Minggu, 23 Oktober 2016



LANGKAHKU SEDANG MEMAINKAN IRAMA
 BAGIAN PERTAMA...

ARELHYNID
Namaku Arelhyind merupakan singkatan dari area lingkaran hidup yang menjadikan indah. Nenekku memberikan nama unik bahkan belum pernah ada di dunia ini sepertinya, terlebih sekitar area kampungku di Toraja. Semua orang memanggilku dengan sebutan Rehyind termasuk teman-temanku.Hidupku terlihat begitu bahagia sebelum nenek meninggal.Tidak terlihat kesedihan sedikitpun langkahku bermain dengan irama paling mengerikan sedunia.Lebih parah lagi, sewaktu usiaku yang masih anak-anak, harus menerima kenyataan pahit diantara hal paling menyedihkan. Kedua orang tuaku bercerai, mereka bahkan  tidak ada yang ingin memperdulikan perasaanku. Mereka masing-masing telah mempunyai keluarga.
Mama hidup bersama suami barunya di sebuah kota jauh dari kampungku. Saya sendiri tidak tahu dimana papa hidup bersama keluarga  barunya. Mereka tidak memperdulikanku lebih tepatnya membuangku, tanpa pernah menyadari bagaimana luka memainkan langkahku. Tinggal di rumah om Bongi, tidak lain adalah saudara kandung mama membuat langkahku seperti sedang berada di neraka.Saya tidak pernah menikmati masa kecil dengan segala cerita unik di dalam sampai kapanpun juga.
‘Rehyinnd…’ seseorang berteriak dan tidak lain adalah…
‘Maleko massasa, (pergi mencuci sana)’ teriakan tante Bungan. Mulutnya akan terus berkotek-kotek seperti bebek setiap hari. Seluruh pekerjaan rumah harus kuselesaikan sebelum berangkat sekolah.Pukul 03.00 dini hari harus bangun menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah.Memasak, membersihkan rumah, mencari makan hewan peliharaan dan memberi makan, bahkan masih banyak lagi pekerjaan yang harus kukerjakan.Belum perjalanan ke sekolah memakan waktu sejam untuk berjalan kaki.Kampung tempat tinggalku di Toraja sangat terpencil.Aliran listrik saja belum masuk ke kampong kami, karena begitu terpencilnya.Pulang sekolah harus bekerja di sawah demi mencukupi kebutuhan.
Menjadi pemikiranku, kenapa nenek memberikan nama Arelhyind, pada hal beliau kurang begitu fasih berbahasa Indonesia. Bahasa yang digunakannya hanyalah bahasa daerah khas kampung kami.Sebelum nenek meninggal hidupku benar-benar menyenangkan, tanpa air mata sedikitpun.Seakan kehidupan tidak pernah adil untuk membuat irama tersendiri dalam perjalananku saat ini.Apakah ini yang dikatakan kehidupan? Benar-benar mengerikan…
“Aparakah mu po gau inde tu’ (apa yang kau perbuat disitu)?” teriakan tante Bungan tidak pernah membiarkanku istirahat sedikit saja.
“Den bayungku kudaka, tanta (saya sedang mencari bajuku, tante)”
“Masannang tonganko tiro-tiro tu pa’jaman le’ (kau betul-betul senang melihat pekerjaan berantakan)”
“Taemo apa la’dijaman, maserrong nasang mo to banua, tanta (sudah tidak ada yang perlu dikerja, semua ruangan rumah sudah bersih, tante)” jawabanku terhadapnya.
“Umbami utan tandua kayu mutut’tuk’ (mana sayur daun ubi yang sudah kau tumbuk)?” seakan ingin terus menerus mencari kesalahanku.Berteriak tidak jelas dengan berbagai kata-kata aneh, hanya karena sebuah masalah kecil.Terkadang mencubit, memukul setiap harinya untuk masalah kecil terlebih masalah besar.Mengurus ke-3 anaknya yang masih kecil-kecil, dimulai saat makanan, memandikan mereka pagi & sore, mengantar ke sekolah, masih banyak lagi pekerjaan berhubungan dengan rumah ini.
Seakan Tuhan tidak adil terhadap langkahku saat ini.Kedua orang tuaku bercerai, bahkan mereka membuangku tanpa pernah mengingat siapa anaknya.Masing-masing telah memiliki kehidupan baru dengan keluarganya, sangat mengerikan.Tuhan mengambil satu-satunya orang yang begitu berharga dalam langkah perjalananku.Membuatku berada di sebuah rumah yang penuh dengan neraka bahkan jauh melebihi dari kerajaan maut tingkat paling terparah.Langkahku sedang membuat irama tentang akar luka paling terdalam di setiap sudut lingkaran hidupku.
“Puang Matua, umbaKo...(Tuhan, dimana Kau)?” teriakan hatiku setiap saat…
“Mangapako inde tu’ Rehyind (kau lagi berbuat apa disitu, Rehyind)?” pertanyaan Marta sedari tadi memperhatikan tingkahku tanpa sadar. Berpikir, bahwa di area pematang sawah ini hanya terdapat diriku, ternyata aku salah.
“Taerah (tidak buat apa-apa)” berusaha menutupi setiap akar permasalahanku.
“Kutiroko tummangi mukua’ (saya melihatmu menangis, jangan bohong)” menyadari ada sesuatu tersembunyi bahkan tertutup rapat.
“Massikolahko melomelo, kutandaimo mangapa mutumangi, (Kau harus sekolah baik-baik, saya sudah tahu mengapa kau menangis)?” ucapannya kembali secara mengejutkan.
“Matumbai mupokada susitoo’ (kenapa kau berkata seperti itu)?” wajahku berbalik ke arahnya ingin mencari jawaban..
“Kutiro tu tanta Bungan kalettek  sola nasambakkiko, nang’ susimo too’ yake dikua diongki banuanna tau tangia indo sola ambeta’ (saya selalu melihat tante Bungan mencubit dan memukulmu, memang seperti itulah keadaan hidup, namanya tinggal di rumahnya orang bukan di rumah ibu dan ayah).” Pernyataan tidak terduga dari teman sekolahku.
“Dau male magosip…(jangan pergi bergosip yang tidak-tidak),” cetusku.
“Tirona dolo, (lihat saya dulu)” perintahnya.
“Jangan pernah menyerah terhadap keadaan hidup, seperti apa pun,” kalimatnya dengan tatapan tajam sebagai seorang sahabat.
“Marta, untuk hari ini kalimatmu sangat bijak tidak seperti yang kukenal kemarin!”
“Rehyind, berusahako keluar dari kampungta baru pergi merantau di kotanya orang demi masa depan.” Ujar Marta membuatku sama sekali tidak pernah membayangkan apa pun tentang perantauan.
“Kau taumi to, saya tidak kenal siapapun diluar, sedangkan indo sola ambeku na buangka disini, bagaimana cerita mau keluar.”Tanganku terus saja memainkan tanaman padi.
“Kau lihatmi saja sekarang, kalau disiniko terus tidak jadi orangko, bahkan kau tidak akan pernah tahu namanya dunia luar seperti apa.”
“Marta, andai kata densia solata doing perantauanna tau, ambai bisasia’ (Marta, andai kata ada orang sekampung dari toraja yang saya kenal, munngkin bias saja merantau ke kota orang).” Tuturku memandangnya.
“Rehyind, namanya perantauan itu terkadang bersifat nekat-nekatan, pintar-pintarnya kita sebagai orang Toraja untuk beradaptasi di kota orang biar tidak ada dikenal siapapun.”Ucapannya kembali.
“Matakkunah’ (saya takut)”
“Bagaimana caramu berbaur dengan yang bukan sukumu, supaya bisako jadi orang untuk kejar mimpimmu,” Marta memperlihatkan mimic waajah serius.
“Kenapa musuruhkah merantau sedang kau sendiri?”
“Astaga Rehyind, dengarko nah, pasangki telingamu baek-baek,”
“Tidak begituji juga caranya, Marta saudaranya Maria” cetusku…
“Saya toh maukah juga pergi merantau, makanya kutanyako memangko sebelum pergikah,”
“La’maleko umbananai (kau mau pergi dimana)?” teriakku…
“Maukah pergi Jakarta lanjutkan sekolahku, langsung mentong ibu kota kutembak” jawabannya.
“Jadi, tidak bisamikih ketemu ato tegur sapa?”
“Maka dari itulah kubilang, bulan ini saya lulusmo SMP, sedangkan kau baru mau naik kelas 3.”Kalimat Marta kembali.
“Tunggumo dulu sampena luluskah tahun depan, taemo sangbaineku yake’ meleko dako (sudah tidak ada lagi sahabatku kalau kau pergi).”
“Orang tuaku suruhkah cepat ke ibu kota, karena ambeku ditugaskan disanaki sekarang.”Ujarnya.
“Tidak mungkin, saya tungguko sampe selesai, intinya cariko cara bagaimana kau bisa keluar dari kampung baru pergiko merantau di kotanya orang. Rehyind, kejarko mimmpimu baru buktikanki sama tanta ganasmu kalau kau pasti lebih berhasil dari pada anak-anaknya nanti.” Ucapan seorang sahabat pemberi semangat.
“Betul juga kata-katamu, menangis bahkan marah tidak bakalan menyelesaikan masalah, yang ada malah memperpanjang kekecewaan.” Ujarku tersenyum…
“Sekarang memang kau dibawah, tapi, suatu hari nanti pasti Puang Matua (Tuhan sang pencipta) membuatmu diatas. Dengarko baek-baek, pasti itu semua keluargamu datang cariko kalau berhasilmiko.”Sahabat pemberi semangat setiap saat.
“Betul juga ucapanmu, Marta.”
“Itu tanta Bungan sola muanena masirrik liu yake dadi tauko dako, ambai moi makkako lese’ kotoran binatang na udung tumukua’ (itu tante Bunga bersama suaminya pasti akan malu luar biasa, kalau kau jadi orang kelak, biar kau baru menginjak kotoran binatang pasti tetap dia akan cium kakimu.” Kata-katanya membuatku harus mengejar masa depan.
“Hahahahahaha…” kalimatnya membuatku melupakan semua masalah.
“Begituji semua suku biar bukan suku Toraja, kalau kau tidak punya apa-apa tidak akan pernahko na anggap bahkan mereka melupakan kalau kau adalah keluarganya.Tapi, coba kalau kau sudah berhasil datang semua mengaku sebagai keluarga besar dan kecilnya.Rata-rata seperti ituji, dimana-mana…” ungkapan Marta ada benarnya juga.
“Jangankan om/tante, sepupu dekat atau jauh, orang tuaku sendiri na buangkah.Ada semuami masing-masing keluarga barunya.”Kata-katanya kecewa melihat dunia orang tuaku sendiri.
“Sabar-sabarko saja, ambil positifnya, siapa tahu kalau kau tinggal sama orang tuamu sifatpemalasmu bisa jadi main terus…tapi, dari sini kau bisa mandiri dan mau berjuang dengan masa depan sampai terbentuk karaktermu.”
Ucapannya mengajarkan langkahku agar tetap menjalani masalah di depan mata dengan berpikiran positif bukan negative. Jangan menyalahkan keadaan, oleh karena perjalanan tidak pernah melihat ataupun merasakan kasih sayang. Berjalan menggapai mimpi apa pun rintangan di depan. Suatu hari kelak, saya pasti bisa meraih mimpiku untuk membuat irama tersendiri bagi area kehidupanku.Goresan luka dapat saja tertawa sekarang, tapi dibalik itu semua pada dasarnya membentuk sebuah batu permata bahkan lebih itu.
Tuhan, kelak buat saya bisa mencapai impianku apa pun keadaannya pada pemandangan mataku sekarang. Mata dapat saja tertipu, tapi keadaan bisa berbalik arah untuk menjadi terdepan karena saya adalah pemenang. Tuhan, buat duniaku melupakan tentang kekejaman om& tante, serta kedua orang tuaku karena mereka menganggapku tidak pernah ada. Buat duniaku melupakan setiap goresan luka yang mereka tancapkan begitu kuat bagi langkah perjalananku.
Saya akan berjuang mengejar mimpiku, karena pengharapanku masih ada apa pun keadaanku saat ini. Suatu hari kelak, Tuhan pasti bisa membuatku menjadi seorang pemimpin paling disegani oleh siapapun.Suatu hari kelak, Tuhan pasti membuat seluruh hasil pemikiranku menjadi nomor 1 diantara yang terbaik. Kata mustahil tidak akan pernah bermain bagi nafasku, karena Tuhan selalu bersamaku. Kelak, saya pasti menjadi seorang pendesain arsitek dimana hasil karyanya dapat diperhitungkan oleh dunia.
“Jaga dirimu baek-baek nah sang baine (sahabat)” kalimat terakhir Marta sebelum berada di kota orang.
Kehidupan masih terus berputar serta berjalan dalam lingkaran bulat bumi.Setahun setelah kepergian Marta, akhirnya saya bisa keluar dari neraka paling terkejam bagi duniaku. Tante Bungan menuduhku telah mengambil uangnya, sementara om Bongi menodongkan sebuah parang pada leherku untuk sesuatu yang sama sekali tidak kulakukan. Malam itu, saya berlari keluar dari rumah saat perhatian mereka teralih ke tempat lain. Hingga akhir cerita, saya tiba di Makale tanpa tujuan sedikitpun.Beruntung, seseorang mau memberikan tempat tinggal serta menyekolahkanku.Ibu itu bukan keluargaku, namun, Tuhan memakainya untuk memberikan tumpangan.
Memelihara ternak peliharaannya, kemudian membagi hasil sebagai biaya sekolah.Memberikan tempat tinggal gratis, tanpa hidup dalam tekanan bagi lingkarang hidupku. Akan tetapi, yang namanya suku Toraja, jika berada di rumah orang harus tahu diri, dengan kata lain melakukan pekerjaan rumah selain pekerjaan sendiri. Merencanakan melakukan perantauan sama seperti Marta akan kujalani setelah lulus SMU. Sekarang ini, saya masih membutuhkan waktu serta biaya membuat perjalanan terbesar bagi hidupku.
“Tiro-tiro tu’lalan dako tobang tau ato iko (lihat-lihat jalan, sebentar orang jatuh atau kau)” tegur seseorang, hampir saja saya menabraknya karena terburu-buru menuju kelas.
Juan adalah teman sekolah bahkan sekelas denganku, hampir saja kami berdua jatuh ke sebuah parit sekitar lapangan sekolah. Kehidupan bahkan penderitaannya sama denganku, tidak ada bedanya. Seluruh kisah kehidupan Juan kuketahui melalui beberapa gosip yang sudah lama beredar disekitarku. Hidup sebatang kara tanpa orang tua atau keluarga sedikitpun, berjuang membiayai seluruh uang sekolahnya sama sepertiku. Namun, untuk pertama kalinya, dia mau berbicara denganku. Pada hal selama di sekolah, sedikitpun senyuman pada wajah Juan tidak akan pernah diperlihatkan.
Akhir cerita, dimana dia  berusaha menolongku lepas dari sebuah jurang tebing, saat saya berjalan mencari makanan ternak. Saat itulah kami mulai berteman berujung pada persahabatan abadi lebih tepatnya.Juan yang kukenal kemarin mempunyai sifat tertutup bahkan sulit untuk percaya pada seseorang.Namun, Juan sekarang membuatku memahami tentang arti persahabatan secara luar biasa.Pertama kali bagi perjalananku memiliki seorang sahabat selain Marta. Setelah Marta berada di kota orang, Tuhan mengirimkan seorang sahabat lain bernama Juan.
“Rencanamu ke depan seperti apa selanjutnya? Pertanyaan Juan tiba-tiba terhadapku sekitar area pematang sawah.
“Mangaparakah mupokada susitoo’ (mengapa kau berkata seperti itu)”
“Rehyind, dau’ putus sekolah le’ (Rehyind, jangan pernah putus sekolah)”
“Tonganna tee’ taekutandai apa maksud arah pembicaraanta ini sodara (betulan ini, saya sama sekali tidak mengerti arah pembicaraanmu sobat).” Mimic wajahku benar-benar terlihat tidak memahami ucapannya.
“Saya tahu kalau kehidupanmu benar-benar sulit terlebih permasalahan keuangan,” pernyataannya membuatku mulai memahami arti dari ucapan Juan.
“Rehyind, harus terus berjuang untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi apa pun masalah di depan mata sekarang,”
“Mutaumi to, orang tuaku bercerai baru pergikah na’kasih tinggal begitu saja, hidupkah sama om dan tanteku nasiksa teruska sampai sekarang masih ada bekas lukanya di tanganku.” Kata-kataku menjelaskan terhadapnya.
“Justru karena itu, buktikan kalau kau suatu hari kelak bisa menjadi orang paling berhasil.”
“Karaktermu beda-beda tipis dengan sahabatku yang terdahulu, namanya Marta.Menekankan pada duniaku untuk mengejar pendidikan dan membuktikan bahwa suatu hari kelak saya harus menjadi seseorang paling berpengaruh.”Ucapanku dengan memainkan air pada perairan sawah.
“Moi disanga tae apata’, tapi ya’ke’ den’sia kemauanta na’nang bisa tu (biar dibilang, kalau kita tidak memiliki apa-apa, namun, jika kemauan ada dalam diri pasti bisa mengejar).”Ucapan seorang sahabat sekali lagi mengajarkanku untuk tetap berjuang dan berjuang…Perjuangan harus tetap bermain bagi areaku saat ini, setidaknnya saya memiliki pengharapan saat ini.
BAGIAN DUA…

JUAN…
Pendidikan dari seorang ibu mengajarkan nafasku tentang arti kekuatan mengejar mimpi.Hal terpahit bagi duniaku sekarang, bahwa saya harus hidup tanpa ayah, ibu, bahkan adikku, kenapa?Karena mereka semua telah berada di sebuah alam berbeda dengan dunia manusia. Ayah meninggal saat saya masih berusia 12 tahun, karena sebuah kecelakaan. Ibuku saat itu tengah hamil dan beberapa bulan lagi saya akan memiliki adik kecil. Semua kenyataan pahit harus saya terimah, di tahun yang sama. Selang beberapa bulan ibu mengalami pendarahan setelah melahirkan, karena terlambatnya pertolongan dari tenaga kesehatan. Keluargaku begitu miskin, hingga kami tidak mampu untuk mencari dana…
“Juan, dau’ tumangi lee moi taemo tu ambemu sola indomu (Juan, jangan pernah menangis sekalipun kau sudah tidak memiliki ayah ataupun ibu).”Kalimat ibu sebelum mendekati ajalnya.
“Den Puang Matua tiroko, dau rusak tu lalanmu lee’ (Tuhan selalu  ada melihatmu, jangan pernah merusak jalanmu sendiri).” Sekali lagi ibu mengucapkan pernyataan terakhir kalinya, kemudian menghembuskan nafasnya.Sekian tahun, saya menantikan seorang adik, ternyata diluar kehendak Tuhan kalau dia pun pergi sejam setelah ibu menghembuskan nafas terakhirnya.Adikku mengalami gawat janin saat masih berada dalam uterus dan belum lahir ke dunia, pada akhirnya mereka berdua meninggalkanku seorang diri.
Inilah perjalananku, harus menghadapi keadaan paling terpahit setelah kepergian ayah, ibu, dan adik kecilku. Saya harus sekolah sebaik mungkin demi meraih impianku, apa pun keadaanku sekarang. Duniaku tidak boleh larut dalam kesedihan bagaimanapun luka yang terus mempermainkan hidupku.Tuhan, suatu hari kelak saya ingin menjadi dokter spesialis kandungan untuk menolong banyak orang-orang seperti ibuku. Tidak akan pernah membeda-bedakan pasien manapun, atau mengejar uang hanya demi mengejar kekayaan.
Berjuang demi meraih sebuah prestasi, hanya untuk mengejar cita-citaku.Saya harus kembali ke Toraja atas permintaan tanteku. Berpikir, bahwa masih ada yang pedulli terhadapku ternyata diluar dugaan… Mereka hanya mau menjadikanku sebagai pembantu demi mengurus sawah, kerbau, memasak serta mengerjakan semua pekerjaan rumah.Kenyataan terpahit adalah kehilangan bahkan mengalami dilema akan berbagai sudut persimpangan dari kehidupan. Inikah yang dikataakan sebagai kehidupan paling menyenangkan diantara semua perjalanan.
“Dau kumande ya’ke tae nasangpi tu pekkarangan banua mu jama-jama (kau tidak boleh makan, kalau seluruh pekerjaan rumah belum dikerjakan semua).”Teriakan mereka setiap saat memecah di telingaku.Karena tidak tahan dengan keadaan, akhir cerita saya lari dari rumah mereka, dan berjuang sendiri untuk makan seluruh biaya biaya sekolahku.
Berusaha membagi waktu sebaik mungkin antara bekerja dan bersekolah. Jika, masa panen tiba maka saya akan berada di sawah orang untuk membantu, setidaknya diberi sedikit demi menyambung hidup. Tanpa pernah lelah bekerja demi mengumpulkan dana hanya untuk meraih impianku. Ketika memasuki dunia sekolah menengah, saya bertemu dengan seseorang yang memiliki kehidupan sama sepertiku. Saya tahu perjalanan hidupnya dari bujang sekolah, ternyata dia menutupi rapat-rapat segala dunianya.
Karakterku berbeda dengan orang lain, saya tidak suka terlalu banyak berbicara ataupun mencari bahan candaan agar bisa membuat di sekitarku menjadi tertawa. Sepulang dari sungai mencari batu kerikil guna memperbanyak tabungan, saya melihat dia sedikit lagi akan pasti terjadi ke jurang. Daerah sekitar Toraja merupakan pegunungan, jadi, terdapat beberapa jalan rusak dan jika tidak berhati-hati dapat beraada di sebuah jurang.
“Rehyind, toi dolo tu batang pao (Rehyind, kau harus memegang untuk sementara batang manga).”Karena di sekitar area tersebut terdapat pohon manga besar.
Berusaha menolongnya, agar dia bisa selamat dari tepi jurang.Akhirnya, dia bisa lepas dari jurang tersebut, “kurre sumanga Puang Matua (terimah kasih, Tuhan).”Ucapannya.Sejak saat itu, kami mulai menjadi seperti sahabat dalam suka maupun duka.Berbagi cerita tentang kisah kehidupan, bahkan bersama-sama belajar membentuk irama langkah tersendiri dari siapapun. Entahkah, karena kehidupan Rehyind sama sepertiku, hingga saya menyukai berbagai hal dari hidupnya. Saya ingin melindungi dia, apa pun yang terjadi hingga semua terdapat pondasi kuat diantara terkuat.
“Rehyind, harus berjuang bagaimanapun keadaanmu sekarang.”Kalimatku setiap saat tanpa pernah bosan mengucapkan pernyataan tersebut.
“Astaga, kumengertimi itu ucapanta tidak usah lagi diulang terus,” celotehnya setiap saya mengeluarkan pernyataan tersebut kembali.
“Rehyind, sebenarnya cita-citamu itu apa?”
“Saya ingin menjadi seorang arsitek, dimana membuat berbagai konsep desain gedung, kota, pariwisata dengan keunikan-keunikan tertentu.”Jawabannya di hadapanku.
“Berarti kau bisa memajukan parawisatanya Toraja nanti itu, kalau begitu ceritanya.”
“Kalau Tuhan menghendaki saya kembali ke Toraja setelah dari perantauan.”
“Rehyind, biar kita itu di daerah atau negaranya orang, haruski tetap ingat kampung halaman danasal daerah kita sendiri.”
“Itu baru rencana, tapi, sesuai pernyataanmu saya akan berjuang mengejar mimpi bagaimanapun keadaanku sekarang.”Kalimatnya penuh semangat.
“Itulah yang kusukai dari dunia Arelhyind,” teriakanku.
“Tapi, saya mau kerja dulu baru setelah itu kulanjutkan sekolahku kembali di ibu kota,” kalimatnya kembali.
“Kenapa bisa?”
“Uangku sekarang tidak cukup buat lanjut di universitas, saya mengumpulkan uang hanya bisa membiayai sekolahku yang sekarang.”Jawaban dari pertanyaanku.
“Tetap semangat,” tanganku menepuk bahunya.
“Kalau boleh tahu, kau mau kuliah dimana ssetelah lulus nanti?”
“Saya ingin menjadi seorang dokter spesialis kandungan, suatu hari kelak mempunyai sebuah rumah sakit bagi mereka yang berkekurangan.”Kalimatku.
“Wow, seperti bahasa unyu-unyu sekali itu kata-katamu, tidak sperti biasanya berkata-kata,” tawa Rehyind meledak seketika.
“Tidak bercandaji orang bosss…” sindiranku.
“Bagaimanakah caramu juga bicara seperti anak perempuan, bos,” celotehnya.
“Rehyind, ini hanya sekedar berandai-andai, dengar garis bawahi istilah andai kata,”
“Terus,” ujarnya.
“Kalau saya berhasil menjadi seorang dokter spesialis bahkan telah memiliki uang banyak, dan rencanaku mebuat rumah sakit berkualitas tanpa membeda-bedakan ataupun menolak pasien dengan berbagai alasan dalam hal keuangan…” kalimatku.
“Langsung pada pokok pembicaraan saja, tidak usah berbelit-belit,” kata-katanya sedikit  emosi.
“Yang ingin saya katakan, konsep desain untuk bangunan rumah sakitku nanti seperti apa cocoknya?” pertanyaanku.
“Kenapa pertanyaan seperti ini diarahkan kepada saya?Mana saya tahu,” celotehnya.
“Pasti kau tahu, karena kelak seorang Rehyind akan menjadi arsitek terkenal.”
“Hahahahahaha, belum saatnya masih maukah belajar,” gurauannya.
“Mulai dari sekarang itu kemampuan digali, bos” teriakanku di telinganya.
“Konsep rumah sakit yang tepat untuk perencanaan, bercerita tentang pohon kaktus.”
“What, coba diulang pernyataanmu tadi,” lengkingan suaraku sedikit mengejutkan.
“Kau harus dengar dulu, tentang desain gedunng yang kujelaskan…” tutur Rehyind.
“Gedung rumah sakit berbentuk kaktus dengan beberapa tetes embun pada tubuhnya di tengah padang pasir. Hal paling menarik adalah seakan semua yang terlihat hanya padang pasir dan pohon kaktus terbungkus duri pada tubuhnya, tidak ada air sama sekali. Akan tetapi, di bagian paling terbawah bahkan kedalaman akar tingkat terbawah terdapat limpahan air luar biasa.Kesimpulannya, gedung rumah sakitmu nanti, harus memiliki akuarium besar di ruang bawah tanah seperti saat berada di lautan dengan segala keindahannya.”Penjelasannya.
“Kenapa konsepmu seperti itu, apakah ada makna terselubung dibalik jenis gedung rumah sakit yang kau tawarkan terhadapku?”
“Pohon Kaktus itu dipenuhi banyak duri bahkan begitu menyakitkan pada setiap tusukannya, menggambarkan bahwa banyak orang yang masuk ke rumah sakit ini terbungkus berbagai penyakit bahkan menusuk di tingkat kedalaman paling mengerikan.Duri berbicara tentang berbagai penyakit mematikan menusuk seluruh tubuh.Padang gurun bercerita lingkaran kehidupan dengan berbagai pergumulan.Kemudian, pada tubuh kaktus terdapat beberapa tetes embun menggambarkan tentang sebuah pengharapan ditengah penyakit mematikan yang terus saja membungkus tubuh.”Ucapannya, tanpa terputus sedikitpun.
“Terus akuariumnya bercerita tentang apa?”
“Berbicara tentang seseorang mempunyai pengharapan sekalipun semua terlihat mustahil, mempercayai bahwa di tengah padang gurun tersebut masih terdapat air yang berlimpah. Seberapa mengerikan apa pun penyakit, tetap percaya pasti ada kehidupan, hingga pengharapan akan kesembuhan benar-benar akan menjadi nyata suatu hari kelak.Itulah mengapa saya menginginkan akuarium luas di dasar bawah tanah rumah sakitmu nanti.” Dunia Rehyind dan saya sama seperti pohon kaktus tersebut di tengah padang gurun.
Suatu hari kelak mimpiku akan terwujud, hingga rumah sakit dengan konsep desain yang dijelaskan oleh Rehyind dapat tergenapi dalam langkahku. Sejak ucapannya tentang pohon kaktus, sebuah perasaan special muncul begitu saja di dasar hatiku.Saya menyukai Rehyind bahkan sedetikpun tidak ingin melepasnya sedikitpun. Saya ingin bersama-sama mewujudkan impian, bagaimanapun dan seperti apa pun keadaan di depan mata. Pemgharapanku masih ada untuk mengejar mimpi tersebut.
“Umba minanai dako lanjutkan tu pendidikanmu, (dimana kau akan  pendidikanmu)?” Rehyind bertanya.Menyadari maksud dari pertanyaannya, dikarenakan kami hanya menunggu hitungan minggu untuk meninggalkan sekolah ini. Apakah saya akan melakukan hal yang sama seperti dirinya, bekerja untuk beberapa waktu kemudian melanjutkan pendidikanku selanjutnya.
“Entahlah,” jawaban dariku.
“Kenapa kau berkata entahlah, sedangkan hal seperti ini merupakan masa depanmu selanjutnya?”
“Saya masih dalam pergumulan tentang keuangan, sementara kuliah kedokteran membutuhkan biaya banyak.”
“Seorang Juan mempunyai impian menjadi seprang dokter spesialis kandungan kelak, saya meragukan pernyataanmu tentang dana.” Tatapan mata Rehyind benar-benar tajam.
Untuk pertama kali tatapan Rehyind benar-benar tajam menjelaskan tentang mimpi yang harus dikejar apa pun keadaan di depan mata sekarang. Menginginkan langkahku harus memainkan irama di suatu lingkaran tertentu, itulah maksud dari pernyataannya.Masing-masing orang memiliki tingkatan karakter berbeda-beda dengan dunia tersendiri. Perjalananku dalam dunia medis sebentar lagi akan dimulai, hanya menunggu waktu.
Hari berganti hari, hingga bulan juga berganti dan pada akhir cerita kami berdua lulus dari sekolah tempat berjuang untuk beberapa saat. Perjalananku akan berlanjut di ibu kota, tidak lagi duniaku bercerita sekitar Tanah Toraja. Saya ingin tetap berada berada Rehyind sahabat terbaik yang mampu memahami berbagai aspek kehidupanku.
“Rehyind, maukah juga pergi merantau di ibu kota sama-samaki.” Kata-kata itu keluar begitu saja…
“Saya kira kau mau pergi di Makassar saja ikut  tes jurusan kedok, kenapa kau ikutkah lagi ke Jakarta.” Ujarnya.
“Tidak jadi, maukah ikotko saja di Jakarta baru saya coba-cobami tes kedokteran di sana kalau lulus yah puji Tuhan, tapi kalau tidak, berarti saya akan mengulang lagi tahun depan.” Jawaban buat sahabat terbaikku.
“Wow, jalan ceritanya ini bosku tidak menyerah di tengah jalan andai kata belum berhasil.” Celotehnya.
“Seperti itulah bos, hahahahahaha…” tawaku meledak mendengar ucapannya.
“Kejar mimpimu, jangan ikut-ikut seperti saya harus nganggur hanya demi mengumpulkan uang menuju perguruan tinggi.”
“Rehyind benar-benar aneh mentong, jangan seperti saya, maksudnya?”
“Astaga, kalau kau uangmu pasti sudah cukup, sedangkan saya masih membutuhkan banyak pergumulan lagi…” cetusnya.
“Kita mempunyai jalan kehidupan sama-sama miris bahkan tidak merasakan kasih sayang sejak usia masih terlalu muda.Perbedaan diantara kita hanya beda-beda tipis ibaratnya sebelas dua belas.”Kalimatku.
“Berarti kita akan bersama-sama menjalani berbagai hal, apa pun itu,” sekali lagi pernyataanku keluar begitu saja.
Inilah kehidupan kami berdua antara dengan lainnya harus saling memberikan kekuatan. Bersama-sama menjalani kehidupan baik susah, senang, tertawa bersama, merasakan sakit, serta berbagai hal di suatu lingkaran. Inilah yang dikatakan sahabat, akan selalu ada disaat apa pun keadaan. Namun, jauh di dasar hati saya menyukainya lebih dari sekedar sahabat.
Setelah berhasil meyakinkan Rehyind, akhirnya kami meninggalkan kampung tercinta menuju ibu kota. Awalnya, dia tidak mau kalau seorang Juan hanya ikut-ikutan mengekor menuju ibu kota karena tidak mau berpisah dari sahabat sejati. Memberikan jawaban paling mendetail tidak ada hubungannya dengan apa pun juga. Saya hanya ingin mempunyai pengalaman serta dunia lain tentang pendidikan, pemahaman/ pola pikir, wawasan dan berbagai hal baru, hingga memilih ibu kota sebagai tempat kaki untuk berpijak. Sebagai alasan agar tetap bersama sahabat terbaik
Menuju Makassar menggunakan bis, kemudian memakai transportasi laut setelahnya hingga kami berada di Jakarta. Tanpa mengenal siapapun di Jakarta, sebenarnya Rehyind memiliki teman di kota ini hanya saja semua kontak hilang saat masih sekolah kemarin. Berjalan buta-buta tanpa mengenal seorangpun di kota besar seperti Jakarta. Tinggal di sebuah rumah susun pada lantai lantai paling atas, inilah yang dikatakan kehidupan paling…
Rehyind memutuskan bekerja selama beberapa saat, kemudian melanjutkan kuliahnya. Saya sendiri mencoba mengikuti UMPTN kampus negeri sekitar ibu kota, mengambil jurusan kedokteran. Uang untuk kuliah sudah cukup, selama ini saya pantang menyerah bekerja demi biaya pendidikan sendiri.Selama beberapa saat, tabungan buat makan masih dapat dikendalikan hingga mendapat pekerjaan.
“Juan, aparakah napokada tu pia muane nenah (Juan, apa yang dibicarakan itu cowok tadi)?Pertanyaan Rehyind membuatku tertawa.
“Saya juga tidak tahu, sepertinya orang Jawa itu tadi.” Jawabanku..
“Ternyata, bermacam-macam suku penuhi ibu kota, dimanami tinggal itu semua?”
“Di rumah keluarganya toh,” kalimatku tertawa mendengar ocehannya.
BAGIAN TIGA…

JUAN…
Kalimat Rehyind ternyata jauh lebih kampung dibanding dengan kehidupanku sendiri.Hal seperti ini membuatku sering tertawa sendiri saat tertentu.Tutur  katanya, benar-benar membuatku tertawa selama berada di ibu kota, dia berusaha beradaptasi dengan gaya logat bahasa khas Jakarta. Mendengar Rehyind berbicara seperti itu, terlihat ganjil dan aneh saja. Mulai memakai kalimat lu dan gua, rasa-rasanya mengocok perutku setiap saat.
“Gua makan dulu,” teriakannya.
“Sana lu, gua yang disini…” itulah kalimat ucapannya setiap saat.
“Rehyind, santaimiki kalau bicara dan tidak usah menjadi orang lain bos,” kalimatku setiap mendengar ucapannya.
“Itu urusan gua,” tidak memperdulikan ucapanku.
“Wow, dunia seorang Rehyind langsung berubah hanya beberapa waktu di Jakarta, gimana kalau sudah sebulan…”
“Sini lu,” kalimatnya.
“Astaga, mauko logat dan gaya bicaramu seperti anak gaul, tapi tetap muka juga logat-logatmu seperti orang Toraja, hahaahahaha…” kalimatku tertawa lebar mengejek gaya bahasa yang dilontarkannya setiap saat.
“Berhentiko mengejek nah,” langsung kembali pada logat semula, semakin mengocok perutku untuk tertawa.
Mencari pekerjaan di ibu kota begitu sulit, hingga mengharuskan duniaku bekerja kembali menjadi kuli bangunan sama seperti yang telah kulakukan sebelumnya di kampung. Pekerjaan sambilan demi biaya kehidupanku di Toraja, menjadi seorang pengumpul pasir/kerikil di sungai, kuli bangunan, bertani, memelihara ternak orang dengan membagi hasil.Inilah kehidupanku, namun demi meraih cita-cita, seorang Juan tidak harus mengenal dunia gengsi-gengsian seperti kebanyakan orang. Mendapatkan impian, akan terlihat menyenangkan jika memiliki jalanan pendakian luar biasa tinggi hingga menguras keringat. Jika semua bersifat lurus-lurus saja di depan mata, karakter paling mengerikan akan mempermainkan iramanya lebih kuat.
Akhirnya pengumuman hasil UMPTN keluar juga, tanganku membuka koran mencari namaku. Begitu banyaknya pendaftar bahkan mencapai belasan ribu berjuang keras memasuki jurusan ini, hanya beberapa saja dinyatakan lulus.
“Juan Allo,” membaca sebuah nama terselip diantara nama-nama yang dinyatakan lulus.
“Terimah kasih Tuhan,” teriakanku melihat berita kelulusanku. Berlari kencang hanya demi memberi tahu kelulusanku terhadap Rehyind tanpa memperdulikan apa pun.
“Rehyind, ada berita terbaru,” teriakanku terhadap Rehyind yang sedang berjalan ke arahku.Saya menyuruhnya bertemu denganku di sekitar pinggir jalan raya yang tidak jauh dari rumah susun tempat tinggal kami.Secara tiba-tiba, sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi ke arah Rehyind.
“Rehyind…” teriakanku berlari kearah Rehyind terbungkus darah segar.
“Tidak…” teriakanku melihat dia tergeletak tanpa mendengar sedikitpun suaraku.Suara ambulans berbunyi keras, namun, detakan jantungku jauh lebih kuat berteriak oleh karena Rehyind.
“Tuhan, jangan ambil Rehyind,” jeritan hatiku terus saja berteriak melihat bagaimana Rehyind tidak dapat membuka matanya sama sekali.
“Dokter, bagaimana keadaan Rehyind?” ujarku, mengejar dokter yang baru keluar dari ruang pemeriksaan Rehyind.
“Beberapa tulang Rehyind patah dan harus di operasi, jika tidak…” kalimat dokter terhenti…
“Jika tidak, kenapa dok?” ujarku sangat ketakutan.
“Rehyind akan mengalami cacat seumur hidupnya, bahkan untuk melakukan aktifitas ringanpun dia tidak akan pernah bisa…” penjelasan dokter.
“Biaya operasi Rehyind sekitar berapa dok?”
“Sekitar 70 juta karena keadaan Rehyind memasuki kasus paling kritis diantara semua kasus yang pernah ditangani.” Membuatku tidak dapat berbicara apa pun. Membayangkan senyuman seorang sahabat membuatku tidak akan pernah bisa kehilangan dirinya. Mimpiku di depan mata dan sedikit lagi akan tercapai untuk menjadi seorang dokter.
“Apa yang harus kulakukan, Tuhan?” jeritan hatiku.Air mataku mengalir jauh mengalahkan air hujan disaat-saat tertentu membasahi bumi. Bertahun-tahun saya bekerja demi mengumpulkan dana, untuk meraih mimpiku saat ini.
Seorang Juan mempunyai mimpi, tanpa mengenal kata menyerah pasti bisa meraih segala impiannya.”Kata-kata Rehyind terus saja terngiang pada telingaku.
“Rehyind, kenapa bisa jadi seperti ini?” tangisku terus saja pecah, selama bertahun-tahun air mataku tidak pernah mengalir hingga akhir cerita sedang mempermainkan langkahku sekarang.
“Dokter, lakukan yang terbaik buat Rehyind,” kalimatku berusaha menghentikan butiran Kristal pada sepasang bola mataku.
“Baiklah,” ucapan dokter.
Uang bisa kukumpulkan kembali demi sebuah impian, sekalipun harus membutuhkan waktu membuatnya seperti gunung. Seseorang yang dapat menciptakan senyum dalam berbagai keadaan jauh lebih berharga lebih dari apa pun. Tuhan tidak buta, melihat tentang sebuah keadaan pada lingkaran titik tertentu dari perjalananku.
“Rehyind, harus berjuang untuk hidup,” jeritku jauh di dasar hati.
“Kita sama-sama mempunyai mimpi, jangan pernah pergi dari lingkaran kehidupanku.”Rasa takut terus saja membungkus perjalananku sekarang.Pertama kalinya seseorang membuatku tertawa setiap saat adalah dirinya.Kami sama-sama memiliki kehidupan mengiris hati bahkan tidak merasakan kasih sayang keluarga. Saling menguatkan antara satu dengan lainnya…
“Suatu hari kelak, kamu akan meraih mimpimu menjadi seorang arsitek ternama, bahkan hasil karyanya akan menjadi rebutan perusahaan di tiap Negara. Berjuanglah dan tetap berada dalam lingkaran bumi, apa pun dan bagaimanapun keadaannya.” Ungkapan hatiku terus memegang erat bahkan sangat kuat jemari tangannya, sebelum menuju kamar operasi.
Pernyataan dari seorang Rehyind bercerita tentang, sepasang kakinya terus saja memainkan irama di suatu titik tertentu.Irama tersebut disaat tertentu membuatnya harus menjatuhkan butiran Kristal di tempat tersembunyi. Dibalik semua itu membentuk dunia Rehyind belajar untuk bertahan, apa pun bahkan bagaimanapun keadaan di depan mata. Tuhan, jangan ambil dia sekarang, masih banyak hal yang harus dibuktikannya oleh langkahnya. Menit berganti menit, jam berganti jam menunggu Rehyind keluar dari kamar operasi…
“Dokter, bagaimana keadaan Rehyind?” pertanyaanku menghampiri dokter yang baru saja keluar dari kamar operasi.
“Berdoa saja, biar Rehyind dapat melewati masa kritisnya,” jawaban dokter menepuk bahuku, kemudian berlalu…
“Rehyind, pasti dapat melewati keadaan ini,” menanamkan begitu kuat dalam pemikiraku tentang dunia Rehyind.Berjaga sepanjang malam di sampingnya bahkan terus saja menggenggam jemari yang terbiasa melakukan pekerjaan kasar bertahun-tahun lamanya. Dunia kami tidak sama seperti mereka dengan segala kekayaan membungkus, apa pun dapat dibeli. Kami harus berjuang memakai kedua tangan melakukan berbagai pekerjaan kasar hanya demi masa depan. Langkahku sama seperti Rehyind, tidak akan pernah mengenal sebuah istilah gengsi atau malu membungkus sekitar area, dikarenakan kedua tangan kami tidaklah sehalus orang-orang pada umumnya.
“Langkah kakiku memainkan irama, itulah ucapanmu bahkan pada seluruh buku-buku pelajaran yang kau bawah, selalu saja kau menyelipkan tulisan tersebut.” Mataku kembali berkaca-kaca.
“Saya ingin seorang Rehyind, memperlihatkan pada kehidupanku bahkan seluruh dunia, kalau irama langkahmu jauh lebih kuat bahkan mempunyai perbedaan dari siapapun disekitarnya.” Ungkapanku terus saja menggenggam jemari tangannya.
“Hancurkan maut yang sedang menyerangmu sekarang, karena saya masih menginginkan seorang Rehyind membuat irama langkah kaki hingga membuat semua orang di sekitarnya tercengang-cengang.” Kalimat demi kalimat kuucapkan hingga membuatku tertidur tanpa sadar di sampingnya.
“Juan, Juan…” sebuah suara membangunkanku dari tidur.
“Rehyind, sudah bangun?” ujarku sangat bahagia. Untuk beberapa saat rasa takut menghantui duniaku, bagaimana jika Rehyind tidak akan pernah membuka matanya lagi. Seseorang yang terus ada dalam perjalananku hanyalah sahabat terbaikku Rehyind.
“Juan, dari mana kau mengambil uang begitu banyak untuk biaya operasiku?” pertanyaan Rehyind secara tiba-tiba setelah sadar dirinya menjalani operasi dengan biaya besar.
“Intinya, saya tidak pergi mencuri untuk biaya operasi,” jawabanku.
“Juan, jangan katakan, kalau…” Rehyind mulai mencurigai sesuatu.
“Rehyind, jangan terlalu banyak bicara, kakimu to belumpi stabil baru kau terus nyerotos berkata-kata…” mencoba mengalihkan perhatiannya, biar dia tidak akan pernah membahas permasalahan biaya operasi. Saya sudah tahu semua ini akan terjadi, Sehingga sebelum operasi tersebut berjalan, berusaha meminta bantuan dokter agar mau merahasiakan tentang biaya operasi tersebut.
Dokter, jika dia bangun jangan pernah mengatakan kalau saya adalah orang yang membayar seluruh biaya operasi tersebut. Katakan saja, kalau rumah sakit ini memberikan operasi secara cuma-Cuma bagi mereka yang tidak memiliki biaya satu sen pun.” Kata-kataku memohon terhadap dokter tersebut dan masih saja terngiang pada telingaku.
“Kalau Rehyind sampai tahu, pasti dia tidak akan pernah bisa menerima semua ini.” Ucapanku di dasar hati.
“Juan, pasti ada yang kau sembunyikan, hanya saja mulutmu berusaha memanipulasi untuk menutupi semua.”
“Astaga, tingginya tong bahasamu, garis bawah kata memanipulasi, betul-betul kalau Arelhyind bicara…mmdddddddd..”
“Juan, jangan katakan kalau uang untuk kuliahmu kau pakai biaya operasiku?” amarah Reehyind memuncak.
“Rehyind, yang sekarang harus ada dalam benakmu, bagaimana caranya kau cepat pulih biar tidak bertambah banyak biaya rumah sakit dibayar…” ujarku.
“Itu, pasti tabunganmu untuk mendaftar kuliah kedokteran kau gunakan?”
“Kau ingin tahu, bagaimana bisa kau di operasi,” ujarku berjalan keluar memanggil dokter untuk menjelaskan sesuatu hal.
“Dokter, jelaskan bagaimana dia menjalani biaya operasi gratis di rumah sakit ini,” kata-kata di hadapan Rehyind dan dokter tersebut.
“Rumah sakit ini, memberikan operasi gratis bagi mereka yang tidak mampunyai uang satu sen pun. Para dokter menyumbangkan sebagian uang gaji mereka bagi pasien dengan ekonomi lemah.” Kata-kata dokter berbohong tanpa kecurigaan sedikitpun.
“Dokter, tidak berbohong untuk ucapan seperti ini kan?” Rehyind masih mencari titik kebohongan ataupun scenario yang kami buat.
“Rehyind, stop berbicara atau curiga tidak jelas…” nada kalimatku mulai meninggi.
“Iyah, saya percaya ucapanta sekarang,” tutur Rehyind berusaha menghilangkan amarah dalam diriku.
“Tuhan, maafkan saya, bukan maksudku buat berbohong. Engkau tahu, seandainya rehyind tahu apa yang sebenarnya terjadi, pasti rasa bersalahnya terus saja membungkus setiap saat.” Kata-kataku memohon ampun di dasar hati.
Saya masih bisa mengumpulkan uang untuk mengejar mimpiku.Kata gagal mengejar mimpi tidak terjadi dalam perjalananku, melainkan hanya berbicara tentang waktu. Saya masih bisa mengumpulkan dana, kemudian kembali menjalani test memasuki fakultas kedokteran ke depannya. Kehidupan Juan saat ini, tidak akan pernah bahkan sampai kapanpun tidak bercerita  kegagalan. Kakiku hanya perlu mendaki lebih tinggi lagi, untuk berada di puncak mimpi yang sebenarnya.
“Juan, bagaimana hasil test kedokterannya?” tiba-tiba saja Rehyind bertanya sebelum akhirnya kami meninggalkan rumah sakit tersebut.
“Rehyind harus beres-beres, biar kita keluar dari rumah sakit ini,” berusaha mengalihkan perhatiannya.
“Apa Juan lulus test atau tidak?” mata Rehyind mencari jawaban…
“Rehyind, dau’ mutiro-tirona susito’ (Rehyind, jangan melihatku dengan pandangan seperti itu)” menepuk kepala yang masih terbungkus perban.
“Juan lulus atau tidak?” teriakan Rehyind mengagetkan seluruh penghuni rumah sakit.
“Betul-betul kalau sudah suaranya orang Toraja asli keluar, hancur bumi na buat,” gurauan terhadapnya.
“Apa hubungannya Toraja dengan ini ucapan?” cetusnya.
“Pasti ada bos, rata-rata suara dari suku Toraja membuat bumi hancur berkeping-keping, baru suara itu, bagaimana dengan hal lain, mampus ibu kota…” jawabanku.
“Saya serius, kau lulus atau tidak?” teriakannya.
“Saya tidak lulus,” kalimatku berbohong berusaha menutupi kejadian  sebenarnya. Pendaftaran ulang terakhir kemarin, tapi seluruh tabunganku habis buat biaya operasi Rehyind tidak tersisa sedikitpun. Untung saja, uang kontrakan rumah susun sudah  dibayaruntuk setahun sebelum peristiwa kecelakaan tersebut.
“Juan pasti bohong,” Rehyind sama sekali tidak mempercayai semua ucapanku.
“Astaga, ribuan bahkan puluhan ribu orang mendaftar baru berapaji yang mau diambil, hanya bercerita tentang 100 ratusan pendaftar.Coba berpikir, pasti saya tidak luluslah…” ujarku mencoba menjelaskan lebih mendetail.
“Jadi…”
“Saya akan coba lagi tahun berikutnya, tidak usah takut.Kehidupanku sampai kapanpun tidak akan pernah bercerita kegagalan, hanya bercerita tentang waktu.”Mencoba menenangkan Rehyind, agar tidak larut dalam kekecewaan.
Tuhan, pada dasarnya saya memang ingin mimpiku terwujud secepat mungkin. Namun, jauh di dasar hati rasa takut tidak akan pernah melihat senyuman Rehyind lebih kuat dibandingkan apa pun juga. Bertahun-tahun bekerja mengumpulkan biaya demi memperjuangkan masa depan,tanpa mengenal lelah sedikitpun.

BAGIAN EMPAT…

JUAN…
Kembali memulai dari nol, untuk mengejar mimpi untuk menjadi seorang tenaga medis berkualitas suatu hari kelak.Berusaha mengumpulkan tabungan kembali demi mengejar mimpi.Bekerja dan berusaha menghemat segala pengeluaran hanya demi sebuah perjuangan.Selama 5 tahun, saya terus berjuang mengumpulkan biaya untuk mengejar impianku.Menciptakan berbagai alasan terhadap Rehyind, bahwa saya telah mendaftar hanya saja tidak pernah dinyatakan lulus.
“Juan, kali ini pasti lulus tes kedokteran,” kalimat Rehyind memberi semangat.
“Rehyind, sampai sekarang belum mendaftarkan diri masuk kampus, sekarang sudah lewat 5 tahun,” mengalihkan pembicaraan.
“Jangan mengalihkan pembicaraan bos,” kalimat Rehyind.
“Rehyind pernah berkata kalau hanya menganggur  beberapa saat kemudian kuliah, dan kenapa hingga detik ini belum mendaftarkan diri?”
“Saya pasti kuliah, tapi tunggu sampai Juan lulus kedokteran dulu,”
“Rehyind, ini bercerita tentang masa depan bukan permainan,” nada kesalku mulai bermain.
“Kalau begitu, Juan harus lulus kedokteran kali ini baru saya akan melanjutkan kuliah.”
“Jadi, kalau saya makan kotoran manusia, kau juga mau makan kotoran manusia, astaga, siapa yang mengajar pikiranmu seperti itu,” gertakanku.Selama beberapa tahun, saya dibuat kesal olehnya, hanya karena permasalahan tentang pendidikan.Rehyind, seakan bersikap acuh tak acuh terhadap masa depannya.Saya pikir, kalau dia hanya menganggur untuk tidak kuliah sekitar 2 tahunan, kenapa menjadi 5 tahun seperti ini?
“Makanya, kali ini kau harus belajar sebaik mungkin biar bisa lulus tes kedokteran.”
“Rehyind, kalau kamu menganggap saya sahabat terbaikmu, berikan alasan paling tepat kenapa hingga detik ini bahkan untuk mengambil formulirpun tidak pernah dilakukan olehmu?” pertanyaanku. Rehyind bukanlah manusia pemboros, sama seperti manusia lainnya. Seluruh hasil keringatnya selama ini, saya perhatikan tidak pernah dipergunakan ke arah yang salah atau bersifat pemborosan.
Sekalipun kami bekerja, tidak sama seperti lainnya berada di kantor dan mendapat gaji besar. Pekerjaan kami tetap sama seperti di kampung kemarin, karena begitu sulitnya mendapat pekerjaan di ibu kota besar. Saya masih bekeja sebagai kuli bangunan demi biaya hidup bahkan masa depanku kelak.Saya ingin membuktikan, seorang kuli bangunan, dapat meraih impiannya sekalipun membutuhkan waktu untuk berjuang. Rehyind sendiri bekerja apa pun selama masih bersifat halal, semua pekerjaan sudah pernah dilakukannya. Mulai dari tukang cuci, bekerja di kantin, tukang sapu-sapu jalanan, berjualan keliling kompleks segala jenis dagangan seperti ember dan teman-temannya.Bekerja sebagai buruh pada salah satu pabrik, berkeliling berjualan baju-baju bekas serta permainan anak-anak.
“Saya ingin melihat Juan meraih mimpinya,” kalimat Rehyind menyerahkan sebuah buku tabungan…
“Rehyind,”
“Selama ini, saya berjuang keras mengumpulkan uang biar teman baikku meraih impiannya terlebih dahulu.” Pernyataan Rehyind membuatku menyadari tentang sesuatu…
“Kita harus bersama-sama berjuang,” kalimatku menolak buku tabungan tersebut.
“Apa kau pikir saya tidak tahu pengorbananmu beberapa tahun lalu,”
“Maksudmu berkata-kata seperti itu?” pertanyaanku.
“Uang tabunganmu digunakan buat biaya operasiku, masa depanmu rusak karena peristiwa kecelakaan tersebut.” Ucapannya. Bertahun-tahun saya berusaha menutupi hal tersebut dari dirinya…
“Siapa bilang, saya benar-benar tidak lulus,” teriakanku.
“Saya tahu semuanya, waktu itu tidak sengaja sebuah koran hasil pengumuman kelulusan 3 tahun lalu terjatuh dari lemari. Kau lulus diantara begitu banyaknya pendaftar, tapi kau berbohong…” koran beberapa tahun lalu dilemparkannya di atas meja.
“Rehyind, saya tidak bermaksud mau berbohong,”
“Tepat dugaanku, kalau seorang Juan mengorbankan masa depannya hanya demi biaya operasi besar biar sahabatnya tidak cacat. Dugaanku pasti betul dan tidak mungkin meleset.” Matanya berkaca-kaca…
“Uang bisa saya kumpulkan, sekalipun membutuhkan waktu beberapa lama hingga pada akhirnya mencapai nominal demi mengejar sebuah mimpi.Tapi…” berusaha menarik nafas dalam-dalam tidak tahu apakah saya bisa menatapnya.
“Tapi apa?”
“Belum tentu orang yang selalu ada bahkan sahabat terbaik bisa saya dapatkan kembali.” berusaha menyembunyikan perasaanku terhadapnya. Sekalipun saya tidak memiliki perasaan apapun, namun Rehyind tetap sahabatku yang selalu ada memberikan kekuatan.
“Juan, jangan lepaskan impianmu,” menarik nafas dalam-dalam.
“Sejak dulu hingga sekarang saya tidak pernah melepaskan impianku sedikitpun, bertahun-tahun menjadi seperti ini, tidak berarti perjalananku sudah berhenti.” Tatapanku terhadapnya berusaha memperlihatkan, bahwa seorang Juan tidak pernah menyerah hanya saja menunggu waktu itu tiba...
“Juan...”
“Rehyind, tidak usah khawatir tentang masa depanku rusak karena peristiwa kecelakaan beberapa tahun kemarin. Kita akan bersama-sama mendaki gunung, sahabat akan selalu ada disaat berbagai badai membungkus hidup.”
“Semua ini kesalahan saya,” Inilah Rehyind selalu terbungkus perasaan bersalah oleh karena seluruh tabunganku habis hanya demi biaya operasi dari kecelakaan beberapa tahun lalu.
“Sekali lagi saya ingin katakan, kalau uang bisa dicari, walaupun membutuhkan waktu mengumpulkan hingga menjadi bukit, tetapi seseorang yang begitu berarti belum tentu datang untuk kedua kalinya.” Berusaha menghibur hati Rehyind.
Kehidupan kami berbeda dengan siapapun untuk berjalan di suatu tempat. Di sekeliling kami, dapat saja berjalan dengan begitu mudah tanpa hambatan, namun, berbeda dengan duniaku bersama Rehyind harus mengeluarkan keringat bahkan membutuhkan waktu melewati suatu area tertentu. Dibalik semua ini, hidupku belajar mengerti tentang kekuatan yang sebenarnya, bahwa jauh lebih baik mengejar impian dengan membuat sebuah petualangan pendakian hingga mengeluarkan tetesan keringat. Perjalanan lurus tanpa hambatan bahkan begitu mudah meraih semua impian, tidak akan memperlihatkan seni kehidupan tersendiri sampai kapanpun juga.
Kembali mengikuti tes kedokteran tahun ini, setelah beberapa tahun lalu saya harus berhenti untuk sementara waktu. Umur tidak menjadi masalah demi sebuah impian, selama ada kemauan untuk terus berjuang serta berjalan. Selalu ada cara Tuhan dengan kekuatan TanganNYA membuat semua indah pada waktunya. Rasa bahagia dinyatakan lulus membuatku tidak dapat menahan air mata.
Saya tidak bisa menghentikan tetesan kristal dari sepasang bola mataku. Rehyind bahagia mnedengar berita kelulusan saya sekarang... “Tidak ada kata terlambat dalam sebuah pengejaran impian, selama kaki masih menginginkan untuk terus berjalan dan berjuang.” Tutur kata Rehyind menggenggam erat tanganku seakan ada sebuah kekuatan mengalir begitu saja bahkan tidak akan pernah bisa lepas dari lingkaran kehidupanku.
Setelah setahun, mengikuti proses perkuliahan pada akhirnya Rehyind mendaftarkan diri pada salah kampus di ibu kota mengambil kuliah pada malam hari. Seluruh tabungannya setahun lalu dihabiskan demi membayar uang pendaftaran masuk kuliahku. Tabunganku sendiri belum cukup, hingga di akhir cerita dia terus saja memaksaku memakai uangnya menutupi sisanya. Suatu hari kelak Rehyind pasti akan menjadi seorang arsitek dengan terobosan-terobosan terbaru.
BEBERAPA TAHUN KEMUDIAN...
“Dokter, tekanan darahnya tinggi sekali,” teriakan salah satu bidan memeriksa tanda-tanda vital seorang ibu yang baru masuk.
“Berapa tekanan darahnya,” ucapanku
“Sistol 180, sedangkan diastolnya 120 mmHg, dok,” menjawab pertanyaanku.
“Ibu tidak pusing atau sakit kepala,” secepat mungkin memeriksa keadaannya.
“Tidak dok,” berusaha menutupi keadaan dirinya,
“Dokter, seluruh kakinya mengalami edema,”
“Ibu ini mengalami preklamsia berat, terus lakukan pantauan terhadap tekanan darahnya, segera berikan obat ini melalui cairan infus, hindari jangan sampai terjadi eklampsia atau kejang hingga membahayakan janin juga ibunya.”
“Baik dok,”
“Dokter, sakit...” teriakan dari pasien tiba-tiba merasakan adanya his/ kontraksi.
“Sekitar pembukaan berapa” pertanyaanku.
“Sekitar pembukaan delapan, dok” sementara tangannya masih melakukan pemeriksaan dalam atau dikenal sebagai VT (Vagina Touch) untuk mengetahui apakah janin bergerak dalam panggul atau tidak, telah memasuki pembukaan lengkap atau sebaliknya.
“Persiapkan alat partus,”
“Semua sudah siap dok,”
“Sakit...” kembali pasien tersebut berteriak.
“Sepertinya, sudah pembukaan lengkap,” tanganku kembali melakukan pemeriksaan dalam...
“Ibu nafas panjang, mengedan kuat ibu,” tanganku berada pada pintu jalan lahir untuk memimpin persalinan tersebut.
“Dokter, bagaimana keadaan istri saya?” Suami dari pasien tersebut sangat khawatir.
“Ibu coba lihat perutnya sambil mengedan panjang biar si’ kecil cepat lahir.” ujarku mencoba mengarahkan pasien tersebut.
“Sedikit lagi ibu,” ucapan bidan Mesilia yang selama ini bertanggung jawab penuh atas ruang INC/ intra natal care atau biasa disebut ruang bersalin dari rumah sakit. Selama bersifat fisiologi, maka proses kelahiran di pimpin oleh bidan, namun, jika memiliki kelainan atau komplikasi terhadap persalinan maka dokter akan mengambil alih secara penuh. Masing-masing memiliki tanggung jawab tersendiri, bersifat patologi merupakan perlu penanganan khusus oleh dokter demi keselamatan ibu dan janinnya.
“Bidan, persiapkan oksigen untuk bayi”
“Akhirnya, Berhenti mengedan ibu...” sekali lagi perintahku pada ibu tersebut, sambil membersihkan wajah bayi yang telah berada di luar. Menunggu putaran paksi, hingga menyanggah bayi untuk keluar dari rahim ibunya. Segera membersihkan jalan nafas bayi menggunakan dely...
“Jam berapa sekarang?” pertanyaanku melihat jam pada ruangan tersebut.
“Pukul 01.47, dok”
“Bayi ibu berjenis kelamin laki-laki,” ujarku tersenyum.
“Suntikan oksotoksin secepatnya,”
“Baik, dok” kalimat bidan Mesilia.
“Bidan, pasang oksigen pada bayi,” perintahku setelah melakukan klem kemudian memotong tali pusat dari bayi tersebut.
“Ngea ngea ngea,” suara tangis bayi.
“Letakkan bayi pada bagian atas perut ibu dan biarkan dia sendiri mencari puting susu ibunya,” kalimatku kembali. Setelah proses kelahiran, maka bayi harus diletakkan pada perut ibu menggunakan gaya tengkurap atau seperti kata untuk melakukan IMD. Inisiasi Menyusui Dini akan membuat ikatan batin antara ibu dan bayi makin kuat.
“Pantau tekanan darahnya,” ujarku terhadap yang lain.
“Dokter, tekanan darahnya mencapai 190/120,” jawaban bidan yang lain.
“Kenapa makin naik,” Berusaha setenang mungkin.
“Secepatnya berikan obat untuk menurunkan tekanan darahnya, hindari jangan sampai terjadi eklampsia,” ucapanku kembali.
“Ibu merasa pusing atau sakit kepala?” pertanyaanku terhadap ibu tersebut.
“Saya tidak kenapa-kenapa dok, tapi bagaimana dengan bayiku?” jawaban seorang ibu yang terus memikirkan kesehatan bayinya.
“Anak ibu baik-baik saja,” senyuman terpancar bahkan rasa haru setelah mendengar kalimat tersebut.
“Wah, dia akan menjadi jagoan kalau besar nanti,” kalimat bidan Mesillia tersenyum.
“Dia akan menjadi seperti ayahnya,” ucapan seorang ayah sangat bahagia melihat kelahiran putranya.
“Bidan Mesil, observasi terus keadaannya selama 2 jam, terlebih tekanan darahnya, jika tidak ada kemajuan segera hubungi saya,” perintahku sebelum meninggalkan ruangan tersebut.
“Terimah kasih dok,” tangan seorang ayah memegang erat lengan pakaian putih yang kukenakan, wajahnya memancarkan sinar kebahagiaan itulah kalimat paling tepat buatnya.
“Itu sudah kewajibanku sebagai seorang dokter,” ujarku.
“Jagoan, jadi anak paling membanggakan suatu hari kelak yah, seperti apa pun rintangan di depan mata.” berbalik ke arah bayi tersebut, kemudian berlalu dari hadapan mereka.
Inilah saya yang sekarang berhasil menempuh kuliah kedokteran dalam waktu singkat. Awalnya tidak mudah untuk menjalani, namun, tangan Tuhan bekerja di setiap perjalanan hidupku hingga detik ini. Membuat berbagai karya bagi perjalananku hingga akhir cerita memperlihatkan prestasi demi prestasi. Rehyind sendiri mulai bekerja di sebuah perusahaan besar, perjuangannya menjadi seorang arsitek baru saja dimulai. Sebelum mencapai puncak seperti ini, tangan kami harus benar-benar menjadi tidak bernilai dikarenakan pekerjaan yang dilakukan tidaklah seperti orang lain.
Kulit terkelupas karena melakukan pekerjaan kasar, namun membentuk, inilah hidup kami sebelumnya. Tidak lama lagi, impianku memiliki sebuah rumah sakit bertaraf internasional bahkan diakui oleh banyak negara akan tercapai. Saya hanya membutuhkan waktu untuk menabung dan menunggu waktu Tuhan, sama seperti keadaanku sebelumnya terhenti sementara waktu sebelum mencapai impian tersebut. Sesuatu yang tidak akan pernah kusangkal bahkan sulit kumengerti adalah seorang Juan menyukai sahabatnya sendiri hingga detik sekarang.
“Tuhan, apakah kami untuk selamanya hanya akan ditakdirkan sebagai sahabat, tidak lebih dari itu,” pertanyaanku setiap hari jauh di dasar hati tanpa pernah mengungkapkan apa pun terhadapnya. Beberapa kali Rehyind berjalan bersama pria lain, beberapa tahun belakangan ini, hal tersebut membuat sebuah luka di dasar hatiku.
“Apakah untuk selamanya, dia hanya akan menganggapku sebagai sahabat tidak lebih dari itu?” Berusaha mengubur sedalam-dalamnya perasaan itu, karena apa yang kuinginkan belum tentu bisa kuraih.
Rasa takut dia pergi dari hidupku semakin kuat bermain dalam perjalananku, semakin mengubur perasaan tersebut maka seakan membuatnya semakin berbalik arah. Tuhan, rasa sayang untuknya sampai kapanpun tidak akan pernah hilang bagaimanapun saya berjuang mengendalikan semuanya. Saat dia berada dalam ruangan dari sebuah rumah sakit tanpa pernah bisa membuka matanya, rasa takut terus saja bermain bagi kehidupanku. Saya tidak  menginginkan dia pergi, rasa takut terus saja mendekap.
“Dokter Juan,” suara seseorang membangunkanku dari lamunan seketika.
“Rehyind...” kalimatku selalu bersemangat saat dia berada di depanku.
“Wow, sepertinya sejak tadi dokter Juan pikirannya jauh terbang entah kemana,”
“Sudah makan?” pertanyaanku.
“Belum, jadi sekarang mau traktir makan sepertinya.” Senyuman Rehyind.
“Enak saja, kali ini giliranmu traktir makan, ngerti” menarik tangannya menuju sebuah restoran yang tidak jauh dari rumah sakit.
“Masih ingat tidak? sewaktu pertama kali datang ke ibu kota, terus melihat seorang anak membeli hamburger,” kalimat Rehyind tertawa sejadi-jadinya membayangkan memori kemarin.
“Meledek, waktu itu kau ingin merasakan hamburger itu rasanya seperti apa,”
“Terus, yang berlari membeli roti bulat harga seribu rupiah, kemudian beli sayur daun singkong direbus pake garam doang ala Toraja, bagian atasnya diulekin lombok terasi trus diisi, siapa punya ide.” Tawa Rehyind makin meledak.
“Dibawah ke hadapanku lagi dengan wajah tanpa dosa sama sekali,” tambahannya.
“Tanpa mengetahui isinya, langsung saja masuk mulut, selanjutnya berteriak sejadi-jadinya,” tawaku meledak membayangkan wajah Rehyind pada saat itu. Roti bulat dibelah kemudian diisi dengan sayur daun singkong rebus beserta ulekan lombok terasi dan menganggap itu adalah hamburger.
BAGIAN LIMA...

REHYIND...
Melewati masa-masa paling kritis bersama sahabat terbaik dalam perjalananku. Terima kasih Tuhan, karena telah mengirimkan Juan sebagai teman yang akan selalu ada bagiku dalam situasi apa pun. Bersama-sama berada di sebuah rumah susun, saat menginjakkan kaki di kota besar seperti Jakarta. Bekerja selama beberapa tahun, kemudian melanjutkan kuliah demi mengejar mimpi. Hal yang tidak akan pernah kulupakan adalah pengorbanannya, membayar seluruh biaya operasi besar akibat kecelakaan tersebut.
Juan berbohong tidak lulus pada ujian masuk kedokteran, dikarenakan seluruh tabungannya habis membayar biaya operasiku. Hingga pada akhirnya, saya tahu kalau dia berbohong sejadi-jadinya untuk menutupi semua. Membutuhkan waktu beberapa tahun mengumpulkan kembali uang yang telah terpakai. Tanpa sepengetahuannya, saya berusaha bekerja tanpa  mengenal lelah hanya demi melihatnya memakai sebuah jas putih suatu hari kelak.
Akhir cerita, Juan kembali mendaftarkan diri pada jurusan yang sama setelah beberapa tahun selalu saja mencari alasan untuk tidak mengikuti tes ujian masuk kedokteran. Juan dinyatakan lulus kembali pada ujian masuk kedokteran setelah beberapa tahun berlalu. Setahun setelah Juan lulus, saya pun memutuskan mengambil kuliah malam pada jurusan arsitektur. Dengan demikian, saya masih dapat kuliah sambil bekerja hingga dapat menghidupi kebutuhan kami berdua. Selama kuliah, kami saling menutupi biaya antara satu dengan lainnya. Inilah dunia persahabatan kami, berat sama dipikul, dan ringan sama dijinjing. Bersama-sama merasakan penderitaan, suka, duka, kebahagiaan di setiap sudut perjalanan selama bertahun-tahun.
“Tuhan, apakah kami masih dapat berbagi disaat dia menjadi milik orang lain kelak?” pertanyaanku setiap saat jauh di dasar hati. Suatu hari kelak, Juan akan menikah dengan seorang wanita impiannya sama sepertiku. Akan tetapi, satu hal, bahwa jika waktu itu tiba, saya percaya bahwa persahabatan kami tetap kekal hingga maut datang menjemput.
“Lakukan riset tentang beberapa konsep yang lagi trend sekarang ini,” perintah bos besar menginginkan pekerjaan sempurna.
“Baik pak,” segera melaksanakan perintahnya. Pekerjaanku sekarang tidak lagi seperti kemarin yang penuh perjuangan dan memeras keringat. Sebelumnya pekerjaanku menjadi tukang sapu jalanan, pembersih taman, penjual sayur keliling, penjual keliling entah itu pakaian bekas atau baru di sekitar perkampungan, dan banyak lagi. Namun, berbeda dengan sekarang berada di ruang ber-AC tanpa membuat tanganku kasar kering hingga pecah-pecah tidak terurus.
“Rehyind, pekerjaan kasar seperti ini mengajarkan kita tentang kekuatan dari seni kehidupan, jadi jangan ada persungutan.” Ucapan Juan setiap saat membuat kekuatan tersendiri bagi perjalananku sampai kapanpun. Juan selalu mengajarkan duniaku tentang kedewasaan akan terbentuk disaat jalanan yang dilalui benar-benar memeras keringat disertai pergumulan hebat.
Terik matahari begitu kuat hingga membuat seluruh pakaian basah karena keringat saat melakukan sebuah riset di beberapa jalan dari ibu kota. Secara tiba-tiba seorang ibu hamil memegang tanganku memohon bantuan...
“Darah...” teriakanku.
“Tolong bawah saya ke rumah sakit terdekat,” ucapan ibu tersebut.
“Taksi...” teriakku sangat gugup sambil berusaha menahan taksi di depan.
“Pak, ke rumah sakit Harapan Kasih,” ucapanku berusaha membawa ibu tersebut masuk ke dalam taksi.
“Baik...” ucapan sopir taksi. Rasa takut, cemas, keringat semua menyatu pada tubuhku sekarang, bahkan tidak tahu harus berkata-kata. Menghubungi Juan sebelumnya, agar menjemput saat taksi tersebut berhenti di depan rumah sakit.
“Rehyind...” teriak Juan menuju taksi tersebut berhenti.
“Ibu ini tiba-tiba mengeluarkan darah segar begitu saja,” ucapku gugup dan ketakutan.
“Ibu, apakah ada rasa nyeri yang ibu rasakan?” pertanyaan Juan memeriksa keadaannya.
“Sama sekali tidak dok,” jawaban ibu itu.
“Jangan-jangan...” ucapan Juan.
“Bidan mesil, jangan lakukan pemeriksaan dalam,” perintahnya sebelum ibu itu di bawah pergi.
“Rehyind tunggu saja di ruang sana,” suara lembutnya sebelum dia beranjak dari hadapanku.
“Saya ingin terus mengetahui keadaan ibu ini, jadi saya ikut,” ucapanku berjalan mengekor di belakang.
“Jika diperhatikan dari gejalanya darah segar mengalir, sepertinya plasenta ibu tertanam pada segmen bawah lahir atau dikenal sebagai plasenta previa.” Penjelasan Juan setelah berada pada ruang dimana ibu tersebut terbaring.
“Jadi dok,sedangkan umur kehamilannya belum memasuki aterm atau masih kurang dari 37 minggu.” kata-kata salah satu dari bidan di rumah sakit ini.
“Hanya saja belum diketahui apakah plasenta previa totalis, lateralis, atau marginalis, bawah ke ruang USG sekarang.” Perintah Juan.
“Juan, Plasenta previa totalis dan teman-temannya itu apa yah?” tanyaku tidak memahami istilah mereka.
“Plasenta previa totalis plasenta menutupi sluruh ostium uteri, lateralis dimana plasenta hanya menutupi sebagian ostium uteri internum, sedangkan marginal hanya berada pada tepi ostium semata.” Juan berusaha menjelaskan penuh kesabaran.
“Oh begitu...” kepalaku mengangguk-angguk tanda mulai mengerti.
“Wajar, karena Rehyid bukan salah satu dari tenaga medis kan,” celotehnya kembali.
Tidak lama kemudian, setelah pemeriksaan di ruang USG ibu tersebut segera dibawah kembali ke ruangannya. “Bidan Lativa, segera drip duvadilan 2 ampul sekitara 8-10 tetes/menit karena perdarahannya sedikit saja, ingat 12 jam observasi untuk melihat terus perkembangannya.” Ucapan Juan pada salah satu dari bidan tersebut.
“Baik dok,” kalimat bidan Lativa.
“Pantau terus tekanan darah dan fekuensi nadi pasien secara teratur tiap 15 menit untuk mendeteksi adanya hipotensi atau syok akibat perdarahan. Walaupun perdarahannya sedikit tapi harus tetap berjaga-jaga.” Kalimat Juan lagi.
“Dokter, bagaimana bayi saya?” pertanyaan ibu tersebut sangat khawatir.
“Janin ibu masih dalam keadaan sehat kok,” jawaban Juan.
“Syukurlah,” rasa lega terpancar dari ibu tersebut.
“Kalau perdarahan ibu sudah berhenti dan diperbolehkan pulang, sebaiknya ibu jangan melakukan hubungan sex hingga bayi lahir, tidak boleh bekerja keras. Jika terjadi perdarahan lagi, ibu harus segera kembali ke rumah sakit.” Penjelasan Juan terhadapnya.
“Sampai segitunya menjelaskan...” gumamku menatap Juan sambil mengekor di belakang kemanapun ia pergi. Ternyata seperti ini pekerjaan Juan setiap harinya di rumah sakit sebesar ini.
“Juan, penyebab dari penyakit apa namanya tadi yang kau sebutkan...” kepalaku pusing mengingat bahasa-bahasa alien mereka.
“Plasenta previa maksudnya?” ucapan Juan menyodorkan minuman di kantin rumah sakit.
“Yah seperti itulah maksudku,” ucapku.
“Belum diketahui pasti sih, tapi frekuensi plasenta previa meningkat karena kemungkinan bekas seksio sesarea, bekas aborsi, kelainan janin, anak pertama pada wanita yang telah berumur.” Penjelasan Juan dari pertanyaanku. Pekerjaanku jauh berbanding terbalik dengan dunianya, tangan Juan dipakai di dunia medis sedangkan saya mencari desain gedung di suatu tempat.
Saya selalu memimpikan tentang hasil karyaku yang menjadi rebutan banyak negara dan diakui oleh internasional. Tuhan, waktuMu indah pada waktunya bagi perjalananku suatu hari kelak. Saya menyukai pernyataan Juan, bahwa iman tanpa perbuatan pada hakekatnya mati total untuk perjalanan seseorang. Maksud dari ucapannya, dimana seseorang yang hanya percaya semata-mata dan berdoa kepada Tuhan, tanpa melakukan sebuah tindakan pada hakekatnya mati bahkan tidak akan pernah menghasilkan apa pun. Juan selalu mengajarkak duniaku untuk bertindak seperti apa pun hasilnya di depan mata.
Sekalipun gagal berulang kali, namun, harus terus maju menciptakan sebuah terobosan hingga akhir cerita membentuk keberhasilan luar biasa. Berulang kali konsep desainku ditolak dan ditolak hanya akan bercerita penolakan, namun, saya tidak tidak boleh menyerah begitu saja. Saya harus tetap bertindak dari iman yang saya miliki sekarang hingga tangan Tuhan turun tangan dan bekerja di dalam. Tidak menjadi kecewa apa pun hasil-hasil sekarang, ini hanya sebagian dari pembentukan dan tidak bercerita tentang kegagalan terus-menerus.
Setiap harinya mencari ide-ide dalam konsep desain gedung dan lain sebagainya. Tanganku terus saja memainkan pulpen serta kertas di depan mata setiap malam. Jauh berbeda dengan Juan yang selalu berada di rumah sakit bahkan hingga shift malam atau terbangun dari tidur demi sebuah nyawa.
“Saya mempunyai ide, agar karyaku diakui oleh banyak negara,” tiba-tiba hatiku bersorak gembira menemukan memikirkan ide tersebut.
“Yah, saya harus mencari email atau akun asli dari para pejabat di beberapa negara serta mengirimkan kepada mereka tentang konsep desain yang berada di otakku selama ini.” Tanganku sangat begitu saja aktif berada di depan layar laptop mencari dan mencari...
Inilah kehidupanku,mencoba mengirimkan hasil konsep pariwisata pada salah satu pemimpin negara melalui dunia medsos. Apa pun hasilnya, setidaknya saya sudah mencoba akan sesuatu yang belum pernah terbayangkan sama sekali. Saya tidak harus kehabisan akal akan hal tersebut. Mencoba menjelaskan salah satu desain pariwisata ke negara AS untuk pertama kalinya, walaupun hanya memakai jejaring sosial.
“Sesuatu dibalik air terjun” lebih tepatnya jenis desain pariwisata tersebut. Dibelakang sebuah air terjun terdapat sebuah banguna menyerupai ikan raksasa. Pada sekitar ekor dari ikan tersebut dibuat sebuah pacuan kuda serta peternakan sebagai tempat berlibur banyak orang. Terdapat kebun strobery, restoran, mall, hotel pada sekitar tubuh dari ikan raksasa tersebut. Sementara, terdapat berbagai jenis permainan terlebih beberapa permainan penuh jebakan sebagai penghibur hati pada sekitar sirip dari ikan raksasa tersebut. Sekitar kepala dibangun stadium lapangan bola basket beserta sepak bola dengan memakai konsep desain paling unik bahkan tidak pernah ada di negara manapun.
Kenapa saya ingin memakai konsep desain seperti ini, dikarenakan memiliki makna mendalam. Air terjun  bercerita tentang air mata yang selalu muncul saat berada dalam suatu lingkaran tertentu. Bercerita tentang luka yang terus saja bermain dari kehidupan seseorang. Air mata dapat mengalir begitu saja, saat mencurahkan segala isi hati di hadapan Tuhan. Namun, tetap mempercayai dibalik air mata tersebut akan membentuk pemandangan tersendiri bagi kehidupan seseorang. Waktu Tuhan indah pada waktunya, air mata yang terjatuh di dalam sebuah doa tidak akan pernah kembali dengan sia-sia.
Ikan yang berada dibalik air terjun, akan selalu mengingatkan tentang arus badai dapat membentuk dunia seseorang. Pada akhirnya air mata karena badai akan memperlihatkan seni kehidupan. Air mata karena badai hanya bersifat sementara bukan untuk selamanya. Selain bercerita tentang ikan yang terus berenang sekalipun arus besar terus saja bermain di lautan luas. Berada di lautan luas, ikan tersebut tidak pernah asin menjelaskan bagaimanapun keadaan disekeliling hidup tidak akan pernah terbawah arus gelombang kehidupan.
“Tuhan, kelak karyaku pasti menjadi rebutan seluruh negara, amin,” doaku setiap saat di dalam kamar. Berdoa, berjalan, bertindak, belajar itulah yang kulakukan sekarang bagi masa depanku. Saya hanya menunggu waktu Tuhan indah pada waktunya bagi kehidupanku sekarang.
“Saya akan mengirim beberapa karyaku lagi ke beberapa negara lain selanjutnya.” kata-kataku berbicara pada diri sendiri.
“Rehyind, semangat dan jangan pernah menyerah...” memberi semangat pada diri sendiri.
“Untuk beberapa saat, saya harus merahasiakan ini dari Juan.” menatap foto Juan yang terpampang pada meja kerjaku. Terkadang saya selalu bertanya, kenapa Juan hingga detik ini belum pernah sedikitpun melirik seorang gadis? Sementara saya sendiri, sudah beberapa kali putus nyambung dari beberapa cowok. Hubunganku tidak bertahan lama, dikarenakan pemikiranku berbanding terbalik dengan mereka. Dengan kata lain, saya memiliki hubungan jangka pendek dengan beberapa cowok belakangan ini.
Setidaknya, untuk urusan percintaan saya masih jauh lebih baik dibandingkan Juan yang sama sekali tidak pernah terlihat berduaan dengan seorang wanita manapun. Apakah Juan akan selamanya menjadi perjaka tua dan tidak menikah-nikah sama sekali? Pertanyaan yang terkadang menghantui pemikiranku. Kalau dipikir-pikir, Juan tidak jelek-jelek amat bahkan masih bisa dibawah pergi arisan dari segi bentuk fisiknya.
“Masa ia sih, Juan segitunya tidak laku di kalangan wanita?” celotehku sendiri tidak jelas.
“Tuhan, apakah memang Juan ditakdirkan menjadi perjaka tua selamanya?”
BAGIAN ENAM...

JUAN...
“Rehyind, kenapa menatapku seperti itu?” teriakanku terlihat kesal dengan tatapannya.
“Kalau dipikir-pikir, kau tidak jelek-jelek amat, tapi...” tangan Rehyind menggaruk-garukkan kepalanya.
“Apa maksud dari ucapanmu?” mencurigai sesuatu.
“Kenapa hingga detik ini, saya tidak pernah melihatmu menggandeng seorang wanita manapun?”
“Ucapanmu ngelantur...” celotehku.
“Juan, kalau dipikir-pikir saya sudah berapa kali mengalami putus sambung dengan beberapa orang, sedangkan jalan bersama seorang wanita saja kau tidak pernah.”
“Apa gunanya pacaran sepertimu, baru berapa hari sudah putus, sudah syukur kalau bertahan 3 bulan,” sindirku tertawa.
“Minimal, dari pada tidak pernah sama sekali.” kalimatnya.
“Kau menyindirku segitunya,” amarahku sedikit memuncak. Dia tidak pernah tahu, jika selama ini saya menyukai dirinya.
“Juan, memangnya kau mau jadi perjaka tua seumur hidupmu?” Pertanyaan Rehyind menyindir.
“Kau saja hingga detik ini tidak nikah-nikah, berarti perawan tua dong, hahahaha”
“Enak saja kalau bicara,” emosi Rehyind memuncak.
“Rehyind, kemarin kau sepertinya membuat seorang pria menangis sejadi-jadinya karena lamarannya kau tolak?” pertanyaanku.
“Oh kemarin, itu karena karakterku dengan dunianya berbanding terbalik dan sangat berlawanan arah, tidak akan pernah bersatu sampai kapanpun juga.” Jawaban Rehyind.
“Kalau kau mencari yang sempurna, biar ke ujung dunia dicari tidak bakalan kau dapat. Manusia tidak ada yang sempurna,” ujarku.
“Juan, bukan permasalahan sempurna, tapi bagaimana seseorang di depan mata dapat bersikap di saat berhadapan dengan beberapa hal ataupun keadaan.” Ucapan Rehyind.
“Maksudnya?”
“Pernikahan itu sakral bukan permainan, membutuhkan pondasi kuat dalam membangun bahtera rumah tangga. Saya ingin pernikahanku hanya sekali seumur hidup bukan berulang kali sama seperti kebanyakan orang di kota ini.” Jawabannya membuatku semakin menyukainya bahkan terlalu mendalam.
“Apakah dia hanya akan menjadi sahabat saja seumur hidupku, Tuhan?” Rasa sakit luar biasa mulai bermain dalam kehidupanku sekarang.
“Ciri-ciri calon suami ideal menurutmu, seperti apa?”
“Berkarakter tersendiri dari siapapun juga pastinya, mampu mengarahkan kehidupanku tentang membuat langkah irama saat berada di suatu lingkaran tertentu, harus sabar menghadapi kebiasaan burukku dengan tingkah lakunya yang membuatku tidak pernah bosan.” Jawaban Rehyind. Beberapa hari, memikirkan ucapannya dan memperhatikan lebih mendetail tentang karakterku saat bersama dengannya.
“Apakah saya terlalu membosankan, jika berada di hadapannya?” gumamku sendiri.
“Dokter Vanya, coba perhatikan karakterku apakah terlihat membosankan?” pertanyaanku terhadap salah satu dokter di rumah sakit Harapan Kasih.
“Memangnya Kenapa dok?” dokter Vanya terlihat gugup.
“Saya suka dokter Juan apa adanya,” jawaban Vanya membuatku tersadar sesuatu hal.
“Mampus saya...” tanganku menepuk jidat sendiri. Sejak awal masuk ke sini, anak pemilik rumah sakit ini terus saja mencari perhatian tidak jelas. Dokter Vanya naksir berat dan terus saja mengekor kemanapun saya berjalan. Beruntung Rehyind tidak pernah ada, jika dia mengekor seperti cacing kepanasan.
“Kenapa yah, terkadang orang yang ditaksir tidak pernah melirik sedikitpun,sedangkan ada seseorang berjuang keras mencari perhatian luar biasa.” Gerutuku di dasar hati.
“Dokter, ada pasien baru masuk,” bidan Mesillia berjalan ke arah kami. Kakiku segera berlari menuju ruangan Antenatal care tempat ibu hamil memeriksakan perkembangan kehamilannya.
“Sejak tadi mencari dokter Juan, karena tidak mau dilayani oleh dokter manapun juga,” ucapan bidan Lativa menunduk.
“Coba kita periksa kehamilan ibu sekarang,” ujarku.
“Saya mengalami perdarahan berulang-ulang dan cenderung berwarna coklat, dok” kalimat ibu Yasita.
“Apakah sewaktu tes kehamilan, dinyatakan positif hamil?” pertanyaanku memeriksa perutnya.
“Sekarang sudah memasuki minggu ke-berapa?” Pertanyaanku lagi memeriksa kartu tinjauan kehamilan ibu Yasita.
“Minggu ke-24, dok” jawaban dari bidan Lativa.
“Berapa hasil tekanan darah ibu juga hasil TTV lainnya?” pertanyaanku.
“Saya belum sempat observasi TTV dok, akibat keributan tadi.” Kalimat bidan Lativa.
“Berikan alat tensi di sebelah meja kelender,” Sepertinya ibu ini mengalami mola hidatidosa atau lazim disebut hamil anggur.
“Ibu mengalami preklampsia ringan, tekanan darahnya 140/90 mmHg.” kalimatku.
“Dok, apakah dokter mencurigai sesuatu?” pertanyaan bidan Lativa.
“Pembesaran uterus tidak sesuai dengan umur kehamilan. Perut ibu jauh lebih besar dibandingkan usia kehamilan pada umumnya. Saat palpasi tadi, tidak teraba janin sama sekali.” ucapanku.
“Dokter, janin saya tidak kenapa-kenapa kan?”
“Ambilkan saya doopler untuk mengetahui pergerakan janin,” ujarku terhadap bidan Lativa. Setelah memeriksa denyut jantung janin, sama sekali tidak memperlihatkan tanda kehidupan janin dalam uterus ibu.
“Bidan Lativa, berikan saya sonde,”
“Baik dok,” Sonde tersebut akan dimasukkan perlahan dan hati-hati ke dalam kanalis servikalis serta kavum uteri. Apa bila tidak ada tahanan tepat dugaanku, kalau gejala ini adalah mola hidatidosa .
“Saya minta maaf sebelumnya, dengan berat hati mengatakan kalau ibu sebenarnya tidak dalam keadaan hamil saat ini.” penjelasanku.
“Bagaimana bisa dok, sedangkan saya tes kehamilan dan dinyatakan positif,” Kalimat ibu tersebut terlihat kecewa atas penjelasan tersebut.
“Jika ibu masih tidak percaya, kita bisa melakukan USG agar lebih meyakinkan lagi.” membawa ibu Yasita menuju ruang USG dan memperlihatkan sesuatu...
“Kenapa bisa terjadi?” rasa kecewa ibu Yasita.
“Saya tahu ini, pasti kemarin ada nenek keriput usia 80 tahunan memegang perutku sampai akhirnya mencuri janin di rahimku.” Kalimat ibu Yasita.
“Maksudnya, saya tidak paham?” pertanyaanku.
“Nenek itu selalu saja gosipkan melakukan ritual semedi dengan mahluk gaib, jadinya, dia selalu berkeliling mencari wanita hamil, karena bau harum dari janin seorang wanita sangat disenanginya.” Penjelasannya.
“Hahahaahahahahaha...” perutku sakit akibat tertawa.
“Kenapa dokter tertawa, nenek itu sengaja memegang ketika melewati wanita hamil untuk diambil janinnya tanpa sadar.” kalimat ibu Yasita.
“Hahahahaahahahaha...” tawaku makin meledak.
“Dokter...” emosinya mulai terlihat.
“Ibu Yasita, jangan mempercayai hal seperti itu karena hal tersebut hanyalah sebagian dari mitos belaka. Penyebab dari diagnosa yang dialami ibu bukan karena nenek-nenek yang lewat di depan atau apa pun.” kalimatku.
“Lantas,”
“Bisa jadi karena adanya virus dan faktor kromosom yang belum jelas, atau umur ibu terlalu tua, atau karena ibu kekurangan protein, terkadang juga sosio ekonomi rendah hingga gizi tidak terpenuhi.” penjelasanku.
“Jadi bukan karena nenek yang tinggal sekitar rumahku?” mulutnya menganga.
“Sama sekali tidak, dan jangan mempersalahkan semua nenek di manapun mereka berada karena telah menghilangkan nyawa janin ibu.” berusaha menahan tawaku mendengar ceritanya. Berusaha menjelaskan lebih mendetail tentang kehamilan mola hidatidosa atau lebih dikenal sebagai blighted ovum terhadap.
Hari ini harus secepatnya keluar dari rumah sakit, berhubung pekerjaan saya sebagai seorang dosen pada beberapa kampus. Saya menyukai dunia dosen, karena dapat berinteraktif dengan banyak mahasiswa. Menjadi salah satu dosen obstetri patologi di sebuah kampus jurusan kebidanan. Lumayan, buat menambah penghasilan ataupun pengalaman tersendiri di dunia pendidikan.
“Berikan saya penjelasan defenisi dari hidramnion, etiologi, terbagi menjadi berapa bagian, dan semua yang berkaitan dengan istilah tersebut?” pertanyaanku di hadapan mahasiswa kebidanan.
“Ada yang bisa menjawab, saya pasti memberikan nilai plus saat final nanti, kalau tidak...”
“Kalau tidak, apa yang akan terjadi dokter?” pertanyaan Viana.
“Maaf-maaf saja, tidak ada nilai plus lah,” lanjutanku.
“Dokter kan sudah berpengalaman, jadi jelaskan dong defenisi dari hidramnion beserta etiologinya?” ucapan Zarah.
“Siapa juga berkata kalau saya seorang mahasiswa, hanya saja, setidaknya dapat memancing knowledge kalian,” kata-kataku tidak ingin terlihat kacau dalam mendidik.
“Hidramnion merupakan keadaan dimana air ketuban melebihi batas abnormal selama kehamilan.” Tiba-tiba Viana menjawab.
“Berapa takaran ukuran air ketuban, sehingga dikatakan hidramnion dalam kehamamilan?” pertanyaan dengan kaki terus berjalan ke kiri dan kanan di hadapan mereka.
“Meneketehe dok,” ucapan Viana kembali.
“Kalau dosen kiler, sudah tentu nilaimu berujung error dengan jawaban seperti ini,” teriak Zarah.
“Hahahaahahahaha, untung dokternya ga killer yah masih bisa ditanggulangi,” ucapan salah satu dari mereka menciptakan tawa dalam ruangan.
“Berhenti tertawa,” ujarku memakai suara tegas, hingga membuat mereka terdiam.
“Dikatakan hidramnion jika jumlah cairan ketuban sekitar 2-3 liter tapi memasuki kategori hidramnion ringan, sedangkan ukuran normal air ketuban sendiri berkisar 1-1,5 liter pada umur kehamilan 33 minggu.” penjelasanku.
“Dokter, etiologi dari hidramnion ini...” pertanyaan Viana.
“Dikarenakan gemeli atau bayi kembar, adanya infeksi, hambatan pertumbuhan atau cacat hingga berhubungan dengan sistem syaraf pusat, penyumbatan/penyempitan pada janin hingga tidak dapat menelan air ketuban, diabetes melitus.” Penjelasan dari pertanyaan mereka.
“Dari pernyataan dokter tentang etiologi dikarenakan cacat, yang berarti janin tersebut mengalami kecacatan penuh, tolong jelaskan jenis kecacatan pastinya terjadi, dok?” pertanyaan Viana kembali.
“Pertanyaanmu  lumayan menarik, Cacat janin yang dimaksud pada bayi ananchepalus yaitu bayi berkepala besar.”
“Dari tadi saya menangkap pertanyaan dokter tentang jenis hidramnion, bisa dijelaskan lebih mendetail?” pertanyaan Tiarah.
“Hidramnion dibagi menjadi hidramnion kronis dimana bertambahnya air ketuban secara perlahan-lahan dalam beberapa minggu atau bulan, biasanya terjadi pada kehamilan lanjut.” Jawabanku.
“Selanjutnya hidramnion akut, penambahan air ketuban tiba-tiba dan cepat hanya dalam waktu beberapa hari saja. Kejadian seperti ini biasa terjadi pada kehamilan agak muda, bulan ke-5 atau ke-6,” lanjutan dari penjelasanku.
“Dokter...” tangan Viana terangkat.
“Silahkan,” kalimatku memberi isyarat terhadapnya.
“Andai kata mendapat kasus kejadian seperti ini, bagaimana penata laksanaan selanjutnya?” pertanyaan darinya.
“Dokter, jelaskan gejala-gejalanya juga karena kami masih belum paham,” ucap Tiara.
“Gejalanya, perut lebih besar dan berat dari biasanya, nyeri perut karena tegangnya uterus juga mual, edema/pembengkakan, bisa terjadi syok, berkeringat dingin bahkan sesak pada proses akut.” Kedua kakiku terus saja berjalan dari depan hingga ke belakang mereka...
“Jika di inspeksi, perut tegang dan sangat buncit, kulit perut berkilat, retak-retak, sianosis, denyut jantung janin tidak terdengar.” Mataku terus saja memperhatikan mereka.
“Bagaimana dengan penata laksanaan jika mendapat kasus seperti ini, dok?” Tangan Tiara kembali teracung.
“Seandainya klien mengalami hidramnion berat maka harus rawat di rumah sakit dengan mengobservasi periksa TTV, diet rendah garam, berikan obat-obat sedativa dan diuresis. Jika sesak hebat disertai sianosis juga perut tegang air ketuban dapat dikeluarkan dengan takaran dalam sehari 500cc perjam hingga keluhan berkurang.” jawabanku.
“Jika cairan dikeluarkan apakah tidak terjadi komplikasi?” Viana bertanya kembali.
“Pasti ada, dapat terjadi his dan solutio plasenta /pelepasan plasenta sebelum waktunya.” kalimatku kembali.
“Selain dari itu, apakah ada komplikasi lain?” pertanyaan Viana kembali.
“Trauma pada janin, infeksi serta syok jika aspirasi keluar darah, maka harus segera dihentikan untuk mengeluarkan cairan tersebut.” Penjelasan kembali ke arah mereka.
“Kalau kejadian tersebut sewaktu partus?” Tiarah masih menginginkan jawaban...
“Tusuk ketuban pada beberapa tempat memakai jarum pungsi agar air ketuban keluar secara perlahan-lahan. Jika ketuban pecah tiba-tiba sewaktu pemerikaan dalam maka masukkan tinja ke dalam vagina sebagai tampon agar air ketuban keluar perlahan-lahan.”
“Tujuannya dokter?” pertanyaan Tiarah kembali.
“Biar tidak terjadi solutio plasenta, syok karena tiba-tiba perut menjadi kosong atau perdarahan post partum karena atonia uteri,” penjelasanku kembali.
“Saya rasa pertemuan ini, saya hentikan dulu karena waktu, sekian  dan terimah kasih, kita lanjutkan pada kesempatan berikutnya.” Kalimatku memperhatikan jam menunjukkan pukul 15.30 sore mengingat saya harus menjemput Rehyind.
Sewaktu hendak berjalan menuju parkiran dari kampus tempatku mengajar, secara tiba-tiba... “Viana, awas...” teriakanku mencoba menolongnya dari sebuah hantaman truk depan jalan kampus.
“Kamu tidak apa-apakan?” pertanyaanku.
“Tidak apa-apa dok, terimah kasih sebelumnya,” Viana berusaha membersihkan pakaiannya. Berusaha membawa Viana ke sebuah kursi panjang sekitar kampus tersebut.
“Sepertinya, kau lagi ada masalah sampai-sampai truk besar lewat tidak diperhatikan,” memancing Viana.
“Benar-benar masalah besar, dok,” ujarnya terlihat kesal.
“Kau bisa curhat, siapa tahu saya bisa memberikan solusi buatmu.” kalimatku.
“Saya tidak menyukai beberapa teman...” kata-katanya terpotong.
“Saya perhatikan kau sangat akrab dengan siapa saja, kenapa tiba-tiba ucapanmu menjelaskan seperti...”
“Saya tidak menyukai ketua tingkatku bersama sahabatnya itu,” jawabannya.
“Kenapa? saya perhatikan dia baik,” ucapanku kmbali.
“Baik dari hongkong, seperti itulah kalau seseorang pandai mencari muka di mana saja.” kata-kata judesnya terlihat jelas.
“Pertemanan itu, pada dasarnya mengajarkan tentang pertahanan disaat melihat beberapa karakter tertentu sekitar area lingkungan tempat kaki berjalan.” Ujarku.
“Dokter, puitis amat jauh beda kalau sudah di ruangan,”
“Viana, kata serius, puitis, becanda, persahabatan, tegas harus disesuaikan pada tempatnya.”
“Apa yang akan dokter lakukan jika mempunyai teman mengerikan seperti mereka?”
“Viana, memangnya sifat mereka seperti apa sih? sampai segitunya.”
“Temanku itu hidup penuh kemunafikan, pandai mencari muka, bicara tinggi alias sombong, kalau berteman tidak pernah bersifat netral, dan banyak lagi karakter mereka paling buruk...” jawabannya.
“Penasaran!”
“Dokter, ada beberapa dosen dalam di kampus ini yang sedikit berselisih, singkat cerita mereka dihadapan dosen terlihat pandai berbicara. Permasalahannya, banyak mahasiswa tidak menyukai salah satu dosen itu dikarenakan sesuatu dan lain hal. Paling mengerikan, mereka mengejek habis-habisan dosen tersebut dihadapan banyak mahasiswa. Pada hal, di depan dosen tersebut mereka menceritakan segala hal ucapan terjelek dari banyak mahasiswa tentang diri dosen ini.” Penjelasan Viana sangat marah.
“Memangnya kenapa sampai dosen ini tidak disukai mahasiswa?” pertanyaanku.
“Karena sesuatu dan lain hal, ada sedikit perselisihan, terlalu sulit untuk saya menjelaskan dokter,”
“Terus...”
“Pada dosen-dosen lain mulutnya luar biasa manis, terlalu pandai mencari muka sampai-sampai beberapa nama temanku termasuk saya terlihat buruk di mata beberapa dosen. Pada hal dosen-dosen ini hanya tidak menyadari sifat karakter mereka.” Viana makin kesal.
“Saya itu pernah satu tempat praktek dengan ketua tingkatku, bayangkan hanya karena mukanya sudah mulai mengenal dandan semua orang diejek minta ampun,” ucapannya lagi.
“Memangnya ucapannya seperti apa?” tanyaku.
“Teman-temannya diejek muka kusamlah, zombie, jelek, seolah-olah dia paling tercantik di dunia. Sementara dia tidak sadar kalau mukanya saja bulan kesiangan gitu, gimana tidak, kulit hitam, sedangkan muka dipaksa putih pake bedah apaan itu...” teriakannya.
“Hahahahahahahaha..” Tawaku meledak seketika.
“Kalau bicara tidak tanggung-tanggung terlalu sombong, dibilang ada usahanya pacarnyalah, dapat kiriman apalah, pokoknya seakan-akan ingin terlihat kaya di depan banyak orang. Dia itu orang kikirnya minta ampun, uang galon harga Rp. 5.000,- saja setengah mati diminta mati-matian. Katanya orang kaya, dikirimkan uang sekian dan sekian...” Celoteh Viana.
“Hahahahaahahahaha...” tawaku makin meledak.
“Paling parah, baru diurutan ke-3 saja pamernya luar biasa di medsos. Pada hal banyak yang bilang kalau dia itu tidak pintar, hanya saja karena dia ketua tingkat jadi nilainya terjamin. Maka dari itu, sejak dulu dia tidak pernah mau jika dirinya dilengserkan dari jabatan itu.” Kata-katanya panjang lebar...
“Hahahahahahaaha...”
“Dokter, sebenarnya dia itu ketakutan dengan sahabatnya itu. kalau diselidiki ini manusia seperti apa yah, sebenarnya juga sih mereka itu gila jabatan di kampus,”
“Siapa yang gila jabatan, Viana?”
“Siapa lagi, ketua tingkatku itu bersama sahabatnya, berjuang keras biar semua dosen dan mahasiswa mengakui mereka. Sebenarnya ketua tingkatku itu berjuang untuk menjadi ketua senat. Tapi...”
“Tapi apa?” rasa penasaran terus menggerogotiku.
“Saya banyak mendengar keluhan dari teman-temanku, jadi, saya menentang habis-habisan dirinya menjadi ketua senat. Terkadang ujian saja, dia nyontek di hp atau apalah, pamernya luar biasa di medsos prestasinya. Wuiiiihhhhhh, hebat benner dia...” Kata-katanya.
“Wow...”
“Sahabatnya lagi, manusia yang satu ini seolah-olah terlihat suci sekali, mengejek temannya kiri kanan tentang apalah,”
“Maksudnya, mengejek bagaimana?” tanyaku.
“Dokter, memangnya saya tidak tahu kehidupannya yang sudah tinggal satu atap dengan pacarnya. Beberapa orang diejek tidak jelas, permasalahan berpacaran sih, pada hal dia sendiri menurut gosip yang beredar telah melakukan aborsi. Hebat sekali...” ujarnya.
“Viana,”
“Saya memang dosa menceritakan hal seperti ini, tapi tidak tahu harus gimana lagi, sedangkan mereka buat status tidak jelas di medsos permasalahan apalah gitu...” Ujarnya memperlihatkan wajah menunduk.
“Paling parah ini manusia munafik, menyuruh orang harus tertutup kalau di kampus harus memakai kaos kaki yang tidak memperlihatkan tumit, sedangkan dia sendiri sudah seatap dengan pacarnya. Kalau masalah, pakaian sopan masih saya terimah, ini permasalahan kaos kaki, gimana coba?” curhatan hati Viana.
“Keterlaluan juga sih, kalau sifatnya seperti itu,”
“Saya hafal mati sifat pemalas mereka, kalau di depan dosen atau siapa terlihat rajin luar biasa, tapi aslinya malasnya minta ampun, benar-benar munafik.” imbuhnya.
“Saya tidak pernah takut nilai-nilaiku akan bermasalah menceritakan karakter mereka, kalau semua dosen berpihak kepada mereka, silahkan,” tambahannya lagi.
“Kalau nilai-nilaimu error ma dosen-dosen lain, gimana coba?” pertanyaanku.
“Saya tidak ambil pusing, toh, keberhasilan seseorang tidak bisa hanya diukur dari IPK semata kan, kalaupun nilai-nilaiku menurun, silahkan...” kata-kata Viana.
“Paling parah, saya selalu dikatakan sirik, pada hal mereka tidak pernah mengoreksi karakter paling mengerikan dari kahidupannya. Merasa diri paling cantik, ujung-ujungnya, kalau make-up mereka dilepas, minta ampun menakutkan, seperti gerandong di siang bolong.” teriakan Viana.
“Hahahahaha...” tawaku meledak.
“Apa gunanya cantik, kalau polesan bukan alami. Paling parah sudah seperti bulan kesiangan merasa cantik lagi, benar-benar tante girang..Umur masih muda sekali, tapi muka tua luar biasa.” Kalimat Viana sangat marah.
“Mereka juga tidak bisa menghargai iman orang lain, pada hal kita diajarkan untuk saling menghormati antara satu dengan lainnya. Sekalipun berbeda-beda, tapi harus tetap saling menghargai.” Kata-katanya lagi sangat marah.
“Viana, jadilah bijak saat berhadapan dengan beberapa karakter yang tidak kau sukai.” ucapanku.
“Saya tahu kalau posisiku sekarang adalah seorang perempuan, bahkan kata sempurna juga tidak ada dalam perjalananku. Hanya saja, karakter mereka benar-benar mengerikan, sedangkan mulut saya akan menyerang jika melihat sesuatu hal yang menyimpang.” Perkataannya.
Kehidupan mengajarkan tentang banyak hal, termasuk bercerita dengan beberapa situasi mengerikan. Viana merupakan mahasiswa kebidanan, menjelaskan bagaimana permasalahan dari beberapa temannya. Inilah kehidupan, ada saat seseorang akan terlihat ataupun bermain dalam suatu panggung sandiwara. Namun, disisi lain seseorang harus tahu menempatkan situasi tertentu. Ada saat ketegasan harus dimainkan, sekalipun mereka akan berkata-kata. Menjelaskan beberapa hal kepada Viana, dan menjadi pendengar yang baik untuk setiap curahan hatinya.
“Terimah kasih, dokter” ucapannya.
“Terimah kasih untuk apa?”
“Karena dokter mau menjadi pendengar setia untuk segala curhatan hatiku,” ucapannya.
“Juan..” teriakan judes seseorang seakan suaranya tidak asing lagi.
“Rehyind,” berbalik ka arah suara di sebelah utara dari kampus tersebut.
“Itu pacar dokter yah?” pertanyaan Viana.
“Bukan,” ujarku.
“Ternyata, sejak tadi saya tunggu tapi...” amarahnya meledak.
“Maaf dok, sepertinya ada tugas menumpuk jadi harus saya selesaikan,” Viana segera berlari karena ketakutan.
BAGIAN TUJUH...

Rasa kesal dari Rehyind mulai memuncak dikarenakan manusia super sibuk yang satu itu tidak menepati janjinya. Melihat pemandangan tidak menyenangkan di hadapannya saat ini. Bagaimana tidak, seorang Juan melupakan janjinya demi menjadi pendengar setia salah satu mahasiswanya sendiri.
“Viana, hari ini kau kelihatan manisnya kebangetan,” Juan mencoba memancing Rehyiind dengan sengaja member sebuah pujian pada Viana.
“Yang benner dokter,” wajah Viana terlihat melupakan masalahnya.
“Benner banget bahkan pake kebangetan,” Juan makin memancing.
“Saya hanya ingin membuat dia terlihat panas,” kalimat juan di dasar hati.
“Wow, pemandangan paling keren sepanjang abad,” Rehyind sedikit memperlihatkan emosi tanpa disadarinya.
“Rehyind, sejak kapan ada di kampus tercintaku?” senyuman Juan mulai mengambang melihat reaksi sahabatnya sendiri.
“Kau berjanji padaku hari ini, tapi nyatanya…” kekesalan Rehyind sangat menjadi-jadi.
“Oh iya, saya lupa.” Juan menepuk kepalanya sendiri penuh kesengajaan.
“Dokter, siapa dia?” tegur Viana.
“Pacar dokter?” pertanyaan Viana lagi mencoba menerka-nerka sebuah perasaan terpendam dari dosennya.
“Dia bukan pacar, tapi sahabat sejak dulu,” senyum kecut Juan berusaha untuk dihilangkan.
“Untung bukan pacar, hanya sahabat, hahahahaha…” tawa Viana.
“Memangnya kenapa?” Rehyind sendiri tidak mengerti.
“Kenapa? Artinya, saya masih punya kesempatan merebut hati dokter Juan.” Jawaban Viana kesengajaan berkata-kata…
“Ternyata seorang dokter Juan terlalu diidolakan juga di kampus tempatnya mengajar,” tutur Rehyind.
“Secara dokter Juan pintarnya selangit, soal wajah,jangankan dibawah pergi arisan ke pesta-pesta juga luar biasa menggiurkan.” Celoteh viana tertawa.
“Tapi, kenapa sampai sekarang dokter Juan masih saja jomblo forever.” Cetus Rehyind.
“Rehyind, tidak segitunya kali mempermalukan saya di hadapan mahasiswa.” Juan mulai kesal.
“Situ saja tidak pekah-pekah,” sindiran Viana dan sama sekali tidak dipahami oleh Rehyind.
“Maksudnya?” Kalimat Rehyind mencoba menganalisa pernyataan tersebut.
“Maksudnya, kalau saya itu tidak pernah pekah terhadap perasaan Viana selama ini,” kata-kata Juan berusaha membuat Rehyind tidak menyadari perkataan mahasiswanya sendiri.
“Yah, seperti itulah…” tutur Viana berlari dari hadapan mereka.
“Gebetanmu lari tuh, tidak dikejar?” kalimat Rehyind.
“Ga usah dikejar, nanti juga baik sendiri.” Jawaban Juan.
“Dari pada nyessel mending kejar saja,” Rehyind mulai tersenyum pada Juan.
“Nih manusia tidak pernah pekah, sedangkan Viana saja langsung pekah dalam sehari bertemu dengannya. Hampir saja…” celoteh Juan di dasar hati. Menyukai seseorang, namun keadaan mengatakan lain.
“Kebetulan saya ada janji dengan seseorang, jadi lain kesempatan saja kau menepati janjimu.” Rehyind segera beranjak dari kursi meninggalkan Juan seorang diri.
“Dengan pacar baru lagi?” teriak Juan.
“Baru tahap perkenalan belum tahap pacaran bos,” balasan Rehyind sebelum akhirnya berlalu dari hadapan Juan.
Rehyind tidak pernah menyadari perasaan sahabatnya sendiri selama bertahun-tahun terpendam. Menganggap seorang Juan hanya sebatas sahabat dan tidak akan pernah lebih dari itu. Seperti biasa Rehyind berada di kamar bersahabat dengan laptop untuk mengirimkan hasil pikirannya ke beberapa Negara. Setidaknya dia selalu mencoba dan mencoba, apapun hasil di depan mata, kata menyerah tidak akan pernah bermain.
“Saya akan mengirim konsep desain parawisata terbaru ke Kanada,” senyuman Rehyind mengembang…
“Sesuatu di dalam botol kaca besar di tengah danau,” tutur Rehyind memainkan pulpen serta kertas-kertas di hadapannya. Desain parawisata membuat sebuah area terlihat membentuk tujuh tangga. Pada anak tangga pertama merupakan sebuah tempat pengguna kendaraan sepeda. Halte bus dibuat pada anak tangga kedua, sedangkan kolam renang terpanjang bermain pada area anak tangga ketiga. Anak tangga keempat jalanan raya diselimuti tumpukan es ataupun salju dibuat berbeda sepanjang jalan. Pada anak tangga keempat tersebut, aneka permainan dari balok es menjamur pada area tersebut. Terdapat taman bermain pada tangga kelima, kebun stroberi dan beberapa kebun buah-buahan berada pada anak tangga keenam. Pada anak tangga terakhir atau ketujuh terdapat hotel sepanjang jalan serta sebuah menara dengan konsep desain tersendiri dan belum pernah ada di dunia.
Sekitar area 7 anak tangga tersebut, terdapat sebuah gedung serba guna atau dapat dijadikan teater, bahkan stadion. Gedung tersebut mengikuti alur ketujuh anak tangga tersebut, sehingga terlihat miring. Dan tidak lupa terdapat pula sebuah botol kaca pada pertengahan danau dan tidak jauh dari area anak tangga itu. Di dalam botol kaca raksasa terdapat taman bermain, pusat perbelanjaan, café dan restoran, dan beberapa tempat penting di dunia objek wisata.
Tujuh anak tangga bercerita tentang sesuatu hal harus dimulai setahap demi setahap. Tidak pernah bercerita langsung berada pada puncak tertinggi, kaki harus mulai belajar memahami perjuangan selangkah demi selangkah. Kehidupan akan mengajarkan tentang kekuatan, jika dimulai dengan sebuah istilah yaitu setahap dan tidak bercerita tentang langsung berada di puncak. Belajarlah berjalan di dalam sebuah area lingkaran selangkah demi selangkah untuk mencapai sebuah puncak. Hingga akhir cerita, duniamu tidak mengajarkan tentang kesombongan melainkan kerendahan hati di setiap sudut persimpangan langkah kehidupanmu.
Sekitar area anak tangga itu, terdapat sebuah botol kaca raksasa di tengah danau bercerita tentang sebanyak apapun air matamu, ungkapkan segala kepedihanmu kepada Tuhan. Jangan pernah berpaling terhadap hal-hal penuh penyimpangan sekalipun langkahmu penuh goresan luka kehidupan. Bercerita botol menjelaskan wadah penampungan, danau menggambarkan kumpulan air mata. Seberapa banyak air matamu mengalir, Tuhan merupakan tempat penampungan segala keluh kesahmu. Menangislah di hadapanNYA, ungkapkan segala isi hatimu di hadapanNYA. Di balik air matamu yang mengalir akan membentuk kepribadianmu secara luar biasa di dalam sebuah botol kaca.
“Tinggal menunggu jawaban, apakah di terima atau tidak?” kata-kata rehyind memandang terus pada layar kmputernya.
“Saya tidak boleh menyerah, suatu hari kelak seorang Arelhyind pasti menjadi arsitek terkenal di seluruh dunia, amin…” kata-kata Rehyind setiap hari dalam doanya.
Rehyind berjuang keras agar semua Negara mengakui hasil pikirannya. Membutuhkan waktu, tapi perjuangan itu tidak akan pernah kembali dengan sia-sia. Rehyind kembali memainkan lembaran kertasnya beserta komputer sekitar area kamar. Membayangkan suatu desain kota tertentu terbungkus makna paling dalam.
“Desain kota akan coba saya kirim ke negara Australia,” tuturnya tersenyum simple.
“Saya tinggal mengirim, oke,” raut wajah penuh semangat tertanam kuat pada dirinya. Mengirimkan desain kota dimana mempunyai cirri khas tersendiri bahkan suatu hari kelak dapat menjadi pusat perhatian banyak orang.
“Serpihan Kertas, konsep paling tepat dari desain kota hasil karyaku.” Rehyind terus memainkan tuts keyboard dari computer di depannya. Sebuah kota dengan tema Serpihan Kertas dibuat dengan cara berbeda. Sesuatu kota terlihat seperti dari sebuah menara ataupun udara membentuk serpihan kertas yang sedang berhamburan. Sebelumnya membuat patokan dengan menggambar atau memakai tali sebagai patokan sehingga terlihat seolah terdapat serpihan kertas-kertas kecil bertebaran memenuhi kota tersebut.
Serpihan-serpihan tersebut berhamburan di dua tempat, terdapat lautan lumpur bercampur air keruh, sedangkan dilain tempat terdapat lautan berwarna jernih kebiru-biruan. Pada pertengahan kota yang terlihat seakan membentuk serpihan-serpihan kertas berhamburan di udara hingga terjatuh pada 2 tempat berbeda, terdapat sebuah menara. Kepala dari menara itu membentuk awan putih, sementara batang menara sendiri membentuk tumpukan air mata terus mengalir membungkus secara keseluruhan.
Dengan kata lain menara tersebut membentuk sebuah awan putih, seluruh tubuhnya terbungkus tetesan-tetesan air mata. Sekitar taman depan menara dibuat sebuah kirbat raksasa tempat dimana tetesan air mata dari batang menara itu tertampung secara luar biasa. Seseorang dapat menikmati pemandangan dari menara tersebut, juga dapat melihat pemandangan kota yang membentuk serpihan kertas yang berada di udara dan sedang berjatuhan di dua tempat berbeda.
Serpihan kertas bercerita tentang gambaran berbagai jenis kehidupan seseorang dalam lingkaran bumi ini. Diperhadapkan dua hal saat berbagai akar permasalahan atau arus kehidupan memainkan irama dalam perjalanannya. Serpihan kehidupan tersebut dapat bersifat membentuk atau sebaliknya menghancurkan karakter bersama dunianya secara pribadi. Lautan lumpur disertai campuran air keruh menjelaskan tentang sebuah jalan salah yang selalu saja diambil disaat berhadapan dengan berbagai serpihan kehidupan. Oleh karena sesuatu hal, pada akhirnya membawa dunia seseorang pada sebuah jurang maut. Keruhnya kehidupanmu bukan karena siapa-siapa, melainkan pilihan dari dirimu sendiri. Di akhir cerita menghancurkan secara luar biasa perjalananmu.
Lautan jernih berwarna kebiru-biruan mengungkapkan seberapa hebat akar permasalahan atau berbagai jenis serpihan kehidupan membungkus areamu hingga memainkan irama disertai luka paling mendalam, namun duniamu tetap bijak. Tidak akan terbawah arus kehidupan, tetap bertahan di tengah badai kehidupan hingga akhir cerita duniamu menjadi garam bagi banyak orang. Bagaimanapun menyakitkan perjalananmu oleh karena berbagai serpihan-serpihan tersebut, namun, dirimu tetap bertahan dan memandang apa yang seharusnya tanganmu menggenggam sekuat-kuatnya.
Bercerita tentang menara dengan kepala membentuk awan putih, sementara tubuhnya menyelimuti tumpukan tetesan air mata menjelaskan sepahit apapun perjalananmu oleh karena serpihan kehidupan, jika hati bijak saat melangkah semua akan menjadi indah pada waktunya. Tumpukan tetesan air mata terus berjatuhan mengalir pada sebuah kirbat raksasa menjelaskan bahwa air mata seseorang yang terus berjatuhan di hadapan Tuhan, ditampung olehNYA pada sebuah kirbat. Apa pun permasalahan yang menghimpit, jika hatimu bijak sekalipun langkahmu terus saja memainkan irama paling menyakitkan, Tuhan selalu menampung tumpukan air matamu dalam kirbatNYA.
Sekalipun waktu itu tidak pernah terlihat, tetap bertahan dan jangan mengambil jalan salah dengan berjalan pada lautan lumpur hingga berujung pada jurang maut paling mengerikan. Setiap orang mempunyai akar permasalahan, namun, tetaplah bijak saat berjalan di setiap sudut persimpangan. Kekecewaan dapat saja bermain secara luar biasa hingga mempermainkan duniamu, namun, jika kakimu tetap bertahan di tempat yang seharusnya, kelak Tuhan akan meninggikan dirimu. Kembali pada pribadi masing-masing setiap langkahmu akan berjalan kemana, sekalipun memainkan berbagai irama paling menakutkan.
“Selesai,” teriak Rehyind setelah mengirim konsep desain kota tersebut ke Negara Australia melalui email.
“Ting tong ting tong,” suara bel rumahnya membuat Rehyind harus keluar dari kamar.
“Pasti Juan,” cetusnya berlari menuju sebuah pintu. Saat pertama kali ke ibu kota, Rehyind dan Juan sempat tinggal serumah demi menghemat biaya tempat tinggal. Setelah beberapa tahun berlalu, mereka berada di kontrakan terpisah untuk menghindari gosip-gosip tidak jelas dari banyak orang. Disaat tabungan cukup, akhirnya mereka masing-masing membeli sebuah apertemen.
“Hai, manusia paling cerewet di dunia?” teriakan Juan menggoda Rehyind.
“Dau pokada susito, tang kuparai  (Jangan berkata seperti itu, saya tidak suka).” Mimic wajah Rehyind memperlihatkan kekesalan.
“How cute!” tangan Juan mencolek wajah Rehyind.
“Kusanga lamaleko sola tu pia baine sangmai (Kukira, kau mau pergi bersama dengan perempuan kemarin)?” pertanyaan Rehyind.
“Saya mau menghabiskan waktu libur bersama dengan sahabatku sepanjang waktu hari.” Jawaban dari Juan.
“Tamale kumande bade Toraya doing banuanna dokter Sabe (Ayo kita pergi makan kue Toraja di rumahnya dokter Sapan)” Juan menepuk bahu Rehyind.
“Denraka pa’piong na doing banuanna (Apakah ada makanan pa’piong di rumahnya)?” pertanyaan Rehyind bersemangat menuju rumah dokter Sabe.
“Banyak, dokter Sabe simpan buat dirimu beberapa batang,” jawaban Juan. Tidak lama kemudian, Rehyind berlari menuju kamar mengambil tas dan segera beranjak bersama Juan menuju rumah dokter. Setengah jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Dokter Sabe merupakan teman satu rumah sakit dari Juan. Berasal dari kampung yang sama, membuat mereka akhirnya menjadi sahabat. Bahkan dokter Sabe menyadari dengan pasti, bagaimana seorang Juan menyimpan perasaan suka terhadap sahabatnya sendiri.
“Oh, acara apamora mupagau diong tondok na budak liu te’ papiong mubawa sola badena (Acara apa yang kau buat di kampung, kenapa ada begitu banyak makanan khas bersama kue Toraja)?” Seperti biasa Rehyind akan terus bertanya setiap ada sesuatu di depan matanya.
“Mangrarah banua sola panen padi (Acara syukuran rumah sekaligus bersyukur kepada Tuhan karena panen padi yang melimpah).” Jawaban dokter Sabe.
“Tae sia muanemu…(Suamimu tidak…)” kalimat Rehyind terpotong.
“Jangan ditanya bos, bahkan dia menikmati sekali suasana Toraja,” jawaban dokter Sabe tertawa.
“Wow…” kalimat Juan. Suami dari dokter Sabe tidaklah berasal dari kampung yang sama, melainkan berdarah Batak Jawa.
“Jadi gado-gadolah aliran darahnya anakmu ceritanya ini,” gurauan Juan.
“Seperti itulah campur Toraja, Batak, Jawa.” Jawaban dokter Sabe kembali.
“Dokter, denraka bayu sola tas Toraya mibawah sebagai oleh-oleh (Dokter, apakah ada baju dan tas Toraja yang kau bawah sebagai oleh-oleh)?” Rehyind segera berlari membongkar kardus-kardus di depan matanya.
“Tenang saja, ada saya bawakan kau special untuk Arelhyind.” Dokter Sabe membawah sebuah kantongan ke hadapan Rehyind.
“Kurre sumanga buda-buda dokter (Terimah kasih banyak sekali, dokter).” Tangan Rehyind segera membongkar kantongan tersebut.
“Satu pasang dengan punya dokter Juan,” mata dokter Sabe sedikit berkedip di hadapan Juan.
“Sepertinya kesengajaan,” Juan menggeleng-gelengkan kepala menyadari maksud dari dokter Sabe.
“Seperti ada sesuatu yang disembunyikan,” Rehyind tersadar akan pernyataan Juan yang tidak biasa.
“Aiissssss, Rehyind sekarang banyak curiganya,” Juan menarik tangan Rehyind seketika sambil menginjak kaki dokter Sabe…
“Itu karena kalian adalah sahabat sejati selama bertahun-tahun,” penekanan kata-kata dokter Sabe seakan ingin menyindir Juan.
“Menyukai selama bertahun-tahun, tapi tidak pernah bisa mengungkapkan karena takut ditolak oleh sahabat sendiri,” sindiran dokter Sabe dengan suara pelan jauh dari telinga rehyind.
“Dokter, berhenti menyindir atau bercanda seperti ini,” Juan berusaha keras menutup mulut temannya.
“Sampai kapan kau akan menyembunyikan perasaanmu?” Dokter itu menatap serius mata Juan berusaha melepaskan tangan yang melekat pada mulutnya.
“Entahlah,” mata Juan sendiri melirik ke kiri dan kanan, takut jika Rehyind mendengar pembicaraan mereka.
“Tunggu keburu direbut orang lain,” dokter Sabe menghentikan memasukkan kue khas Toraja ke mulutnya.
“Saya tidak pernah ada keberanian mengungkapkan, selama ini dia hanya menganggap bahwa Juan hanya seorang sahabat bahkan tidak lebih dari itu.” Menarik nafas panjang-panjang…
“Dokter Juan hebat dalam menghadapi pasien, namun jika berhubungan permasalahan cinta terhadap sahabat sendiri dunianya terkunci rapat-rapat.”
“Jangan menyindir tidak jelas seperti ini, dokter.”
“Juan, ini kenyataan dari hidupmu…”
“Entahlah,”
“Seorang Juan juga berhak bahagia, kalaupun itu bersama dengan sahabatnya sendiri maka tidak boleh ada kata menyerah meraih genggaman tangannya.” Menepuk-nepuk Juan.
BAGIAN DELAPAN…

JUAN…
Ucapan dokter Sabe terus menghantui kehidupanku, menyukai sahabat sendiri namun tidak pernah berani mengungkapkannya. Inikah yang dikatakan kehidupan? Benar-benar mengerikan bahkan menyedihkan sekali kisah percintaanku. Rehyind sendiri sudah beberapa kali bergonta-ganti pasangan hingga detik ini. Tuhan, bagaimana jika Rehyind benar-benar akan menjadi milik orang lain suatu hari kelak? Bagaimana saya bisa menjalani kehidupanku setiap harinya? Kami berjuang bersama-sama, memulai segala sesuatunya dari nol bahkan selalu bergandengan tangan di saat suka maupun duka.
Bersama-sama merasakan pahitnya kehidupan hingga akhir cerita memainkan kisah terbaru. Tertawa, menangis, berjuang tanpa menyerah bersama-sama hingga langkah kaki memainkan iramanya. Bersama-sama merasakan memiliki tangan kasar oleh karena kaki sedang melakukan pendakian secara luar biasa untuk meraih sebuah mimpi. “Tuhan, apa yang harus kulakukan terhadap perasaanku sendiri?” pertanyaanku setiap saat di dasar hati.
“Dokter, hisnya tidak berkontraksi dengan baik bahkan sangat lemah,” terus memantau tanda-tanda vital seorang pasien. Sejak awal pasien tersebut mempunyai his kurang maksimal atau berada pada jalur lemah.
“Ibu ini mengalami inersia uteri,” tanganku mencoba kembali melakukan pemeriksaan dalam setelah 4 jam sebelumnya telah dilakukan VT.
“Dokter, bagaimana dengan anak saya?” ibu Rasyid memegang tangan saya berharap anaknya baik-baik saja.
“Ibu jangan stress karena akan semakin memperlambat persalinan, jangan khwatir…” jawabanku mengarahkan agar ibu Rasyid tidak banyak berpikir.
“Hipotonik uteri , sejak awal kekuatan his sudah lemah bahkan berlangsung lama di fase laten, pada hal kalau dipikir-pikir G2 P1 A0.” ujar bidan Lativa.
“Dokter, apa ketubannya masih utuh atau tidak?” pertanyaan bidan Mesillia.
“Ketubannya masih utuh tidak membahayakan, lakukan saja drips 5-10 satuan dalam 500 cc dextrose 5%, awali 12 tetes/menit, jika belum ada hasil naikkan 10-15 menit hingga 40-50 tetes/menit biar serviks dapat membuka.” menyuruh bidan Mesillia melakukan drips oksitoksin.
“Dokter, apa sebaiknya tidak dilakukan seksio sesaria saja?” bidan Lativa mengajukan pendapat.
“Sebaiknya jangan, karena jauh lebih baik seorang ibu melahirkan normal dibanding SC selama masih dapat tertangani.” Tanganku memainkan stetoskop pada leher.
“Tapi dokter...” bidan Lativa takut terjadi sesuatu.
“Ketuban ibu ini belum pecah kan! andai kata semula his kuat kemudian terjadi inersia uteri sekunder/ melemahnya his makin lama maka segera mengambil tindakan SC.” Kata-kataku menjelaskan.
“Pantau terus Denyut jantung janin bersama tanda-tanda vital ibu,” sekali lagi kalimatku sebelum beranjak dari ruangan intranatal care.
“Baik dokter,” bidan Lativa segera berjalan menuju tempat sampah infeksius untuk membuang barang-barang sekali pakai dan telah terkontaminasi dengan darah.
Inersia uteri/ kelainan his biasa terjadi saat persalinan, terbagi menjadi 2 yaitu his hipotonik dan his hipertonik. Karakter his hipotonik lemah, pendek, jarang. His hopotonik terbagi menjadi 2 yaitu primer sejak awal his lemah pada kala 1 fase laten. Sementara sekunder bersifat kuat diawal, kemudian melemah dapat menyebabkan caput/ sejenis benjolan pada kepala. His terlalu kuat dinamakan his hipertonik, dapat menyebabkan partus presipitatus/ persalinan < 3 jam. Kemungkinan terjadi pada hipertonik, dimana terjadi trauma janin, traum jalan lahir menyebabkan ibu menglami perdarahan dan inversio uteri/ uterus keluar dari tempatnya.
Faktor herediter/ penyakit turunan, multigravida, emosi/ ketakutan, hidramnion, kehamilan postmatur/ serotinus/ lewat bulan menjadi etiologi dari inersia uteri. Dalam persalinan dikenal 2 fase yaitu fase laten (pembukaan 1-4 cm) dan pembukaan 4-10 cm merupakan fase aktif. Fase tersebut merupakan salah satu cara dalam pengisian patograf bagi dunia kebidanan untuk segera mengambil tindakan jika melewati garis waspada.
“Dokter, pembukaan sudah hampir lengkap,” Bidan Lativa berjalan ke hadapanku setelah beberapa jam pemberian drips.
“Ini lahan bidan, jadi yang menolong harus kalian,” tanpa melihat ke arah Lativa, tanganku terus saja memeriksa data-data pasien lain.
“Dokter,”
“Tunggu apa lagi keburu pembukaan lengkap bayinya keluar, bisa beresiko laserasi/ robekan jalan lahir.” kata-kataku menghentikan aktivitas membolak-balik data pasien.
“Baik dokter,” segera Lativa berjalan keluar menuju ruang persalinan.
“Dokter, ada pasien baru masuk setelah dilakukan pemeriksaan sepertinya janinnya gemeli/bayi kembar.” Bidan Mesillia membawa sebuah buku data pasien terbaru.
“Bawah ke ruang USG,” kaki segera melangkah menuju sebuah ruangan..
“Baik dok,”
Pasien baru tersebut segera diperiksa lebih lanjut melalui USG. Hasil pemeriksaan USG memperlihatkan bahwa ibu Halim sedang mengandung bayi kembar, sedangkan kondisinya tidak memungkinkan untuk lahir normal. Posisi letak lintang janin di dalam uteri bersama kondisi fisik ibu mengharuskan melakukan sesar.
“Ibu Halim, hasil pemeriksaan menunujukkan kalau ternyata  terdapat 2 janin dalam rahim yang mengharuskan melakukan mengambil tindakan sesar,” dua tanganku memegang stetoskop yang tergantung pada leherku.
“Dokter, apakah tidak bisa lahir normal?” pertanyaannya lebih memilih normal.
“Janin ibu sesuai masa kehamilan, hanya saja posisi letak janin akan membahayakan jika normal bahkan tidak akan lahir malahan,” tanganku menjelaskan posisi janinnya dengan memegang perutnya.
“Berapa biaya operasi ini, dokter?” wajah ibu Halim menjelaskan tentang keadaannya.
“Sekitar 40 juta untuk rumah sakit sebesar ini,” jawabanku.
“Dokter, andai kata disuruh memilih saya memilih menyelamatkan bayi dalam kandunganku, tapi…” kedua matanya mulai berkaca-kaca hendak mengeluarkan Kristal.
“Sejak tadi saya tidak melihat suami dari ibu Halim,” mataku mencari-cari…
“Dia berselingkuh dan pergi begitu saja dengan wanita lain disaat saya seperti ini.” Tangisnya pecah seketika. Inilah kehidupan, disaat tertentu selalu mempermainkan seseorang pada akhirnya menjatuhkan banyak air mata.
“Saya tidak mempunyai uang sepersen pun, sedangkan kedua janinku membutuhkan kehidupan.” Keadaan mempermainkan perasaannya, sama seperti kehidupanku dan Rehyin sekian tahun yang lalu. Membayangkan bagaimana mama ditolak oleh beberapa rumah sakit dengan alasan keuangan, karena kami hanyalah sebagian kecil dari sampah. Mama dan adikku tidak dapat tertolong lagi, air mataku terus saja memainkan keadaanku.
“Sepahit-pahitnya kehidupanku, setidaknya masih ada orang yang jauh lebih menderita dibandingkan diriku sendiri.” Desahan nafasku terus saja bermain.
“Paling tidak, papa tidak pernah selingkuh dibandingkan kehidupan ibu ini benar-benar mengiris hati.” Suara hati berteriak di dasar hati.
“Saya hidup sebatang kara, diusir dari rumah hingga harus menjalani kehidupan miris seperti ini.” Air matanya tidak pernah berhenti mengalir, rasa sakit di hatinya lebih hebat bermain dibandingkan apapun juga.
“Lukanya sama seperti kehidupanku dan Rehyind,” kata-kataku kembali berbicara di dasar hati.
“Ibu tidak boleh stress karena berakibat fatal bagi Janin termasuk kondisi ibu sendiri,” tanganku berada pada bahunya untuk menenangkan dirinya.
“Apa yang harus saya lakukan, dokter?”
“Jangan memikirkan biaya apapun, bahkan operasi ini akan tetap berjalan.”
“Dokter, bagaimana dengan permasalahan biaya yang cukup besar?”
“Saya yang akan membayar biaya operasi dan perawatan ibu,” jawaban buatnya.
“Persiapkan peralatan operasi, secepatnya.” Perintahku terhadap para bidan di sekitar ruangan ini.
“Terimah kasih dokter,” air matanya tidak pernah berhenti mengalir , tangannya terus saja memegang tanganku. Berdiri di depan wastapel sebelum akhirnya memasuki kamar operasi. Terdapat beberapa dokter telah mempersiapkan diri terlebih dokter anastesi.
“Juan,” seseorang memanggil namaku…
“Rehyind, bisa-bisanya kamu berada di ruangan…” kalimatku terpotong.
“Semangat, pasti operasinya sukses besar,” ternyata dia mendengar seluruh percakapanku bersama ibu Halim tanpa sedikitpun saya menyadari semua itu.
“Saya menyukai dokter Juan dengan karakter luar biasa seperti ini,” senyumannya membuat dia terlihat makin menarik di hadapanku. Detakan jantungku akan selalu bermain kuat,saat dia berada dihadapanku dan memperlihatkan sebuah senyuman. Tuhan, apakah kami hanya akan ditakdirkan sebagai sahabat semata? Pertanyaanku di dasar hati selalu saja bermain.
“Dokter Juan,” suara bidan Lativa menyadarkan bahwa operasi akan segera dimulai.
“Rehyind, apa kau mau aku traktir hari ini?” kalimatku.
“Tentu saja, saya akan menunggu hingga operasi ini selesai.” Jawaban seorang Rehyind tanpa pernah bosan menunggu di rumah sakit setiap kami membuat janji ataupun pertemuan. Kakiku berjalan berlalu dari hadapan gadis paling berharga bagi langkah kehidupanku.
Bidan lativa sendiri membantuku mengenakan sebuah pakaian sekaligus hand scoen steril. Kedua tangan terangkat dengan mulut tertutup oleh masker. “Sebelum melakukan operasi, marilah kita berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing biar dilancarkan oleh Tuhan.” Kata-kataku memimpin operasi tersebut.
“Selesai,” beberapa saat setelah doa dipanjatkan…
“Kasa, betadine’ kalimatku, bagian abdomen pasien harus desinfektan terlebih dahulu untuk mencegah terjadinya infeksi sekitar lokasi pembedahan. Bidan Lativa melakukan drapping, dimana menyelimuti tubuh pasien memakai duk steril besar dan kecil, yang terbuka hanya lokasi sayatan saja.
“Pinset jeruji,” kalimatku. Tanganku mengambil pinset jeruji serta menjepit lokasi sayatan untuk menguji apakah bius sudah berjalan dengan baik atau tidak?
“Pisau,” perintahku meminta sebuah pisau sebagai alat bedah untuk melakukan sayatan abdomen/perut hingga terlihat lapisan putih dan keras (disebut fasia, jaringan keras yang melapisi otot perut) dari pasien. Fasia dirobek memakai gunting sampai otot perut terlihat.
“Siap…” memberikan aba-aba pada dokter Andar, dikarenakan otot perut harus dikuak oleh 4 tangan hingga menganga lebar yang akhirnya lapisan peritoneum/ jaringan tipis pelindung otot perut terlihat.
“Pinset ,” dokter Andar dan saya mengambil pinset jeruji kemudian menjepit lapisan peritoneum lalu mengangkat, diantara jepitan tersebut digunting secara hati-hati agar usus dan isi dalam perut lainnya tidak terkena.
“Dinding rahim bagian luar sudah terlihat,” kalimatku, kemudian bidan Lativa memberikan hak blass pada dokter Andar untuk memasukkan serta menarik ke arah bawah paha pasien, agar leher rahim kelihatan jelas oleh kami.
“pisau,” secepatnya mengambil, lalu kembali melakukan penyayatan dinding rahim lebih dikenal dengan istilah uterus hingga bayi terlihat jelas. Selain dapat memakai jalur ini, dapat pula dilakukan penyayatan memakai pisau, hanya saja perimetrium digunting (dinding luar rahim). Kelupas selebar 2 cm, kemudian menyayat miometrium/ otot tengah rahim memakai pisau sampai kepala/rambut bayi terlihat. Tanganku berjalan masuk ke dalam dinding rahim guna menarik kepala bayi untuk di dorong dan dikeluarkan.
“Klem, gunting…” mengambil 2 klem kemudian melakukan pengkleman/ penjepitan pada bagian tali pusat. Memotong diantara 2 jepitan tali pusat oleh dokter Andar, sedangkan bidan Mesillia membersihkan jalan nafas bayi memakai alat hisap suction pump.
“Dokter, bayi tidak menangis,” ucapan bidan Mesillia.
“Dokter Vanya,” memberikan intruksi terhadapnya. Segera dokter Vanya mengambil bayi tersebut. Ternyata 2 bayi dari ibu Halim tidak satupun memperdengarkan tangisan sedikitpun.
“Keduanya mengalami akfiksia, tidak bernafas setelah keluar dari rahim ibunya.” Ucapan dokter Vanya.
“Lakukan resusitasi,” kalimatku masih berusaha mengeluarkan plasenta. Resusitasi merupakan usaha  memberikan ventilasi adekuat, pemberian oksigen cukup demi menyalurkan oksigen kepada otak, jantung serta alat-alat vital lainnya. Dokter Vanya berjuang agar kedua bayi ibu Halim dapat bernafas. Menghidupkan tabung oksigen sesuai ukuran yang telah ditentukan.
“Apgar score keduanya dibawah 8/10, dokter,” ucapan dokter Vanya berjuang menyelamatkan kedua bayi tersebut.
“ngea ngea ngea ngea ngea” akhirnya salah dari bayi tersebut menangis keras pertanda ada kehidupan dalam dirinya.
“Dokter, bagaimana dengan bayi saya?” pertanyaan ibu Halim menyadari terjadi sesuatu pada ke-2 buah hatinya.
“Kedua anak ibu sedang dalam penanganan, jangan khawatirkan apapun,” tanganku masih terus mengeruk sisa-sisa plasenta dalam rahim.
“Dokter Andar, silahkan menjahit,” kalimatku memerintahkan dokter Andar dan seorang asisten lainnya untuk menyelesaikan penjahitan sekitar lokasi penyayatan. Otot rahim, endometrium, miometrium disatukan kembali memakai jahitan benang Chromich no.2, sedangkan perimetrium dijahit memakai benang Chromich no. 2/0.
“Dokter Juan, masih belum memperlihatkan hasil pada saudara kembarnya,” kata-kata dokter Vanya mencoba berusaha semampunya.
“Dia mengalami hipotermi seluruh tubuhnya dingin,” bidan Mesillia sangat khawatir. Suhu tubuh bayi normal 36,5° - 37,5° C, sedangkan jika berada dibawah suhu normal dalam dunia medis dikenal sebagai istilah hipotermi.
“Selain akfiksia dan hipotermi, dia juga mengalami sianosis, seluruh tubuhnya pucat berwarna kebiru-biruan.” Dokter Vanya masih terus berusaha.
“Kekuatan ibumu saat ini adalah dirimu, jadi jangan pergi dari kehidupannya.” Kata-kataku memegang tangannya.
“Juan, apa yang terjadi?” teriak Rehyind berusaha menerobos masuk dalam ruangan perinatal/bayi.
“Anda tidak boleh berada disini,” salah satu petugas medis berusaha mengusir rehyind dari tempat ini.
“Biarkan saja dia tetap berada di ruangan ini,” perintahku.
“Juan,” Rehyind terlihat cemas untuk pertama kalinya saat melihat salah seorang bayi berada di ujung maut.
“Sejak tadi, dia tidak memperlihatkan adanya kehidupan dalam dirinya.” Jawabanku menatap bola mata Rehyind.
“Juan, biarkan dia berada dalam dekapan ibunya,” tutur Rehyind.
“Rehyind, tidak mungkin membawa bayi ini berada dalam dekapan ibunya, sedangkan sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda hidup. Lebih beresiko…” ujarku.
“Juan, kehangatan seorang ibu dapat mengembalikan nafas kehidupan tanpa terduga sama sekali.” Pernyataan Rehyind memegang kedua tanganku.
“Hmhmhmhmhhm,” dokter Vanya sedikit risih…
“Dunia medis terkadang berlawanan arah terhadap sebuah objek tertentu, setidaknya mencoba dari pada tidak sama sekali,” seorang Rehyind mengajarkan hidupku akan hal-hal tidak terduga diluar kendali medis.
“Akan kita coba.” Segera mengambil bayi tersebut dan membawanya dalam dekapan seorang ibu.
“Rehyind,” seakan dia menyadari batas langkah kakinya tepat depan pintu operasi, selain petugas medis tidak seorangpun boleh masuk ke dalam.
“Saya mengerti,” anggukan Rehyind. Kembali membawa bayi tanpa tangis sedikitpun berada di hadapan ibunya.
“Kami berusaha semaksimal mungkin, namun si’kembar tidak memperlihatkan kehidupan…” berbicara setenang mungkin di hadapan ibu Halim.
“Seseorang mengajarkanku, bahwa kehangatan seorang ibu dapat membuatnya bertahan untuk tetap berada di dunia ini, sekalipun dunia medis berkata tidak ada harapan untuknya.” Terus memegang bayi tersebut…
“Berikan dia padaku,” ibu Halim mengambil bayinya, mendekap penuh kehangatan dalam hitungan lebih dari 20 menit.
“Seandainya kau pergi dari dunia ini, siapa yang akan membantu bunda berjuang untuk berdoa agar ayahmu kembali dalam kehidupan kita lagi.” Kata demi kata mulai keluar, dia terus mendekap penuh kehangatan.
“Mari kita bersama-sama berjuang bahkan menjadi kekuatan luar biasa bagi bunda, jangan pergi jauh dari bunda dan adikmu,” ucapannya kembali berusaha menahan butiran Kristal agar tidak terjatuh.
“Dokter, tangannya mulai bergerak” teriakan bidan Mesillia menangis terharu…
“Ngea ngea ngea ngea ngea ngea…” tangisan keras mulai memenuhi ruangan.
“Dia menangis, dokter.” Semua orang dalam ruangan menjatuhkan air matanya.
Secara manusia, tidak ada harapan untuk menyelamatkan bayi kembar ini, namun, diluar dugaan medis terdapat kehangatan seorang ibu memberikan kekuatan. Inilah perbedaan dunia medis dan ucapan seorang ibu, terkadang jauh berlawanan arah. Malaikat kecil berjuang untuk kembali, oleh karena dekapan sang ibu jauh lebih kuat dibandingkan apapun juga. Sekalipun masih harus berada dalam incubator oleh karena berat badannya dibawah normal, setidaknya dia kembali untuk memperlihatkan kehidupan.
“Malaikat kecil kembali untuk menjadi penyemangat sang bunda,” tangan mungilnya dalam sebuah kotak incubator terus saja menggenggam kuat jari telunjukku.
“Lucunya,” Rehyind kembali menghadirkan senyum dihadapanku.
“Kau mau makan?” sepertinya mendengar bunyi perut Rehyind karena kelaparan.
“Tentu saja,” semangat Rehyind mengacak-acak seluruh rambutku.
“Kalian berdua sebenarnya itu sahabat atau sepasang kekasih?” sindiran dokter Vanya menampakkan wajah tidak senang.
“Memangnya kenapa?” Rehyind makin berada disampingku.
“Karena saya sejak dulu menyukai dokter Juan,” rasa cemburu menguasai dokter Vanya, sebelum akhirnya pergi dari hadapan kami.
“Wow, anak pemilik rumah sakit menyukai dirimu!” kata-kata Rehyind ternganga,
“Gadis bodoh, satu-satunya gadis berharga bagi perjalananku hanyalah dirimu.” Gerutuku jauh di dasar hati, berusaha menyembunyikan segalanya. Rasa takut jauh lebih kuat, andai kata dia menyadari kemungkinan besar kami tidak akan pernah sedekat ini. Rehyind pasti membenci bahkan menjauhiku, hingga menciptakan jarak diantara kami.
“Jangan dengarkan dokter Vanya, ayo kita makan,” menarik tangannya menuju sebuah kantin rumah sakit. Tertawa, bercanda, menceritakan kejadian-kejadian terbaru selama berada di tempat kerja itulah kegiatan kami setiap kali bersama. Rehyind selalu ada membuatku tetap berjalan apapun keadaanku.
“Dokter Juan,” seorang ibu berjalan ke hadapan kami.
“Ibu Halim, bagaimana keadaan si’kembar?” Rehyind begitu saja bertanya, rasa penasaran ingin mengetahui perkembangan si’kembar.
“Ini Rehyind sahabat saya, jangan heran kalau dia tahu tentang keadaan ibu dan si’kembar,” menjawab pertanyaan dengan begitu saja terbaca olehku pada wajah ibu Halim.
“Oh rupanya seperti itu,” senyuman ibu Halim kembali hadir. Rehyind memaksa untuk menjenguk keadaan si’kembar dan bagaimana perkembangannya sekarang. Memasuki ruangan perinatologi menuju 2 buah inkubator dimana saling berdampingan terdapat 2 anak kembar.
“Maaf kalau saya sedikit lancang, apakah ibu masih mengharapkan ayah dari si’kembar kembali hadir ke tengah kalian?” pertanyaanku mencari tahu kehidupan pribadi ibu Halim.
“Seburuk apapun tingkah lakunya yang sekarang, saya tetap ingin memperjuangkan dia untuk menjadi ayah terbaik bagi si’kembar.” Jawaban seorang ibu terbungkus pergumulan luar biasa.
“Mengeluh ataupun kecewa terhadap keadaan terlebih Tuhan, lebih menghancurkan kehidupan kami. Tidak perduli seberapa lama saya harus menunggu, tapi suatu hari kelak semua akan terbayar.” Pondasi terkuat bahtera rumah tangga adalah ketangguhan seorang wanita untuk terus memperjuangkan keluarganya. Tidak perduli seberapa buruk pasangannya, dia tidak akan pernah berhenti berjuang. Tidak perduli seberapa besar luka bermain, dia akan tetap bercerita bahwa suaminya merupakan ayah terbaik kepada anak-anaknya.
BAGIAN SEMBILAN...

REHYIND...
Mendengar jawaban seorang ibu dengan perjuangan luar biasa bagi kedua buah hatinya memiliki kisah tersendiri. Andai kata saya memiliki seorang ibu seperti dia, betapa bahagianya kehidupanku. Orang tuaku tidak pernah berpikir panjang, mengambil jalan pintas demi keegoisan mereka masing-masing. Saya terbuang bahkan tidak pernah merasakan kasih sayang sedikitpun, mereka tidak pernah mencariku.
“Apakah saya harus membenci mereka?” foto mereka masih tersimpan baik di kamarku. Andai kata, mereka berada di hadapanku apakah kalimat serapah akan saya lemparkan luar biasa hingga lukaku dapat terbayar.
“Rehyind apa yang kau pikirkan?” Juan membangunkan lamunanku.
“Tidak ada,” berusaha menutup perasaanku.
“Saya tahu sekarang Rehyind memikirkan apa?”
“Memangnya kau adalah Tuhan bisa menebak isi hati,” cibiranku.
“Kan dipelajari dari raut wajah.”
“Hahahahahahahaha...” aktifitasku setiap bersama sahabat terbaikku. Bersamanya saya dapat tertawa lepas setiap saat, tanpa harus menjadi orang lain.
“Juan, sepertinya saya harus kembali ke kantor,” secepatnya jaket beserta ransel kutarik dari pangkuannya.
“Rehyind...” Teriak Juan, namun tidak kuperdulikan terus saja berjalan menuju parkiran. Mengendarai sebuah motor menggunakan kecepatan diatas rata-rata alias ngebut istilah orang Jakarta. Demi menghindari seorang anak kecil, namun...
“Auuuwwwwww...” kaki serta tanganku terluka akibat terjatuh dari motor.
“Kau tidak apa-apa,” suara manis seseorang.
“Cakepnya,” mataku tidak berkedip sedikitpun memandang pemuda tampan. Alisnya tebal seperti Juan, tapi dia jauh terlihat lebih keren.
“Terpesona akan ketampananku yah,” senyuman masih saja terpampang jelas hingga menghanyutkan hatiku.
“Siapa bilang, kepedean.” ujarku tersadar akan luka pada tangan serta kaki.
“Namaku Briand, siapa namamu?”
“Panggil saja Rehyind,” meniup-niup luka sekitar lututku.
“Saya seorang dokter, boleh saya periksa?”
“Berarti seperti Juan dong,”
“Siapa itu Juan?”
“Sahabat terbaikku, bedanya Juan tidak memiliki wajah blaster bule seperti dirimu.”
Briand mengambil sebuah kotak dari mobilnya, memeriksa luka-lukaku. Pertama kalinya, seorang Rehyind dapat berinterksi tanpa rasa bosan bersama lawan jenisnya selain Juan. Berkenalan dan bercerita tentang banyak hal membuatku semakin ingin mengenal diri Brian. Beberapa mantanku benar-benar terlihat membosankan bahkan hubungan kami hanya bisa bertahan hitungan bulan saja.  Setiap hari Brian terus saja menelpon, bahkan mengatakan berbagai hal menarik hingga membuatku tertawa sejadi-jadinya.
Setiap bertemu Juan, pastinya pembicaraanku hanya akan mengarah pada Brian. Pemuda tampan, berkarisma, tinggi, berotot, seorang dokter spesialis, berwibawa, bahkan integritas dalam dirinya dapat dinilai saat berbicara semata. Tuhan, apakah Saya benar-benar menyukai seorang Brian? Berusaha memperlihatkan sisi feminim saat berada dihadapannya, itulah yang kulakukan.
“Rehyind tidak pernah lagi memperlihatkan batang hidungnya dihadapanku,” bahasa Juan terdengar sedikit kesal.
“Karena Brian setiap hari menjemputku di kantor, bahkan mengajakku jalan menyusuri ibu kota setiap saat jika libur,” jawabanku berusaha merapikan dandanan.
“Oh begitu,”
“Rehyind,”hampir tidak mempercayai bahwa suara itu berasal dari Brian. Ternyata Brian bekerja di rumah sakit yang sama dengan Juan tanpa kusadari.
“Ternyata ini Brian yang dimaksud, seorang dokter lulusan luar negeri.” kalimat Juan.
“Wow, ternyata kalian berdua sahabat rupanya.” Kata-kata Brian.
“Dokter Juan paling terkenal disini sekaligus sahabat terbaikku sampai kapanpun.” mengambil jas putih Juan kemudian mengenakan pada tubuhku.
“Kalian benar-benar terlihat sahabat yah,” senyum simple Brian.
“Seperti itulah dunia kami berdua.” jawaban Juan.
“Sepertinya ada hal yang harus saya selesaikan,” Juan bangkit dari sebuah kursi sekitar area taman rumah sakit.
“Juan,” nada kesalku.
“Seberapa pentingnya seorang Juan bagi kehidupan Arelhyind?” nada-nada berbeda penuh penekanan dari Brian mengarah mengarah ke hadapanku, setelah Juan meninggalkan kami.
“Kenapa berbicara seperti itu?” tidak memahami arah pembicaraannya.
“Karena saya cemburu melihat kedekatan kalian, Rehyind berbeda dari gadis manapun itulah yang membuat rasa suka makin bermain membungkus diriku sekarang.” Jawaban seorang Brian membuatku tidak dapat berbicara sedikitpun.
“Rehyind dapat membuat duniaku tertawa, tersenyum, penuh canda, seseorang yang dapat memahami pola pikir seperti apa bermain bagi perjalananku.” Brian memecah keheningan setelah beberapa saat kami tidak berbicara satu katapun.
“Pertama kali kehidupanku benar-benar ingin menjalani hubungan serius dan tidak main-main,” Brian makin membuatku tidak dapat berkata-kata. Bukankah ucapan seperti inilah yang ingin kudengar dari mulutnya.
“Dia menyatakan perasaannya” suara hati pecah di dalam.
“Rehyind,”
“Juan hanya sebagai sahabat buatku, sejak dulu kami selalu bersama-sama seperti adik kakak saling memberi support satu dengan lainnya.”
“Syukurlah,” perasaan lega terlihat jelas pada wajahnya.
“Jadi, mulai hari ini kita berdua berpacaran, bagaimana menurutmu?” Brian kembali berbicara, sedangkan saya hanya menganggukkan kepala tanpa ada kata penolakan sedikitpun. Setiap hari Brian selalu mengantar bahkan menjemput di kantor. Beberapa kali menjalin hubungan dengan beberapa pria, namun Brian membuatku ingin bertahan tetap di sampingnya. Ternyata Brian merupakan rekan kerja Juan terbaru di rumah sakit. Anak pemilik rumah sakit besar, tidak lain merupakan kakak kandung dari dokter Vanya.
Ada hal seakan terganjal dalam benakku, mengapa seakan Juan menciptakan jarak diantara kami? Dia sahabat terbaikku, bertahun-tahun kami selalu bersama melewati suka duka kehidupan. Andai kata, saya menjadi istri dokter Brian, berarti Juan akan menjadi iparku. Dokter Vanya sangat menyukai Juan, terlihat jelas bagaimana dirinya berjuang hebat mendapatkan pria impiannya alias sahabatku sendiri.
“Juan berarti kita berdua akan menjadi ipar, kalau seandainya itu terjadi.” Merasa lucu sendiri menatap foto culun kami ketika berada di bangku SMU. Brian begitu perhatian luar biasa, setiap hari membawa bekal makan siang buatku di kantor. Memberikan sebatang coklat ataupun setangkai bunga tanpa ada rasa bosan sedikitpun. Mengirimkan begitu banyak pesan sebelum saya sendiri tertidur lelap. Akun sosmed Brian dipenuhi foto-fotoku baik twitter, instagram, facebook, WA, line, BBM dan banyak lagi.
Penggemar Brian banyak, pengikutnya saja di instagram memasuki hitungan M mengalahkan para arti ibu kota. Dia lebih terkenal dari yang kubayangkan sebelumnya, kemungkinan karena paras wajah blaster termasuk jenis pekerjaan Brian sekarang. Dia merupakan pewaris dari rumah sakit besar tempat Juan bekerja. Semua perawat, suster, dokter, dan tenaga medis lain di rumah sakit mengidolakan dirinya.
“Kudengar Juan membuat surat pengunduran diri di rumah sakit?” Brian tiba-tiba mengungkapkan sesuatu hal.
“Apa…” teriakanku.
“Tidak mungkin, karena dia tidak mempunyai masalah apapun.” Wajahku terus saja melukiskan keterkejutan luar biasa. Kenapa harus dari mulut Brian mendengar kalau Juan mengundurkan diri? Apakah Juan memang sengaja merahasiakan hal ini dariku?
“Kau mau kemana?” Brian mengejarku dari arah belakang…
“Ingin mencari Juan untuk meminta jawaban,” kakiku terus berlari sedemikian rupa.
“Apakah Juan benar-benar berharga bagi kehidupanmu?” pertanyaan Brian menghentikan kakiku.
“Juan sahabat terbaik, pasti ada sesuatu mengapa dia membuat surat pengunduran diri.”
“Rehyind tetaplah bersamaku selama beberapa saat disini,” Brian memegang erat tanganku seakan sesuatu hal terlukis jelas pada wajahnya.
“Jangan mencari Juan hari ini, kumohon” Brian memohon sambil terus memegang erat tanganku. Kenapa tingkah aneh Brian membuatku makin tidak mengerti?
“Kumohon,” kalimat Brian semakin menggenggam erat tanganku. Menemani Brian atau mencari Juan demi meminta sebuah jawaban apakah benar berita surat pengunduran dirinya. Beberapa saat mengikuti kemauan Brian, namun hatiku seakan gelisah ingin segera berlari mencari Juan. Ponsel Juan tidak diaktifkan sama sekali, sekarang dia ada dimana?
“Rehyind…” teriak Brian mengejarku kembali saat memutuskan beranjak dari hadapannya mencari Juan.
“Maaf, saya ingin mencari Juan sekarang” tanpa memperdulikan suara Brian terus berjalan menuju sebuah jalan raya besar sekitar pusat perbelajaan.
“Brukkkkkkkkk…” suara tabrakan keras dari arah selatan terdengar jelas.
“Brian,” teriakku melihat Brian berlumuran darah.
“Rehyind jangan pergi, tetap disisiku.” Kalimat terakhir Brian sebelum akhirnya tidak sadarkan diri. Brian dilarikan ke rumah sakit, sedangkan saya terus saja menangis selama perjalanan.
“Apa yang terjadi dengan dokter Brian,” pertanyaan salah satu perawat rumah sakit.
“Rehyind,” suara dokter Sabe.
“Dokter selamatkan Brian, jangan biarkan terjadi sesuatupun dengan dirinya.”
“Rehyind harus tenang,” dokter Sabe memelukku sebelum akhirnya pergi memeriksa berlari melihat kondisi Brian. Seluruh tubuh Brian dipenuhi alat-alat medis, sama seperti peristiwa kecelakaan yang telah kualami tidak lama setelah menginjakkan kaki di ibu kota.
“Rehyind, jangan pergi tetaplah bersamaku.” Brian mengigau terus menerus.
“Dokter Brian pasti bisa melewati masa kritisnya, jangan khawatir.” Dokter Sabe terus saja memelukku.
“Dokter, bagaimana keadaan kakakku?” dokter Vanya begitu khawatir melihat kondisi Brian terbaring tidak sadarkan diri hanya mengigau menyebut nama Rehyind. Kedua orang tua Brian benar-benar cemas melihat kondisi putra mereka.
“Tetaplah berada di sisi Brian anakku,” suara seorang ayah memohon luar biasa di hadapanku.
“Dia hanya menyebut namamu seorang, bukan orang lain.” Kalimat seorang ayah menginginkan anaknya tetap bertahan hidup.
“Rehyind, bisa kita bicara sebentar?” dokter Sabe membawaku ke ruangannya tanpa memperdulikan orang tua Brian di hadapanku.
“Rehyind, apakah kau sudah dengar berita pengunduran diri Juan di rumah sakit ini.” Memulai pembicaraan dengan pintu terkunci rapat.
“Entahlah, saya sendiri tidak mengerti.” Jawabanku terhadap dokter Sabe.
“Juan menitipkan ini sebelum meninggalkan rumah sakit dan Negara ini.”
“Juan benar-benar pergi,” seakan mulutku benar-benar histeris ingin menangis sejadi-jadinya.
“Kenapa Juan tidak pernah mengatakan ini sebelumnya?” tidak memahami watak Juan tiba-tiba berubah begitu saja.
“Juan tidak memberitahukan apapun ke Negara mana kakinya saat ini berpijak. Entahlah,” kata-katanya menyerahkan sebuah amplop berisi surat.
“Katanya sahabat sejati, ternyata semua itu bohong.”
“Rehyind, tenangkan dirimu”
“Dokter, seakan saya ini tidak berharga sama sekali dimatanya.”
“Rehyind,”
“Dokter, andai kata saya dianggap sebagai sahabat lantas kenapa Juan harus menyembunyikan surat pengunduran diri bahkan tidak ada kata pamit sedikitpun.”
“Hanya Tuhan dan Juan saja yang dapat menjawab semua pertanyaanmu.”
Sekian tahun kami selalu bersama, hingga akhir cerita berpisah tanpa ada kata pamit sedikitpun. Menangisi sahabat terbaik serta bertanya-tanya penyebab surat pengunduran dirinya secara tiba-tiba. Senyuman Juan selamanya tidak akan pernah menghias duniaku sekarang. Hanya meninggalkan sepucuk surat tanpa ada kata pamit di hadapanku…
Teruntuk,
      Arelhyind…
Kalau kamu membaca suratku sekarang, berarti saya sudah tidak lagi bersama sahabat terbaik. Saya tidak akan pernah lupa bagaimana kita berdua menjadi sahabat. Berjuang, tertawa, menangis, suka, duka selalu dilewati bersama-sama. Jangan bersedih terlebih bertanya mengapa saya meninggalkan Negara ini tanpa berkata apapun di hadapanmu? Tetaplah menjadi Rehyind dengan kekuatan super hingga kelak hasil karyanya menjadi rebutan sesuai mimpimu.
Saya mendapat beasiswa dari sebuah Negara untuk melanjutkan kuliahku. Kita sama-sama mempunyai mimpi, sekarang waktunya mimpiku harus terwujud. Kelak seorang Juan ingin mempunyai sebuah rumah sakit sendiri, namun beberapa rintangan harus kulewati. Semoga kau berbahagia hidup berdampingan bersama si’jenius dokter Brian rumah sakit. Kelak saya ingin mengembangkan dunia kedokteran melalui berbagai terobosan hasil karyaku. Jangan menangis hanya karena sahabatmu tidak akan pernah berada dihadapanmu lagi.***                                                                                               JUAN…
“Tuhan, apakah cara seperti ini saja di benaknya?” hatiku terus bertanya-tanya. Di satu sisi terdapat Brian sedang memperjuangkan dirinya untuk hidup, sedangkan di sisi lain sahabat terbaikku menghilang tanpa jejak. Beberapa hari menunggu kesadaran Brian kembali, terus berada di sampingnya.
Mengingat memori setiap melihat ruangan Juan, bagaimana karakternya sebagai seorang dokter. Juan tidak pernah sedikitpun membeda-bedakan pasien baik kaya maupun miskin. Selalu menjadi dokter terbaik tanpa harus lebih memilih uang dibandingkan nyawa seseorang. Pengalaman sewaktu kecil membuatnya menyadari bahwa seorang dokter harusnya memberikan kasih saying penuh ketulusan bukan melihat uang. Lebih memilih menolong nyawa dibandingkan menilai segala sesuatu hanya dari segi materi.
Akhirnya Brian bangun dari tidurnya selama beberapa hari terbaring koma. Berada di samping Brian sebagai bayaran atas kesalahanku saat itu. Andai kata saya mengikuti kemauan Brian, tentu dia tidak akan mengalami peristwa kecelakaan tersebut. Brian dapat kembali bekerja setelah 3 bulan dinyatakan sehat oleh pihak rumah sakit. Karakter Brian dan Juan saat berhadapan dengan pasien berbeda. Juan akan selalu berada di samping pasien bahkan paling termiskin tanpa sepersen uang sekalipun. Jauh dari Brian meninggalkan pasien begitu saja serta menyuruh dokter lain memberikan perawatan biasa.  “Rehyind,” sapa dokter Sabe di hadapanku.
“Dokter, mau kemana?” tegurku.
“Justru saya yang bertanya, kenapa pagi-pagi sekali berada di rumah sakit ini?”
“Rehyind…” teriak seseorang benar-benar mengenalku.
“Marta,” segera memeluk dirinya.
“Astaga, pirang taun tae kutiro te sangbaineku mesa (Astaga, sudah berapa tahun saya tidak pernah melihat sahabatku yang satu ini).” Bahasa asli Marta keluar begitu saja…
“Majamah indeko, oh na tae kutandai tongan (Kamu kerja disini, oh kenapa saya benar-benar tidak tahu tentang hal ini).” Ujarku.
“Mamali liuna mukua (Saya benar-benar merindukanmu).” Celoteh Marta.
“Mane mattamana tee, (Saya baru masuk disini)” jawaban Marta. Ternyata sahabat sewaktu di kampung sekarang menjadi seorang bidan. Hubungan kontak kami putus semenjak saya masih berada di kampung. Marta meninggalkan Jakarta setelah saya dan Juan menginjakkan kaki pertama kali di ibu kota. Marta akhirnya dipindah tugaskan menjadi seorang bidan di rumah sakit ini. Dia sama sekali hamper tidak mempercayai, kalau saya menjalin hubungan dengan anak pemilik rumah sakit.
BAGIAN SEPULUH…

JUAN…
Tiga tahun berlalu meninggalkan Indonesia dan berada di Negara orang. Jauh lebih baik menghindari kehidupan Rehyind dibandingkan terus berada bersama dengannya. Terlebih Rehyind telah memiliki Brian salah satu anak dari pemilik rumah sakit. Dia terlihat lebih bahagia, semenjak mengenal Brian ada begitu banyak perubahan dalam kehidupannya. Tidak pernah lagi berada di rumah sakit  mencari bahkan menyuruh membayar makanannya. Istilah tertawa dan bercanda bersama tidak akan berlaku lagi, semenjak dia berada di samping Brian.
Cara tepat untukku adalah berjuang mengubur hingga kedalaman luar biasa tentang perasaanku. Semakin berjuang membuatnya hilang, perasaan itu makin bermain kuat membungkus hidup. Saya sudah lama merencanakan hal seperti ini, memilih meninggalkan Indonesia merupakan cara paling tetap jauh dari Arelhyind. Menyibukkan diri dengan berbagai hal di Negara asing merupakan cara paling tepat. Aktifitas keseharianku hanya berada di rumah sakit dan laboratorium mencari sebuah alat bagi perkembangan medis. Saya lulus kuliah tidak lama dikarenakan Tuhan memberikan tingkat kemampuan luar biasa untuk menyelesaikan dalam waktu sangat singkat.
“Rumah sakit berstandar internasional serta sebuah transportasi terbaru guna memberikan pertolongan pertama pada sebuah kasus medis.” Tanganku terus saja menyibukkan diri di kamarku.
“Saya harus menemukan alat-alat ini,” tanganku terus saja memainkan beberapa alat serta menyusunnya atau mempelajari. Aktifitasku habis di ruang laboratorium selama ini mencari alat transportasi terbaru bagi dunia medis. Pemerintah Jerman memberi bantuan luar biasa guna mendukung alat tersebut.
Meneliti sebuah alat guna perkembangan alat medis ke depan, tentang transportasi terbaru diperuntukkan hanya bagi pasien bukan untuk umum. Terdapat halte di setiap area yang diinginkan baik sekitar perumahan, pelabuhan, jalan raya, bandara, pabrik, dan banyak lagi. Transportasi ini membentuk sebuah kotak sama seperti lift yang terdapat di tiap gedung, perbedaannya lift bersifat hanya sekitar satu gedung semata, sedangkan kotak ini bersifat ke beberapa tempat. Dalam ruangan kotak tersebut, terdapat dokter, perawat, atau bidan ditemani berbagai peralatan medis. Alat-alat yang dimaksudkan disini yaitu peralatan infuse set, eco, oksigen, tabung oksigen, obat-obatan, darah.
Transportasi ini dihubungkan ke semua rumah sakit yang bekerja sama, jadi dokter serta tenaga medis di dalam harus bersikap netral terhadapa seluruh rumah sakit. Terdapat 2 tombol pada sekitar halte tersebut, biru dan merah. Jika seseorang menekan tombol biru, maka di tujukan bagi pasien yang akan segera melahirkan, special bagi pasien partus dalam bentuk apapun baik fisiologis terlebih patologi. Jadi terdapat seorang dokter obgin, dokter anak, dan 2 bidan. Peralatan yang ada pun bersifat partus seperti alat-alat partus,mesin sterilisasi, USG, dopler, alat tensi, 1 set alat operasi jika keadaan benar-banar darurat segera mengambil tindakan sesar.
Tombol merah di arahkan pada pasien umum, kecelakaan, jantung, dan lain sebagainya. Dalam ruangan kotak ini terdapat beberapa dokter spesialis seperti dokter umum, bedah, jantung, paruh, dan perawat.  Peralatan harus lengkap di dalam seperti oksigen, eco, infus set, obat-obatan, dan lain-lain. Sebagai contoh seseorang mengalami kecelakaan di sebuah jalan A, sekitar area tersebut terdapat halte transportasi medis maka seseorang harus menekan tombol merah. Dengan sendirinya pintu akan terbuka sama seperti lift, segera korban kecelakaan dibawah masuk ke dalam serta diberi pertolongan pertama. Dokter dan perawat memeriksa TTV, pemasangan infuse, atau jika darurat memasang beberapa alat sesuai diagnose.
Wali dari pasien tersebut mengambil keputusan, rumah sakit mana yang akan dituju, dokter dan perawat hanya sekedar memberi pertolongan pertama, kemudian mengarahkan pada salah satu rumah sakit yang bekerja sama. Kemudian dokter ataupun perawat berada di depan sebuah monitor, menekan beberapa petunjuk. Monitor tersebut terdapat sekian rumah sakit, tinggal memilih pilihan rumah sakit apa…
Setelah menekan pilihan, maka secara otomatis kotak transportasi tersebut berjalan ke arah rumah sakit yang telah ditentukan sebelumnya. Sama seperti lift jika menekan tombol 2 maka akan naik ke lantai 2 dan seterusnya, system kerja dari transportasi ini sendiri seperti itu. Seluruh biaya akan disatukan dengan rumah sakit tempat pasien dirawat. Jadi, dibuat saluran jalan transportasi ini sekitar bawah tanah atau sesuai keinginan sama seperti rel kereta.
Untuk menanggulangi angka kematian ibu dan anak, maka harus secara terpisah. Tombol biru terdapat kotak dimana seorang dokter obgin, dokter anak, dan bidan. Jika seorang ibu akan segera melahirkan, terdapat halte terdekat pihak keluarga segera ke sana. Menekan tombol biru, untuk secepatnya mendapat bantuan. Transportasi ini sangat memberi manfaat bagi banyak orang, selain menghindari kemacetan juga pasien secara langsung tertangani tanpa harus menunggu.
“Tinggal sedikit lagi pasti membuahkan hasil,” mengotak-atik layar sekitar ruang laboratorium. Bunyi nada dari hand phoneku membuatku harus meninggalkan laboratorium. Menemui seseorang di suatu tempat, tidak ada merupakan rekan sesama dokter sewaktu di Indonesia.
“Dokter Juan,” seseorang menepuk bahuku hingga saya sendiri terkejut.
“Dokter Sabe, sudah lama menungguku?” menyempatkan diri menemuiku, secara kebetulan kami bertemu rumah sakit tempatku bekerja di Jerman. Dokter Sabe mendapat beasiswa dari pemerintah Indonesia menyelesaikan studinya di Jerman.
“Saya baru saja datang, sama seperti dirimu,” jawabannya. Dia banyak bercerita tentang Rehyind dari awal bertemu hingga sekarang. Bagaimanapun perasaan itu buatnya berusaha kulenyapkan, namun tidak pernah bisa.
“Kau tidak pernah membaca berita tentang Rehyind?”
“Saya tidak ingin mengetahui keadaannya,” jawabanku menunduk berusaha menarik nafas dalam-dalam.
“Rehyind sekarang menjadi salah satu arsitek paling diakui oleh internasional. Karya-karyanya hampir terdapat di banyak Negara. Sebentar lagi, dia akan berada di Negara ini membuat sebuah desain kota guna pemasukan devisa.” Ucapan dokter Sabe.
“Akhirnya mimpi Rehyind tercapai juga,”
“Rehyind dan Brian sudah bertunangan, sebentar lagi mereka akan menikah.” Jantungku begitu sakit mendengarnya, tidak lama lagi secara total dia akan menjadi milik orang lain. Dokter Sabe menjelaskan jika Rehyind sudah tidak tinggal di Indonesia melainkan berada di Negara lain. Dokter Brian siap tinggal di Negara tempat Rehyind bekerja sekarang, sedangkan rumah sakit dikelola oleh dokter Vanya adiknya sendiri.
“Demi cinta dia rela melakukan apapun,” ujarku berusaha tidak memperlihatkan rasa kekecewaan.
“Apakah kau masih menyimpan cinta buatnya?”
“Dia sekarang menjadi milik orang lain, sejak dulu hingga sekarang Rehyind hanya menganggapku sebagai sahabat tidak lebih.” Berjuang untuk tidak memperlihatkan kekecewaan paling mendalam.
“Sampai kapan kau akan terus diam seribu bahasa seperti ini, saya merasa Rehyind memiliki perasaan yang sama denganmu hanya dia tidak pernah menyadari semua itu.” Ucapannya membuatku terkejut.
“Dokter tidak berkata apa-apakan terhadap Rehyind, jangan sampai…”
“Kau tenang saja, saya tidak pernah mengatakan tentang perasaanmu terhadap Rehyind. Tapi, ini kesimpulan sejak kepergianmu dari hidupnya.”
“Semua sudah terlambat dokter, karena sebentar lagi Rehyind akan menjadi milik dokter Brian. Tidak ada gunanya membahas masa lalu.” Kata-kataku.
“Saya kasihan melihatmu,”
“Maksud dokter berkata seperti itu?” membuatku sedikit risih…
“Sejak awal hanya Juan yang selalu ada buat Rehyind bukan Brian. Susah, suka, duka, tertawa, dan banyak lagi dirasakan bersama-sama. Pengorbanan Juan hanya demi membayar biaya operasi Rehyind pada akhirnya mengorbankan masa depanmu sendiri selama beberapa tahun bukan Brian.” Mencoba mengingatkan kembali memori-memori tersebut.
“Semua itu tidak ada hubungannya dengan masa sekarang,”
“Juan harus tahu bahwa yang selalu berdiri di samping Rehyind sejak dulu bukan siapa-siapa melainkan dirimu. Brian hadir hanya pada saat Rehyind telah melewati seluruh masa kritis dalam perjalanannya.” Ungkapannya mencoba membuka mataku…
“Rehyind sampai kapanpun hanya menganggapku sebagai sahabat tidak lebih dari itu.”
“Juan, defenisi cinta sejati lebih mengarah terhadap sepasang hubungan yang dibangun mulai dari nol bersama-sama. Hadir dalam kehidupan bukan ketika pasangan bukan ketika dia mulai berada pada zona kenyamanan, melainkan…”
“Melainkan apa dokter,” pertanyaanku.
“Melainkan hadir disaat semua pergi menjauh, menghapus air matanya, menjadi penyemangat serta pemberi kekuatan pada area paling kritis dalam kehidupannya. Kehadiran Brian hanya disaat Rehyind telah melewati zona terburuk, tetapi dirimu selalu berada setiap saat pada zona terburuk dari Rehyind setiap saat.”
“Entahlah dokter, semua itu hanya masa lalu…”
“Rehyind hanya tidak menyadari perasaannya sekarang ini, kenapa? Karena kau tidak pernah membuka matanya.”
“Dari pada membahas tentang Rehyind, mending dokter aku ajak ke laboratorium tempatku meneliti sebuah alat medis.” Tidak tahu kenapa, saya tidak ingin lagi mendengar kisah asmaraku terlampui menyedihkan.
“Juan jangan mengalihkan pembicaraan,”
“Dokter kumohon sekali saja jangan berbicara apapun tentang masa lalu.” Menyodorkan segelas jus alpukat di hadapannya.
“Baiklah, kalau itu maumu…” dokter Sabe mengikutiku dari belakang menuju sebuah mobil di pinggir jalan. Setengah jam kemudian, kami akhirnya tiba di sebuah ruang laboratorium besar.
“Wow, tidak kusangka kehidupan Juan benar-benar drastic.”
“Ada hal lebih menggemparkan dokter,”
“Apa itu, coba katakan Juan?”
“Sebentar lagi saya rumah sakit milikku sendiri ada di Negara ini. Jenis rumah sakitnya berbeda dari sekitarnya terlebih penemuanku tentang sebuah transportasi kesehatan akan dipromosikan besar-besaran oleh pemerintah Negara ini.” Kalimatku.
“Kau benar-benar sukses luar biasa sekarang Juan,”
“Seperti yang dokter lihat, bagaimana saya berkembang di Negara orang.” Kata-kataku tersenyum.
“Sistem perencanaan seperti apa membungkus rumah sakitmu nanti? Penasaran.”
“Desainnya gedungnya dibuat berbeda, sedangkan bagian dalam saya sengaja membuat ruangan tersendiri baik dari segi sterilisasi, tempat sampah medis, obat-obatan dan lain sebagainya.” Jawabanku.
“Maksudnya, saya sama sekali tidak mengerti?” pertanyaan dokter Sabe.
“Masing-masing ruangan akan dihubungkan ke beberapa tempat memakai saluran tidak terlihat. Salah satu contoh dalam sebuah rumah sakit tidak perlu repot-repot menyediakan tempat sampah dimana terbagi menjadi tempat sampah infeksius, non infeksius, box safety, dan tempat sampah umum.” Kalimatku.
“Jadi, pembuangan sampahnya dimana coba?”
“Setiap ruangan, akan terpasang sebuah kotak terdiri atas beberapa bagian, diantaranya tempat sampah infeksius, non infeksius, box safety, umum. Kotak tersebut akan secara langsung menghubungkan ke satu pusat tempat sampah yang telah ditentukan jauh dari ruangan. Contoh, membuang sampah kategori infeksius sesuai tempat dari kotak tersebut, secara otomatis sampah yang masuk akan langsung berjalan melalui saluran pipa menuju pusat pembuangan sampah dari rumah sakit.”
“Jadi…”
“Jadi, rumah sakit akan membangun gedung tersendiri bagian belakang, jauh dari seluruh ruangan sehingga sampah-sampah tersebut lebih mudah penyatuannya tanpa harus keliling ke berbagai ruangan memungut serta memakai kantong plastik besar pada masing-masing bak sampah.” Penjelasanku lebih lanjut.
“Wow, lebih menjamin tingkat kebersihan juga,” kalimat dokter Sabe.
“Masih ada lagi,” kataku.
“Apa itu?”
“Dalam kamar pasien terdapat pula sebuah kotak selain kotak sampah.”
“Juan, gunanya untuk apa?”
“Kotak ini juga hanya satu, namun pusat pengambilan beberapa benda seperti infuse set, obat-obatan, cairan infuse, alat-alat pembersih sesuai kebutuhan dari suatu ruangan. Jika ingin mengambil infuse set atau hanya sekedar cairan infus maka tinggal menekan petunjuk layar monitor yang tersedia.” Kata-kataku.
“Sama seperti mesin ATM perbedaannya monitor ini tidak memakai alat untuk mengambil kecuali menekan passport pada layar. Terdapat beberapa pilihan, menekan tulisan satu set infuse, secara otomatis akan mengeluarkan sesuai permintaan.” Tambahan penjelasanku.
“Hanya kotak dan tidak terdapat lemari dibelakangnya?” pertanyaannya.
“Ini sama seperti kotak tempat sampah, sebuah ruangan besar telah disediakan untuk menghubungkan semua bahan dan alat yang dibutuhkan masing-masing ruangan. Secara otomatis infuse set pada ruangan besar tersebut akan berjalan dengan sendirinya menuju ruangan, jika seseorang menekan monitor pada layar. Ruangan besar ini, terbagi menjadi beberapa bagian diantaranya tempat infuse set, cairan infuse semata, aboket, spoit, hand scoen steril maupun non steril, kasa steril maupun kapas, alcohol, betadine, peralatan-peralatan lain secara terpisah dan lain-lainnya.” Jawabanku kembali menjelaskan.
“Bagaimana jika alat-alat sterilisasi yang telah digunakan atau katakanlah pada ruangan bedah operasi?”
“Oleh karena itu dibuatkan pula satu ruangan besar khusus bagian sterilisasi menghubungkan ke semua ruangan pula. Jadi, seluruh alat yang telah di sterilkan dikemas dalam plastic, kemudian diletakkan pada tempatnya dimana akan menghubungkan ke seluruh ruangan masing-masing. Kesimpulannya, ruangan sterilisasi dibagi menjadi beberapa tempat yang akan menghubungkan masing-masing ke ruangannya.” Penjelasanku.
“Masing-masing ruangan pula baik ruang bedah maupun kamar pasien seperti bangsal atau VIP terdapat kotak lagi, tempat mengirimkan alat-alat yang telah dipakai menuju ruangan sterilisasi tanpa harus melakukan pencucian terlebih dahulu. Ruangan sterilisasi akan menyelesaikan semua baik dari segi mencuci maupun mematikan kuman atau mensterilkan memakai alat tertentu.” Tambahan penjelasanku.
“Kalau ruangan operasi bedah?”
“Bagi ruangan operasi bedah,  sama seperti ruangan lainnya terdapat beberapa kotak pula yang telah diotomatiskan.” Ucapanku.
 “Jadi setiap ruangan terdapat sebuah kotak sampah terbagi menjadi beberapa bagian terhubung pusat pembuangan sampah rumah sakit, kotak pengambilan alat dan bahan kebutuhan rumah sakit seperti infuse set, alat sterilisasi, darah, obat-obatan,pakaian, seprei dan lain sebagainya, kotak untuk mengirim alat-alat yang telah dipakai menuju ruang sterilisasi agar disterilkan kembali.” Kembali bibir mulutku menjelaskan.
“Juan,dari tadi kau mengatakan obat-obatan dan darah, tapi obat-obatan diambil di apotek sedangkan darah tersedia ditempat khusus. Bagaimana jalan ceritanya?”
“Satu kotak khusus tempat mengambil seluruh bahan atau alat steril maupun non steril juga akan dihubungkan ke apotek. Hanya dengan menekan sesuai petunjuk monitor, contoh ingin mengambil obat pereda demam paracetamol, terdapat pilihan tekan obat pada layar, akan muncul beberapa pilihan kategori kembali seperti obat demam, pereda nyeri, penurun bengkak, dan lain sebagainya. Lalu tekan kategori obat demam, akan diperhadapkan lagi paten dan generic. Sementara itu terdapat lagi pilihan pada paten oleh karena banyaknya merk dagang jadi sesuaikan resep dokter. Kemudian akan menghubungkan langsung pusat apotek secara otomatis.” Kalimatku menjelaskan.
“Jadi, maksudmu pihak apotek akan menerima dan mengirim jenis obat yang diinginkan. Begitu pula dengan darah, kotak ini akan langsung dihubungkan pada mesin penyimpanan darah di sebuah ruangan.” Kata-kata dokter Sabe mulai mengerti penjelasanku.
“Yah seperti itulah, lebih memudahkan pekerjaan dan mempercepat penanganan terhadap pasien tanpa harus menunggu lama. Bagaimana?” ucapanku lagi.
“Benar-benar perkembangan kedokteran secara luar biasa,”
“Inilah yang kukerjakan selama di negara orang, pemerintah Jerman memberikan bantuan dana cukup besar bagi beberapa alat yang sedang kutangani.” Kata-kataku kembali.
“Saya menyukai otak jeniusmu dokter Juan,”
“Biasa saja dokter, ini semua karena Tuhan bukan karena kekuatanku atau hal lain dari hidupku. Coba pikir, kalau dipikir-pikir bagi para penemu membutuhkan waktu cukup lama bahkan sangat lama mencari sebuah alat…” tuturku.
“Sedangkan saya hanya dalam waktu singkat menemukan beberapa alat temuan terbaru. Benar-benar mustahil bagi akal logika banyak orang. Mengandalkan Tuhan di setiap tempat hingga hal-hal terkecil akan membuat mujizat luar biasa bagi perjalanan.” Kembali saya menjelaskan bagaimana Tuhan bekerja…
“Betul betul betul…” dokter Sabe tersenyum luar biasa.
“Tidak ada kata mustahil bagi Tuhan, selama kita mengandalkan DIA seutuhnya. Percaya Tuhan tidak akan pernah mempermalukan anak-anakNYA seberapa besarpun orang-orang diluar sana yang ingin menjatuhkan ataupun melenyapkan.” Tiba-tiba saja perbendaharaan mulutku berbicara seperti ini.
“Berarti Tuhan juga akan membuat Rehyind menjadi milikmu kelak dong, sekalipun rencana pernikahan mereka telah ditentukan.”
“Dokter, permasalahan Rehyind berbeda dengan ini, jadi jangan bawah-bawah masalah perasaan ke dalam pembicaraan kita sekarang.” Rasa kesalku terlukis jelas…
Rehyind hanyalah bagian dari masa lalu bukan kehidupanku sekarang atau selamanya. Terbiasa akan kesendirian tanpa Rehyind sedang kujalani, sekalipun menyakitkan. Entah mengapa, saya masih tetap memakai desain rumah sakit hasil karya Rehyind sewaktu SMU dulu. Gedung rumah sakit milikku membentuk seperti kaktus terbungkus duri di tengah-tengah padang gurun. Selalu mengingat pernyataannya bahwa seberapa besarpun penyakit membungkus, masih terdapat secerca harapan jangan pernah berhenti menyerah.
“Wajahmu terlihat pucat bahkan kau mimisan..” tegur dokter Sabe, bekerja pada rumah sakitku setelah resmi dibuka beberapa waktu kemarin sambil menyelesaikan studinya di Negara ini.
“Saya baik-baik saja dokter,” jawabanku, namun tiba-tiba seluruh pandanganku kabur hingga tidak sadarkan diri dalam sekejap.
“Dokter Juan,” tegurnya sangat khawatir. Saat tersadar tiba-tiba saya terbaring di sebuah tempat tidur. Beberapa dokter memeriksa keadaanku lebih lanjut…
“Kenapa saya berada disini?” tanyaku pada dokter Sabe.
“Dokter Juan dari tadi kau pingsan,” jawabannya.
“Saya tidak apa-apa,” kalimatku segera bangun dari tempat tidur.
“Dokter Juan, hasil pemeriksaan memperlihatkan kalau kau terdiagnosa kanker darah. Sumsum tulangmu memproduksi sel-sel darah putih abnormal, hingga tidak dapat berfungsi dengan baik bahkan berlebihan. Mengakibatkan penumpukan dalam sumsum tulang, akhirnya sel-sel darah sehat berkurang.” Seperti tersiram air panas luar biasa di siang bolong mendengar hasil pemeriksaan.
Selama beberapa hari, saya mulai merasakan tubuh tidak sedang dalam kondisi sehat. Tidak pernah terpikir bahwa demam, menggigil, muntah-muntah , keringat utamanya di malam hari, mimisan selama beberapa waktu kemarin hanyalah penyakit biasa. Ternyata di luar dugaan seorang Juan terdiagnosa menderita penyakit kanker darah stadium lanjut.
“Apakah saya harus marah kepada Tuhan atas penyakit yang sedang menimpaku?” jeritanku bergema di dasar hati.
“Kau harus beristirahat, jangan terlalu memaksakan diri untuk bekerja…” ucapan dokter Sabe tidak menyangka hal tersebut menyerang hidupku.
“Dokter berjanjilah jangan pernah memberitahukan Rehyind tentang keadaanku.” Permohonanku tiba-tiba di hadapannya.
“Sepertinya saya tidak berjanji untuk hal ini,” seakan air matanya ingin terjatuh…
“Dokter, kumohon kabulkan permintaanku, Rehyind tidak boleh tahu hal ini.” Benar-benar memohon hingga kakiku berlutut hanya demi menjaga rahasia tersebut. Dokter Sabe dengan terpaksa memenuhi keinginanku akibat perbuatanku juga…
Saya tetap berusaha menjalani aktifitasku seperti biasa, seakan tidak pernah mendengar diagnose penyakitku sendiri. Menganggap bahwa hal tersebut hanyalah mimpi bukan kenyataan. Tuhan, ampuni saya jika penyakit ini karena dosaku yang tidak pernah kusadari hingga akhir cerita membuatMU marah terhadapku. Terimah kasih Tuhan, atas penyakitku saat ini, mengatakan hal seperti itu jauh lebih baik dibandingkan mengalami kekecewaan atu marah terhadap Tuhan.
Tuhan, pertemukan saya dengan Rehyind sebelum Engkau memanggilku. Entah mengapa saya mengucapkan seperti ini, pada hal sekian tahun berusaha menjauh dari hidup Rehyind.
BAGIAN SEBELAS…

JUAN…
Seorang Juan telah dikenal oleh banyak orang dikarenakan penemuan dan jenis rumah sakitnya. Namun, di lain hal tidak seorangpun dari mereka menyadari penyakit yang sedang kuderita sekarang. Berusaha menutupi penyakit tersebut hingga tidak menyebar keluar, itulah yang kulakukan. Terlihat seakan tidak memiliki beban sama sekali di hadapan banyak orang, namun, mereka tidak pernah tahu tentang kehidupanku.
Terik matahari tidak mempengaruhi langkahku berjalan menuju sebuah gereja siang ini. Tetap memakai jas putih lambing kedokteran, dengan kemeja biru di dalamnya. Menutup sepasang mataku serta terus berdoa kepada Tuhan. Dia mengajarkan hidupku bahwa seberapa mengerikan apa pun penyakit, tetap percaya pasti ada kehidupan, hingga pengharapan akan kesembuhan benar-benar akan menjadi nyata suatu hari kelak.
“Tuhan, menjauh dari hidupnya jauh lebih baik dibandingkan terus berada di dekatnya. Tidak pernah kedupanku pahami, kenapa semakin hatiku berjuang kerasnya membuang jauh perasaanku tapi perasaanku semakin mendalam.” Isi doaku kepada Tuhan.
“Mendengar beritanya dimana-mana kalau dia berhasil menjadi seorang arsitek terbaik membuatku sangat bahagia. Namun, dilain hal mendengar berita pertunangannya seakan ada sesuatu hal benar-benar menusuk hingga kedalaman tulang sumsumku.” Jeritku hingga butiran Kristal terus saja berjatuhan. Isakan tangisku makin bermain membasahi seluruh pakaian jas putih pada tubuhku.
Bisakah saya bertahan setelah mendengar berita pernikahannya nanti? Masihkah sebuah kekuatan terbungkus kuat dalam diriku? Semua orang tidak menyadari, namun rasa sakit jauh lebih kuat dibandingkan apa pun juga saat ini. Bantu saya Tuhan melupakan dia dan perasaan itu tidak dapat membungkus kehidupanku sekarang. Bantu saya Tuhan...
“Rehyind, apakah kau menyukai gereja ini?” sebuah suara tidak asing lagi pada pendengaranku memenuhi gereja.
“Sangat indah,” jawabannya membuatku tersadar bahwa Rehyind dan Brian berada di Negara ini bahkan sekarang ada di belakangku.
“Minggu depan merupakan hari paling bersejarah, jadi sesuai pilihanmu gereja ini sebagai tempat pemberkatan nikah kita berdua.” Membuatku menyadari bahwa mereka akan segera melangsungkan pernikahan minggu depan di gereja ini. Rasa sakit makin menusuk tubuhku mendengar ucapan tersebut. Sebelum mereka menyadari isak tangisku, berusaha menghapus seluruh air mataku.
“Terserah kau saja,” kalimat Rehyind.
“Tuhan, jangan sampai mereka berjalan ke hadapanku bahkan mengenalku dari belakang.” Suara hatiku terus saja berdoa.
“Maaf, mungkin ini kaca mata dokter...” tegur Rehyind tiba-tiba terhadapku. Tidak sadar kalau kaca mataku tiba-tiba terjatuh ke belakang disaat saya sedang berkata-kata terbungkus isak tangis luar biasa di gereja ini sejak tadi.
“Kau pasti bertanya kenapa saya tiba-tiba menyadari jika anda adalah seorang dokter, karena pakaian putih yang anda kenakan sekarang.” Tingkah lakunya tetap sama saat berhadapan dengan banyak orang.
“Kenapa dokter tidak berbalik saat seseorang menyapa seperti ini, benar-benar mirip sahabatku sekali kalau begini.” Mengungkapkan kata-kata tentangku...
“Namanya Juan, selalu tidak pernah berbalik jika disapa kalau lagi serius.” Terus saja berceloteh hingga membuatku lupa akan air mata baru saja berhamburan beberapa saat sebelumnya.
“Berbaliklah dokter dan ambil kaca mata anda di tanganku,” perintahnya kembali. 2 Pilihan berbali atau tetap bertahan seperti sekarang? Tubuhku mulai beranjak dari kursi gereja kemudian berbalik ke arahnya. Kaca mata di tangannya terjatuh memainkan suara keras memenuhi gereja, setelah melihat siapa di depannya...
“Hai Rehyind, apa kabar?” Sapaku berjuang keras menyembunyikan penyakit serta rasa sakit dalam diriku sekarang. Tetap tersenyum bahkan terlihat ceriah menatap wajahnya...
“Ternyata selama ini kau berada disini!” ucapan Brian terkejut.
“Seperti itulah, saya mendapat beasiswa dari Jerman untuk melanjutkan pendidikanku.” Jawabanku tersenyum.
“Kami berdua akan menikah minggu depan, kuharap kau menghadiri pemberkatannya.” Kata-kata Brian terhadapku.
“Oh begitu, kalau begitu saya ucapkan selamat buat kalian berdua.” Tanganku mengarah ke hadapan mereka untuk member ucapan selamat.
“Juan, apakah kita berdua dapat berbicara?” tegur Rehyind.
“Tapi banyak pasien menungguku di rumah sakit sekarang,” berusaha menghindar darinya jauh lebih baik dibandingkan tetap bertahan...
“5 menit saja,” tatapan Rehyind benar-benar memohon luar biasa.
“Baiklah, tapi hanya 5 menit,” jawabanku menatap Brian seolah mencari apakah membiarkan Rehyind berbicara atau...
“Silahkan, saya juga sedang ingin berdialog dengan pendeta di tempat ini mengenai pemberkatan kita minggu depan.” Mimic Brian penuh penekanan seolah dengan keterpaksaan.
“Bagaimana kabarmu?” pertanyaan Rehyind setelah kami berada sekitar taman belakang dari gereja.
“Seperti yang kau perhatikan, saya sangat menikmati kehidupan di Negara ini. Bahkan sekarang hasil temuanku di dunia medis mendapat penghargaan dari berbagai Negara.” Jawabanku.
“Ternyata penemu tranportasi khusus kesehatan dan beberapa system peralatan rumah sakit adalah dirimu, kupikir orang lain.” Kalimatnya.
“Saya tidak mengenalmu karena bentuk wajahmu memakai kacamata terlebih fam keluargamu tidak ada dibelakang.” Ucapannya lagi...
“Hahahahahaha, pasti karena jenis rambutku sekarang sudah tidak seperti beberapa tahun lalu. Wajar kau tidak mengenalku.”
“Kau banyak berubah, terlihat kurus...”
“Itu hanya perasaanmu saja Rehyind, sejak dulu berat badanku masih tetap bahkan bertambah malahan.”
“Kau tahu, sewaktu karya desain pariwisata, gedung, bahkan desain kota yang kukirim ke beberapa Negara diterima hatiku benar-benar bahagia.”
“Saya senang Rehyind berhasil menjadi arsitek terkenal sekarang, desain yang kau buat selalu memberikan makna tersendiri.” Memandang wajahnya...
“Saya ingin bercerita pertama kali bagaimana semua negara menyukai hasil desainku pada saat itu, bukan terhadap siapa-siapa melainkan dirimu. Tapi pada kenyataannya sahabatku hilang ditelan bumi.”
“Hanya sebagai sahabat tidak pernah lebih dari itu” mengejek diriku sendiri mendengar pernyataannya.
“Btw, saya ucapkan selamat buat pernikahan kalian minggu depan.” Wajahku berusaha memperlihatkan senyum kebahagiaan buatnya.
“Sampai kapan kau akan terus menyendiri seperti ini?” pertanyaan Rehyind.
“Jangan salah, kau hanya belum menyadari kalau sekarang saya lagi menjalin hubungan serius dengan seorang gadis di negara ini.” Berbohong merupakan satu-satunya jalan menutupi keadaanku.
“Benarkah, berarti kita berdua batal menjadi ipar dong karena kau lebih memilih gadis lain dibanding dokter Vanya adik Brian.” Apakah namaku tidak akan pernah terukir sedikit saja jauh di dasar hatinya Tuhan. Mendengar setiap kalimatnya membuat jantungku makin terasa sesak.
“Seperti itulah Rehyind, jangan kecewa karena kita akan tetap menjadi sahabat.” kata-kataku terhadapnya. Hanya sekedar sahabat, tidak lebih dari itu sampai kapanpun juga.
“Sepertinya saya harus pergi, banyak pasien menantiku di rumah sakit” secepatnya ingin berlalu dari hadapan Rehyind.
“Juan berjanjilah kalau kau pasti hadir di acara pemberkatan nikahku minggu depan.”
“Tenang saja, saya pasti menghadiri pemberkatan sahabat terbaikku sepanjang masa.” Berusaha menahan rasa sakit luar biasa di hadapannya, kemudian segera berlalu begitu saja.  Perasaanku biarlah terkubur dalam-dalam, tanpa harus disadari olehmu. Menjalani kemoh terapi tanpa siapapun menyadari, hanya dokter Sabe salah satu sahabatku mengetahui semua ini. “Juan berhentilah bekerja, keadaanmu makin parah” tegur dokter Sabe terhadapku.
“Saya baik-baik saja dokter dan jangan pernah mengkhawatirkan keadaanku” sekuat tenaga memperlihatkan kalau saya bukan orang lemah. “Berhenti memperlihatkan dirimu terlalu kuat, pada hal sebenarnya kau itu lemah.”
“Apa yang harus kulakukan dokter,” tangisku pecah begitu saja dalam ruanganku. Isak tangisku pecah seketika, benar-benar tidak pantas dikatakan sebagai seorang pria kuat. Saya menangis bukan karena diagnosa penyakit, melainkan tentang dia.
“Hanya menunggu hari, dia resmi menjadi milik orang lain” Menangis seperti gadis kecil, menjatuhkan banyak air mata.
“Menangislah sejadi-jadinya, jika itu bisa membuat hatimu lebih baik.” Dokter Sabe mendekapku, seakan memperlihatkan kasih sayang seorang kakak terhadap adiknya.
“Semakin saya berjuang menghilangkan perasaanku terhadapnya, kenapa semakin berakar kuat di dalam diriku.” Duniaku terlihat makin lemah bahkan terlalu cengeng..
“Juan yang saya kenal pasti bisa melewati masa kritisnya, berjalan seperti burung rajawali semakin badai datang maka kekuatan terbangnya makin kuat.” Membuatku tersadar tentang pernyataan tersebut, hingga air mataku berhenti untuk menangis. Saya harus seperti rajawali, semakin terbang disaat badai badai datang. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan menyibukkan diri oleh berbagai aktifitas. Sekalipun dokter Sabe melarangku bekerja terus di rumah sakit, namun hanya ini satu-satunya jalan melupakan Rehyind.
“Juan, ada apa denganmu?” suara seseorang, namun, secara tiba-tiba pandanganku terlihat gelap bahkan sangat gelap seketika.
“Juan buka matamu,” suara itu masih terngiang, namun mataku tetap tidak dapat terbuka. Tuhan, apakah saya akan meninggalkan lingkaran bumi sekarang ini? Meninggalkan semua memori paling menyedihkan yang sedang membungkus perjalananku. “Juan, jangan pergi sebelum kau menyatakan perasaanmu terhadap Rehyind” suaranya masih begitu nyaring, mataku tetap tidak bisa dibuka sekalipun saya berjuang keras...
“Tuhan, ampuni setiap dosa yang kulakukan,” suara hatiku masih dapat berbicara.
“Dokter Juannnnnnnnnnn” seseorang terus melakukan CPR terhadapku.
REHYIND...
Usahaku memperlihatkan hasil, banyak negara mengakui hasil karyaku. Tidak sia-sia semua yang telah kulakukan selama ini, impianku menjadi arsitek terkenal akhirnya benar-benar terjadi. Mengirimkan sebuah desain parawisata ke negara Jepang dengan konsep ‘sebuah motor raksasa di atas seutas tali’. Sekitar area pegunungan dibuat aneka tempat bermain dan beberapa tempat lagi di dalamnya membentuk motor raksasa sedang berdiri pada seutas tali.
Bercerita tentang sesuatu yang tidak mungkin terjadi bahkan terlalu mustahil, namun, membuat banyak mata tercengang-cengang olehnya. Jika di dalam kehidupan seseorang terdapat suatu iman luar biasa, negatif seperti apapun kata orang tidak pernah berlaku bagi perjalanannya. Konsep desain ini menjelaskan bahwa Apa yang dianggap mustahil, namun, bisa saja bagi seseorang dengan keyakinan kuat tidak ada kata mustahil untuk meraih bahkan menggenggam.
Di negara Costa Rica jenis desain yang kukirim mendapat positif. Saya mngambil konsep sebatang berada di dalam nyala api raksasa. Sekitar api raksasa terdapat lautan lumpur, lautan duri, lautan kaca beling, pendakian sebuah gunung. Akan tetapi, pada masing-masing lautan terdapat sebuah tempat/ rumah kristal untuk mencurahkan segala isi hati. Pada puncak gunung terdapat sebuah menara memakai konsep desain tersendiri. Belum pernah ada menara sekitar puncak gunung, namun saya ingin memperlihatkan sesuatu hal dibalik semua ini...
Hasil karyaku diakui oleh banyak negara, mimpiku akhirnya tercapai. Salah satu negara tempatku mengirim karya desainku menawarkan sebuah tawaran kerja sama. Setelah berpikir panjang, saya akhirnya menerima tawaran tersebut setelah kepergian Juan. Setidaknya saya bisa menjauh dari permasalahanku sekarang.
Berharap dengan tinggal di beberapa negara, saya dapat bertemu Juan kelak. Hatiku terus saja berkata jika kami pasti dipertemukan suatu hati nanti. Berusaha membuat Brian memahami impianku, pada akhirnya membuatku harus meninggalkan negara ini.  Terlihat wajah penuh kekecewaan, namun, kesimpulannya dia menyetujui keinginanku berada di negara orang. Ini mimpiku semenjak dulu, membuat berbagai karya desain arsitek hingga mendapat pengakuan internasional.
“Tuhan, saya percaya kalau Engkau selalu bersamaku,” isi doaku setiap saat. Aktifitasku di negara orang adalah terus berjuang menghasilkan karya-karya terbaik hingga mencapai puncak. Setahun setelah berada di negara asing, Brian datang menemuiku mengatakan bahwa dirinya tidak dapat melepasku sampai kapanpun. Dia rela tinggal di negara yang sama kelak, kalau kami resmi menjadi sepasang suami istri.
Tanpa pernah bosan, Brian terus saja melamarku agar menerima dirinya menjadi pasangan hidup terbaik. “Tuhan sebenarnya perasaanku terhadap Brian lebih mengarah kemana?” Kata hatiku terus saja bertanya-tanya. Tiga tahun di negara orang, pada akhirnya membuatku sukses luar biasa. Namun, satu hal Membuatku tidak dapat menolak lagi ajakan Brian agar mendampingi kehidupannya untuk selamanya.
Komunikasiku tetap berjalan dokter Sabe dan Martha tetap berjalan selama saya jauh dari mereka. Dokter Sabe bersama suami dan anaknya harus pindah ke negara Jerman untuk melanjutkan studi kedokterannya. Mencoba berkomunikasi dengan Dokter, apakah mendapat kabar dari Juan. Akan tetapi, setelah di negara Jerman tiba-tiba saja nomornya tidak dapat dihubungi.
Mataku mengarah pada sebuah pemberitaan media tentang salah satu dokter dari Jerman berhasil menemukan beberapa alat medis. Fotonya terpasang dimana-mana, sepertinya saya mengenal dia, namun entahlah...
“Tidak mungkin itu Juan walaupun nama depan mereka sama.” ucapanku kembali. Entah kekuatan dari mana membuatku ingin mencari identitas penemu yang lagi ramai-ramainya diberitakan. Sengaja menyuruh Brian agar pemberkatan nikah terlaksana di negara Jerman dengan berbagai alasan.
“Tuhan, harusnya saya bahagia mendapatkan dokter Brian sekarang ini.” suara hatiku selalu saja bertanya dan bertanya...
“Kenapa ada kata keraguan bermain didalam untuk dokter Brian?” Semenjak sahabat terbaikku pergi,seakan segalanya dalam kehidupanku terlihat hambar. Saat berada di negara Jerman, saya kembali dikejutkan oleh sebuah desain suatu rumah sakit terbaru disana. Mengingat kembali memori sewaktu saya berada di bangku SMU...


Flashback
“Yang ingin saya katakan, konsep desain untuk bangunan rumah sakitku nanti seperti apa cocoknya?” pertanyaanku.
 “Gedung rumah sakit berbentuk kaktus dengan beberapa tetes embun pada tubuhnya di tengah padang pasir. Hal paling menarik adalah seakan semua yang terlihat hanya padang pasir dan pohon kaktus terbungkus duri pada tubuhnya, tidak ada air sama sekali. Akan tetapi, di bagian paling terbawah bahkan kedalaman akar tingkat terbawah terdapat limpahan air luar biasa.Kesimpulannya, gedung rumah sakitmu nanti, harus memiliki akuarium besar di ruang bawah tanah seperti saat berada di lautan dengan segala keindahannya.”Penjelasanku.
FLASHBACK...
Ternyata Juan berada di negara ini jauh dari negara yang kutempati. Saya yakin, kalau pemilik rumah sakit besar ini adalah Juan bukan siapa-siapa. Berlari memasuki rumah sakit tersebut serta mencari tahu pemiliknya. Salah seorang perawat mengatakan, kalau pemilik rumah sakit ini merupakan tokoh penemu beberapa alat medis bagi kebutuhan kedokteran bernama Juan.
“Dokter Juan berkata akan ke gereja tidak jauh dari rumah sakit ini,” ucapan salah satu perawat.
“Dimana gereja itu, suster?” pertanyaanku.
“Anda harus berjalan ke arah timur tidak jauh dari rumah sakit ini kemudian belok kiri.” Mendengar jawaban dari suster, kakiku segera berlari keluar mencari gereja tersebut.
“Rehyind,” ternyata Brian mengikutiku menuju gereja. Membuat berbagai alasan, bahwa gereja ini sangat menarik dijadikan tempat pemberkatan nikah kami minggu depan sesuai jadwal. Beruntung Brian tidak curiga sedikitpun tentang tujuanku berada di gereja ini.
“Orang yang memakai jas putih kedokteran itu pasti Juan, tidak salah lagi” kata-kataku saat memasuki gereja besar tidak jauh dari rumah sakit. Haruskah saya berpura-pura tidak mengenal dia secara langsung? Hingga pada akhirnya, Juan membalikkan bahkan memperlihatkan identitasnya. Brian terus saja berbicara membuatku merasa jenuh akan setiap ucapannya.
Ternyata sekarang Juan memakai kaca mata, segitu jeniusnya hingga menjadikan matanya menjadi mines. Penuh kesengajaan menyapa seolah-olah kami tidak saling mengenal, bahwa kaca mata ditanganku terjatuh. Berkata-kata beberapa kalimat, akhir cerita membuat dia berbalik ke hadapanku. Juan terlihat begitu pucat dan kurus, terlihat jelas jika tubuhnya sedang tidak sehat.
“Masih saja menutupi kondisi tubuhnya,” celotehku dalam hati. Meminta waktu berbicara pribadi sekalipun hanya 5 menit. Seakan ingin bibir mulutku memaki luar biasa, namun tidak pernah bisa. Mendengar dia bercerita kalau ternyata dia sudah memiliki pendamping hidup juga membuatku sedikit lega. Selama ini Juan tidak pernah jalan bersama wanita manapun.
Memohon agar dia mau datang pada acara pemberkatanku, “Juan berjanjilah kalau kau pasti hadir di acara pemberkatan nikahku minggu depan.”
“Tenang saja, saya pasti menghadiri pemberkatan sahabat terbaikku sepanjang masa.” hanya jawaban seperti itu keluar dari perbendaharaan mulutnya. Hanya tinggal menunggu waktu, pada akhir cerita saya akan hidup serumah bersama dokter Brian. Merenungkan apakah keputusanku menikah dengan Brian adalah terbaik bagi duniaku?
“Kenapa saya ingin kembali seperti kemarin, selalu berada di samping Juan?” memegang dadaku seakan merindukan sesuatu hal yang telah lama pergi. Tuhan, seakan kaki menginginkan hal-hal kemarin terulang lagi. mengejar Juan di rumah sakit agar membelikanku makanan , tertawa, bercanda, menangis, menceritakan berbagai kejadian aneh. Bahkan mengejar Juan sekalipun berada di kamar operasi atau bersama pasien-pasiennya.
Ternyata selama ini saya selalu menjadi pengekor bagi kehidupan Juan sampai kapanpun. Dapatkah memori kemarin terulang kembali? Memberikan semangat bagi seluruh pasien Juan setiap berada di rumah sakit. Satu hal, tanpa saya sadari selama ini bahwa hatiku benar-benar dikuasai olehnya. Arelhyind rasa suka sangat mendalam bagi sahabatnya sendiri.




BAGIAN DUA BELAS...

REHYIND...
Tinggal menghitung jam, seorang Brian akan tinggal serumah denganku. Bisakah roda kehidupan terus berputar,andai kata jalan yang saya ambil benar-benar salah. Tuhan, maafkan semua dosaku jika masih menginginkan Juan agar tetap berada di sampingku. Saya ingin bersama Juan bukan Brian, apakah semua keinginan itu salah? Andai kata, waktu dapat berputar kembali...
Memaksakan kakiku untuk terus berjalan menuju altar, itulah hal terbodoh yang pernah kulakukan. “Saudari Rehyind, apakah kau bersedia menerima Brian sebagai pasanganmu dalam suka maupun duka?” pertanyaan pendeta di hadapanku.
“Saya...” ucapanku sedikit serak.
“Rehyind...” teriakan seseorang hingga semua mata berbalik ke arah suara tersebut.
“Juan koma di rumah sakit, bahkan hingga detik ini dia tidak sadarkan diri karena penyakit kanker darah yang di deritanya.” Suara dokter Sabe berjalan ke arahku. Tanpa berpikir panjang, kakiku segera meninggalkan altar dan seluruh tamu undangan menuju rumah sakit. Tidak perduli pernikahanku batal bahkan menyakiti hati Brian...
“Juan jangan pergi dari hidupku,” membayangkan seorang Rehyind memiliki kehidupan hambar tanpa Juan. Apakah kata-kata terlambat memang harus dilemparkan sekarang ke arahku? Menangis sejadi-jadinya di samping Juan, itulah yang kulakukan sekarang.
“Bisakah kita kembali seperti kemarin, terus saja mengekor setiap kau sedang memeriksa banyak pasienmu?” menangis sejadi-jadinya , tidak perduli seluruh rumah sakit mendengar tangisanku.
“Tuhan, berikan saya kesempatan sekali saja…” dia selalu ada membuat hidup mempunyai warna, memberikan senyum oleh berbagai tingkah laku konyolnya. Apakah hatimu sama sepertiku, disaat saya terbaring di rumah sakit sewaktu peristiwa kecelakaan itu terjadi? Benar ucapannya, uang dapat dicari sekalipun membutuhkan waktu lama mengumpulkan hingga menjadi bukit. Akan tetapi, seseorang paling berarti pergi, belum tentu kehidupan memberikan banyak warna.
Tetap berada di sampingnya menjaga bahkan merawat hingga akhir cerita dia terbangun dari tidur berkepanjangan. Tuhan, berikan kesempatan sekali lagi buat saya bisa menjadi pengekor kemanapun dia pergi. Satu-satunya orang yang dapat memahami segala jenis kehidupanku hanya dia. Sejak dulu kami selalu bersama-sama merasakan penderitaan luar biasa hingga akhir cerita menjadi seseorang paling disegani. Membayangkan bagaimana kedua tangan kami terlihat begitu kasar, hanya demi meraih mimpi satu dengan lainnya.
“Rehyind, seluruh dokter angkat tangan karena penyakit Juan memasuki stadium akhir,” ucapan dokter Sabe menjelaskan sesuatu hal setelah hampir setahun terus berada di samping Juan. Saya masih punya pengharapan tentang nafas kehidupan pasti kembali dalam tubuhnya. Semua dokter merencanakan akan mencabut semua alat medis yang terpasang pada tubuhnya, membiarkan dia pergi.
“Rehyind, semua dokter yang menangani dokter Juan akan mencabut semua alat pada seluruh tubuhnya.” Kata-kata dokter Sabe di hadapanku.
“Maksud dokter, dengan kata lain saya harus merelakan dia pergi?”
“Tuhan membuat Juan hadir di dunia, tapi Tuhan juga berhak mengambil dia kapanpun diinginkan hatiNYA.” Ucapan dokter Andar salah teman kerja selama berada di Indonesia. Dokter Andar datang melihat keadaan Juan…
“Dokter Andar, rumah sakit ini dibangun dengan jenis bentuk gedung tersendiri dari rumah sakit manapun, kenapa?” pertanyaanku berbalik ke hadapan dokter Andar.
“Karena Juan mempercayai secerca  pengharapan bagi kesembuhan seseorang,  seberapa besarpun penyakit menusuk sama seperti pohon kaktus diselimuti banyak duri.” Jawabanku.
“Rehyind harus mengerti, dunia kedokteran angkat tangan terhadap kondisi Juan. Jangan memaksakan dia bertahan, biarkan Juan pergi” dokter Andar mencoba memberikan pengertian.
“Rehyind, jangan memaksakan kehendak Tuhan agar Juan tetap bertahan disini,” suara Brian mendekapku erat. Brian sama sekali tidak marah pernikahan kami batal beberapa bulan lalu. Meninggalkan dia begitu saja di depan altar, kemudian berlari mencari Juan dengan isakan tangis sejadi-jadinya.
“Berikan Rehyind kesempatan untuk berpikir tentang hal seperti ini,” dokter Sabe berjalan masuk ke hadapan kami. Mereka semua mengangguk mendengar penjelasan dokter Sabe. Menerima kenyataan, bahwa Juan tidak mungkin bisa bertahan. Merelakan dia, dengan tidak memaksakan kehendakku. Setelah beberapa hari, akhirnya saya harus siap menerima keputusan seluruh dokter dimana membiarkan Juan pergi dari hidupku. Seluruh dokter berkumpul dalam ruangan tempat Juan terbaring termasuk diriku.
“Sebelum kalian mencabut semua alat ini, beri saya kesempatan berbicara di telinganya, entahkah dia mendengar atau tidak sama sekali.” Kalimatku berusaha bersikap tegar bahkan terlihat kuat.
“Silahkan Rehyind,” dokter Andar mempersilahkan.
“Juan, kemarin saya mendesain sebuah pariwisata di Jepang dengan konsep sebuah motor raksasa berada diatas seutas tali. Pandangan mata berkata, kalau itu mustahil terjadi. Kenapa saya membuat desain arsitek sejenis ini?” kata-kataku berbisik pada telinganya.
“Karena saya mempercayai sesuatu objek di depan mata, terkadang bagi pandangan manusia mustahil dapat terjadi ataupun dilalui. Pada dasarnya tidak mungkin, semua orang pasti tertawa akan hal tersebut. Namun, saya mempercayai bahwa Tuhan dapat memindahkan gunung sebesar apapun.” Kalimatku berkata-kata kembali.
“Sama seperti motor raksasa ini, mustahil berada diatas seutas tali. Tapi, hati kecilku berkata Tuhan dapat membuat semua bisa terjadi. Sama seperti kehidupan, belasan tahun lalu mustahil seorang Juan dapat menjadi dokter terkenal bahkan menjadi penemu pengembang beberapa alat kedokteran. Apa yang terjadi? Seorang Juan membuktikan sesuatu di dalam dirinya selain menjadi seorang dokter, mempunyai rumah sakit, hingga memiliki sebuah penemuan luar biasa.” Kembali saya berbisik pada telinganya.
“Rehyind,” ucapan dokter Andar.
“Biarkan Rehyind melampiaskan apa yang ingin diucapkannya,” tegur dokter Sabe.
“Sama seperti dirimu, semua dokter angkat tangan bahkan terlalu mustahil kau bangun dari tidur berkepanjangan. Seluruh dokter sepakat mencabut seluruh alat pada tubuh dokter Juan. Tapi, hatiku berkata tidak ada kata mustahil kalau kau bisa terbangun detik ini juga.” Air mataku terjatuh membasahi rambut Juan.
“Kalau kau terbangun, saya berjanji tidak akan melepaskan tanganmu dan selamanya akan selalu mengekor dibelakangmu. Jika tidak, saya akan merelakan dirimu pergi.” Berusaha menahan air mataku, namun tidak pernah bisa.
“Jangan menghancurkan kepercayaan banyak orang dari makna konsep desain yang kubuat, sebuah motor raksasa berada diatas seutas tali.” Tangisku terus saja bermain tanpa memperdulikan siapapun di sekelilingku. Hingga di akhir cerita…
“Rehyind…” itu suara Juan. Semua dokter terkejut mendengar suara Juan. Mereka semua mencoba memeriksa kembali kondisi kesehatan Juan. Air mataku segera kuhapus, melihat wajah Juan meneteskan butiran Kristal sama sepertiku. Juan kembali hidup, Tuhan mengembalikan nafas kehidupan dalam dirinya.
“Rehyind sudah berjanji akan selalu mengekor bahkan tidak akan pernah melepas tanganku.” Kalimat Juan menantapku. Semua dokter hampir tidak mempercayai hal seperti ini akan terjadi. Hasil pemeriksaan membuktikan Juan sehat total dari penyakitnya.
“Juan…” tangisku pecah kembali.
“Hati Rehyind hanya untuk dokter Juan seorang. Bagaimanapun saya berjuang, sampai kapanpun namaku tidak pernah ada di hatinya.” Kata-kata Brian menepuk bahu Juan.
“Saya tidak marah Rehyind meninggalkan altar pernikahan hanya untuk dirimu. Sejak dulu saya tahu, kalau kau menyukai sahabatmu sendiri. Saya saja yang terlalu bodoh memaksakan kehendak bahkan berjuang keras merebut Rehyind dari kehidupanmu. Maafkan semua perbuatanku.” Mimik wajah Brian memperlihatkan penyesalan luar biasa.
“Semua itu bukan salahmu, karena saya juga tidak pernah ingin berterus terang terhadap perasaanku sendiri.” Tangan Juan menggenggam kuat jemari seakan tidak ingin dilepasnya.
“Saya pasti hadir di pernikahan kalian,” kalimat Brian sebelum meninggalkan ruangan. Terimah kasih Tuhan karena Juan bangun kembali dari tidurnya. Selalu mengekor kemanapun dia pergi, bahkan disaat melayani semua pasiennya. kami merencanakan pemberkatan nikah di Toraja. Kembali ke kampung halaman tempat dunia persahabatan kami dimulai. Saya dan Juan sepakat membangun sebuah rumah sakit bagi banyak orang serta mendesain ataupun merenovasi beberapa jenis objek wisata di Toraja.
JUAN…
Mendengar suara Rehyind bercerita pada telingaku, hingga akhir cerita saya terbagun dari tidur. Rehyind benar-benar ada disamping bahkan sedang menangis, saya pikir semua itu hanya mimpi belaka. Dia berjanji tidak akan melepas tanganku sampai kapanpun. perasaan Rehyind terhadapku tidak lagi sebagai sahabat, melainkan lebih dari sahabat. Terimah kasih Tuhan memberiku kesempatan, bahkan Engkau menggagalkan pernikahannya dengan Brian.
“Juan madommiko tette pirami te’ (Juan cepat, sekarang sudah jam berapa)” suara ibu Hana sebagai wali pada pernikahanku bersama Rehyind. Ibu Hana merupakan salah satu tempatku bekerja ketika masih berada di kampung ini kemarin. Memelihara binatang peliharaannya kemudian membagi hasil untuk biaya sekolahku. Beliau bukan anggota keluarga, namun sangat baik terhadap kehidupanku.
“Astaga tanta, ga seperti itu kali orang,”
“Astaga Juan, pindahki monas di Toraja.” Ledekan ibu Hana membuatku tertawa keras. Rehyind memilih acara pemberkatan nikah sekitar area air terjun pegunungan Toraja, sekalian mencari inspirasi katanya. Perjalanan menuju air terjun benar-benar membutuhkan waktu perjalanan sekitar 3 jam menggunakan kendaraan roda empat. Sedikit kesal, meminta pemberkatan depan air terjun, dimana-mana yah sekitar gereja atau paling tidak kebun…
“Juan, pela-pelai tu lalanmu, tiroi tu mempelai baine lamoraimo tobang mupugau. (Juan jalanmu itu sebaiknya pelan-pelan saja, coba lihat mempelai wanita sudah hampir jatuh karena perbuatanmu.)” tegur salah seorang ibu.
“Dia cari mau pemberkatan disini, silahkan merasakan sendiri,” cetusku.
“Juan, tidak seperti ituji orang bos…” emosi Rehyind mulai meledak keras. Ibu Hana berusaha mendamaikan kami berdua. Singkat cerita, kami akhirnya sampai juga sekitar air terjun tanah Toraja sesuai kemauan Rehyind. Wali Rehyind tidak lain adalah orang tuanya sendiri. Rehyind belajar memaafkan kesalahan orang tuanya. Sehari sebelum pemberkatan, mereka datang ke hadapan Rehyind meminta maaf atas semua perbuatannya. Itulah Rehyind belajar melupakan semua perbuatan kejam kedua orang tuanya. Mereka kembali bersatu, setelah akhirnya masing-masing pasangan dipanggil oleh Tuhan.
“Saudara Juan Allo, apakah kau bersedia menerima Arelhyind menjadi pasanganmu. Akan selalu bersama dalam suka maupun duka?” pertanyaan pendeta…
“Saya…” kalimat Juan…
“Tolong saya,” teriak salah seorang ibu hamil tua menahan sakit akan segera melahirkan. Semua orang berhamburan berusaha menolong ibu tersebut, pemberkatan nikah paling terkacau di dunia. Tidak ada dokter yang bisa menolong, sedangkan rumah penduduk jauh dari lokasi kami. Dokter Sabe dan yang lainnya belum juga tiba, karena pesawat mereka bermasalah. Jadi mereka lebih memilih naik bis menuju Toraja. Diantara mereka tidak terdapat seorang bidan…
“Ini mamanya, na taumi bilang hamil tuaki masih tetap ngotot mau pergi kesini. (Ini istriku, sudah tahu dia sedang hamil tua, tapi masih ngotot ingin pergi).” Kalimat suami dari ibu Sapan.
“Astaga, istrimu ini mau melahirkan kenapa masih sempat-sempatnya marah,” tegur ibu Hana. Saya segera berlari ke hadapan mereka meninggalkan altar memeriksa keadaannya. Menyuruh Rehyind berlari menuju mobil tidak jauh dari lokasi mengambil tasku. Untung saja, saya selalu membawah peralatan medis kemanapun dan dimanapun bahkan ketika hendak menikah.
“Perutnya besar sekali, jangan-jangan anak kembar,” perkataan salah satu dari mereka.
“kulit perutnya tebal, sepertinya janin besar terlihat jelas setelah melakukan pemeriksaan.” Ucapku setelah melakukan palpasi pada bagian abdomennya.
“Ambilkanki dulu taplak meja di depan altar mau dipake alasi dibawahnya ibu Sapan,” perintah ibu Hana.
“Astaga…” ucapan Rehyind seakan ingin tertawa atau gimana menyaksikan…
“Tafsiran berat janin memperlihatkan bayi makrosomia/bayi besar, Sementara ukuran panggulnya sangat kecil. Jenis panggul gynekoid paling ideal bagi wanita tetap tidak akan membantu.” Penjelasanku. Panggul gynecoid (anteroposterior sama diameternya dengan tranversa bulat,45% pada wanita ), android (panggul segitiga merupakan panggul pria, 15% ditemukan pada wanita), anthropoid (panggul atas agak lonjong seperti telur, 35% ditemukan pada wanita), platypeloid (panggul picak, hanya 5% ditemukan pada wanita) merupakan jenis-jenis panggul wanita. Melakukan episiotomi/ penyayatan untuk memperlebar jalan lahir sama sekali tidak membantu.
“Dokter Juan apa itu makrosomia, jangan bahasa alien disini karena tidak kumengerti?” pertanyaan bapak Ruruk suami dari ibu Sapan.
“Bayinya bapak diperkiran berat badannya besar sekali,” jawabanku.
“Jadi?” Bapak Ruruk kebingungan.
“Pemeriksaan dalam memperlihatkan pembukaan 5, ketuban sudah pecah, tapi, bayi ibu Sapan terlalu besar untuk melewati jalan lahir. Sementara perjalanan menuju kota memakan waktu lama, bisa terjadi sesuatu.” Berusaha menjelaskan sedetail mungkin terhadap bapak Ruruk. Mengambil tindakan sesar di tempat ini harus kulakukan, jika tidak dapat membahayakan keselamatan ibu dan janinnya.
Ibu Hana membantuku membuat tamu mundur dari sekitar area perbaringan ibu Sapan. Meminta Rehyind membantuku dalam operasi, awal dia menolak namun secara terpaksa mengikuti kemauanku. Beruntung peralatan bedah selalu ada kubawah kemanapun, termasuk diacara pemberkatan nikahku. Tanganku mengambil bak instrument memasukkan alcohol ke dalam.Kemudian melakukan sterilisasi dengan cara memasukkan seluruh peralatan bedah ke dalam rendaman alcohol tadi. Menyuruh Rehyind mengikuti semua perintahku, terpaksa, karena diantara mereka tidak terdapat seorangpun bidan atau perawat.
“Astaga, kedua mempelai pengantin sempat-sempatnya operasi,” kalimat seseorang.
“Pertama kali di Toraja ada pernikahan seperti ini,” ledekan yang lain.
“Pendeta baru bertanya sama mempelalai pria, apakah kau bersedia…”
“Langsung berteriak ibu Sapan mau melahirkan, pecah ketuban, hahahahahaha,” ucapan salah satu dari mereka kembali melanjutkan pembicaraan.
“Ngea ngea ngea ngea…” akhirnya bayinya lahir dengan selamat.
“Bayinya laki-laki,” Rehyind tersenyum kegirangan.
“Rehyind klem bersama penjepit tali pusat untuk menjepit  tali pusat” perintahku membuat Rehyind kebingungan.
“Itu yang ada di depanmu,” tanganku menunjuk.
“Saya bukan dokter atau bidan nah bos, tapi tukang arsitek,” teriak Rehyind.
“Apgar score 8/10,” ucapanku. Menilai turgor appearance/turgor kulit, pulse/nadi, grimace/gerak reflex, aktifity/aktifitas, respiration/pernapasan. Jika apgar score 8/10 menandakan bayi dalam keadaan baik.
“Astaga, besar sekali anakmu mama Markus, apa kau makan waktu hamil?” pertanyaan ibu Hana. Bagi suku Toraja, mereka yang telah menikah tidak lagi dipanggil memakai sebutan nama asli, melainkan nama anak pertama mereka. Karena anak pertama ibu Sapan bernama Markus, otomatis semua orang memanggil mama Markus.
“Makan tedong bonga,” jawaban ibu Sapan
“Pantesan na bilang dokter Juan bayi besar, barang kali 7 kg beratnya anakmu mama Markus,” kalimat salah satu tetangganya.
“Astaga, raksasa betul anakku ini, tapi jangan sampai besar badanmu juga lebar kiri kanan na anakku sayang.” Ujar pak Ruruk menggendong bayinya.
“Akhirnya lahir juga, jadi ceritanya berlumuran darahmi baju pengantinnya dua mempelai gara-gara mama Markus di operasi tidak bisa lahir normal.” Semua orang tertawa mendengar gurauan ibu Hana.
“Lain kali, kalau ada acara pemberkatan baru tempat begini, bagi wanita hamil tua dilarang pergi.” Ujar ibu Hana.
“Betul itu, merusak moment kedua mempelai saja.” Ucapan seseorang.
“Cukupmi kasihan, dokter Juan dan Rehyind jadi korban, jangan menambah korban lagi.” Kalimat pak Ruruk menyadari kekacauan pernikahan karena istrinya
“Rehyind, dokter Juan kenapa acara pemberkatan nikah berubah jadi ajang sesar ibu hamil?” mata dokter Andar tidak berkedip melihat keadaan di depan mata. Mereka baru tiba di tempat, setelah semua berakhir.
“Sorry bos, kami berapa kali kesasar baru tidak ada siknyal,” penjelasan Martha.
“Dokter Andar selesaikan penjahitannya,” perintah dokter Sabe, menyuruhku melanjutkan acara pemberkatan nikah kembali. Acara pernikahan paling terkacau di dunia yang pernah terjadi. Secara keterpaksaan kami menikah memakai pakaian ada Toraja berlumuran darah. Acara resepsi diadakan jam 10 malam setelah pulang dari acara pemberkatan. Hanya kisah pernikahan kami saja memberikan kesan seperti ini.
Tidak lama setelah lepas dari Rehyind, ternyata Brian mendapat penggantinya. Tidak lain merupakan sahabat Rehyind sendiri yaitu Martha. Di akhir cerita mereka menikah, 3 bulan setelah kami menikah. Tapi karena tidak ingin berakhir dengan acara pernikahan seperti kami, mereka memutuskan menikah tanpa mengikut sertakan seorang wanita hamil manapun baik tua maupun muda. Brian dan Martha menikah di Lolai terkenal dengan sebutan negeri diatas awan.
“Ternyata kau lebih menyenangkan dibanding Rehyind.” Brian baru menyadari...
“Kenapa kau baru sadar sekarang, sejak kemarin-kemarin kek” kesal Martha.
“Mana saya tahu,”
“Setidaknya tidak lamakah menyandang status perawan tua,” kalimat Martha.
“Hahahahahahaha...” tawa Brian.
“Betul-betul, kesabaranku membuahkan hasil karena selama ini saya berdoa biar diberi jodoh terbaik.” Martha tersenyum.
“Martha , coba perhatikan cakep mana dokter Juan atau dokter Brian?” pertanyaan dokter Andar.
“Tentu dokter Brian karena wajah blaster, makanya sejak dulu saya incar memang pake perbaiki keturunan, cuman saat itu dia masih saja jadi milik Rehyind” jawaban Martha saat kami sedang berkumpul pada acara resepsi pernikahan mereka.
“Kenapa kau tidak rebutki saja dari Rehyind?” ibu Hana masuk tiba-tiba...
“Saya tidak mau menyakiti sahabat, masa pake acara menikung sahabat sendiri. Masuk nerakalah saya kalau begitu,” kalimat Martha membuat kami tertawa.
TAMAT...