melakukan pekerjaan kasar bertahun-tahun lamanya. Dunia kami tidak sama seperti
mereka dengan segala kekayaan membungkus, apa pun dapat dibeli. Kami harus
berjuang memakai kedua tangan melakukan berbagai pekerjaan kasar hanya demi
masa depan. Langkahku sama seperti Rehyind, tidak akan pernah mengenal sebuah
istilah gengsi atau malu membungkus sekitar area, dikarenakan kedua tangan kami
tidaklah sehalus orang-orang pada umumnya.
“Langkah kakiku memainkan irama, itulah ucapanmu
bahkan pada seluruh buku-buku pelajaran yang kau bawah, selalu saja kau
menyelipkan tulisan tersebut.” Mataku kembali berkaca-kaca.
“Saya ingin seorang Rehyind, memperlihatkan pada
kehidupanku bahkan seluruh dunia, kalau irama langkahmu jauh lebih kuat bahkan
mempunyai perbedaan dari siapapun disekitarnya.” Ungkapanku terus saja
menggenggam jemari tangannya.
“Hancurkan maut yang sedang menyerangmu sekarang,
karena saya masih menginginkan seorang Rehyind membuat irama langkah kaki
hingga membuat semua orang di sekitarnya tercengang-cengang.” Kalimat demi kalimat
kuucapkan hingga membuatku tertidur tanpa sadar di sampingnya.
“Juan, Juan…” sebuah suara membangunkanku dari
tidur.
“Rehyind, sudah bangun?” ujarku sangat bahagia.
Untuk beberapa saat rasa takut menghantui duniaku, bagaimana jika Rehyind tidak
akan pernah membuka matanya lagi. Seseorang yang terus ada dalam perjalananku
hanyalah sahabat terbaikku Rehyind.
“Juan, dari mana kau mengambil uang begitu banyak
untuk biaya operasiku?” pertanyaan Rehyind secara tiba-tiba setelah sadar
dirinya menjalani operasi dengan biaya besar.
“Intinya, saya tidak pergi mencuri untuk biaya
operasi,” jawabanku.
“Juan, jangan katakan, kalau…” Rehyind mulai
mencurigai sesuatu.
“Rehyind, jangan terlalu banyak bicara, kakimu to
belumpi stabil baru kau terus nyerotos berkata-kata…” mencoba mengalihkan
perhatiannya, biar dia tidak akan pernah membahas permasalahan biaya operasi.
Saya sudah tahu semua ini akan terjadi, Sehingga sebelum operasi tersebut
berjalan, berusaha meminta bantuan dokter agar mau merahasiakan tentang biaya
operasi tersebut.
“Dokter, jika
dia bangun jangan pernah mengatakan kalau saya adalah orang yang membayar
seluruh biaya operasi tersebut. Katakan saja, kalau rumah sakit ini memberikan
operasi secara cuma-Cuma bagi mereka yang tidak memiliki biaya satu sen pun.”
Kata-kataku memohon terhadap dokter tersebut dan masih saja terngiang pada
telingaku.
“Kalau Rehyind sampai tahu, pasti dia tidak akan
pernah bisa menerima semua ini.” Ucapanku di dasar hati.
“Juan, pasti ada yang kau sembunyikan, hanya saja
mulutmu berusaha memanipulasi untuk menutupi semua.”
“Astaga, tingginya tong bahasamu, garis bawah kata
memanipulasi, betul-betul kalau Arelhyind bicara…mmdddddddd..”
“Juan, jangan katakan kalau uang untuk kuliahmu kau
pakai biaya operasiku?” amarah Reehyind memuncak.
“Rehyind, yang sekarang harus ada dalam benakmu,
bagaimana caranya kau cepat pulih biar tidak bertambah banyak biaya rumah sakit
dibayar…” ujarku.
“Itu, pasti tabunganmu untuk mendaftar kuliah
kedokteran kau gunakan?”
“Kau ingin tahu, bagaimana bisa kau di operasi,”
ujarku berjalan keluar memanggil dokter untuk menjelaskan sesuatu hal.
“Dokter, jelaskan bagaimana dia menjalani biaya
operasi gratis di rumah sakit ini,” kata-kata di hadapan Rehyind dan dokter
tersebut.
“Rumah sakit ini, memberikan operasi gratis bagi
mereka yang tidak mampunyai uang satu sen pun. Para dokter menyumbangkan
sebagian uang gaji mereka bagi pasien dengan ekonomi lemah.” Kata-kata dokter
berbohong tanpa kecurigaan sedikitpun.
“Dokter, tidak berbohong untuk ucapan seperti ini
kan?” Rehyind masih mencari titik kebohongan ataupun scenario yang kami buat.
“Rehyind, stop berbicara atau curiga tidak jelas…”
nada kalimatku mulai meninggi.
“Iyah, saya percaya ucapanta sekarang,” tutur
Rehyind berusaha menghilangkan amarah dalam diriku.
“Tuhan, maafkan saya, bukan maksudku buat berbohong.
Engkau tahu, seandainya rehyind tahu apa yang sebenarnya terjadi, pasti rasa
bersalahnya terus saja membungkus setiap saat.” Kata-kataku memohon ampun di
dasar hati.
Saya masih bisa mengumpulkan uang untuk mengejar
mimpiku.Kata gagal mengejar mimpi tidak terjadi dalam perjalananku, melainkan
hanya berbicara tentang waktu. Saya masih bisa mengumpulkan dana, kemudian
kembali menjalani test memasuki fakultas kedokteran ke depannya. Kehidupan Juan
saat ini, tidak akan pernah bahkan sampai kapanpun tidak bercerita kegagalan. Kakiku hanya perlu mendaki lebih
tinggi lagi, untuk berada di puncak mimpi yang sebenarnya.
“Juan, bagaimana hasil test kedokterannya?”
tiba-tiba saja Rehyind bertanya sebelum akhirnya kami meninggalkan rumah sakit
tersebut.
“Rehyind harus beres-beres, biar kita keluar dari
rumah sakit ini,” berusaha mengalihkan perhatiannya.
“Apa Juan lulus test atau tidak?” mata Rehyind
mencari jawaban…
“Rehyind, dau’ mutiro-tirona susito’ (Rehyind,
jangan melihatku dengan pandangan seperti itu)” menepuk kepala yang masih
terbungkus perban.
“Juan lulus atau tidak?” teriakan Rehyind
mengagetkan seluruh penghuni rumah sakit.
“Betul-betul kalau sudah suaranya orang Toraja asli
keluar, hancur bumi na buat,” gurauan terhadapnya.
“Apa hubungannya Toraja dengan ini ucapan?”
cetusnya.
“Pasti ada bos, rata-rata suara dari suku Toraja
membuat bumi hancur berkeping-keping, baru suara itu, bagaimana dengan hal
lain, mampus ibu kota…” jawabanku.
“Saya serius, kau lulus atau tidak?” teriakannya.
“Saya tidak lulus,” kalimatku berbohong berusaha
menutupi kejadian sebenarnya.
Pendaftaran ulang terakhir kemarin, tapi seluruh tabunganku habis buat biaya
operasi Rehyind tidak tersisa sedikitpun. Untung saja, uang kontrakan rumah
susun sudah dibayaruntuk setahun sebelum
peristiwa kecelakaan tersebut.
“Juan pasti bohong,” Rehyind sama sekali tidak
mempercayai semua ucapanku.
“Astaga, ribuan bahkan puluhan ribu orang mendaftar
baru berapaji yang mau diambil, hanya bercerita tentang 100 ratusan
pendaftar.Coba berpikir, pasti saya tidak luluslah…” ujarku mencoba menjelaskan
lebih mendetail.
“Jadi…”
“Saya akan coba lagi tahun berikutnya, tidak usah
takut.Kehidupanku sampai kapanpun tidak akan pernah bercerita kegagalan, hanya bercerita
tentang waktu.”Mencoba menenangkan Rehyind, agar tidak larut dalam kekecewaan.
Tuhan, pada dasarnya saya memang ingin mimpiku
terwujud secepat mungkin. Namun, jauh di dasar hati rasa takut tidak akan
pernah melihat senyuman Rehyind lebih kuat dibandingkan apa pun juga.
Bertahun-tahun bekerja mengumpulkan biaya demi memperjuangkan masa depan,tanpa
mengenal lelah sedikitpun.
BAGIAN EMPAT…
JUAN…
Kembali memulai dari nol, untuk mengejar mimpi untuk
menjadi seorang tenaga medis berkualitas suatu hari kelak.Berusaha mengumpulkan
tabungan kembali demi mengejar mimpi.Bekerja dan berusaha menghemat segala
pengeluaran hanya demi sebuah perjuangan.Selama 5 tahun, saya terus berjuang
mengumpulkan biaya untuk mengejar impianku.Menciptakan berbagai alasan terhadap
Rehyind, bahwa saya telah mendaftar hanya saja tidak pernah dinyatakan lulus.
“Juan, kali ini pasti lulus tes kedokteran,” kalimat
Rehyind memberi semangat.
“Rehyind, sampai sekarang belum mendaftarkan diri
masuk kampus, sekarang sudah lewat 5 tahun,” mengalihkan pembicaraan.
“Jangan mengalihkan pembicaraan bos,” kalimat
Rehyind.
“Rehyind pernah berkata kalau hanya menganggur beberapa saat kemudian kuliah, dan kenapa
hingga detik ini belum mendaftarkan diri?”
“Saya pasti kuliah, tapi tunggu sampai Juan lulus
kedokteran dulu,”
“Rehyind, ini bercerita tentang masa depan bukan
permainan,” nada kesalku mulai bermain.
“Kalau begitu, Juan harus lulus kedokteran kali ini
baru saya akan melanjutkan kuliah.”
“Jadi, kalau saya makan kotoran manusia, kau juga mau
makan kotoran manusia, astaga, siapa yang mengajar pikiranmu seperti itu,”
gertakanku.Selama beberapa tahun, saya dibuat kesal olehnya, hanya karena
permasalahan tentang pendidikan.Rehyind, seakan bersikap acuh tak acuh terhadap
masa depannya.Saya pikir, kalau dia hanya menganggur untuk tidak kuliah sekitar
2 tahunan, kenapa menjadi 5 tahun seperti ini?
“Makanya, kali ini kau harus belajar sebaik mungkin
biar bisa lulus tes kedokteran.”
“Rehyind, kalau kamu menganggap saya sahabat
terbaikmu, berikan alasan paling tepat kenapa hingga detik ini bahkan untuk
mengambil formulirpun tidak pernah dilakukan olehmu?” pertanyaanku. Rehyind
bukanlah manusia pemboros, sama seperti manusia lainnya. Seluruh hasil
keringatnya selama ini, saya perhatikan tidak pernah dipergunakan ke arah yang
salah atau bersifat pemborosan.
Sekalipun kami bekerja, tidak sama seperti lainnya
berada di kantor dan mendapat gaji besar. Pekerjaan kami tetap sama seperti di
kampung kemarin, karena begitu sulitnya mendapat pekerjaan di ibu kota besar. Saya
masih bekeja sebagai kuli bangunan demi biaya hidup bahkan masa depanku
kelak.Saya ingin membuktikan, seorang kuli bangunan, dapat meraih impiannya
sekalipun membutuhkan waktu untuk berjuang. Rehyind sendiri bekerja apa pun
selama masih bersifat halal, semua pekerjaan sudah pernah dilakukannya. Mulai
dari tukang cuci, bekerja di kantin, tukang sapu-sapu jalanan, berjualan
keliling kompleks segala jenis dagangan seperti ember dan
teman-temannya.Bekerja sebagai buruh pada salah satu pabrik, berkeliling
berjualan baju-baju bekas serta permainan anak-anak.
“Saya ingin melihat Juan meraih mimpinya,” kalimat
Rehyind menyerahkan sebuah buku tabungan…
“Rehyind,”
“Selama ini, saya berjuang keras mengumpulkan uang
biar teman baikku meraih impiannya terlebih dahulu.” Pernyataan Rehyind
membuatku menyadari tentang sesuatu…
“Kita harus bersama-sama berjuang,” kalimatku
menolak buku tabungan tersebut.
“Apa kau pikir saya tidak tahu pengorbananmu
beberapa tahun lalu,”
“Maksudmu berkata-kata seperti itu?” pertanyaanku.
“Uang tabunganmu digunakan buat biaya operasiku,
masa depanmu rusak karena peristiwa kecelakaan tersebut.” Ucapannya.
Bertahun-tahun saya berusaha menutupi hal tersebut dari dirinya…
“Siapa bilang, saya benar-benar tidak lulus,”
teriakanku.
“Saya tahu semuanya, waktu itu tidak sengaja sebuah
koran hasil pengumuman kelulusan 3 tahun lalu terjatuh dari lemari. Kau lulus
diantara begitu banyaknya pendaftar, tapi kau berbohong…” koran beberapa tahun
lalu dilemparkannya di atas meja.
“Rehyind, saya
tidak bermaksud mau berbohong,”
“Tepat dugaanku, kalau seorang Juan mengorbankan
masa depannya hanya demi biaya operasi besar biar sahabatnya tidak cacat.
Dugaanku pasti betul dan tidak mungkin meleset.” Matanya
berkaca-kaca…
“Uang bisa saya kumpulkan, sekalipun membutuhkan
waktu beberapa lama hingga pada akhirnya mencapai nominal demi mengejar sebuah
mimpi.Tapi…” berusaha menarik nafas dalam-dalam tidak tahu apakah saya bisa
menatapnya.
“Tapi apa?”
“Belum tentu orang yang selalu ada bahkan sahabat terbaik
bisa saya dapatkan kembali.” berusaha menyembunyikan perasaanku terhadapnya.
Sekalipun saya tidak memiliki perasaan apapun, namun Rehyind tetap sahabatku
yang selalu ada memberikan kekuatan.
“Juan, jangan lepaskan impianmu,” menarik nafas
dalam-dalam.
“Sejak dulu hingga sekarang saya tidak pernah melepaskan
impianku sedikitpun, bertahun-tahun menjadi seperti ini, tidak berarti
perjalananku sudah berhenti.” Tatapanku terhadapnya berusaha memperlihatkan,
bahwa seorang Juan tidak pernah menyerah hanya saja menunggu waktu itu tiba...
“Juan...”
“Rehyind, tidak usah khawatir tentang masa depanku rusak
karena peristiwa kecelakaan beberapa tahun kemarin. Kita akan bersama-sama
mendaki gunung, sahabat akan selalu ada disaat berbagai badai membungkus
hidup.”
“Semua ini kesalahan saya,” Inilah Rehyind selalu
terbungkus perasaan bersalah oleh karena seluruh tabunganku habis hanya demi
biaya operasi dari kecelakaan beberapa tahun lalu.
“Sekali lagi saya ingin katakan, kalau uang bisa dicari,
walaupun membutuhkan waktu mengumpulkan hingga menjadi bukit, tetapi seseorang
yang begitu berarti belum tentu datang untuk kedua kalinya.” Berusaha menghibur
hati Rehyind.
Kehidupan kami berbeda dengan siapapun untuk berjalan di
suatu tempat. Di sekeliling kami, dapat saja berjalan dengan begitu mudah tanpa
hambatan, namun, berbeda dengan duniaku bersama Rehyind harus mengeluarkan
keringat bahkan membutuhkan waktu melewati suatu area tertentu. Dibalik semua
ini, hidupku belajar mengerti tentang kekuatan yang sebenarnya, bahwa jauh
lebih baik mengejar impian dengan membuat sebuah petualangan pendakian hingga
mengeluarkan tetesan keringat. Perjalanan lurus tanpa hambatan bahkan begitu
mudah meraih semua impian, tidak akan memperlihatkan seni kehidupan tersendiri
sampai kapanpun juga.
Kembali mengikuti tes kedokteran tahun ini, setelah
beberapa tahun lalu saya harus berhenti untuk sementara waktu. Umur tidak
menjadi masalah demi sebuah impian, selama ada kemauan untuk terus berjuang
serta berjalan. Selalu ada cara Tuhan dengan kekuatan TanganNYA membuat semua
indah pada waktunya. Rasa bahagia dinyatakan lulus membuatku tidak dapat
menahan air mata.
Saya tidak bisa menghentikan tetesan kristal dari
sepasang bola mataku. Rehyind bahagia mnedengar berita kelulusan saya
sekarang... “Tidak ada kata terlambat dalam sebuah pengejaran impian, selama
kaki masih menginginkan untuk terus berjalan dan berjuang.” Tutur kata Rehyind
menggenggam erat tanganku seakan ada sebuah kekuatan mengalir begitu saja
bahkan tidak akan pernah bisa lepas dari lingkaran kehidupanku.
Setelah setahun, mengikuti proses perkuliahan pada
akhirnya Rehyind mendaftarkan diri pada salah kampus di ibu kota mengambil kuliah
pada malam hari. Seluruh tabungannya setahun lalu dihabiskan demi membayar uang
pendaftaran masuk kuliahku. Tabunganku sendiri belum cukup, hingga di akhir
cerita dia terus saja memaksaku memakai uangnya menutupi sisanya. Suatu hari
kelak Rehyind pasti akan menjadi seorang arsitek dengan terobosan-terobosan
terbaru.
BEBERAPA TAHUN
KEMUDIAN...
“Dokter, tekanan darahnya tinggi sekali,” teriakan salah
satu bidan memeriksa tanda-tanda vital seorang ibu yang baru masuk.
“Berapa tekanan darahnya,” ucapanku
“Sistol 180, sedangkan diastolnya 120 mmHg, dok,”
menjawab pertanyaanku.
“Ibu tidak pusing atau sakit kepala,” secepat mungkin
memeriksa keadaannya.
“Tidak dok,” berusaha menutupi keadaan dirinya,
“Dokter, seluruh kakinya mengalami edema,”
“Ibu ini mengalami preklamsia berat, terus lakukan pantauan
terhadap tekanan darahnya, segera berikan obat ini melalui cairan infus,
hindari jangan sampai terjadi eklampsia atau kejang hingga membahayakan janin
juga ibunya.”
“Baik dok,”
“Dokter, sakit...” teriakan dari pasien tiba-tiba
merasakan adanya his/ kontraksi.
“Sekitar pembukaan berapa” pertanyaanku.
“Sekitar pembukaan delapan, dok” sementara tangannya
masih melakukan pemeriksaan dalam atau dikenal sebagai VT (Vagina Touch) untuk
mengetahui apakah janin bergerak dalam panggul atau tidak, telah memasuki
pembukaan lengkap atau sebaliknya.
“Persiapkan alat partus,”
“Semua sudah siap dok,”
“Sakit...” kembali pasien tersebut berteriak.
“Sepertinya, sudah pembukaan lengkap,” tanganku kembali
melakukan pemeriksaan dalam...
“Ibu nafas panjang, mengedan kuat ibu,” tanganku berada
pada pintu jalan lahir untuk memimpin persalinan tersebut.
“Dokter, bagaimana keadaan istri saya?” Suami dari pasien
tersebut sangat khawatir.
“Ibu coba lihat perutnya sambil mengedan panjang biar si’
kecil cepat lahir.” ujarku mencoba mengarahkan pasien tersebut.
“Sedikit lagi ibu,” ucapan bidan Mesilia yang selama ini
bertanggung jawab penuh atas ruang INC/ intra natal care atau biasa disebut
ruang bersalin dari rumah sakit. Selama bersifat fisiologi, maka proses
kelahiran di pimpin oleh bidan, namun, jika memiliki kelainan atau komplikasi
terhadap persalinan maka dokter akan mengambil alih secara penuh. Masing-masing
memiliki tanggung jawab tersendiri, bersifat patologi merupakan perlu penanganan
khusus oleh dokter demi keselamatan ibu dan janinnya.
“Bidan, persiapkan oksigen untuk bayi”
“Akhirnya, Berhenti mengedan ibu...” sekali lagi
perintahku pada ibu tersebut, sambil membersihkan wajah bayi yang telah berada
di luar. Menunggu putaran paksi, hingga menyanggah bayi untuk keluar dari rahim
ibunya. Segera membersihkan jalan nafas bayi menggunakan dely...
“Jam berapa sekarang?” pertanyaanku melihat jam pada
ruangan tersebut.
“Pukul 01.47, dok”
“Bayi ibu berjenis kelamin laki-laki,” ujarku tersenyum.
“Suntikan oksotoksin secepatnya,”
“Baik, dok” kalimat bidan Mesilia.
“Bidan, pasang oksigen pada bayi,” perintahku setelah
melakukan klem kemudian memotong tali pusat dari bayi tersebut.
“Ngea ngea ngea,” suara tangis bayi.
“Letakkan bayi pada bagian atas perut ibu dan biarkan dia
sendiri mencari puting susu ibunya,” kalimatku kembali. Setelah proses
kelahiran, maka bayi harus diletakkan pada perut ibu menggunakan gaya tengkurap
atau seperti kata untuk melakukan IMD. Inisiasi Menyusui Dini akan membuat
ikatan batin antara ibu dan bayi makin kuat.
“Pantau tekanan darahnya,” ujarku terhadap yang lain.
“Dokter, tekanan darahnya mencapai 190/120,” jawaban
bidan yang lain.
“Kenapa makin naik,” Berusaha setenang mungkin.
“Secepatnya berikan obat untuk menurunkan tekanan
darahnya, hindari jangan sampai terjadi eklampsia,” ucapanku kembali.
“Ibu merasa pusing atau sakit kepala?” pertanyaanku
terhadap ibu tersebut.
“Saya tidak kenapa-kenapa dok, tapi bagaimana dengan
bayiku?” jawaban seorang ibu yang terus memikirkan kesehatan bayinya.
“Anak ibu baik-baik saja,” senyuman terpancar bahkan rasa
haru setelah mendengar kalimat tersebut.
“Wah, dia akan menjadi jagoan kalau besar nanti,” kalimat
bidan Mesillia tersenyum.
“Dia akan menjadi seperti ayahnya,” ucapan seorang ayah
sangat bahagia melihat kelahiran putranya.
“Bidan Mesil, observasi terus keadaannya selama 2 jam,
terlebih tekanan darahnya, jika tidak ada kemajuan segera hubungi saya,”
perintahku sebelum meninggalkan ruangan tersebut.
“Terimah kasih dok,” tangan seorang ayah memegang erat
lengan pakaian putih yang kukenakan, wajahnya memancarkan sinar kebahagiaan
itulah kalimat paling tepat buatnya.
“Itu sudah kewajibanku sebagai seorang dokter,” ujarku.
“Jagoan, jadi anak paling membanggakan suatu hari kelak
yah, seperti apa pun rintangan di depan mata.” berbalik ke arah bayi tersebut,
kemudian berlalu dari hadapan mereka.
Inilah saya yang sekarang berhasil menempuh kuliah
kedokteran dalam waktu singkat. Awalnya tidak mudah untuk menjalani, namun,
tangan Tuhan bekerja di setiap perjalanan hidupku hingga detik ini. Membuat
berbagai karya bagi perjalananku hingga akhir cerita memperlihatkan prestasi
demi prestasi. Rehyind sendiri mulai bekerja di sebuah perusahaan besar,
perjuangannya menjadi seorang arsitek baru saja dimulai. Sebelum mencapai
puncak seperti ini, tangan kami harus benar-benar menjadi tidak bernilai
dikarenakan pekerjaan yang dilakukan tidaklah seperti orang lain.
Kulit terkelupas karena melakukan pekerjaan kasar, namun
membentuk, inilah hidup kami sebelumnya. Tidak lama lagi, impianku memiliki
sebuah rumah sakit bertaraf internasional bahkan diakui oleh banyak negara akan
tercapai. Saya hanya membutuhkan waktu untuk menabung dan menunggu waktu Tuhan,
sama seperti keadaanku sebelumnya terhenti sementara waktu sebelum mencapai
impian tersebut. Sesuatu yang tidak akan pernah kusangkal bahkan sulit
kumengerti adalah seorang Juan menyukai sahabatnya sendiri hingga detik
sekarang.
“Tuhan, apakah kami untuk selamanya hanya akan
ditakdirkan sebagai sahabat, tidak lebih dari itu,” pertanyaanku setiap hari
jauh di dasar hati tanpa pernah mengungkapkan apa pun terhadapnya. Beberapa
kali Rehyind berjalan bersama pria lain, beberapa tahun belakangan ini, hal
tersebut membuat sebuah luka di dasar hatiku.
“Apakah untuk selamanya, dia hanya akan menganggapku
sebagai sahabat tidak lebih dari itu?” Berusaha mengubur sedalam-dalamnya
perasaan itu, karena apa yang kuinginkan belum tentu bisa kuraih.
Rasa takut dia pergi dari hidupku semakin kuat bermain
dalam perjalananku, semakin mengubur perasaan tersebut maka seakan membuatnya
semakin berbalik arah. Tuhan, rasa sayang untuknya sampai kapanpun tidak akan
pernah hilang bagaimanapun saya berjuang mengendalikan semuanya. Saat dia
berada dalam ruangan dari sebuah rumah sakit tanpa pernah bisa membuka matanya,
rasa takut terus saja bermain bagi kehidupanku. Saya tidak menginginkan dia pergi, rasa takut terus saja
mendekap.
“Dokter Juan,” suara seseorang membangunkanku dari
lamunan seketika.
“Rehyind...” kalimatku selalu bersemangat saat dia berada
di depanku.
“Wow, sepertinya sejak tadi dokter Juan pikirannya jauh
terbang entah kemana,”
“Sudah makan?” pertanyaanku.
“Belum, jadi sekarang mau traktir makan sepertinya.”
Senyuman Rehyind.
“Enak saja, kali ini giliranmu traktir makan, ngerti”
menarik tangannya menuju sebuah restoran yang tidak jauh dari rumah sakit.
“Masih ingat tidak? sewaktu pertama kali datang ke ibu
kota, terus melihat seorang anak membeli hamburger,” kalimat Rehyind tertawa
sejadi-jadinya membayangkan memori kemarin.
“Meledek, waktu itu kau ingin merasakan hamburger itu
rasanya seperti apa,”
“Terus, yang berlari membeli roti bulat harga seribu
rupiah, kemudian beli sayur daun singkong direbus pake garam doang ala Toraja,
bagian atasnya diulekin lombok terasi trus diisi, siapa punya ide.” Tawa
Rehyind makin meledak.
“Dibawah ke hadapanku lagi dengan wajah tanpa dosa sama
sekali,” tambahannya.
“Tanpa mengetahui isinya, langsung saja masuk mulut,
selanjutnya berteriak sejadi-jadinya,” tawaku meledak membayangkan wajah
Rehyind pada saat itu. Roti bulat dibelah kemudian diisi dengan sayur daun
singkong rebus beserta ulekan lombok terasi dan menganggap itu adalah
hamburger.
BAGIAN LIMA...
REHYIND...
Melewati masa-masa paling kritis bersama sahabat terbaik
dalam perjalananku. Terima kasih Tuhan, karena telah mengirimkan Juan sebagai
teman yang akan selalu ada bagiku dalam situasi apa pun. Bersama-sama berada di
sebuah rumah susun, saat menginjakkan kaki di kota besar seperti Jakarta.
Bekerja selama beberapa tahun, kemudian melanjutkan kuliah demi mengejar mimpi.
Hal yang tidak akan pernah kulupakan adalah pengorbanannya, membayar seluruh
biaya operasi besar akibat kecelakaan tersebut.
Juan berbohong tidak lulus pada ujian masuk kedokteran,
dikarenakan seluruh tabungannya habis membayar biaya operasiku. Hingga pada
akhirnya, saya tahu kalau dia berbohong sejadi-jadinya untuk menutupi semua.
Membutuhkan waktu beberapa tahun mengumpulkan kembali uang yang telah terpakai.
Tanpa sepengetahuannya, saya berusaha bekerja tanpa mengenal lelah hanya demi melihatnya memakai
sebuah jas putih suatu hari kelak.
Akhir cerita, Juan kembali mendaftarkan diri pada jurusan
yang sama setelah beberapa tahun selalu saja mencari alasan untuk tidak
mengikuti tes ujian masuk kedokteran. Juan dinyatakan lulus kembali pada ujian
masuk kedokteran setelah beberapa tahun berlalu. Setahun setelah Juan lulus,
saya pun memutuskan mengambil kuliah malam pada jurusan arsitektur. Dengan
demikian, saya masih dapat kuliah sambil bekerja hingga dapat menghidupi
kebutuhan kami berdua. Selama kuliah, kami saling menutupi biaya antara satu
dengan lainnya. Inilah dunia persahabatan kami, berat sama dipikul, dan ringan
sama dijinjing. Bersama-sama merasakan penderitaan, suka, duka, kebahagiaan di
setiap sudut perjalanan selama bertahun-tahun.
“Tuhan, apakah kami masih dapat berbagi disaat dia
menjadi milik orang lain kelak?” pertanyaanku setiap saat jauh di dasar hati.
Suatu hari kelak, Juan akan menikah dengan seorang wanita impiannya sama
sepertiku. Akan tetapi, satu hal, bahwa jika waktu itu tiba, saya percaya bahwa
persahabatan kami tetap kekal hingga maut datang menjemput.
“Lakukan riset tentang beberapa konsep yang lagi trend
sekarang ini,” perintah bos besar menginginkan pekerjaan sempurna.
“Baik pak,” segera melaksanakan perintahnya. Pekerjaanku
sekarang tidak lagi seperti kemarin yang penuh perjuangan dan memeras keringat.
Sebelumnya pekerjaanku menjadi tukang sapu jalanan, pembersih taman, penjual
sayur keliling, penjual keliling entah itu pakaian bekas atau baru di sekitar
perkampungan, dan banyak lagi. Namun, berbeda dengan sekarang berada di ruang
ber-AC tanpa membuat tanganku kasar kering hingga pecah-pecah tidak terurus.
“Rehyind, pekerjaan kasar seperti ini mengajarkan kita
tentang kekuatan dari seni kehidupan, jadi jangan ada persungutan.” Ucapan Juan
setiap saat membuat kekuatan tersendiri bagi perjalananku sampai kapanpun. Juan
selalu mengajarkan duniaku tentang kedewasaan akan terbentuk disaat jalanan
yang dilalui benar-benar memeras keringat disertai pergumulan hebat.
Terik matahari begitu kuat hingga membuat seluruh pakaian
basah karena keringat saat melakukan sebuah riset di beberapa jalan dari ibu
kota. Secara tiba-tiba seorang ibu hamil memegang tanganku memohon bantuan...
“Darah...” teriakanku.
“Tolong bawah saya ke rumah sakit terdekat,” ucapan ibu
tersebut.
“Taksi...” teriakku sangat gugup sambil berusaha menahan
taksi di depan.
“Pak, ke rumah sakit Harapan Kasih,” ucapanku berusaha
membawa ibu tersebut masuk ke dalam taksi.
“Baik...” ucapan sopir taksi. Rasa takut, cemas, keringat
semua menyatu pada tubuhku sekarang, bahkan tidak tahu harus berkata-kata.
Menghubungi Juan sebelumnya, agar menjemput saat taksi tersebut berhenti di
depan rumah sakit.
“Rehyind...” teriak Juan menuju taksi tersebut berhenti.
“Ibu ini tiba-tiba mengeluarkan darah segar begitu saja,”
ucapku gugup dan ketakutan.
“Ibu, apakah ada rasa nyeri yang ibu rasakan?” pertanyaan
Juan memeriksa keadaannya.
“Sama sekali tidak dok,” jawaban ibu itu.
“Jangan-jangan...” ucapan Juan.
“Bidan mesil, jangan lakukan pemeriksaan dalam,”
perintahnya sebelum ibu itu di bawah pergi.
“Rehyind tunggu saja di ruang sana,” suara lembutnya
sebelum dia beranjak dari hadapanku.
“Saya ingin terus mengetahui keadaan ibu ini, jadi saya
ikut,” ucapanku berjalan mengekor di belakang.
“Jika diperhatikan dari gejalanya darah segar mengalir,
sepertinya plasenta ibu tertanam pada segmen bawah lahir atau dikenal sebagai
plasenta previa.” Penjelasan Juan setelah berada pada ruang dimana ibu tersebut
terbaring.
“Jadi dok,sedangkan umur kehamilannya belum memasuki
aterm atau masih kurang dari 37 minggu.” kata-kata salah satu dari bidan di
rumah sakit ini.
“Hanya saja belum diketahui apakah plasenta previa
totalis, lateralis, atau marginalis, bawah ke ruang USG sekarang.” Perintah
Juan.
“Juan, Plasenta previa totalis dan teman-temannya itu apa
yah?” tanyaku tidak memahami istilah mereka.
“Plasenta previa totalis plasenta menutupi sluruh ostium
uteri, lateralis dimana plasenta hanya menutupi sebagian ostium uteri internum,
sedangkan marginal hanya berada pada tepi ostium semata.” Juan berusaha
menjelaskan penuh kesabaran.
“Oh begitu...” kepalaku mengangguk-angguk tanda mulai
mengerti.
“Wajar, karena Rehyid bukan salah satu dari tenaga medis
kan,” celotehnya kembali.
Tidak lama kemudian, setelah pemeriksaan di ruang USG ibu
tersebut segera dibawah kembali ke ruangannya. “Bidan Lativa, segera drip
duvadilan 2 ampul sekitara 8-10 tetes/menit karena perdarahannya sedikit saja,
ingat 12 jam observasi untuk melihat terus perkembangannya.” Ucapan Juan pada
salah satu dari bidan tersebut.
“Baik dok,” kalimat bidan Lativa.
“Pantau terus tekanan darah dan fekuensi nadi pasien
secara teratur tiap 15 menit untuk mendeteksi adanya hipotensi atau syok akibat
perdarahan. Walaupun perdarahannya sedikit tapi harus tetap berjaga-jaga.”
Kalimat Juan lagi.
“Dokter, bagaimana bayi saya?” pertanyaan ibu tersebut
sangat khawatir.
“Janin ibu masih dalam keadaan sehat kok,” jawaban Juan.
“Syukurlah,” rasa lega terpancar dari ibu tersebut.
“Kalau perdarahan ibu sudah berhenti dan diperbolehkan
pulang, sebaiknya ibu jangan melakukan hubungan sex hingga bayi lahir, tidak
boleh bekerja keras. Jika terjadi perdarahan lagi, ibu harus segera kembali ke
rumah sakit.” Penjelasan Juan terhadapnya.
“Sampai segitunya menjelaskan...” gumamku menatap Juan
sambil mengekor di belakang kemanapun ia pergi. Ternyata seperti ini pekerjaan
Juan setiap harinya di rumah sakit sebesar ini.
“Juan, penyebab dari penyakit apa namanya tadi yang kau sebutkan...”
kepalaku pusing mengingat bahasa-bahasa alien mereka.
“Plasenta previa maksudnya?” ucapan Juan menyodorkan
minuman di kantin rumah sakit.
“Yah seperti itulah maksudku,” ucapku.
“Belum diketahui pasti sih, tapi frekuensi plasenta
previa meningkat karena kemungkinan bekas seksio sesarea, bekas aborsi,
kelainan janin, anak pertama pada wanita yang telah berumur.” Penjelasan Juan
dari pertanyaanku. Pekerjaanku jauh berbanding terbalik dengan dunianya, tangan
Juan dipakai di dunia medis sedangkan saya mencari desain gedung di suatu
tempat.
Saya selalu memimpikan tentang hasil karyaku yang menjadi
rebutan banyak negara dan diakui oleh internasional. Tuhan, waktuMu indah pada
waktunya bagi perjalananku suatu hari kelak. Saya menyukai pernyataan Juan, bahwa
iman tanpa perbuatan pada hakekatnya mati total untuk perjalanan seseorang.
Maksud dari ucapannya, dimana seseorang yang hanya percaya semata-mata dan
berdoa kepada Tuhan, tanpa melakukan sebuah tindakan pada hakekatnya mati
bahkan tidak akan pernah menghasilkan apa pun. Juan selalu mengajarkak duniaku
untuk bertindak seperti apa pun hasilnya di depan mata.
Sekalipun gagal berulang kali, namun, harus terus maju
menciptakan sebuah terobosan hingga akhir cerita membentuk
keberhasilan luar biasa. Berulang kali konsep desainku ditolak dan ditolak
hanya akan bercerita penolakan, namun, saya tidak tidak boleh menyerah begitu
saja. Saya harus tetap bertindak dari iman yang saya miliki sekarang hingga
tangan Tuhan turun tangan dan bekerja di dalam. Tidak menjadi kecewa apa pun
hasil-hasil sekarang, ini hanya sebagian dari pembentukan dan tidak bercerita
tentang kegagalan terus-menerus.
Setiap harinya mencari ide-ide dalam konsep desain gedung
dan lain sebagainya. Tanganku terus saja memainkan pulpen serta kertas di depan
mata setiap malam. Jauh berbeda dengan Juan yang selalu berada di rumah sakit
bahkan hingga shift malam atau terbangun dari tidur demi sebuah nyawa.
“Saya mempunyai ide, agar karyaku diakui oleh banyak
negara,” tiba-tiba hatiku bersorak gembira menemukan memikirkan ide tersebut.
“Yah, saya harus mencari email atau akun asli dari para
pejabat di beberapa negara serta mengirimkan kepada mereka tentang konsep
desain yang berada di otakku selama ini.” Tanganku sangat begitu saja aktif
berada di depan layar laptop mencari dan mencari...
Inilah kehidupanku,mencoba mengirimkan hasil konsep
pariwisata pada salah satu pemimpin negara melalui dunia medsos. Apa pun
hasilnya, setidaknya saya sudah mencoba akan sesuatu yang belum pernah
terbayangkan sama sekali. Saya tidak harus kehabisan akal akan hal tersebut.
Mencoba menjelaskan salah satu desain pariwisata ke negara AS untuk pertama
kalinya, walaupun hanya memakai jejaring sosial.
“Sesuatu dibalik air terjun” lebih tepatnya jenis desain
pariwisata tersebut. Dibelakang sebuah air terjun terdapat sebuah banguna
menyerupai ikan raksasa. Pada sekitar ekor dari ikan tersebut dibuat sebuah
pacuan kuda serta peternakan sebagai tempat berlibur banyak orang. Terdapat
kebun strobery, restoran, mall, hotel pada sekitar tubuh dari ikan raksasa
tersebut. Sementara, terdapat berbagai jenis permainan terlebih beberapa
permainan penuh jebakan sebagai penghibur hati pada sekitar sirip dari ikan
raksasa tersebut. Sekitar kepala dibangun stadium lapangan bola basket beserta
sepak bola dengan memakai konsep desain paling unik bahkan tidak pernah ada di
negara manapun.
Kenapa saya ingin memakai konsep desain seperti ini,
dikarenakan memiliki makna mendalam. Air terjun
bercerita tentang air mata yang selalu muncul saat berada dalam suatu
lingkaran tertentu. Bercerita tentang luka yang terus saja bermain dari
kehidupan seseorang. Air mata dapat mengalir begitu saja, saat mencurahkan
segala isi hati di hadapan Tuhan. Namun, tetap mempercayai dibalik air mata
tersebut akan membentuk pemandangan tersendiri bagi kehidupan seseorang. Waktu
Tuhan indah pada waktunya, air mata yang terjatuh di dalam sebuah doa tidak
akan pernah kembali dengan sia-sia.
Ikan yang berada dibalik air terjun, akan selalu
mengingatkan tentang arus badai dapat membentuk dunia seseorang. Pada akhirnya
air mata karena badai akan memperlihatkan seni kehidupan. Air mata karena badai
hanya bersifat sementara bukan untuk selamanya. Selain bercerita tentang ikan
yang terus berenang sekalipun arus besar terus saja bermain di lautan luas.
Berada di lautan luas, ikan tersebut tidak pernah asin menjelaskan bagaimanapun
keadaan disekeliling hidup tidak akan pernah terbawah arus gelombang kehidupan.
“Tuhan, kelak karyaku pasti menjadi rebutan seluruh
negara, amin,” doaku setiap saat di dalam kamar. Berdoa, berjalan, bertindak,
belajar itulah yang kulakukan sekarang bagi masa depanku. Saya hanya menunggu
waktu Tuhan indah pada waktunya bagi kehidupanku sekarang.
“Saya akan mengirim beberapa karyaku lagi ke beberapa
negara lain selanjutnya.” kata-kataku berbicara pada diri sendiri.
“Rehyind, semangat dan jangan pernah menyerah...” memberi
semangat pada diri sendiri.
“Untuk beberapa saat, saya harus merahasiakan ini dari
Juan.” menatap foto Juan yang terpampang pada meja kerjaku. Terkadang saya
selalu bertanya, kenapa Juan hingga detik ini belum pernah sedikitpun melirik
seorang gadis? Sementara saya sendiri, sudah beberapa kali putus nyambung dari
beberapa cowok. Hubunganku tidak bertahan lama, dikarenakan pemikiranku
berbanding terbalik dengan mereka. Dengan kata lain, saya memiliki hubungan
jangka pendek dengan beberapa cowok belakangan ini.
Setidaknya, untuk urusan percintaan saya masih jauh lebih
baik dibandingkan Juan yang sama sekali tidak pernah terlihat berduaan dengan
seorang wanita manapun. Apakah Juan akan selamanya menjadi perjaka tua dan
tidak menikah-nikah sama sekali? Pertanyaan yang terkadang menghantui
pemikiranku. Kalau dipikir-pikir, Juan tidak jelek-jelek amat bahkan masih bisa
dibawah pergi arisan dari segi bentuk fisiknya.
“Masa ia sih, Juan segitunya tidak laku di kalangan
wanita?” celotehku sendiri tidak jelas.
“Tuhan, apakah memang Juan ditakdirkan menjadi perjaka
tua selamanya?”
BAGIAN ENAM...
JUAN...
“Rehyind, kenapa menatapku seperti itu?” teriakanku terlihat
kesal dengan tatapannya.
“Kalau dipikir-pikir, kau tidak jelek-jelek amat,
tapi...” tangan Rehyind menggaruk-garukkan kepalanya.
“Apa maksud dari ucapanmu?” mencurigai sesuatu.
“Kenapa hingga detik ini, saya tidak pernah melihatmu
menggandeng seorang wanita manapun?”
“Ucapanmu ngelantur...” celotehku.
“Juan, kalau dipikir-pikir saya sudah berapa kali
mengalami putus sambung dengan beberapa orang, sedangkan jalan bersama seorang
wanita saja kau tidak pernah.”
“Apa gunanya pacaran sepertimu, baru berapa hari sudah
putus, sudah syukur kalau bertahan 3 bulan,” sindirku tertawa.
“Minimal, dari pada tidak pernah sama sekali.”
kalimatnya.
“Kau menyindirku segitunya,” amarahku sedikit memuncak.
Dia tidak pernah tahu, jika selama ini saya menyukai dirinya.
“Juan, memangnya kau mau jadi perjaka tua seumur
hidupmu?” Pertanyaan Rehyind menyindir.
“Kau saja hingga detik ini tidak nikah-nikah, berarti
perawan tua dong, hahahaha”
“Enak saja kalau bicara,” emosi Rehyind memuncak.
“Rehyind, kemarin kau sepertinya membuat seorang pria
menangis sejadi-jadinya karena lamarannya kau tolak?” pertanyaanku.
“Oh kemarin, itu karena karakterku dengan dunianya
berbanding terbalik dan sangat berlawanan arah, tidak akan pernah bersatu
sampai kapanpun juga.” Jawaban Rehyind.
“Kalau kau mencari yang sempurna, biar ke ujung dunia
dicari tidak bakalan kau dapat. Manusia tidak ada yang sempurna,” ujarku.
“Juan, bukan permasalahan sempurna, tapi bagaimana
seseorang di depan mata dapat bersikap di saat berhadapan dengan beberapa hal
ataupun keadaan.” Ucapan Rehyind.
“Maksudnya?”
“Pernikahan itu sakral bukan permainan, membutuhkan
pondasi kuat dalam membangun bahtera rumah tangga. Saya ingin pernikahanku
hanya sekali seumur hidup bukan berulang kali sama seperti kebanyakan orang di
kota ini.” Jawabannya membuatku semakin menyukainya bahkan terlalu mendalam.
“Apakah dia hanya akan menjadi sahabat saja seumur
hidupku, Tuhan?” Rasa sakit luar biasa mulai bermain dalam kehidupanku
sekarang.
“Ciri-ciri calon suami ideal menurutmu, seperti apa?”
“Berkarakter tersendiri dari siapapun juga pastinya,
mampu mengarahkan kehidupanku tentang membuat langkah irama saat berada di
suatu lingkaran tertentu, harus sabar menghadapi kebiasaan burukku dengan
tingkah lakunya yang membuatku tidak pernah bosan.” Jawaban Rehyind. Beberapa
hari, memikirkan ucapannya dan memperhatikan lebih mendetail tentang karakterku
saat bersama dengannya.
“Apakah saya terlalu membosankan, jika berada di
hadapannya?” gumamku sendiri.
“Dokter Vanya, coba perhatikan karakterku apakah terlihat
membosankan?” pertanyaanku terhadap salah satu dokter di rumah sakit Harapan
Kasih.
“Memangnya Kenapa dok?” dokter Vanya terlihat gugup.
“Saya suka dokter Juan apa adanya,” jawaban Vanya
membuatku tersadar sesuatu hal.
“Mampus saya...” tanganku menepuk jidat sendiri. Sejak
awal masuk ke sini, anak pemilik rumah sakit ini terus saja mencari perhatian
tidak jelas. Dokter Vanya naksir berat dan terus saja mengekor kemanapun saya
berjalan. Beruntung Rehyind tidak pernah ada, jika dia mengekor seperti cacing
kepanasan.
“Kenapa yah, terkadang orang yang ditaksir tidak pernah
melirik sedikitpun,sedangkan ada seseorang berjuang keras mencari perhatian
luar biasa.” Gerutuku di dasar hati.
“Dokter, ada pasien baru masuk,” bidan Mesillia berjalan
ke arah kami. Kakiku segera berlari menuju ruangan Antenatal care tempat ibu
hamil memeriksakan perkembangan kehamilannya.
“Sejak tadi mencari dokter Juan, karena tidak mau
dilayani oleh dokter manapun juga,” ucapan bidan Lativa menunduk.
“Coba kita periksa kehamilan ibu sekarang,” ujarku.
“Saya mengalami perdarahan berulang-ulang dan cenderung
berwarna coklat, dok” kalimat ibu Yasita.
“Apakah sewaktu tes kehamilan, dinyatakan positif hamil?”
pertanyaanku memeriksa perutnya.
“Sekarang sudah memasuki minggu ke-berapa?” Pertanyaanku
lagi memeriksa kartu tinjauan kehamilan ibu Yasita.
“Minggu ke-24, dok” jawaban dari bidan Lativa.
“Berapa hasil tekanan darah ibu juga hasil TTV lainnya?”
pertanyaanku.
“Saya belum sempat observasi TTV dok, akibat keributan
tadi.” Kalimat bidan Lativa.
“Berikan alat tensi di sebelah meja kelender,” Sepertinya
ibu ini mengalami mola hidatidosa atau lazim disebut hamil anggur.
“Ibu mengalami preklampsia ringan, tekanan darahnya
140/90 mmHg.” kalimatku.
“Dok, apakah dokter mencurigai sesuatu?” pertanyaan bidan
Lativa.
“Pembesaran uterus tidak sesuai dengan umur kehamilan.
Perut ibu jauh lebih besar dibandingkan usia kehamilan pada umumnya. Saat
palpasi tadi, tidak teraba janin sama sekali.” ucapanku.
“Dokter, janin saya tidak kenapa-kenapa kan?”
“Ambilkan saya doopler untuk mengetahui pergerakan
janin,” ujarku terhadap bidan Lativa. Setelah memeriksa denyut jantung janin,
sama sekali tidak memperlihatkan tanda kehidupan janin dalam uterus ibu.
“Bidan Lativa, berikan saya sonde,”
“Baik dok,” Sonde tersebut akan dimasukkan perlahan dan
hati-hati ke dalam kanalis servikalis serta kavum uteri. Apa bila tidak ada tahanan
tepat dugaanku, kalau gejala ini adalah mola hidatidosa .
“Saya minta maaf sebelumnya, dengan berat hati mengatakan
kalau ibu sebenarnya tidak dalam keadaan hamil saat ini.” penjelasanku.
“Bagaimana bisa dok, sedangkan saya tes kehamilan dan
dinyatakan positif,” Kalimat ibu tersebut terlihat kecewa atas penjelasan
tersebut.
“Jika ibu masih tidak percaya, kita bisa melakukan USG
agar lebih meyakinkan lagi.” membawa ibu Yasita menuju ruang USG dan
memperlihatkan sesuatu...
“Kenapa bisa terjadi?” rasa kecewa ibu Yasita.
“Saya tahu ini, pasti kemarin ada nenek keriput usia 80
tahunan memegang perutku sampai akhirnya mencuri janin di rahimku.” Kalimat ibu
Yasita.
“Maksudnya, saya tidak paham?” pertanyaanku.
“Nenek itu selalu saja gosipkan melakukan ritual semedi
dengan mahluk gaib, jadinya, dia selalu berkeliling mencari wanita hamil,
karena bau harum dari janin seorang wanita sangat disenanginya.” Penjelasannya.
“Hahahaahahahahaha...” perutku sakit akibat tertawa.
“Kenapa dokter tertawa, nenek itu sengaja memegang ketika melewati
wanita hamil untuk diambil janinnya tanpa sadar.” kalimat ibu Yasita.
“Hahahahaahahahaha...” tawaku makin meledak.
“Dokter...” emosinya mulai terlihat.
“Ibu Yasita, jangan mempercayai hal seperti itu karena
hal tersebut hanyalah sebagian dari mitos belaka. Penyebab dari diagnosa yang
dialami ibu bukan karena nenek-nenek yang lewat di depan atau apa pun.” kalimatku.
“Lantas,”
“Bisa jadi karena adanya virus dan faktor kromosom yang
belum jelas, atau umur ibu terlalu tua, atau karena ibu kekurangan protein,
terkadang juga sosio ekonomi rendah hingga gizi tidak terpenuhi.” penjelasanku.
“Jadi bukan karena nenek yang tinggal sekitar rumahku?”
mulutnya menganga.
“Sama sekali tidak, dan jangan mempersalahkan semua nenek
di manapun mereka berada karena telah menghilangkan nyawa janin ibu.” berusaha
menahan tawaku mendengar ceritanya. Berusaha menjelaskan lebih mendetail
tentang kehamilan mola hidatidosa atau lebih dikenal sebagai blighted ovum
terhadap.
Hari ini harus secepatnya keluar dari rumah sakit,
berhubung pekerjaan saya sebagai seorang dosen pada beberapa kampus. Saya
menyukai dunia dosen, karena dapat berinteraktif dengan banyak mahasiswa.
Menjadi salah satu dosen obstetri patologi di sebuah kampus jurusan kebidanan.
Lumayan, buat menambah penghasilan ataupun pengalaman tersendiri di dunia
pendidikan.
“Berikan saya penjelasan defenisi dari hidramnion, etiologi,
terbagi menjadi berapa bagian, dan semua yang berkaitan dengan istilah
tersebut?” pertanyaanku di hadapan mahasiswa kebidanan.
“Ada yang bisa menjawab, saya pasti memberikan nilai plus
saat final nanti, kalau tidak...”
“Kalau tidak, apa yang akan terjadi dokter?” pertanyaan Viana.
“Maaf-maaf saja, tidak ada nilai plus lah,” lanjutanku.
“Dokter kan sudah berpengalaman, jadi jelaskan dong
defenisi dari hidramnion beserta etiologinya?” ucapan Zarah.
“Siapa juga berkata kalau saya seorang mahasiswa, hanya
saja, setidaknya dapat memancing knowledge kalian,” kata-kataku tidak ingin
terlihat kacau dalam mendidik.
“Hidramnion merupakan keadaan dimana air ketuban melebihi
batas abnormal selama kehamilan.” Tiba-tiba Viana menjawab.
“Berapa takaran ukuran air ketuban, sehingga dikatakan
hidramnion dalam kehamamilan?” pertanyaan dengan kaki terus berjalan ke kiri
dan kanan di hadapan mereka.
“Meneketehe dok,” ucapan Viana kembali.
“Kalau dosen kiler, sudah tentu nilaimu berujung error
dengan jawaban seperti ini,” teriak Zarah.
“Hahahaahahahaha, untung dokternya ga killer yah masih
bisa ditanggulangi,” ucapan salah satu dari mereka menciptakan tawa dalam
ruangan.
“Berhenti tertawa,” ujarku memakai suara tegas, hingga
membuat mereka terdiam.
“Dikatakan hidramnion jika jumlah cairan ketuban sekitar
2-3 liter tapi memasuki kategori hidramnion ringan, sedangkan ukuran normal air
ketuban sendiri berkisar 1-1,5 liter pada umur kehamilan 33 minggu.”
penjelasanku.
“Dokter, etiologi dari hidramnion ini...” pertanyaan
Viana.
“Dikarenakan gemeli atau bayi kembar, adanya infeksi,
hambatan pertumbuhan atau cacat hingga berhubungan dengan sistem syaraf pusat, penyumbatan/penyempitan
pada janin hingga tidak dapat menelan air ketuban, diabetes melitus.”
Penjelasan dari pertanyaan mereka.
“Dari pernyataan dokter tentang etiologi dikarenakan
cacat, yang berarti janin tersebut mengalami kecacatan penuh, tolong jelaskan
jenis kecacatan pastinya terjadi, dok?” pertanyaan Viana kembali.
“Pertanyaanmu
lumayan menarik, Cacat janin yang dimaksud pada bayi ananchepalus yaitu
bayi berkepala besar.”
“Dari tadi saya menangkap pertanyaan dokter tentang jenis
hidramnion, bisa dijelaskan lebih mendetail?” pertanyaan Tiarah.
“Hidramnion dibagi menjadi hidramnion kronis dimana
bertambahnya air ketuban secara perlahan-lahan dalam beberapa minggu atau
bulan, biasanya terjadi pada kehamilan lanjut.” Jawabanku.
“Selanjutnya hidramnion akut, penambahan air ketuban
tiba-tiba dan cepat hanya dalam waktu beberapa hari saja. Kejadian seperti ini
biasa terjadi pada kehamilan agak muda, bulan ke-5 atau ke-6,” lanjutan dari
penjelasanku.
“Dokter...” tangan Viana terangkat.
“Silahkan,” kalimatku memberi isyarat terhadapnya.
“Andai kata mendapat kasus kejadian seperti ini,
bagaimana penata laksanaan selanjutnya?” pertanyaan darinya.
“Dokter, jelaskan gejala-gejalanya juga karena kami masih
belum paham,” ucap Tiara.
“Gejalanya, perut lebih besar dan berat dari biasanya,
nyeri perut karena tegangnya uterus juga mual, edema/pembengkakan, bisa terjadi
syok, berkeringat dingin bahkan sesak pada proses akut.” Kedua kakiku terus
saja berjalan dari depan hingga ke belakang mereka...
“Jika di inspeksi, perut tegang dan sangat buncit, kulit
perut berkilat, retak-retak, sianosis, denyut jantung janin tidak terdengar.”
Mataku terus saja memperhatikan mereka.
“Bagaimana dengan penata laksanaan jika mendapat kasus
seperti ini, dok?” Tangan Tiara kembali teracung.
“Seandainya klien mengalami hidramnion berat maka harus
rawat di rumah sakit dengan mengobservasi periksa TTV, diet rendah garam,
berikan obat-obat sedativa dan diuresis. Jika sesak hebat disertai sianosis
juga perut tegang air ketuban dapat dikeluarkan dengan takaran dalam sehari
500cc perjam hingga keluhan berkurang.” jawabanku.
“Jika cairan dikeluarkan apakah tidak terjadi
komplikasi?” Viana bertanya kembali.
“Pasti ada, dapat terjadi his dan solutio plasenta
/pelepasan plasenta sebelum waktunya.” kalimatku kembali.
“Selain dari itu, apakah ada komplikasi lain?” pertanyaan
Viana kembali.
“Trauma pada janin, infeksi serta syok jika aspirasi
keluar darah, maka harus segera dihentikan untuk mengeluarkan cairan tersebut.”
Penjelasan kembali ke arah mereka.
“Kalau kejadian tersebut sewaktu partus?” Tiarah masih
menginginkan jawaban...
“Tusuk ketuban pada beberapa tempat memakai jarum pungsi
agar air ketuban keluar secara perlahan-lahan. Jika ketuban pecah tiba-tiba
sewaktu pemerikaan dalam maka masukkan tinja ke dalam vagina sebagai tampon
agar air ketuban keluar perlahan-lahan.”
“Tujuannya dokter?” pertanyaan Tiarah kembali.
“Biar tidak terjadi solutio plasenta, syok karena
tiba-tiba perut menjadi kosong atau perdarahan post partum karena atonia
uteri,” penjelasanku kembali.
“Saya rasa pertemuan ini, saya hentikan dulu karena
waktu, sekian dan terimah kasih, kita
lanjutkan pada kesempatan berikutnya.” Kalimatku memperhatikan jam menunjukkan
pukul 15.30 sore mengingat saya harus menjemput Rehyind.
Sewaktu hendak berjalan menuju parkiran dari kampus
tempatku mengajar, secara tiba-tiba... “Viana, awas...” teriakanku mencoba
menolongnya dari sebuah hantaman truk depan jalan kampus.
“Kamu tidak apa-apakan?” pertanyaanku.
“Tidak apa-apa dok, terimah kasih sebelumnya,” Viana
berusaha membersihkan pakaiannya. Berusaha membawa Viana ke sebuah kursi
panjang sekitar kampus tersebut.
“Sepertinya, kau lagi ada masalah sampai-sampai truk
besar lewat tidak diperhatikan,” memancing Viana.
“Benar-benar masalah besar, dok,” ujarnya terlihat kesal.
“Kau bisa curhat, siapa tahu saya bisa memberikan solusi
buatmu.” kalimatku.
“Saya tidak menyukai beberapa teman...” kata-katanya
terpotong.
“Saya perhatikan kau sangat akrab dengan siapa saja,
kenapa tiba-tiba ucapanmu menjelaskan seperti...”
“Saya tidak menyukai ketua tingkatku bersama sahabatnya itu,”
jawabannya.
“Kenapa? saya perhatikan dia baik,” ucapanku kmbali.
“Baik dari hongkong, seperti itulah kalau seseorang
pandai mencari muka di mana saja.” kata-kata judesnya terlihat jelas.
“Pertemanan itu, pada dasarnya mengajarkan tentang
pertahanan disaat melihat beberapa karakter tertentu sekitar area lingkungan
tempat kaki berjalan.” Ujarku.
“Dokter, puitis amat jauh beda kalau sudah di ruangan,”
“Viana, kata serius, puitis, becanda, persahabatan, tegas
harus disesuaikan pada tempatnya.”
“Apa yang akan dokter lakukan jika mempunyai teman
mengerikan seperti mereka?”
“Viana, memangnya sifat mereka seperti apa sih? sampai
segitunya.”
“Temanku itu hidup penuh kemunafikan, pandai mencari
muka, bicara tinggi alias sombong, kalau berteman tidak pernah bersifat netral,
dan banyak lagi karakter mereka paling buruk...” jawabannya.
“Penasaran!”
“Dokter, ada beberapa dosen dalam di kampus ini yang
sedikit berselisih, singkat cerita mereka dihadapan dosen
terlihat pandai berbicara. Permasalahannya, banyak mahasiswa tidak menyukai
salah satu dosen
itu dikarenakan sesuatu dan lain hal. Paling mengerikan,
mereka mengejek habis-habisan dosen tersebut dihadapan banyak mahasiswa. Pada hal, di depan dosen tersebut mereka menceritakan
segala hal ucapan terjelek dari banyak mahasiswa tentang diri dosen ini.” Penjelasan
Viana sangat marah.
“Memangnya kenapa sampai dosen ini tidak disukai
mahasiswa?” pertanyaanku.
“Karena sesuatu dan lain hal, ada sedikit
perselisihan, terlalu sulit untuk saya menjelaskan dokter,”
“Terus...”
“Pada dosen-dosen lain mulutnya luar biasa manis, terlalu
pandai mencari muka sampai-sampai beberapa nama temanku termasuk saya terlihat
buruk di mata beberapa dosen. Pada hal dosen-dosen ini hanya tidak menyadari
sifat karakter mereka.” Viana makin kesal.
“Saya itu pernah satu tempat praktek dengan ketua
tingkatku, bayangkan hanya karena mukanya sudah mulai mengenal dandan semua
orang diejek minta ampun,” ucapannya lagi.
“Memangnya ucapannya seperti apa?” tanyaku.
“Teman-temannya diejek muka kusamlah, zombie, jelek,
seolah-olah dia paling tercantik di dunia. Sementara dia tidak sadar kalau mukanya saja
bulan kesiangan gitu, gimana tidak, kulit hitam,
sedangkan muka dipaksa putih pake bedah apaan itu...” teriakannya.
“Hahahahahahahaha..” Tawaku meledak seketika.
“Kalau bicara tidak tanggung-tanggung terlalu sombong,
dibilang ada usahanya pacarnyalah, dapat kiriman apalah, pokoknya seakan-akan
ingin terlihat kaya di depan banyak orang. Dia itu orang kikirnya minta ampun,
uang galon harga Rp. 5.000,- saja setengah mati diminta mati-matian. Katanya orang
kaya, dikirimkan uang sekian dan sekian...” Celoteh Viana.
“Hahahahaahahahaha...” tawaku makin meledak.
“Paling parah, baru diurutan ke-3 saja pamernya luar
biasa di medsos. Pada hal banyak yang bilang kalau dia itu tidak pintar, hanya
saja karena dia ketua tingkat jadi nilainya terjamin. Maka dari itu, sejak dulu
dia tidak pernah mau jika dirinya dilengserkan dari jabatan itu.” Kata-katanya
panjang lebar...
“Hahahahahahaaha...”
“Dokter, sebenarnya dia itu ketakutan dengan sahabatnya
itu. kalau diselidiki ini manusia seperti apa yah, sebenarnya juga sih mereka
itu gila jabatan di kampus,”
“Siapa yang gila jabatan, Viana?”
“Siapa lagi, ketua tingkatku itu bersama sahabatnya, berjuang keras
biar semua dosen dan mahasiswa mengakui mereka. Sebenarnya ketua tingkatku itu
berjuang untuk menjadi ketua senat. Tapi...”
“Tapi apa?” rasa penasaran terus menggerogotiku.
“Saya banyak mendengar keluhan dari teman-temanku, jadi,
saya menentang habis-habisan dirinya menjadi ketua senat. Terkadang ujian saja,
dia nyontek di hp atau apalah, pamernya luar biasa di medsos prestasinya.
Wuiiiihhhhhh, hebat benner dia...” Kata-katanya.
“Wow...”
“Sahabatnya lagi, manusia yang satu ini seolah-olah
terlihat suci sekali, mengejek temannya kiri kanan tentang apalah,”
“Maksudnya, mengejek bagaimana?” tanyaku.
“Dokter, memangnya saya tidak tahu kehidupannya yang
sudah tinggal satu atap dengan pacarnya. Beberapa orang diejek tidak jelas,
permasalahan berpacaran sih, pada hal dia sendiri menurut gosip yang beredar
telah melakukan aborsi. Hebat sekali...” ujarnya.
“Viana,”
“Saya memang dosa menceritakan hal seperti ini, tapi
tidak tahu harus gimana lagi, sedangkan mereka buat status tidak jelas di
medsos permasalahan apalah gitu...” Ujarnya memperlihatkan wajah menunduk.
“Paling parah ini manusia munafik, menyuruh orang harus
tertutup kalau di kampus harus memakai kaos kaki yang tidak memperlihatkan
tumit, sedangkan dia sendiri sudah seatap dengan pacarnya. Kalau masalah,
pakaian sopan masih saya terimah, ini permasalahan kaos kaki, gimana coba?”
curhatan hati Viana.
“Keterlaluan juga sih, kalau sifatnya seperti itu,”
“Saya hafal mati sifat pemalas mereka, kalau di depan
dosen atau siapa terlihat rajin luar biasa, tapi aslinya malasnya minta ampun,
benar-benar munafik.” imbuhnya.
“Saya tidak pernah takut nilai-nilaiku akan bermasalah
menceritakan karakter mereka, kalau semua dosen berpihak kepada mereka,
silahkan,” tambahannya lagi.
“Kalau nilai-nilaimu error ma dosen-dosen lain, gimana
coba?” pertanyaanku.
“Saya tidak ambil pusing, toh, keberhasilan seseorang
tidak bisa hanya diukur dari IPK semata kan, kalaupun nilai-nilaiku menurun,
silahkan...” kata-kata Viana.
“Paling parah, saya selalu dikatakan sirik, pada hal
mereka tidak pernah mengoreksi karakter paling mengerikan dari kahidupannya.
Merasa diri paling cantik, ujung-ujungnya, kalau make-up mereka dilepas, minta
ampun menakutkan, seperti gerandong di siang bolong.” teriakan Viana.
“Hahahahaha...” tawaku meledak.
“Apa gunanya cantik, kalau polesan bukan alami. Paling
parah sudah seperti bulan kesiangan merasa cantik lagi, benar-benar tante
girang..Umur masih muda sekali, tapi muka tua luar biasa.” Kalimat Viana sangat
marah.
“Mereka juga tidak bisa menghargai iman orang lain, pada
hal kita diajarkan untuk saling menghormati antara satu dengan lainnya.
Sekalipun berbeda-beda, tapi harus tetap saling menghargai.” Kata-katanya lagi
sangat marah.
“Viana, jadilah bijak saat berhadapan dengan beberapa
karakter yang tidak kau sukai.” ucapanku.
“Saya tahu kalau posisiku sekarang adalah seorang
perempuan, bahkan kata sempurna juga tidak ada dalam perjalananku. Hanya saja,
karakter mereka benar-benar mengerikan, sedangkan mulut saya akan menyerang
jika melihat sesuatu hal yang menyimpang.” Perkataannya.
Kehidupan mengajarkan tentang banyak hal, termasuk
bercerita dengan beberapa situasi mengerikan. Viana merupakan mahasiswa
kebidanan, menjelaskan bagaimana permasalahan dari beberapa temannya. Inilah
kehidupan, ada saat seseorang akan terlihat ataupun bermain dalam suatu
panggung sandiwara. Namun, disisi lain seseorang harus tahu menempatkan situasi
tertentu. Ada saat ketegasan harus dimainkan, sekalipun mereka akan
berkata-kata. Menjelaskan beberapa hal kepada Viana, dan menjadi pendengar yang
baik untuk setiap curahan hatinya.
“Terimah kasih, dokter” ucapannya.
“Terimah kasih untuk apa?”
“Karena dokter mau menjadi pendengar setia untuk segala
curhatan hatiku,” ucapannya.
“Juan..” teriakan judes seseorang seakan suaranya tidak asing
lagi.
“Rehyind,” berbalik ka arah suara di sebelah utara dari
kampus tersebut.
“Itu pacar dokter yah?” pertanyaan Viana.
“Bukan,” ujarku.
“Ternyata, sejak tadi saya tunggu tapi...” amarahnya
meledak.
“Maaf dok, sepertinya ada tugas menumpuk jadi harus saya
selesaikan,” Viana segera berlari karena ketakutan.
BAGIAN TUJUH...
Rasa kesal dari
Rehyind mulai memuncak dikarenakan manusia super sibuk yang satu
itu tidak menepati janjinya.
Melihat pemandangan tidak menyenangkan di hadapannya saat ini. Bagaimana tidak,
seorang Juan melupakan janjinya demi menjadi pendengar setia salah satu
mahasiswanya sendiri.
“Viana, hari ini kau
kelihatan manisnya kebangetan,” Juan mencoba memancing Rehyiind dengan sengaja
member sebuah pujian pada Viana.
“Yang benner dokter,” wajah
Viana terlihat melupakan masalahnya.
“Benner banget bahkan pake
kebangetan,” Juan makin memancing.
“Saya hanya ingin membuat
dia terlihat panas,” kalimat juan di dasar hati.
“Wow, pemandangan paling
keren sepanjang abad,” Rehyind sedikit memperlihatkan emosi tanpa disadarinya.
“Rehyind, sejak kapan ada di
kampus tercintaku?” senyuman Juan mulai mengambang melihat reaksi sahabatnya
sendiri.
“Kau berjanji padaku hari
ini, tapi nyatanya…” kekesalan Rehyind sangat menjadi-jadi.
“Oh iya, saya lupa.” Juan
menepuk kepalanya sendiri penuh kesengajaan.
“Dokter, siapa dia?” tegur
Viana.
“Pacar dokter?” pertanyaan
Viana lagi mencoba menerka-nerka sebuah perasaan terpendam dari dosennya.
“Dia bukan pacar, tapi
sahabat sejak dulu,” senyum kecut Juan berusaha untuk dihilangkan.
“Untung bukan pacar, hanya
sahabat, hahahahaha…” tawa Viana.
“Memangnya kenapa?” Rehyind
sendiri tidak mengerti.
“Kenapa? Artinya, saya masih
punya kesempatan merebut hati dokter Juan.” Jawaban Viana kesengajaan
berkata-kata…
“Ternyata seorang dokter
Juan terlalu diidolakan juga di kampus tempatnya mengajar,” tutur Rehyind.
“Secara dokter Juan
pintarnya selangit, soal wajah,jangankan dibawah pergi arisan ke pesta-pesta juga
luar biasa menggiurkan.” Celoteh viana tertawa.
“Tapi, kenapa sampai
sekarang dokter Juan masih saja jomblo forever.” Cetus Rehyind.
“Rehyind, tidak segitunya
kali mempermalukan saya di hadapan mahasiswa.” Juan mulai kesal.
“Situ saja tidak
pekah-pekah,” sindiran Viana dan sama sekali tidak dipahami oleh Rehyind.
“Maksudnya?” Kalimat Rehyind
mencoba menganalisa pernyataan tersebut.
“Maksudnya, kalau saya itu
tidak pernah pekah terhadap perasaan Viana selama ini,” kata-kata Juan berusaha
membuat Rehyind tidak menyadari perkataan mahasiswanya sendiri.
“Yah, seperti itulah…” tutur
Viana berlari dari hadapan mereka.
“Gebetanmu lari tuh, tidak
dikejar?” kalimat Rehyind.
“Ga usah dikejar, nanti juga
baik sendiri.” Jawaban Juan.
“Dari pada nyessel mending
kejar saja,” Rehyind mulai tersenyum pada Juan.
“Nih manusia tidak pernah
pekah, sedangkan Viana saja langsung pekah dalam sehari bertemu dengannya.
Hampir saja…” celoteh Juan di dasar hati. Menyukai seseorang, namun keadaan
mengatakan lain.
“Kebetulan saya ada janji
dengan seseorang, jadi lain kesempatan saja kau menepati janjimu.” Rehyind
segera beranjak dari kursi meninggalkan Juan seorang diri.
“Dengan pacar baru lagi?”
teriak Juan.
“Baru tahap perkenalan belum
tahap pacaran bos,” balasan Rehyind sebelum akhirnya berlalu dari hadapan Juan.
Rehyind tidak pernah
menyadari perasaan sahabatnya sendiri selama bertahun-tahun terpendam.
Menganggap seorang Juan hanya sebatas sahabat dan tidak akan pernah lebih dari
itu. Seperti biasa Rehyind berada di kamar bersahabat dengan laptop untuk
mengirimkan hasil pikirannya ke beberapa Negara. Setidaknya dia selalu mencoba
dan mencoba, apapun hasil di depan mata, kata menyerah tidak akan pernah
bermain.
“Saya akan mengirim konsep
desain parawisata terbaru ke Kanada,” senyuman Rehyind mengembang…
“Sesuatu di dalam botol kaca
besar di tengah danau,” tutur Rehyind memainkan pulpen serta kertas-kertas di
hadapannya. Desain parawisata membuat sebuah area terlihat membentuk tujuh
tangga. Pada anak tangga pertama merupakan sebuah tempat pengguna kendaraan
sepeda. Halte bus dibuat pada anak tangga kedua, sedangkan kolam renang
terpanjang bermain pada area anak tangga ketiga. Anak tangga keempat jalanan
raya diselimuti tumpukan es ataupun salju dibuat berbeda sepanjang jalan. Pada
anak tangga keempat tersebut, aneka permainan dari balok es menjamur pada area
tersebut. Terdapat taman bermain pada tangga kelima, kebun stroberi dan
beberapa kebun buah-buahan berada pada anak tangga keenam. Pada anak tangga terakhir
atau ketujuh terdapat hotel sepanjang jalan serta sebuah menara dengan konsep
desain tersendiri dan belum pernah ada di dunia.
Sekitar area 7 anak tangga
tersebut, terdapat sebuah gedung serba guna atau dapat dijadikan teater, bahkan
stadion. Gedung tersebut mengikuti alur ketujuh anak tangga tersebut, sehingga
terlihat miring. Dan tidak lupa terdapat pula sebuah botol kaca pada pertengahan
danau dan tidak jauh dari area anak tangga itu. Di dalam botol kaca raksasa
terdapat taman bermain, pusat perbelanjaan, café dan restoran, dan beberapa
tempat penting di dunia objek wisata.
Tujuh anak tangga bercerita
tentang sesuatu hal harus dimulai setahap demi setahap. Tidak pernah bercerita
langsung berada pada puncak tertinggi, kaki harus mulai belajar memahami
perjuangan selangkah demi selangkah. Kehidupan akan mengajarkan tentang
kekuatan, jika dimulai dengan sebuah istilah yaitu setahap dan tidak bercerita
tentang langsung berada di puncak. Belajarlah berjalan di dalam sebuah area
lingkaran selangkah demi selangkah untuk mencapai sebuah puncak. Hingga akhir
cerita, duniamu tidak mengajarkan tentang kesombongan melainkan kerendahan hati
di setiap sudut persimpangan langkah kehidupanmu.
Sekitar area anak tangga
itu, terdapat sebuah botol kaca raksasa di tengah danau bercerita tentang
sebanyak apapun air matamu, ungkapkan segala kepedihanmu kepada Tuhan. Jangan
pernah berpaling terhadap hal-hal penuh penyimpangan sekalipun langkahmu penuh
goresan luka kehidupan. Bercerita botol menjelaskan wadah penampungan, danau
menggambarkan kumpulan air mata. Seberapa banyak air matamu mengalir, Tuhan
merupakan tempat penampungan segala keluh kesahmu. Menangislah di hadapanNYA,
ungkapkan segala isi hatimu di hadapanNYA. Di balik air matamu yang mengalir
akan membentuk kepribadianmu secara luar biasa di dalam sebuah botol kaca.
“Tinggal menunggu jawaban,
apakah di terima atau tidak?” kata-kata rehyind memandang terus pada layar
kmputernya.
“Saya tidak boleh menyerah,
suatu hari kelak seorang Arelhyind pasti menjadi arsitek terkenal di seluruh
dunia, amin…” kata-kata Rehyind setiap hari dalam doanya.
Rehyind berjuang keras agar
semua Negara mengakui hasil pikirannya. Membutuhkan waktu, tapi perjuangan itu
tidak akan pernah kembali dengan sia-sia. Rehyind
kembali memainkan lembaran kertasnya beserta komputer sekitar area kamar.
Membayangkan suatu desain kota tertentu terbungkus makna paling dalam.
“Desain kota akan coba saya kirim ke negara Australia,”
tuturnya tersenyum simple.
“Saya tinggal mengirim,
oke,” raut wajah penuh semangat tertanam kuat pada dirinya. Mengirimkan desain
kota dimana mempunyai cirri khas tersendiri bahkan suatu hari kelak dapat
menjadi pusat perhatian banyak orang.
“Serpihan Kertas, konsep
paling tepat dari desain kota hasil karyaku.” Rehyind terus memainkan tuts
keyboard dari computer di depannya. Sebuah kota dengan tema Serpihan Kertas
dibuat dengan cara berbeda. Sesuatu kota terlihat seperti dari sebuah menara
ataupun udara membentuk serpihan kertas yang sedang berhamburan. Sebelumnya
membuat patokan dengan menggambar atau memakai tali sebagai patokan sehingga
terlihat seolah terdapat serpihan kertas-kertas kecil bertebaran memenuhi kota
tersebut.
Serpihan-serpihan tersebut
berhamburan di dua tempat, terdapat lautan lumpur bercampur air keruh,
sedangkan dilain tempat terdapat lautan berwarna jernih kebiru-biruan. Pada
pertengahan kota yang terlihat seakan membentuk serpihan-serpihan kertas
berhamburan di udara hingga terjatuh pada 2 tempat berbeda, terdapat sebuah
menara. Kepala dari menara itu membentuk awan putih, sementara batang menara
sendiri membentuk tumpukan air mata terus mengalir membungkus secara
keseluruhan.
Dengan kata lain menara
tersebut membentuk sebuah awan putih, seluruh tubuhnya terbungkus
tetesan-tetesan air mata. Sekitar taman depan menara dibuat sebuah kirbat
raksasa tempat dimana tetesan air mata dari batang menara itu tertampung secara
luar biasa. Seseorang dapat menikmati pemandangan dari menara tersebut, juga
dapat melihat pemandangan kota yang membentuk serpihan kertas yang berada di
udara dan sedang berjatuhan di dua tempat berbeda.
Serpihan kertas bercerita
tentang gambaran berbagai jenis kehidupan seseorang dalam lingkaran bumi ini.
Diperhadapkan dua hal saat berbagai akar permasalahan atau arus kehidupan
memainkan irama dalam perjalanannya. Serpihan kehidupan tersebut dapat bersifat
membentuk atau sebaliknya menghancurkan karakter bersama dunianya secara
pribadi. Lautan lumpur disertai campuran air keruh menjelaskan tentang sebuah
jalan salah yang selalu saja diambil disaat berhadapan dengan berbagai serpihan
kehidupan. Oleh karena sesuatu hal, pada akhirnya membawa dunia seseorang pada
sebuah jurang maut. Keruhnya kehidupanmu bukan karena siapa-siapa, melainkan
pilihan dari dirimu sendiri. Di akhir cerita menghancurkan secara luar biasa
perjalananmu.
Lautan jernih berwarna
kebiru-biruan mengungkapkan seberapa hebat akar permasalahan atau berbagai
jenis serpihan kehidupan membungkus areamu hingga memainkan irama disertai luka
paling mendalam, namun duniamu tetap bijak. Tidak akan terbawah arus kehidupan,
tetap bertahan di tengah badai kehidupan hingga akhir cerita duniamu menjadi
garam bagi banyak orang. Bagaimanapun menyakitkan perjalananmu oleh karena
berbagai serpihan-serpihan tersebut, namun, dirimu tetap bertahan dan memandang
apa yang seharusnya tanganmu menggenggam sekuat-kuatnya.
Bercerita tentang menara
dengan kepala membentuk awan putih, sementara tubuhnya menyelimuti tumpukan
tetesan air mata menjelaskan sepahit apapun perjalananmu oleh karena serpihan
kehidupan, jika hati bijak saat melangkah semua akan menjadi indah pada
waktunya. Tumpukan tetesan air mata terus berjatuhan mengalir pada sebuah
kirbat raksasa menjelaskan bahwa air mata seseorang yang terus berjatuhan di
hadapan Tuhan, ditampung olehNYA pada sebuah kirbat. Apa pun permasalahan yang
menghimpit, jika hatimu bijak sekalipun langkahmu terus saja memainkan irama
paling menyakitkan, Tuhan selalu menampung tumpukan air matamu dalam kirbatNYA.
Sekalipun waktu itu tidak
pernah terlihat, tetap bertahan dan jangan mengambil jalan salah dengan
berjalan pada lautan lumpur hingga berujung pada jurang maut paling mengerikan.
Setiap orang mempunyai akar permasalahan, namun, tetaplah bijak saat berjalan
di setiap sudut persimpangan. Kekecewaan dapat saja bermain secara luar biasa
hingga mempermainkan duniamu, namun, jika kakimu tetap bertahan di tempat yang
seharusnya, kelak Tuhan akan meninggikan dirimu. Kembali pada pribadi
masing-masing setiap langkahmu akan berjalan kemana, sekalipun memainkan
berbagai irama paling menakutkan.
“Selesai,” teriak Rehyind
setelah mengirim konsep desain kota tersebut ke Negara Australia melalui email.
“Ting tong ting tong,” suara
bel rumahnya membuat Rehyind harus keluar dari kamar.
“Pasti Juan,” cetusnya
berlari menuju sebuah pintu. Saat pertama kali ke ibu kota, Rehyind dan Juan
sempat tinggal serumah demi menghemat biaya tempat tinggal. Setelah beberapa
tahun berlalu, mereka berada di kontrakan terpisah untuk menghindari gosip-gosip
tidak jelas dari banyak orang. Disaat tabungan cukup, akhirnya mereka
masing-masing membeli sebuah apertemen.
“Hai, manusia paling cerewet
di dunia?” teriakan Juan menggoda Rehyind.
“Dau pokada susito, tang
kuparai (Jangan berkata seperti itu,
saya tidak suka).” Mimic wajah Rehyind memperlihatkan kekesalan.
“How cute!” tangan Juan
mencolek wajah Rehyind.
“Kusanga lamaleko sola tu
pia baine sangmai (Kukira, kau mau pergi bersama dengan perempuan kemarin)?”
pertanyaan Rehyind.
“Saya mau menghabiskan waktu
libur bersama dengan sahabatku sepanjang waktu hari.” Jawaban dari Juan.
“Tamale kumande bade Toraya
doing banuanna dokter Sabe (Ayo kita pergi makan kue Toraja di rumahnya dokter
Sapan)” Juan menepuk bahu Rehyind.
“Denraka pa’piong na doing
banuanna (Apakah ada makanan pa’piong di rumahnya)?” pertanyaan Rehyind
bersemangat menuju rumah dokter Sabe.
“Banyak, dokter Sabe simpan
buat dirimu beberapa batang,” jawaban Juan. Tidak lama kemudian, Rehyind
berlari menuju kamar mengambil tas dan segera beranjak bersama Juan menuju
rumah dokter. Setengah jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di tempat tujuan.
Dokter Sabe merupakan teman satu rumah sakit dari Juan. Berasal dari kampung
yang sama, membuat mereka akhirnya menjadi sahabat. Bahkan dokter Sabe
menyadari dengan pasti, bagaimana seorang Juan menyimpan perasaan suka terhadap
sahabatnya sendiri.
“Oh, acara apamora mupagau diong
tondok na budak liu te’ papiong mubawa sola badena (Acara apa yang kau buat di
kampung, kenapa ada begitu banyak makanan khas bersama kue Toraja)?” Seperti
biasa Rehyind akan terus bertanya setiap ada sesuatu di depan matanya.
“Mangrarah banua sola panen
padi (Acara syukuran rumah sekaligus bersyukur kepada Tuhan karena panen padi
yang melimpah).” Jawaban dokter Sabe.
“Tae sia muanemu…(Suamimu
tidak…)” kalimat Rehyind terpotong.
“Jangan ditanya bos, bahkan
dia menikmati sekali suasana Toraja,” jawaban dokter Sabe tertawa.
“Wow…” kalimat Juan. Suami
dari dokter Sabe tidaklah berasal dari kampung yang sama, melainkan berdarah
Batak Jawa.
“Jadi gado-gadolah aliran
darahnya anakmu ceritanya ini,” gurauan Juan.
“Seperti itulah campur
Toraja, Batak, Jawa.” Jawaban dokter Sabe kembali.
“Dokter, denraka bayu sola
tas Toraya mibawah sebagai oleh-oleh (Dokter, apakah ada baju dan tas Toraja
yang kau bawah sebagai oleh-oleh)?” Rehyind segera berlari membongkar
kardus-kardus di depan matanya.
“Tenang saja, ada saya
bawakan kau special untuk Arelhyind.” Dokter Sabe membawah sebuah kantongan ke
hadapan Rehyind.
“Kurre sumanga buda-buda
dokter (Terimah kasih banyak sekali, dokter).” Tangan Rehyind segera membongkar
kantongan tersebut.
“Satu pasang dengan punya
dokter Juan,” mata dokter Sabe sedikit berkedip di hadapan Juan.
“Sepertinya kesengajaan,”
Juan menggeleng-gelengkan kepala menyadari maksud dari dokter Sabe.
“Seperti ada sesuatu yang
disembunyikan,” Rehyind tersadar akan pernyataan Juan yang tidak biasa.
“Aiissssss, Rehyind sekarang
banyak curiganya,” Juan menarik tangan Rehyind seketika sambil menginjak kaki
dokter Sabe…
“Itu karena kalian adalah
sahabat sejati selama bertahun-tahun,” penekanan kata-kata dokter Sabe seakan
ingin menyindir Juan.
“Menyukai selama
bertahun-tahun, tapi tidak pernah bisa mengungkapkan karena takut ditolak oleh
sahabat sendiri,” sindiran dokter Sabe dengan suara pelan jauh dari telinga
rehyind.
“Dokter, berhenti menyindir
atau bercanda seperti ini,” Juan berusaha keras menutup mulut temannya.
“Sampai kapan kau akan
menyembunyikan perasaanmu?” Dokter itu menatap serius mata Juan berusaha
melepaskan tangan yang melekat pada mulutnya.
“Entahlah,” mata Juan
sendiri melirik ke kiri dan kanan, takut jika Rehyind mendengar pembicaraan
mereka.
“Tunggu keburu direbut orang
lain,” dokter Sabe menghentikan memasukkan kue khas Toraja ke mulutnya.
“Saya tidak pernah ada
keberanian mengungkapkan, selama ini dia hanya menganggap bahwa Juan hanya
seorang sahabat bahkan tidak lebih dari itu.” Menarik nafas panjang-panjang…
“Dokter Juan hebat dalam
menghadapi pasien, namun jika berhubungan permasalahan cinta terhadap sahabat
sendiri dunianya terkunci rapat-rapat.”
“Jangan menyindir tidak
jelas seperti ini, dokter.”
“Juan, ini kenyataan dari
hidupmu…”
“Entahlah,”
“Seorang Juan juga berhak
bahagia, kalaupun itu bersama dengan sahabatnya sendiri maka tidak boleh ada
kata menyerah meraih genggaman tangannya.” Menepuk-nepuk Juan.
BAGIAN DELAPAN…
JUAN…
Ucapan dokter Sabe terus
menghantui kehidupanku, menyukai sahabat sendiri namun tidak pernah berani
mengungkapkannya. Inikah yang dikatakan kehidupan? Benar-benar mengerikan
bahkan menyedihkan sekali kisah percintaanku. Rehyind sendiri sudah beberapa
kali bergonta-ganti pasangan hingga detik ini. Tuhan, bagaimana jika Rehyind
benar-benar akan menjadi milik orang lain suatu hari kelak? Bagaimana saya bisa
menjalani kehidupanku setiap harinya? Kami berjuang bersama-sama, memulai
segala sesuatunya dari nol bahkan selalu bergandengan tangan di saat suka
maupun duka.
Bersama-sama merasakan
pahitnya kehidupan hingga akhir cerita memainkan kisah terbaru. Tertawa,
menangis, berjuang tanpa menyerah bersama-sama hingga langkah kaki memainkan
iramanya. Bersama-sama merasakan memiliki tangan kasar oleh karena kaki sedang
melakukan pendakian secara luar biasa untuk meraih sebuah mimpi. “Tuhan, apa
yang harus kulakukan terhadap perasaanku sendiri?” pertanyaanku setiap saat di
dasar hati.
“Dokter, hisnya tidak
berkontraksi dengan baik bahkan sangat lemah,” terus memantau tanda-tanda vital
seorang pasien. Sejak awal pasien tersebut mempunyai his kurang maksimal atau
berada pada jalur lemah.
“Ibu ini mengalami inersia
uteri,” tanganku mencoba kembali melakukan pemeriksaan dalam setelah 4 jam
sebelumnya telah dilakukan VT.
“Dokter, bagaimana dengan
anak saya?” ibu Rasyid memegang tangan saya berharap anaknya baik-baik saja.
“Ibu jangan stress karena
akan semakin memperlambat persalinan, jangan khwatir…” jawabanku mengarahkan
agar ibu Rasyid tidak banyak berpikir.
“Hipotonik uteri , sejak awal kekuatan his sudah lemah
bahkan berlangsung lama di fase laten, pada hal kalau dipikir-pikir G2 P1 A0.” ujar
bidan Lativa.
“Dokter, apa ketubannya masih utuh atau tidak?”
pertanyaan bidan Mesillia.
“Ketubannya masih utuh tidak membahayakan, lakukan saja
drips 5-10 satuan dalam 500 cc dextrose 5%, awali 12 tetes/menit,
jika belum ada hasil naikkan 10-15 menit hingga 40-50 tetes/menit biar serviks
dapat membuka.” menyuruh bidan Mesillia melakukan drips oksitoksin.
“Dokter, apa sebaiknya tidak dilakukan seksio sesaria
saja?” bidan Lativa mengajukan pendapat.
“Sebaiknya jangan, karena jauh lebih baik seorang ibu
melahirkan normal dibanding SC selama masih dapat tertangani.” Tanganku
memainkan stetoskop pada leher.
“Tapi dokter...” bidan Lativa takut terjadi sesuatu.
“Ketuban ibu ini belum pecah kan! andai kata semula his
kuat kemudian terjadi inersia uteri sekunder/ melemahnya his makin lama maka
segera mengambil tindakan SC.” Kata-kataku menjelaskan.
“Pantau terus Denyut jantung janin bersama tanda-tanda
vital ibu,” sekali lagi kalimatku sebelum beranjak dari ruangan intranatal
care.
“Baik dokter,” bidan Lativa segera berjalan menuju tempat
sampah infeksius untuk membuang barang-barang sekali pakai dan telah
terkontaminasi dengan darah.
Inersia uteri/ kelainan his biasa terjadi saat
persalinan, terbagi menjadi 2 yaitu his hipotonik dan his hipertonik. Karakter
his hipotonik lemah, pendek, jarang. His hopotonik terbagi menjadi 2 yaitu
primer sejak awal his lemah pada kala 1 fase laten. Sementara sekunder bersifat
kuat diawal, kemudian melemah dapat menyebabkan caput/ sejenis benjolan pada
kepala. His terlalu kuat dinamakan his hipertonik, dapat menyebabkan partus
presipitatus/ persalinan < 3 jam. Kemungkinan terjadi pada hipertonik,
dimana terjadi trauma janin, traum jalan lahir menyebabkan ibu menglami
perdarahan dan inversio uteri/ uterus keluar dari tempatnya.
Faktor herediter/ penyakit turunan, multigravida, emosi/
ketakutan, hidramnion, kehamilan postmatur/ serotinus/ lewat bulan menjadi
etiologi dari inersia uteri. Dalam persalinan dikenal 2 fase yaitu fase laten
(pembukaan 1-4 cm) dan pembukaan 4-10 cm merupakan fase aktif. Fase tersebut
merupakan salah satu cara dalam pengisian patograf bagi dunia kebidanan untuk
segera mengambil tindakan jika melewati garis waspada.
“Dokter, pembukaan sudah hampir lengkap,” Bidan Lativa
berjalan ke hadapanku setelah beberapa jam pemberian drips.
“Ini lahan bidan, jadi yang menolong harus kalian,” tanpa
melihat ke arah Lativa, tanganku terus saja memeriksa data-data pasien lain.
“Dokter,”
“Tunggu apa lagi keburu pembukaan lengkap bayinya keluar,
bisa beresiko laserasi/ robekan jalan lahir.” kata-kataku menghentikan
aktivitas membolak-balik data pasien.
“Baik dokter,” segera Lativa berjalan keluar menuju ruang
persalinan.
“Dokter, ada pasien baru masuk setelah dilakukan
pemeriksaan sepertinya janinnya gemeli/bayi kembar.” Bidan Mesillia membawa
sebuah buku data pasien terbaru.
“Bawah ke ruang USG,” kaki segera melangkah menuju sebuah
ruangan..
“Baik dok,”
Pasien baru tersebut segera
diperiksa lebih lanjut melalui USG. Hasil pemeriksaan USG memperlihatkan bahwa
ibu Halim sedang mengandung bayi kembar, sedangkan kondisinya tidak
memungkinkan untuk lahir normal. Posisi letak lintang janin di dalam uteri
bersama kondisi fisik ibu mengharuskan melakukan sesar.
“Ibu Halim, hasil
pemeriksaan menunujukkan kalau ternyata
terdapat 2 janin dalam rahim yang mengharuskan melakukan mengambil
tindakan sesar,” dua tanganku memegang stetoskop yang tergantung pada leherku.
“Dokter, apakah tidak bisa
lahir normal?” pertanyaannya lebih memilih normal.
“Janin ibu sesuai masa
kehamilan, hanya saja posisi letak janin akan membahayakan jika normal bahkan
tidak akan lahir malahan,” tanganku menjelaskan posisi janinnya dengan memegang
perutnya.
“Berapa biaya operasi ini,
dokter?” wajah ibu Halim menjelaskan tentang keadaannya.
“Sekitar 40 juta untuk rumah
sakit sebesar ini,” jawabanku.
“Dokter, andai kata disuruh
memilih saya memilih menyelamatkan bayi dalam kandunganku, tapi…” kedua matanya
mulai berkaca-kaca hendak mengeluarkan Kristal.
“Sejak tadi saya tidak
melihat suami dari ibu Halim,” mataku mencari-cari…
“Dia berselingkuh dan pergi
begitu saja dengan wanita lain disaat saya seperti ini.” Tangisnya pecah
seketika. Inilah kehidupan, disaat tertentu selalu mempermainkan seseorang pada
akhirnya menjatuhkan banyak air mata.
“Saya tidak mempunyai uang
sepersen pun, sedangkan kedua janinku membutuhkan kehidupan.” Keadaan
mempermainkan perasaannya, sama seperti kehidupanku dan Rehyin sekian tahun
yang lalu. Membayangkan bagaimana mama ditolak oleh beberapa rumah sakit dengan
alasan keuangan, karena kami hanyalah sebagian kecil dari sampah. Mama dan
adikku tidak dapat tertolong lagi, air mataku terus saja memainkan keadaanku.
“Sepahit-pahitnya
kehidupanku, setidaknya masih ada orang yang jauh lebih menderita dibandingkan
diriku sendiri.” Desahan nafasku terus saja bermain.
“Paling tidak, papa tidak
pernah selingkuh dibandingkan kehidupan ibu ini benar-benar mengiris hati.”
Suara hati berteriak di dasar hati.
“Saya hidup sebatang kara,
diusir dari rumah hingga harus menjalani kehidupan miris seperti ini.” Air
matanya tidak pernah berhenti mengalir, rasa sakit di hatinya lebih hebat
bermain dibandingkan apapun juga.
“Lukanya sama seperti
kehidupanku dan Rehyind,” kata-kataku kembali berbicara di dasar hati.
“Ibu tidak boleh stress
karena berakibat fatal bagi Janin termasuk kondisi ibu sendiri,” tanganku
berada pada bahunya untuk menenangkan dirinya.
“Apa yang harus saya
lakukan, dokter?”
“Jangan memikirkan biaya
apapun, bahkan operasi ini akan tetap berjalan.”
“Dokter, bagaimana dengan
permasalahan biaya yang cukup besar?”
“Saya yang akan membayar
biaya operasi dan perawatan ibu,” jawaban buatnya.
“Persiapkan peralatan
operasi, secepatnya.” Perintahku terhadap para bidan di sekitar ruangan ini.
“Terimah kasih dokter,” air
matanya tidak pernah berhenti mengalir , tangannya terus saja memegang
tanganku. Berdiri di depan wastapel sebelum akhirnya memasuki kamar operasi.
Terdapat beberapa dokter telah mempersiapkan diri terlebih dokter anastesi.
“Juan,” seseorang memanggil
namaku…
“Rehyind, bisa-bisanya kamu
berada di ruangan…” kalimatku terpotong.
“Semangat, pasti operasinya
sukses besar,” ternyata dia mendengar seluruh percakapanku bersama ibu Halim
tanpa sedikitpun saya menyadari semua itu.
“Saya menyukai dokter Juan
dengan karakter luar biasa seperti ini,” senyumannya membuat dia terlihat makin
menarik di hadapanku. Detakan jantungku akan selalu bermain kuat,saat dia
berada dihadapanku dan memperlihatkan sebuah senyuman. Tuhan, apakah kami hanya
akan ditakdirkan sebagai sahabat semata? Pertanyaanku di dasar hati selalu saja
bermain.
“Dokter Juan,” suara bidan
Lativa menyadarkan bahwa operasi akan segera dimulai.
“Rehyind, apa kau mau aku
traktir hari ini?” kalimatku.
“Tentu saja, saya akan
menunggu hingga operasi ini selesai.” Jawaban seorang Rehyind tanpa pernah bosan
menunggu di rumah sakit setiap kami membuat janji ataupun pertemuan. Kakiku
berjalan berlalu dari hadapan gadis paling berharga bagi langkah kehidupanku.
Bidan lativa sendiri
membantuku mengenakan sebuah pakaian sekaligus hand scoen steril. Kedua tangan
terangkat dengan mulut tertutup oleh masker. “Sebelum melakukan operasi,
marilah kita berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing biar
dilancarkan oleh Tuhan.” Kata-kataku memimpin operasi tersebut.
“Selesai,” beberapa saat
setelah doa dipanjatkan…
“Kasa, betadine’ kalimatku,
bagian abdomen pasien harus desinfektan terlebih dahulu untuk mencegah
terjadinya infeksi sekitar lokasi pembedahan. Bidan Lativa melakukan drapping,
dimana menyelimuti tubuh pasien memakai duk steril besar dan kecil, yang
terbuka hanya lokasi sayatan saja.
“Pinset jeruji,” kalimatku.
Tanganku mengambil pinset jeruji serta menjepit lokasi sayatan untuk menguji
apakah bius sudah berjalan dengan baik atau tidak?
“Pisau,” perintahku meminta
sebuah pisau sebagai alat bedah untuk melakukan sayatan abdomen/perut hingga
terlihat lapisan putih dan keras (disebut fasia, jaringan keras yang melapisi
otot perut) dari pasien. Fasia dirobek memakai gunting sampai otot perut
terlihat.
“Siap…” memberikan aba-aba
pada dokter Andar, dikarenakan otot perut harus dikuak oleh 4 tangan hingga
menganga lebar yang akhirnya lapisan peritoneum/ jaringan tipis pelindung otot
perut terlihat.
“Pinset ,” dokter Andar dan
saya mengambil pinset jeruji kemudian menjepit lapisan peritoneum lalu
mengangkat, diantara jepitan tersebut digunting secara hati-hati agar usus dan
isi dalam perut lainnya tidak terkena.
“Dinding rahim bagian luar
sudah terlihat,” kalimatku, kemudian bidan Lativa memberikan hak blass pada
dokter Andar untuk memasukkan serta menarik ke arah bawah paha pasien, agar
leher rahim kelihatan jelas oleh kami.
“pisau,” secepatnya
mengambil, lalu kembali melakukan penyayatan dinding rahim lebih dikenal dengan
istilah uterus hingga bayi terlihat jelas. Selain dapat memakai jalur ini,
dapat pula dilakukan penyayatan memakai pisau, hanya saja perimetrium digunting
(dinding luar rahim). Kelupas selebar 2 cm, kemudian menyayat miometrium/ otot
tengah rahim memakai pisau sampai kepala/rambut bayi terlihat. Tanganku
berjalan masuk ke dalam dinding rahim guna menarik kepala bayi untuk di dorong
dan dikeluarkan.
“Klem, gunting…” mengambil 2
klem kemudian melakukan pengkleman/ penjepitan pada bagian tali pusat. Memotong
diantara 2 jepitan tali pusat oleh dokter Andar, sedangkan bidan Mesillia
membersihkan jalan nafas bayi memakai alat hisap suction pump.
“Dokter, bayi tidak
menangis,” ucapan bidan Mesillia.
“Dokter Vanya,” memberikan
intruksi terhadapnya. Segera dokter Vanya mengambil bayi tersebut. Ternyata 2
bayi dari ibu Halim tidak satupun memperdengarkan tangisan sedikitpun.
“Keduanya mengalami
akfiksia, tidak bernafas setelah keluar dari rahim ibunya.” Ucapan dokter
Vanya.
“Lakukan resusitasi,”
kalimatku masih berusaha mengeluarkan plasenta. Resusitasi merupakan usaha memberikan ventilasi adekuat, pemberian
oksigen cukup demi menyalurkan oksigen kepada otak, jantung serta alat-alat
vital lainnya. Dokter Vanya berjuang agar kedua bayi ibu Halim dapat bernafas.
Menghidupkan tabung oksigen sesuai ukuran yang telah ditentukan.
“Apgar score keduanya
dibawah 8/10, dokter,” ucapan dokter Vanya berjuang menyelamatkan kedua bayi
tersebut.
“ngea ngea ngea ngea ngea”
akhirnya salah dari bayi tersebut menangis keras pertanda ada kehidupan dalam
dirinya.
“Dokter, bagaimana dengan
bayi saya?” pertanyaan ibu Halim menyadari terjadi sesuatu pada ke-2 buah
hatinya.
“Kedua anak ibu sedang dalam
penanganan, jangan khawatirkan apapun,” tanganku masih terus mengeruk sisa-sisa
plasenta dalam rahim.
“Dokter Andar, silahkan
menjahit,” kalimatku memerintahkan dokter Andar dan seorang asisten lainnya
untuk menyelesaikan penjahitan sekitar lokasi penyayatan. Otot rahim,
endometrium, miometrium disatukan kembali memakai jahitan benang Chromich no.2,
sedangkan perimetrium dijahit memakai benang Chromich no. 2/0.
“Dokter Juan, masih belum
memperlihatkan hasil pada saudara kembarnya,” kata-kata dokter Vanya mencoba
berusaha semampunya.
“Dia mengalami hipotermi
seluruh tubuhnya dingin,” bidan Mesillia sangat khawatir. Suhu tubuh bayi
normal 36,5° - 37,5° C, sedangkan jika berada dibawah suhu normal dalam dunia
medis dikenal sebagai istilah hipotermi.
“Selain akfiksia dan
hipotermi, dia juga mengalami sianosis, seluruh tubuhnya pucat berwarna
kebiru-biruan.” Dokter Vanya masih terus berusaha.
“Kekuatan ibumu saat ini
adalah dirimu, jadi jangan pergi dari kehidupannya.” Kata-kataku memegang
tangannya.
“Juan, apa yang terjadi?”
teriak Rehyind berusaha menerobos masuk dalam ruangan perinatal/bayi.
“Anda tidak boleh berada
disini,” salah satu petugas medis berusaha mengusir rehyind dari tempat ini.
“Biarkan saja dia tetap
berada di ruangan ini,” perintahku.
“Juan,” Rehyind terlihat
cemas untuk pertama kalinya saat melihat salah seorang bayi berada di ujung
maut.
“Sejak tadi, dia tidak
memperlihatkan adanya kehidupan dalam dirinya.” Jawabanku menatap bola mata
Rehyind.
“Juan, biarkan dia berada
dalam dekapan ibunya,” tutur Rehyind.
“Rehyind, tidak mungkin
membawa bayi ini berada dalam dekapan ibunya, sedangkan sama sekali tidak
memperlihatkan tanda-tanda hidup. Lebih beresiko…” ujarku.
“Juan, kehangatan seorang
ibu dapat mengembalikan nafas kehidupan tanpa terduga sama sekali.” Pernyataan
Rehyind memegang kedua tanganku.
“Hmhmhmhmhhm,” dokter Vanya
sedikit risih…
“Dunia medis terkadang
berlawanan arah terhadap sebuah objek tertentu, setidaknya mencoba dari pada
tidak sama sekali,” seorang Rehyind mengajarkan hidupku akan hal-hal tidak
terduga diluar kendali medis.
“Akan kita coba.” Segera
mengambil bayi tersebut dan membawanya dalam dekapan seorang ibu.
“Rehyind,” seakan dia
menyadari batas langkah kakinya tepat depan pintu operasi, selain petugas medis
tidak seorangpun boleh masuk ke dalam.
“Saya mengerti,” anggukan
Rehyind. Kembali membawa bayi tanpa tangis sedikitpun berada di hadapan ibunya.
“Kami berusaha semaksimal
mungkin, namun si’kembar tidak memperlihatkan kehidupan…” berbicara setenang
mungkin di hadapan ibu Halim.
“Seseorang mengajarkanku,
bahwa kehangatan seorang ibu dapat membuatnya bertahan untuk tetap berada di
dunia ini, sekalipun dunia medis berkata tidak ada harapan untuknya.” Terus
memegang bayi tersebut…
“Berikan dia padaku,” ibu
Halim mengambil bayinya, mendekap penuh kehangatan dalam hitungan lebih dari 20
menit.
“Seandainya kau pergi dari
dunia ini, siapa yang akan membantu bunda berjuang untuk berdoa agar ayahmu
kembali dalam kehidupan kita lagi.” Kata demi kata mulai keluar, dia terus
mendekap penuh kehangatan.
“Mari kita bersama-sama
berjuang bahkan menjadi kekuatan luar biasa bagi bunda, jangan pergi jauh dari
bunda dan adikmu,” ucapannya kembali berusaha menahan butiran Kristal agar
tidak terjatuh.
“Dokter, tangannya mulai
bergerak” teriakan bidan Mesillia menangis terharu…
“Ngea ngea ngea ngea ngea
ngea…” tangisan keras mulai memenuhi ruangan.
“Dia menangis, dokter.”
Semua orang dalam ruangan menjatuhkan air matanya.
Secara manusia, tidak ada
harapan untuk menyelamatkan bayi kembar ini, namun, diluar dugaan medis
terdapat kehangatan seorang ibu memberikan kekuatan. Inilah perbedaan dunia
medis dan ucapan seorang ibu, terkadang jauh berlawanan arah. Malaikat kecil
berjuang untuk kembali, oleh karena dekapan sang ibu jauh lebih kuat dibandingkan
apapun juga. Sekalipun masih harus berada dalam incubator oleh karena berat
badannya dibawah normal, setidaknya dia kembali untuk memperlihatkan kehidupan.
“Malaikat kecil kembali
untuk menjadi penyemangat sang bunda,” tangan mungilnya dalam sebuah kotak
incubator terus saja menggenggam kuat jari telunjukku.
“Lucunya,” Rehyind kembali
menghadirkan senyum dihadapanku.
“Kau mau makan?” sepertinya
mendengar bunyi perut Rehyind karena kelaparan.
“Tentu saja,” semangat
Rehyind mengacak-acak seluruh rambutku.
“Kalian berdua sebenarnya
itu sahabat atau sepasang kekasih?” sindiran dokter Vanya menampakkan wajah
tidak senang.
“Memangnya kenapa?” Rehyind
makin berada disampingku.
“Karena saya sejak dulu
menyukai dokter Juan,” rasa cemburu menguasai dokter Vanya, sebelum akhirnya
pergi dari hadapan kami.
“Wow, anak pemilik rumah
sakit menyukai dirimu!” kata-kata Rehyind ternganga,
“Gadis bodoh, satu-satunya
gadis berharga bagi perjalananku hanyalah dirimu.” Gerutuku jauh di dasar hati,
berusaha menyembunyikan segalanya. Rasa takut jauh lebih kuat, andai kata dia
menyadari kemungkinan besar kami tidak akan pernah sedekat ini. Rehyind pasti
membenci bahkan menjauhiku, hingga menciptakan jarak diantara kami.
“Jangan dengarkan dokter
Vanya, ayo kita makan,” menarik tangannya menuju sebuah kantin rumah sakit. Tertawa, bercanda, menceritakan kejadian-kejadian
terbaru selama berada di tempat kerja itulah kegiatan kami setiap kali bersama.
Rehyind selalu ada membuatku tetap berjalan apapun keadaanku.
“Dokter Juan,” seorang ibu berjalan ke hadapan kami.
“Ibu Halim, bagaimana keadaan si’kembar?” Rehyind begitu
saja bertanya, rasa penasaran ingin mengetahui perkembangan si’kembar.
“Ini Rehyind sahabat saya, jangan heran kalau dia tahu
tentang keadaan ibu dan si’kembar,” menjawab pertanyaan dengan begitu saja
terbaca olehku pada wajah ibu Halim.
“Oh rupanya seperti itu,” senyuman ibu Halim kembali
hadir. Rehyind memaksa untuk menjenguk keadaan si’kembar dan bagaimana
perkembangannya sekarang. Memasuki ruangan perinatologi menuju 2 buah inkubator
dimana saling berdampingan terdapat 2 anak kembar.
“Maaf kalau saya sedikit lancang, apakah ibu masih
mengharapkan ayah dari si’kembar kembali hadir ke tengah kalian?” pertanyaanku
mencari tahu kehidupan pribadi ibu Halim.
“Seburuk apapun tingkah lakunya yang sekarang, saya tetap
ingin memperjuangkan dia untuk menjadi ayah terbaik bagi si’kembar.” Jawaban
seorang ibu terbungkus pergumulan luar biasa.
“Mengeluh ataupun kecewa terhadap keadaan terlebih Tuhan,
lebih menghancurkan kehidupan kami. Tidak perduli seberapa lama saya harus
menunggu, tapi suatu hari kelak semua akan terbayar.” Pondasi terkuat bahtera
rumah tangga adalah ketangguhan seorang wanita untuk terus memperjuangkan
keluarganya. Tidak perduli seberapa buruk pasangannya, dia tidak akan pernah
berhenti berjuang. Tidak perduli seberapa besar luka bermain, dia akan tetap
bercerita bahwa suaminya merupakan ayah terbaik kepada anak-anaknya.
BAGIAN SEMBILAN...
REHYIND...
Mendengar jawaban seorang ibu dengan perjuangan luar
biasa bagi kedua buah hatinya memiliki kisah tersendiri. Andai kata saya
memiliki seorang ibu seperti dia, betapa bahagianya kehidupanku. Orang tuaku
tidak pernah berpikir panjang, mengambil jalan pintas demi keegoisan mereka
masing-masing. Saya terbuang bahkan tidak pernah merasakan kasih sayang
sedikitpun, mereka tidak pernah mencariku.
“Apakah saya harus membenci mereka?” foto mereka masih
tersimpan baik di kamarku. Andai kata, mereka berada di hadapanku apakah
kalimat serapah akan saya lemparkan luar biasa hingga lukaku dapat terbayar.
“Rehyind apa yang kau pikirkan?” Juan membangunkan
lamunanku.
“Tidak ada,” berusaha menutup perasaanku.
“Saya tahu sekarang Rehyind memikirkan apa?”
“Memangnya kau adalah Tuhan bisa menebak isi hati,”
cibiranku.
“Kan dipelajari dari raut wajah.”
“Hahahahahahahaha...” aktifitasku setiap bersama sahabat
terbaikku. Bersamanya saya dapat tertawa lepas setiap saat, tanpa harus menjadi
orang lain.
“Juan, sepertinya saya harus kembali ke kantor,”
secepatnya jaket beserta ransel kutarik dari pangkuannya.
“Rehyind...” Teriak Juan, namun tidak kuperdulikan terus
saja berjalan menuju parkiran. Mengendarai sebuah motor menggunakan kecepatan
diatas rata-rata alias ngebut istilah orang Jakarta. Demi menghindari seorang anak kecil,
namun...
“Auuuwwwwww...” kaki serta tanganku terluka akibat
terjatuh dari motor.
“Kau tidak apa-apa,” suara manis seseorang.
“Cakepnya,” mataku tidak berkedip sedikitpun memandang
pemuda tampan. Alisnya tebal seperti Juan, tapi dia jauh terlihat lebih keren.
“Terpesona akan ketampananku yah,” senyuman masih saja
terpampang jelas hingga menghanyutkan hatiku.
“Siapa bilang, kepedean.” ujarku tersadar akan luka pada
tangan serta kaki.
“Namaku Briand, siapa namamu?”
“Panggil saja Rehyind,” meniup-niup luka sekitar lututku.
“Saya seorang dokter, boleh saya periksa?”
“Berarti seperti Juan dong,”
“Siapa itu Juan?”
“Sahabat terbaikku, bedanya Juan tidak memiliki wajah
blaster bule seperti dirimu.”
Briand mengambil sebuah kotak dari mobilnya, memeriksa
luka-lukaku. Pertama kalinya, seorang Rehyind dapat berinterksi tanpa rasa
bosan bersama lawan jenisnya selain Juan. Berkenalan dan bercerita tentang
banyak hal membuatku semakin ingin mengenal diri Brian. Beberapa mantanku
benar-benar terlihat membosankan bahkan hubungan kami hanya bisa bertahan
hitungan bulan saja. Setiap hari Brian
terus saja menelpon, bahkan mengatakan berbagai hal menarik hingga membuatku
tertawa sejadi-jadinya.
Setiap bertemu Juan, pastinya pembicaraanku hanya akan
mengarah pada Brian. Pemuda tampan, berkarisma, tinggi, berotot, seorang dokter
spesialis, berwibawa, bahkan integritas dalam dirinya dapat dinilai saat
berbicara semata. Tuhan, apakah Saya benar-benar menyukai seorang Brian?
Berusaha memperlihatkan sisi feminim saat berada dihadapannya, itulah yang
kulakukan.
“Rehyind tidak pernah lagi memperlihatkan batang
hidungnya dihadapanku,” bahasa Juan terdengar sedikit kesal.
“Karena Brian setiap hari menjemputku di kantor, bahkan
mengajakku jalan menyusuri ibu kota setiap saat jika libur,” jawabanku berusaha
merapikan dandanan.
“Oh begitu,”
“Rehyind,”hampir tidak mempercayai bahwa suara itu
berasal dari Brian. Ternyata Brian bekerja di rumah sakit yang sama dengan Juan
tanpa kusadari.
“Ternyata ini Brian yang dimaksud, seorang dokter lulusan
luar negeri.” kalimat Juan.
“Wow, ternyata kalian berdua sahabat rupanya.” Kata-kata
Brian.
“Dokter Juan paling terkenal disini sekaligus sahabat
terbaikku sampai kapanpun.” mengambil jas putih Juan kemudian mengenakan pada
tubuhku.
“Kalian benar-benar terlihat sahabat yah,” senyum simple
Brian.
“Seperti itulah dunia kami berdua.” jawaban Juan.
“Sepertinya
ada hal yang harus saya selesaikan,” Juan bangkit dari sebuah kursi sekitar
area taman rumah sakit.
“Juan,” nada kesalku.
“Seberapa pentingnya seorang
Juan bagi kehidupan Arelhyind?” nada-nada berbeda penuh penekanan dari Brian
mengarah mengarah ke hadapanku, setelah Juan meninggalkan kami.
“Kenapa berbicara seperti
itu?” tidak memahami arah pembicaraannya.
“Karena saya cemburu melihat
kedekatan kalian, Rehyind berbeda dari gadis manapun itulah yang membuat rasa
suka makin bermain membungkus diriku sekarang.” Jawaban seorang Brian membuatku
tidak dapat berbicara sedikitpun.
“Rehyind dapat membuat
duniaku tertawa, tersenyum, penuh canda, seseorang yang dapat memahami pola
pikir seperti apa bermain bagi perjalananku.” Brian memecah keheningan setelah
beberapa saat kami tidak berbicara satu katapun.
“Pertama kali kehidupanku
benar-benar ingin menjalani hubungan serius dan tidak main-main,” Brian makin
membuatku tidak dapat berkata-kata. Bukankah ucapan seperti inilah yang ingin
kudengar dari mulutnya.
“Dia menyatakan perasaannya”
suara hati pecah di dalam.
“Rehyind,”
“Juan hanya sebagai sahabat
buatku, sejak dulu kami selalu bersama-sama seperti adik kakak saling memberi
support satu dengan lainnya.”
“Syukurlah,” perasaan lega
terlihat jelas pada wajahnya.
“Jadi, mulai hari ini kita
berdua berpacaran, bagaimana menurutmu?” Brian kembali berbicara, sedangkan
saya hanya menganggukkan kepala tanpa ada kata penolakan sedikitpun. Setiap
hari Brian selalu mengantar bahkan menjemput di kantor. Beberapa kali menjalin
hubungan dengan beberapa pria, namun Brian membuatku ingin bertahan tetap di
sampingnya. Ternyata Brian merupakan rekan kerja Juan terbaru di rumah sakit.
Anak pemilik rumah sakit besar, tidak lain merupakan kakak kandung dari dokter
Vanya.
Ada hal seakan terganjal
dalam benakku, mengapa seakan Juan menciptakan jarak diantara kami? Dia sahabat
terbaikku, bertahun-tahun kami selalu bersama melewati suka duka kehidupan.
Andai kata, saya menjadi istri dokter Brian, berarti Juan akan menjadi iparku.
Dokter Vanya sangat menyukai Juan, terlihat jelas bagaimana dirinya berjuang
hebat mendapatkan pria impiannya alias sahabatku sendiri.
“Juan berarti kita berdua
akan menjadi ipar, kalau seandainya itu terjadi.” Merasa lucu sendiri menatap
foto culun kami ketika berada di bangku SMU. Brian begitu perhatian luar biasa,
setiap hari membawa bekal makan siang buatku di kantor. Memberikan sebatang
coklat ataupun setangkai bunga tanpa ada rasa bosan sedikitpun. Mengirimkan
begitu banyak pesan sebelum saya sendiri tertidur lelap. Akun sosmed Brian
dipenuhi foto-fotoku baik twitter, instagram, facebook, WA, line, BBM dan
banyak lagi.
Penggemar Brian banyak,
pengikutnya saja di instagram memasuki hitungan M mengalahkan para arti ibu
kota. Dia lebih terkenal dari yang kubayangkan sebelumnya, kemungkinan karena
paras wajah blaster termasuk jenis pekerjaan Brian sekarang. Dia merupakan
pewaris dari rumah sakit besar tempat Juan bekerja. Semua perawat, suster,
dokter, dan tenaga medis lain di rumah sakit mengidolakan dirinya.
“Kudengar Juan membuat surat
pengunduran diri di rumah sakit?” Brian tiba-tiba mengungkapkan sesuatu hal.
“Apa…” teriakanku.
“Tidak mungkin, karena dia
tidak mempunyai masalah apapun.” Wajahku terus saja melukiskan keterkejutan
luar biasa. Kenapa harus dari mulut Brian mendengar kalau Juan mengundurkan
diri? Apakah Juan memang sengaja merahasiakan hal ini dariku?
“Kau mau kemana?” Brian
mengejarku dari arah belakang…
“Ingin mencari Juan untuk
meminta jawaban,” kakiku terus berlari sedemikian rupa.
“Apakah Juan benar-benar
berharga bagi kehidupanmu?” pertanyaan Brian menghentikan kakiku.
“Juan sahabat terbaik, pasti
ada sesuatu mengapa dia membuat surat pengunduran diri.”
“Rehyind tetaplah bersamaku
selama beberapa saat disini,” Brian memegang erat tanganku seakan sesuatu hal
terlukis jelas pada wajahnya.
“Jangan mencari Juan hari
ini, kumohon” Brian memohon sambil terus memegang erat tanganku. Kenapa tingkah
aneh Brian membuatku makin tidak mengerti?
“Kumohon,” kalimat Brian
semakin menggenggam erat tanganku. Menemani Brian atau mencari Juan demi
meminta sebuah jawaban apakah benar berita surat pengunduran dirinya. Beberapa
saat mengikuti kemauan Brian, namun hatiku seakan gelisah ingin segera berlari
mencari Juan. Ponsel Juan tidak diaktifkan sama sekali, sekarang dia ada
dimana?
“Rehyind…” teriak Brian
mengejarku kembali saat memutuskan beranjak dari hadapannya mencari Juan.
“Maaf, saya ingin mencari
Juan sekarang” tanpa memperdulikan suara Brian terus berjalan menuju sebuah
jalan raya besar sekitar pusat perbelajaan.
“Brukkkkkkkkk…” suara
tabrakan keras dari arah selatan terdengar jelas.
“Brian,” teriakku melihat
Brian berlumuran darah.
“Rehyind jangan pergi, tetap
disisiku.” Kalimat terakhir Brian sebelum akhirnya tidak sadarkan diri. Brian
dilarikan ke rumah sakit, sedangkan saya terus saja menangis selama perjalanan.
“Apa yang terjadi dengan
dokter Brian,” pertanyaan salah satu perawat rumah sakit.
“Rehyind,” suara dokter
Sabe.
“Dokter selamatkan Brian,
jangan biarkan terjadi sesuatupun dengan dirinya.”
“Rehyind harus tenang,”
dokter Sabe memelukku sebelum akhirnya pergi memeriksa berlari melihat kondisi
Brian. Seluruh tubuh Brian dipenuhi alat-alat medis, sama seperti peristiwa
kecelakaan yang telah kualami tidak lama setelah menginjakkan kaki di ibu kota.
“Rehyind, jangan pergi
tetaplah bersamaku.” Brian mengigau terus menerus.
“Dokter Brian pasti bisa
melewati masa kritisnya, jangan khawatir.” Dokter Sabe terus saja memelukku.
“Dokter, bagaimana keadaan
kakakku?” dokter Vanya begitu khawatir melihat kondisi Brian terbaring tidak
sadarkan diri hanya mengigau menyebut nama Rehyind. Kedua orang tua Brian
benar-benar cemas melihat kondisi putra mereka.
“Tetaplah berada di sisi
Brian anakku,” suara seorang ayah memohon luar biasa di hadapanku.
“Dia hanya menyebut namamu
seorang, bukan orang lain.” Kalimat seorang ayah menginginkan anaknya tetap
bertahan hidup.
“Rehyind, bisa kita bicara
sebentar?” dokter Sabe membawaku ke ruangannya tanpa memperdulikan orang tua
Brian di hadapanku.
“Rehyind, apakah kau sudah
dengar berita pengunduran diri Juan di rumah sakit ini.” Memulai pembicaraan dengan
pintu terkunci rapat.
“Entahlah, saya sendiri
tidak mengerti.” Jawabanku terhadap dokter Sabe.
“Juan menitipkan ini sebelum
meninggalkan rumah sakit dan Negara ini.”
“Juan benar-benar pergi,”
seakan mulutku benar-benar histeris ingin menangis sejadi-jadinya.
“Kenapa Juan tidak pernah
mengatakan ini sebelumnya?” tidak memahami watak Juan tiba-tiba berubah begitu
saja.
“Juan tidak memberitahukan
apapun ke Negara mana kakinya saat ini berpijak. Entahlah,” kata-katanya
menyerahkan sebuah amplop berisi surat.
“Katanya sahabat sejati,
ternyata semua itu bohong.”
“Rehyind, tenangkan dirimu”
“Dokter, seakan saya ini
tidak berharga sama sekali dimatanya.”
“Rehyind,”
“Dokter, andai kata saya
dianggap sebagai sahabat lantas kenapa Juan harus menyembunyikan surat
pengunduran diri bahkan tidak ada kata pamit sedikitpun.”
“Hanya Tuhan dan Juan saja
yang dapat menjawab semua pertanyaanmu.”
Sekian tahun kami selalu
bersama, hingga akhir cerita berpisah tanpa ada kata pamit sedikitpun.
Menangisi sahabat terbaik serta bertanya-tanya penyebab surat pengunduran
dirinya secara tiba-tiba. Senyuman Juan selamanya tidak akan pernah menghias
duniaku sekarang. Hanya meninggalkan sepucuk surat tanpa ada kata pamit di
hadapanku…
Teruntuk,
Arelhyind…
Kalau kamu membaca suratku
sekarang, berarti saya sudah tidak lagi bersama sahabat terbaik. Saya tidak
akan pernah lupa bagaimana kita berdua menjadi sahabat. Berjuang, tertawa,
menangis, suka, duka selalu dilewati bersama-sama. Jangan bersedih terlebih
bertanya mengapa saya meninggalkan Negara ini tanpa berkata apapun di
hadapanmu? Tetaplah menjadi Rehyind dengan kekuatan super hingga kelak hasil karyanya
menjadi rebutan sesuai mimpimu.
Saya mendapat beasiswa dari
sebuah Negara untuk melanjutkan kuliahku. Kita sama-sama mempunyai mimpi,
sekarang waktunya mimpiku harus terwujud. Kelak seorang Juan ingin mempunyai
sebuah rumah sakit sendiri, namun beberapa rintangan harus kulewati. Semoga kau
berbahagia hidup berdampingan bersama si’jenius dokter Brian rumah sakit. Kelak
saya ingin mengembangkan dunia kedokteran melalui berbagai terobosan hasil
karyaku. Jangan menangis hanya karena sahabatmu tidak akan pernah berada
dihadapanmu lagi.*** JUAN…
“Tuhan, apakah cara seperti
ini saja di benaknya?” hatiku terus bertanya-tanya. Di satu sisi terdapat Brian
sedang memperjuangkan dirinya untuk hidup, sedangkan di sisi lain sahabat
terbaikku menghilang tanpa jejak. Beberapa hari menunggu kesadaran Brian
kembali, terus berada di sampingnya.
Mengingat memori setiap
melihat ruangan Juan, bagaimana karakternya sebagai seorang dokter. Juan tidak
pernah sedikitpun membeda-bedakan pasien baik kaya maupun miskin. Selalu
menjadi dokter terbaik tanpa harus lebih memilih uang dibandingkan nyawa
seseorang. Pengalaman sewaktu kecil membuatnya menyadari bahwa seorang dokter
harusnya memberikan kasih saying penuh ketulusan bukan melihat uang. Lebih
memilih menolong nyawa dibandingkan menilai segala sesuatu hanya dari segi
materi.
Akhirnya Brian bangun dari
tidurnya selama beberapa hari terbaring koma. Berada di samping Brian sebagai
bayaran atas kesalahanku saat itu. Andai kata saya mengikuti kemauan Brian,
tentu dia tidak akan mengalami peristwa kecelakaan tersebut. Brian dapat
kembali bekerja setelah 3 bulan dinyatakan sehat oleh pihak rumah sakit. Karakter
Brian dan Juan saat berhadapan dengan pasien berbeda. Juan akan selalu berada
di samping pasien bahkan paling termiskin tanpa sepersen uang sekalipun. Jauh dari
Brian meninggalkan pasien begitu saja serta menyuruh dokter lain memberikan
perawatan biasa. “Rehyind,” sapa dokter
Sabe di hadapanku.
“Dokter, mau kemana?”
tegurku.
“Justru saya yang bertanya,
kenapa pagi-pagi sekali berada di rumah sakit ini?”
“Rehyind…” teriak seseorang
benar-benar mengenalku.
“Marta,” segera memeluk
dirinya.
“Astaga, pirang taun tae
kutiro te sangbaineku mesa (Astaga, sudah berapa tahun saya tidak pernah
melihat sahabatku yang satu ini).” Bahasa asli Marta keluar begitu saja…
“Majamah indeko, oh na tae
kutandai tongan (Kamu kerja disini, oh kenapa saya benar-benar tidak tahu
tentang hal ini).” Ujarku.
“Mamali liuna mukua (Saya
benar-benar merindukanmu).” Celoteh Marta.
“Mane mattamana tee, (Saya
baru masuk disini)” jawaban Marta. Ternyata sahabat sewaktu di kampung sekarang
menjadi seorang bidan. Hubungan kontak kami putus semenjak saya masih berada di
kampung. Marta meninggalkan Jakarta setelah saya dan Juan menginjakkan kaki
pertama kali di ibu kota. Marta akhirnya dipindah tugaskan menjadi seorang
bidan di rumah sakit ini. Dia sama sekali hamper tidak mempercayai, kalau saya
menjalin hubungan dengan anak pemilik rumah sakit.
BAGIAN SEPULUH…
JUAN…
Tiga tahun berlalu
meninggalkan Indonesia dan berada di Negara orang. Jauh lebih baik menghindari kehidupan
Rehyind dibandingkan terus berada bersama dengannya. Terlebih Rehyind telah
memiliki Brian salah satu anak dari pemilik rumah sakit. Dia terlihat lebih
bahagia, semenjak mengenal Brian ada begitu banyak perubahan dalam
kehidupannya. Tidak pernah lagi berada di rumah sakit mencari bahkan menyuruh membayar makanannya.
Istilah tertawa dan bercanda bersama tidak akan berlaku lagi, semenjak dia
berada di samping Brian.
Cara tepat untukku adalah
berjuang mengubur hingga kedalaman luar biasa tentang perasaanku. Semakin
berjuang membuatnya hilang, perasaan itu makin bermain kuat membungkus hidup. Saya
sudah lama merencanakan hal seperti ini, memilih meninggalkan Indonesia
merupakan cara paling tetap jauh dari Arelhyind. Menyibukkan diri dengan
berbagai hal di Negara asing merupakan cara paling tepat. Aktifitas
keseharianku hanya berada di rumah sakit dan laboratorium mencari sebuah alat
bagi perkembangan medis. Saya lulus kuliah tidak lama dikarenakan Tuhan
memberikan tingkat kemampuan luar biasa untuk menyelesaikan dalam waktu sangat
singkat.
“Rumah sakit berstandar
internasional serta sebuah transportasi terbaru guna memberikan pertolongan
pertama pada sebuah kasus medis.” Tanganku terus saja menyibukkan diri di
kamarku.
“Saya harus menemukan
alat-alat ini,” tanganku terus saja memainkan beberapa alat serta menyusunnya
atau mempelajari. Aktifitasku habis di ruang laboratorium selama ini mencari
alat transportasi terbaru bagi dunia medis. Pemerintah Jerman memberi bantuan
luar biasa guna mendukung alat tersebut.
Meneliti sebuah alat guna
perkembangan alat medis ke depan, tentang transportasi terbaru diperuntukkan
hanya bagi pasien bukan untuk umum. Terdapat halte di setiap area yang
diinginkan baik sekitar perumahan, pelabuhan, jalan raya, bandara, pabrik, dan
banyak lagi. Transportasi ini membentuk sebuah kotak sama seperti lift yang
terdapat di tiap gedung, perbedaannya lift bersifat hanya sekitar satu gedung
semata, sedangkan kotak ini bersifat ke beberapa tempat. Dalam ruangan kotak
tersebut, terdapat dokter, perawat, atau bidan ditemani berbagai peralatan
medis. Alat-alat yang dimaksudkan disini yaitu peralatan infuse set, eco,
oksigen, tabung oksigen, obat-obatan, darah.
Transportasi ini dihubungkan
ke semua rumah sakit yang bekerja sama, jadi dokter serta tenaga medis di dalam
harus bersikap netral terhadapa seluruh rumah sakit. Terdapat 2 tombol pada
sekitar halte tersebut, biru dan merah. Jika seseorang menekan tombol biru,
maka di tujukan bagi pasien yang akan segera melahirkan, special bagi pasien
partus dalam bentuk apapun baik fisiologis terlebih patologi. Jadi terdapat
seorang dokter obgin, dokter anak, dan 2 bidan. Peralatan yang ada pun bersifat
partus seperti alat-alat partus,mesin sterilisasi, USG, dopler, alat tensi, 1
set alat operasi jika keadaan benar-banar darurat segera mengambil tindakan
sesar.
Tombol merah di arahkan pada
pasien umum, kecelakaan, jantung, dan lain sebagainya. Dalam ruangan kotak ini
terdapat beberapa dokter spesialis seperti dokter umum, bedah, jantung, paruh,
dan perawat. Peralatan harus lengkap di
dalam seperti oksigen, eco, infus set, obat-obatan, dan lain-lain. Sebagai
contoh seseorang mengalami kecelakaan di sebuah jalan A, sekitar area tersebut
terdapat halte transportasi medis maka seseorang harus menekan tombol merah.
Dengan sendirinya pintu akan terbuka sama seperti lift, segera korban
kecelakaan dibawah masuk ke dalam serta diberi pertolongan pertama. Dokter dan
perawat memeriksa TTV, pemasangan infuse, atau jika darurat memasang beberapa
alat sesuai diagnose.
Wali dari pasien tersebut
mengambil keputusan, rumah sakit mana yang akan dituju, dokter dan perawat
hanya sekedar memberi pertolongan pertama, kemudian mengarahkan pada salah satu
rumah sakit yang bekerja sama. Kemudian dokter ataupun perawat berada di depan
sebuah monitor, menekan beberapa petunjuk. Monitor tersebut terdapat sekian
rumah sakit, tinggal memilih pilihan rumah sakit apa…
Setelah menekan pilihan,
maka secara otomatis kotak transportasi tersebut berjalan ke arah rumah sakit
yang telah ditentukan sebelumnya. Sama seperti lift jika menekan tombol 2 maka akan
naik ke lantai 2 dan seterusnya, system kerja dari transportasi ini sendiri
seperti itu. Seluruh biaya akan disatukan dengan rumah sakit tempat pasien
dirawat. Jadi, dibuat saluran jalan transportasi ini sekitar bawah tanah atau
sesuai keinginan sama seperti rel kereta.
Untuk menanggulangi angka
kematian ibu dan anak, maka harus secara terpisah. Tombol biru terdapat kotak
dimana seorang dokter obgin, dokter anak, dan bidan. Jika seorang ibu akan
segera melahirkan, terdapat halte terdekat pihak keluarga segera ke sana.
Menekan tombol biru, untuk secepatnya mendapat bantuan. Transportasi ini sangat
memberi manfaat bagi banyak orang, selain menghindari kemacetan juga pasien
secara langsung tertangani tanpa harus menunggu.
“Tinggal sedikit lagi pasti
membuahkan hasil,” mengotak-atik layar sekitar ruang laboratorium. Bunyi nada
dari hand phoneku membuatku harus meninggalkan laboratorium. Menemui seseorang
di suatu tempat, tidak ada merupakan rekan sesama dokter sewaktu di Indonesia.
“Dokter Juan,” seseorang menepuk
bahuku hingga saya sendiri terkejut.
“Dokter Sabe, sudah lama
menungguku?” menyempatkan diri menemuiku, secara kebetulan kami bertemu rumah
sakit tempatku bekerja di Jerman. Dokter Sabe mendapat beasiswa dari pemerintah
Indonesia menyelesaikan studinya di Jerman.
“Saya baru saja datang, sama
seperti dirimu,” jawabannya. Dia banyak bercerita tentang Rehyind dari awal
bertemu hingga sekarang. Bagaimanapun perasaan itu buatnya berusaha
kulenyapkan, namun tidak pernah bisa.
“Kau tidak pernah membaca
berita tentang Rehyind?”
“Saya tidak ingin mengetahui
keadaannya,” jawabanku menunduk berusaha menarik nafas dalam-dalam.
“Rehyind sekarang menjadi
salah satu arsitek paling diakui oleh internasional. Karya-karyanya hampir
terdapat di banyak Negara. Sebentar lagi, dia akan berada di Negara ini membuat
sebuah desain kota guna pemasukan devisa.” Ucapan dokter Sabe.
“Akhirnya mimpi Rehyind
tercapai juga,”
“Rehyind dan Brian sudah
bertunangan, sebentar lagi mereka akan menikah.” Jantungku begitu sakit
mendengarnya, tidak lama lagi secara total dia akan menjadi milik orang lain.
Dokter Sabe menjelaskan jika Rehyind sudah tidak tinggal di Indonesia melainkan
berada di Negara lain. Dokter Brian siap tinggal di Negara tempat Rehyind
bekerja sekarang, sedangkan rumah sakit dikelola oleh dokter Vanya adiknya
sendiri.
“Demi cinta dia rela
melakukan apapun,” ujarku berusaha tidak memperlihatkan rasa kekecewaan.
“Apakah kau masih menyimpan
cinta buatnya?”
“Dia sekarang menjadi milik
orang lain, sejak dulu hingga sekarang Rehyind hanya menganggapku sebagai
sahabat tidak lebih.” Berjuang untuk tidak memperlihatkan kekecewaan paling
mendalam.
“Sampai kapan kau akan terus
diam seribu bahasa seperti ini, saya merasa Rehyind memiliki perasaan yang sama
denganmu hanya dia tidak pernah menyadari semua itu.” Ucapannya membuatku
terkejut.
“Dokter tidak berkata
apa-apakan terhadap Rehyind, jangan sampai…”
“Kau tenang saja, saya tidak
pernah mengatakan tentang perasaanmu terhadap Rehyind. Tapi, ini kesimpulan
sejak kepergianmu dari hidupnya.”
“Semua sudah terlambat
dokter, karena sebentar lagi Rehyind akan menjadi milik dokter Brian. Tidak ada
gunanya membahas masa lalu.” Kata-kataku.
“Saya kasihan melihatmu,”
“Maksud dokter berkata
seperti itu?” membuatku sedikit risih…
“Sejak awal hanya Juan yang
selalu ada buat Rehyind bukan Brian. Susah, suka, duka, tertawa, dan banyak
lagi dirasakan bersama-sama. Pengorbanan Juan hanya demi membayar biaya operasi
Rehyind pada akhirnya mengorbankan masa depanmu sendiri selama beberapa tahun
bukan Brian.” Mencoba mengingatkan kembali memori-memori tersebut.
“Semua itu tidak ada
hubungannya dengan masa sekarang,”
“Juan harus tahu bahwa yang
selalu berdiri di samping Rehyind sejak dulu bukan siapa-siapa melainkan
dirimu. Brian hadir hanya pada saat Rehyind telah melewati seluruh masa kritis
dalam perjalanannya.” Ungkapannya mencoba membuka mataku…
“Rehyind sampai kapanpun
hanya menganggapku sebagai sahabat tidak lebih dari itu.”
“Juan, defenisi cinta sejati
lebih mengarah terhadap sepasang hubungan yang dibangun mulai dari nol
bersama-sama. Hadir dalam kehidupan bukan ketika pasangan bukan ketika dia
mulai berada pada zona kenyamanan, melainkan…”
“Melainkan apa dokter,”
pertanyaanku.
“Melainkan hadir disaat
semua pergi menjauh, menghapus air matanya, menjadi penyemangat serta pemberi
kekuatan pada area paling kritis dalam kehidupannya. Kehadiran Brian hanya
disaat Rehyind telah melewati zona terburuk, tetapi dirimu selalu berada setiap
saat pada zona terburuk dari Rehyind setiap saat.”
“Entahlah dokter, semua itu
hanya masa lalu…”
“Rehyind hanya tidak
menyadari perasaannya sekarang ini, kenapa? Karena kau tidak pernah membuka
matanya.”
“Dari pada membahas tentang
Rehyind, mending dokter aku ajak ke laboratorium tempatku meneliti sebuah alat
medis.” Tidak tahu kenapa, saya tidak ingin lagi mendengar kisah asmaraku
terlampui menyedihkan.
“Juan jangan mengalihkan
pembicaraan,”
“Dokter kumohon sekali saja
jangan berbicara apapun tentang masa lalu.” Menyodorkan segelas jus alpukat di
hadapannya.
“Baiklah, kalau itu maumu…”
dokter Sabe mengikutiku dari belakang menuju sebuah mobil di pinggir jalan.
Setengah jam kemudian, kami akhirnya tiba di sebuah ruang laboratorium besar.
“Wow, tidak kusangka
kehidupan Juan benar-benar drastic.”
“Ada hal lebih menggemparkan
dokter,”
“Apa itu, coba katakan
Juan?”
“Sebentar lagi saya rumah
sakit milikku sendiri ada di Negara ini. Jenis rumah sakitnya berbeda dari
sekitarnya terlebih penemuanku tentang sebuah transportasi kesehatan akan
dipromosikan besar-besaran oleh pemerintah Negara ini.” Kalimatku.
“Kau benar-benar sukses luar
biasa sekarang Juan,”
“Seperti yang dokter lihat,
bagaimana saya berkembang di Negara orang.” Kata-kataku tersenyum.
“Sistem perencanaan seperti
apa membungkus rumah sakitmu nanti? Penasaran.”
“Desainnya gedungnya dibuat
berbeda, sedangkan bagian dalam saya sengaja membuat ruangan tersendiri baik
dari segi sterilisasi, tempat sampah medis, obat-obatan dan lain sebagainya.”
Jawabanku.
“Maksudnya, saya sama sekali
tidak mengerti?” pertanyaan dokter Sabe.
“Masing-masing ruangan akan
dihubungkan ke beberapa tempat memakai saluran tidak terlihat. Salah satu
contoh dalam sebuah rumah sakit tidak perlu repot-repot menyediakan tempat
sampah dimana terbagi menjadi tempat sampah infeksius, non infeksius, box
safety, dan tempat sampah umum.” Kalimatku.
“Jadi, pembuangan sampahnya
dimana coba?”
“Setiap ruangan, akan
terpasang sebuah kotak terdiri atas beberapa bagian, diantaranya tempat sampah
infeksius, non infeksius, box safety, umum. Kotak tersebut akan secara langsung
menghubungkan ke satu pusat tempat sampah yang telah ditentukan jauh dari
ruangan. Contoh, membuang sampah kategori infeksius sesuai tempat dari kotak
tersebut, secara otomatis sampah yang masuk akan langsung berjalan melalui
saluran pipa menuju pusat pembuangan sampah dari rumah sakit.”
“Jadi…”
“Jadi, rumah sakit akan
membangun gedung tersendiri bagian belakang, jauh dari seluruh ruangan sehingga
sampah-sampah tersebut lebih mudah penyatuannya tanpa harus keliling ke berbagai
ruangan memungut serta memakai kantong plastik besar pada masing-masing bak
sampah.” Penjelasanku lebih lanjut.
“Wow, lebih menjamin tingkat
kebersihan juga,” kalimat dokter Sabe.
“Masih ada lagi,” kataku.
“Apa itu?”
“Dalam kamar pasien terdapat
pula sebuah kotak selain kotak sampah.”
“Juan, gunanya untuk apa?”
“Kotak ini juga hanya satu,
namun pusat pengambilan beberapa benda seperti infuse set, obat-obatan, cairan
infuse, alat-alat pembersih sesuai kebutuhan dari suatu ruangan. Jika ingin
mengambil infuse set atau hanya sekedar cairan infus maka tinggal menekan
petunjuk layar monitor yang tersedia.” Kata-kataku.
“Sama seperti mesin ATM
perbedaannya monitor ini tidak memakai alat untuk mengambil kecuali menekan
passport pada layar. Terdapat beberapa pilihan, menekan tulisan satu set
infuse, secara otomatis akan mengeluarkan sesuai permintaan.” Tambahan
penjelasanku.
“Hanya kotak dan tidak
terdapat lemari dibelakangnya?” pertanyaannya.
“Ini sama seperti kotak tempat
sampah, sebuah ruangan besar telah disediakan untuk menghubungkan semua bahan
dan alat yang dibutuhkan masing-masing ruangan. Secara otomatis infuse set pada
ruangan besar tersebut akan berjalan dengan sendirinya menuju ruangan, jika
seseorang menekan monitor pada layar. Ruangan besar ini, terbagi menjadi
beberapa bagian diantaranya tempat infuse set, cairan infuse semata, aboket,
spoit, hand scoen steril maupun non steril, kasa steril maupun kapas, alcohol,
betadine, peralatan-peralatan lain secara terpisah dan lain-lainnya.” Jawabanku
kembali menjelaskan.
“Bagaimana jika alat-alat
sterilisasi yang telah digunakan atau katakanlah pada ruangan bedah operasi?”
“Oleh karena itu dibuatkan
pula satu ruangan besar khusus bagian sterilisasi menghubungkan ke semua
ruangan pula. Jadi, seluruh alat yang telah di sterilkan dikemas dalam plastic,
kemudian diletakkan pada tempatnya dimana akan menghubungkan ke seluruh ruangan
masing-masing. Kesimpulannya, ruangan sterilisasi dibagi menjadi beberapa
tempat yang akan menghubungkan masing-masing ke ruangannya.” Penjelasanku.
“Masing-masing ruangan pula
baik ruang bedah maupun kamar pasien seperti bangsal atau VIP terdapat kotak
lagi, tempat mengirimkan alat-alat yang telah dipakai menuju ruangan
sterilisasi tanpa harus melakukan pencucian terlebih dahulu. Ruangan
sterilisasi akan menyelesaikan semua baik dari segi mencuci maupun mematikan
kuman atau mensterilkan memakai alat tertentu.” Tambahan penjelasanku.
“Kalau ruangan operasi
bedah?”
“Bagi ruangan operasi
bedah, sama seperti ruangan lainnya
terdapat beberapa kotak pula yang telah diotomatiskan.” Ucapanku.
“Jadi setiap ruangan terdapat sebuah kotak
sampah terbagi menjadi beberapa bagian terhubung pusat pembuangan sampah rumah
sakit, kotak pengambilan alat dan bahan kebutuhan rumah sakit seperti infuse
set, alat sterilisasi, darah, obat-obatan,pakaian, seprei dan lain sebagainya,
kotak untuk mengirim alat-alat yang telah dipakai menuju ruang sterilisasi agar
disterilkan kembali.” Kembali bibir mulutku menjelaskan.
“Juan,dari tadi kau
mengatakan obat-obatan dan darah, tapi obat-obatan diambil di apotek sedangkan
darah tersedia ditempat khusus. Bagaimana jalan ceritanya?”
“Satu kotak khusus tempat
mengambil seluruh bahan atau alat steril maupun non steril juga akan
dihubungkan ke apotek. Hanya dengan menekan sesuai petunjuk monitor, contoh
ingin mengambil obat pereda demam paracetamol, terdapat pilihan tekan obat pada
layar, akan muncul beberapa pilihan kategori kembali seperti obat demam, pereda
nyeri, penurun bengkak, dan lain sebagainya. Lalu tekan kategori obat demam,
akan diperhadapkan lagi paten dan generic. Sementara itu terdapat lagi pilihan
pada paten oleh karena banyaknya merk dagang jadi sesuaikan resep dokter.
Kemudian akan menghubungkan langsung pusat apotek secara otomatis.” Kalimatku
menjelaskan.
“Jadi, maksudmu pihak apotek
akan menerima dan mengirim jenis obat yang diinginkan. Begitu pula dengan
darah, kotak ini akan langsung dihubungkan pada mesin penyimpanan darah di
sebuah ruangan.” Kata-kata dokter Sabe mulai mengerti penjelasanku.
“Yah seperti itulah, lebih
memudahkan pekerjaan dan mempercepat penanganan terhadap pasien tanpa harus
menunggu lama. Bagaimana?” ucapanku lagi.
“Benar-benar perkembangan
kedokteran secara luar biasa,”
“Inilah yang kukerjakan
selama di negara orang, pemerintah Jerman memberikan bantuan dana cukup besar
bagi beberapa alat yang sedang kutangani.” Kata-kataku kembali.
“Saya menyukai otak jeniusmu
dokter Juan,”
“Biasa saja dokter, ini
semua karena Tuhan bukan karena kekuatanku atau hal lain dari hidupku. Coba
pikir, kalau dipikir-pikir bagi para penemu membutuhkan waktu cukup lama bahkan
sangat lama mencari sebuah alat…” tuturku.
“Sedangkan saya hanya dalam
waktu singkat menemukan beberapa alat temuan terbaru. Benar-benar mustahil bagi
akal logika banyak orang. Mengandalkan Tuhan di setiap tempat hingga hal-hal
terkecil akan membuat mujizat luar biasa bagi perjalanan.” Kembali saya
menjelaskan bagaimana Tuhan bekerja…
“Betul betul betul…” dokter
Sabe tersenyum luar biasa.
“Tidak ada kata mustahil
bagi Tuhan, selama kita mengandalkan DIA seutuhnya. Percaya Tuhan tidak akan
pernah mempermalukan anak-anakNYA seberapa besarpun orang-orang diluar sana
yang ingin menjatuhkan ataupun melenyapkan.” Tiba-tiba saja perbendaharaan
mulutku berbicara seperti ini.
“Berarti Tuhan juga akan
membuat Rehyind menjadi milikmu kelak dong, sekalipun rencana pernikahan mereka
telah ditentukan.”
“Dokter, permasalahan
Rehyind berbeda dengan ini, jadi jangan bawah-bawah masalah perasaan ke dalam
pembicaraan kita sekarang.” Rasa kesalku terlukis jelas…
Rehyind hanyalah bagian dari
masa lalu bukan kehidupanku sekarang atau selamanya. Terbiasa akan kesendirian
tanpa Rehyind sedang kujalani, sekalipun menyakitkan. Entah mengapa, saya masih
tetap memakai desain rumah sakit hasil karya Rehyind sewaktu SMU dulu. Gedung
rumah sakit milikku membentuk seperti kaktus terbungkus duri di tengah-tengah
padang gurun. Selalu mengingat pernyataannya bahwa seberapa besarpun penyakit
membungkus, masih terdapat secerca harapan jangan pernah berhenti menyerah.
“Wajahmu terlihat pucat
bahkan kau mimisan..” tegur dokter Sabe, bekerja pada rumah sakitku setelah
resmi dibuka beberapa waktu kemarin sambil menyelesaikan studinya di Negara
ini.
“Saya baik-baik saja
dokter,” jawabanku, namun tiba-tiba seluruh pandanganku kabur hingga tidak
sadarkan diri dalam sekejap.
“Dokter Juan,” tegurnya
sangat khawatir. Saat tersadar tiba-tiba saya terbaring di sebuah tempat tidur.
Beberapa dokter memeriksa keadaanku lebih lanjut…
“Kenapa saya berada disini?”
tanyaku pada dokter Sabe.
“Dokter Juan dari tadi kau
pingsan,” jawabannya.
“Saya tidak apa-apa,”
kalimatku segera bangun dari tempat tidur.
“Dokter Juan, hasil
pemeriksaan memperlihatkan kalau kau terdiagnosa kanker darah. Sumsum tulangmu
memproduksi sel-sel darah putih abnormal, hingga tidak dapat berfungsi dengan
baik bahkan berlebihan. Mengakibatkan penumpukan dalam sumsum tulang, akhirnya
sel-sel darah sehat berkurang.” Seperti tersiram air panas luar biasa di siang
bolong mendengar hasil pemeriksaan.
Selama beberapa hari, saya mulai
merasakan tubuh tidak sedang dalam kondisi sehat. Tidak pernah terpikir bahwa
demam, menggigil, muntah-muntah , keringat utamanya di malam hari, mimisan
selama beberapa waktu kemarin hanyalah penyakit biasa. Ternyata di luar dugaan
seorang Juan terdiagnosa menderita penyakit kanker darah stadium lanjut.
“Apakah saya harus marah
kepada Tuhan atas penyakit yang sedang menimpaku?” jeritanku bergema di dasar
hati.
“Kau harus beristirahat,
jangan terlalu memaksakan diri untuk bekerja…” ucapan dokter Sabe tidak
menyangka hal tersebut menyerang hidupku.
“Dokter berjanjilah jangan
pernah memberitahukan Rehyind tentang keadaanku.” Permohonanku tiba-tiba di
hadapannya.
“Sepertinya saya tidak
berjanji untuk hal ini,” seakan air matanya ingin terjatuh…
“Dokter, kumohon kabulkan
permintaanku, Rehyind tidak boleh tahu hal ini.” Benar-benar memohon hingga
kakiku berlutut hanya demi menjaga rahasia tersebut. Dokter Sabe dengan
terpaksa memenuhi keinginanku akibat perbuatanku juga…
Saya tetap berusaha
menjalani aktifitasku seperti biasa, seakan tidak pernah mendengar diagnose
penyakitku sendiri. Menganggap bahwa hal tersebut hanyalah mimpi bukan
kenyataan. Tuhan, ampuni saya jika penyakit ini karena dosaku yang tidak pernah
kusadari hingga akhir cerita membuatMU marah terhadapku. Terimah kasih Tuhan,
atas penyakitku saat ini, mengatakan hal seperti itu jauh lebih baik
dibandingkan mengalami kekecewaan atu marah terhadap Tuhan.
Tuhan, pertemukan saya
dengan Rehyind sebelum Engkau memanggilku. Entah mengapa saya mengucapkan
seperti ini, pada hal sekian tahun berusaha menjauh dari hidup Rehyind.
BAGIAN SEBELAS…
JUAN…
Seorang Juan telah dikenal
oleh banyak orang dikarenakan penemuan dan jenis rumah sakitnya. Namun, di lain
hal tidak seorangpun dari mereka menyadari penyakit yang sedang kuderita
sekarang. Berusaha menutupi penyakit tersebut hingga tidak menyebar keluar,
itulah yang kulakukan. Terlihat seakan tidak memiliki beban sama sekali di
hadapan banyak orang, namun, mereka tidak pernah tahu tentang kehidupanku.
Terik matahari tidak
mempengaruhi langkahku berjalan menuju sebuah gereja siang ini. Tetap memakai
jas putih lambing kedokteran, dengan kemeja biru di dalamnya. Menutup sepasang
mataku serta terus berdoa kepada Tuhan. Dia mengajarkan hidupku bahwa seberapa mengerikan
apa pun penyakit, tetap percaya pasti ada kehidupan, hingga pengharapan akan
kesembuhan benar-benar akan menjadi nyata suatu hari kelak.
“Tuhan, menjauh dari hidupnya jauh lebih baik
dibandingkan terus berada di dekatnya. Tidak pernah kedupanku pahami, kenapa
semakin hatiku berjuang kerasnya membuang jauh perasaanku tapi perasaanku
semakin mendalam.” Isi doaku kepada Tuhan.
“Mendengar beritanya dimana-mana kalau dia berhasil
menjadi seorang arsitek terbaik membuatku sangat bahagia. Namun, dilain hal mendengar
berita pertunangannya seakan ada sesuatu hal benar-benar menusuk hingga
kedalaman tulang sumsumku.” Jeritku hingga butiran Kristal terus saja
berjatuhan. Isakan tangisku makin bermain membasahi seluruh pakaian jas putih
pada tubuhku.
Bisakah saya bertahan setelah mendengar berita
pernikahannya nanti? Masihkah sebuah kekuatan terbungkus kuat dalam diriku?
Semua orang tidak menyadari, namun rasa sakit jauh lebih kuat dibandingkan apa
pun juga saat ini. Bantu saya Tuhan melupakan dia dan perasaan itu tidak dapat
membungkus kehidupanku sekarang. Bantu saya Tuhan...
“Rehyind, apakah kau menyukai gereja ini?” sebuah
suara tidak asing lagi pada pendengaranku memenuhi gereja.
“Sangat indah,” jawabannya membuatku tersadar bahwa
Rehyind dan Brian berada di Negara ini bahkan sekarang ada di belakangku.
“Minggu depan merupakan hari paling bersejarah, jadi
sesuai pilihanmu gereja ini
sebagai tempat pemberkatan nikah
kita berdua.” Membuatku menyadari bahwa mereka akan
segera melangsungkan pernikahan minggu depan di gereja ini. Rasa sakit makin
menusuk tubuhku mendengar ucapan tersebut. Sebelum mereka menyadari isak
tangisku, berusaha menghapus seluruh air mataku.
“Terserah kau saja,” kalimat Rehyind.
“Tuhan, jangan sampai mereka berjalan ke hadapanku
bahkan mengenalku dari belakang.” Suara hatiku terus saja berdoa.
“Maaf, mungkin ini kaca mata dokter...” tegur
Rehyind tiba-tiba terhadapku. Tidak sadar kalau kaca mataku tiba-tiba terjatuh
ke belakang disaat saya sedang berkata-kata terbungkus isak tangis luar biasa
di gereja ini sejak tadi.
“Kau pasti bertanya kenapa saya tiba-tiba menyadari
jika anda adalah seorang dokter, karena pakaian putih yang anda kenakan
sekarang.” Tingkah lakunya tetap sama saat berhadapan dengan banyak orang.
“Kenapa dokter tidak berbalik saat seseorang menyapa
seperti ini, benar-benar mirip sahabatku sekali kalau begini.” Mengungkapkan
kata-kata tentangku...
“Namanya Juan, selalu tidak pernah berbalik jika
disapa kalau lagi serius.” Terus saja berceloteh hingga membuatku lupa akan air
mata baru saja berhamburan beberapa saat sebelumnya.
“Berbaliklah dokter dan ambil kaca mata anda di
tanganku,” perintahnya kembali. 2 Pilihan berbali atau tetap bertahan seperti
sekarang? Tubuhku mulai beranjak dari kursi gereja kemudian berbalik ke arahnya.
Kaca mata di tangannya terjatuh memainkan suara keras memenuhi gereja, setelah
melihat siapa di depannya...
“Hai Rehyind, apa kabar?” Sapaku berjuang keras
menyembunyikan penyakit serta rasa sakit dalam diriku sekarang. Tetap tersenyum
bahkan terlihat ceriah menatap wajahnya...
“Ternyata selama ini kau berada disini!” ucapan
Brian terkejut.
“Seperti itulah, saya mendapat beasiswa dari Jerman
untuk melanjutkan pendidikanku.” Jawabanku tersenyum.
“Kami berdua akan menikah minggu depan, kuharap kau
menghadiri pemberkatannya.” Kata-kata Brian terhadapku.
“Oh begitu, kalau begitu saya ucapkan selamat buat
kalian berdua.” Tanganku mengarah ke hadapan mereka untuk member ucapan
selamat.
“Juan, apakah kita berdua dapat berbicara?” tegur
Rehyind.
“Tapi banyak pasien menungguku di rumah sakit
sekarang,” berusaha menghindar darinya jauh lebih baik dibandingkan tetap
bertahan...
“5 menit saja,” tatapan Rehyind benar-benar memohon
luar biasa.
“Baiklah, tapi hanya 5 menit,” jawabanku menatap
Brian seolah mencari apakah membiarkan Rehyind berbicara atau...
“Silahkan, saya juga sedang ingin berdialog dengan
pendeta di tempat ini mengenai pemberkatan kita minggu depan.” Mimic Brian
penuh penekanan seolah dengan keterpaksaan.
“Bagaimana kabarmu?” pertanyaan Rehyind setelah kami
berada sekitar taman belakang dari gereja.
“Seperti yang kau perhatikan, saya sangat menikmati
kehidupan di Negara ini. Bahkan sekarang hasil temuanku di dunia medis mendapat
penghargaan dari berbagai Negara.” Jawabanku.
“Ternyata penemu tranportasi khusus kesehatan dan
beberapa system peralatan rumah sakit adalah dirimu, kupikir orang lain.”
Kalimatnya.
“Saya tidak mengenalmu karena bentuk wajahmu memakai
kacamata terlebih fam keluargamu tidak ada dibelakang.” Ucapannya lagi...
“Hahahahahaha, pasti karena jenis rambutku sekarang
sudah tidak seperti beberapa tahun lalu. Wajar kau tidak mengenalku.”
“Kau banyak berubah, terlihat kurus...”
“Itu hanya perasaanmu saja Rehyind, sejak dulu berat
badanku masih tetap bahkan bertambah malahan.”
“Kau tahu, sewaktu karya desain pariwisata, gedung,
bahkan desain kota yang kukirim ke beberapa Negara diterima hatiku benar-benar
bahagia.”
“Saya senang Rehyind berhasil menjadi arsitek
terkenal sekarang, desain yang kau buat selalu memberikan makna tersendiri.”
Memandang wajahnya...
“Saya ingin bercerita pertama kali bagaimana semua negara menyukai hasil desainku
pada saat itu, bukan terhadap siapa-siapa melainkan dirimu. Tapi
pada kenyataannya sahabatku hilang ditelan bumi.”
“Hanya sebagai sahabat tidak pernah lebih dari itu”
mengejek diriku sendiri mendengar pernyataannya.
“Btw, saya ucapkan selamat buat pernikahan kalian minggu
depan.” Wajahku berusaha memperlihatkan senyum kebahagiaan buatnya.
“Sampai kapan kau akan terus menyendiri seperti ini?”
pertanyaan Rehyind.
“Jangan salah, kau hanya belum menyadari kalau sekarang
saya lagi menjalin hubungan serius dengan seorang gadis di negara ini.”
Berbohong merupakan satu-satunya jalan menutupi keadaanku.
“Benarkah, berarti kita berdua batal menjadi ipar dong
karena kau lebih memilih gadis lain dibanding dokter Vanya adik Brian.” Apakah
namaku tidak akan pernah terukir sedikit saja jauh di dasar hatinya Tuhan.
Mendengar setiap kalimatnya membuat jantungku makin terasa sesak.
“Seperti itulah Rehyind, jangan kecewa karena kita akan
tetap menjadi sahabat.” kata-kataku terhadapnya. Hanya sekedar sahabat, tidak
lebih dari itu sampai kapanpun juga.
“Sepertinya saya harus pergi, banyak pasien menantiku di
rumah sakit” secepatnya ingin berlalu dari hadapan Rehyind.
“Juan berjanjilah kalau kau pasti hadir di acara
pemberkatan nikahku minggu depan.”
“Tenang saja, saya pasti menghadiri pemberkatan sahabat
terbaikku sepanjang masa.” Berusaha menahan rasa sakit luar biasa di
hadapannya, kemudian segera berlalu begitu saja. Perasaanku biarlah terkubur dalam-dalam, tanpa
harus disadari olehmu. Menjalani kemoh terapi tanpa siapapun menyadari, hanya
dokter Sabe salah satu sahabatku mengetahui semua ini. “Juan berhentilah
bekerja, keadaanmu makin parah” tegur dokter Sabe terhadapku.
“Saya baik-baik saja dokter dan jangan pernah
mengkhawatirkan keadaanku” sekuat tenaga memperlihatkan kalau saya bukan orang
lemah. “Berhenti memperlihatkan dirimu terlalu kuat, pada hal sebenarnya kau
itu lemah.”
“Apa yang harus kulakukan dokter,” tangisku pecah begitu
saja dalam ruanganku. Isak tangisku pecah seketika, benar-benar tidak pantas
dikatakan sebagai seorang pria kuat. Saya menangis bukan karena diagnosa
penyakit, melainkan tentang dia.
“Hanya menunggu hari, dia resmi menjadi milik orang lain”
Menangis seperti gadis kecil, menjatuhkan banyak air mata.
“Menangislah sejadi-jadinya, jika itu bisa membuat hatimu
lebih baik.” Dokter Sabe mendekapku, seakan memperlihatkan kasih sayang seorang
kakak terhadap adiknya.
“Semakin saya berjuang menghilangkan perasaanku
terhadapnya, kenapa semakin berakar kuat di dalam diriku.” Duniaku terlihat
makin lemah bahkan terlalu cengeng..
“Juan yang saya kenal pasti bisa melewati masa kritisnya,
berjalan seperti burung rajawali semakin badai datang maka kekuatan terbangnya
makin kuat.” Membuatku tersadar tentang pernyataan tersebut, hingga air mataku
berhenti untuk menangis. Saya harus seperti rajawali, semakin terbang disaat
badai badai datang. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan menyibukkan diri oleh
berbagai aktifitas. Sekalipun dokter Sabe melarangku bekerja terus di rumah
sakit, namun hanya ini satu-satunya jalan melupakan Rehyind.
“Juan, ada apa denganmu?” suara seseorang, namun, secara
tiba-tiba pandanganku terlihat gelap bahkan sangat gelap seketika.
“Juan buka matamu,” suara itu masih terngiang, namun
mataku tetap tidak dapat terbuka. Tuhan, apakah saya akan meninggalkan
lingkaran bumi sekarang ini? Meninggalkan semua memori paling menyedihkan yang
sedang membungkus perjalananku. “Juan, jangan pergi sebelum kau menyatakan
perasaanmu terhadap Rehyind” suaranya masih begitu nyaring, mataku tetap tidak
bisa dibuka sekalipun saya berjuang keras...
“Tuhan, ampuni setiap dosa yang kulakukan,” suara hatiku
masih dapat berbicara.
“Dokter Juannnnnnnnnnn” seseorang terus melakukan CPR
terhadapku.
REHYIND...
Usahaku memperlihatkan hasil, banyak negara mengakui
hasil karyaku. Tidak sia-sia semua yang telah kulakukan selama ini, impianku
menjadi arsitek terkenal akhirnya benar-benar terjadi. Mengirimkan sebuah
desain parawisata ke negara Jepang dengan konsep ‘sebuah motor raksasa di atas
seutas tali’. Sekitar area pegunungan dibuat aneka tempat bermain dan beberapa
tempat lagi di dalamnya membentuk motor raksasa sedang berdiri pada seutas
tali.
Bercerita tentang sesuatu yang tidak mungkin terjadi
bahkan terlalu mustahil, namun, membuat banyak mata tercengang-cengang olehnya.
Jika di dalam kehidupan seseorang terdapat suatu iman luar biasa, negatif
seperti apapun kata orang tidak pernah berlaku bagi perjalanannya. Konsep
desain ini menjelaskan bahwa Apa yang dianggap mustahil, namun, bisa saja bagi
seseorang dengan keyakinan kuat tidak ada kata mustahil untuk meraih bahkan
menggenggam.
Di negara Costa Rica jenis desain yang kukirim mendapat
positif. Saya mngambil konsep sebatang berada di dalam nyala api raksasa.
Sekitar api raksasa terdapat lautan lumpur, lautan duri, lautan kaca beling,
pendakian sebuah gunung. Akan tetapi, pada masing-masing lautan terdapat sebuah
tempat/ rumah kristal untuk mencurahkan segala isi hati. Pada puncak gunung
terdapat sebuah menara memakai konsep desain tersendiri. Belum pernah ada
menara sekitar puncak gunung, namun saya ingin memperlihatkan sesuatu hal
dibalik semua ini...
Hasil karyaku diakui oleh banyak negara, mimpiku akhirnya
tercapai. Salah satu negara tempatku mengirim karya desainku menawarkan sebuah
tawaran kerja sama. Setelah berpikir panjang, saya akhirnya menerima tawaran
tersebut setelah kepergian Juan. Setidaknya saya bisa menjauh dari permasalahanku
sekarang.
Berharap dengan tinggal di beberapa negara, saya dapat
bertemu Juan kelak. Hatiku terus saja berkata jika kami pasti dipertemukan
suatu hati nanti. Berusaha membuat Brian memahami impianku, pada akhirnya
membuatku harus meninggalkan negara ini.
Terlihat wajah penuh kekecewaan, namun, kesimpulannya dia menyetujui
keinginanku berada di negara orang. Ini mimpiku semenjak dulu, membuat berbagai
karya desain arsitek hingga mendapat pengakuan internasional.
“Tuhan, saya percaya kalau Engkau selalu bersamaku,” isi
doaku setiap saat. Aktifitasku di negara orang adalah terus berjuang
menghasilkan karya-karya terbaik hingga mencapai puncak. Setahun setelah berada
di negara asing, Brian datang menemuiku mengatakan bahwa dirinya tidak dapat melepasku
sampai kapanpun. Dia rela tinggal di negara yang sama kelak, kalau kami resmi
menjadi sepasang suami istri.
Tanpa pernah bosan, Brian terus saja melamarku agar
menerima dirinya menjadi pasangan hidup terbaik. “Tuhan sebenarnya perasaanku
terhadap Brian lebih mengarah kemana?” Kata hatiku terus saja bertanya-tanya.
Tiga tahun di negara orang, pada akhirnya membuatku sukses luar biasa. Namun,
satu hal Membuatku tidak dapat menolak lagi ajakan Brian agar mendampingi
kehidupannya untuk selamanya.
Komunikasiku tetap berjalan dokter Sabe dan Martha tetap
berjalan selama saya jauh dari mereka. Dokter Sabe bersama suami dan anaknya
harus pindah ke negara Jerman untuk melanjutkan studi kedokterannya. Mencoba
berkomunikasi dengan Dokter, apakah mendapat kabar dari Juan. Akan tetapi,
setelah di negara Jerman tiba-tiba saja nomornya tidak dapat dihubungi.
Mataku mengarah pada sebuah pemberitaan media tentang
salah satu dokter dari Jerman berhasil menemukan beberapa alat medis. Fotonya
terpasang dimana-mana, sepertinya saya mengenal dia, namun entahlah...
“Tidak mungkin itu Juan walaupun nama depan mereka sama.”
ucapanku kembali. Entah kekuatan dari mana membuatku ingin mencari identitas
penemu yang lagi ramai-ramainya diberitakan. Sengaja menyuruh Brian agar
pemberkatan nikah terlaksana di negara Jerman dengan berbagai alasan.
“Tuhan, harusnya saya bahagia mendapatkan dokter Brian
sekarang ini.” suara hatiku selalu saja bertanya dan bertanya...
“Kenapa ada kata keraguan bermain didalam untuk dokter
Brian?” Semenjak sahabat terbaikku pergi,seakan segalanya dalam kehidupanku
terlihat hambar. Saat berada di negara Jerman, saya kembali dikejutkan oleh
sebuah desain suatu rumah sakit terbaru disana. Mengingat kembali memori
sewaktu saya berada di bangku SMU...
Flashback
“Yang ingin saya
katakan, konsep desain untuk bangunan rumah sakitku nanti seperti apa
cocoknya?” pertanyaanku.
“Gedung rumah sakit berbentuk kaktus dengan
beberapa tetes embun pada tubuhnya di tengah padang pasir. Hal paling menarik
adalah seakan semua yang terlihat hanya padang pasir dan pohon kaktus
terbungkus duri pada tubuhnya, tidak ada air sama sekali. Akan tetapi, di
bagian paling terbawah bahkan kedalaman akar tingkat terbawah terdapat limpahan
air luar biasa.Kesimpulannya, gedung rumah sakitmu nanti, harus memiliki
akuarium besar di ruang bawah tanah seperti saat berada di lautan dengan segala
keindahannya.”Penjelasanku.
FLASHBACK...
Ternyata Juan berada di negara ini jauh dari negara yang
kutempati. Saya yakin, kalau pemilik rumah sakit besar ini adalah Juan bukan
siapa-siapa. Berlari memasuki rumah sakit tersebut serta mencari tahu
pemiliknya. Salah seorang perawat mengatakan, kalau pemilik rumah sakit ini
merupakan tokoh penemu beberapa alat medis bagi kebutuhan kedokteran bernama
Juan.
“Dokter Juan berkata akan ke gereja tidak jauh dari rumah
sakit ini,” ucapan salah satu perawat.
“Dimana gereja itu, suster?” pertanyaanku.
“Anda harus berjalan ke arah timur tidak jauh dari rumah
sakit ini kemudian belok kiri.” Mendengar jawaban dari suster, kakiku segera
berlari keluar mencari gereja tersebut.
“Rehyind,” ternyata Brian mengikutiku menuju gereja.
Membuat berbagai alasan, bahwa gereja ini sangat menarik dijadikan tempat
pemberkatan nikah kami minggu depan sesuai jadwal. Beruntung Brian tidak curiga
sedikitpun tentang tujuanku berada di gereja ini.
“Orang yang memakai jas putih kedokteran itu pasti Juan,
tidak salah lagi” kata-kataku saat memasuki gereja besar tidak jauh dari rumah
sakit. Haruskah saya berpura-pura tidak mengenal dia secara langsung? Hingga
pada akhirnya, Juan membalikkan bahkan memperlihatkan identitasnya. Brian terus
saja berbicara membuatku merasa jenuh akan setiap ucapannya.
Ternyata sekarang Juan memakai kaca mata, segitu
jeniusnya hingga menjadikan matanya menjadi mines. Penuh kesengajaan menyapa
seolah-olah kami tidak saling mengenal, bahwa kaca mata ditanganku terjatuh.
Berkata-kata beberapa kalimat, akhir cerita membuat dia berbalik ke hadapanku.
Juan terlihat begitu pucat dan kurus, terlihat jelas jika tubuhnya sedang tidak
sehat.
“Masih saja menutupi kondisi tubuhnya,” celotehku dalam
hati. Meminta waktu berbicara pribadi sekalipun hanya 5 menit. Seakan ingin
bibir mulutku memaki luar biasa, namun tidak pernah bisa. Mendengar dia
bercerita kalau ternyata dia sudah memiliki pendamping hidup juga membuatku
sedikit lega. Selama ini Juan tidak pernah jalan bersama wanita manapun.
Memohon agar dia mau datang pada acara pemberkatanku,
“Juan berjanjilah kalau kau pasti hadir di acara pemberkatan nikahku minggu
depan.”
“Tenang saja, saya pasti menghadiri pemberkatan sahabat
terbaikku sepanjang masa.” hanya jawaban seperti itu keluar dari perbendaharaan
mulutnya. Hanya tinggal menunggu waktu, pada akhir cerita saya akan hidup
serumah bersama dokter Brian. Merenungkan apakah keputusanku menikah dengan
Brian adalah terbaik bagi duniaku?
“Kenapa saya ingin kembali seperti kemarin, selalu berada
di samping Juan?” memegang dadaku seakan merindukan sesuatu hal yang telah lama
pergi. Tuhan, seakan kaki menginginkan hal-hal kemarin terulang lagi. mengejar
Juan di rumah sakit agar membelikanku makanan , tertawa, bercanda, menangis,
menceritakan berbagai kejadian aneh. Bahkan mengejar Juan sekalipun berada di
kamar operasi atau bersama pasien-pasiennya.
Ternyata selama ini saya selalu menjadi pengekor bagi
kehidupan Juan sampai kapanpun. Dapatkah memori kemarin terulang kembali?
Memberikan semangat bagi seluruh pasien Juan setiap berada di rumah sakit. Satu
hal, tanpa saya sadari selama ini bahwa hatiku benar-benar dikuasai olehnya.
Arelhyind rasa suka sangat mendalam bagi sahabatnya sendiri.
BAGIAN DUA BELAS...
REHYIND...
Tinggal menghitung jam, seorang Brian akan tinggal
serumah denganku. Bisakah roda kehidupan terus berputar,andai kata jalan yang
saya ambil benar-benar salah. Tuhan, maafkan semua dosaku jika masih
menginginkan Juan agar tetap berada di sampingku. Saya ingin bersama Juan bukan
Brian, apakah semua keinginan itu salah? Andai kata, waktu dapat berputar
kembali...
Memaksakan kakiku untuk terus berjalan menuju altar,
itulah hal terbodoh yang pernah kulakukan. “Saudari Rehyind, apakah kau
bersedia menerima Brian sebagai pasanganmu dalam suka maupun duka?” pertanyaan
pendeta di hadapanku.
“Saya...” ucapanku sedikit serak.
“Rehyind...” teriakan seseorang hingga semua mata
berbalik ke arah suara tersebut.
“Juan koma di rumah sakit, bahkan hingga detik ini dia
tidak sadarkan diri karena penyakit kanker darah yang di deritanya.” Suara
dokter Sabe berjalan ke arahku. Tanpa berpikir panjang, kakiku segera
meninggalkan altar dan seluruh tamu undangan menuju rumah sakit. Tidak perduli
pernikahanku batal bahkan menyakiti hati Brian...
“Juan jangan pergi dari hidupku,” membayangkan seorang
Rehyind memiliki kehidupan hambar tanpa Juan. Apakah kata-kata terlambat memang harus
dilemparkan sekarang ke arahku? Menangis sejadi-jadinya di samping Juan, itulah
yang kulakukan sekarang.
“Bisakah kita kembali seperti kemarin, terus saja
mengekor setiap kau sedang memeriksa banyak pasienmu?” menangis sejadi-jadinya
, tidak perduli seluruh rumah sakit mendengar tangisanku.
“Tuhan, berikan saya
kesempatan sekali saja…” dia selalu ada membuat hidup mempunyai warna,
memberikan senyum oleh berbagai tingkah laku konyolnya. Apakah hatimu sama
sepertiku, disaat saya terbaring di rumah sakit sewaktu peristiwa kecelakaan
itu terjadi? Benar ucapannya, uang dapat dicari sekalipun membutuhkan waktu
lama mengumpulkan hingga menjadi bukit. Akan tetapi, seseorang paling berarti pergi,
belum tentu kehidupan memberikan banyak warna.
Tetap berada di sampingnya
menjaga bahkan merawat hingga akhir cerita dia terbangun dari tidur
berkepanjangan. Tuhan, berikan kesempatan sekali lagi buat saya bisa menjadi
pengekor kemanapun dia pergi. Satu-satunya orang yang dapat memahami segala
jenis kehidupanku hanya dia. Sejak dulu kami selalu bersama-sama merasakan
penderitaan luar biasa hingga akhir cerita menjadi seseorang paling disegani.
Membayangkan bagaimana kedua tangan kami terlihat begitu kasar, hanya demi
meraih mimpi satu dengan lainnya.
“Rehyind, seluruh dokter angkat tangan karena penyakit
Juan memasuki stadium akhir,” ucapan dokter Sabe menjelaskan sesuatu hal
setelah hampir setahun terus berada di samping Juan. Saya masih punya pengharapan tentang nafas kehidupan
pasti kembali dalam tubuhnya. Semua dokter merencanakan akan mencabut semua
alat medis yang terpasang pada tubuhnya, membiarkan dia pergi.
“Rehyind, semua dokter yang
menangani dokter Juan akan mencabut semua alat pada seluruh tubuhnya.”
Kata-kata dokter Sabe di hadapanku.
“Maksud dokter, dengan kata
lain saya harus merelakan dia pergi?”
“Tuhan membuat Juan hadir di
dunia, tapi Tuhan juga berhak mengambil dia kapanpun diinginkan hatiNYA.”
Ucapan dokter Andar salah teman kerja selama berada di Indonesia. Dokter Andar
datang melihat keadaan Juan…
“Dokter Andar, rumah sakit
ini dibangun dengan jenis bentuk gedung tersendiri dari rumah sakit manapun,
kenapa?” pertanyaanku berbalik ke hadapan dokter Andar.
“Karena Juan mempercayai secerca
pengharapan bagi kesembuhan seseorang, seberapa besarpun penyakit menusuk sama
seperti pohon kaktus diselimuti banyak duri.” Jawabanku.
“Rehyind harus mengerti,
dunia kedokteran angkat tangan terhadap kondisi Juan. Jangan memaksakan dia
bertahan, biarkan Juan pergi” dokter Andar mencoba memberikan pengertian.
“Rehyind, jangan memaksakan
kehendak Tuhan agar Juan tetap bertahan disini,” suara Brian mendekapku erat.
Brian sama sekali tidak marah pernikahan kami batal beberapa bulan lalu. Meninggalkan
dia begitu saja di depan altar, kemudian berlari mencari Juan dengan isakan
tangis sejadi-jadinya.
“Berikan Rehyind kesempatan
untuk berpikir tentang hal seperti ini,” dokter Sabe berjalan masuk ke hadapan
kami. Mereka semua mengangguk mendengar penjelasan dokter Sabe. Menerima
kenyataan, bahwa Juan tidak mungkin bisa bertahan. Merelakan dia, dengan tidak
memaksakan kehendakku. Setelah beberapa hari, akhirnya saya harus siap menerima
keputusan seluruh dokter dimana membiarkan Juan pergi dari hidupku. Seluruh
dokter berkumpul dalam ruangan tempat Juan terbaring termasuk diriku.
“Sebelum kalian mencabut
semua alat ini, beri saya kesempatan berbicara di telinganya, entahkah dia
mendengar atau tidak sama sekali.” Kalimatku berusaha bersikap tegar bahkan
terlihat kuat.
“Silahkan Rehyind,” dokter
Andar mempersilahkan.
“Juan, kemarin saya
mendesain sebuah pariwisata di Jepang dengan konsep sebuah motor raksasa berada
diatas seutas tali. Pandangan mata berkata, kalau itu mustahil terjadi. Kenapa
saya membuat desain arsitek sejenis ini?” kata-kataku berbisik pada telinganya.
“Karena saya mempercayai sesuatu
objek di depan mata, terkadang bagi pandangan manusia mustahil dapat terjadi
ataupun dilalui. Pada dasarnya tidak mungkin, semua orang pasti tertawa akan
hal tersebut. Namun, saya mempercayai bahwa Tuhan dapat memindahkan gunung
sebesar apapun.” Kalimatku berkata-kata kembali.
“Sama seperti motor raksasa
ini, mustahil berada diatas seutas tali. Tapi, hati kecilku berkata Tuhan dapat
membuat semua bisa terjadi. Sama seperti kehidupan, belasan tahun lalu mustahil
seorang Juan dapat menjadi dokter terkenal bahkan menjadi penemu pengembang
beberapa alat kedokteran. Apa yang terjadi? Seorang Juan membuktikan sesuatu di
dalam dirinya selain menjadi seorang dokter, mempunyai rumah sakit, hingga
memiliki sebuah penemuan luar biasa.” Kembali saya berbisik pada telinganya.
“Rehyind,” ucapan dokter
Andar.
“Biarkan Rehyind
melampiaskan apa yang ingin diucapkannya,” tegur dokter Sabe.
“Sama seperti dirimu, semua
dokter angkat tangan bahkan terlalu mustahil kau bangun dari tidur
berkepanjangan. Seluruh dokter sepakat mencabut seluruh alat pada tubuh dokter
Juan. Tapi, hatiku berkata tidak ada kata mustahil kalau kau bisa terbangun
detik ini juga.” Air mataku terjatuh membasahi rambut Juan.
“Kalau kau terbangun, saya
berjanji tidak akan melepaskan tanganmu dan selamanya akan selalu mengekor
dibelakangmu. Jika tidak, saya akan merelakan dirimu pergi.” Berusaha menahan
air mataku, namun tidak pernah bisa.
“Jangan menghancurkan
kepercayaan banyak orang dari makna konsep desain yang kubuat, sebuah motor
raksasa berada diatas seutas tali.” Tangisku terus saja bermain tanpa
memperdulikan siapapun di sekelilingku. Hingga di akhir cerita…
“Rehyind…” itu suara Juan.
Semua dokter terkejut mendengar suara Juan. Mereka semua mencoba memeriksa
kembali kondisi kesehatan Juan. Air mataku segera kuhapus, melihat wajah Juan
meneteskan butiran Kristal sama sepertiku. Juan kembali hidup, Tuhan
mengembalikan nafas kehidupan dalam dirinya.
“Rehyind sudah berjanji akan
selalu mengekor bahkan tidak akan pernah melepas tanganku.” Kalimat Juan
menantapku. Semua dokter hampir tidak mempercayai hal seperti ini akan terjadi.
Hasil pemeriksaan membuktikan Juan sehat total dari penyakitnya.
“Juan…” tangisku pecah
kembali.
“Hati Rehyind hanya untuk
dokter Juan seorang. Bagaimanapun saya berjuang, sampai kapanpun namaku tidak
pernah ada di hatinya.” Kata-kata Brian menepuk bahu Juan.
“Saya tidak marah Rehyind
meninggalkan altar pernikahan hanya untuk dirimu. Sejak dulu saya tahu, kalau
kau menyukai sahabatmu sendiri. Saya saja yang terlalu bodoh memaksakan
kehendak bahkan berjuang keras merebut Rehyind dari kehidupanmu. Maafkan semua
perbuatanku.” Mimik wajah Brian memperlihatkan penyesalan luar biasa.
“Semua itu bukan salahmu,
karena saya juga tidak pernah ingin berterus terang terhadap perasaanku
sendiri.” Tangan Juan menggenggam kuat jemari seakan tidak ingin dilepasnya.
“Saya pasti hadir di
pernikahan kalian,” kalimat Brian sebelum meninggalkan ruangan. Terimah kasih
Tuhan karena Juan bangun kembali dari tidurnya. Selalu mengekor kemanapun dia
pergi, bahkan disaat melayani semua pasiennya. kami merencanakan pemberkatan
nikah di Toraja. Kembali ke kampung halaman tempat dunia persahabatan kami
dimulai. Saya dan Juan sepakat membangun sebuah rumah sakit bagi banyak orang
serta mendesain ataupun merenovasi beberapa jenis objek wisata di Toraja.
JUAN…
Mendengar suara Rehyind
bercerita pada telingaku, hingga akhir cerita saya terbagun dari tidur. Rehyind
benar-benar ada disamping bahkan sedang menangis, saya pikir semua itu hanya
mimpi belaka. Dia berjanji tidak akan melepas tanganku sampai kapanpun.
perasaan Rehyind terhadapku tidak lagi sebagai sahabat, melainkan lebih dari
sahabat. Terimah kasih Tuhan memberiku kesempatan, bahkan Engkau menggagalkan
pernikahannya dengan Brian.
“Juan madommiko tette pirami
te’ (Juan cepat, sekarang sudah jam berapa)” suara ibu Hana sebagai wali pada
pernikahanku bersama Rehyind. Ibu Hana merupakan salah satu tempatku bekerja
ketika masih berada di kampung ini kemarin. Memelihara binatang peliharaannya
kemudian membagi hasil untuk biaya sekolahku. Beliau bukan anggota keluarga,
namun sangat baik terhadap kehidupanku.
“Astaga tanta, ga seperti
itu kali orang,”
“Astaga Juan, pindahki monas
di Toraja.” Ledekan ibu Hana membuatku tertawa keras. Rehyind memilih acara
pemberkatan nikah sekitar area air terjun pegunungan Toraja, sekalian mencari
inspirasi katanya. Perjalanan menuju air terjun benar-benar membutuhkan waktu
perjalanan sekitar 3 jam menggunakan kendaraan roda empat. Sedikit kesal,
meminta pemberkatan depan air terjun, dimana-mana yah sekitar gereja atau
paling tidak kebun…
“Juan, pela-pelai tu
lalanmu, tiroi tu mempelai baine lamoraimo tobang mupugau. (Juan jalanmu itu
sebaiknya pelan-pelan saja, coba lihat mempelai wanita sudah hampir jatuh
karena perbuatanmu.)” tegur salah seorang ibu.
“Dia cari mau pemberkatan
disini, silahkan merasakan sendiri,” cetusku.
“Juan, tidak seperti ituji
orang bos…” emosi Rehyind mulai meledak keras. Ibu Hana berusaha mendamaikan
kami berdua. Singkat cerita, kami akhirnya sampai juga sekitar air terjun tanah
Toraja sesuai kemauan Rehyind. Wali Rehyind tidak lain adalah orang tuanya
sendiri. Rehyind belajar memaafkan kesalahan orang tuanya. Sehari sebelum
pemberkatan, mereka datang ke hadapan Rehyind meminta maaf atas semua
perbuatannya. Itulah Rehyind belajar melupakan semua perbuatan kejam kedua
orang tuanya. Mereka kembali bersatu, setelah akhirnya masing-masing pasangan
dipanggil oleh Tuhan.
“Saudara Juan Allo, apakah
kau bersedia menerima Arelhyind menjadi pasanganmu. Akan selalu bersama dalam
suka maupun duka?” pertanyaan pendeta…
“Saya…” kalimat Juan…
“Tolong saya,” teriak salah
seorang ibu hamil tua menahan sakit akan segera melahirkan. Semua orang
berhamburan berusaha menolong ibu tersebut, pemberkatan nikah paling terkacau
di dunia. Tidak ada dokter yang bisa menolong, sedangkan rumah penduduk jauh
dari lokasi kami. Dokter Sabe dan yang lainnya belum juga tiba, karena pesawat
mereka bermasalah. Jadi mereka lebih memilih naik bis menuju Toraja. Diantara
mereka tidak terdapat seorang bidan…
“Ini mamanya, na taumi
bilang hamil tuaki masih tetap ngotot mau pergi kesini. (Ini istriku, sudah
tahu dia sedang hamil tua, tapi masih ngotot ingin pergi).” Kalimat suami dari
ibu Sapan.
“Astaga, istrimu ini mau
melahirkan kenapa masih sempat-sempatnya marah,” tegur ibu Hana. Saya segera
berlari ke hadapan mereka meninggalkan altar memeriksa keadaannya. Menyuruh
Rehyind berlari menuju mobil tidak jauh dari lokasi mengambil tasku. Untung
saja, saya selalu membawah peralatan medis kemanapun dan dimanapun bahkan
ketika hendak menikah.
“Perutnya besar sekali,
jangan-jangan anak kembar,” perkataan salah satu dari mereka.
“kulit perutnya tebal,
sepertinya janin besar terlihat jelas setelah melakukan pemeriksaan.”
Ucapku setelah melakukan
palpasi pada bagian abdomennya.
“Ambilkanki dulu taplak meja
di depan altar mau dipake alasi dibawahnya ibu Sapan,” perintah ibu Hana.
“Astaga…” ucapan Rehyind
seakan ingin tertawa atau gimana menyaksikan…
“Tafsiran berat janin memperlihatkan
bayi makrosomia/bayi besar, Sementara ukuran panggulnya sangat kecil. Jenis
panggul gynekoid paling ideal bagi wanita tetap tidak akan membantu.”
Penjelasanku. Panggul gynecoid (anteroposterior sama diameternya dengan
tranversa bulat,45% pada wanita ), android (panggul segitiga merupakan panggul
pria, 15% ditemukan pada wanita), anthropoid (panggul atas agak lonjong seperti
telur, 35% ditemukan pada wanita), platypeloid (panggul picak, hanya 5%
ditemukan pada wanita) merupakan jenis-jenis panggul wanita. Melakukan
episiotomi/ penyayatan untuk memperlebar jalan lahir sama sekali tidak
membantu.
“Dokter Juan apa itu
makrosomia, jangan bahasa alien disini karena tidak kumengerti?” pertanyaan
bapak Ruruk suami dari ibu Sapan.
“Bayinya bapak diperkiran
berat badannya besar sekali,” jawabanku.
“Jadi?” Bapak Ruruk
kebingungan.
“Pemeriksaan dalam
memperlihatkan pembukaan 5, ketuban sudah pecah, tapi, bayi ibu Sapan terlalu
besar untuk melewati jalan lahir. Sementara perjalanan menuju kota memakan waktu
lama, bisa terjadi sesuatu.” Berusaha menjelaskan sedetail mungkin terhadap
bapak Ruruk. Mengambil tindakan sesar di tempat ini harus kulakukan, jika tidak
dapat membahayakan keselamatan ibu dan janinnya.
Ibu Hana membantuku membuat
tamu mundur dari sekitar area perbaringan ibu Sapan. Meminta Rehyind membantuku
dalam operasi, awal dia menolak namun secara terpaksa mengikuti kemauanku.
Beruntung peralatan bedah selalu ada kubawah kemanapun, termasuk diacara
pemberkatan nikahku. Tanganku mengambil bak instrument memasukkan alcohol ke
dalam.Kemudian melakukan sterilisasi dengan cara memasukkan seluruh peralatan
bedah ke dalam rendaman alcohol tadi. Menyuruh Rehyind mengikuti semua
perintahku, terpaksa, karena diantara mereka tidak terdapat seorangpun bidan
atau perawat.
“Astaga, kedua mempelai pengantin
sempat-sempatnya operasi,” kalimat seseorang.
“Pertama kali di Toraja ada
pernikahan seperti ini,” ledekan yang lain.
“Pendeta baru bertanya sama
mempelalai pria, apakah kau bersedia…”
“Langsung berteriak ibu
Sapan mau melahirkan, pecah ketuban, hahahahahaha,” ucapan salah satu dari
mereka kembali melanjutkan pembicaraan.
“Ngea ngea ngea ngea…”
akhirnya bayinya lahir dengan selamat.
“Bayinya laki-laki,” Rehyind
tersenyum kegirangan.
“Rehyind klem bersama penjepit
tali pusat untuk menjepit tali pusat”
perintahku membuat Rehyind kebingungan.
“Itu yang ada di depanmu,”
tanganku menunjuk.
“Saya bukan dokter atau
bidan nah bos, tapi tukang arsitek,” teriak Rehyind.
“Apgar score 8/10,”
ucapanku. Menilai turgor appearance/turgor kulit, pulse/nadi, grimace/gerak
reflex, aktifity/aktifitas, respiration/pernapasan. Jika apgar score 8/10
menandakan bayi dalam keadaan baik.
“Astaga, besar sekali anakmu
mama Markus, apa kau makan waktu hamil?” pertanyaan ibu Hana. Bagi suku Toraja,
mereka yang telah menikah tidak lagi dipanggil memakai sebutan nama asli,
melainkan nama anak pertama mereka. Karena anak pertama ibu Sapan bernama
Markus, otomatis semua orang memanggil mama Markus.
“Makan tedong bonga,”
jawaban ibu Sapan
“Pantesan na bilang dokter
Juan bayi besar, barang kali 7 kg beratnya anakmu mama Markus,” kalimat salah
satu tetangganya.
“Astaga, raksasa betul
anakku ini, tapi jangan sampai besar badanmu juga lebar kiri kanan na anakku
sayang.” Ujar pak Ruruk menggendong bayinya.
“Akhirnya lahir juga, jadi
ceritanya berlumuran darahmi baju pengantinnya dua mempelai gara-gara mama Markus
di operasi tidak bisa lahir normal.” Semua orang tertawa mendengar gurauan ibu
Hana.
“Lain kali, kalau ada acara
pemberkatan baru tempat begini, bagi wanita hamil tua dilarang pergi.” Ujar ibu
Hana.
“Betul itu, merusak moment
kedua mempelai saja.” Ucapan seseorang.
“Cukupmi kasihan, dokter
Juan dan Rehyind jadi korban, jangan menambah korban lagi.” Kalimat pak Ruruk
menyadari kekacauan pernikahan karena
istrinya…
“Rehyind, dokter Juan kenapa
acara pemberkatan nikah berubah jadi ajang sesar ibu hamil?” mata dokter Andar
tidak berkedip melihat keadaan di depan mata. Mereka baru tiba di tempat,
setelah semua berakhir.
“Sorry bos, kami berapa kali
kesasar baru tidak ada siknyal,” penjelasan Martha.
“Dokter Andar selesaikan
penjahitannya,” perintah dokter Sabe, menyuruhku melanjutkan acara pemberkatan
nikah kembali. Acara pernikahan paling terkacau di dunia yang pernah terjadi.
Secara keterpaksaan kami menikah memakai pakaian ada Toraja berlumuran darah.
Acara resepsi diadakan jam 10 malam setelah pulang dari acara pemberkatan.
Hanya kisah pernikahan kami saja memberikan kesan seperti ini.
Tidak lama setelah lepas
dari Rehyind, ternyata Brian mendapat
penggantinya. Tidak lain merupakan sahabat Rehyind sendiri yaitu Martha. Di akhir cerita mereka menikah, 3 bulan setelah kami menikah. Tapi karena tidak ingin berakhir
dengan acara pernikahan seperti kami, mereka memutuskan menikah tanpa mengikut sertakan
seorang wanita hamil manapun baik tua maupun muda. Brian dan Martha menikah di
Lolai terkenal dengan sebutan negeri diatas awan.
“Ternyata kau lebih menyenangkan dibanding Rehyind.”
Brian baru menyadari...
“Kenapa kau baru sadar sekarang, sejak kemarin-kemarin
kek” kesal Martha.
“Mana saya tahu,”
“Setidaknya tidak lamakah menyandang status perawan tua,”
kalimat Martha.
“Hahahahahahaha...” tawa Brian.
“Betul-betul, kesabaranku membuahkan hasil karena selama
ini saya berdoa biar diberi jodoh terbaik.” Martha tersenyum.
“Martha , coba perhatikan cakep mana dokter Juan atau
dokter Brian?” pertanyaan dokter Andar.
“Tentu dokter Brian karena wajah blaster, makanya sejak
dulu saya incar memang pake perbaiki keturunan, cuman saat itu dia masih saja
jadi milik Rehyind” jawaban Martha saat kami sedang berkumpul pada acara
resepsi pernikahan mereka.
“Kenapa kau tidak rebutki saja dari Rehyind?” ibu Hana
masuk tiba-tiba...
“Saya tidak mau menyakiti sahabat, masa pake acara
menikung sahabat sendiri. Masuk nerakalah saya kalau begitu,” kalimat Martha
membuat kami tertawa.
TAMAT...