Minggu, 12 April 2020


CORONA VIRUS


Bagian 1…

Rutinitas hidupku setiap hari hanya berkisar sekitar pasar tradisional guna menjajahkan roti kukus isi daging. Terkadang saya harus berkeliling beberapa tempat di luar sana guna mengantar pesanan orang. Tinggal bersama mama sekian tahun lamanya serta menjalani getar getir hidup penuh objek-objek di dalam serangkaian kisah. Berada pada sebuah Negara tak ber’Tuhan memang menjadi dilema. Kota tempat tinggalku sangat indah bersama keaneka ragaman warna-warna keunikan tersendiri.
Di antara sekian jalan depan mata, hatiku masih percaya kalau Tuhan itu benar-benar ada walaupun sama sekali tidak terlihat. Siapa yang menciptakan Tuhan? Menjadi ciri khas pertanyaan orang banyak di luar sana. Masa bodoh tentang jawaban siapa pencipta sang semesta, namun jalanku tetap mengenal jelas akan kebesaran sang khalik. “Rubi, antarkan pesanan dokter langganan kita seperti biasa!” perintah mama dari dalam.
“Tunggu sebentar” membalas suara mama.
“Jangan lama-lama” kalimat yang selalu saja gentayang sekitar pendengaran telinga.
“Sedikit lagi” berusaha merapikan beberapa koleksi buku-buku kesukaanku.
Mengayuh sepeda kesana kemari sambil membawa pesanan demi pesanan beberapa langganan. Rumah sakit besar bersama desain arsitek cukup fantastis sedikit membuatku takjub. “Akhirnya pesananku datang juga” salah seorang dokter dengan pakaian khas miliknya berjalan ke arahku.
“Dokter Han, maaf sedikit terlambat” menundukkan kepala.
“Sedikit terlambat berarti dapat diskon” sang dokter tertawa hebat.
“Kalau diskon berarti mama bisa rugi besar, saya tidak bisa bayar uang kuliah biar bisa jadi asisten dokter suatu hari kelak”…
“Bosan dengar jawaban begini terus” dokter Han.
“Dokter kan banyak duit berarti harus banyar lebih banyak lagi bukannya minta diskon, gimana sih” cetusku terlihat cemberut.
Meninggalkan dokter Han setelah menerima uang pembayaran bersama wajah cemberut memang sudah menjadi ciri khas seorang Rubi setiap harinya. Pria paruh bayah dengan perannya sebagai seorang dokter spesialis terkesan hebat di sekitar pendengaran seluruh warga kota. Semua orang tidak pernah meragukan sedikitpun kemampuan beliau di dunia medis.
“Kau di sini rupanya berkeliaran” pernyataan sinis seseorang menghentikan langkahku seketika.
Kenapa dia harus hadir seperti manusia gentayangan? Keberuntungan memang selalu ada pada dirinya dan tidak mungkin bisa kuraih. Hal-hal menyakitkan hanyalah bagian masa lalu, namun muncul kembali. Mama dan saya hanya sebagai korban kejahatan satu keluaga paling bengis di antara semua mahluk.
“Saya tidak ingin mencari masalah denganmu” kalimat tajam buatnya.
“Jadi?” dia balik membalas…
“Artinya minggir, ngerti?” mendorong tubuhnya.
Berpikir keras tentang seberapa besar mereka menciptakan goresan luka hanya akan menambahkan satu sisi buruk buatku. Saya harus membuang jauh keluar masa lalu kemarin. “Hati yang gembiraaaa adalah obat, seperti hati yang senang…” menyanyikan sebuah lagu khas setiap kali badai itu kembali bergentayangan.
Mendapat julukan anak haram sekaligus perusak kehidupan rumah tangga orang memang menyakitkan lebih dari apa pun di dunia. Sepertinya keberuntungan tidak pernah berpihak terhadap jalanku. Kenapa harus bertemu lagi? Rasa sakit terus saja dimainkan tanpa henti.
“Anak ini bukannya pergi kuliah malah melamun saja seharian” tegur mama.
“Lagi malas” rasa malas bahkan tidak ingin meninggalkan kamar.
“Mau jadi apa kamu nanti” amarah mama mulai meledak.
“Baru juga sekali bolos kuliah, bukan tiap hari” membalas pernyataan mama lagi.
“Kalau ingin jadi asisten dokter Han harus giat kuliah dong” teriak mama melemparkan sebuah bantal ke arahku.
“Saya juga kan cuma perawat bukan dokter seperti yang lain ma”…
“Masa bodoh, mau perawat atau dokter tetap sama saja” mama.
“Pergi mandi sekarang atau bom nuklir tiap detik meledak!” teriak mama lagi.
Akhir cerita adalah mengikuti kehendak mama dibanding merasakan satu ledakan nuklir tanpa henti. Kepala cukup pening jika mendengar celoteh kiri kanan. Rasa malas terus saja berkumandang memainkan pulpen dalam sebuah ruang perkuliahan. “Masing-masing organ tubuh mempunyai anatomi tersendiri bersama peran fungsi berbeda” seorang dosen anatomi sedang menjelaskan beragam bahasa alien di hadapan para mahasiswanya.
“Rangkaian anatomi harus tersusun di otak kalian, kenapa? Karena memang seperti itulah menu keseharian anak-anak medis baik para dokter, perawat, maupun bidan” ceramah membosankan seperti biasa mulai lagi.
“Membosankan” wajah cemberut Nampak jelas di sekitar wajahku.
“Sepertinya kau punya masalah” bisik Navi sahabatku.
“Ngga cuma malas saja ma mata kuliah yang satu ini” membalas kalimatnya.
“Jangan ambil jurusan perawat dong kalau gitu” Navi kembali berbisik.
“Terpaksa, ngerti?” suaraku menggelegar hingga dosen mata kuliah anatomi memberi black list terhadap namaku sekaligus nilai sudah dijamin dinyatakan error apa pun yang terjadi. Semua ini karena perbuatan sahabatku sampai berurusan dengan masalah besar. Mama bisa serangan jantung kalau mendengar beritaku sekarang. Habis sudah hidupku.
Apa yang akan terjadi setelah mama mendengar kabar kurang menyenangkan? Berkeliling kota memakai sepeda motor besar hadiah ultahku dari mama demi melepas pening. Kalau mengantar pesanan langganan harus tetap mengayuh sepeda seperti itulah perintah nyonya besar. “Biar sehat dan jangan jadi pemalas,” omelan mama setiap memerintah agar mengantarkan pesanan orang.
Roti kukus milik mama sudah sangat digemari di seluruh kota, jadi penggemarnya juga cukup banyak. “Jangan lupa pesanan dokter Han harus paling nomor satu di dahulukan” teriak mama paling cerewet sedunia.
“Saya ngerti dan tidak usah berteriak juga” cetusku sambil mengayuh sepeda.
Berkeliling rumah sakit lagi bahkan harus bertemu asisten baru sang dokter alias musuh bebuyutanku sendiri. Entah bagaimana cerita dia selalu menghantui hidupku seperti setan gentayangan. Sejak sekolah dasar hingga sekarang tetap saja berkeliling di sekitarku. “Gadis jelek rupanya lagi mengantar roti toh” sebuah suara ledekan lagi berkeliaran sekitar telingaku.
“Jangan mencari masalah kalau masih mau bernapas” ancaman dariku mendorong tubuh seorang dokter angkuh. Perbedaan antara kami memang jauh bahkan dari segi derajat. Zangbi si’musuh bebuyutan merupakan satu-satunya kakak kelas dengan tingkat IQ tertinggi, sedang diriku jauh terlempar darinya. Aneh juga kalau dia selalu menjadi kakak kelasku secara tiba-tiba alias menjadi siswa pindahan. Karena terlalu jenius seluruh kampus terkenal mengejar dirinya jauh beda denganku. Masuk jurusan keperawatan butuh perjuangan tebal muka mama luar biasa biar lulus pada salah satu kampus.
“Dokter Han pesananmu” menyerahkan pesanan beliau seperti biasa kemudian berlalu tanpa basa-basi. Btw, kenapa pemberitaan media di sepanjang jalan hanya tentang kota sebelah. Sebuah virus penyakit sedang menggemparkan kota sebelah. Banyak orang tertular dengan begitu cepat di luar kendali. Kehidupan orang banyak berubah total akibat jenis wabah yang dikenal dengan istilah corona virus.
Entah virus tersebut berasal dari mana? Sulit mengungkap kisah sebenarnya tentang kejadian sebenarnya. Dua minggu kemudian corona virus menyebar begitu cepat ke kota tempat tinggalku. Aktifitas semua orang tetap seperti biasa, namun tanpa sadar sebagian dari mereka berada dalam satu zona merah. Masa inkubasi perkembangan virus itu sekitar tiga sampai empat belas hari.
Hal lebih mengejutkan adalah ada banyak orang berjatuhan kiri kanan dua minggu setelah pemberitaan beberapa orang positif corona sekitar kotaku. Mereka semua tertular tanpa sadar ketika sedang menjalankan rutinitas seperti biasa. Rumah sakit penuh pasien. Demam, flu, batuk merupakan gejala awal virus tersebut hingga merenggut nyawa banyak orang begitu cepat…


Bagian 2…


“Apa yang terjadi?” teriakku melihat satu wabah virus menghancurkan semua orang.
Sahabatku tidak lagi tertolong bahkan dalam sekejap melenyapkan nyawanya. Tiba-tiba orang-orang jatuh bergeletakan ke tanah hanya dalam hitungan beberapa waktu saja. Virus itu menghancurkan seluruh kota tempat tinggalku.
Hal terbodoh adalah mama berusaha mendorong hingga membungkus tubuhku ke suatu tempat agar virus tersebut menjauh dariku. Mengunci sebuah ruang sekitar lantai atas rumahku sehingga tak seorangpun dapat masuk dengan mudah. Saya dapat menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri di luar ada banyak nyawa berjatuhan. Mencoba mengintip di balik pintu apa yang dilakukan mama selanjutnya.
“Bodoh” sahutku. Melakukan desinfektan ke seluruh ruangan termasuk menyiapkan makanan dengan tubuh terbungkus mantel besar sambil memakai masker sekitar wajahnya. Mama tidak ingin segala sesuatu yang akan kusentuh terkontaminasi virus tersebut. Saya hanya bisa menangis di balik pintu tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Tuhan, lindungi putriku” jerit tangis seorang ibu.
“Mama jahat” berjuang mendobrak pintu ruang memakai kaki yang masih terikat oleh sesuatu.
“Tiang awan bahkan tiang api akan terus berjaga di sekitarnya. Saya percaya kekuatan doa seorang ibu tentu diindahkan olehMu” seorang ibu merintih dalam tangisnya.
Mama pergi menjauh meninggalkan rumah, minimal anaknya tidak tertular olehnya. Kenyataan yang ada adalah mama positif virus Corona seperti penduduk lain. Virus itu menyebar begitu cepat dalam tubuhnya ketika berada di pasar beberapa waktu lalu. Saya melihat mama jatuh tergeletak ke tanah sama seperti yang lain dari ruang kamar yang masih terkunci rapat. “Mama jahat…” teriakanku bergema.
Seolah tahu apa yang akan dilakukan oleh anaknya sehingga dengan sengaja memasang jeruji besi kuat ke seluruh jendela ruang tersebut. Mama tidak boleh meninggalkan Rubi sendirian. Mereka membawa mama kemana? Saya bahkan tidak bisa mendekap kuat dirinya. Tuhan, sekarang Rubi tidak bisa lagi mendengar teriakan mama setiap harinya.
Kenapa mama melakukan semua itu? Saya ingin mama kembali. Mereka semua meraung dalam ketakutan menyaksikan bagaimana wabah virus Corona membunuh siapapun tanpa ampun. Saya bisa mendengar jelas di luar sana petugas pemerintah segera membawa seluruh mayat yang masih berserakan di jalan satu per satu.
Hal terbodoh buatku akan tetapi bagi seorang ibu semua itu sangat berharga. Masih berjuang memakai kekuatannya yang masih tersisa demi sebuah kehidupan sang anak. Berusaha melepaskan tali yang diikat kuat oleh mama, namun semuanya sia-sia. “Mama jahat…” berteriak sekuat mungkin dengan isakan tangis tanpa henti. Tuhan, masihkan hatiMU melihat lukaku? Sedikit saja menatap ke arahku.
Saya seorang diri seperti orang bodoh meratapi nasib. Tiba-tiba saja, mataku dibawah ke satu cermin kecil di ruangan tersebut. Berusaha memecahkan cermin dan kemudian mengambil pecahannya untuk memotong tali yang masih mengikat tubuhku. Hal selanjutnya adalah berjuang mendobrak pintu keluar agar bisa keluar dari ruang brengsek ini.
Mencari akal bahkan segala benda di sekitarku menjadi alat hingga saya bisa berlari keluar rumah hanya demi mencari tubuh mama. Mereka membawa mama begitu saja tanpa bertanya terlebih dahulu. “Berhasil” setelah berulang kali menendang bahkan mendobrak dengan apapun di sekitarku. Berlari sebisa mungkin menuju lantai bawah rumah.
Hal terbodoh yang mama lakukan adalah sengaja memasang pintu besi dengan terali bergitu kuat sehingga seorang pun tidak akan pernah bisa membukanya. Menutup segala celah pintu sampai setitik debu juga tidak bisa berhembus sesuka hati. “Saya benci mama” menangis sejadi-jadinya.
“Mamaku kenapa berubah jadi jahat” tangisku makin pecah.
Saya hanya ingin mendekap satu-satunya orang tua yang kumiliki. Sejak kecil mataku tidak pernah mengerti wajah ayah seperti apa. Tuhan, hanya mama yang kupunya. Siapa yang akan memarahi Rubi?
Lebih baik mendengar bagaimana dirinya memaki kesana kemari dibanding sama sekali tak mendengar suaranya. “Tuhan, Kau pasti ada walaupun saya tidak akan pernah bisa melihatmu secara langsung” jerit tangis di antara rasa luka yang sedang berjalan.
Tuhan, suara mama tidak akan kudengar selamanya. Omelan mama lenyap ditelan bumi. Virus penghancur hidupku seolah tertawa besar menyaksikan bagaimana kisahku sekarang. Menangis hebat dalam kamarku seorang diri. Kota ini seolah tanpa penghuni sunyi sepi setelah pemerintah setempat mengeluarkan perintah lockdown. Memberi garis merah agar tidak seorangpun boleh keluar dari tempat tersebut.
“Suara mama mungkin masih ada di dapur” segera berlari menuju dapur tempat mama melakukan rutinitasnya.
“Mama mama mama” berteriak sekeras mungkin.
“Mama hanya sembunyi saja kan?” terlihat seperti orang bodoh.
“Mama pasti cuma ke pasar sebentar saja” air mata luar biasa mengalir.
Ini pasti mimpi bukan kisah nyata. Virus itu merebut kehidupan banyak orang termasuk melenyapkan nyawa mama juga sahabat baikku. Suara dering handphone android milikku tidak lagi kuperhatikan. Semua orang ketakutan termasuk hidupku sendiri memikirkan hari ini dan esok. Bagaimana saya menjalani semua hal tanpa mama?
Sepasang bola mataku seolah sengaja di bawah ke sebuah dinding kamar milikku. “Hati yang gembira adalah obat, tetapi semangat yang patah keringkan tulang” tulisan tangan mama mencoret dinding kamarku seakan tahu jerit tangis luka anaknya esok hari.
Bagaimana bisa seorang Rubi tertawa bahagia di tengah rasa luka seperti sekarang? kehilangan mama, tetapi saya harus membuat satu suasana gembira. “Terdengar lelucon” tertawa sinis membaca tulisan sekitar dinding tersebut.
“Hati yang gembira adalah obat, tetapi semangat yang patah keringkan tulang. Berhenti menjatuhkan air matamu!” secarik kertas hasil tulisan tangan mama sekali lagi berada di atas meja belajarku. Bisakah saya menghentikan tangisku? Tuhan, berikan satu cara untuk menghentikan air mataku dan tidak lagi menetes kembali!
Pada akhirnya mataku lelah hingga membuatku tertidur lelap di tengah kesunyian kamar. Semua orang diam dalam ketakutan di rumah mereka masing-masing. Virus itu menjadi malaikat pencabut nyawa dalam sekejap. Seluruh dunia ketakutan luar biasa ketika berjalan melewati tiap sudut persimpangan. Hitungan menit saja nyawa banyak orang pergi begitu saja.
Virus ini terlihat santai menikmati perjalanannya keliling dunia dengan peran sebagai malaikat pencabut nyawa kelas kakap. Mama pun menjadi korban dari permainan virus tersebut. Berawal dari kisah di suatu kota tertentu yang kemudian berjalan masuk menyerbu lingkungan tempatku berada. Virus corona, kau memang benar-benar hebat bahkan lebih dari kata paling terkuat di antara banyak objek.
“Kepalaku sakit” tersadar seketika setelah tertidur berjam-jam lamanya. Entahkah karena situasi tersebut hingga membuatku lupa segalanya termasuk makan selama dua hari setelah kepergian mama. Bunyi perutku sekarang tidak bisa terhindarkan lagi. Berjalan keluar kamar mencari sesuatu di dapur. Terlihat sangat bersih dan tertata dengan rapi suasana area dapur rumah.
“Hati yang gembira adalah obat, tapi semangat yang patah keringkan tulang” kesekian kalinya tulisan mama terpampang jelas pada secarik kertas tertempel rapi sekitar pintu kulkas dapur.
“Minum air putih minimal 3 atau 2 gelas tiap pagi sebelum makanan masuk ke tubuhmu. Konsumsi air putih di pagi hari sangat baik untuk membersihkan segala racun dalam tubuh. Hati yang gembira adalah obat dan semangat yang patah keringkan tulang. Berhenti menangis atau hidup dalam ketakutan.” Tulisan mama sedang bersuara di atas meja bersama air putih dalam sebuah wadah. Sebenarnya, mama itu dokter atau penjual roti kukus?
“Anak mama harus bisa hidup lebih lama di bumi” sebuah pesan melalui salah satu aplikasi media social di kirim jauh sebelum mama pergi untuk selamanya.
“Kurangi makan makanan yang mengandung minyak untuk sementara waktu karena bisa menyebabkan sekaligus memancing radang bahkan system kekebalan tubuh bermasalah sehingga virus tersebut lebih mudah menikam tubuhmu” sekali lagi membuatku ingin tertawa seperti orang gila membaca tulisan mama tidak jauh dari area kompor gas…
Mama menempelkan seluruh pesannya di setiap sudut ruangan rumah. Menyuruhku mencuci tangan setelah melakukan tindakan apa pun, menjaga jarak dengan siapapun, memakai beberapa alat pelindung, dan masih banyak lagi. Dia benar-benar tidak menginginkan terjadi sesuatu terhadap putri semata wayangnya. “Tempat apa ini?” terkejut melihat sebuah kelapa sedang berguling menuju ke arahku.
“Kenapa ruangan di sini penuh dengan butiran kelapa?” tidak menyangka tindakan konyol seorang ibu.
“Air kelapa baik juga diminum pagi hari sebelum perut terisi makanan apa pun. Fungsinya buat membersihkan racun-racun dalam tubuh. Entahkah berfungsi atau tidak, maksimal konsumsi 2 kali seminggu. Ngerti?” Masih sempat-sempatnya juga membeli kelapa sebanyak ini. Antara saya ingin menangis, tertawa, marah, berteriak akan segala sesuatu yang dipersiapkan mama sebelum virus tersebut membunuhnya tanpa ampun.
“Hati yang gembira adalah obat, semangat yang patah keringkan tulang. Berusahalah untuk terus membuat hatimu tertawa lepas di tengah badai.” Kembali beliau menyatakan sebuah kalimat tanpa rasa bosan sekitar cermin dinding kamar mandi.
Duniaku seakan runtuh oleh sebuah virus mematikan, namun pesan mama seolah menyatakan kalau saya harus terus bertahan hidup apa pun keadaannya. Walau seribu rebah di sisimu dan sepuluh ribu di sebelah kananmu, tetapi itu tidak akan menimpamu merupakan sebuah pesan mama yang dikirim berulang kali baik melalui secarik kertas sekitar dinding kamarnya maupun aplikasi media social hanya buat anaknya seorang.
“Jangan lupa sebelum tidur seorang Rubi harus minum susu pembersih terlebih dahulu untuk melakukan sterilisasi bagian paru-paru dan organ tubuh lain. Ngerti?” pukul Sembilan malam gulungan kertas terlempar keluar dari jam dinding kamarku. Hal terkacau selanjutnya adalah mama seolah sengaja mengotak-atik jam tersebut sebagai pengingat pesannya…
Lemari di bawah jam tersebut penuh dengan kotak susu bubuk juga kalengan. Upaya seorang ibu melindungi sang anak memang terkesan terlalu melebih-lebihkan. “Apa ini?” sebuah rekaman milik mama tergeletak manis di atas kulkas dapur. Rekaman suara mama menekankan beberapa kalimat larangan kiri dan kanan. Terdengar menyebalkan, namun seolah berperan sebagai obat buatku.
“Daun pepaya sangat berfungsi untuk membersihkan darah dalam tubuh. Mama sulit prediksi sih, tapi sebenarnya virus benci tinggal bahkan tidak akan bertahan hidup dalam tubuh seseorang yang sering mengonsumsi sayuran pahit seperti daun pepaya” cukup membuat perutku sakit mendengar mama merekam suaranya…
“Jangan bertanya kenapa mama pergi menjauh. Seorang ibu akan berjuang melindungi anaknya bagaimanapun caranya. Cukup mama saja menjadi bagian dari virus tersebut karena keterlambatan kesadaran dan banyak hal” suara rekaman mama lagi.
Pemberitaan media selalu saja membahas virus pencabut nyawa. Semua orang dibuat ketakutan, parno dalam segala hal, khawatir, ekspresi aneh menyaksikan satu wabah dengan peran mematikan bagi seluruh dunia. Ada banyak orang di luar sana menimbun bahan makanan sehingga tidak lagi memperdulikan orang di sekitarnya. Seorang ibu menangis hanya karena kelas ekonomi atas menghabiskan seluruh popok, sedangkan dirinya sendiri seolah tak berdaya.
Pemberitaan kakek tua tidak kebagian roti sebagai makanan pokok utama akibat rasa takut luar biasa segelintir orang sehingga menjadi manusia serakah bahkan sangat egois. Membeli minuman mengandung vitamin C berdos-dos dengan pemikiran daya tahan tubuh mereka tentu terjamin. Satu hal perlu diketahui, tubuh hanya mampu menyerap vitamin C sekitar 250 mg/ hari bagi orang dewasa dan 100 mg untuk kategori anak. Andaikan mengonsumsi vitamin C berlebihan dapat menyebabkan kerusakan ginjal.
Bagian penyaringan tubuh berada sekitar area ginjal. Vitamin C yang dikonsumsi akan diserap sedikit saja oleh tubuh, sisanya terbuang begitu saja. Secara otomatis saat tertentu ginjal tidak akan mampu bekerja sampai mengakibatkan kerusakan luar biasa. Bukannya sehat malah makin membuat tante corona tertawa lebar hingga memudahkan dirinya untuk masuk menghancurkan hidup seseorang. Sebaiknya konsumsi vitamin C jangan berlebihan terlebih pada penderita maag/ asam lambung tinggi. Jangan menjadi orang aneh saking takutnya mati sampai mengonsumsi minuman vitamin C sebanyak mungkin.
Kerusakan hati pun dapat terjadi pada penderita maag. Minum air putih beberapa saat setelah mengonsumsi vitamin C. Sebaiknya konsumsi vitamin C melalui sayuran atau buah-buahan saja karena peranannya memang sangat penting bagi tubuh.
“Berita kacau semua” menarik nafas panjang menyaksikan pemberitaan media.
“Terkurung seperti orang bodoh” duduk merenung…

  

Bagian 3…


 Jam seperti ini bisa saya habiskan di jalan berkeliling mengantar pesanan roti kukus langganan mama. “Itu dulu, hanya memory masa lalu saja” menarik nafas panjang. Sudah dua minggu saya terkurung dalam rumah seorang diri. Mama memang benar-benar ahli mengunci pintu rumah sampai tidak bisa membukanya. Sepertinya pintu dan jendela sengaja dipesan kilat mama agar saya tetap berada di rumah. Penularan virus tersebut memang sangat cepat. Seluruh dunia sekarang sedang ketakutan. Puluhan ribu manusia sudah menjadi korban sang pencabut nyawa.
Rumah sakit kekurangan tenaga medis untuk penanganan pasien-pasien positif corona. Kenyataan kasat mata adalah para medis memang berperan penting sekaligus barisan perang utama melawan tante corona. Pertarungan hebat sedang terjadi di antara 2 area tertentu. Tidak sedikit dari mereka mati di medan perang. “Kau memang benar-benar kuat tante corona” tertawa sinis menatap layar media social bersama pemberitaan kiri dan kanan…
“Gadis cerewet harus bisa jaga kesehatannya” rasanya saya ingin kembali tertawa. Dokter Han masih menympatkan diri mengirim sebuah pesan saat situasi sulit seperti sekarang. Rumah sakit besar tempat beliau mengabdi sesak dipenuhi pasien positif covid-19, sedangkan dirinya harus ikut berperan aktif menangani mereka.
“Kapan saya bisa jadi asistenmu?” membalas pesan yang bahkan terlalu mustahill terbaca olehnya. Lah kalau dokter Han bisa mengirim pesan buatku berarti secepatnya saya akan mendapat balasan pula. Menunggu berjam-jam balasan pesan melalui salah satu aplikasi media social rasanya menyedihkan sekaligus menyebalkan.
“Jadi asisten dalam doa saja yah. Nanti kalau masa kritis virus Corona lewat sekaligus si’gadis bawel Rubi mendapat gelarnya perawatnya baru bisa dipertimbangkan lagi…” kalimat balasan menyebalkan. Bayangkan saja, saya menunggu sehari semalam untuk sebuah kalimat semacam ini?
Tinggal terkurung dalam sebuah rumah tanpa bisa berjalan kemanapun. Seluruh dunia ketakutan oleh sebuah virus yang bisa saja melenyapkan nyawa dalam sekejap waktu. Satu-satunya orang yang bisa membantuku keluar adalah musuh bebuyutanku sendiri. Sahabatku sendiri lenyap habis ditelan virus pencabut nyawa. Lantas, siapa lagi orang di sekitarku?
“Maaf atas semua sikapku dari hal terjelek sampai terheboh. Bantu saya keluar rumahku sekarang, please!” sebuah pesan tanpa basa-basi.
“Kau tidak sakit? Pesan ini kau tujukan kemana?” balasan pesannya.
“Terserah katamu, tapi saya janji akan melakukan apapun buatmu asal tolong keluarkan saya…” nada memohon 100%.
“Saya tidak bisa keluar rumah sakit sekarang karena pasien membludak, sedangkan system Lockdown pemerintah tidak bisa dilanggar. Jadi, tinggal saja di rumahmu?”…
“Lagian kau dan saya musuh bebuyutan” sekali lagi balasan paling brengsek darinya.
Musuh bebuyutan sampai kapanpun. Bagaimanapun saya berjuang menjadi pembenci, namun jauh di dasar hati semua itu tidak pernah ada. Mulut dan raut wajah berkata lain. Berawal dari kisah percintaan mama sewaktu masih muda dengan kebohongan bejat seorang pria beristri. “Kisah asmara terkacau” tertawa sinis mengenang kehidupan pahit kedua orang tuaku.
Wajah mama memang terlihat terlalu polos jika kembali membuat sebuah penilaian terhadap beberapa foto masa mudanya. Seorang pria berhasil mengelabui kehidupannya dengan berpura-pura masih berstatus single. Akhir cerita adalah mereka berdua berpacaran singkat bahkan berakhir pada sebuah pernikahan sacral. Selang beberapa waktu mama mengandung dan tidak lain jika janin itu adalah saya dalam perutnya.
Melahirkan seorang anak merupakan impian tiap wanita termasuk mama. Memasuki usia kehamilan Sembilan bulan, seorang wanita datang ke rumah melabrak mama bahkan menjambak rambutnya tanpa belas kasih. Ibu Anora alias istri pria tersebut terlihat sangat marah.
Seluruh rahasia tuan Sava akhirnya terbongkar hari dimana mama meringis kesakitan karena ulah seorang wanita yang mengaku sebagai istri beliau. Seperti tersiram air panas di siang bolong mendengar pernyataan terburuk dalam hidup. Mama harus memilih mempertahankan ayah anak dalam kandungannya atau merelakan kembali menjalani hidup normal bersama istri pertama.
Negara tak ber’Tuhan ketika menjalani hidup tentu jalan utama yang akan di ambil adalah melenyapkan nyawa sendiri atau melakukan hal-hal aneh. Singkat cerita, seorang pendeta menemukan mama menangis di jalan seorang diri. Di tengah keadan tersebut, seakan Tuhan mengirim seorang hamba Tuhan untuk berdoa hingga membuat mama berani mengambil keputusan terberat bagi hidupnya sendiri sekaligus anak dalam kandungannya. Berpisah merupakan jalan terbaik bagi hubungan sepasang suami istri. Menyuruh sang suami kembali hidup bersama istri pertamanya dan melupakan segala memory mereka.

FLASHBACK…

“Saya sudah cukup melakukan sebuah dosa besar. Merusak satu bahtera penikahan seseorang sampai berujung pernikahan…” mama berkata-kata terhadap seseorang. Saya bisa mendengar apa pun percakapan mereka berdua. Usia sepuluh tahun tentu menyadari beberapa hal tentang perbincangan orang dewasa baik dalam bentuk pertengkaran atau objek lain.
“Tapi saya tidak mencintai Anora” pria bertubuh kekar berdiri di hadapan mama. Mengintip di balik tirai jendela kamar untuk terus mendengar percakapan dua orang dewasa.
“Jangan membuat kesalahan kedua. Mempertahankan satu bahtera pernikahan memang terlalu sulit ketika segala sesuatunya berada di ujung tanduk, tapi kau harus bisa bertahan sebagai kepala keluarga” kalimat bijak seorang wanita alias mama yang memang merupakan korban bahkan harus siap merelakan ayah anaknya kembali pada keluarganya.

FLASHBACK…

Semenjak saat itu, saya berusaha mencari tahu diam-diam apa pun tentang kehidupan tragis mama. Mama menolak kiriman uang pria tersebut. Kisah tragis lainnya adalah sebutan sebagai pelakor selalu saja bekumandang di telingaku. Pelakor dan anak haram menjadi bahan ledekan beberapa orang di sekitar kami. Zangbi sendiri merupakan anak kandung dari pria tersebut bersama istri pertamanya.
Entah bagaimana cerita Zangbi dan mamanya berada di hadapan kami bersama raut wajah asam. Tanpa sadar saya harus menjalani masa-masa sekolah pahit setelah akhirnya menyadari kalau anak pria itu adalah senior alias kakak kelasku sendiri di tiap sekolah baruku sejak sekolah dasar hingga menginjak remaja. Kami berdua tidak akan pernah bisa akur ketika saling berhadapan. Yah memang kenyataan jika dia musuh bebuyutanku.
“Meminta bantuan ma musuh bebuyutan sendiri apa salahnya coba?” menggerutu seorang diri dalam kamar.
Virus Corona semakin membuat semua orang sangat ketakutan. Pemberitaan media tentang jutaan manusia sedang menjalani situasi tersulit sekarang ini. Tenaga medis sedang berjuang mempertaruhkan nyawa di seluruh dunia termasuk dokter Han bersama musuh bebuyutanku Zangbi. Saya tidak pernah ingin mengakui jika saya dan Zangbi sedarah dari pria yang sama.
Mama melarang pria itu bertemu denganku untuk menghindari beberapa kejadian demi kepentingan keluarga kecilnya. Saya menyadari semuanya, namun berpura-pura bodoh seolah tidak menyadari kejadian sebenarnya. “Berpura-pura kuat bahkan tidak ingin melemparkan pertanyaan sepatah katapun ketika seseorang berteriak di depan kami dengan sebutan pelakor dan anak haram” tertawa sinis mengenang memory kemarin.
“Kenapa juga harus ingat memory kemarin?” menampar wajah sendiri. Keadaan begitu sunyi senyap di luar sana tanpa satu pun suara kendaraan atau pejalan kaki. Tidak ada lagi aktifitas masyarakat atau bahkan perkumpulan antar satu kelompok dengan yang lain. Hidup semua orang hanya diliputi rasa takut luar biasa. Siapa sih tidak takut mati?
“Hanya dalam waktu singkat nyawa ribuan orang melayang” berpikir tentang situasi pandemic corona virus. Para ilmuwan sedang sibuk mencari penangkal virus menyengat sampai seluruh dunia harus diisolasi habis-habisan. Mencari vaksin juga obat pembasmi sang virus seperti orang yang lagi dikejar setan level seribu. Mereka dengan diagnose positif covid-19 hampir sebagian besar bahkan keseluruhan diberi obat-obat keras menurut kesimpulan hasil pengamatanku selama ini. Btw, pemberian obat-obat keras walaupun dinyatakan sehat kembali akan berdampak beberapa waktu kemudian. Kemungkinan salah satu organ seperti ginjal atau paru-paru mereka lebih kacau lagi.
Pemberian obat keras tentu berdampak pada beberapa organ tubuh terlebih khusus ginjal. Jadi, dunia medis harus berhati-hati dalam hal ini dan jangan seperti orang dikejar setan langsung tancap gas. Entah jangka pendek atau panjang tetap tenaga medis yang akan bertanggung jawab dan dipersalahkan. Andalkan Tuhan ketika bekerja karena jawaban atas segala sesuatunya memang dari sang pencipta. Permasalahan sekarang adalah system zat kimia manusia milenial jauh lebih hebat berkembang dalam tubuh dibanding hal-hal bersifat alami dari berbagai jenis makanan. Virus kebal terhadap obat bahkan antibiotik dosis keras sekalipun. Kesalahan pasien sebagian besar lagi adalah selalu mengambil obat salah atau mengonsumsi antibiotik tidak teratur terhadap suatu penyakit sehingga ketika berhadapan hal semacam ini seolah tubuh kebal dan tidak merespon ketika dilakukan pengobatan. Akar permasalahan virus berada pada salah satu titik tersebut, jadi system imun seseorang ketika menanggap respon obat bisa fatal seketika ataupun disuatu hari kelak baik jangka pendek maupun panjang.
Kesimpulannya adalah kemungkinan hari ini para medis merupakan pahlawan, namun esok hari mereka bisa saja tersudutkan karena efek pemakaian obat keras dalam situasi wabah sekarang. Pemberian maupun penanganan pasien covid-19 kalau bisa jangan seperti orang dikejar setan. Satu hal yang pasti, bahwa bagaimanapun juga saya tetap bangga terhadap para tenaga medis atas sesuatu yang diperbuat. Tetap tenang dan andalkan Tuhan setiap berhadapan dengan pasien, kenapa? Karena tenaga medis juga manusia biasa…
“Semangat, jangan menyerah para pejuang medis yang lagi stress berhadapan ma ribuan musuh bebuyutan si’tante corona” update status pertama kali di masa-masa tersulit.
Hari ini dengan rutinitas sama diam termenung setelah menatap segala pemberitaan media pada layar ponsel maupun televisi. Saya harus bisa bertahan dengan situasi terkacau seperti sekarang tanpa siapapun. Berusaha kembali mengirim pesan terhadap musuh bebuyutanku sendiri agar mau menolong. “Di rumahku tidak ada makanan, ngerti?” alasan terakhir agar dia mau menolongku.
Zangbi memang salah satu asisten terbaik dokter Han walaupun dirinya belum lama bekerja di rumah sakit tersebut. Bagaimana bisa satu-satunya manusia dalam pikiranku yang bisa menolong saya sekarang adalah musuh sendiri. “Dia kan memang harus menolong adiknya sendiri dong apa pun alasannya” menggerutu seperti orang gila…
“Tiga jam lagi saya berada depan rumahmu” sebuah balasan pesan sampai membuatku melompat kegirangan.
“Saya tidak mimpi kan” mengucek mata sendiri.
“Awas kalau berbohong” pesan terakhir bernada mengancam.
Akhirnya saya bisa berada di luar sana untuk mencari jenasah mama. Minimal, saya harus tahu di mana mama sekarang di kubur? Sekalian bisa langsung terjun menjadi asisten dokter Han di rumah sakit.


Bagian 4…


Akhirnya suara gedoran pintu mulai terdengar beberapa jam kemudian. Pertanyaanku sekarang adalah kenapa bisa musuh bebuyutanku luluh juga ingin membantu? Masa bodoh jawabannya. Menyuruh Zangbi agar berjuang keras membuka pintu besi depan rumah hasil modifikasi mama, bagaimanapun caranya…
“Kau harus berjuang” teriakku dari dalam rumah.
“Saya bisa mati kelaparan di sini” sedikit memberi alasan. Sebenarnya sih, mama sudah menimbun banyak persediaan makanan buat anak semata wayangnya. Btw, kalau dipikir-pikir tabungan mama sepertinya habis ludes gara-gara mempersiapkan bahan makanan selama masa lockdown khusus bagi putrinya.
“Cerewet?” cetus Zangbi dari luar. Mencoba menonton segala usaha sang musuh bebuyutan menghancurkan pagar besi mama melalui kaca jendela lantas atas rumah. Mama memang memasang jeruji besi kuat di setiap sudut jendela, tetapi saya masih bisa melihat sesuatu di luar sana melalui sedikit celah.
“Berhasil” seru bahagia melihat perjuangan keras dokter Zangbi membuka pintu besi baja hasil desain mama.
“Zangbi…” saya melihat dia tiba-tiba jatuh tergeletak ke lantai. Segera berlari menuruni anak tangga untuk membuka pintu pertama yang hanya terbuat dari kayu…
“Berhenti! Menjauh dariku dan jangan coba membuka pintu kayu di depanmu” teriak Zangbi menyadari keberadaanku.
“Kau sedang tidak sehat, lantas saya hanya diam begitu saja?” sedikit mengamuk.
“Saya hanya ingin mengantar makanan bukan menularkan virus terhadapmu. Jadi, jangan mencari  masalah” Zangbi.
“Jangan katakan kau…” mencoba menebak ucapannya.
“Perkiraanmu betul, saya baru menerima hasil pemeriksaan rumah sakit melalui saluran telepon dari dokter Han” Zangbi. Resiko tinggi memang harus siap diterima oleh para tenaga medis ketika berhadapan dengan pasien diagnose positif corona. Bagaimanapun juga saya harus menolong Zangbi. Mencari Alat Pelindung Diri seadanya sebelum memberikan pertolongan. Membungkus tubuh menggunakan plastik bening milik mama, yang kemudian di lapis kembali dengan memakai jas hujan tebal milikku.
“Kalau saya tertular virus corona berarti pengorbanan mama sia-sia semua dong” berbicara sendiri sambil membungkus rambut memakai plastic kresek, setelahnya mengenakan masker dan helm. Setiap ke kampus saya selalu mengenakan motor besar seperti anak muda di luar sana. Lapisan kaca spion dari helm tersebut bisa melindungi wajah manis tentunya…
Sampai kaki pun harus harus di lapis kaos kaki, plastik, dan terakhir sepatu yang biasa mama kenakan di pasar kalau lagi membersihkan atau menjual biar kaki bebas dari kutu air. Jujur, sebenarnya saya juga takut tertular virus terus mati seperti orang lain di sekitarku. Menarik tubuh Zangbi masuk ke dalam rumah setelah berhasil membuka pintu. Keinginanku untuk keluar sepertinya tertunda dulu deh…
Membawanya ke kamar mama serta memasang cairan infus seadanya. Bahan infus di sertai beberapa obat tersedia di rumah hasil merebut paksa ketika mengantar pesanan dokter Han di ruangannya. Melakukan drips obat cairan penurun demam seorang diri tanpa intruksi dokter. “Ayah sayang Zangbi kan?” terdengar kalau dia sedang mengigau. Sampai detik sekarang, saya tidak pernah berhadapan langsung dengan pria tersebut. Bagaimana rasanya memiliki seorang ayah?
Kami berdua mempunyai ayah yang sama walaupun lahir dari rahim berbeda. Zangbi selalu bersama pria itu, jauh berbeda denganku. Berjaga semalaman di sampingnya tanpa lagi berpikir virus tersebut bisa saja berlari ke arahku. “Kau harus sembuh bukan buat dirimu sendiri melainkan ribuan pasien sedang menunggumu di luar sana” kata-kata seperti ini mengalir begitu saja.
“Di mana saya?” Zangbi tiba-tiba tersadar dari tidurnya.
“Kau sudah bangun?” melihat memberikan segelas jus.
“Minumlah!” menyodorkan ke tangannya. Beruntung saja demamnya sudah turun. Hal paling menakutkan kalau-kalau sang dokter sesak nafas tiba-tiba…
Memberinya sebutir air kelapa sebagai pembersih dalam tubuh utamanya sekitar organ-organ penting semacam paru-paru. Zangbi sangat terkejut menyaksikan penampilanku sampai membuatnya ingin tertawa. Bahan lain pun bisa dijadikan pelindung biarpun APD medis tidak ada di rumah. Mama berjuang menjauhkan putrinya dari virus paling kejam dengan jalan meninggalkan rumah, tetapi sang dokter datang ketika dirinya dinyatakan positif Corona tanpa sadar. Pasien seluruh rumah sakit membludak dan tentu sangat mustahil Zangbi bisa mendapat perawatan. Saya akan mencoba merawatnya seorang diri. Bagaimanapun juga dia adalah kakakku…
“Minuman apaan ini? pahit amat” tidak tahan setelah meneguk sekali. Memberinya segelas jus sekitar pukul sepuluh setelah makan sampai sang dokter berusaha ingin memuntahkannya. Jelas saja pahit, namanya juga jus daun papaya. Permasalahannya adalah Zangbi dinyatakan positif berarti suka maupun tidak harus siap mengonsumsi daun papaya dalam bentuk jus. Satu setengah lembar daun pahit tersebut dapat membersihkan kotoran termasuk virus dalam darah. Kemungkinan masih bisa dicampur sayuran lain atau lalapan kalau dikatakan masih negative. Mereka dengan riwayat maag harus minum obat penetralisir lambung terlebih dahulu sebelum mengonsumsi.
Memaksa dia untuk menghabiskan jus tersebut. “Hati yang gembira adalah obat, tapi semangat patah keringkan tulang” berujar terhadapnya.
“Maksudnya?” Zangbi.
“Sepahit apa pun virus tersebut menjalar sama seperti jus daun papaya itu, tetapi kau harus berjuang mencari jalan agar hatimu tetap dalam keadaan gembira”…
“Fungsinya?” Zangbi.
“Mempercepat proses kesembuhanmu demi ribuan pasienmu di luar sana” menjawab pertanyaannya. Mereka masih membutuhkan seorang dokter tampan jenius bernama Zangbi ketika berjalan melalui suatu badai tertentu.  Dia diam membeku seakan menyadari sesuatu hal paling berharga. Kami berdua berusaha melupakan permusuhan untuk sementara waktu.
“Dia meninggal” sepasang mata bola Zangbi berusaha menahan kesedihannya.
“Siapa?”
“Ayahku sekaligus ayah kandunngmu. Jangan berpura-pura bodoh tentang kebenaran sebenarnya” Zangbi. Ternyata dia tanpa sengaja melihatku bersemnyi ketika terjadi pertemuan sekaligus percakapan cukup rumit antara mama dan pria tersebut. Andaikan bisa, saya juga ingin berada dalam dekapan ayahku sendiri. Keadaan menuntut mama menghalangi ayah dari anaknya sendiri untuk berlari mendekapku erat. Kenyataan lain adalah saya terlihat seoalah tidak menyadari segala masalah.
“Saya kemari hanya ingin menyerahkan sebuah album penuh memori” Zangbi. Sebuah album hanya berisi fotoku semata sejak kecil hingga sekarang. puluhan video mengisahkan bagaimana saya berada di sekolah, pasar, bahkan kampusku pun terus terekam.
“Namamu selalu tertulis jauh di dasar hatinya. Diam-diam menangis atau tersenyum sendirian melihat gadis kecilnya berlari dari kejauhan” Zangbi. Pria itu maksudku ayahku berusaha menahan diri untuk tidak pernah hadir dalam hidupku. Kenapa saya harus berpura-pura bodoh? Zangbi sengaja berada di sekolah yang sama denganku karena ingin membantu ayahnya agar tetap bisa melihat gadis kecilnya dari dekat.
“Saya hanya tidak ingin mama menderita sampai akhirnya jalanku menutup rapat pertanyaan tentang ayah kandungku sendiri” tangisku pecah.
“Kau hanya korban dari ayah, ibu, bahkan hidupku sendiri” Zangbi.
“Saya bukan anak kandung mereka melainkan anak adopsi sejak bayi. Ibu tidak bisa memberi ayah keturunan. Kesalahan terbesar ibuku adalah berbohong dengan berpura-pura hamil sampai scenario tersebut terbongkar begitu saja oleh salah satu asisten kepercayaan keluarga” Zangbi. Rasa takut kehilangan menjadi alasan ibu Anora menjadi seperti manusia iblis terhadap ibuku. Kesalahan terbesar seorang istri adalah diam seribu bahasa tanpa rasa terbuka untuk menyatakan keadaan sebenarnya. Keretakan sebuah keluarga dikarenakan pondasi kepercayaan bahkan keterbukaan satu sama lain tidak lagi terjalin.
Selama ini Zangbi pun sudah terlalu menderita. Dia hanya berusaha menahan diri untuk tidak menyatakan segala goresan lukanya di luar sana. Virus pencabut nyawa berhasil melenyapkan nama ayah, istrinya, juga mama dari dunia. “Ayah selalu rindu ingin mendekapmu dan meminta maaf ribuan kali atas segala sakit saat kau berjalan” sebuah rekaman bagaimana ayahku menangis keras di rumah sakit membuat satu pernyataan.
“Ayah selalu saja menjadi manusia paling jahat di matamu bahkan berpura-pura tidak menyadari betapa besar rasa sakit ketika kau berjalan terlebih berlari. Maaf karena ayah tidak pernah bisa berdiri di depanmu bahkan tersenyum” sekali lagi kalimat penyesalan sengaja direkam oleh Zangbi diam-diam.
“Maaf membuatmu terpisah dari ayah bertahun-tahun lamanya bahkan sampai nafas terakhirnya di rumah sakit. Saya hanya tidak ingin kau tertular virus sampai tetap diam seribu bahasa…” Zangbi.
“Kenapa kalian berdua meminta maaf dengan cara seperti ini?” seolah ingin menjatuhkan butiran Kristal, namun sesuatu menahannya.
“Bertahun-tahun berpura-pura bodoh bahkan seolah tidak menyadari apapun tentang pertengkaran maupun percakapan mereka kalau saya hanya anak adopsi. Sama seperti dirimu kan?” Zangbi.
“Kurasa saya tidak perlu menyadari semua tentangmu” membalas kalimatnya.
“Sampai titik napas terakhir sekalipun di rumah sakit, mereka berdua tetap diam membisu akan sebuah kenyataan hidup” Zangbi.
“Maaf menyakiti hatimu, hanya pernyataan tersebut mengalir keluar dari perbendaharaan mulut mereka berdua sebelum membuatku menangis seorang diri” Zangbi tertunduk menarik napas panjang.
Apakah saya harus mempersalahkan Zangbi? Dirinya pun hanya korban sama seperti hidupku. Tentu luka seorang Zangbi jauh lebih menakutkan dibanding jalanku sendiri. “Hati gembira adalah obat tapi semangat patah keringkan tulang” berusaha menghapus butiran Kristal sekitar wajahku.
Saya harus bisa mencari sesuatu bahan agar kami berdua dapat tertawa bahkan melupakan sebuah kisah memory di masa lalu. Bagaimanapun juga, masing-masing kami diajar oleh sebuah petualangan. Saling memberi kekuatan jauh lebih baik dibanding harus membenci satu sama lain. Tidak memungkinkan membawa dokter Zangbi ke rumah sakit untuk waktu sekarang. Para medis kewalahan menghadapi pasien di luar sana. Saya harus merawat sendiri kakak kelas/ senior/ musuh bebuyutan/ anak ayahku seorang diri di rumah suka maupun tidak.
Menyuruh dia meminum 3 gelas air putih setiap pagi sebelum seluruh makanan masuk ke perut. Akibat dinyatakan positif sehingga maksimal mengonsumsi air kelapa 3X seminggu sebagai pembersih pula pada pagi hari. Demi mencegah terjadinya tekanan darah rendah akibat air kelapa berlebihan, jadi saya memberinya kapsul zat besi di siang hari, sedangkan malam dipergunakan meneguk segelas susu pembersih. Ketiga bahan tersebut memiliki fungsi cukup kuat bagi tubuh. Berjuang mencari jalan membuat suasana hatinya tetap tertawa dan hal seperti ini sangat sulit dilakukan tetapi harus…
“Mamaku sangat jenius membuat roti kukus, sedang anaknya sendiri terlalu bodoh mengikuti jejaknya” menceritakan bagaimana seluruh roti kukus buatanku hangus juga terasa pahit sampai seluruh pelanggan mengamuk. Minimal, seorang Zangbi berhasil tertawa oleh ribuan cerita milik Rubi. Virus Corona tidak bisa menghentikan duniamu untuk tersenyum di antara segala objek yang sedang mengitari hidup baik pahit maupun terkesan manis.
“Mamamu ternyata langit dan bumi ma anak sendiri yah?” Zangbi terus tertawa keras.
Hati gembira merupakan obat terbaik penghancur virus corona dibanding segala jenis usaha maupun obat-obatan medis di luar sana. Hal tersulit bagi diri sendiri adalah berjuang membuat suasana hati tetap terjaga dalam tawanya. Rasa takut berlebihan itulah menciptakan senyum hebat terhadap sang virus si’pencabut nyawa. “Lupakan kalau kau dinyatakan positif corona, ciptakan sesuatu hal yang bisa membuat hatimu tertawa hebat bahkan melupakan rasa takut luar biasa” kalimat tersebut tertuju bagi seseorang yang sedang berada di hadapanku.
“Terima kasih atas segala hal yang kau lakukan” Zangbi.
“Saya akan berjuang biar bisa pulih kembali demi ribuan pasienku di luar sana yang sedang menanti sang dokter berjalan ke arah mereka” Zangbi berucap kembali penuh semangat.
“Semangat semangat semangat” teriakan luar biasa seorang Rubi.
“Semangat” Zangbi balik membalas.
“Sadar tidak kalau saya berjuang keras biar bisa diterima bekerja di rumah sakit tempat kau membawa roti kukusmu pada seorang dokter terkenal?” Zangbi.
“Tidak sadar tuh” menjawab cuek.
“Memang sejak dulu kau tidak pernah sadar” Zangbi.
“Btw, sekarang sudah seminggu lebih di rumahku. Coba kembali ke rumah sakit dan lakukan tes kembali! Siapa tahu hasilnya negative” memberi nada perintah setelah hampir dua minggu telah berlalu. Dokter Zangbi harus bisa pulih secepatnya demi perjuangan hidup orang banyak di luar sana.


Bagian 5…

Hitungan waktu singkat sang virus berkuasa atas nyawa semua orang. Perekonomian dunia goncang hingga ada begitu banyak orang menjadi korban PHK. Virus tersebut tidak berasal dari Tuhan melainkan karena permainan sang penguasa kegelapan. Tuhan pencipta semesta mengizinkan virus itu menjalar untuk mengajarkan semua orang tentang keterbatasan manusia. Setidaknya manusia kembali menatap Tuhan sebagai sahabat setelah sekian lama berada pada jurang paling gelap.
“Kau bisa berteriak terhadap dirimu sendiri bahkan mengajarkan seluruh pasienmu tentang satu pernyataan” membuat sebuah kalimat kembali bagi sang dokter di hadapanku sebelum berjalan menuju rumah sakit.
“Pernyataan?” Zangbi.
“Tante corona harus kuakui kalau kau memang jauh lebih kuat dari bayangan siapapun tetapi saya lebih kuat darimu”…
“Maksudnya?” Zangbi.
“Kau harus memperkatakan kalimat seperti itu setiap hari dengan iman” berkata-kata lagi terhadapnya. Kenyataan yang ada jika Negara ini bukanlah satu bangsa dengan ciri khas religius, namun masih ada Tuhan dalam kehidupan beberapa orang termasuk saya dan mama.
“Iman itu bercerita tentang apa?” Zangbi.
“Iman berarti percaya sesuatu hal yang tidak kau lihat tetapi terjadi. Contohnya menginginkan sebuah kesembuhan berarti dalam dirimu yakin kesembuhan sudah terjadi walaupun masih terlihat sakit di luar, tapi harus disertai perbuatan semacam usaha dan doa paling utama” pernjelasan religius buatnya…
“Saya hanya harus percaya terhadap Tuhan sebenar-benarnya dan memiliki iman melawan sang virus?” Zangbi.
“Sejak kecil ketika mengalami satu penyakit terlebih flu, mama selalu melarang saya mengonsumsi satu jenis obatpun” entah kenapa seorang Rubi ingin bercerita satu kisah aneh dalam hidup sendiri.
“Lantas kau ikut?” Zangbi.
“Pada hal setiap saya mengalami flu selalu saja terjadi sesak napas cukup panjang sekaligus batuk parah. Asal terkena debu sedikit pasti bawaannya sakit”…
“Jangan-jangan kau asma?” Zangbi.
“Entahlah. Intinya mama hanya berkata, dimana imanmu? Dengan kata lain saya tidak boleh mengonsumsi obat dalam bentuk apa pun dan harus belajar mengandalkan kekuatan doa bersama satu kata iman untuk bertahan hidup” penjelasan mengenai sesuatu hal…
“Jadi kau?” Zangbi.
“Seperti yang kau lihat sekarang saya masih bernapas bahkan terkadang jika memaksakan satu obat medis masuk ke tubuh jadinya penyakitku semakin parah. Awalnya sangat sulit tetapi seiring berjalannya waktu semua bisa saya jalani” berkata-kata…
“Imanku dan iman orang lain termasuk dirimu tentu tidak sama artinya memiliki porsi berbeda. Hanya saja, ketika kau kembali berhadapan dengan ribuan pasien nyatakan imanmu sesuai dengan porsimu bahkan percaya jika kau lebih kuat dibanding kekuatan virus yang sedang mencekam seluruh dunia…” berucap lagi.
Pernyataan tadi tidak hanya saya tujukan terhadap seorang dokter melainkan seluruh tenaga medis ketika bertempur menghadapi situasi mencekam. “Saya tidak ingin memaksamu memiliki iman seperti keinginan mamaku, setidaknya berjuanglah untuk mempunyai satu porsi iman tertentu demi ribuan pasien di luar sana” kalimat terakhir dariku.
Suasana dunia sekarang memang sangat mencekam oleh karena ketakutan luar biasa dari seluruh penjuru dunia. Dokter Zangbi berjalan keluar meninggalkan rumah dan kembali ke rumah sakit tempat dimana ketakutan dan kekhawatiran bermain jauh lebih kuat. Para tenaga medis tentu sebagian dari mereka sedang menangis ingin berlari keluar, tetapi keadaan menuntut untuk tetap bertahan apa pun resiko perjalanan depan mata.
“Rubi, obat apa yang kau berikan terhadap Dokter Zangbi?” dokter Han menelpon tiba-tiba hanya demi pertanyaan seperti itu.
“Dokter mengganggu tidur saja” cetusku menjawab panggilan teleponnya.
“Dia dinyatakan positif beberapa waktu lalu, kemudian menghilang entah kemana dan sekarang tiba-tiba hadir di rumah sakit seolah tidak terjadi sesuatupun” dokter Han.
“Btw, kenapa dokter bisa tahu kalau dia bersama dengan saya selama ini? tunggu, bagaimana dokter Han tahu kalau kami berdua saling mengenal satu sama lain? Dokter penguntit” cetusku.
“Kan dokter Zangbi sendiri yang cerita, jelas saya tahulah” dokter Han.
“Dokter Han, saya dinyatakan negative corona virus” seperti teriakan zangbi penuh semangat terdengar jelas melalui saluran telepon.
“Suaranya seperti kukenal” pancingku.
“Dia makan apa sejak bertemu denganmu sampai dirinya tidak seperti kemarin bawaannya ingin mati terlebih kepergian kedua orang tuanya?” dokter Han masih bertanya.
“Jus daun papaya” menjawab dokter Han kemudian mematikan sambungan telepon kami. Syukurlah Zangbi bisa kembali pulih dan bisa berdiri lagi sebagai seorang dokter. Btw, dokter Han benar-benar kuat juga bertarung nyawa menyelamatkan pasiennya. Suaranya tidak terdengar seperti orang sakit atau harus tumbang seperti Zangbi kemarin. Bukannya menolongku untuk keluar meninggalkan rumah, melainkan saya harus bertahan merawat seorang Zangbi sendirian.
Mama hebat juga meninggalkan pesan, lantas kenapa harus…? Terlalu sulit menebak jalan Tuhan di balik semua ini, tetapi sepertinya saya hanya sedang menjalani ujian pembentukan semata. Beberapa waktu lalu, hidupku terkesan hancur berkeping-keping melihat mama berkorban buatku, namun seiring berjalannya waktu saya mulai kembali berdiri tegak.
Tidak pernah menyangka bagaimana ayah menahan diri bertemu denganku. Saya pikir dia hanya mencintai keluarganya bukan diriku ternyata semua dugaanku salah. Hati ayah sangat hancur jauh melebihi pemikiran sendiri. Namaku selalu terlukis kuat di hatinya sampai napasnya terhenti. Album foto sekaligus rekaman video menjelaskan segalanya tentang cinta seorang ayah terhadap gadis kecilnya.
“Seluruh warisan peninggalan ayah milik kepunyaanmu” sebuah pesan masuk melalui salah satu aplikasi medsos terpampang jelas.
“Bukan warisan yang kuinginkan melainkan dekapan ayahku” tersenyum sinis menyesali keadaan kemarin. Berpura-pura bodoh untuk tidak pernah mencari tahu atau bertanya tentang ayah merupakan hal mengerikan yang pernah kulakukan. Waktu tidak dapat di putar kembali…
Virus tersebut berhasil menikam ayahku bersama istrinya. Saya seperti orang bodoh sama seperti yang lain mengurung diri dalam rumah setelah keputusan pemerintah tentang system lockdown. Kenyataan sebenarnya sih adalah setiap pemimpin masing-masing Negara harus bisa mempertanggung jawabkan maupun berdiri mewakili rakyatnya sendiri di hadapan Tuhan. Bukan permasalahan sang pemimpin memiliki ribuan dosa, melainkan ini satu-satunya persyaratan terbesar untuk keluar dari situasi sekarang.
Jangan lagi seseorang merasakan kisah seperti jalan hidupku harus kehilangan keluarga. Tugas seorang pemimpin Negara tidak hanya bercerita bagaimana dirinya menjalankan satu roda pemerintahan demi perkembangan kemajuan sebuah bangsa di tangannya. Ketika situasi sulit semacam wabah penyakit berjalan berputar seperti kelaparan siap mencari mangsa, maka sang pemimpin harus siap merendahkan hati memohon ampun di hadapan sang pencipta agar bangsanya tetap bertahan bahkan pulih jauh dari bayangan semua orang. Jangan katakan jika semua itu merupakan tugas pemimpin agama bukan  presiden bagi sebuah Negara. Justru peranan pemimpin dunia harus jauh lebih kuat bermain bukannya menjadi manusia egois bahkan sangat angkuh…
“Saya ingin berada di rumahMu sekarang” diam-diam berjalan keluar rumah tanpa memperdengarkan suara sedikitpun. Hukuman siap menanti andaikan aturan lockdown dilanggar, jadi saya harus pandai mencari jalan. Seolah saya melupakan keinginan mencari jenasah mama dengan kondisi seperti sekarang. di pikiranku sekarang adalah ingin berada di rumahNYA. Negara tak berTuhan tetapi masih terdapat sebuah tempat ibadah kecil di dirikan diam-diam buat sebagian kecil masyarakat yang masih percaya tentang ke-Tuhanan.
Berada di satu tempat ibadah kecil tanpa satu penghunipun dengan kaki berlutut menjatuhkan tangisan di hadapan Tuhan. “Sekiranya belas kasihMU turun atas dunia” menjerit bahkan tersungkur…
“Maaf atas setiap dosa yang terus saja membungkus hidup termasuk kotaku bahkan para penghuni bumi. Lembutkan hatiMU…”
“Saya butuh dekapanMU di curahkan atas kotaku dan dunia” hanya kata-kata tersebut saja tertata rapi. Tuhan tahu maksud pernyataanku tadi tanpa harus menjelaskan lebih detail.
Siapa sih tidak hidup dalam ketakutan seperti sekarang? Semua orang sedang berada dalam lembah maut bahkan siap menerkam kapan saja. Saya berharap para pendeta di manapun berada mengadakan doa dan puasa secara berantai tanpa putus sedetikpun. Satu-satunya jalan menghadapi virus tersebut adalah melakukan hal semacam ini. Minimal, Tuhan menggerakkan hati para pemimpin dunia untuk merendahkan hati dan meminta pengampunan sehingga belas kasih tercurah…
Jalur hidupku memang tidak sedang berjalan atau berperan sebagai seorang pendeta, tetapi satu-satunya jalan yang saya tahu adalah melakukan hal semacam di atas tadi. Sampai di mana sih kekuatan tenaga medis untuk menjadi prajurit hebat di medan tempur? Mereka juga manusia biasa dan sangat terbatas. Tenaga medis hanya sebagai alat sisanya Tuhan yang beracara untuk segala sesuatu terlebih pertempuran melawan tante corona.
Kunci utama menghentikan semua ini berada pada diri seorang pemimpin di seluruh pelosok bumi. Sampai di mana sih tingkat kekuatan seseorang paling jenius sekalipun menghentikan wabah virus tersebut? Media seluruh dunia hanya bercerita tentang jutaan orang dinyatakan positif corona dalam waktu singkat. Nyawa ratusan ribu melayang begitu saja termasuk di kotaku sendiri.
Saya harap para pemimpin dunia mau meninggalkan keangkuhan, keegoisan, dan kekuatannya terhadap sang pencipta dengan merendahkan hati mewakili bangsanya masing-masing. “Sepertinya satu-satunya jalan adalah membuat sesuatu yang sulit dilupakan oleh presiden di Negara tercinta” menarik napas dalam-dalam kemudian berdiri meninggalkan tempat ibadah…
Diam-diam berjalan menuju rumah sakit seperti pencuri harus bisa mengelabui setiap post penjagaan ketat milik pemerintah. Ada banyak orang sedang menangis ketakutan oleh situasi darurat seperti sekarang. “Rubi” suara tidak asing lagi mengejutkan tiba-tiba. Zangbi menarik menarik tanganku menuju satu ruangan khusus jauh dari keramaian pasien.
“Kau membuatku kaget” sontak jantungku hampir terlempar.
“Kau tahu di sini berbahaya buatmu? Sadar tidak kalau virus bisa begitu mudah menyebar ke tubuhmu? Bodoh atau gila?” amarah Zangbi sangat ketakutan.
“Bersihkan tanganmu!” nada memerintah Zangbi menyalakan keran air.
“Bantu saya keluar dari perbatasan menuju ibu kota” langsung pada inti pembicaraan.
“Kau gila” emosi Zangbi tidak terkendali sambil berusaha mengenakan alat pelindung diri terhadapku di sebuah ruangan.
“Saya memang gila. Kau berhutang budi terhadapku” menyinggung pertolongan kemarin…
“Kau bisa saja berada dalam jeruji penjara” Zangbi.
“Gunakan warisan ayahku untuk membantuku meninggalkan kota” menatap wajah Zangbi.
“Kau benar-benar gila” Zangbi semakin menggaruk kepalanya sehingga seluruh rambutnya terlihat berantakan.
“Saya dengar beberapa tenaga medis termasuk dokter Han akan mengadakan pertemuan bersama sang presiden. Bagaimanapun caranya kau harus bisa membuatku berada di antara mereka, ngerti” terdengar seperti ancaman buatnya.
“Saya bisa membantumu mengirimkan makanan ke rumah atau menjadi pembantumu seumur hidup, tapi masalah satu ini mustahil diterima” Zangbi.
“Kau merebut ayahku berarti satu-satunya jalan membayar rasa bersalahmu adalah menolongku meninggalkan kota, titik tanpa penolakan” terpaksa menyindir masa lalu kemarin.
“Kenapa kau menyindir memory kemarin? Saya benar-benar menyesal memberi tahu kebenaran sebenarnya” Zangbi.
“Bantu saya menjadi salah satu anggota medis yang akan bertemu presiden tanpa sepengetahuan dokter Han” menatap tajam ke arah Zangbi.
Akhir cerita seorang dokter tampan bernama Zangbi harus rela mengikuti segala kemauanku suka maupun tidak. Sengaja memberi obat tidur pada salah satu dokter wanita di rumah sakit kemudian mengambil diam-diam kartu identitas miliknya. Pertemuan antara presiden dan para tenaga medis akan memperbincangkan seputar perkembangan kasus covid-19 beserta beberapa titk penyelesaian.
Jauh-jauh hari media memang sudah meliput berita tentang pertemuan tersebut. Seluruh personil akan melakukan rangkaian tes apakah mereka dinyatakan negative corona atau tidak  demi keselamatan sang presiden. Pemeriksaan ketat di setiap post penjagaan pemerintah membuatku ketakutan. Bagaimana salah satu dari mereka mengenal wajahku? Masing-masing dari kami memang mengenakan masker sebagai pelindung diri sesuai aturan sehingga saya mengelabui siapapun termasuk dokter Han.
“Kau manusia paling gila yang pernah kutemui” pesan Zangbi bernada kesal masuk ke ponselku.
Saya tidak memperdulikan maupun membalas isi pesannya. Menikmati pemandangan sepanjang jalan hingga akhirnya kami semua tiba di sebuah tempat dimana salah satu pesawat milik pemerintah menjemput dan mengantar ke tempat tujuan. Pemeriksaan ketat kembali berjalan untuk kesekian kalinya setelah berada di ibu kota.
Penyamaranku benar-benar sempurna sampai dokter Han sendiri tidak mengenalku. Hal pertama yang harus kulakukan adalah menyerang presiden tanpa ampun. “Sepertinya kau mirip seorang bocah kenalanku” dokter Han tanpa sengaja mendengar suaraku ketika berbicara dengan salah satu pelayan. Segera mengalihkan perhatian beliau merupakan satu-satunya jalan keluar.
Aneh bin ajaib atau memang mujizat seorang dokter tua masih terlihat segar tanpa rasa frustasi setelah berada di hadapan ribuan pasien positif corona. Walaupun banyak dokter tidak mengenal ke-Tuhanan, namun dokter Han mempunyai kehidupan berbeda. Bisa dikatakan dokter tua itu rajin berdoa bahkan selalu berada di sebuah tempat ibadah kecil diam-diam tanpa sepengetahuan rekan kerjanya sama seperti mama. Tuhan memang  membuat perbedaan antara seseorang yang benar-benar bertekun dalam doa dan kehidupan di luar sana…
Saya harus bisa menyusun rencana apa pun caranya. Situasi gawat terus diungkapkan antara satu sama lain di hadapan seorang presiden, sedangkan dokter Han terlihat begitu tenang bahkan harus menjadi pendengar setia seperti biasa. Rasa stress mulai terjadi di antara mereka. “Berikan saya pernyataan berharga untuk menghentikan kasus pandemic virus di Negara tercinta” kalimat sang presiden terarah terhadap menteri kesehatan bersama seluruh tenaga medis.
Seluruh Negara memiliki kesulitan masing-masing ketika berada di sekitar medan pertempuran melawan sang virus pembawa petaka. Berusaha mengalihkan perhatian para ajudan presiden kemudian melakukan penyamaran sebagai pelayan hanya demi berhadapan langsung dengan sang pemimpin nomor satu.
“Berhasil” teriakan sorak mengelabui mereka satu persatu. Tiba waktu paling berharga buatku yaitu berhadapan muka secara langsung bahkan membuat pintu ruangan terkunci rapat tanpa rasa takut. Di antara kami hanya ada seorang ajudan kepercayaan pemimpin nomor satu dan itu tidak masalah buatku.
“Saya ingin berbicara pribadi bahkan langsung ke inti kalimat” mengungkap tanpa rasa takut sama sekali.
“Kau siapa?” sang presiden terkejut seketika.
“Saya hanyalah salah satu anak korban di kota kedua tempat sarang virus bermain sampai mejalar ke seluruh dunia” jawaban cukup…
Seolah sesuatu menghentikan sang ajudan presiden untuk memanggil bantuan para pengawal di luar. Tuhan sengaja merusak alat komunikasi mereka sehingga cukup memudahkan saya mengeluarkan segala hal. “Kau pernah tidak merasakan kata kehilangan itu seperti apa?” membuat sebuah pernyataan depan seorang pemimpin Negara. Setelah sekian waktu saya mencari jalan untuk berdiri di hadapannya dan meluapkan segala isi hati yang terus saja berteriak kuat.
“Sampai kapan masa lockdown berakhir? Virus itu menghancurkan kehidupan semua orang di semua tempat” amarahku meledak kuat.
“Kau berani terhadap presiden sendiri” ajudan kepresidenan menggertak.
“Saya berani memang. Ini bukan tentang seberapa hebat presiden membangun sebuah rumah sakit, banyaknya uang yang dikeluarkan, upaya karantina di segala tempat. Semua itu tidak berarti…” berkata-kata kembali. Saya tidak perduli akan tindakan para pemimpin selanjutnya atas kelakuan burukku sekarang. Mungkin bagi orang kaya dengan penghasilan besar dapat melakukan segala aktifitas dengan hanya berada di rumah saja. Lantas bagaimana dengan mereka yang berperan sebagai pemulung, pedagang kecil, karyawan kecil, dan segala jenis tempat pencaharian orang-orang miskin? Siapa yang akan memberi mereka makan? Uang dari mana di dapat untuk menghidupi anak-anaknya?
“Buka mata hatimu setitik saja untuk melihat begitu banyaknya mayat berjatuhan di luar sana” menangis histeris di hadapan para pejabat penting. Saya tidak menginginkan mereka melakukan ini dan itu…
Saya hanya butuh para pemimpin dunia terlebih khusus presiden di hadapanku sekarang menanggalkan keangkuhan hatinya di hadapan sang pencipta. Sekarang ini tidak usah mencari siapa paling benar, salah, suci, kotor, terjenius, bodoh, banyak dosa, ambisius untuk menjadi nomor satu di semua tempat, dan sejenisnya. Ada banyak orang di luar sana menangis menjerit karena kehilangan orang terdekat.
“Setidaknya buat satu ruang pengampunan khusus terhadap Tuhan atas segala hal yang terjadi sampai wabah virus mematikan semacam covid-19 hilang ditelan bumi” menatap tajam ke arah sang presiden.
“Mamaku juga dibunuh oleh virus itu. Saya memang tidak bisa mengembalikan mama, minimal saya akan berjuang menyerang presiden bersama para pejabatnya untuk menghentikan virus tersebut dengan jalan merendahkan hati di hadapan Tuhan” sekali lagi berkata-kata menyerang sang presiden.
Tenaga medis pun mempunyai keluarga bahkan harus hidup dalam ketakutan untuk menjadi barisan terdepan melawan virus mematikan. Resiko tertular paling tinggi memang berada pada diri mereka dan bukan bidang lain. Sampai dimana sih kekuatan seorang pejuang medis menghadapi pasien? Mengorbankan kehidupan seluruh tenaga medis terdengar menyedihkan. Sampai kapan letak kemampuan mereka bekerja? Ada saatnya juga akan mengalami drop…
“Orang introvert sekalipun merindukan dekapan hangat orang di sekitarnya. Sampai kapan semua orang harus menjaga jarak satu sama lain?”
Setidaknya, para pemimpin dunia bersatu hati merendahkan hati di hadapan Tuhan memohon pengampunan. Jalan keluar dari masalah tersebut bukan tentang seberapa besar kejeniusan seseorang menghentikan/ melenyapkan Corona virus keluar dari hidup banyak orang, melainkan bagaimana sikap hati untuk berlutut dalam sebuah ruang dengan hati yang hancur di hadapan sang pencipta.
Seorang pemimpin harus tahu bagaimana cara berada di hadapan sang pencipta dengan hati hancur. Bukan permasalahan saya tidak menghormati presiden, hanya saja keadaan membuatku harus melakukan hal semacam ini. meninggalkan ruangan tersebut setelah meluapkan segala hal yang terus saja bermain di dasar hati. Beruntung saja mereka tidak menahanku atas tuduhan penyerangan terhadap pemimpin nomor satu di Negara tercinta.
 Presiden membuat sebuah pernyataan beberapa hari setelah kejadian tersebut, sedangkan saya sudah kembali berada di kota kelahiranku bersama tenaga medis lainnya. “Ada banyak kesalahan tanpa sadar kami sebagai manusia yang sedang berada di sekitar tanduk pemerintahan terlebih saya pribadi harus di benahi” pernyataan sang presiden melalui media…
“Kesalahan terbesar seorang pemimpin adalah terlalu sulit mempertanggung jawabkan sekaligus membawa bangsanya sendiri di hadapan Tuhan sang pencipta. Sebagian dari kami memang pandai berkata-kata tetapi sikap angkuh kenyataannya selalu saja bermain, itulah gambaran manusia” kembali berkata-kata lagi…
Tiba-tiba saja sebuah suara ketukan pintu terdengar jelas di rumahku. “Saya ingin belajar tentang ke-Tuhanan dan bagaimana cara berdiri di hadapan sang pencipta dengan hati paling hancur mewakili bangsaku sendiri demi menghentikan wabah virus mematikan hingga memakan banyak nyawa” sebuah pesan melalui kertas tertulis rapi di sekitar pintu rumahku.
Presiden menulis surat ini? mimpi atau bukan? Menurut informasi, diam-diam sang presiden belajar berdoa memohon pengampunan dalam sebuah tempat ibadah kecil milik dokter Han. Akhir cerita dari negaraku adalah wabah tersebut mulai pergi menghilang setelah seorang pemimpin nomor satu memohon pengampunan beserta belas kasih di hadapan Tuhan sang pencipta.
“Rubi, kuharap kau bisa membuat banyak cerita-cerita lucu bagi pasienku di rumah sakit. Sekarang juga” seperti biasa Zangbi mengirim pesan setiap harinya…




TAMAT