DUNIAKU…
BAGIAN
1…
GILIA…
Hidup menuntut untuk berpikir tanpa berkata-kata,
inilah realita di depan mata. Mencerna setiap pernyataan tetapi terdiam seribu
bahasa terhadap berbagai aspek oleh karena sebuah keadaan. Siapa sih, tidak
mengenal gadis remaja bernama Gilia Carlisa memiliki segala hal yang didambakan
oleh banyak gadis remaja. Sejak kecil hingga remaja selalu menjadi nomor satu
diantara seluruh siswa.
Gilia selalu menjadi gadis popular dimanapun kaki
berpijak dan melangkah. Mempunyai segedang prestasi luar biasa, namun oleh
karena hal tersebut hidupku jauh dari sebuah istilah. Pada dasarnya, mulutku
diam membisu tanpa berbicara terhadap realita di hadapanku. Namun, jauh di
dasar hati akar kemunafikan jauh lebih bermain dibandingkan apapun. Meremehkan
semua orang di sekitar merupakan ciri khas seorang Gilia, sekalipun tanpa
berkata-kata. Ada saat dimana ucapanku bermain seseorang yang sedang berdiri di
hadapanku akan menjadi pusat permainan bagi siapapun.
Seorang Gilia hanya memahami tentang bagaimanacara
memandang sebelah mata siapapun mereka ketika sedang berbicara ataupun
melakukan beberapa tindakan tertentu. Ada saat karakter terkesan jauh
mengalahkan para malaikat memenuhi aspek hidupku, namun dibalik semua itu
berbanding terbalik dari yang sebenarnya. Inilah dunia Gilia dapat menjadi
seorang malaikat disaat tertentu, namun pada dasarnya hati jauh mengalahkan
dunia para iblis.
“Gi, gak lapar?” sapa mami menengok masuk ke dalam
kamarku.
“Ga mi” sahutku. Salah satu kelebihan terbesar dari
duniaku, adalah seorang Gilia selalu menjadi kutu buku tanpa seorangpun
menyadari semua itu. Impianku adalah menjadi mahasiswa salah satu kampus
terbaik dunia. Apapun akan kulakukan demi meraih tempat terbaik di kampus
tersebut. Menjadi salah satu anak pengusaha ternama dengan segala kekayaan
membuatku lupa tentang arti kehidupan.
“Dimana bibi meletakkan jam tanganku?” amarahku
meledak membuat seluruh penghuni rumah ketakutan.
“Bibi sadar tidak kalau itu jam tangan paling
mahal,” jari telunjukku mengacuh pada salah satu pembantu.
“Non, sejak tadi saya tidak menyentuh apapun dalam
kamar ini” seluruh tubuhnya gemetar tanpa terkecuali. Kamus seorang Gilia,
apapun yang terjadi selamanya hanya pernyataannya saja yang benar. Semua di
sekeliling tidak boleh membantah, bahkan sekalipun kesalahan pada dasarnya
terarah untukku.
“Setahuku, setiap hari hanya bibi saja seorang
pembantu yang selalu berada disini untuk membersihkan kamarku.”
“Ta…ta…ta…pi saya tidak pernah melihat jam tangan
non,” sahutnya.
“Jadi, cerita akhir adalah tuyul secara tiba-tiba mencuri
jam tanganku.” Geramku makin meninggi.
“Sumpah demi Tuhan,” mencoba membawah nama Tuhan.
Sama sekali rasa kasihan tidak akan pernah ada dalam perjalanan Gilia.
Merendahkan dunia banyak orang itulah karakter dari seorang Gilia.
“Kakak Gi,” suara Deva masuk ke tengah-tengah kami.
Karakter diantara kami berbanding terbalik bahkan dapat dikatakan antara langit
dan bumi. Devanya merupakan pembela kebenaran bagi kaum lemah terlebih dunia
pembantu yang sedang teraniaya, inilah karakter terburuk dari hidupnya.
“Si pembela kebenaran lagi nongol tidak jelas,”
sindirku.
“Kakak Gi keterlaluan,” ungkap Deva setiap amukanku
meledak terhadap para pembantu.
“Keterlaluan dari mana?” gertakku.
“Saya tidak pernah meminta kakak menghargai hidupku,
tetapi setidaknya ka Gi mencoba belajar bagaimana menempatkan tutur kata.”
Harus kuakui adikku terlihat dewasa jauh dari umurnya. Inilah yang dikatakan,
bahwa kedewasaan seseorang terkadang tidak dapat diukur hanya dari tingkat umur
semata.
“Ada apa ini, masih pagi-pagi tapi rumah seperti
kapal pecah!” seru mami.
“Jam tangan Gi tidak ada di tempat mi,” seperti
biasa seorang Gilia mengadu tidak jelas. Lebih parah lagi ke dua orang tuaku
selalu mendukung apapun yang kulakukan. Membuat adikku terpojok bahkan menjadi
tempat amukan mami adalah duniaku. Devanya setiap saat mendapat perlakuan tidak
adil akibat perlakuanku.
“Deva selalu membela seluruh pembantu di rumah ini,
jam tanganku hilang mi akibat ulah pembantu ini…” raut wajah tidak
memperlihatkan rasa berdosa terpancar dariku.
“De, sadar tidak bagaimana perasaan kakak Gi dengan
gayamu sekarang?” mami mulai menyalahkan Deva.
“Setahuku ka Gi meletakkan jam tangannya sekitar
ruang keluarga semalam,” membuat mulutku dan mami tidak dapat berkutik
“Yang benner tuan,” bibi Sari segera menghapus air
matanya. Dari raut wajah ketakutan penuh air mata berubah menjadi keceriaan.
“Dimana De?” Tanya mami.
“Bilang dong sejak tadi, kalau gini ga harus perang
dunia 3 kan,” teriakanku.
“Ada saat dimana kakak Gi harus tahu menempatkan
gaya bahasa paling tepat, dan karena itu kakak harus belajar lebih banyak,”
tutur ucapan Deva terlihat ingin menyindir. Segera berlalu dari hadapanku,
tanpa harus memaksaku untuk segera meminta maaf terhdap dunia pembantu seperti
yang dilakukannya setiap saat.
“Tumben, dia tidak menyuruhkku meminta maaf
habis-habisan” gerutu sendiri.
Inilah aku menganggap diri paling benar dan tidak
akan pernah memiliki sejarah untuk meminta maaf dalam bentuk apapun juga.
Ketika berada di hadapan papi ataupun beberapa guru dapat terlihat seperti
malaikat tanpa dosa terbungkus kepolosan bersama keluguan luar biasa bermain.
Berbicara seakan bijjak dan dewasa di beberapa tempat demi memecahkan sebuah
kasus. Dapat dikatakan seorang Gilia mempunyai kepribadian ganda.
“Bagaimana memecahkan masalah seorang anak terbukti
melakukan kesalahan?” ibu Maria mencoba bertanya di hadapan kami.
“Ibu,” tanganku teracung ingin mengajukan pendapat.
“Silahkan Gilia!” kalimat ibu Maria.
“Saya rasa pihak sekolah harus bijak memecahkan
permasalahan seperti ini,” mencoba menjadi bijak ketika salah seorang siswa
terbukti membuat kesalahan terbesar. Janis terbukti mencuri sejumlah uang dari
Miranda. Seperti yang telah diketahui jika kehidupan ekonomi Janis berada
dibawah rata-rata. Ingin menjadi malaikat bagi Janis, agar terlihat di hadapan
banyak guru jika Gilia memiliki simpatik terhadap sesama. Lebih memudahkan
proses beasiswa bahkan semua orang akan berpikir kehidupan Gilia benar-benar
ssempurna.
“Apa maksud ucapanmu Gilia?” pertanyaan ibu Maria
menatap tajam ke arahku.
“Saya rasa sekalipun kehidupan ekonomi Janis berada
di garis rata-rata palinng terbawah, tidak mungkin dia akan merusak harga
dirinya sendiri dengan jalan melakukan sebuah perbuatan paling terkejam seperti
pencurian.” Ujarku.
“Berarti kau sama sekali tidak mempercayai jika
Janis adalah pelaku pencurian sebenarnya?” Miranda hampir tidak mempercayai
segala ucapanku. Sejak kapan seorang Gilia menjadi pembela kalangan rakayat
bawah di sekolah.
“Gi, apakah ini benar-benar dirimu yang sebenarnya?”
tegur Visa.
“Memang kenapa? Apakah ada kesalahan dari ucapanku?”
mimic wajahku terlihat berbeda menatap mereka satu per satu dalam kelas.
“Saya hampir tidak mempercayai ini Gi,” gerutu Visa.
“Coba selidiki lebih lanjut, posisi serta lokasi
ketika Janis berada di sekitar gedung olah raga, saya yakin ada salah satu dari
kalian sengaja menjadikan dia sebagai kambing hitam terbaik.” Sejahat-jahatnya
saya ataupun seberapa besarpun kemunafikan dari hidupku, tetapi setidaknya
keyakinanku kuat jika Janis bukan pelaku sebenarnya.
“Cctv secara jelas memperlihatkan jika Janis
satu-satunya siswa memperlihatkan tingkah laku mencurigakan, selain itu
wajahnya tertangkap kamera berada di sekitar gedung olah raga ketika seluruh
siswa sedang latihan musik.” Penjelasan Visa.
“Betul juga ucapanmu,” kalimat Miranda.
“Tolong lakukan penyelidikan sekali lagi!” entah
angin apa memasuki diriku memohon sesuatu…
“Kalau begitu perlu mencari penyelidikan!” ucapan
Visa salah satu sahabat terbaikku.
“Betul juga,” tutur ibu Maria.
“Betul!” tuturku.
Pihak sekolah dan yayasan memberi kesempatan bagi
Janis demi membuktikan jika dia benar-benar tidak bersalah. Saya melakukan
semua ini hanya demi memperlihatkan sisi malaikat dari seorang Gilia bukan
karena sebuah ketulusan. Pada dasarnya terbukti, jika Janis bukan pelaku
pencurian sebenarnya dan dia hanya berada dalam jebakan seseorang. Ternyata
dalang pencurian adalah Sania, benar-benar mengejutkan sesuatu yang terjadi.
Salah satu siswa berprestasi dan mempunyai kehidupan ekonomi berkelas ternyata
seorang pencuri.
“Kenapa kau melakukan ini? Bukankah kau siswa dengan
ekonomi berkelas?” Miranda benar-benar tidak mempercayai kejadian di depan
matanya. Itulah kehidupan, tidak selamanya seseorang dikatakan mempunyai
kekayaan lebih tidak dapat melakukan tindakan criminal seperti kasus pencurian.
Satu lagi, tidak selamanya mereka berada di kalangan bawah merusak harga diri
barada pada sebuah jurang yang akan menghancurkan kehidupan sendiri.
“Terimah kasih, karena telah menolongku” suara Janis
tiba-tiba berada di hadapanku memenuhi gendang pendengaranku. Menatap gadis
sederhana di hadapanku, wajahnya terus menunduk tanpa dapat berkata-kata. Hanya
kalimat seperti itu saja yang dapat terlontar dari dunia Janis. Berada di
sekitar pohon besar belakang sekolah, Janis berani berjalan ke hadapanku.
“Saya melakukan hal seperti ini hanya untuk
memperlihatkan sisi malaikatku semata, bukan karena rasa empati tinggi terhadap
dirimu,” ucapku di hadapan Janis.
“Apapun itu terimah kasih membuatku tetap bertahan
di sekolah ini,” kebahagiaannya jauh melebihi dari seseorang mendapat hadiah
kemenangan atau sebuah mobil mewah.
“Lupakan semua yang telah kulakukan buatmu,
pergilah!” perintahku.
“Dengan susah payah saya ingin kedua orang tuaku
berupaya membuatku ada di tempat seperti ini, andai kata pihak yayasan
benar-benar mengeluarkanku tentu hati mereka hancur seketika.” Janis mendesah…
“Saya tidak pernah mau bahkan setitikpun mendengar
curahan hati dari dunia Janis anak kelas rendah, ngerti” pernyataan tajam dapat
menembus sumsum tulangnya lebih dalam.
“Pergilah, tunggu apa lagi!” nada tinggi mulai
bergema kembali…
Pernyataanku menjelaskan jika hidup seorang Gilia
sama sekali tidak tertarik unntuk memahami tiap curahan hati kalangan rakyat
jelata. Gilia hanya memainkan acting paling berkesan di hadapan para guru dan
beberapa area tertentu. Memasuki semester tahun akhir di sekolahku, kabar
mengejutkan namun memberikan kebahagiaan tiada ternilai bermain dalam lingkup
kehidupanku pribadi. Dinyatakan lulus oleh pihak kampus Harvad menciptakan
kebahagiaan tersendiri. Mendapat beasiswa, dengan mengambil jurusan terbaik
pada salah satu kampus terbaik dunia adalah impianku sejak dulu.
“Papi ucapkan selamat atas keberhasilanmu dinyatakan
lulus pada salah satu kampus Harvad jauh sebelum Gi tamat dari sekolah” ujar
papi memeluk anaknya.
“Makasih pi,” balasku.
“Papi bangga mempunyai putri jenius seperti dirimu,”
itulah papi tiap detik selalu memberikan pujian terbaik bagi anak
kesayangannya. Apapun yang diinginkan oleh hatiku pasti terpenuhi, demi kebahagiaan
anaknya. Bahkan papi lebih membela putri kesayangannya dibanding Deva,
sekalipun membuat kesalahan. Dapat dikatakan perlakuan tidak adil diantara kami
sedang terjadi. Namun, satu hal terkadang membuatku kagum secara diam-diam
melihat dunia Deva yang terlihat dewasa terhadap hal seperti ini.
“Hidup tidak hanya bercerita tentang ketidakadilan,
namun karena hal tersebut membuat langkahku terlihat berbeda.” Pernyataan
kalimat Devanya pada sebuah buku. Tanpa sengaja mataku mengarah pada sebuah
buku miliknya, ketika berada di kamarnya untuk mencari sesuatu. Dapat dikatakan
perlakuan tidak adil dari papi dan mami membuatnya belajar untuk tidak pernah
kecewa.
Permasalahan prestasi, dapat dikatakan jika saya
adalah pemenangnya dibandingkan seorang Devanya satu-satunya adikku. Saya tidak
ingin berpikir tentang mengapa papi dan mami jauh lebih melimpahkan kasih
sayangnya buatku dibanding anak laki-laki satu-satunya. Tetapi, melalui hal
tersebut Deva mempunyai kehidupan sederhana tanpa harus menuntut akan berbagai
hal.
“Warna-warna pelangi dapat terbentuk oleh karena
ketidakadilan, terkadang Tuhan mengizinkan hal seperti ini terjadi bukan untuk
membuang hidupku melainkan mengajarkan hidupku untuk belajar tetap melangkah
dan tidak kecewa.” Tulisan Devanya pada lembaran berikutnya.
“Manusia paling aneh di dunia” gerutuku mengejek
tulisan Devanya.
Saya tidak tertarik tentang perasaan adikku dan
bagaimana dia mendapat ketidakadilan dari kedua orang tua kami. “Masa bodoh
dengan kehidupan Deva,” cetusku sendiri sama sekali tidak memperdulikan
dirinya.
Di saat tertentu hatiku dapat merasakan bagaimana
tentang keadaan Deva terhadap apa yang sedang terjadi dalam hidupnya. Rasa
kasihan membuatku merasa bersalah dilain sisi, namun berusaha untuk tidak
pernah terlihat dihadapan Devanya. Permintaan Deva jarang terpenuhi, tetapi
apapun yang kuingini dalam sekejap papi selalu saja tanpa pernah berpikir
mengabulkan semuanya.
“Aneh, biasanya orang tua jauh lebih menyayangi anak
laki-laki satu-satunnya dibanding anak perempuannya sendiri. Sekarang zaman
kebalik kali spesial bagi penghuni rumah ini.” Suara hatiku tertawa sendiri
melihat keadaan di rumahku.
“Punya mata ga sih kalau jalan bi,” tanpa sengaja
bibi Sari menumpahkan saus sekitar seragam sekolahku. Setiap berhadapan denganku
bibi Sari terlihat ketakutan bahkan seluruh tubuhnya gemetar, hingga apapun
yang di tangannya terjatuh. Wajahku benar-benar jauh lebih ganas dibanding
seorang Hitler bagi pemandangan matanya.
“Ma…ma…af non” tangan bibi Sari berusaha
membersihkan saus sekitar seragam sekolahku.
“Segampang itu meminta maaf!” bahasa judes bermain
sekitar gendang pendengaran…
“Ka Gi,” seperti biasa Deva datang sebagai malaikat
penolong bagi kalangan pembantu.
“Wow, malaikat penolong baru saja nongol…” ledekanku
sebelum berlalu dari hadapan mereka.
Bahasa paling tepat ketika berada di hadapan adikku
adalah si’malaikat sang pembela kebenaran bagi para pembantu sejagat raya. Hidup
Deva hanya mengenal tentang kesederhanaan dan tidak pernah bercerita akar
kesombongan seperti hidupku. Satu lagi, jika dia tidak masuk pada kategori kutu
buku sama seperti duniaku. Saya berjuang mengejar prestasi demi prestasi,
sedangkan dia sendiri terlihat biasa untuk hal-hal seperti ini.
BAGIAN 2…
GILIA…
“Gi, sudah dengar berita belum?” tegur Miranda
menghadang jalanku menuju perpustakaan sekolah. Kakiku jauh menyukai dunia
perpustakaan ketika berada di sekolah dibanding berkumpul bersama
teman-temanku. Saya harus berjuang demi meraih mimpiku berada pada salah satu
kampus terbaik dunia. Mengasah otakku melalui buku-buku perpustakaan merupakan
hobi dari kehidupan Gilia. Tidak ada tempat meniikmati hidup sama seperti
pergaulan banyak siswa-siswa zaman sekarang.
“Saya tidak pusing apapun, kau mengerti,” suara
nyaringku bermain…
“Gi, ada berita baru di sekolah kita,” Visa penuh
semangat berkata-kata bahkan menjadi pengekor terbaik di sekitarku. Setelah
Miranda berusaha mengalihkan perhatian, kini Visa tiba-tiba berteriak penuh
semangat. Entah apa yang ada dalam benak mereka, hanya ingin bermain tanpa
peduli jika saya tidak menyukai apapun.
“Minggir!” perintahku menatap tajam ke arah Visa.
“Dengar dulu, Gi apa yang akan kukatakan”
berlari-lari kecil ke samping berusaha menahan untuk bercerita tentang sesuatu.
“Sekali lagi kukatakan, jangan merusak hidupku
dengan ocehan apapun bahkan tentang keadaan bagaimanapun, ngerti!” nada tinggi
berusaha membuat Visa menyadari hal-hal dari hidupku.
“Brukkkk…” sebuah bola mendarat sekitar kepalaku
hingga membuatku terjatuh. Rasa marah, kesal, geram memenuhi berandaku
sekarang. Seragam sekolahku kotor oleh lemparan bola tersebut, beruntung saya
tidak kenapa-kenapa…
“Kau tidak kenapa-kenapa?” suara seseorang untuk
pertama kalinya melayang di telingaku. Sepertinya dia merupakan penghuni
terbaru dari sekolah ini, bahkan wajahnya pun terlihat asing bagiku.
“Gi tidak apa-apakan?” Visa khawatir akan keadaanku.
“Siapa yang berani melemparkan bola ini ke
hadapanku?” nada suara terdengar dingin berirama dalam diriku sekarang. Kata
geram bercampur menjadi satu melihat sesuatu yang sedang terjadi.
“Saya pelaku dari lemparan tadi,” tangannya teracung
berjalan ke hadapanku.
“Kau sadar siapa yang sedang berada di depanmu
sekarang? Dengan rasa percaya diri tinggi bertanya apakah saya tidak
kenapa-kenapa dan sekarang…” rasa geram terlihat jelas, tetapi saya berusaha
menahan amarah.
“Saya tidak sengaja melakukan semua ini, karena itu maaf
atas perbuatanku,” berusaha tersenyum manis menebarkan pesona sekitar wilayah
halaman sekolah.
“Gi, inilah yang ingin kusampaikan kalau hari ini seluruh
siswa lagi terpesona oleh wajah tampan bahkan terlalu cool dari anak baru di
sekolah kita.” Penjelasan Visa menujuk siswa di depan kami.
“Perkenalkan nama saya Darrel,” tangan cowok yang
telah melemparkan bola ke arahku terulur, ingin segera berkenalan. Satu hal,
saya tidak akan lupa bagaiman tubuhku terjatuh dan hampir pingsan akibat
lemparan bola darinya. Berusaha menahan diri untuk tidak berkata-kata, bersikap
setenang mungkin sekalipun mulutku ingin segera memberi ribuan kata makian.
Segera berlalu dari hadapannya tanpa memperdulikan Darrel yang ingin
berkenalan.
“Kau dosa mengacuhkan cowok yang ingin berkenalan
denganmu,” teriaknya. Hal terbodoh dari dunia mereka berusaha membuatku
mengalihkan perhatian. Satu hal, saya tidak menyukai tentang lawan jenisku
bahkan tingkat kualitas paling keren dari hidupnya sama sekali tidak akan
mempengaruhi kehidupanku.
Saya tidak ingin sama seperti drama ataupun sinetron
dimana terjadi perkelahian panjang, setelahnya sebuah hubungan spesial
terjalin. Oleh karena itu, seorang Gilia Carlisa berusaha menahan emosional
untuk tidak membuat perselisihan ataupun permasalahan dengan lawan jenis dalam
bentuk apapun. Hidupku hanya akan bercerita, bagaimana seorang Gilia berjalan
mengejar cita-citanya bukan tentang permasalahan lawan jenis dan seperti apa
pergaulan remaja sekarang.
Dalam kelas, anak baru itu memperkenalkan diri di
hadapan seluruh siswa. Saya sama sekali tidak tertarik tentang apapun dari
dunia Darrel, sekalipun seluruh siswa terpesona melihat beberapa hal dalam
dirinya. Duniaku dan mereka berbeda, langkahku hanya bercerita tentang berjalan
untuk berada pada salah satu kampus terbaik dunia. Hidupku hanya menyukai dunia
perpustakaan beserta segala isinya, sekalipun dunia Gilia terbungkus sebuah
akar kesombongan secara luar biasa.
Sifat dingin, cuek, angkuh, emosional tinggi dapat
saja bermain itulah duniaku. Selama beberapa hari Darrel tanpa rasa putus asa
terus berada di hadapanku ingin menjadi teman. Seperti biasa, raut wajah penuh
amarah dan angkuhbermain dari diriku bahkan sama sekali tidak tertarik tentang
Darrel. Bersikap dingin sama seperti sebelumnya, seperti inilah hidup dari
Gilia.
“Nikmati masa remajamu selagi bisa, kenapa? Karena
kau tidak akan pernah bisa memutar waktu untuk kembali.” Bahasa Darrel secara
tiba-tiba ketika berjalan ke hadapanku. Berusaha menarik sebuah buku dari
tanganku, namun tidak berhasil.
“Hidupku berbanding terbalik dari area lingkungan
tempatmu berpetualang,” tatapan dingin mengarah ke hadapannya. Masa remaja
seseorang mempunyai kisah perjalanan masing-masing, bahkan tidak dapat
disamakan pada semua kehidupan. Dunia remaja dapat berkata-kata jika berada
pada sebuah nuansa. Berkumpul bersama, tertawa, membuat cerita memberikan kesan
tersendiri dari hidup seorang anak remaja.
Di lain hal, seorang remaja menikmati kehidupan jika
melakukan sebuah petualangan. Mempunyai cara tersendiri ketika menikmati masa
remaja, salah satu ciri khas dan tidak akan pernah lepas dimana mereka mulai
mengenal sebuah perasaan mendalam terhadap lawan jenisnya. Bagi hidup Gilia
Carlisa semua itu tidak berlaku, masa remaja lebih terasa disaat kakiku berada
dalam sebuah perpustakaan besar. Memahami dan mengerti isi dari setiap kalimat
tentang sebuah objek tertentu.
“Gadis aneh, hanya memikirkan tentang buku alias
si’kutu buku” ledekan pertama kali dari seseorang untuk Gilia Carlisa. Haruskah
kegeraman bahkan pertengkaran terjadi saat ini oleh karena sebuah statement
salah satu siswa di sekolah ini.
“Satu lagi, petualanganku lebih seru dibanding
jalanmu.” Kembali ia berkata-kata.
“Kau hanyalah salah satu siswa rendah tanpa
prestasi,” bahasaku menyindir, tatapanku terlihat angkuh itulah gaya seorang
Gilia. Berjalan melewati dirinya, itulah yang kulakukan. Secara tiba-tiba
seakan sesuatu menahan tanganku…
“Berbicara tentang prestasi tidak hanya dikatakan
ketika seseorang berada pada sebuah jalur pendidikan formal. Mempunyai suara
menarik, berperan dalam bidang olah raga, dan banyak lagi merupakan salah satu
bagian dari prestasi.” Tangannya terus memegang erat tanganku tanpa melepas
sedikitpun.
“Itu pemikiranmu dan tidak berada dalam kamusku,”
ungkapku.
“Satu lagi, lepaskan tanganmu!” berusaha melepaskan
tanganku darinya.
“Kau tidak tahu tentang apa yang ada dalam hidupku,”
tanganku semakin dipegang kuat olehnya.
“Satu lagi, jika kau tidak mengenalku jangan asal
berbicara tentang siswa rendahan” kalimat siswa baru penuh rasa percaya diri
tinggi.
“Lepaskan tanganmu!” pada akhirnya dia mau
melepaskan pegelangan tanganku. Kakiku berjalan untuk berlalu, tidak memperdulikan
apapun kalimat yang terlontar dari diri siswa pindahan bernama Darrel.
“Gadis sombong sepertimu suatu hari akan jatuh,”
teriakan Darrel menyerang bahkan masih terngiang keras selama beberapa hari
sekitar gendang pendengaranku. Tidak perduli apapun ucapan banyak orang, bagiku
hidup berwarna ketika nafasku berada di sekitar area buku-buku dengan berbagai
objek di dalamnya.
Lebih banyak menghabiskan waktu di tempat les,
sekolah, juga kamar itulah hidupku selama bertahun-tahun. Keinginanku menjadi
salah satu mahasiswa kampus terbaik dunia di depan mata. Saya tidak ingin
terlihat bodoh ketika berada di kampus tersebut. Hanya menunggu waktu saja,
hingga kaki dapat melangkah secara pasti demi sebuah impian.
“Mi, kenapa hingga jam sekarang pak Banu belum juga
datang-datang?” emosionalku meningkat melalui telepon celuler.
“Anak pak Banu tiba-tiba masuk rumah sakit, jadi
izin pulang kampung” jawaban mami melalui celuler.
“Jadi, Gi harus jalan kaki jam segini bahkan malam
makin larut?” omelanku terhadap mami. Berjalan kemanapun sopir pribadi akan
selalu mengantar dan menjemput. Sepulang sekolah saya harus lanjut mengikuti
pelajaran tambahan di luar sekolah demi menunjang perkembangan otakku lebih
lanjut. Malam makin larut, sedangkan tidak seorangpun orang rumah berada di
hadapanku sekarang. Papi masih sibuk dengan tugas-tugasnya di luar kota,
sedangkan Deva berada di tempat camping bersama teman-temannya.
“Hari sial terlalu sial,” gerutuku. Berusaha mencari
taksi menyusuri beberapa toko kecil sekitar pinggir jalan. Mami keterlaluan
seenaknya menyarankan pulang sendiri sekali-sekali tanpa berpikir panjang hal
terburuk dapat saja terjadi pada anaknya. Kenapa hidupku hari ini benar-benar
sial. Tidak seorangpun dapat menjemput, ketika berjalan melintasi pinggir jalan
bajuku basah terkena cipratan salah satu pengendara.
“Pake acara
hujan segala lagi,” kekesalanku makin bertambah.
“Brengsek” kegeraman makin menjadi-jadi melingkupi hatiku
sekarang.
“Mami keterlaluan!” teriakanku melalui telepon
celuler ketika mami kembali mencoba menghubungi untuk menanyakan keadaanku saat
ini. Masih kesal terhadap keadaan diriku hari ini, telepon dari mami langsunng
kuputuskan begitu saja.
“Kemana malam-malam begini gadis cantik?” suara
salah seorang pemuda. Saya baru tersadar, jika seharusnya kakiku telah berjalan
lebih jauh dari pinggir jalan sebelumnya. Harusnya hanya melewati beberapa
toko, kenapa jadi berada di tempat sepi seperti ini? Beberapa pemuda
berkeliling di sekitar memakai kendaraan motor. Dapat dikatakan mereka
pemuda-pemuda berandalan.
“Dari pada jalan sendiri mending ikut kami saja,”
salah seorang dari mereka berusaha membelai anak rambutku. Mereka menghadang
lanmgkahku ketika hendak berusaha menghindar.
“Mau apa kalian?” teriakanku. Pertama kali dalam
hidupku terselubung penuh ketakutan luar biasa, adakah yang dapat membantuku
sekarang? Tuhan, memang saya mengakui banyak dosa yang telah kulakukan, tetapi
tolonglah aku saat ini. Jeritan hati dan ketakutan kuat bermain membungkus
areaku sekarang.
“Tidak usah berlagak tidak mengerti, apa yang kami
inginkan darimu nona manis,” jawaban salah satu dari mereka.
“Kami hanya ingin bersenang-senang selama beberapa
jam saja,” tatapan inngin memangsa terlihat jelas.
“Pergi atau jika tidak?” teriakku berusaha
menghindar.
“Jika tidak, kenapa memang?”
“Saya akan berteriak dan memanggil polisi,” jawabku.
“Berteriak seperti apapun juga, tidak bakalan ada
orang yang akan mendengar teriakanmu nona manis,” salah atu dari mereka
berjalan dan berhasil merobek lengan bajuku, sedangkan 2 orang memegang kuat
pergelangan tanganku.
“Tuhan, tolong aku” tangisku ingin segera pecah.
Mereka menarikku keras-keras dan melemparkan tasku beserta segala buku yang
kubawah. Berusaha memberontak hingga terlepas, namun hanya beberapa saat…kakiku
tersandung batu, hingga akhirnya terjatuh mengeluarkan banyak darah.
“Kau tidak akan bisa keluar dari tempat ini,”
gertakannya.
“Malam ini, kau milik kami seutuhnya,” kalimmat yang
lain.
“Lepaskan,” mencoba kembali memberontak. Tiba-tiba
sebuah sirene mobil kepolisian berbunyi keras di sekitar area kami. Membuat
mereka sebuah ketakutan sendiri, dan berusaha berpencar untuk berlari kuat.
Semua pergi menjauh dari diriku, mataku terpejam ketakutan bahkan tidak
mengerti apa yang harus kulakukan sekarang. Pertama kali bagi seorang Gilia
menangis histeris sejadi-jadinya penuh ketakutan.
“Lepaskan,” berusaha mendorong seseorang, tanpa
menyadari siapa yang ada di depanku sekarang.
“Sadarlah,” berusaha menepuk-nepuk wajahku untuk
membuatku membuka mata. Mendengar suara yang tidak asing lagi di telingaku, ternyata dia berperan
sebagai penyelamat mala mini.
“Saya tidak akan menyakiti ataupun melakukan hal
sama seperti dilakukan oleh pemuda tadi,” itu suara dia berusaha menenangkan
diriku. Terkejut melihat Darrel berada di hadapanku, berusaha menutupi bagian
bahuku memakai switernya. Mulutku terdiam tidak tahu harus berbicara tentang
apapun, masih trauma terhadap kejadian barusan. Membantuku berdiri dan
berjalan…
“Kenapa?” pertanyaan terbodoh ketika melihatku
berdiri di hadapannya.
“Belajarlah menjadi orang biasa, coba sekali-sekali
mengenakan sebuah motor sederhana seperti ini tanpa mobil mewah di hadapanmu”
keadaan seperti ini, dia masih sempat menyindir tajam.
“Naiklah,” menarik tanganku untuk segera berada di
atas motor sederhana bahkan tidak masuk hitungan keluaran terbaru beberapa
tahun belakangan. Asli motor sekitar tahun-tahun masih zaman kakek buyutnya
kali…
“Kau mau membawaku kemana?” tanyaku sangat khawatir
karena jalur rumahku sudah lewat.
“Memangnya alamat rumahmu dimana?” tersadar jika dia
sama sekali belum pernah tahu alamat tempat tinggalku.
“Kita ke rumah sakit dahulu, setelah itu rumahmu”
kalimat Darrel terus mengemudikan motornya. Saya segera menggelengkan kepala,
pertanda tidak menginginkan berada di
sebuah rumah sakit manapun juga.
“Jangan ke rumah sakit,” menghalangi dia membawaku
ke rumah sakit. Beberapa kali bersikkeras ingin membawaku ke rumah sakit
terdekat, namun saya terus saja menolak. Hingga akhirnya, dia sendiri membeli
cairan NaCl, kasa, plester, dan beberapa obat lain untuk membersihkan dan
mengobati lukaku. Apa yang terjadi denganku?
“Makanlah, pasti lapar sejak tadi kau belum makan!”
tiba-tiba menyodorkan roti bakar untuk mengisi perutku. Mengambil roti tersebut
dari tangannya, kemudian memasukkan ke dalam mulutku.
“Ternyata dunia Gilia seperti ini,” membuatku
tersedak seketika, sedangkan dia sendiri tertawa melihat tingkahku.
“Hanya bercanda,” senyuman Darrel tidak akan pernah
kulupakan. Malam ini, dia menjadi malaikat pelindung bagi hidup Gilia.
Mengajarkan hidupku tentang bagaimana seseorang sedang berada pada sebuah motor
sederhana.
Di sekolah prestasinya bagian akademik hanya berada
pada area standar, bahkan tidak terdapat sesuatu hal paling menarik. Seorang
Darrel menyukai dunia lain dibanding untuk meraih sebuah prestasi dalam
lingkunngan area sekolah. Alur kehidupan antara Gilia dan Darrel berlawanan,
bahkan sampai kapanpun tetap dipisahkan oleh hal berbeda.
BAGIAN 3…
GILIA…
Sejak peristiwa malam itu, hidup Gilia belajar tentang
bagaimana untuk tidak membuat sebuah pernyataan menyudutkan seseorang. Selama
beberapa saat setelah kejadian tersebut, sifat dinginku masih bermain. Seperti
biasa Darrel hanya menanggapi dengan sebuah senyuman tanpa memperlihatkan wajah
kesal.
“Tulisan namanya Gi, tapi panggilan nama ji”
memancing setidaknya suaraku terdengar ketika berada di hadapannya.
“Memang masalahmu di mana?” suaraku terdengar kaku,
namun berusaha berbicara dingin di hadapan Darrel.
“Orang aneh” berlalu begitu saja. Sekalipun tanpa
prestasi akademik, hampir semua remaja
putri menyukai Darrel. Apakah kemungkinan saya akan masuk dalam bagian salah
satu dari remaja putri tersebut? Penampilan terlihat keren, dapat menebarkan
pesona bagi banyak remaja putri di sekolah. Dia tetap beradaptasi dengan
karakter dingin dan angkuh dari diriku. Selama sebulan penuh setelah peristiwa
malam itu, pandanganku masih seprti biasa. Entah apa yang ada dalam benakku
sendiri?
Tanpa pernah semua penghuni sekolah sadar, jika
sebenarnya secara diam-diam saya selalu memperhatikan gerak-gerik Darrel. Di
saat keadaan tidak menentu detakan jantungku terbilang cepat ketika dia berada
dekatku. Berusaha menghidupkan suasana, sekalipun karakter acuh masih saja
menyelimuti hidupku. Saya tidak menginginkan sama sekali hal-hal seperti ini
terjadi dalam diriku sendiri. Entahlah?
Seperti biasa sopir jemputan menunggu depan pagar
sekolah, papi tidak ingin kejadian mengerikan terulang kembali terhadap putri
kesayangannya. Bahkan jika pak Banu ataupun Deva tidak dapat menjemput, papi
segera meninggalkan pekerjaannya hanya demi diriku semata. Tiba-tiba seseorang
menyumbat mulutku dan membawaku jauh dari depan pagar sekolah sebelum pak Banu
melihatku. Berusaha untuk memberontak, namun semua tidak membuahkan hasil.
“Tuhan, jangan sampai kisah hidupku paling
menjijikkan terulang kembali?” jeritku.
“Lepaskan” ucapku.
“Sekali-kali nikmati masa remajamu, si’kutu buku”
suaranya sambil melepaskan tangannya dari mulutku.
“Kau” kekesalanku mulai meninggi, tersadar Darrel
pelaku utama di balik semua ini.
“Berhenti berbicara, untuk hari ini kita habiskan
waktu bersama” senyuman Darrel seperti biasa bermain, membuatku setiap saat
terlihat kaku dan tidak dapat melakukan apapun.
“Papi pasti mencariku,”
“Ternyata seorang Gi anak papi bukan mami” nada
menyinggung Darrel.
Masih tetap terdiam, sedangkan dia sendiri masih
tertawa akibat ucapanku. “Lupakan papi ataupun mamimu, hari ini dunia Gi harus
menikmati masa remajanya, ngerti!” menyuruhku segera manaiki motor butut
miliknya.
“Sopir papi menunggu di sana” kalimatku ragu bahkan
tidak menyukai hal-hal seperti ini setelah pulang dari sekolah. Dunia Gilia
terasa segar jika setelah pulang sekolah berada di rumah, tempat les, atau
paling tidak sekitar toko buku. Saya tidak menyukai kisah hidup remaja
berkumpul dan berada di sekitar area perkotaan. Bersenang-senang, berbelanja,
bahkan hanya sekedar cuci mata pada sebuah café atau pusat perbelanjaan
terbesar bukanlah kisah hidupku.
“Si’kutu buku berhenti berpikir tentang semua itu,
ngerti” dia menarik tubuhku agar segera berada di motor kesayangannya.
“Pakai ini,” segera memberiku sebuah helm. Namun di
luar dugaan, dia sendiri secara langsung mengenakan pada kepalaku. Bunyi
jantungku berdetak tidak karuan, ketika tatapan matanya terus saja berada di
sana.
“Ternyata seorang Gi benar-benar cantik, kalau
ditatap lama seperti ini” matanya tidak berkedip sama sekali bahkan tangan
Darrel tetap berada pada lengan bajuku.
“Kau mau pergi atau tidak? Berhenti melakukan hal
terbodoh” memukul kepalanya memakai tas sekolahku.
“Tidak seperti itu juga kali,” membunyikan motor dan
membawaku pergi mengelilingi seputar ibu kota. Pertama bagi hidupku berjalan
bersama seorang cowok, lebih parah lagi hanya memakai sebuah motor sederhana
seperti ini. Hanya berputar, tanpa memasuki sebuah tempat sama sekali. Manusia
paling pelit seantero dunia yang pernah ada.
“Kau pastti lapar,” menghentikan motornya pada
pinggir jalan. Pertama bagi duniaku harus makan pada sebuah gerobak kecil tanpa
restoran besar.
“Kata mami, perut bisa sakit kalau makan di pinggir
jalan” sikapku terlihat kaku. Apa yang terjadi dengan hidupku sekarang? Gilia
yang biasa terkenal dingin, angkuh, sombong dapat berucap tidak karuan bahkan
seakan seperti gadis paling polos sedunia.
“Hahahahahaha, itu kata mamimu bukan bundaku”
menarik tanganku agar segera duduk sekitar pinggir gerobak bakso tersebut. Di
rumah saya terbiasa mengeluarkan bahasa tidak senonoh bagi para pembantu, jika
memberikan masakan benar-benar kategori rendahan. Sekarang saya sendiri harus
menikmati makanan di pinggir jalan seperti ini.
“Ta…ta…pi, mami tidak pernah mengajar makan seperti
ini,” masih berusaha menolak.
“Bisakah kau berhenti menyebut nama mami atau papimu
sekali saja,” cetusnya bahkan terlihat kesal mendengar setiap kalimatku.
“Makanan di pinggir jalan itu kotor, banyak kuman”
rasa angkuh mulai kembali menjalar, kakiku terhenti dan tidak ingin berjalan
menuju kursi. Darrel menarik paksa tanganku, membuatku terduduk tanpa berucap
sedikitpun. Dia memesan 2 mangkuk bakso buat kami berdua. Di hadapanku terdapat
semangkuk bakso, antara rasa ragu ingin makan atau segera berlari dari tempat
tersebut.
“Gadis kutu buku yang terkenal sombong, angkuh,
judes, kaya, jenius bahkan sebentar lagi melanjutkan pendidikannya pada salah
satu kampus terbaik dunia.” Ucapan Darrel 15 menit setelah terdiam tanpa pernah
bisa mencicipi makanan di hadapanku.
“Maksudmu?” sedikit gerah mendengar ucapannya.
“Belajarlah menikmati masa remajamu, salah satu cara
yaitu makan di pinggir jalan, ngerti!” memasukkan sebuah bakso ke dalam mulutku
tiba-tiba.
“Jangan memuntahkan makanan yang sudah ada di
mulutmu sekarang!” menyuruhku segera mengunyah dan menelan makanan tersebut.
Dia mengajariku cara menikmati masa remaja, bukan hanya berada di depan
berbagai jenis buku-buku. Membuatku menikmati kehidupan ketika makan semangkuk
bakso sekitar gerobak kecil jauh dari restoran mewah.
“Kalau perutku sakit, bagaimana nantinya?”
ketakutan.
“Gadis aneh, kalau perutmu sakit tengah malam saya
akan ke rumahmu membawa obat sakit perut” ledekan Darrel sama sekali tidak
terdengar lucu…
Perlahan dunia Gilia mulai sedikit mengalami
perubahan yang tidak biasa. Mengerti tentang realita kehidupan bawah terlebih
menyadari bagaimana perasaan Deva adikku. Tidak pernah perduli tentang dunia
bawah, sekalipun adikku berkata-kata tetapi hidupku membenci kehidupan rendah
seperti itu. Hingga akhir cerita, dia datang mengajarkan langkahku setahap demi
setahap tentang kehidupan.
“Kutu buku,” teriakan Darrel memenuhi gendang
pendengaranku. Berbalik ke arah belakang mencari suara yang sedang memanggilku.
Siapa lagi kalau bukan dia, setiap saat membawaku ke sebuah petualangan
terbaru. Terkadang dia membuatku absen untuk mengikuti beberapa kegiatan les di
luar sekolah. Orang tuaku sama sekali tidak menyadari kegiatanku selama ini.
Mereka hanya tahu setiap saya tidak berada di rumah berarti mempersiapkann diri
sebaik mungkin untuk menjadi salah satu mahasiswa Harvad.
“Hari ini semua guru rapat, jadi kau dan aku bebas
berekspresi,” mendorong tubuhku dari belakang menuju parkiran kampus.
“Kau mau pergi kemana?” tanyaku.
“Bukan kau tapi kita berdua, ngerti” kalimat penuh
penekanan menyuruh untuk segera berada di belakang motornya.
“Tasku masih tertinggal di kelas,” berusaha berlari,
tetapi sekali lagi tertahan.
“Berhenti mencari tasmu,” memegang pergelangan
tanganku.
“Papi pasti mengamuk, jika seseorang menemukan tasku
semalaman di kelas”
“Belajarlah menghilangkan kata mami atau papimu
untuk beberapa saat,” gerutunya sangat kesal mendengar setiap kalimatku…
“Ternyata gadis angkuh, sombong, dingin, emosional
tinggi setiap berucap pasti menyelipkan kata mami dan papi, keren amat jadi
orang” cetusnya kembali.
“Berhenti mengejekku” mulai kesal setiap saat
menyindir hidupku…
“Kutu buku, hari ini kita akan berpetualang” menarik
tanganku untuk segera berada di belakang.
“Papiku bisa marah be…” tiba-tiba tangannya
menyumbat mulutku memakai seketika. Matanya kembali menatapku dalam waktu lama
tanpa berkedip sedikitpun. Detakan jantungku mulai berirama tidak karuan ketika
berada di dekatnya. Ini tidak boleh terjadi berusaha lepas dari tatapan mata
Darrel. Di luar dugaa, dia makin mendekat, membuat mataku tertutup rapat-rapat
ketakutan.
“Kau pikir saya akan melakukan sesuatu…” membuatnya
tertawa luar biasa melihat segala tingkah laku Gilia. Dia mengambil sesuatu
dari kepalaku yang ternyata daun kering berjatuhan dari atas pohon.
“Kenapa menatapku seperti itu?”
“Karena kau cukup cantik kalau ditatap lama-lamalah”
jawaban paling aneh dan belum pernah kudengar. Ternyata tas sekolahku berada
dalam bagasi motornya, tanpa sepengetahuanku dia telah mengambilnya dari kelas.
“Kau” hanya kata seperti itu saja yang dapat keluar.
“Bunda selalu mengajarkan jangan melakukan hal-hal
yang akan merusak masa remajamu.” Ungkapannya tiba-tiba. Dunia Darrel jauh
berbeda dari yang kubayangkan selama ini.
“Maksudnya?” tanyaku.
“Seperti merusak anak gadis orang, salah satu
contohnya membuat adegan berbahaya bahkan paling berbahaya seantero dunia
dimulai dari ciuman pipi kiri kanan, terus lari ke bibir, hingga akhir cerita
merebut kerawanan sampai dia hamil. Akhir cerita, saya menjadi seorang ayah di
usia masih terlalu muda.” Membuat seluruh wajahku memerah memasuki stadium
paling akhir mendengar penjelasan seorang Darrel.
“Kita tidak memiliki hubungan apapun, jadi tidak
mungkin kau berbuat terlalu jauhkan?” ungkapku.
“Itu katamu untuk saat ini, tapi siapa lihat nanti,”
suaranya sedikit pelan.
“Coba ulang ucapanmu tadi,” ujarku.
“Lupakan, tidak ada siaran ulang gadis kutu buku.”
Segera membunyikan motornya.
Berpetualang bersama dia membuatku belajar tentang
sebuah kehidupan. Mengerti bagaimana senyum harus dimainkan di setiap sudut
kehidupan. Berjalan bersama dia menyusuri tempat-tempat kecil bahkan melakukan
sesuatu yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Dia mengajarku berada di atas
sebuah kendaraan sederhana seperti mobil angkot, becak beroda tiga, motor
butut, masih banyak lagi.
“Ayo ke pasar yang ada di sana!” segera membawaku
menuju sebuah pasar kecil.
“Gi, bajunya murah meriah harganya Cuma 15.000,-
doang” teriakan Darrel terlihat bahagia.
“Baju kualitas murah seperti itu,” gerutuku di dasar
hati.
“Kenapa?” mata Darrel melotot menyadari sesuatu hal
dariku.
“Papi biasa membelikan baju di butik-butik
terkenal,” kalimatku.
“Oh my God, dasar anak papi” cetusnya.
“Papi dan mami tidak pernah membiarkan saya memiliki
pakaian-pakaian seperti itu, terlebih kualitas pakaian pembantu di rumah.”
Kalimatku.
“Setidaknya kau harus belajar menikmati masa
remajamu dengan cara mengoleksi pakaian-pakaian super duper murah seperti ini.”
Penjelasan Darrel menatapku.
“Itu pakaian pembantu,” teriakanku.
“Gi, belajarlah berpetualang menikmati hidup dan
tidak hanya melihat segala sesuatu dari kata mewah, mahal, berkualitas. Ngerti”
ujarnya sekali lagi membuatku tidak dapat berkata-kata.
“Apakah ini
yang dikatakan sebagai petualangan masa remaja?” cetusku bahkan hampir
tidak mempercayai semua hal di hadapanku sekarang.
“Gi, ada saat dimana kau harus bijak melihat sebuah
kehidupan di depan matamu.” Kata-kata bijak darinya membuatku terdiam. Seorang
Gilia melakukan hal-hal tidak terduga terlebih harus mengoleksi pakaian-pakaian
dari dunia pembantu.
“Saya bukan pembantu” suara terdengar pelan sangat tidak
menyukai pakaian kualitas rendahan seperti itu. Dia tahu kehidupanku seperti
apa, bagaimmana rumahku penuh harta berlimpah. Apa sih yang tidak bisa dipenuhi
oleh kedua orang tuaku? Satu kalimat bagi dunia Darrel sungguh mengerikan
memiliki kehidupan miskin seperti itu. Kenapa juga seorang Gilia mau menuruti
semua hal dari diri Darrel?
“Berpetualang ketika masih remaja, tidak berarti
seseorang harus memamerkan segala yang dimiliki sekalipun mampu memenuhi apapun
dalam dirinya.” Bahasa bijak Darrel mulai bergema kembali menyadari pemikiran
seorang Gilia berada di suatu jalur lain.
Kehidupan dia sangat mirip dengan dunia adikku bagai
pinang dibelah dua. Devanya membuat
sebuah pernyataan di buku hariannya tentang bagaimana seseorang harus memahami
keadaan di depan matanya. Sementara dia mengajarkan sebuah petualangan di masa
remaja, tidak harus bercerita tentang café mewah, butik terkenal, pusat
perbelanjaan terbesar, restoran mewah, segala benda-benda berkualitas dan masih
banyak lagi. Petualangan dunia remaja adalah ketika mereka memahami kakinya
dapat berada di jalur tepat sasaran.
“Seseorang harus belajar merendahkan hati, roda
terus berputar dan tidak ada yang tahu kehidupan hari esok menjadi seperti
apa,” ucapan seorang Darrel dengan gerakan tangannya terus memilah-milah
pakaian di depan mata.
“Berarti kau berkata jika papi dalam skejap bisa
saja…” kalimatku terpotong.
“Bukan maksudku berkata-kata aneh, tetapi ada saat
dimana terkadang Tuhan mengizinkan sesuatu terjadi dalam hidupmu dan membuatmu
tidak memiliki harta satu sen pun, kau dapat menghadapi keadaan seperti itu.
Kenapa?” bahasa Darrel.
“Kenapa memang?” tanyaku menghentikan tangannya
diantara pakaian-pakaian murah.
“Karena kau terbiasa hidup di dalam kesederhanaan,
tanpa harus berpikir mempunyai segala jenis benda-benda mahal. Petualangan
menyenangkan dari kehidupan remaja jika kau mau mencoba belajar hidup dalam
kesederhanaan. Tidak hanya hidupmu berada pada sebuah perpustakaan dan menjadi
kutu buku.”kalimat Darrel. Dia seperti penceramah handal atau lebih baik jika
Darrel mengabdikan diri menjadi pendeta, biksu, atau ustasd sekalian.
“Gunakan masa remaja mempelajari berbagai sisi
hidup, selain membentuk wawasan dalam hidupmu” dia tidak pernah putus asa
mengajarkan hidupku tentang dunia remaja.
BAGIAN 4…
DARREL…
Kepribadian salah satu penghuni di sekolahku yang
baru jauh dari akal logikaku sendiri. Angkuh, dingin, emosional tinggi, setiap
saat merendahkan banyak orang, menutup diri terhadap kehidupan di luar sana.
Menjadi gadis kutu buku hanya menghabiskan kehidupan dengan begitu banyak
buku-buku. Jenius bahasa paling tepat menggambarkan dirinya, bahkan hidup dalam
kemewahan. Satu lagi, seorang gadis berpenampilan serba mewah seperti gadis
modern pada umumnya.
Kalau bukan karena ayah pindah tugas, pasti saya masih
betah tinggal di kota lain bukannya tempat seperti ini. Menyukai sekolahku yang
lama, memberi memori tersendiri bagi hidupku. Semua orang pasti menertawakan
kisah hidupku, lain dari pada yang lain. Pada usiaku yang ke-15, ayah menikah
lagi dengan seorang janda sekarang menjadi ibu tiriku. Bunda meninggal di
usiaku menginjak 13 tahun, setahun kemudian ayah dipertemukan seorang wanita,
bahkan tidak lama kemudian mereka menikah.
Semua orang dapat tertawa sejadi-jadinya, kenapa? Karena
ayah menikahi janda beranak 10, hebat sekali menjadi orang tua terhebat
seantero dunia. Kisah hidupku terbilang keren, mempunyai saudara tiri berjumlah
hampir selusin. Inilah yang dikatakan cinta, bahkan kotoran kucingpun rasa
coklat paling terenak di dunia. Bunda saja hanya mempunyai anak 2, saya paling
sulung, sedangkan adik perempuanku sekarang beda 2 tahun dariku.
Pertama mendengar, jika saya dan adikku akan mempunyai
ibu beranak 10 luar biasa pergumulan paling terhebat memenuhi kehidupan. “Ayah,
coba bayangkan apa kata orang?” amukan Brielle satu-satunya adik perempuanku.
Saya hanya menggeleng-gelengkan kepala pertanda tidak mempercayai semua di
depan mataku saat ini.
“Inilah yang dinamakan cinta Bril, tidak memandang
status” jawaban ayah mencoba menenangkan putri satu-satunya.
“Maksud ayah, cinta dari hongkong” Brielle hampir gila
mendengar ayah akan menikah lagi. Secara pandangan logika, bunda belum lama
pergi meninggalkan kami bertiga dan tiba-tiba ayah ingin menikah lagi. Masih
berselang 2 tahun, apa kata orang nantinya terhadap kehidupan keluarga kami.
“Cinta tidak melihat masa lalu seseorang, tetapi mau
menerima dia apa adanya.” Ungkapan ayah.
“Menerima masa lalu gimana, janda beranak 10, keren amat”
Brielle masih saja ngoceh tidak dapat menerima kenyataan.
“Bril, itulah yang dikatakan cinta,” ledekanku terhadap
ayah.
“Waktu suaminya masih hidup, emang dia ga kenal KB yah?”
sindiran Brielle.
“Bril, jangan hanya menilai masa lalu tetapi coba melihat
yang sekarang” itulah dunia ayah, tetap berpegang pada pendiriannya.
“Bril, KB itu apa yah?” tanyaku terhadap Brielle
ditengah-tengah rasa frustasinya.
“Kakak, KB itu artinya Keluarga Berencana alias 2 anak
saja sudah cukup” ucapan Brielle penuh irama penekanan masih terdengar kesal
luar dan dalam.
“Ini mah bukan 2 anak lagi, tapi hampir selusin” ujarku
berpikir kacau...
“Untung anaknya kalau baik semua dan ibarat bunda jadi
anak manis, tapi jika sebaliknya, rumah pasti seperti kapal pecah.” Brielle membayangkan
keadaan rumahnya harus tinggal seatap bersama mereka. Menurut cerita ayah,
ke-10 anaknya juga akan menjadi penghuni rumah kami nanti. Sekitar 5 diantara
mereka sudah menikah, tetapi tidak mempunyai tempat tinggal jadi harus mengekor
dibelakang emaknya.
Berarti kami tidak hanya berjumlah 14 orang nantinya
dalam rumah, tetapi lebih dari itu, kenapa? Karena belum masuk hitungan menantu
dan cucu wanita janda tersebut. Menurut informasi dari ayah, kalau wanitanya
menikah di usia masih sangat muda sekitar 15 tahun jadi karena kurangnya
pendidikan sampai akhir cerita sama sekali tidak mengenal istilah keluarga
berencana. Terlebih zaman kemarin, dikenal dengan sebuah pernyataan “banyak
anak, pasti banyak rezeki”. Tidak ada pemikiran dasar tentang perkembangan
zaman, hingga berakhir seperti ini.
Rasa stres berkepanjangan membuat Brielle jarang di rumah
selama beberapa waktu. Di lain hal, kehidupan kami tidaklah seperti kebanyakan
orang memiliki banyak harta berlimpah. Ayah hanya karyawan biasa, sedangkan bunda
sewaktu masih hidup membantu dengan membuka warung makanan dan menjajahkan
beberapa jenis kue di sekolah-sekolah. Memang sih, jabatan ayah ada peningkatan
tetapi tidak cukup untuk menghidupi puluhan orang di rumah. Belum lagi calon
saudara tiri kami terbilang masih sekolah beberapa di antara mereka.
“Lengkap sudah penderitaanku kakak” amukan Brielle.
“Tidak segitunya juga kali, Bril” mencoba menenangkan
adikku setelah berhasil mendapatkan dia di sekitar pinggiran pantai.
“Kakak, coba bayangkan mempunyai saudara tiri berjumlah
10 orang, sedangkan 1 saja masih bisa berselisih apa lagi kalau banyak orang”
rasa frustasi Brielle tidak kunjung berhenti.
“Kau tidak bisa memaksakan kehendakmu berbicara, tetapi
kembali lagi yang di atas.” Hanya kalimat seperti itu saja yang bisa
kulontarkan.
“Jadi kakak?” mulutnya menganga tidak berkedip
sedikitpun.
“Tenangkan dirimu, biarpun kita berdua melawan setengah
mati, tetapi kalau memang Tuhan menghendaki mempunyai saudara tiri 10 orang,
mau gimana lagi” ujarku.
“Kakak...” makin terlihat kesal mendengar perkataanku.
“Kau tidak bisa melawan kehendak Tuhan, katakan saja
kehendak Tuhan yang jadi dan beri saya kekuatan menghadapi semua ini. Simple
kan”
“Untung kalau anak-anak janda kritis itu mengerti
keadaan, tapi jika tidak” menarik nafas dalam-dalam dan tidak tahu harus
berbuat ataupun bertindak seperti apa...
Brielle harus menerima kenyataan hidup memiliki saudara
tiri berjumlah 10 orang. Tinggal seatap bersama mereka bahkan beberapa diantara
mereka telah berkeluarga. Sebagian anaknya hanya tamatan SD, SLTP karena tidak
memiliki biaya cukup untuk bersekolah. Menikah di usia masih terlalu belia sama
seperti ibu mereka oleh karena pemahaman tentang pendidikan berada dibawah
standar. Selain itu, kehidupan ekonomi membuat mereka harus berhenti menempuh
pendidikan di tengah jalan. Bunda saja hanya menamatkan diri dari bangku SMU,
karena itu beliau benar-benar berjuang agar anaknya bisa lulus sarjana.
Brielle berjuang habis-habisan belajar demi mewujudkan
impian bunda. Berhasil mendapat peringkat pertama di sekolah setiap tahunnya,
jauh berbeda dengan kehidupanku. Setelah ayah menikah kembali, kami akhir
cerita hidup seatap bersama mereka. Ayah pindah tugaskan dan naik jabatan
karena kinerjanya bagus. Berada di kota besar, membuatku belajar beradaptasi
terhadap banyak hal.
Sekalipun mempunyai saudara tiri luar biasa banyak,
tetapi ayah tetap berjuang menyekolahkan kami di sekolah terkenal. Brielle
mempunyai sekolah tersendiri karena berhasil mendapat beasiswa berprestasi.
Menjadi salah satu pejabat penting di negara ini merupakan impiannya. Hal
terlucu setiap mencurahkan isi hatinya adalah ingin memberantas pernikahan
dini, kemudian menjelaskan betapa pentingnya pendidikan seorang anak. Juga
membuat sebuah program untuk sementara waktu, jika 1 anak sudah cukup demi
mengurangi tingkat kemiskinan di negara ini.
“Cita-cita paling luhur dan mulia,” sindirku berusaha
menahan tawa setiap mendengar curahan hatinya.
“Kakak, ini hanya berlaku sementara waktu program 1 anak
cukup, setelah keadaan menjadi stabil bisa kembali seperti semula 2 anak
cukup.” Berbicara tidak ada habisnya hanya permasalahan KB. Kemungkinan akibat
memiliki ibu tiri dengan anak berjumlah 10 orang. Lebih parah lagi,
anak-anaknya tidak ada yang beres semua terlihat kacau. Saudara tiri kami
memang hanya menjadi ibu rumah tangga sebagian, sedangkan suami mereka
berpenghasilan dari upah buruh, tukang ojek, tukang becak, tukang batu, tukang
sayur. Lebih parah lagi diantara suami mereka ada yang menjadi tukang makan
hanya malas-malasan buat mencari nafkah.
“Semangat buat cita-cita mulia Bril,” masih berjuang
menahan tawa mendengar bagaimana dia bermimpi.
“Kakak juga harus berjuang, biar bisa meraih mimpi juga”
setidaknya dia sudah belajar melupakan rasa sakit hati memiliki ibu dan saudara
tiri berjumlah 10 terlebih diantara mereka semuanya terlihat kacau balau.
Inilah keadaan harus tetap dilakoni, sekalipun terdapat
beberapa hal mengerikan di depan mata. Rasa frustasipun hampir membungkus
langkahku saat ini, tetapi bunda selalu mengajar jika seorang pria harus tetap
terlihat kuat. Sikap tenang, bijak, menjadi kakak terbaik harus terus ada dalam
Darrel sesuai pesan bunda.
Di sekolah baru, tidak ada seorangpun menyadari bagaimana
kisah hidup seorang Darrel bersama keluarga besarnya. Mereka hanya mengenal
Darrel setiap saat tersenyum menebarkan pesona pada akhir cerita seluruh remaja
putri menyukai semua itu. Tetapi tidak untuk Gilia salah satu manusia angkuh,
dingin, jenius, sombong, dan masih banyak lagi sifat terburuk dari hidupnya.
Dia begitu membenciku, terlebih ketika pertama kali menginjakkan kaki di
sekolah, kepala Gi mengenai lemparan bolaku.
Sifat Gi berbanding terbalik dengan Bril adikku, bahkan
tidak pernah sama. Brielle juga dikenal sebagai murid jenius, tetapi tetap
memperlihatkan kerendahan hati bahkan masih dapat menikmati masa remaja dengan
berbagai warna-warna pelangi. Sementara Gi hanya berpikir sesuatu tidak masuk
akal, sekalipun dia dinyatakan lulus pada salah satu kampus terbaik dunia.
Hanya menunggu waktu, setelah lulus dia akan berangkat keluar negeri
melanjutkan pendidikannya.
Tetapi sifat Gi mulai sedikit berubah minimal 1% setelah
peristiwa malam dimana saya menjadi malaikat untuk sementara waktu. Peristiwa
dimana dia hampir menjadi korban pemerkosaan beberapa berandalan. Entah mengapa
Tuhan membuatku melewati jalan tersebut, tidak seperti biasanya. Melihat
si’kutu buku dikenal sebagai gadis angkuh berteriak histeris ketakutan. Mencari
akal demi menyelamatkan dia, membunyikan sirene polisi melalui pengeras suara
demi menakut-nakuti para berandalan tersebut.
“Benar ucapan Bril, program Kb cukup 1 anak harus
diterapkan demi mengurangi tingkat kriminal di negara ini.” Gerutuku sendiri
membayangkan bagaimana Brielle menjelaskan tentang kepadatan penduduk begitu
berdampak bagi sebuah negara. Karena mereka berada di tingkat ekonomi lemah,
tidak mempunyai pendidikan pada akhirnya berakibat fatal bagi kehidupan sebuah
negara.
“Bril, semoga impianmu dapat tercapai setidaknya
mengurangi tingkat kemiskinan dan kriminalitas di negara ini, amin” seru doaku
jauh di dasar hati. Berjalan ke hadapan Gilia Carlissa setelah para berandalan
tersebut melarikan diri dan menjauh darinya. Berusaha menenangkan Gi yang masih
histeris akibat perlakuan mereka. Setidaknya dia tidak kenapa-kenapa, Tuhan
masih menolong untuk lepas dari mereka.
Semenjak kejadian tersebut, sikap dingin si’kutu buku
mulai berubah walau hanya berkisar 1%. Minimal dari pada sama sekali tidak ada
perubahan dalam diri si’kutu buku. Hal terparah ketika ingin merubah pola pikir
dari hidup Gi, harus mendengar ucapan mami atau papi. “Dia harus mengerti
petualangan hidup, atau membuat sebuah skenario sebagai petualangan remaja.”
Ungkapan hatiku bergema jauh di dasar paling dalam.
“Si’kutu buku,” ledekanku di hadapannya setiap kali
bertemu.
“Senyum dong” ujarku kembali, setiap saat dia masih saja
memasang wajah angkuh dan kepribadian dingin. Entah mengapa, di saat dia ada di
hadapanku, seakan ada sesuatu yang tidak ingin kulepas sama sekali. Apa yang
terjadi dengan hidupku Tuhan? Darrel harus segera bangun dari mimpi
berkepanjangan...
“Minggir!” bahasa acuh tak acuh masih sering bermain.
Seakan ada sebuah kekuatan membuat seorang Darrel tanpa pernah bosan terus
berada di dekatnya. Sekalipun dia bersikap dingin dan ingin marah, tetapi
tanganku terus menariknya berkeliling kota memakai motor tua.
“Kutu buku, hari ini kita berdua akan melakukan
petualangan paling seru” cetusku.
“Papi bisa mencariku,” diantara sifat angkuh, dingin,
judes, sombong yang dimiliki oleh Gilia, tetapi tanpa sadar ucapannya selalu
menyelipkan kata papi dan mami.
“Lupakan papi atau mamimu untuk hari ini, ngerti”
sekali-sekali saya berulah membuat dia ketakutan melalui gertakan keras.
Terkadang di saat tertentu mataku tidak berkedip sedikitpun menatap dia
dalam-dalam. Apakah ini yang dikatakan menyukai seseorang? Jadi pertanyaan
sekarang adalah mengapa harus gadis angkuh seperti Gilia?
“Berhenti menatapku seperti itu?” amukannya bermain,
segera mengambil sebuah buku atau benda kemudian melemparkan ke arahku.
“Ternyata, gadis kutu buku makin ditatap makin cantik”
sedikit menggodanya hingga menciptakan rona merah pada wajah Gilia stadium
paling tinggi seantero dunia.
“Dengar, kau dan saya memiliki kehidupan ekonomi
berbeda,” sifat dingin dia masih sering main. Namun saya tidak akan patah
semangat membuat dia memahami petualangan remaja di dalam kesederhanaan.
Meyakini suatu hari kelak dunia Gi pasti berubah. Dia hanya membutuhkan waktu
setahap demi setahap untuk mengerti kesederhanaan di setiap aspek kehidupan.
Membuat dia berkeliling kota memakai motor sederhana,
sekalipun sifat dingin dan angkuhnya masih bermain kuat. Mengajarkan hidup Gi
bagaimana rasanya makan sekitar pinggir jalan. Tertawa melihat tingkah lakunya
ketika makanan atau kue-kue di pinggir jalan terpaksa dimasukkan ke dalam
mulutnya. Membuat dia merasakan berada di sebuah mobil angkot, becak roda tiga,
bis tua, becak motor, dan masih banyak lagi.
Bersama Gilia membuatku lupa akan masalah dimana saya
memiliki saudara tiri berjumlah 10 orang. Dapat dikatakan saudara tiriku tidak
satupun beres kelakuannya. Dalam segala hal mereka selalu saja berselisih baik
itu memperebutkan makanan, pakaian, atau hanya sekedar lawan jenis. Belum lagi
saudara tiriku yang sudah berumah tangga kelakuan mereka luar biasa keren di
rumah, cerewetnya minta ampun. Ibu tiri setiap berbicara membuat kepala sakit
kiri dan kanan pada level seratus derajat celcius.
Walau karakter dingin Gi lebih bermain kuat, tetapi tetap
membuatku tersenyum hingga membuatku lupa tentang saudara tiriku ada 10 orang.
Satu lagi, entah roh apa merasuki tubuhku, membuat Gi berada di sebuah pasar
kecil. Menyuruh dia mengoleksi pakaian-pakaian murah meriah. Sudah kebayang
bagaimana teriakan dia melihat suasana pasar tradisonal. Tidak pernah merasakan
berbelanja di tempat seperti ini, membuat wajah seorang Gi makin terlihat asam.
“Kau harus mencoba pakaian ini!” perintahku.
“Tidak salah,” benar-benar terkejut. Bagaimana tidak,
seluruh pakaian Gilia Carlissa dibeli dari butik-butik termewah dan terkenal.
“Pakaian pembantu di rumahku masih jauh lebih mahal
dibanding pakaian yang kau pegang sekarang” kalimat Gilia terlihat mengamuk.
“Gi, harus belajar bagaimana berada pada jalur sederhana”
ucapanku berusaha membuat dia mengerti tentang sesuatu.
Gadis angkuh, dingin, terbiasa berada pada kehidupan
mewah, tetapi mempunyai peran cukup berharga bagi seorang Darrel. Membuat dia
mengerti akan petualangan ketika menyusuri suatu titik tanpa harus
memperlihatkan segala hal yang dimiliki. Menyadari akan keadaan disaat tangan
seseorang harus memetik, menggenggam, melepaskan, mencari, memecah, atau
sekaligus menghancurkan tanpa memperlihatkan kekuatan dari diri sendiri.
“Kau harus mendatangi sebuah tempat paling seru”
tiba-tiba membuat dia terkejut saat sedang membaca buku-bukunya di bawah pohon
rindang. Itulah dunia Gilia si’kutu buku sejati, tidak akan lapuk ilah zaman
seperti apapun. Membuat dia kesal, mengamuk, mengucapkan kata papi/mami,
terkejut, sedikit jantungan itulah kepribadianku.
BAGIAN 5…
GILIA…
Marah, kesal, dingin masih melekat pada diriku
disaat Darrel datang dan menarik paksa
tanganku ke suatu petualang terbaru. Tetapi di sisi lain detak jantungku selalu
bermain kuat ketika berada dekatnya. Sudah beberapa hari dia tidak berada di
depanku lagi, mengajakku berkeliling kota memakai motor tua miliknya. “Tuhan,
dimana dia sekarang?” pertanyaan terus melintas dalam benak selama beberapa
hari belakangan.
“Giliran depan mata rasa kesal pasti muncul”
gerutuku sendiri mencari-cari keberadaan Darrel.
“Giliran dia menghilang, ada sesuatu yang hilang
bahkan pergi” serasa hidup hambar tanpa petualangan ataupun senyuman Darrel.
Biasanya pulang sekolah seperti ini, dia segera menghadang langkahku menuju
mobil kemudian membawaku pergi. Beruntung saja pak Banu tidak menaruh curiga
sedikitpun.
Semua teman-temanku masih belum menyadari jika kami
selalu berpetualang berdua. Darrel
selalu saja menarik paksa tanganku untuk segera berada di suatu tempat.
Menyusuri taman kota untuk merasakan kesejukan pemandangan hijau di sekitar
area tersebut. Berada pada sebuah kali sekitar perkampungan kecil, hanya
sekedar menikmati suasana memancing bersama beberapa orang.
Awal melakukan semua itu, membuat dunia Gilia ingin
berteriak habis-habisan. Rasa jijik, mual, dan ingin muntah terus saja
membungkus. Tetapi dia setiap saat membawaku kembali ke kali tersebut untuk
menikmati petualangan. Diam-diam hidupku menikmati semua itu, rasa bahagia jauh
di dasar hati bersama dengannya.
“Gi, kenapa hari kau terlihat terus saja mondar-mandir
kiri kanan?” tegur Miranda menyapaku.
“Sa…sa…ya hanya mencari angin,” jawaban paling
tepat, namun terlihat gugup. Rasa takut jika mereka semua menyadari bagaimana
Gilia siswa berprestasi berpetualang bersama manusia kelas bawah. Mereka
menyadari hal-hal paling kubenci termasuk berhubungan ataupun terlihat dekat
dengan kalangan ekonomi lemah.
“Terus kenapa tingkahmu seperti mencari seseorang”
Miranda kebingungan.
“Itu hanya perasaanmu saja,” tatapan tajam,
penekanan kalimat membuat dia tidak dapat berbicara.
“Kalau begitu saya pergi,” segera pergi menjauh
bahkan menghilang tanpa jejak di sekitar halaman sekolah.
“Hampir
saja,” mengelus dada sembari menarik nafas dalam-dalam. Dia membuatku
seperti orang yang sedang bermain petak umpet, mencari keberadaannya. Beralasan
berjalan menuju lapangan hanya sekedar mengendap-ngendap untuk melihat apakah
dia ada disana? Kesengajaan ingin membeli makanan sekitar kantin dan harus
duduk terlalu lama, pada hal saya tidak pernah betah berada di tempat seperti
ini dalam jangka waktu panjang.
“Dimana manusia itu berada?” cetusku dalam hati.
“Jangan-jangan terjadi sesuatu dengannya, sampai
beberapa hari ini batang hidungnya belum juga dia nampakkan!” entah mengapa rasa khawatir betul-betul
menggerogoti pikiranku saat ini. Berusaha menguping pembicaraan beberapa siswa,
hanya sekedar ingin mengetahui keberadaan Darrel. Ada apa dengannya? Manusia
terbodoh…
Tanpa pernah bosan beberapa hari kakiku selalu saja
menyusuri seluruh koridor sekolah baik
luar dan dalam. Menyuruh pak Banu tidak usah datang menjemput, memakai berbagai
alasan biar papi dan mami tidak menaruh curiga. Pertama kali seorang diri bagi
Gilia berkeliling kota memakai mobil angkot. Kemarin bersama Darrel, tetapi
sekarang hanya seorang diri…
“Belajar melakukan petualangan,” bahasa seorang
Darrel terngiang di telingaku. Jangan-jangan ini sebuah perasaan suka terhadap
seseorang? Gilia menyimpan perasaan untuk manusia seperti Darrel…
“Awas…” sebuah mobil truk sedikit lagi menyambar
tanpa kusadari sebelumnya.
“Kau” tersadar sesuatu, dia tiba-tiba muncul sebagai
malaikat penyelamat sebelum mobil truk menerkam tubuh Gilia.
“Mau mati?” berusaha berdiri akibat terjatuh
beberapa waktu tadi. Dia membawaku ke sebuah pondok kecil tidak jauh dari
pinggir jalan untuk berteduh, akibat tiba-tiba hujan deras menampakkan diri
tanpa permisi. Suasana sepi, ketika kami berada di sebuah pondok…
“Kau menyebalkan” tanpa berpikir panjang tanganku
memukul tubuhnya.
“Harusnya kau berterimah kasih, bukan membuat
sensasi seperti ini” kata-kata Darrel berusaha menghentikan pukulanku ke
arahnya. Detakan jantungku berbunyi keras akibat tatapan matanya tanpa berkedip
sekalipun.
“Saya menyukaimu” kalimat pertama keluar memecah
keheningan setelah setengah jam tanpa berbicara satu sama lain.
“Apa” berusaha menjauh dari Darrel.
“Memang salah, kalau Darrel suka sama gadis angkuh,
dingin, kutu buku, jenius, kaya seperti Gi,” dia makin membuat jantung seorang
Gi berdetak lebih keras dari sebelumnya. Selama beberapa hari batang hidungnya
tidak pernah tampak, secara tiba-tiba bertemu pertengahan jalan. Akhir cerita,
jantungku hampir copot dia berucap melewati dugaanku. Manusia paling aneh
sedunia…
“Bagaimana, apa kau mau menerimaku sebagai pasangan
sejati, gelap, tersembunyi, tidak diakui di depan umum secara Gi selalu saja
terlihat jaim depan banyak orang.” Ungkapan apaan itu seakan menyindir.
“Manusia aneh” rasa kesalku.
“Kau mau jadi pacarku?” tanyanya.
“Papi menyuruhku…”
“Berhenti menyebut papi dan mamimu,” cetusnya.
“Jadi, saya harus menyebut siapa?”
“Menyebut Darrel dan Gi selamanya bersama, sampai
kapanpun tidak terpisahkan”
“Baru juga menyatakan perasaan, tiba-tiba harus
berbahasa seperti ini” berbicara spontan di depan dia.
“Kau mau jadi pacarku?” tatapan serius Darrel.
“Orang aneh,” kalimatku.
“Wajah memerah seperti itu berarti yah,”
pancingannya.
“Terserah kau saja,” spontan keluar begitu saja 5
menit setelah dia berucap…
“Berarti kita berdua pacaran, yes…” penuh semangat
berteriak kegirangan. Namun tiba-tiba dia segera mengambil sebuah kalung dari
saku celananya kemudian memakaikannya pada leherku.
“Berjanji harus setia sampai kapanpun,” perkataan
Darrel membuatku tidak dapat berkata-kata sedikitpun hanya mengangguk saja…
“Tetapi, pacaran kita dimulai setelah tamat sekolah
yah?” mempermainkan kehidupan Gilia…
“Kau sengaja memancing?” bahasaku terlihat
emosional.
“Bunda berucap, jika saya ingin terikat terhadap
seorang gadis harus setelah tamat sekolah dulu, bukan saat masih memakai
seragam sekolah” sebenarnya anak mami atau bunda itu siapa, membuatku ingin
tertawa keras.
“Jadi, kenapa kau menyatakan perasaanmu sekarang?”
tanyaku bersikap sedikit dingin.
“Ungkapan hatiku kunyatakan sekarang, tapi status
pacarannya nanti kalau sudah tamat sekolah, gimana keren ga?” mencubit pipiku.
“Manusia paling aneh seantero dunia,” kalimatku.
“Jadi status Darrel dan Gi hanya sekedar teman?”
tanyaku lagi.
“Yah seperti itulah, anggap saja kita berdua sahabat
dekat, ntar kalau sudah lulus sekolah statusnya berubah dari sahabat jadi
pacar” jawaban dari perbendaharaan Darrel.
Dia mengungkapkan perasaannya terlebih dahulu,
tetapi status pacaran setelah lulus sekolah. Pertama kali mengalami kehidupan
seperti ini, kisah asmara paling terkacau di dunia. Namun, harus kuakui dia mengajarkan
hidupku tentang langkah sederhana harus dilalui ketika berada disuatu
persimpangan jalan.
“Gi, sebaiknya kita berdua segera keluar dari pondok
ini” ungkapnya, tiba-tiba muncul depanku membawa daun pisang besar.
“Di luar hujan” teriakku.
“Mending mandi-mandi hujan dari pada malam makin
larut setan bisa main-main juga disini” raut wajah agak sedikit kacau jika
diperhatikan.
“What?” saya sama sekali tidak memahami maksud
ucapannya.
“Gi, kalau cowok dan cewek hanya berdua terlebih
hujan deras, apa lagi gelap pasti setan-setan bergentayangan hebat kiri kanan.
Ngerti?”
“Saya tidak mengerti?” jawabanku.
“Oh my God, si gadis angkuh ternyata polos juga”
Darrel menggeleng-gelangkan kepala sendiri.
“Polos ?” nada suaraku mencurigai…
“Cowok dan cewek kalau berduaan di tempat gelap,
terlebih hujan deras bisa saja melakukan sesuatu yang tidak diinginkan. Dimulai
dari pegang tangan, cium pipi, ke bibir, pegang kiri-kanan, akhirnya
guling-guling dah di situ, terakhir 9 bulan kemudian lahirlah si’kecil.”
Penjelasan Darrel hingga seluruh wajahku memerah bagaikan tersiram minyak
panas…
“Jangan macam-macam,” berusaha menjauh dari Darrel.
“Sejak tadi juga, saya bilang kita berdua harus
pulang cepat jangan sampai setan main-main kuat ditengah hujan deras dan
gelapnya malam hanya berdua. Ngerti” gertakannya.
“Apa kau pernah berciuman dengan seorang gadis?”
tanyaku berhenti mengikuti jalannya.
“Pertanyaan aneh,” dia berbalik.
“Jawab pertanyaanku,” terdengar sedikit cemburu sih.
“Astaga Gi, kalau kuingat-ingat seperti pernah” jawaban
dia.
“Tapi mencium bunda bukan seorang gadis,” kalimatnya
lagi.
“Berarti, saya orang pertama dari hidupmu”
kata-kataku.
“Kalau boleh jujur, kau bukan orang pertama tetapi
beberapa gadis sewaktu di sekolahku kemarin ga bisa menunggu hingga tamat
sekolah. Mereka sudah punya pacar sekarang, lebih parah lagi direbut ma teman
sendiri.” Jawaban terkacau dari Darrel.
“Mengerikan,” kalimatku.
“Tapi diantara mereka semua, kau benar-benar cinta
pertama.” Kalimatnya.
“Darrel manusia paling teraneh,”
“Kemarin itu hanya cinta monyet, ga serius.” Kalimat
Darrel memperbaiki ikatan rambutku di belakang.
“Satu lagi, permasalahan ciuman…” bahasanya
terpotong.
“Kenapa?” tubuhku berusaha menjauh mengingat ucapan
dia dari tadi.
“Menyukai seseorang berarti saya harus menghargai
bahkan menjaga kehormatannya. Permasalahan berciuman semua orang dapat mengejek
jika dunia Darrel benar-benar kolot tetapi saya masih memegang budaya dan
ajaran bunda.” Ungkapan Darrel membuka mataku tentang sesuatu hal…
“Berjanji di hadapan Tuhan menghormati pasangan saya
sendiri selama belum berstatus sebagai suami istri. Tidak akan macam-macam
sekalipun hanya sekedar berciuman, pegang kiri kanan stadium akhir pokoknya,
terlebih ngajakin tidur coi.” Kembali Darrel berkata-kata.
“Ternyata dunia Darrel si’tukang tebar pesona…”
ungkapku.
“Bunda berkata, jika bukan hanya keperawanan saja
yang harus dijaga, tetapi keperjakaan seorang pria pun sangat penting.
Perselisihan rumah tangga berpengaruh pada sex sebelum menikah.” Penjelasan
Darrel. Pertama kali menyukai seseorang, dia mengajarkanku banyak hal tentang
menghargai diri sendiri dan pasangan.
“Terimah kasih karena sudah menyukaiku,” entah
mengapa saya berucap seperti itu.
“Kita pacaran juga setelah lulus sekolah bukan
sekarang, jadi santai saja bos.” Ujarnya.
“Saya akan menunggu waktu itu tiba, sekalipun saat
ini kita berdua hanyalah sebagai sahabat.” Menggenggam kuat jemarinya.
“Janji” di wajahnya tidak terlihat sebuah kebohongan
sedikitpun.
BAGIAN 6…
DARREL…
Beberapa hari belakangan, saya sama sekali tidak
menampakkan diri di sekolah. Berurusan dengan salah satu saudara tiriku membuat
hidupku kacau balau. Bagaimana tidak mempunyai saudara tiri berjumlah 10 seakan
menghanyutkan diriku sendiri secara langsung di neraka level tinggi. Mendengar
ceramah ibu tiri panjang kali lebar membuat kepalaku sakit seketika. Dalam
rumah tidak cukup besar, hanya berukuran sederhana terdapat beberapa kepala
keluarga.
“Darrel, coba tengok saudara di sana” perintah
si’ibu tiri.
“Darrel, jaga si’kecil!” perintah Bita salah
satu saudara tiriku. Lebih parah dia itu
mempunyai anak 3 masih kecil-kecil semua, jaraknya terlalu dekat, belum ada
yang sekolah. Suami dia hanya jadi tukang makan dan tukang tidur di rumah.
Hancur betul rumah tangganya, makanan mereka ditanggung ayah. Setahuku,
walaupun saya belum menikah tetapi seserang yang telah berumah tangga harus
mempunyai rumah sendiri. Tinggal di gubuk tidak menjadi masalah, setidaknya
mereka dapat terbentuk bahkan memulai kehidupan keluarga kecilnya.
“Kau tidak merusak mainanku,” keponakanku berteriak.
Berselang 5 menit, 2 keponakan berkelahi terus tiba-tiba nangis. Lebih parah
lagi, orang tua mereka datang, yang terjadi bukan lagi keponakan berkelahi
tetapi si’lanjut usia. Shena dan Thiza
merupakan sepupu, tetapi mereka tinggal seatap. Di rumah terdapat beberapa
kepala keluarga, salah satunya orang tua dari Shena dan Thiza. Setiap terjadi
perselisihan antara Shena dan Thiza, hal terburuk adalah orang tua
masing-masing membela anak mereka berakibat perang dunia 3 di rumah.
“Nasib nasib, mempunyai saudara tiri berjumlah
hampir selusin.” Gerutuku.
Adakah hal lebih mengerikan dari kehidupan kami
sekarang? Kepala Brielle adikku hampir pecah melihat kelakuan saudara tiri
kami. Dia selalu beralasan menyelesaikan tugas sekolah atau sekedar les hanya
demi menghindar jauh-jauh dari mereka. Sampai pakai acara menginap segala di
rumah temannya, karena kamar di rumah benar-benar sempit. Saya saja tidurnya di
ruang tv sekarang, akibat kamar sudah mendapat penghuni baru.
“Kakak mau kemana?” teriak Brielle sepulang sekolah.
“Lepas stressss” jawabanku berjalan keluar.
“Ternyata kakak juga tidak tahan ma kapal pecah di
rumah,” ledekan Brielle.
“Bril diam, lebih baik mulut tu dijahit biar ga
kebanyakan ngomong” menyerang Brielle.
“Kakak berhenti” terus berteriak, tetapi saya terus
saja berjalan keluar tanpa menghiraukan suaranya. Menuju sebuah lokasi hanya
demi melepas stress berkepanjangan di rumah. Pertengahan jalan saya melihat
Gilia berjalan sendiri, tiba-tiba sebuah truk dari arah utara menuju ke
arahnya. Katanya, benci jika berjalan kaki atau naik angkot! Kenapa sekarang
tanpa mobil pribadi bersama sopir tercinntanya itu?
“Awas,” teriakanku berusaha berlari dan segera
mendorong dia ke pinggir jalan sebelum truk tersebut menyambar kami. Akhir
cerita kami berdua terjatuh seperti di film-film drama korea gitulah…
Lebih parah lagi, hujan segera datang membasahi bumi
tanpa memberi aba-aba sebelummnya. Mencari tempat berlindung, sambil menunggu
hujan berhenti. Berada pada pondok kecil di tengah hujan deras bahkan setan
dapat saja bermain. Gimana tidak, hanya berdua, sunyi, sore menuju malam,
bersama hujan deras minta ampun. Tanpa hujan sekalipun permainan setan kuat
terlebih jika keadaan seperti ini.
FLASHBACK…
“Kuduslah kamu, sebab aku kudus” sebuah pernyataan
bunda mengajarkan tentang sebuah iman. Entah dari mana kalimat tersebut
didapat, tetapi menurut bunda, pernyataan diucapkan oleh Tuhan. Seseorang harus
dapat menjaga diri terhadap banyak situasi seperti apapun keadaannya.
Jangan menciptakan karakter terburuk dengan
melakukan penyimpangan. Ketika memasuki sebuah hubungan, milikilah kehidupan
sehat. “Darrel, kelak jika kamu mencintai seorang gadis, hargai dan hormati
dengan tidak melakukan hal-hal menjijikkan.” Ungkap bunda ketika masih hidup.
Umurku saat itu sudah menginjak usia anak baru gede…
“Bunda bicara apaan sih,” sedikit malu mendengar
kalimat bunda.
“Semua teman-temanmu dapat saja melakukan hal paling
terburuk bahkan mereka pasti mengejek jika anak bunda manusia paling kolot sedunia menghadapi pasangannya. Tetapi,
tetaplah bertahan menjadi anak bunda dengan tidak mengikuti kebiasaan buruk
mereka.” Tegur bunda.
“Memang kebiasaan buruk mereka itu seperti apa
bunda?”
“Biasanya anak cowok kalau pacaran selalu
melewati batas. Kenapa? Karena persepsi
salah, ga keren kalau pacar ga dicium. Awal Cuma kening, trus hidung, pipi,
bibir lanjut main pegang kiri kanan tidak jelas. Lebih hancur lagi berhubungan
badan, akhirnya keperawanan sang pacar
direbut. Kenapa? Karena diawali dengan hal paling kecil tetapi membuat
sebuah sarang.” Penejelasan bunda terhadapku.
“Bunda, apa keperawanan wanita itu segitu pentingnya
ya?”
“Darrel, kau harus menyadari jangankan keperawanan
seorang gadis bahkan keperjakaanpun terlalu berharga. Jangan membuat hal-hal aneh,
pertahankan dirimu biarpun semua teman-temanmu mengejek kalau Darrel manusia paling kolot jika prinsip hidupmu
ketahuan.” Kata-kata bunda.
“Maksudnya?” tidak memahami kata-kata bunda.
“Darrel harus beradaptasi tetapi tetap mempunyai
prinsip. Dunia sekarang pasti berkata-kata seperti ini, hari gini masih perawan
atau hari gini masih perjaka, terlalu kampungan” pernyataan bunda.
“Masuk telinga kanan keluar telinga kiri, dalam
hidup ini seorang Darrel harus bisa menyaring mana kehidupan menuju jurang dan
mana membuat hidupmu terbentuk. Sekalipun mereka menjauh, mengejek, mengucilkan
selama membentuk Darrel tetap pertahankan. Tetapi jika merusak lebih baik
membuang dari pada mempunyai banyak teman.” Tambahan kalimat bunda lagi.
Ucapan bunda membuatku memahami jika dalam hidup
seseorang harus mempunyai prinsip. Bagaimana beradaptasi terhadap banyak hal,
tetapi jika melewati batas kaki harus berlari sejauh mungkin untuk menjauh
dari lingkaran menuju sebuah jurang.
Kehidupanku dan Brielle dibentuk oleh suatu pondasi. Bunda seperti batu karang
memiliki kekuatan luar biasa, tetapi juga bagaikan air untuk menghancurkan batu
paling keras dan melembutkan melalui alirannya.
FLASBACK…
Satu sisi mengingat kalimat bijak bunda, tetapi sisi
lain membuatku tanpa sadar menatap tajam Gi. Merasa kesal atas kelakuanku
selama beberapa hari absen dari sekolah dan hadapannya, sehingga dia terus saja
memukul tubuhku. Gadis jaim, giliran diajak berpetualang memasang wajah dingin
dan sekarang malah terlihat kesal.
“Saya menyukaimu” sesuatu merasuki diriku,
menyatakan perasaan pada posisi seperti ini. Mendingan dari pada memikirkan
saudara tiriku lagi berselisih membuat rumah bagaikan kapal pecah. Terkejut,
terdiam, seakan mendapat serangan jantung itulah keadaan Gi saat ini. Serangan
jantung mendadak masih bermain, hanya saja akhir cerita dia mau menerima
diriku. Kelakuan paling idiot adalah menyatakan perasaan, tetapi status
pacarannya tunggu tamat sekolah. “Pacaran boleh-boleh saja, tapi tunggu sampai
lepas seragam sekolah dahulu” nasehat bunda masih menghantui hidup Darrel.
Gilia merupakan gadis remaja cukup cantik, jenius,
sebentar lagi kuliah pada salah satu kampus terbaik dunia setidaknya saya
menyatakan perasaan dulu. Kalau jodoh juga pasti Tuhan membuat Gi bertahan
menunggu, tetapi jika tidak maka saya harus menerima nasib. Kenapa juga, Darrel
menyukai gadis seperti Gi? Butuh waktu bagi Gi untuk memahami warna-warna
pelangi dalam kehidupan sederhana.
“Anak-anak, minggu depan kalian akan berada di
sebuah desa kecil untuk kegiatan praktek lapangan salah satu mata pelajaran.”
Ucapan ibu guru memberi tahukan informasi penting. Kurikulum khusus di sekolah
ini berbeda dengan tempat lain, kenapa? Karena semester akhir, para siswa
melakukan sebuah praktek sama seperti
mahasiswa di sebuah pedesaan kecil.
Tinggal di rumah penduduk desa, dan melakukan
beberapa kegiatan penting di sana. Kelasku terbagi menjadi beberapa tempat
alias berada di beberapa pedesaan. Satu sama lain harus terpencar biar menyatu
dengan siswa dari kelas lainnya. Tidak tahu kenapa, Gi dan saya berada di desa
yang sama tetapi lain rumah. Kegiatan kami adalah melakukan pendataan, membuat
sebuah arena permainan bagi para penduduk tetapi terdapat makna, dan masih
banyak lagi kegiatan.
“Apa yang kau lakukan?” suara paling kukenal
sepanjang masa bahkan akhir hayat hidupku.
“Lagi membersihkan rumah, memasak buat makan”
jawabanku.
“Kenapa harus kau yang lakukan?” Tanya Gi. Seperti
biasa Gi terkadang masuk sembunyi-sembunyi mencariku sebelum melakukan aktifitas
padat.
“Gi, ketika kau berada di tempat-tempat seperti ini
jangan menjadi sandungan.” Ucapku menatapnya.
“Artinya?” kalimat Gi,
“Hal paling berperan adalah karakter Gi, bukan
sebuah prestasi, kekayaan, ketenaran. Ngerti?”
“Tidak” dia menggeleng-gelengkan kepala.
“Saat kakimu berada dalam rumah seseorang, kau harus
bisa membantu mereka seperti membersihkan rumah, mengepel, memasak jangan
jadi pemalas.” Jawabanku.
“Saya mempunyai harta banyak tinggal sewa pembantu
sudah kelar semuanya, apa lagi dunia Gi memiliki prestasi tinggi sangat tidak
pantas melakukan pekerjaan pembantu seperti ini.” Mulai kumat lagi karakternya.
“Ketika Gi berada disini jangan pernah
memperlihatkan kekayaan, prestasi tinggi, pendidikan, ketenaran tetapi
perlihatkan sebuah karakter. Belajarlah merendahkan hati dan tidak menonjolkan
semua yang Gi miliki.”
“Kalau melakukan pekerjaan seperti itu berarti semua
orang berkata jika saya pembantu.” Ucapan Gi tidak bisa menerima pernyataanku.
“Gi bukan seorang pembantu, tetapi hidup Gi hanya
belajar merendahkan hati. Jangan menjadi manusia pemalas atau memandang rendah
seseorang terlebih jika kita sama sekali tidak memiliki apapun. Sedangkan prestasi
dan kekayaan juga tidak kita miliki, seakan ingin menyudutkan orang.”
Ungkapanku.
“Gi perlihatkan kepada penduduk disini tentang
kerendahan hati dalam bentuk melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti ini. Tidak
bercerita harus menonjolkan pendidikan, uang, ketenaran, bahkan prestasi paling
tinggi sekalipun dari diri Gi.” Tambahan pernyataanku kembali.
“Berarti saya harus belajar tentang kerendahan hati?”
mata melotot tanpa kedipan.
“Yah seperti itulah, bos” perkataanku berusaha
membuat hidup Gi memahami sebuah keadaan. Kehidupan dia memang terbiasa akan kemewahan,
benda-benda bermerk, dan masih banyak lagi. Namun, hidup Gi harus belajar akan
kualitas hidup terbungkus kesederhanaan tanpa menonjolkan apapun yang dimiliki.
“Bagaimana cara menyapu lantai rumah yang benar?” seorang
Gi datang membawa sebuah sapu, pertama kali bagi hidupnya belajar melakukan
hal-hal kecil seperti ini. Terbiasa akan kondisi pembantu begitu banyak di
istananya, sehingga hanya untuk sekedar menyapu lantai saja terlalu sulit
dilakukan. Cuci piring saja, hampir semuanya pecah akibat perbuatannya.
“Makanya hati-hati,” tegurku.
“Kau menyuruhku belajar melakukan pekerjaan
pembantu, sekarang berkata hati-hati” kekesalan Gi mulai nampak.
“Maksudku, hati-hati biar piring-piringnya tidak
pecah semua” tanganku masih membersihkan goresan luka pecahan kaca pada bagian
kakinya.
“Setidaknya saya mau cupir, menyapu, mengepel, dari
pada sekali tidak…”
“Gimana piring-piringnya ga pecah, selesai bilas,
dilempar keras ke samping, pecahlah” tubuhku memperagakan cara-cara dia berada
depan wastapel. Tempat tinggal kami bersebelahan, jadi dia biasa menengok masuk
hanya sekedar berbicara.
“Sejak kapan kalian berdua sedekat ini?” suara Visa
seakan tidak mempercayai apa yang ada di depan matanya sekarang. Semua siswa
belum menyadari kedekatan kami selama ini. Mereka hanya tahu, jika Gilia sangat
membenci Darrel manusia ekonomi lemah. Pada dasarnya hubunganku dan Gi dekat,
tetapi sesuai kesepakatan hanya berstatus sahabat. Setelah lepas seragam, baru
berubah menjadi status berpacaran.
“Minggir” Gi mendorong tubuhku.
“Kau” kalimatku melihat kelakuan Gi.
“Saya curiga, terjadi sesuatu antara kalian berdua?”
Miranda mencoba menebak.
“Hentikan ucapanmu,” sikap dingin Gi kembali kumat.
Gadis paling angker, berubah 180֠ C
membuat semua siswa menaruh curiga. Senyum tidak pernah nampak pada wajahnya,
tetapi sesekali memperlihatkan tawa di hadapan semua orang.
“Kami kan hanya sekedar bertanya” mata Miranda tetap
ke arah Gi.
“Mau tahu tentang saya dan ketua gengmu ini?” ucapanku
membuat Gi terlihat mengamuk.
“Jelas mau tahulah,” spontan Visa bersuara
mmengangkat tangannya.
“Saya dan Gi sekarang bersahabat, puas?” Gi tersedak
air mendengar jawabanku.
“What? Perasaan Gi membenci dirimu” Miranda masih
meragukan semua.
“Tapi bukan status pacaran kan?” mata Visa mengarah
ke hadapanku.
“Bukanlah, hanya sahabat tapi mesra” Kali ini wajah
Gi memerah seperti kepiting rebus.
“Kau bukan level Gi, lebih baik pacaran sama saya
saja,” ungkap Visa.
“Dengar, sedang sama Gi saja hanya sahabat ga lebih,
apa lagi sama situ” bahasaku agak kelewatan.
“Berarti kita berdua tidak bisa berpacaran dong?”
kekesalan Visa.
“Siapa bilang tidak bisa?” sedikit memancing Gi.
“Hentikan kelakuan kalian” Gi menarik tangan Visa.
Walau berusaha menutupi, terlihat jelas jika Gilia Carlisa benar-benar cemburu.
Kisah dunia Gi dan Darrel memiliki alur cerita tersendiri. Tawaku hampir
meledak melihat raut wajah Gi terbungkus rasa cemburu terhadap Visa. Untuk
beberapa bulan ke depan, status masih sebagai teman dan tidak lebih sesuai
perjanjian berdua.
“Percintaan paling terkacau bahkan terkocak hubungan
Darrel dan Gi,” memandang foto Gi pada ponselku.
“Kalau kau keluar guna melanjutkan studi, tetaplah
menungguku” berbicara sendiri sembari tetap memegang ponselku. Gadis angkuh,
dingin, jenius, kaya, tetapi memiliki sisi tersendiri…
Setelah menjalani praktek selama 2 minggu, kami
akhirnya kembali ke kota. Menunggu bulan saja kaki akan segera meninggalkan
sekolah Harapan bersama, melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Menjalani status
sebagai sahabat antara kami sedikit fenomenal, kenapa? Si’gadis kutu buku dan
angkuh menggemparkan seluruh siswa Harapan Bersama.
“Gi, berjanjilah satu hal” ungkapku ketika mengajak
dia makan es krim pulang sekolah.
“Apa itu?”
“Kau tidak boleh selingkuh dalam bentuk apapun
selama berada menjakdi mahasiswa Harvad, ngerti” berucap sambil membelalakkan
sepasang mataku.
“Kita berdua itu hanya sebatas sahabat, ngerti?”
judes juga kalau bicara.
“Sesuai perjanjian, selama masih memakai seragam
sekolah sebatas sahabat, terus setelah lepas seragam status berubah jadi pacar
coi,” menepuk-nepuk bahu Gi.
“Jangan macam-macam, kalimatmu sendiri berucap
kuduslah kamu sebab aku kudus” kalimat Gi memindahkan tanganku dari bahunya.
“Itu nasihat bunda, ngerti?” ujarku.
“Giliran saya juga dilarang sebut nama mami atau papi, giliran situ setiap
detik menyebut kata bunda. Manusia terkacau seantero dunia,” Gi melotot aneh…
“Selama bersifat membangun buat saya ga jadi masalah
menyebut nama bunda, seperti pernyataan tadi tujuannya mengajar tapi bukan
untuk menyindir bos.” Tuturku sambil mengemut es krim di tangannya.
“Kau,” mengamuk akibat perbuatanku.
“Kuberi tahu satu lagi Gi, ini nasehat bunda buat
adikku berarti berlaku bagi hidupmu juga.” Kalimatku.
“Kau punya adik?” tidak menyangka jika saya memiliki
adik perempuan. Lebih parah lagi, andai kata Gi sampai menyadari Darrel
mempunyai saudara tiri berjumlah 10 orang.
“Namanya Brielle, berjarak 2 tahun dariku. Dia
tumbuh menjadi gadis remaja paling manis, rendah hati, bijak, pintar, selalu
mendapat peringkat pertama, bercita-cita ingin menjadi pejabat paling
berkompeten di Negara ini.” Menjelaskan dunia Brielle.
“Adikmu pintar, lantas kenapa otakmu standar saja
dalam kelas?” kalimat Gi.
“Namanya juga anak laki beda ma cewek, ngerti?” jawabanku.
“Terus nasehat bundamu buat adik tercintamu?” dia
kembali ke pokok pembahasan…
“Jadi cewek jangan seperti singa ganas ingin
menerkam, lebih parah lagi masuk stadium akhir,” jawabanku membuat Gi
kebingungan mencerna kalimatku.
“Maknanya lari kemana?” Gi kebingungan.
“Maksudnya, ketika berhadapan dengan seorang cowok,
milikilah kualitas. Biasanya, pihak cowok selalu saja dipersalahkan
mempermainkan cewek. Pada hal, ceweknya biasa memancing, bahkan disaat tertentu
lebih ganas dibanding singa sudah siap menerkam.” Penjelasanku terhadap Gi.
“Berarti kau menuduhku singa ganas?” teriakan Gi tak
terkendali.
“Bukan maksudku seperti itu, hanya sekedar
pernyataan bunda bagi Bril, tetapi juga berlaku buatmu.” Menghindari pukulan Gi.
“Tetap saja kau berkata saya adalah singa paling
ganas”
“Gi berhenti,” gertakanku berusaha menghentikan
amukan Gi.
“Gi bukan singa ganas, semua orang tahu terlebih
saya kalau duniamu tidaklah seperti kebanyakan orang. Sekalipun kemarin-kemarin
terkenal sebagai gadis angkuh, dingin, sombong.” Penjelasanku, hingga akhirnya
dia berhenti mengamuk.
“Berhenti mengejekku sebagai gadis angkuh, dingin, sombong, terlebih singa
ganas”
“Saya tidak katakan Gi merupakan singa paling ganas,
hanya saja terkadang iblis bermain lebih kuat dibanding iman sendiri. Maka dari
itu, Gi harus berjaga-jaga dan banyak berdoa biar bisa mengalahkan iblis
jahanam.” Kalimatku.
“Kau menyebalkan” emosi Gi makin tidak karuan.
“Tetapi jauh dari dasar hatiku, mempercayai sesuatu
kalau Gi merupakan gadis yang tetap berada pada jalur.” Ungkapan hati seorang
Darrel bagi hidup Gilia Carllisa. Dia harus mengerti tentang keadaan luar,
bagaimana terkadang iblis biasa lebih kuat bermain dalam diri seseorang.
Setidaknya Gi dapat menjaga dirinya sendiri…
BAGIAN 7…
GILIA…
Dia mengajar hidupku tentang kesederhanaan,
petualangan dimana memberi makna dan membentuk kepribadian diri sendiri.
Menghancurkan karakter terburuk dalam dunia seorang Gi, memberikan sebuah sinar
dalam kegelapan. Bersama-sama berada pada sebuah jalur, menjalani perputaran
roda hidup.
“Gi, apa yang kau lakukan?” sebuah suara penuh murka
menyerang gendang pendengaranku.
“Papi” berbalik ke arahnya. Papi segera menarik
paksa tanganku, ketika saya sedang bersama Darrel makan sekitar pinggir jalan.
“Jangan coba dekati Gi lagi,” gertakan papi terhadap
Darrel.
“Berhenti memaki Darrel!” kalimatku terhadap papi.
“Antara kau dan Gi seperti langit dan bumi. Andai
kata itu terjadi, saya tidak segan-segan menghancurkan kehidupanmu.” Papi menarik
paksa tanganku hingga membawaku menuju mobil.
“Berhenti pi,” berjuang melepas diri dari genggaman
tangan papi. Meninggalkan Darrel sendirian di tengah kerumunan banyak orang
akibat ulah papi.
Kesalahan terbesar papi menyuruhku menjauh terlebih
melupakan Darrel. Papi mengamuk hebat ketika menyadari putri kesayangannya
menjalin hubungan bersama manusia ekonomi kelas rendah. Dia terus mengurung
tanpa memperdulikan perasaanku sendiri. Mami dan papi sama sekali hanya
mementingkan derajat mereka, bukan tentang perasaanku.
Melarangku memasuki lingkungan sekolah, pada hal
papi sadar jika ujian sebentar lagi dilaksanakan. Devanya terkejut melihat
dunia Gilia menjalin hubungan dengan orang bawah. Hal terbodoh bagi hidupku
menurut papi, dimana menyukai manusia terburuk. Mami dan papi hanya menilai
keadaan seseorang dari kekayaan semata. Dunia mereka penuh ambisi menginginkan
harta menumpuk seperti gunung.
“Ka’Gi,” sapa Deva mencoba membuka pintu kamarku.
Sedikitpun tidak ingin berbicara dengannya.
“Ternyata cowok bernama Darrel berhasil merubah pola
pikir ka’Gi” senyuman Deva berjalan ke hadapanku membawa makanan pada nampan.
“Pergilah!” tidak ingin berbicara sedikitpun
terhadap Deva.
“Kakak harus makan, hadapi semua masalah dengan
kepala dingin” adikku mempunyai karakter sangat mirip dengan Darrel. Selalu
bijak seperti apapun kenyataan depan mata. Terlihat lebih dewasa jauh melebihi
umur mereka yang masih menginjak remaja.
“Kalau boleh tahu Darrel itu pacar kakak?” mencoba
berhati-hati saat berada di depanku saat ini. Deva tahu betul, kepribadian
kakaknya…
“Memang apa urusannya denganmu?” sifatku masih
terkadang judes terhadapnya.
“Kakak pikir saya akan tertawa atau menghina?”
bahasa Deva masih bersikap tenang. Terkadang hatiku selalu ingin tertawa,
bergurau, bersahabat, bahkan bercerita banyak hal bersama adikku, tetapi lain
yang terjadi. Kenyataannya adalah apa yang tidak kusukai, itulah yang
kulakukan. Saudara dari orang tua yang sama, tetapi antara kami berdua tidak
seperti kebanyakan kehidupan persaudaraan sekeliling kami.
“Yah sudah kalau tidak mau bercerita” Deva segera
berdiri…
“Status hubunganku hanya sekedar sahabat,” ucapku
setelah terdiam selama beberapa menit.
“Hanya sahabat, tapi kenapa sampai papi marah besar
seperti sekarang” mulut Deva terbuka
lebar tanpa terkatup sedikitpun.
“Papi belum tahu, kalau kami hanya sahabat” kepalaku terus tertunduk.
“Biar Deva yang menjelaskan ke papi, bagaimana
hubungan kalian” Deva segera berjalan ingin keluar.
“Tapi status sahabat itu hanya sementara waktu, jadi
percuma saja menjelaskan ke papi” menahan Deva agar tidak segera berada di
hadapan papi.
“Sementara waktu berstatus sahabat, setelah itu
jadi…” dia makin kebingungan…
“Sesuai perjanjian kami selama masih memakai seragam
sekolah masih berstatus sahabat, setelah lepas seragam sekolah alias lulus
berubah jadi status pacaran.” Penjelasanku memecahkan tawa Deva sekitar ruang
kamarku.
“Hubungan apaan itu? Pertama kali mengenal cowok
terus menjalin status tidak jelas” bahasa Deva merasa lucu mendengar setiap
penjelasanku.
“Menurut bunda Darrel, kalau mau berpacaran gitu,
harus lulus sekolah dulu” ujarku.
“Berarti dia anak mami?” tawa Deva. Bagaimana tidak,
kakak yang dia kenal berkarakter angkuh, keras, judes, perfect, dingin, selalu
menjadi pertama menyukai anak mami.
“Bunda Darrel sudah meninggal,” kata-kataku.
“Bagaimana dengan ujian kakak? Hanya karena
permasalahan seperti ini papi tega membuat ka’Gi absen dari sekolah” Deva
selalu menjadi adik terbaik sekalipun karakterku terkadang menyakiti hatinya.
“Menurut papi, biar guru-guru saja datang ke rumah,
masalah ujian akan dipersiapkan tempat, tetapi tidak akan dilakukan di sekolah”
wajahku masih menunduk..
“Kau sebentar lagi menjadi mahasiswa salah satu
kampus terkenal dunia, kenapa papi sampai tegah melakukan semua itu?” kesal
terhadap sikap papi.
“Apa status hubunganku dengan Darrel selamanya hanya
sekedar sahabat saja?” pertama kali bagi
Gi meneteskan sebutir Kristal karena seseorang.
“Hidup, masa depan, jodoh semua berada di tangan
Tuhan,” Deva menggenggam jemariku kuat memberikan kekuatan.
“Kau seperti Darrel selalu terlihat bijak dan
dewasa,”
“Berarti pilihan masa depan ka’Gi memang mempunyai
kualitas hidup tersendiri dari siapapun, wajar saja kakak sampai murung, sedih
karena dia” Deva memahami perasaanku berbeda ketika bersama mami dan papi.
Kedua orang tuaku hanya membuatku berada dibawh tekanan.
“Apa yang harus kulakukan?” rasa takut menyelimuti
keadaanku.
“Saya akan berusaha mempertemukan ka’Gi dan Darrel,
sebelum kakak berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan sekolah.” Deva adalah
adiik terbaik di dunia, selalu ada ketika sang kakak berada dalam situasi
tersulit. Papi melarang saya keluar dari kamar sedikitpun, bahkan sekedar menghirup
udara segar depan teras rumah. Sementara mami setiap saat tanpa bosan, terus
saja berceramah panjang kali lebar tentang kesalahan terbesar yang telah
kulakukan.
“Saya tidak pernah menyangka keadaanku akan menjadi
seperti sekarang” menarik nafas dalam-dalam.
Yayasan sekolah bekerja sama
dengan kedua orang tuaku, agar ujian kelulusan terlaksana di kantor papi saja.
Mereka benar-benar menghancurkan hidupku seketika.
“Tuhan, beri saya kesempatan bertemu dia sekali
saja,” isi doaku. Saya ingin berlari jauh dari rumah tanpa memperdulikan masa
depanku sedikitpun. Tidak perduli lagi akan beasiswa dan kelulusanku pada salah
satu kampus terbaik dunia. Apakah dikatakan semua akan terasa hambar bahkan
rela mengorbankan masa depan hanya demi seseorang? Baru juga status sahabat,
belum menjadi pacar…
“Tuhan, pertemukan saya dan dia untuk merubah status
sahabat rasa pacaran menjadi status benar-benar berpacaran.” Ungkapan hatiku
kepada Tuhan. Hanya menunggu hitungan hari saja, saya berada di kota ini.
Berarti selama beberapa tahun, wajahnya lenyap dari hadapanku. Beberapa kali
saya mencoba untuk melarikan diri, tetapi anak buah papi berhasil mengejarku.
“Gi mau makan apa jika hidup bersama orang miskin
itu?” suara papi memenuhi seluruh ruang di rumah.
“Gi punya prestasi, cantik, kaya, sebentar lagi
menjadi mahasiswa Harvad. Sedangkan dia hanya manusia miskin, otak standar,
tanpa prestasi, muka juga biasa saja.” Perasaanku mengatakan Darrel merupakan
salah satu penghuni sekolah Harapan
Bersama berparas cukup tampan, bahkan terlihat keren jika diperhatikan.
“Benar ucapan papi, antara hidup Gi dan si’miskin
itu bagaikan langit sama bumi” tegur mami masih berceramah tidak jelas.
Terus terkurung dalam kamar menunggu waktu dimana
papi membawaku keluar dari Negara ini. Tidak pernah terpikirkan, papi dapat
melakukan tindakan paling kejam seperti sekarang hanya karena anaknya menyukai
manusia ekonomi lemah. Dia memang tidak mempunyai harta banyak seperti papi,
tetapi setidaknya Darrel memiliki kualitas hidup. Mengajarkan dunia Gi tentang
petualangan remaja dalam kesederhanaan. Tanpa harus memperlihatkan semua yang
dimiliki, tetapi kualitas kepribadian jauh lebih berharga.
“Ka’Gi,” seperti ada seseorang berbisik pada
sepasang telingaku tengah malam.
“Ka’Gi bangun” masih berusaha menepuk-nepuk pipiku.
“De…” Deva spontan menyumbat mulutku agar tidak
memperdengarkan suara sedikitpun. Entah bagaimana cara Deva mengalihkan
perhatian anak buah papi, hingga dia berhasil memasuki kamarku. Setelah papi
dan mami menyadari Deva berpihak padaku, mereka tidak membiarkan Deva bertemu
denganku. Ternyata Deva memberi obat tidur pada minuman mereka, menjalankan
skenario bercanda gurau bersama para anak buah papi.
“Kalau papi sampai tahu gimana?” berjalan
perlahan-lahan hingga tidak memunculkan suara sedikitpun untuk membangunkan
semua orang terlebih mami.
“Ka’Gi harus tenang, ini kesempatan terakhir bertemu
Darrel kan,” Adikku menyadari tentang pilihan hidup. Membawaku keluar dari
rumah, hingga berhasil membuka pintu pagar besar menuju sebuah mobil.
Pengorbanan Deva akan selalu terkenang dalam memoriku sampai kapanpun.
Mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju sebuah alamat rumah. Lebih
aneh lagi, dimana dia mendapat alamat Darrel.
“Ka’Gi, ini kesempatan buatmu bertemu dia yang
selama ini membentuk kehidupanmu”
membuka pintu mobil. Berjalan masuk menuju sebuah rumah sederhana,
tetapi mengejutkan terdapat banyak manusia di dalamnya. Mengetuk pintu rumah
tersebut, sambil memeriksa apakah Deva tidak salah menunjukkan rumah Darrel.
“Cari siapa?” suara salah seorang ibu berwajah
tukang pukul bahkan terlalu seram.
“Malam, benar ini rumah Darrel?” pertama kali
terlihat ketakutan di depan seorang wanita tua. Memang bunda Darrel hidup
kembali? Atau dia bebohong mengenai kematian bundanya?
“Gi,” tiba-tiba Darrel terkejut melihatku berada
depan pintu rumahnya.
“Tidak salah ini rumahmu?” kebingungan melihat
banyak anak kecil berjalan kiri-kanan. Menurut ucapannya jika dia hanya
mempunyai seorang adik, lantas kenapa ada beberapa gadis remaja berteriak
memanggil kakak.
“Sebentar kuceritakan, lebih baik kita keluar
sekarang” segera membawaku pergi dari rumah tersebut. Meminta penjelasan
tentang kejadian aneh, lebih tepat lagi dikatakan sebagai kapal pecah…
“Kau pasti pembohong mengenai saudara perempuanmu,
kenapa harus berbohong hanya masalah seperti itu?” tegurku terhadapnya. Kami
berada pada sebuah taman tidak jauh dari rumah Darrel, sedangkan Deva tetap
setia menungguku di mobil.
“Memang adik perempuanku itu Cuma satu, dia bernama
Brielle,” jawaban Darrel.
“Terus lautan manusia di rumahmu, siapa saja?
Memangnya ada acara pernikahan gitu?” masih bingung…
“2 tahun setelah bunda meninggal, ayah menikah lagi
dengan janda beranak 10. Singkat cerita, rumah kami jadi ramai gitulah” tawaku
meledak mendengar penjelasan Darrel.
“Berarti ibu seram tadi ibu tirimu?” masih belum
bisa mempercayai penglihatan depanku.
“Betul dia itu ibu tiriku, beberapa anaknya sudah
menikah tetapi tidak mempunyai tempat tinggal, singkat cerita ayah menampung
mereka semua di rumah.”
“Darrel, berarti terdapat beberapa kepala keluarga
di rumahmu? Ibu tirimu seperti tukang pukul habis…”
“Seperti itulah,” jawaban darinya. Ternyata keluarga
Darrel bukan hanya terdiri atas 3 orang saja, tetapi puluhan tinggal dalam
serumah. Menjadi pertanyaan, andai kata saya dan dia berjodoh hingga menikah
berarti makin bertambah saja penghuni rumahnya.
“Papi bisa makin ngamuk melihat keluarga besarmu,”
membayangkan papi menyadari tentang kehidupan keluarga Darrel.
“Entahlah” hanya kalimat tersebut saja keluar dari
perbendaharaan mulutnya.
“Besok papi membawaku keluar negeri untuk
melanjutkan sekolah,” membuat dia sadar, ini hari terakhir kami bertemu.
Setelah 2 bulan penuh kami tidak bertemu, namun akhir cerita pada kenyataan
jika saya harus meninggalkan Negara ini. Bertanya-tanya kenapa tidak berusaha
mencari atau menemuiku, walau kami hanya berstatus sahabat sementara? Dia
berjuang mencari keberadaanku, tetapi papi lebih jenius dibanding anak ingusan
semacam Darrel.
“Bagaimana kalau kita berdua menikah di usia dini
saja?” suaraku serak…
“Gi pikir baik-baik tentang pernikahan,” kalimat
Darrel menatapku.
“Kalau sudah menikah papi tidak bisa lagi membuatku
jauh dari hidupmu,”
“Prestasi Gi selama ini terlalu sayang terbuang
begitu saja hanya demi cinta? Gi rela meninggalkan semua itu demi seseorang?”
pertanyaan Darrel.
“Berani, saya rela meninggalkan semuanya demi
Darrel” sahutku setelah berpikir beberapa menit.
“Kejar apa yang Gi impikan, jangan karena seorang
lawan jenis hingga hidup seorang Gi mengambil keputusan terkacau dari
langkahnya.” Ucapan Darrel berusaha sebijak mungkin.
“Saya tidak akan merusak hidup atau mimpimu, andai
kata pikiranku terlalu pendek sudah sejak dulu seorang Darrel melakukan hal-hal terburuk.” Perkataan Darrel
kembali.
“Andai kata selamanya saya tidak akan pernah bertemu
denganmu lagi?” kalimatku membayangkan sesuatu terjadi.
“Gi tetaplah bijak melihat situasi, jangan merusak
masa depanmu karena permasalahan sekarang. Bril berjuang keras meraih mimpinya,
maka kaupun harus terus berjalan mengejar bahkan suatu hari kelak berdampak
bagi dunia.” Tegur Darrel.
“Ta…ta…pi” kalimatku.
“Gi harus berpikir dewasa, andai kata saya ingin
menghancurkan hidupmu pasti sudah lama membuatmu hamil tidak jelas, mau tidak
mau orang tuamu pasti memberi restu.”
“Jangan macam-macam” berusaha menjauh darinya.
“Kan saya bilang sudah lama membuat Gi hamil, biar
kalau Gi hamil, akhir cerita kita berdua nikah di usia dini. Kekayaan Gi
sebagian besar menjadi milikku sekalipun papimu mengamuk besar.” Kalimat
Darrel.
“Kenapa kau tidak lakukan?” pancingku.
“Gi jangan menjadi singa ganas” tegurnya.
“Kau lebih dulu memancingku” teriakanku.
“Memang saya berpikir sempit? Hanya orang bodoh yang
mau melakukan hal seperti itu, ngerti?” balasnya. Dia tidak pernah merusak masa
depanku, bahkan selalu menghormati kehidupanku.
“Tuhan pasti mempertemukan, andai kata kita berdua
berjodoh setelah kau lulus dari pendidikanmu.” Mengajarkanku tentang sebuah
istilah…
“Andai kata saya tidak pernah melihatmu?” selalu
menyelipkan istilah andai kata.
“Berarti Gi terlahir bukan untuk Darrel, tetapi
untuk orang lain.” Seakan tersambar
petir, terjatuh dari sebuah jurang mendengar kata-kata Darrel.
Memberikan harapan, namun kemudian membuang begitu saja…
“Kau harus dapat menerima kenyataan,” ujarnya
kembali. Kata-kata terakhir dari seseorang yang mengajarkan langkahku tentang
petualangan dalam kehidupan sederhana. Apakah saya berani menerima kenyataan
terpahit, melepaskan dia untuk orang lain? Andai tidak akan pernah bertemu,
berarti dia terlahir untuk orang lain.
Jangan merusak masa depan, tetapi berpikir lebih
bijak dari dunia Darrel. Bisakkah nafas Gi tetap berpegang teguh, atau
menngambil keputusan terburuk lebih dari bayangan mereka. Petualanganku harus
berakhir hanya karena permasalahan ekonomi. Masa depanku jauh lebih berharga
dibanding tetap berada di hadapan dia untuk selamanya.
“Jika kau bukan jodoh buatku, kelak seorang Gi
menemukan pria terbaik jangan pernah menjadi singa paling ganas. Setampan
apapun pria tersebut didepanmu. Perlihatkan kualitas hidup Gi berbeda dari
siapapun juga.” Kalimat terbodoh, terkacau, paling hancur, bahkan terakhir kali
kudengar. Jauh lebih baik jika dia menjadi seorang pendeta, ustads, biksu
sekalian dalam mengaarungi kehidupannya.
BAGIAN 8…
DARREL…
Hari ini Gi berangkat keluar negeri melanjutkan
studinya. Entah cara apa digunakan, hingga berhasil berada menemuiku. Orang
tuanya datang mengancam agar menjauh dari hidup Gi untuk selamanya. Beasiswa
adikkupun dipertaruhkan bahkan pekerjaan
ayah menjadi sasaran empuk orang tua Gi. Ternyata mereka menyelidiki asal usul
keluarga, serta apapun yang kami lakukan. Wajar saja, kelakuan Gi beberapa
waktu lalu terlihat buruk…
Pengajaran orang tua berperan penting bagi
pembentukan sang anak. Gilia tumbuh menjadi gadis angkuh, dingin, penuh ambisi,
kacau balau disebabkan oleh pembentukan salah sejak awal. Seakan ada sesuatu
mendorongku membawa Gi pada sebuah petualangan demi mengeluarkan dirinya dari
sebuah jurang. Siap melepas Gi, sekalipun keadaan menyedihkan dapat saja
membungkus hidupku.
“Selamat tinggal Gi,” memandang foto pada ponselku.
Sekalipun hati tetap ingin mempertahankan, tetapi Tuhan berkehendak lain…
Jangan memaksakan kehendak Tuhan, karena dapat
berakibat fatal bagi kehidupan sendiri. Jodoh berada di tanganNYA, Tuhan lebih
tahu mana yang terbaik bagi diri sendiri dan hal terburuk untuk orang lain. Dia
harus mengejar mimpinya, permasalahan status hubungan merupakan masa lalu.
“Kakak, kenapa murung?” tegur Brielle melihatku
termenung
“Kakak,” tepukan Brielle keras menyentuh bahuku.
“Gi,” kata-kataku tanpa sadar.
“Dia itu siapanya kakak?” Brielle makin mencurigai sesuatu.
Tersadar jika di depan bukan Gi melainkan Brielle, mulutku berusaha mencari
alasan agar adikku tidak mencurigai sesuatu. Beruntung saja, orang tua Gi hanya
bertemu denganku bukan anggota keluarga lain terlebih Brielle.
“Bukan siapa-siapa, tadi saya hanya keseleo saja,
biasalah” mencari alasan.
“Jangan bohong” jari telunjuk Brielle terus menunjuk
ke arah mataku.
“Kenapa memang?”
“Sebulan lebih hidup ka’Darrel seakan kacau, kurang
bersemangat, selalu saja melamun, ke sekolah biasanya ceria tapi yang kelihatan
muram terus. Berasa ingin mati, terus mirip manusia belum menyentuh makanan
sedikitpun selama 7 hari 7 malam.” Sindiran Brielle.
“Segitunya amat memperhatikan, Bril” ucapku.
“Jujur saja kakakku, apa masalahmu masih jauh lebih
hancur dibanding ayah menikah lagi dengan janda beranak 10 gitu?” pertanyaan
Brielle. Satu-satunya permasalahan tersulit bagi dunia Brielle adalah dimana
ayah menikahi janda beranak 10.
“Lebih parah malahan?” tiba-tiba saja mulutku
spontan menjawab, pada hal tidak seorangpun boleh tahu tentang apapun dari
segala jenis rahasiaku.
“Tentang perempuan?” Brielle penuh rasa penasaran
tinggi.
“Seperti itulah,” suaraku kurang semangat.
Menceritakan kepada Brielle tentang kisah percintaan hingga akhirnya mendapat
penolakan habis-habisan. Bagaimana kisah hidup Gi dari awal sampai akhir.
Menjelaskan kebencian Gi pertama kali bertemu, hingga akhirnya kami berdua
menjadi sahabat rasa pacaran.Sampai endingnya, Gi harus terkurung dalam rumah
dan absen sekolah. Ujianpun hanya dilakukan sekitar kantor orang tua Gi.
“Berarti selama ini kakak menyukai gadis seperti
itu?” Brielle hampir tidak mempercayai pilihan hidupku. Setahu Brielle, kalau
kakak tercintanya lebih menyukai tipekal gadis karakter keibuan, rendah hati,
dewasa, lembut, cantik.
“Tanya Tuhan, kenapa bisa suka ma gadis seperti
itu?” balasku.
“Orang aneh,” gerutu Brielle.
“Tapi dia seperti dirimu bahkan lebih jenius lagi
malahan. Satu lagi, Gi terkenal sebagai gadis kutu buku juga.” Ucapanku.
“Perasaan gadis kutu buku penampilannya culun, kaca
mata tebal, intinya hancur lebur sekalipun kaya raya, tapi gaya busana dia terbalik
dari perkiraan?”
“Tanya sama Tuhan, jangan Tanya saya dong” cetusku.
“Kan Tuhan bisa memakai orang terdekat buat
menjelaskan semuanya” mata Brielle melotot tajam.
“Meneketehe, dia kan orang kaya,” jawabanku.
“Bukannya menghibur malah bertanya ke akar-akar”
rasa kesalku makin main…
“Tuhan tahu mana area terbaik buat kakak. Terkadang
semua peristiwa tidak mengenakkan terus bermain bahkan menancap kuat tetapi hal
seperti itulah membentuk kehidupan setahap demi setahap.” Gaya Brielle kali ini
benar-benar dewasa amat…
“Jangankan orang tua gadis yang kakak sukai
memandang sebelah mata atau dipakai untuk menghancurkan kehidupanmu, bahkan terdekat
sekalipun dapat dipakai untuk menyerang. Namun, kembali kepada pribadi
masing-masing…” tambahan kalimat Brielle.
“Betul juga sih” kepalaku menunduk.
“Kakak harusnya bersyukur, melalui kejadian seperti
ini kepribadian ka’Darrel terbentuk bahkan diajar untuk merendah bukan berarti
martabat keluarga terinjak-injak luar biasa. Ambil positifnya saja.” Brielle
mengajarkan duniaku tentang pembentukan kepribadian dibalik masalah atau
pandangan sebelah mata orang-orang sekitarku.
“Beruntung banget kakak punya adik seperti Bril”
mengelus-elus kepalanya sambil tersenyum.
“Kakak hanya tidak tahu saja keadaanku biasa di
sekolah” kalimatnya.
“Memang Bril ada masalah di sekolah selain stress
ayah menikahi janda beranak 10?”
“Terkadang teman-temanku mengejek kalau saya
mengalami kejiwaan alias gila/stress oleh karena sesuatu hal. Enatahkah mereka
berucap serius, bercanda, atau apalah tetapi namanya juga saya masih hidup di
bumi pastilah sedikit sakit.” Pertama kali mendengar curhatan Brielle.
“Berarti kita sama-sama mempunyai masalah?” ujarku.
“Begitulah, tapi dinikmati saja. Sekarang semua
dapat berucap aneh, kelak mulut mereka menganga-nganga bahkan malu karena
sesuatu dalam hidup seorang Brielle.” Pernyataan adikku kembali mengajar
tentang langkah harus terus berjalan apapun ucapan orang. Sebesar apapun semua
orang di sekeliling merendahkan, hidup harus terus dinikmati.
5 TAHUN KEMUDIAN…
Tahun demi tahun berlalu, dunia Darrel pun berubah
dari remaja menjadi pemuda. Menjadi mahasiswa salah satu kampus masih bagian
ibu kota, sambil bekerja paruh waktu. Beban ayah bertambah banyak selama
menikahi janda beranak 10, jadi saya tidak mau memberatkan beliau. Brielle
mendapat beasiswa, makanya tanpa beban biaya kuliah sebesar apapun. Setelah
menyelesaikan kuliah 4 tahun, saya mencoba peruntungan memasukkan lamaran ke
sebuah perusahaan ternama. Namun, sayang lamaran saya ditolak habis-habisan.
Mimpiku adalah menjadi seorang pendesain kota,
pariwisata, gedung, jalan suatu hari kelak. Ayah, Brielle, termasuk dia tidak
pernah tahu mimpiku seperti apa? Oh yah, sedikitpu kabar darinya tidak pernah
terdengar. Perbedaan status social menyebabkan kami terpisah untuk selamanya.
Andai kata, saya membuang ego dan segera berlari menemui Gi untuk terakhir
kalinya di bandara. Hanya sekedar mengucapkan salam perpisahan, terlalu sulit…
“Penyesalan pasti datangnya terlambat,”
membentu-benturkan kepalaku sendiri pada tembok. Saya akhirnya bekerja dimulai
hanya dengan penghasilan kecil setelah lulus kuliah pada salah satu perusahaan.
Tidak menjadi masalah, minimal belajar memulai dari hal terkecil sebelum
menjadi kepala. Brielle juga tengah mencari pekerjaan, akibat otak jenius yang
dimiliki hingga dapat menyelesaikan kuliah dalam waktu singkat.
“Bril, saya pikir kau akan menjadi pejabat, lo?”
bingun sendiri melihat tingkah adikku.
“Kakak, semua itu membutuhkan proses, saya harus
mencari pengalaman terlebih dahulu dengan bekerja pada sebuah perusahaan.”
Jawaban seorang Brielle.
“Kemudian?” lanjutku.
“Kemudian mengejar karir terus naik, kalau Tuhan
menghendaki Bril mempunyai perusahaan sendiri terus punya banyak uang, akhir
cerita mencalonkan diri menjadi pejabat kompeten.” Brielle begitu bangga
membayangkan khayalannya.
“Saya hanya berandai-andai, tidak tahu ke depan
seperti apa” ujarku.
“Ga usah berandai-andai pasti terjadi, amin” kalimat
Brielle penuh semangat.
“Terserah kau saja” cetusku.
“Pastilah kakakku sayang, lanjutkan bos” Brielle
makin semangat.
“Andai kata cita-citamu tercapai, suatu hari kelak
menjadi seorang presiden, langsung pada inti pembicaraan…” ujarku.
“Amin Tuhan, kelak Brielle menjadi presiden di
Negara ini” menutup mata mengaminkan ucapanku, pada hal hanya andai kata belum
tentu juga kesampaian. Sudah syukur kalau adikku menjadi anggota DPR atau
gubernur, tetapi ini presiden…
“Semangat betul” ucapanku.
“Lanjutkan big bos, kalimat andai katamu tadi”
bertolak pinggang depanku.
“Andai kata berhasil menjadi presiden program apa
yang akan kau buat di Negara ini?”
“Banyak sekali diantaranya program 1 anak cukup,
kenapa? Dikarenakan ke depan pertambahan penduduk makin besar, sedangkan
ekonomi terlihat kacau balau belum lagi permasalahan anak mereka dapat
melanjutkan pendidikan atau tidak. Untung kalau anak banyak berhasil semua,
tetapi jika seperti anak-anak dari ibu tiri hampir secara keseluruhan hancur
semua.” Rasa-rasanya tawaku ingin segera meledak mendengar penjelasannya. Ibu
tiri menjadi korban kemana-mana menjelaskan cita-citanya.
“Jangan kambing hitamkan ibu tirilah, setidaknya dia
tidak segitu jahatnya kali mak kita berdua Cuma cerewet luar dan dalam. Tetapi
kata cerewet berlaku bagi beberapa anak-anaknya yang lain,”
“Kakak, coba perhatikan saudara tirimu pendidikan
mereka ada beres atau tidak? Hanya tamatan SD dan SMP doang bahkan ada yang
jadi tukang tidur saja tanpa pernah mengenyam bangku sekolah sedikitpun,
sekarang 3 paling terakhir berturut-turut berusaha disekolahin ayah biar bisa
kuliah. Paling terpenting tidak mengikuti jejak saudaranya yang lain.” Itulah
Brielle terkadang merasa muak terhadap deretan peristiwa akibat perbuatan ayah.
“Program Bril keren” mengangguk-anggukan kepala
memahami situasi Brielle.
Masing-masing kami mempunyai mimpi berbeda, tetapi
intinya tetap bertahan terhadap hal yang disukai selama tetap berada pada
jalur. Satu sisi saya bekerja sebagai karyawan biasa, namun dilain hal berusaha
mempelajari beberapa desain parawisata, kota, jalan.Belajar tentang sesuatu
secara bertahap, sama seperti anak tangga harus terlewati secara berurutan.
Andai kata pada pertengahan jalan, salah satu anak tangga hilang atau hancur
secara tiba-tiba, kaki harus tetap berjalan terbungkus kekuatan doa.
“Bagaimana kabarmu sekarang?” masih belum bisa
move-on dari memori masa remaja.
“Mungkin sekarang kau sudah menjadi bagian
terpenting dunia, kemudian bertemu seseorang dan akhir cerita melupakan diriku”
terus saja memandang foto selama bertahun-tahun mennjadi penghuni dompetku.
Ada begitu banyak karakter sekeliling ketika bertemu
banyak orang, baik di tempat kerja, pusat perbelanjaan, rumah makan, bahkan
rumah sendiri. Hal tersebut mengembalikan memori ingatanku dari waktu ke waktu
tentang petualang remaja dalam kesederhanaan. Hari-hari terlewatkan di kantor bersama
banyak rekan-rekan kerja.
“Darrel, hari ini kita kedatangan bos baru pengganti
pak Radit,” biasa Clanis mulai bergosip ria.
“What? Ulangi sekali lagi ucapanmu” ucapku
mempermainkanClanis.
“Kita kedatangan bos baru, tapi cewek Rel”
“Memang kenapa?” tanyaku.
“Kabarnya dia lulusan luar negeri, terkenal seram diantara paling terseram sedunia” jawaban Clanis.
“Berarti siap-siap…?” kalimatku terpotong.
“Siap-siap hidup dibawah tekanan seorang wanita
paling seram” suara Clanis.
“Kembali ke tempat masing-masing, bos baru kita
sudah mulai berjalan kemari!” bisikan Nesia. Secepatnya Clanis kembali ke meja
kursinya. Ibu Loisa sedang berjalan bersama seorang wanita yang akan menjadi
manager perusahaan. Mereka berjalan makin mendekat ke arah kami, seperti kisah-kisah
drama korea seluruh karyawan menunduk. Memakai kaca mata, postur tubuh
sempurna, kulit eksotik, rambut terurai layaknya model.
“Perkenalkan bos baru kita disini,” bahasa Vardy
memulai pembicaraan
“Dia seseorang” gumamkku hanya tak mempercayai.
“Beruntung dia sama sekali tidak mengenalku akibat
pemakaian kaca mata serta potongan lurus pendek memenuhi fisik Darrel.
“Tuhan, apa kabarnya dia?” tanyaku di dasar hati.
Ibu Loisa memperkenalkan dia sebagai manager terbaru
pengganti bapak Radit. Tidak menyangka jika Tuhan kembali mempertemukan kami,
walau hanya sebagai atasan dan bawahan. Wajahnya makin terlihat mulus, halus,
cantik, begitulah Gilia Carlissa yang sekarang berada di hadapanku.
“Tuhan pasti
mempertemukan, andai kata kita berdua berjodoh setelah kau lulus dari
pendidikanmu.” Apakah dia sengaja kembali,
mengingat pernyataan dari perbendaharaan mulutku terakhir kali beberapa 5 tahun
silam. Menjadi pertanyaan, kenapa juga Gi harus berperan sebagai manager
perusahaan ini, sementara ayahnya mempunnyai perusahaan jauh lebih besar.
Jangan-jangan Gi menyadari sesuatu tentang…
“Perkenalkan, nama Saya Gillia Carlissa lulusan
Harvad university” saya pikir ketika memperkenalkan diri memasang wajah senyum,
ceria, cute justru sebaliknya menakutkan…
Tatapan mata tertajam memenuhi setiap sudut ruangan,
entah mencari celah atau apalah? Mulai mengkritik segala isi dari masing-masing
meja karyawan. Penempatan salah, desain kacau, cara berpakaian aneh, dan masih
banyak lagi tidak luput dari perhatian manager baru glass corporation.
“Kedisiplinan, creatifitas, integritas paling saya
utamakan, jadi kalian jangan coba-coba melewati batas aturan terbaru yang telah
saya tetapkan. Ngerti!” bahasa tegas berperan sekitar sudut bibir Gilia.
“Ngerti bu,” mereka semua serentak membalas.
Benar-benar dia sama sekali tidak mengenali Darrel, berjalan begitu saja tanpa
berkata-kata. Wajar, sekarang rambut sudah tidak botak lagi seperti sekolah
kemarin, terlebih memakai kaca mata. Jauh lebih baik seperti itu, dibanding Gi
segera tersadar salah satu bawahannya ternyata bekas sahabat rasa pacaran
walaupun hampir berstatus pacaran.
Mulai mengintropeksi segala surat-surat masuk dan
keluar, ditujukan terhdap perusahaan siapa saja. System pengembangan,
penerapan, kelakuan, metode, analisa, program, laporan keuangan, dan masih
banyak lagi terus saja diteliti olehnya. Laporan perpajakan, perhitungan
laba-rugi, bahkan satu kata pada sebuah file menjadi pusat perhatian Gi di
perusahaan ini.
“Hari ini meeting pertama antara saya selaku manager
dan kalian sebagai bawahan” berbicara
dalam ruang rapat. Saya masih berusaha menutup identitasku sebenarnya, bahkan
namapun berusaha saya palsukan sedemikian rupa. Biarlah masa lalu biarlah
berlalu, jangan diingat-ingat. Memang benar ucapan orang tuanya, kalau antara
saya dan Gi ibarat langi dan bumi. Terus berbicara di hadapan semua karyawan
membuat mataku ingin segera tertidur pulas.
Seseorang menepuk bahuku, namun entah dari mana?
Mataku masih saja tertutup pulas di tengah rapat antara manager terbaru dan
karyawan-karyawannya. “Rel bangun,” Clanis berusaha membangunkan…
“Berisik,” suaraku lantang tak sadarkan diri jika
masih berada dalam ruangan sepenting ini. Semua perhatian menjadi teralih ke
hadapanku, tetapi mataku masih berputar-putar tidak jelas.
“Kamu yang duduk di pojok sana,” sebuah suara
lantang, marah, tegas memenuhi ruuangan. Clanis masih berusaha menggoyang
seluruh tubuhku agar segera terbangun dari tidur.
“Rel, sadarlah ibu Gi sekarang menatap tajam ke
arahmu” ujar Clanis.
“Bodoh amat, gadis angkuh itu mau menatap ta…”
kalimatku terpotong, tiba-tiba menyadari jika saya masih berada dalam ruangan
rapat.
“Kau benar-benar jorok” air ilerku terciprat kea rah
Clanis saat membersihkan wajahku.
“Siapa namamu?” rasa geram Gi mengarah ke hadapanku.
“Namaku Rel bisa dibilang Rel kereta api gitu,”
jawabanku, semua orang kantor juga memanggilku dengan sebutan seperti itu.
“Kenapa kau tertidur?” kenapa dia harus kembali ke
hadapanku, membuatku menggerutu mendengar pertanyaan darinya.
“Mampuslah kau,” mimic wajah Clanis di sampingku.
“Kau kena Sp 2, sekali lagi kau melakukan kesalahan
saya pastikan tidak seorangpun dapat menyelamatkan dirimu.” Dia sama sekali
belum tesadar siapa orang di hadapannya. Lebih ganas dibanding karakter Gi
kemarin, gadis terangkuh sejagad raya.
“Baiklah, meeting dilanjutkan esok, ingat saya
membuthkan konsep terbaru bukan pasaran. Ngerti!” pernyataan Gi sebelum
akhirnya meninggalkan kami semua.
BAGIAN 9…
DARREL…
Selama beberapa hari seluruh karyawan glass corporation
seakan berada pada area neraka paling tinggi. Harus lembur hingga malam hari,
kesalahan penulisan laporang semua menjadi korban, berpikir lebih kreatif bukan
pasaran membuat kami kebingungan sendiri. Belum lagi ketika tata bahasa dan
kalimat saat berhadapan dengan pihak luar penuh pengoreksian dari manager baru.
Setiap edisi rapat, semua suara harus keluar tetapi siap menerima hinaan juga.
Glass corporation bergerak dalam bidang desain tetapi lebih bermain pada
system desain gedung seperti hotel, pusat perbelanjaan, restoran, masih banyak
lagi. Pada dasarnya perusahaan ini terbilang masih jauh dari level perusahaan
lain, bahkan menuju bangkrut sepertinya. Kemungkinan besar, hal seperti inilah
membuat sang pemilik menerima Gi untuk memperbaiki keadaan terburuk dari
perusahaannya.
“Berikan saya alasan paling berharga,” ungkap Gi
memulai pembicaraan ketika rapat berlangsung.
“Maksud kalimat ibu Gi? Kami sama sekali belum
paham” Nesia langsung memotong pembicaraan sang manager terbaru glass corporation.
“Kenapa kau memootong pembicaraanku” Gi balik
bicara.
“Maaf bu” hanya dapat menundukkan kepala…
“Baiklah, beri alasan paling tepat kenapa saya masih
harus mempertahankan kalian, pada hal dari segi kuawitas, kreatiffitas bahkan
konsep-konsep kalian terkesan paling
pasaran diantara semuanya.” Nada penjelasan Gi seakan ingin melakukan pemecatan
alias pergantian karyawan.
“Berarti kami akan terkena phk besar-besaran?”
tangan Clanis teracung.
“betul ucapanmu, sekalian pergantian karyawan.
Ngerti!” gadis angkuh.
“Dasar gadis angkuh,” suaraku spontan…
“Coba ulangi ucapanmu sebelumnya!” ternyata suaraku
terdengar oleh sang manager.
“Maksudku, si’Clanis manusia paling angkuh sedunia”
memberi kode pada Clanis.
“Berhenti bercanda, berikan alasan buat saya! Silahkan
dimulai dari dirimu” ucap sang manager menunjuk ke arahku. Saya masih terdiam,
gagap, entah harus berkata-kata atau sebaliknya menyerang memakai demi merubah
pola pikir sang manager.
“Kenapa terdiam? Berarti lebih memilih pergantian
karyawan?” ucap sang manager.
“Ibu Gi, belajarlah tentang pengenalan hidup dan
bagaimana seseorang berjuang sekalipun pandangan mata tiap orang termasuk salah
satu dari ibu sendiri menganggap semua itu hanya bersifat pasaran atau
memandang rendah.” Bunyi jawabanku, tidak tahan setiap ucapan dia setiap saat.
Menjadi pertanyaan, kenapa dia banyak mengalami perubahan?
“Kau…” seperti biasa kalimat Gi beberapa tahun lalu
hanya dapat berkata kau ketika tidak
menemukan pernyataan lebih baik untuk dilontarkan.
“Rel, mampuslah kita kali ini” Clanis terlihat
ketakutan.
“Setidaknya anda sebagai bos bijak memberi
kesempatan, mengarahkan, mengajar bukan bercerita tentang hanya berkata
pasaran. Ingin memecat karenakata-kata Da..maksudku rel kereta api silahkan” hampir
keceplosan mengungkap identitas sendiri.
“Pernyataan terhebat, beri saya sesuatu tidak
ternilai bahkan membuat mataku sama sekali tidak berkedip, hingga tanganku
tetap mempertahankan! Ngerti?” inilah dunia Gi sekarang, jauh mengalami
perubahan setelah pertemuan malam itu.
“Beri saya waktu berpikir beberapa hari atau sehari
saja untuk sebuah konsep demi pernyataan mempertahankan dari ibu Gi selaku
manager glass corporation!” penekanan nada tinggi-rendah di hadapan semua
orang.
“Hanya sehari, ngerti!” dia tidak pernah menyadari
identitas asliku. Entahkah lupa, amnesia, atau seperti apa? Wajar, perbedaan
antara kami bagaikan langit dan bumi. Memori 5 tahun lalu hanya sebuah
kenangan, seperti apapun keadaannya. Berjuang demi mendapat pernyataan
mempertahankan dari sang manager, mengharuskan mataku tidak boleh terlelap
semalaman. Hanya berlaku sehari dari si’pemberi kebijakan…
Menciptakan sebuah karya tertentu membutuhkan sebuah
prroses waktu. Bagaimana mata tidak berkedip ketika seluruh mata memandang ke
arah objek karya tersebut. Mempunyai nilai, kualitas, makna, dan tidak
bercerita jika karya tersebut hanya pasaran. Mataku harus melek sepanjang malam
demi memainkan sebuah desain karya sesuai keinginan sang manager.
“Sesuai konsep yang ingin saya tuturkan demi
mendapat pernyataan mempertahankan dari big bos sang manager,” membuat wajah Gi
memerah terlihat gerah akibat ucapanku.
“Lanjut!” bahasa judes Gi.
“Perubahan susunan ketika melakukan kerja sama
antara perusahaan mengambil peranan disini. Terkadang glass corporation hanya
mengambil satu trik sejak awal hingga akhir berujung pada rasa bosan beberapa
perusahaan. Ending cerita, banyak tender
berhasil diambil alih oleh perusahaan lain yang jauh lebih berkompeten.”
Berdiri penuh rasa percaya diri berkata-kata dalam sebuah ruangan.
“Hanya itu?” suara Gi menyerang.
“Selanjutnya, perjuangan memperkenalkan desain di
luar alias dunia promosi, harus terkesan lebih memancing, pemberian kode, pekah
terhadap pihak luar. Bagaimana kaki dapat berjalan, otak terus berpikir
memperluas jaringan relasi tidak hanya melalui satu aspek tetapi bercerita
setiap sudut persimpangan.” Melanjutkan kembali penjelasanku.
“Hanya itu saja?” mata Gi terus menatap tajam.
“Selain itu, saya mencoba membuat desain terbaru
guna memenangkan proyek besar dimana pertemuan akan dilakukan beberapa hari
lagi.” Jawabanku.
“Uraikan desain terbaru demi sebuah pernyataan
mempertahankan!” perintah Gi.
“Sesuai nama
glass corporation, juga bagaimana
memenangkan proyek desain sebuah hotel
berbintang dari clear corporation, dengan kata lain saya ingin mencoba
memainkan gelas terus berisi aliran air
berbuih-buih pada sebuah danau hingga dapat menjadi perhatian semua orang.”
Tanganku memperlihatkan sebuah gambar di
hadapan mereka hasil karyaku semalaman.
“Sebuah hotel membentuk seperti suatu gelas kaca
Kristal sekitar pertengahan danau. Ketika mata memandang ke tingkat atas, maka
terlihat alirang air terus memainkan irama mengisi gelas kaca Kristal tersebut
tanpa pernah bosan. Memasang lampu-lampu hiasan berwarna-warni mengelilingi gedung
hotel tersebut, sehingga pada malam hari terlihat kilauan sinar membentuk suatu
ciri khas.” Tambahan penjelasanku.
“Kemudian? Atau cukup sampai disini saja?” kalimat
Gi…
“Terdapat pula sebuah taman sekitar hotel
tersebut.Pada bagian paling bawah hotel tersebut dapat melihat seluruh isi atau
keadaan danau. Satu lagi, membuat sebuah jembatan kaca memakai konsep desain
unik menuju hotel tersebut. Dapat memakai desain jembatan kaca membentuk batuan-batuan
kecil bertumpuk menjadi satu hingga menjadi sebuah jembatan. Pada malam hari,
batuan kaca tersebut membentuk sinar dari arah danau ke atas.” Ucapku.
“Bagaimana bisa kilauan sinar terbentuk pada malam
hari?” pertanyaan Clanis.
“Memakai trik tertentu, lampu hias warna-warni akan
terdapat pada bagian bawah jembatan batu-batuan
kaca. Secara otomatis malam hari, ketika lampu-lampu tersebut hidup
kilauan sinar akan bermain memenuhi danau sepanjang perjalanan menuju hotel
tersebut.” Jawabanku.
“Dibalik konsepmu, apakah hanya sebatas desain atau
mempunyai makna mendalam?” bahasa Gi menatap secara tajam…
“Gelas kaca Kristal mengajarkan seseorang tentang
sebuah wadah. Jadilah wadah/tempat paling menyenangkan bagi setiap orang. Terus
saja dialiri air bagi sebuah kehidupan. Memberi inspirasi, pengharapan,
kekuatan, sinar di tengah-tengah kehidupan banyak orang. Terlihat indah, penuh
sinar, berkilau setiap mata yang memandang.” Ucapku.
“Wow…” teriak Nesia.
“Selain hal tersebut, terdapat jembatan membentuk
batu-batuan kecil berkumpul menuju sebuah tempat. Bercerita bahwa demi memberi
dampak dan sinar bagi kehidupan banyak orang, maka semua itu dimulai melalui
proses demi proses. Penumpukan batu-batuan kaca hingga membuatnya menjadi
sebuah jembatan tidak secara langsung, harus berhadapan beberapa hal tersulit dari langkah hidup.” Ucapanku.
“Memiliki kualitas nilai, menjadi seperti gelas kaca
Kristal sebagai tempat/wadah bagi banyak orang tidak bercerita dalam sekejap
mata, tetapi melalui sebuah proses tumpukan batu-batuan kecil hingga membentuk sebuah jembatan. Menjadi
pemberi inspirasi, pengharapan, kekuatan, sinar segala sesuatunya dimulai dari
sebuah proses kehidupan.” Kembali mulutku berucap menatap Gi…
Setidaknya saya berusaha mencoba, dari pada tidak
sama sekali menjelaskan apa yang ada dalam benakku demi sebuah pernyataan
mempertahankan. Entah keadaan seperti apa merasuki Gi selama 5 tahun lebih? Hidup
Gi jauh berubah lebih dari pemikiranku selama bertahun-tahun.
“Andai kata
selamanya saya tidak akan pernah bertemu denganmu lagi?” suara Gi beberapa
tahun lalu masih melekat kuat dalam ingatanku. Masih menatap Gi sama seperti
yang kulakukan setiap berada di hadapannya masa remaja kemarin. Gadis angkuh,
dingin, jenius, kaya, kutu buku belajar berpetualang beberapa tahun silam.
“Sampai kapanpun, Darrel tidak dilahirkan untuk
memenuhi ruang Gi”bisikan hatiku berirama tidak karuan.
“Lumayan” bahasa Gi memecah keheningan ruang rapat
setelah beberapa menit semua terdiam.
“Kau berhasil mempertahankan teman-temanmu untuk
tetap berada disini” pernyataannya sebelum melangkah keluar dari ruangan. Andai
kata, petualangan remaja kembali lagi hadir? Mengenang memori bagaimana
mengajar Gi tentang petualangan kehidupan remaja dalam kesederhanaan.
“Kau berhasil Rel” teriak Clanis sangat gembira.
“Pasti dong, Darrel” kalimat memegang tangan Clanis.
“Kau Darrel, kan?” tanpa sadar ucapanku terdengar
jelas di telinga Gi, membuatnya berbalik dan berjalan ke hadapanku kembali. Suasana
riuh berubah menjadi kembali menjadi keheningan, oleh karena sebuah pertanyaan
sang Manager.
“Maksud ibu Gi?” mulut Clanis terbuka lebar, tidak
memahami pertanyaan tersebut.
“Bukan rel kereta?” Tanya Gi.
“Itu hanya julukan permainan Rel saja,” Nesia hadir
tiba-tiba.
“Berarti Darrel,” ucapannya membuat semua
kebingungan…
GILLIA…
Beberapa tahun berada di tempat asing menjalani
segala sesuatu tanpa sebuah petualangan bersama dia yang mengajarkan hidupku
tentang kualitas nilai kehidupan. Pemberi harapan palsu bersikap seolah semua dapat dilupakan sekejap mata.
Seperti biasa, hidupku hanya bercerita tentang buku-buku depan mata, tidak lagi
berbicara akan sebuah petualangan.
“Andai kata
saya tidak pernah melihatmu?” pertanyaanku beberapa tahun lalu.
“Berarti Gi
terlahir bukan untuk Darrel, tetapi untuk orang lain.” Jawaban terbodoh
darinya beberapa tahun silam. Hal lebih bodoh lagi, papi sengaja memperkenalkan
anak salah satu temannya selama saya berada di negeri orang. Kenyataan terburuk
depan mata, adalah sifat dan karakternya berbeda jauh dengan Darrel.
Bagaimanapun saya akan berusaha menyelesaikan
studyku, kemudian berjuang kembali ke tempat dimana seseorang mengajarkan
tentang petualangan sederhana. “Gi hanya butuh berkorban dan berjuang sedikit
saja” gumamku memegang sebuah kalung. Mencari jalan agar anak teman papi tidak
bakalan bertahan lama di depanku. Bukan Gi namanya, jika tidak berhasil
menyusun sebuah skenario hebat.
“Gi, sudah makan?” selalu saja memenuhi halaman
kampus, siapa lagi kalau bukan Axel.
“Sok perhatian” cetusku terus membaca buku-buku di
hadapanku. Seperti biasa membuat dia tidak akan pernah betah bertahan berada
depanku. Darrel membuatku dapat tertawa lepas jauh berbeda ketika Axel
bersamaku. Berjuang menyelesaikan study dalam waktu singkat bagaimanapun
caranya.
Terkadang rasa takut menghantui pemikiran Gi,
bagaimana jika Darrel terlahir untuk orang lain? Bagaimana, jika sekarang dia
sudah menemukan gadis impian pada tempat lain? Andai kata itu terjadi,
bagaimana hidupku melangkah sekalipun hanya melewati setitik saja? Manusia
terbodoh yang selalu menarik tanganku menuju sebuah petualangan. Menangajarkan
agar hidup Gi tidak akan pernah menjadi seperti singa paling ganas ketika
berada di hadapan seorang pria tertampan sekalipun.
“Dia selalu menghargai apapun dalam hidupku, tanpa
pernah merusaknya” bisikan hatiku memegang kalung yang melingkar kuat pada
leherku.
Akhirnya saya dapat menyelesaikan kuliahku dalam
waktu singkat. Tetapi papi menyadari arah pikiranku selanjutnya, hingga dengan
kesengajaan menjebak putri kandunngnya sendiri. Semua keinginannya bahkan nilai
terbaik bertahun-tahun telah kuberikan. Papi berhasil menusun skenario
terhebat, hingga akhir cerita dunia Gi harus tetap berada di Negara asing.
Cabang perusahaan papi harus terkelola secara baik, alasan paling terkacau bagi
logika Gi.
Dua tahun kumudian, saya berhasil meninggalkan
Negara tersebut tanpa harus mendengar perintah papi. 5 tahun jauh dari
keluarga, sekarang kembali memulai kehidupan baru di Negara sendiri. Mami dan
papi setuju atau tidak, saya akan tetap mencari pekerjaan sendiri tanpa
bergantung pada mereka. Cukup pengorbananku kemarin, waktu sekarang merupakan
kehidupan mandiri bagi dunia Gi. Seorang ceo menawarkan secara langsung untuk
menjadi manager pada perusahaannya tanpa memasukkan lamaran terlebih dahulu.
Kedua orang tuaku tidak akan pernah bisa kembali
mengekang kehidupanku sama seperti kemarin. Mereka sengaja membuat skenario,
agar saya tetap tinggal jauh dari memori tentang sebuah petualangan masa
remaja. Bekerja jauh dari perusahaan papi jauh lebih baik ketimbang harus
berada dalam naungannya.
“Glass corporation” memeriksa tentang beberapa
data-data perusahaan tersebut. Hari pertama menapakkan kaki pada perusahaan
tersebut,sikap sebagai atasan harus terlihat. Berjiwa kepemimpinan dalam bentuk
tata bahasa, tatapan mata, pola pikir, ketika kaki melangkah, karisma, wibawa
berusaha kumainkan. Saya pun tidak menginginkan semua orang berkata
jika dunia manager terbaru glass corporation terkesan lembek.Terlebih
perusahaan tersebut seakan menuju sebuah kebangkrutan, maka dari itu pihak ceo
meminta pergantian managemen terbaru.
Memeriksa, mengoreksi, mempermasalahkan, mengatur,
merombak segala isi bahkan setiap sudut dari perusahaan tersebut. Entah
mengapa, salah satu anak buahku mengalihkan perhatianku seutuhnya. Seakan dia
seperti seseorang yang sudah lama kukenal bahkan lebih dari itu. Nama paling
aneh sedunia, Rel kereta api…
“Orang tuanya pasti terlalu kampungan memberi nama
seperti itu” gumamku. Sepanjang rapat pertama dia tertidur dalam ruangan, aliran
darahku mulai mengalir. Ketika masih menjalankan cabang perusahaan papi di luar
negeri, mulutku tidak segan-segan berperan bagi siapapun yang telah melewati
garis batas.
Memberikan dia sp sebagai batu peringatan jangan
coba-coba bermain denganku. Segala keputusanku bagi perusahaan tersebut,
terkesan membuat mereka berada di bawah tekanan. Saya hanya bertindak sebagai
pemimpin, itulah logika pemikiranku saat ini. Tidak perdulia apapun ucapan
mereka, inti permasalahan adalah membuat perubahan.
“Baiklah, beri alasan paling tepat kenapa saya masih
harus mempertahankan kalian, pada hal dari segi kualitas, kreatiffitas bahkan
konsep-konsep kalian terkesan paling
pasaran diantara semuanya.” Nada pembicaraanku menginginkan adanya pergantian.
“Gadis Angkuh,” ucapan si’rel kereta api, memang sih
terdengar pelan tetapi telingaku terlalu tajam sebagai indera pendengar.
Pernyataan itu seakan tidak asing lagi di telingaku…
Menjelaskan terhadap mereka maksud ucapanku, hingga
dia berdiri berbicara sebagai pahlawan kesiangan bagi teman-temannya. Cara dia
mengungkap sebuah pernyataan mengingatkanku terhadap dia. “Mana mungkin juga
si’rel kereta api adalah Darrel” suara hatiku. Dia meminta waktu sehari demi
menyelamatkan seluruh teman-temannya. Menyetujui permintaan si’rel kereta api
agar mendapat kebijakan walau hanya sehari…
Semalaman penuh mataku tak terpejam membayangkan
wajah si’rel kereta api seperti terlihat janggal. “Gi, ada saat dimana kau harus bijak melihat sebuah kehidupan di depan
matamu.” Suara Darrel memenuhi gendang pendengaranku. Semua itu hanya
kenangan, entah sekarang dia berada dimana.
“Dia hanya kenangan masa lalu sampai kapanpun juga”
bahasa paling tepat menggambarkan dunia Darrel. Menginjakkan kaki di rumahnya
kembali, tetapi hanya penghuni lain muncul depanku. Berarti dia lahir bukan
memenuhi warna Gi untuk selamanya. Belajar melupakan semua memori kemarin jauh
lebih baik, dibandingkan mempertahankan. Dia yang menginginkan kaki Gi berada
di luar area langkah kehidupannya.
Pagi menakutkan bagi glass corporation membungkus
seluruh penghuninya. Si’Rel kereta api mencoba menjabarkan dalam ruang persegi
tentang sebuah konsep demi meraih sebuah
pernyataan mempertahankan. “Hanya dia yang memiliki tatapan mata seperti itu,”
bisikan hatiku disaat si’rel kereta api memandangku. Jantungku berdetak keras
sama seperti beberapa tahun silam.
“Kualitas nilai…” hanya dia saja dapat membuat
pernyataan tersebut. Saya pasti gila menganggap si’rel kereta api adalah
Darrel. Dia mengajarkan tentang kualitas nilai kehidupan sama seperti si’rel
kereta api saat ini. Hasil karyanya menarik perhatian, membuat si’rel kereta
api dapat memperjuangkan teman-temannya. Berlalu dari hadapan mereka setelah
menyetujui untuk mempertahankan untuk keluar dari ruang tersebut. Tanpa sengaja,
telinngaku mendengar si’rel kereta api mengucapkan sebuah nama, “Darrel…”
“Berarti dia sengaja memperkosa namanya sendiri,
dari Darrel menjadi Rel kereta api” kata-kataku pelan, menyadari jika ternyata
dia benar-benar Darrel. Manusia terbodoh, selalu membuat sensasi sepanjang
waktu ketika berada di hadapanku. Dia hanya tercipta bagi kehidupan Gi bukan
siapa-siapa sampai kapanpun juga. Tak akan kubiarkan tangan siapapun mengambil
kebahagiaanku…
Kembali melangkah ke hadapan dia tanpa memperdulikan
status antara antara atasan dan bawahan. Dia selalu mengajarkan hidupku tentang
kualitas nilai, sampai detik sekarangpun dengan sengaja memakai sebuah gambaran
bebatuan kecil. Kebahagiaanku bukan papi penentu segala sesuatunya, melainkan
hanya Tuhan dan langkahku sendiri. “Gi,
belajarlah berpetualang menikmati hidup dan tidak hanya melihat segala sesuatu
dari kata mewah, mahal, berkualitas. Ngerti” terus mengingat ucapannya.
“Kau Darrel kan?” berkata-kata di hadapannya, hingga
terjadi keheningan dalam ruang persegi selama beberapa saat. Tatapan matanya
berbicara jika dia memang benar-benar mengenalku, tetapi diam seribu bahasa.
Semua orang tidak menyangka masa lalu antara sang manager dan si’rel kereta
api. Nesia membenarkan ucapanku, jika rel kereta api hanya sebuah julukan dari
dirinya.
“Kau banyak berubah” pernyataanku. Dia membawaku
keluar dari ruang tersebut, demi menghindari berbagai tanggapan-tanggapan
negative. Kenapa saya sama sekali tidak pernah menyadari akan sebuah motor tua
terparkir bagian halaman belakang dari perusahaan ini? Perubahan warna tetapi
masih bentuk sama beberapa tahun silam hanya modifikasi saja. Dia
menyembunyikan motornya jauh dari parkirang depan, biar tak terlihat.
“Kau manusia terkacau” tangisku pecah, kakiku lemas
terkulai ke lantai sekitar halaman belakang dari perusahaan tersebut. Dia hanya
terdiam tanpa berkata-kata beberapa saat…
“Kau akhirnya mengenalku?” tangan Darrel menghapus bulir-bulir
aliran air mata memenuhi wajahku.
“Kenapa kau memperkosa namamu sendiri dari Darrel
menjadi rel kereta api?”
“Karena kau sama sekali tak mengenalku,” jawaban
terbodoh dari si’pembuat sensasi.
“Tuhan kembali mempertemukan, berarti kau terlahir hanya
untuk Gi” pernyatanku tanpa pernah memperdulikan apapun ucapannya.
“Gi sekarang sudah banyak berubah,” tuturnya.
“Perubahan?” mencoba mencari celah maksud ucapan
Darrel.
“Makin ganas, teliti, membahayakan, menakutkan,
angker seakan berada pada tempat keramat, dan masih banyak lagi” jawaban
seorang Darrel hingga mataku tidak berkedip mendengar semua itu. Ingin marah
tetapi seakan ada sesuatu yang menahan.
“Kau menyindir atau menghibur?” pertanyaanku.
“Dua-duanya,” sekejap mata mencubit kedua pipiku.
“Saya bukan gadis lagi remaja,ngerti?” ucapanku,
namun dia tak pernah berkedip sedikitpun memandang sepasang bola mataku bahkan
dalam waktu sedikit lama…
“Kuduslah kamu sebab aku kudus” suara nyaringku
bermain seketika, membahayakan iblis dapat saja bermain sekejap mata. Dia
tertawa terbahak-bahak tanpa memperdulikan tempat di sekitarnya.
“Berarti Gi selama di luar tidak pernah menjadi
singa ganas?” ledekan darinya.
“Saya bukan singa ganas” ucapanku kembali mengambil
botol minuman dari tangan Darrel kemudian memukul ke arah bagian kepalanya.
“Saya tahu, Gi bukan singa ganas.” Sekarang memakai
kaca mata, rambut sudah tertata, badan lebih berisi bahkan saya hampir tidak
mengenal dia sama sekali. Ternyata dia tetap setia menunggu Gi kembali hadir di
hadapannya. Bercerita banyak tentang jalur hidup beberapa tahun silam hingga
detik sekarang. Papi tidak akan pernah bisa membuat sebuah skenario bagi
kehidupanku.
“Gi, setiap hari saya berdoa” mengambil tanganku
memegang kuat bahkan tidak ingin melepas sedikitpun.
“Berdoa Tentang apa?”
“Tuhan, andai kata Darrel kembali dipertemukan Gi
berarti kami memang benar-benar akan menyatu sekalipun banyak tantangan
kehidupan ke depan. Andai kata tidak, berarti Gi terlahir untuk orang lain
bukan langkah Darrel.” Kalimat Darrel membuat haru biru memenuhi beranda
hatiku.
“Darrel mau berjuang melawan papi dan mami apapun
keadaannya?” kata-kataku.
“Tentu,” jawaban Darrel. Penantian panjang, tetapi
mata Tuhan segera menjawab dan mendengar keluh kesahku selama bertahun-tahun.
Kupikir dia akan melepas, menyerah, melupakan, bahkan tidak akan pernah
mengingat sama sekali. Glass corporation digemparkan oleh hubungan masa lalu antara
sang manager baru bersama salah satu karyawannya. Kisah asmaraku akan segera
berhembus ke telinga papi, terlebih mata-matanya selalu berada di tiap sudut
kota ini. Mempertahankan dan memperjuangkan apa yang aku anggap merupakan
sebuah kualitas hidup jauh lebih menyenangkan dibanding berjalan keluar dari
jalur tersebut.
Dia yang
mengajarkan kuantitas suatu nilai akan terus menggenggam erat tanganku seperti
apapun tantangan hidup ke depan. Menikah tanpa restu papi dan mami itulah kisah
hidupku sekarang, sedangkan Devanya sendiri masih melanjutkan studinya di luar
negeri. Berulang kali Darrel datang ke rumah tetapi kedua orang tuaku tetap
menolak oleh karena perbedaan status diantara kami. Saya akan tetap berjuang,
sekalipun orang tuaku tetap pada pendirian mereka. Membuangku dan menganggap
saya tidak pernah ada bagi kehidupan mereka hanya akibat mempertahankan
kualitas hidupku.
“Kau bukan anak kami lagi, jangan sekali-sekali
menginjakkan kaki kembali ke rumah ini” gertakan papi terngiang pada gendang
pendengaranku. Seluruh foto-foto dan barang-barangku dibuang papi ke gudang
bagian belakang rumah. Mencoret namaku dari kartu keluarga mereka karena ucapan
ingin memperjuangan dan mempertahankan hubungan percintaanku sendiri.
Papi sengaja memainkan skenario glass corporation
hingga sang pemilik tak dapat berbuat apa-apa. Secara keterpaksaan kami harus
keluar dengan tidak hormat dari perusahaan tersebut. Seluruh perusahaan menolak
lamaran kerja Darrel karena skenario cerita papi. Menikah tanpa restu,
mengalami masa-masa tersulit, berada dalam lingkup keluarga baru inilah hidupku
sekarang. Menerima hidup Darel apa adanya sekalipun memiliki belasan saudara
paling aneh sedunia. Pertama kali menjalani hidup baru bersama beberapa kepala
keluarga dalam sebuah rumah kecil.
BAGIAN 10…
GILIA…
Menikahi Darrel merupakan pilihan hidup. Satu
kalimat bahwa saya tidak akan pernah menyesal mengambil keputusan berada di
luar area kehendak papi dan mami. Belajar beradaptasi ketika pertama kali
tinggal serumah bersama keluarga besar Darrel. Ayah mertuaku mau menerimaku di
rumahnya, walaupun awal Darrel membawaku ke hadapannya dia sedikit ragu. Ayah
mertuaku dan isi rumahnya sempat berpikir negative tentang kami, secara
tibaa-tiba ingin menikah. Mereka berprasangka jika saya hamil luar nikah makin
menambah ribuan pertanyaan.
“Menikah tanpa pesta besar terbilang terlalu
sederhana, hanya berdasar pada cinta masa lalu kembali bermain lebih tepatnya.”
Tertawa sendiri membayangkan jalan hidupku sekarang. Pertama kali bagi dunia Gi
belajar memasak, mencuci pakaian, mengpepel lantai rumah, dan banyak lagi.
“Masakannya gosong,” hingga cerita akhir, serumah
harus menerima menu gosong hari ini. Darrel sempat mengajarkan bagaimana
menyapu lantai, cuci piring, mengepel rumah tetapi kejadian tersebut sudah
berlangsung beberapa tahun lahun. Singkat cerita, piring/gelas banyak pecah
ketika tanganku berada depan wastapel. Menyapu lantai rumah saja masih banyak
kotoran beterbangan kiri kanan. Beberapa anggota rumah terjatuh akibat
perbuatanku disaat mengepel. Banyak air sabun bergelinang kiri kanan memenuhi
sudut rumah. Darrel hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuanku. Tidak
juga marah dan tidak juga tersenyum tetapi memasang wajah aneh…
“Kakak ipar, santai saja” tegur Brielle adik iparku,
hanya dia satu-satunya memasang wajah ceria ketika berada depanku. Akibat
pernikahanku hingga Brielle harus pemecatan sepihak sama seperti kami oleh
karena permainan papi. Brielle tidak pernah memasang wajah marah terhadap
kehidupan kami, tetap menerima keadaan kami.
“Kau tidak marah karena…?” tanyaku disaat Brielle
mencoba membantuku menyelesaikan pekerjaan rumah.
“Kenapa harus marah, skenario masa depanku ada di
tangan Tuhan” jawaban Brielle.
“Kau seperti Deva”
“Siapa itu Deva?” Brielle berbalik ke arahku,
“Jangan-jangan mantan kakak ipar selama menempuh
studi yah?” kalimatnya kembali.
“Devanya itu adikku, sekarang masih menempuh
pendidikannya di luar negeri.”
“Oh begitu,” hanya kalimat tersebut terucap dari
mulut Brielle.
Karena tidak mendapatkan pekerjaan, Darrel harus
bekerja sebagai penjual ikan keliling dari rumah ke rumah. Sementara Brielle
bekerja sebagai salah satu penjaga toko mini market kecil, setidaknya masih ada
yang mau menerima dia sebagai karyawan. Ibu mertuaku dan anak-anaknya yang lain
selalu memasang wajah asam disaat bertatapan muka denganku. Kemungkinan besar
mereka marah atas keputusanku mempertahankan Darrel berujung pada penderitaan
serumah.
“Karena perbuatanmu kami harus hidup kembali seperti
ini” nada keras ibu mertua.
“Jangan persalahkan Gi,” tegur ayah mertua
membelaku, tidak sengaja ia berjalan dan melihat bagaimana ibu mertua memarahi
diriku.
“Ibu tiri, jangan coba-coba menyerang Gi” kalimat Brielle
datang membelaku.
“Sudah bagus saya memarahinya, setidaknya kau
berterimah kasih…” ibu mertua seolah makin terlihat kesal melihat keadaan
rumah.
“Mungkin dengan jalan seperti ini, anak-anakmu
bersama keluarganya dapat bekerja di luar sana. Coba bayangkan, sudah punya
anak 3 masih saja jadi manusia pemalas.” Sindiran Brielle. Ucapan adik ipar
memang kenyataan, sebagian anak-anaknya telah menikah tetapi masih terus
bergantung hidup pada orang tua. 2 diantara anaknya hanya menjadi
tukang-tukangan seperti tukang tidur, tukang makan, preman besar sekitar
perkampungan lingkungan kota.
“Berhenti berbicara!” ucap ibu mertua.
“Inilah susahnya kalau punya anak banyak, sekalian
saja buat grup kesebelasan.” Kalimat Brielle kembali sedikit membuatku ingin
tertawa.
“Bril, hormati ibumu!” tegur ayah.
“Kakak ipar kalau punya anak jangan seperti mau buat
kesebelasan pemain sepak bola, ujung pukul ujung akhirnya semua kacau. Untung
kalau besar nanti jadi orang, kalau tidak seperti inilah keadaannya, hancur
lebur.” Perkataan Brielle makin menambah kegeraman ibu mertua.
“Bril,” gertak ayah.
“Upppsss, ayah lagi ngambek” tingkah Brielle makin
menambah kekacauan. Brielle segera berlalu dari hadapan mereka, setidaknya hal
tersebut jauh lebih baik ketimbang semakin memanas-manasi situasi. Berada dalam
sebuah rumah terdiri dari beberapa kepala keluarga, pada dasarnya terdapat
hal-hal rumit bahkan beresiko perselisihan besar. Terlebih apa bila si’pencari
nafkah hanya tergantung pada seorang saja, sedangkan kepala keluarga bercerita
tentang lebih dari satu orang.
Menurut cerita Darrel jika saudara tirinya menikah
di usia masih dini sama seperti ibu mereka. Pendidikan mereka tidak seperti
kami, hanya tamatan sd, smp, atau pertengahan smu akibat biaya ekonomi jauh
sebelum bertemu ayah. 3 urutan terakhir diantara anak-anaknya benar-benar
perjuangan besar bagi ayah untuk membuat mereka tetap melanjutkan pendidikan,
setidaknya tidak mengikuti jejak saudaranya yang lain.Suami anak pertama sampai
tiga hanya bekerja sebagai tukang sayur, tukang batu, cleaning servis. Akibat
istri boros membuat pengaturan keuangan hancur lebur.
Sementara anak ke-4 sampai 5 juga telah menikah,
tetapi tidak dapat memberi nafkah bagi istri mereka. Kerjaan hanya nongkrong
memenuhi suasana perkampungan, menjadi tukang tidur dan tukang makan semata ketika berada di
rumah. Hal terparah mempunyai anak lebih dari 2 orang, membuat semua pusing. Anak
ke-6 mempunyai anak tanpa suami alias hamil di luar nikah akibat pergaulan
bebas ketika masih bersekolah. Yang ke-7 menjadi preman pasar berjalan kiri
kanan mengganggu orang tanpa pendidikan
sedikitpun. Sisanya masih bersekolah, maka dari itu ayah terus saja berjuang
untuk mereka.
“Kau menghancurkan mainanku” Via marah besar,
tangannya segera menarik rambut sepupunya sendiri.
“Kau lebih dulu mencuri sepatuku” Mery balik
menyerang. Mereka berdua berkelahi satu sama lain, 2 anak sama-sama berumur 6
tahun berkelahi hanya karena permasalahan sepele. Tiba-tiba orang tua mereka
masing-masing datang, mencoba melerai tetapi ujung akhir cerita justru malah
perkelahian terbalik terjadi.
“Anakmu salah membuat Via seperti sekarang” amukan
Feti orang kandung Via.
“Jelas-jelas Mery memulai perkelahian,” Sarah alias
ibu Mery menjambak rambut saudara iparnya sendiri. Feti dan suami Sarah
merupakan saudara kandung, juga tinggal serumah bersama. Berarti antara Via dan
Mery merupakan saudara sepupu.
“Keterlaluan berani-beraninya hanya mengejek Via”
Feti makin geram.
“Jadi menantang, ingin berkelahi?” Sarah mendorong
tubuh iparnya. Aduh mulut, saling menghina, permainan kasar, jambak menjambak
makin memenuhi ruangan kecil. Melihat tingkah mereka kepalaku menjadi sakit
seketika, berusaha melerai tetapi begitu sulit.
“Hentikan” teriakanku mencoba memisahkan mereka
tetapi makin tak berhasil. Akhirnya Darrel muncul kehadapan mereka menarik
tubuh Feti dari Sarah hingga berhasil.
“Kalian seperti anak kecil, sadar dong jika hidup
seperti ini terus pasti hancur” gertakan Darrel. Mereka terdiam beberapa saat,
namun beberapa menit kemudian mulai memanas kembali.
“Saudara paling hancur” kalimatku berbisik ke
telinga Darrel.Rumah hanya ukuran biasa tetapi penuh manusia-manusia kacau
membentuk dunia sendiri. Rumah sebelumnya dijual, akibat terlalu kecil kemudian
membeli rumah sedikit lebih luas dari sebelumnya. Darrel memaki mereka agar
menghentikan pertengkaran tersebut. Hal lebih parah datanglah ibu mertua,
bukannya bersikap netral tetapi hanya membelah salah satu pihak. Inilah
kehidupan jika hidup bersama mertua terlebih dalam rumah tersebut terdapat
lebih dari satu kepala keluarga.
Permasalahan ekonomi dapat merusak keharmonisan
antara keluarga. Perselisihan biasa dapat dibesar-besarkan hingga berakhir pada
permusuhan satu dengan lainnya. Hal lebih mengejutkan kedua orang tua Via dan
Mery masih berselisih dan tidak saling bertegur sapa ketika bertemu selama
seminggu. Sedangkan anak-anak mereka sejam setelah perkelahian sudah baikan
kembali bahkan bermain juga tertawa bersama.
“Orang tua aneh” gerutuku dalam hati.
“Kenapa memasang wajah seperti itu?” tegur Darrel.
“Tanya kenapa, lihat kelakuan saudaramu disana
seperti apa?” jawabku. Darrel mengerti maksud ucapanku mengarah pada
pperselisihan beberapa hari kemarin.
“Jadi kau menyesal menikah?” Tanya Darrel.
“Entahlah, hanya Tuhan mengetahui isi hatiku”
cetusku. Kenapa juga Gi menyukai Darrel sampai rela terbuang dari keluarga demi
sebuah pernikahan? Saudara Darrel benar-benar mengerikan jauh diluar dugaan
logika hidupku sendiri.
“Gi, anggap saja itulah seninya mempunyai keluarga
seperti ini” pelukan hangat Darrel membuatku lupa kejadian tersebut.
“Aneh, kenapa kau dan Bril mempunyai karakter bagaikan
langit dan bumi diantara saudara-saudaramu yang lain?” pertanyaanku tetap
nyaman dalam pelukan hangat suamiku sendiri.
“Gi, masing-masing orang mempunyai karakter
tesendiri. Garis kepribadian pasti berbeda-beda dan tidak sama antara saudara
satu dengan lainnya. Ada yang dewasa, tetapi ada juga bersifat kekanak-kanakan
sekalipun umur tidak sesuai. Ngerti?” inilah Darrel berusaha menjelaskan
hal-hal tak kupahami.
“Masalahnya, anak-anak mereka berkelahi terus
beberapa jam kemudian baikan, tetapi orang tua tidak saling bicara
berhari-hari. Kacau betul,” suasana hatiku kembali kesal.
“Lebih parah lagi diluar sana anak-anak mereka
berkelahi permasalahan biasa, 5 menit kemudian sudah saling baikan. Tetapi
orang tua mereka masing-masing sampai liang kubur tidak saling bicara. Pada hal
kejadiannya sudah berlangsung puluhan tahun, anak-anak mereka juga sudah
berkeluarga.” Darrel makin menambah-nambahkan bumbu penyedap ke telingaku.
“Memang ada yah seperti itu?” makin terkejut.
“Seperti itulah, pada dasarnya sih kembali pada
kedewasaan menanggapi situasi dari para orang tua juga status pendidikan
seseorang berperan penting ketika mendidik sang anak.” Kalimat Darrel
menjelaskan tentang dunia para orang tua zaman sekarang.
“Ayah terbaik bagi anak-anakku kelak” memeluk Dirinya.
Sekalipun kehidupan perekonomian kami kacau balau, namun setidaknya antara satu
dengan lainnya bersikap bijak melihat situasi kenyataan hidup. Mempunyai saudara seperti ini…memang mengerikan, tetapi
tetap menikmati kehidupan oleh karena dunia suamiku bercerita tentang
kedewasaan.
“Pasti dong,” tetap menikmati kehidupanku walau jauh
dari kemewahan.
Ucapan Darrel benar-benar kenyataan jika beberapa
para orang tua memiliki karakter seperti anak kecil pada umumnya. Sepulang dari
pasar, suara telponku berbunyi ibu mertua menyuruhku menjemput via, Toni, juga
Mery di sekolah, karena bunda mereka masing-masing lagi sibuk. “Sibuk apaan
sih, segitunya?” gerutuku secara terpaksa berjalan menuju sekolah menjemput
para keponakan kecil Darrel.
“Sampai juga” penuh semangat mencari para
kurcaci-kurcaci tersebut. Kedua bola mataku terarah pada 2 ibu seperti sedang
berkelahi hebat depan halaman sekolah. Mereka berkelahi dengan permasalahan
sama seperti peristiwa orang tua Mery dan Via kemarin. Menurut cerita anak dari
si’A dan Bbermain, entah seperti apa jalan ceritanya salah dari anak mereka
menangis. Sang anak si’B mengadu pada ibunya, datang ke sekolah memarahi anak
si’A. Singkat cerita si’A juga bercerita pada ibunya malam harinya, kemudian
esok hari memarahi anak si’A. Kesimpulan terjadilah pertengkaran sengit antara
2 ibu-ibu rempong saling membelah anak-anak masing-masing.
“Perang dunia 3 selalu saja dimana-mana” kepalaku
pusing berpikir menyaksikan kehidupan terkacau baik di rumah maupun sekolah.
“Anak situ duluan memulai nyerang anakku” teriakan
ibu si’A.
“Jaga mulut, jelas-jelas anak saya kakinya berdarah
gitu” ibu si’B tidak mau kalah.
“Harusnya saya yang bilang, kalau itu mulut perlu
dibersihkan pakai sampo biar bersih” teriakan lantang ibu si’A mendorong
habis-habisan tubuh ibu si’B.
“Berani ma saya, siapa takut” emosional ibu si’B
meninggi. Terjadilah pertengkaran paling wow sejagad raya. Sebagian berusaha
melerai, tetapi sebagian pula menambah-nambahi bumbu-bumbu penyedap dapur biar
makin berteriak.
“Masa kalah, serang terus” teriak salah satu dari
penonton.
“Bukannya melerai, malah jadi provokator” teriakku.
Rambutku terus saja berdiri melihat kejadian-kejadian aneh kiri dan kanan.
“Lawan saja” teriak yang lain lagi.
“Kita berdua taruhan, siapa pemenang antara mereka,
okey” kalimat sayap kanan.
“Berhenti…” satpam sekolah baru datang. Para guru
dan satpam sekolah masih berjuang melerai mereka. Perkelahian paling sengit
jauh mengalahkan perselisihan orang tua Via dan Mery. Suasana berubah menjadi
hening, setelah salah seorang guru mengancam memanggil pihak kepolisian.
Berusaha memperdamaikan mereka merupakan kewajiban pihak sekolah. Mereka
berkelahi sampai segitunya juga, lebih hancur ketimbang perang dunia 3. Malam
harinya, menceritakan segala sesuatunya terhadap Darrel setelah makan malam
selesai. Berkomunikasi dalam kamar, itulah dunia kami setelah menjadi sepasang
suami istri. Setiap sebelum dan bangun tidur, selalu berdoa bersama walau hanya
kapasitas ruang terlalu kecil.
“Darrel, tadi mereka bertengkar hebat!” tubuhku
memperagakan cara 2 ibu di sekolah tadi sedang mengamuk.
“Wow…” senyuman suamiku setiap saya bercerita apapun
terhadapnya.
“Saya tidak ingin menjadi seperti mereka” ucapku
berbalik ke hadapan Darrel.
“Gi, kelak andai kata Tuhan mempercayakan kita
berdua buah hati lucu plus cute…”
“Emang lucu dan cute bedanya dimana, bosss?”
mengoreksi pernyataannya.
“Banyak perbedaannya,” jawaban Darrel.
“Lanjut pada kalimat sebelumnya, tetapi jangan pakai
andai kata, melainkan pasti memiliki buah hati” kembali memperbaiki kalimat
sang suami.
“Terserah kau saja, Gi”
“Silahkan lanjutkan,” tatapan mataku terus ke
arahnya.
“Kelak, andai kata si’kecil sedang berselisih atau
bertengkar dengan temannya, Gi sebagai orang tua jangan membelah dia di depan
umum. Hal seperti ini bisa bermasalah bagi para orang tua.” Kalimat Darrel.
“Lantas?” memahami betul sikap Darrel.
“Kesalahan sebagian besar orang tua adalah selalu
menjadi malaikat atau pahlawan kesiangan bagi sang anak tetapi pada jalur
salah. Anak bertengkar, orang tua masing-masing masuk membela, hingga berujung
fatal.” Penjelasan Darrel.
“Ooohhhh…” paham maksudnya.
“Besok-besok, apa bila sang anak berhadapan dengan
banyak hal, pasti dapat melakukan hal-hal lebih mengerikan bahkan diluar
kendali logika. Kenapa? Karena sang anak menganggap ada orang tua saya yang
akan selalu menjadi pembela abadi sampai selama-lamanya. Pembentukan
kepribadian dan etika sang anak hancur total.” Penjelasan Darrel.
“Papi selalu mengikuti apapun kemauanku sejak kecil”
mengingat kembali memori bersama orang tuaku.
“Wajar saja, pertama kali bertemu Gi terkenal
sebagai gadis paling angkuh” menyindir.
“Kau menyindirku,” menjitak kepala suamiku sendiri.
“Memang kenyataan, kenapa? Karena ayahmu sedikit
bermasalah ketika membentuk pribadimu sewaktu Gi masih kecil pasti,” bahasa
Darrel memang benar, papi dan mami selalu mengikuti apapun keinginanku.
“Iyah sih” mengakui pernyataan Darrel.
“Jadilah ibu terbaik bagi anakku kelak. Disaat
tertentu bersikap tegas, bijak, dapat mengarahkan jalur salah dan benar. Memakai
rotan ketika membentuk sedari kecil, tetapi sesuai jalur. Hangat disetiap
pertumbuhan sang anak. Ngerti?”
“Kenapa harus pakai rotan, bisa-bisa anakku mati
dipukul terus” pikiranku membayangkan sesuatu…
“Gi, emas ada diujung rotan, tidak menjadi masalah
selama berada pada situasi yang memang tempatnya. Memberi kehangatan dan kasih
sayang tidak bercerita tentang memanjakan atau mengikuti segala kemauan sang
anak, melainkan tentang pembentukan dari hidupnya sejak kecil.” Darrel kembali
mengajarkan duniaku akan sebuah pembentukan kehidupan seorang anak.
“Tetapi saya tidak katakan setiap hari anak kita
harus kena rotan terus-menerus sampai seluruh tubuhnya merah atau sekalian saja
lumpuh. Sang anak juga dapat kebal jika berhadapan setiap saat dengan sebatang
kayu. Akal sehat seorang ibu harus bermain dan lebih cerdas dalam hal seperti
ini.” Inilah Darrel sejak masih berusia remaja hingga detik sekarang selalu
terlihat dewasa ketika berkata-kata.
BAGIAN 11…
DARREL…
Semua seperti mimpi, dia datang kembali sebagai
manager glass corporation. Secara mengejutkan mulai menyadari tentang
identitasku sewaktu secara tak sadar telinganya mendengar apa yang kukatakan
terhadap Clanis. Sekarang menjadi pasangan hidupku tanpa perencanaan apapun. Hanya
pernikahan sederhana, lebih kacau lagi tanpa restu orang tua Gi. Anggota
keluargaku menganggap jika Gi berbadan dua, makanya keburu nikah. Inilah kisah hidupku,
kalau sudah cinta tai kucingpun rasa cokelat. Brielle harus mengalami pemecatan
tidak hormat, akibat ulah sang mertua menolak pernikahanku dengan anaknya. Saya
dan Gi pun harus dikeluarkan begitu saja dari glass corporation. Tidak satupun
perusahaan mau menerima saya sebagai karyawannya. Ijasah Gi sebagai lulusan
Harvad terbuang percuma, karena lebih memilih menjadi manusia paling miskin
bersama diriku.
Entah kekuatan dari mana membuatku ingin terus
mempertahankan gadis impianku sejak remaja, sekalipun ada begitu banyak badai
menghadang. Mau berada dalam lingkungan keluarga seperti ini, membuatku terharu
melihat keadaan Gi. Berada di rumah sederhana bukan istana, lebih parah lagi
berpenghuni luar biasa banyaknya. Pertama kali Gi belajar memasak berakhir
gosong, membersihkan rumah membuat semua penghuni terjatuh kepleset. Terkadang,
saya harus tertawa sembunyi-sembunyi akibat kelakuan buruk istri tercinta.
Beruntung Brielle mau memahami dan menerima
keadaanku, walau dirinya harus menjadi korban skenario dari orang tua Gi.
“Kakak, masa depanku tidak ditentukan oleh manusia” senyuman Brielle memeluk
hangat diriku. Dia selalu menjadi adik
palng pengertian, bahkan pemberi semangat untukku.
“Karena perbuatanku berujung pada pemecatanmu, maaf”
suaraku serak.
“Dia masa depan kakak, terkadang Tuhan sengaja
membawa kehidupan kita pada jalur penuh lautan duri hanya demi mengajarkan
warna-warna pelangi semata.” Kalimat Brielle.
“Bril selalu dewasa menanggapi masalah, itulah yang
kusukai dari kepribadian adikku”
“Tenang saja, semua hanya bersifat sementara dan
roda kehidupan masih terus berputar” pernyataan Brielle.
“Bagaimana mimpimu, Bril?”
“Tenang saja, pasti bisa kuraih suatu hari kelak”
senyuman Brielle mengambang memberi kehangatan. Hanya dia satu-satunya adikku
paling memahami hidupku, sekalipun di rumahku masih terdapat beberapa anggota
keluarga dengan status sama.
Kebahagiaan terbesarku saat sekarang hidup bersama
Gi. Menjalani kehidupan biasa, meninggalkan kemewahan dan berada dalam sebuah
keluarga sederhana merupakan kisah
petualangan seorang Gillia.Mengerjakan hal-hal sederhana tanpa sebuah status
kemewahan.
“Kau keterlaluan” pagi-pagi suara orang lagi
bertengkar terdengar dari luar. Cek per cek, ternyata pertengkaran sengit
terjadi antara Sarah dan suaminya sendiri. Sebuah koper besar berada di
tangannya, pasangan suami istri kembali meramaikan keributan rumah. Sementara
beberapa anggota keluarga lain semakin menambah-nambahkan bummbu penyedap rasa
biar pertengkaran makin seru. Ibu juga tidak dapat bersikap netral diantara
anak dan menantunya sendiri.
“Lebih baik kembali ke rumah orang tua saya di jalan
badak” Sarah membanting daun pintu. Ayah berusaha menenangkan mereka, seperti
biasanya…
“Emang ada yah jalan badak?” Gi masih
sempat-sempatnya mempertanyakan nama jalan.
“Nama jalan itu sekitar kampung tempat tinggalnya,”
bisikku. Sarah masih bersikeras ingin pulang ke rumah orang tuanya tanpa
membawa seorang anakpun. Hal terlucu adalah selang 30 menit kemudian, Sarah
kembali dengan alasan uangnya kecopetan di jalan. Pasangan suami istri paling
aneh, ingin balik kampung, tetapi kondisi keuangan lagi kosong.
“Hari gini pasangan suami istri bertengkar, lari
membawa koper, selang 30 menit balik lagi” Gi mengungkapkan apa yang ada di
hatinya.
“Gi, mending kita jalan pagi menghirup udara segar
dari pada memikirkan masalah rumah!” menarik Gi keluar dari rumah. Lebih baik
saya tidak membiarkan Gi berbicara satu katapun jauh lebih baik, dari pada
menjadi salah satu bumbu penyedap. Ketika suami istri berselisih, pihak manapun
tidak boleh masuk. Jika ingin berada di tengah-tengah mereka sebagai
penetralisir keadaan tunggu waktu yang tepat.
“Memang hari ini kau tidak kerja?” Gi kebingungan.
“Saya mau menghabiskan waktu sehari bersama istriku
tercinta, dari pada keliling jual ikan terus” perkataanku sambil memberi
sesendok bubur ayam ke dalam mulut Gi.
“So romantis,” ledekan Gi. Menikmati suasana pagi
hari, berada sekitar sekitar pinggir jalan samping gerobak bubur ayam.
“Gi, hal seperti ini tidak diminta-minta tetapi biasa
terjadi dalam kehidupan rumah tangga” nada bicaraku mengalihkan perhatian Gi.
“Tentang apa?”
“Andai kata terjadi pertengkaran seperti apapun
dalam rumah tangga kita, saya harap Gi harus dapat tetap berada di jalur yang
sesuai.” Ucapku.
“Darrel, jangan membuatku ketakutan” lirih Gi
menghentikan menyantap bubur di hadapannya.
“Gi, masalah pertengkaran itu biasa bahkan sering
terjadi bagi pasangan suami istri. Entah karena sebuah permasalahan ekonomi,
anak, kebersihan rumah, atau perselingkuhan dan masih banyak lagi. Hanya saja,
kembali kepada pribadi masing-masing bagaimana menyingkapi keadaan depan mata.”
Kata-kataku memegang tangan Gi.
“Berarti kita berdua bisa saja bertengkar?”
pertanyaan Gi. kepalaku mengangguk membenarkan pertanyaannya hingga dia
memahami tentang dunia pertengkaran biasa terjadi bagi kehidupan suami istri.
“Andai kata itu terjadi kelak, Gi harus berjanji
untuk tidak mengaduh terlebih kembali ke rumah orang tuamu. Bijak melihat
situasi, bagaimanapun rasa sakit yang dirasakan, Gi lebih baik berpetualang
keliling kota dibanding membawa koper besar buat balik ke rumah orang tua.”
Berusaha membuat Gi paham.
“Memang kenapa kalau saya mengadu ke papi atau
mami?”
“Kalau kita sudah menikah berarti harus mandiri dan
jangan bergantung pada orang tua. Terlebih pernikahan kita berdua tanpa restu
orang tuamu, andai kata terjadi pertengkaran terus Gi mengadu atau balik begitu
saja ke rumah…100% mereka membalikkan kata-kata jika itu pilihan hidupmu, kenapa
kau penuh penyesalan sekarang? Rumah tangga kita makin hancur” Jawaban terbaik
buatnya.
“Satu lagi, jangan asal curhat ke sembarang orang
tentang permasalahan rumah tangga. Entah permasalahan sederhana atau paling
heboh sekalian, kenapa? Karena siapa sih yang mengenal hati manusia kecuali
Tuhan. Bukannya permasalahan menjadi lebih baik, malah lebih serius dari
perkiraan. Ngerti?” ucapanku kembali.
“Kalau sakitnya dipendam, pasti jadi penyakit andai
kata ga curhat keluar” nada suara Gi
seolah membayangkan bagaimana jika pertengkaran diantara kami terjadi…
“Gi jauh lebih baik mengungkapkan keluh kesahmu
kepada Tuhan dalam kamar, dibandingkan bercerita kepada banyak orang. Beruntung
kalau tempat curhatmu bisa bijak, tetapi kalau bersifat anak kecil, menjadi
kuntilanak halus, menambah-nambahkan bumbu penyedap. Rumah tangga kita berdua
pasti hancur lebur,” menjelaskan kepada Gi.
“Seperti kebanyakan artis-artis berarti kita berdua
bercerai gitu?” Gi ketakutan.
“Bisa jadi, apa lagi kalau Gi bersifat
kekanak-kanakan” jawabanku untuknya. Dunia rumah tangga dapat berselisih lebih
rumah, pada hal permasalahan awal hanya hal-hal sepele akibat suara-suara pihak
ke-3.Beberapa bulan belakangan ini, saya berusaha mengumpulkan uang untuk
membeli membawa Gi keluar dari rumah. Biar bagaimanapun juga, hidup membentuk
keluarga kecil dalam sebuah rumah kecil jauh lebih baik.
Mencari rumah kontrakan kecil sebagai tempat tinggal
keluarga kecilku. “Darrel, ada hal yang ingin kusampaikan” tiba-tiba saja Gi
berada di hadapanku terbungkus sinar matahari terik sekitar kompleks rumah
menjual ikan-ikan segar memakai sepeda motor tua. Dia menyadari tempat-tempatku
berkeliling untuk berjualan demi menghidupi keluarga. Sisi lain mencoba
mengatur keadaan keuangan, selain membantu
ayah menutupi kebutuhan rumah.
“Kok tahu tempat saya berkeliling?” keheranan
melihat Gi.
“Lupakan tentang semua itu, ada hal lebih penting”
sikap Gi mengalihkan perhatian.
“Tentang?” tanyaku sambil berusaha membawa sepeda
motorku menuju sebuah warung kecil. Setidaknya kami dapat menikmati segelas
kopi, sambil beristirahat ria jauh dari penat matahari.
“Bagaimana kalau kita berdua kontrak rumah?”
pikiranku ternyata sama dengannya.
“Memang kenapa?” pancingku.
“Tanpa sengaja saya bertabrakan seorang ibu beberapa
hari lalu di pasar tadi, entah bagaimana caranya kami berdua jadi akrab
kemudian saling berbagi cerita biasa sih. Tapi, tenang saja saya curhat bukan
tentang keluarga.” Membuat ingin segera tertawa mendengar kalimat terakhirnya.
“What?”
“Ibu itu baik, tidak tahu bagaimana tiba-tiba saja
beliau berkata terhadapku tentang sesuatu hal sewaktu bertemu lagi dengannya.”
Ucap Gi.
“Berbicara apa?” tanyaku.
“Apa bila seseorang telah memiliki sebuah keluarga,
sebaiknya membentuk kehidupan sendiri. Biarpun hanya berada di rumah kontrakan
berukuran kecil beralaskan tikar, tetapi membentuk hidup pasangan suami istri.
Begitulah ucapan beliau” sejak kapan Gi mempunyai teman seperti itu. Perasaan
sejak dulu, Gi memilah-milah dalam pertemanan.
“Masa?”
“Kalau mempunyai rumah kecil sendiri, pihak ke-3 tidak
pernah ada saat terjadi pertengkaran baik dari pihak orang tua, saudara, teman,
atau lainnya. Mau makan apa saja tetap tenang, tanpa harus mendengar suara abcdefg. Istilah mandiri juga
berada disini, ungkapannya.” Kembali Gi mengucapkan segala pernyataan teman
barunya.
“Gi, ini juga saya lagi mau kumpul uang buat bayar
kontrakan. Memang mempunyai kesulitan tersendiri tinggal serumah lebih dari 1
kepala keluarga. Satu dengan lainnya dapat saja membuat perselisihan terlebih
permasalahan keuangan, anak-anak, rasa saling curiga, kemalasan. Dan banyak
lagi.”
“Masalah kemalasan?” Gi sulit mencerna.
“Astaga Gi, coba bayangkan kalau Gi mengerjakan
seluruh pekerjaan rumah mulai dari masak, membersihkan rumah, ke pasar,
mengeluarkan biaya buat makan, dan lain sebagainya, sedangkan anggota lain pada
angkat kaki. Berarti mengajarkan kemalasan juga perselisihan antara sesame
anggota keluarga.” Perkataanku menjelaskan sesuatu…
“Betul juga, saya ko ga sadar?” Gi gadis angkuh
berubah total oleh sebuah keadaan. Kehidupan rumah tangga dapat terbentuk
ketika diawali dengan kesederhanaan. Hidup bersama, saling menerima antara satu
dengan lainnya, disaat terjadi perselisihan kecil atau besar tetap bijak
melihat situasi sekalipun ada begitu banyak suara-suara pihak ke-3 masuk ke
telinga. Memutuskan memiliki rumah kontrakan kecil merupakan akhir keputusan
kami bersama. Sejak awal pernikahan, saya telah merancang tinggal bersama dalam
sebuah rumah kecil, sekalipun hanya kontrakan sederhana.
Akhirnya kami menemukan sebuah rumah layak pakai,
sekalipun hanya berukuran kecil saja. Awalnya ayah tidak mengizinkan kami
meninggalkan rumah, tetapi akhirnya dia dapat menerima alasan ingin membina
keluarga sederhana. Hal lebih membahagiakan lagi adalah Gi positif hamil.
Lengkap sudah kebahagiaan kami, walau hanya berada dalam sebuah kontrakan
kecil. Kehidupan keluarga bukannya tidak luput dari pertengkaran-pertengkaran
rumah tangga, tetapi cara menyingkapi permasalahan depan kami ke jalur seperti
apa.
Sesuai perjanjian ketika kami mengalami
perselisihan, Gi belajar menyelesaikan tanpa harus mengumbar-umbar terhadap
siapapun. Terkadang permasalahan sebagai suami pulang kerja capek, terus Gi
belum masak apapun, sedangkan hati kami sedang kacau-balau bahkan rasa ingin
marah satu sama lain. Pengendalian diri pada dasarnya membutuhkan proses
panjang, tetapi kami belajar melalui semua itu. Hingga detik sekarang, Gi tidak
pernah mengadu atau bercerita andai kata kami memiliki permasalahan dalam rumah
tangga.
Waktu terus berlalu, buah hati kami akhirnya genap
berusia 3 tahun. Wajahnya benar-benar
mirip saya, walau terlahir sebagai anak perempuan. Otak dan kemampuannya tak
perlu diragukan mengikut bundanya. “Sheena, kemarilah” segera gadis kecilku
berlari kecil mengikuti pergerakanku.
“Ayah, hari ini ikannya banyak” tangannya terus saja
memegang ikan-ikan di depan.
“Bunda masak apa hari ini?” ujarku sambil berusaha
memperbaiki kuncir rambutnya.
“Rahasia dapur,” jawaban gadis kecilku.
“Wow, pintar banget bilangnya rahasia dapur”
“Bunda bilang rahasia dapur, ayahku sayang” jemari
kecil berusaha memperbaiki poni rambutnya sendiri.
“Kalau begitu ayah dan Sheena harus segera pulang
rumah” mengangkat tubuh mungil Sheena menuju motor dari tahun ke tahun tak
pernah berganti. Mulai perkenalan bersama bunda Sheena sewaktu remaja hingga detik
sekarang masih setia menemani.
Sebagai orang tua bijak, saya dan Gi mulai mengajar
dunianya dalam suatu jalur warna-warna pelangi. Mengajarkan dia bagaimana
terbentuk di mata Tuhan, memahami sebuah keadaan tetapi memakai kalimat sesuai
bahasa anak-anak. “Ayah, baju itu cantik” tunjuk Sheena sewaktu kami berada di
pasar. Satu lagi, sebagai orang tua yang benar-benar paham akan pergaulan,
sejak kecil membuat dia tahu mana pakaian layak pakai atau tidak.
“Sheena baju itu memang cantik, tetapi baju yang ini
jauh lebih manis kalau dipakai Sheena” memperlihatkan sepasang pakaian
sederhana, tetapi makin diperhatikan terlihat manis bahkan tertutup masuk
kategori sopan.
Gi tidak keberatan atas pengajaran bagi dunia
Sheena, terlebih gaya fashion sedang berada di jalur seperti apa? “Gi, seorang
anak harus dibiasakan sedari kecil berpakaian tertutup, sehingga sewaktu besar
dia akan risih memakai pakaian terbuka.” Ucapku terhadap Gi.
“Memang harus segitu tertutupnya yah?” pertanyaan Gi
heran.
“Saya tidak bercerita, kalau anak saya harus
tertutup sekali berpakaian sampai menyapu seluruh tanah. Hanya saja masih
memasuki kapasitas sopan, seorang anak harus sejak kecil dibiasakan tentang hal
seperti ini.” Jawaban paling tepat bagi pertanyaan Gi.
“Oh seperti itu” senyum Gi mengambang, pertanda
memahami maksud dan tujuanku.
“Terimah kasih karena tetap bertahan bagi kehidupan
kami berdua” mencium kening Gi hingga membuatnya terkejut…
“Justru, saya yang harus bersyukur mempunyai suami
terbaik dan selalu menjadi ayah terhebat bagi Sheena.” Menyodorkan secangkir
kopi panas. Gi mempunyai masa depan, tetapi lebih memilih berada pada
lingkungan social sederhana demi seorang Darrel.
“Hanya berkeliling menjadi penjual ikan, tetapi
memiliki istri lulusan Harvad”
“Sekarang kehidupanku hanya terarah pada kau dan
Sheena,” kalimat Gi.
“Sheena memiliki sifat seperti dirimu,” ucapku
mengalihkan perhatiannya.
“Saya selalu berdoa pada Tuhan, semoga Sheena
mempunyai karakter seperti ayahnya bukan bundanya. Tetapi masalah otak harus
dari bundanya jangan jadi pemalas seperti ayahnya.” Nada ucapan Gi awal
menyenangkan, diakhir ribet…
BAGIAN 12…
Kisah hidup Darrel dan Gillia memiliki kisah
petualangan percintaan, dimulai sejak pertemuan usia remaja, kemudian berlanjut
pada status pernikahan tanpa restu orang tua. Sampai detik sekarang seluruh
foto Gi tak pernah terpampang memenuhi ruang keluarga Azaria. Bertahun-tahun
melupakan Gi sebagai anak kandung mereka, jauh lebih baik dibanding mengakui
Darrel sebagai seorang menantu.
“Bertahun-tahun Gi meninggalkan rumah ini pi,” ibu
Azaria sedih membayangkan wajah putri kesayangannya lebih memilih hal terkacau
ketimbang keluarganya sendiri.
“Lupakan tentang Gi,” rasa kesal menyerang pengusaha
terkenal bapak Azaria. Masih memendam rasa geram terhadap putri kandungnya
sendiri. Di lain hal Devanya akan kembali hadir memenuhi rumah, setelah
menyelesaikan mengembangkan cabang besar di Negara tetangga. Keluarga Azaria
terkenal dengan aset kekayaan paling besar, bahkan memiliki cabang dimana-mana.
Bapak Azaria menyuruh seorang sopir menjemput Devanya yang sudah balik di
bandara.
“Halo pi,” suara Deva menelpon Azaria.
“Papi tidak usah menyuruh sopir menjemput, saya bisa
pulang sendiri” segera Deva menutup telepon genggamnya. Beranjak dari kursi
bandara, kemudian membawa sebuah koper menuju taxi. Meminta sopir taxi
membawanya menuju alamat sesuai petunjuk selembar kertas. Dia menyadari permasalahan keluarganya, bahkan hingga detik
sekarang masih memanas.
“Kita sudah sampai, pak!” tegur sopir taxi.
“Rumah ka’Gi kecil amat” segera turun dari taxi
membawa koper. Deva mengirim beberapa detektif mencari alamat Gi, dengan tujuan
setelah kembali dia dapat segera menemui kakaknya. Mendorong koper menuju
halaman, terdengar suara tawa gadis kecil
berlari bersama seseorang.
“Sheena, kena” Brielle sedang menjadi pengasuh setia
keponakannya, jika ayah dan bundanya lagi sibuk.
“Curang…” cetus Sheena.
“Permisi” sapa Deva terhadap mereka. Devanya merasa
yakin jika gadis kecil itu adalah keponakannya. Tanpa sungkan segera berjalan
masuk rumah mencari kamar tidur untuk istirahat. Segera mengeluarkan isi
kopernya, kemudian memberikan Sheena cokelat, boneka, mainan terbaru seperti
pistol dan mobil-mobilan. Sementara Sheena sendiri kebingungan tidak mengenal
siapa orang di depannya. Tekanan darah Brielle memuncak melihat tamu tanpa
sopan santu memasuki rumah.
“Kau siapa?” tegur Brielle.
“Iyah betul, paman itu siapa?” Sheena tetap memegang
cokelat di tangannya.
“Papi dan mami dimana?” tegur Deva terhadap gadis
kecil depannya.
“Siapa itu papi mami?” sheena balik bertanya.
“Hei, rumah ini bukan milikmu, lantas seenaknya
memasuki kamar dan…” geram Bril.
“Tenang, paman
bukan orang jahat gadis kecil” senyuman Deva tetap menyebar. Setengah
jam kemudian, Darel dan Gi sudah kembali setelah menyelesaikan sebuah urusan.
Mata Gi hampir tak mempercayai siapa sekarang berada dalam rumahnya. Sementara
Darrel hampir tak mempercayai melihat istrinya berpelukan bersama pria lain.
Sampai detik sekarang, Darrel belum mengenal secara pasti wajah adik kandung
istrinya sendiri.
“Kenapa kau bisa mengetahui alamatku?” Gi terus saja
memeluk Devanya.
“Apa itu mantanmu kemarin?” Darrel sedikit risih
melihat adegan depan matanya.
“Ayah, mantan itu apa?” bisik Sheena.
“Kakak, mantan kakak ipar keren amat, sedang
ka’Darrel sendiri dekil bahkan jelek” sindiran Brielle.
“Bril, bisakah membuatkan segelas kopi panas buat
dia!” perintah Gi,
“Bisa sekali” segera Brielle menuju dapur. Gillia
memperkenalkan Deva kepada keluarga kecilnya. Darrel baru pertama kali melihat
wajah adik iparnya, jadi wajar jika mereka tidak saling mengenal. Deva
menceritakan bagaimana segala keadaannya selama berada di Negara orang. Sebelum
kembali menyewah detektif mencari keberadaan kakaknya.
“Bagaimana kabar papi?” Gi tidak pernah mendengar
lagi kabar orang tuanya…
“Justru ka Gi’ lebih tahu keadaan mereka” balas
Deva.
“Kau tahukan, kalau papi dan mami tidak ingin
melihatku menginjakkan rumah lagi” jawaban Gi. bercerita banyak tentang dunia
skenario, hingga berhasil membuat seluruh perusahaan menolak Darrel sebagai
karyawan. Deva menyadari dunia orang tuanya lebih berfokus pada status social
bukan bercerita tentang seni hidup.
“Ka’Darrel, terimah kasih karena membuat kakakku
memahami petualangan” perkataan Deva mengarah pada Darrel.
“Memang apa yang telah kuperbuat?” Darrel tak paham…
“Sebelum mengenal ka’Darrel, dunia ka’Gi mirip
bahkan sebelas dua belas ma karakter papi, tetapi sekarang berbanding
terbalik…” senyum Deva mengalir bagaikan model ternama.
Devanya menyodorkan bantuan untuk membantu
perekonomian kakaknya, tetapi Darrel menolak. Prinsip Darrel adalah mandiri,
bukan bercerita tentang mendapat simpatik sekalipun dari keluarga. Gi mengerti
jelas bagaimana karakter sang suami, serta setiap hal terkecil dari diri
seorang Darrel.Sekalipun mereka membutuhkan uang, terlebih Darrel masih
membiayai adiknya yang masih kuliah. Ayahnya memohon, agar Darrel dan Brielle
mau membantu biaya kuliah 3 saudara tirinya sampai selesai. Setidaknya Vanya,
Moli, Zeo tidak mengikuti jejak kakaknya yang lain. Mereka harus memiliki pendidikan sama seperti Darrel
dan Brielle.
Beberapa tahun ini, Darrel berusaha mengatur
keuangan setidaknya cukup bagi istri dan anaknya, juga biaya kuliah adiknya.
Bersepakat bersama Brielle, kalau biaya pendidikan mereka dibagi. Biaya
pendidikan Vanya ditanggung oleh Darrel, sedangkan permasalahan kuliah Moli
merupakan kewajiban Brielle. Untuk permasalahan Zeo menjadi beban bersama bagi
Darrel dan Brielle.
“Kenapa kau tidak mau menerima bantuan Deva?”
pertanyaan Gi terhadap suaminya.
“Gi, pasti sadar kalau pernikahan kita berdua tanpa
restu orang tuamu. Sekarang andai kata, orang tuamu menyadari adikmu memberi
bantuan, pasti mereka semakin merendahkan saya sebagai suami dari anaknya.
Ngerti” jawaban Darrel.
“Tapi Sheena juga butuh biaya,” ungkap Gi menunduk.
“Gi, berjanjilah seperti apapun biaya yang kita
butuhkan jangan pernah meminta bantuan dari orang tua atau adikmu. Setidaknya
keluarga kecil kita belajar warna-warna pelangi, jauh lebih baik Gi berada
dalam kamar berseru kepada Tuhan, tetapi tidak berpikir mencari bantuan terhadap
orang tua atau adikmu.” Perkataan Darrel berusaha membuat Gi memahami tentang
situasi keluarganya.
“Tapi kalau hanya berdoa semata tidak akan
menghasilkan apapun. Berdoa dan berusaha harus diseimbangkan.” Ucap Gi melirik
Darrel.
“Tetapi tidak bercerita meminta bantuan terhadap
orang tua atau adikmu. Biarlah kau menjadi pondasi dengan cara lututmu
bertelut, sedangkan saya sebagai suami akan berusaha. Berarti seimbangkan
antara doa dan berusaha?” jawaban Darrel bagi istri tercintanya.
“Kau selalu seperti ini” nada suara Gi..
“Sejak awal orang tuamu membenci diriku, sekarang
andai kata kau meminta bantuan mereka, maka pikiran negative pasti muncul. Jauh
lebih baik Gi menangis di kaki Tuhan, dibandingkan sekedar mengemis bantuan
pada orang tua.” Bahasa Darrel memegang teguh prinsip tertentu.
“Gi harus sabar, menunggu waktu Tuhan datang
mengangkat derajat hidup kita. Lagian apa arti kemewahan, kalau hidup tak
pernah mengerti tentang sebuah proses serta warna-warna pelangi.” Tambahan
kalimat Darrel terhadap istrinya kembali.
Selama ini Gi berusaha mengatur keuangan bagi
kehidupan keluarga kecilnya. Sesuai petunjuk Darrel, setiap hasil pendapatan
segera dibagi pada beberapa tempat. Menyiapkan beberapa celengan dan juga
amplop kemudian menyelipkan hasil pendapatan suaminya. Menyelipkan biaya
sekolah Sheena pada sebuah celengan sekalipun tidaklah seberapa, tetapi jika
dikumpul dapat menajadi bukit. Mengatur untuk biaya kuliah Vanya dan Zeo sesuai
kesepakatan bersama Brielle. Memberi pendapatan juga dalam perbendaharaan rumah
Tuhan dan kegiatan social walau tidaklah seberapa. Memisahkan untuk kebutuhan
sehari-hari, lampu, dan listrik.
Devanya beralasan terhadap orang tuanya ingin hidup
mandiri, sehingga dapat tinggal bersama kakak dan keponakan kecilnya. Bermain
bersama Sheena menciptakan tawa bagi Deva. Membawa Sheena berada di kantor,
atau sekedar mengajaknya berkeliling
taman bermain, pusat perbelanjaan, restoran, dan masih banyak lagi.
“Paman, makanannya enak” Sheena menikmati makanan
yang terhidang depan mata.
“Habiskan, semua ini buat keponakan kecilku” ucap
Deva.
“Paman, selesai makan pergi ke toko buku beli buku”
Sheena berkutik…
“Sheena sudah bisa baca memang?” celoteh Devanya.
“Astaga, setiap minggu ayah dan bunda memberikan
buku bacaan terbaru.”
“Paman Tanya, sudah bisa baca atau belum?” Deva gemmes melihat keponakannya.
“Sudah bisa baca, bunda ngajarin” Sheena terus
memasukkan makanan ke mulutnya.
“Umur 3 tahun” ucap Deva terkejut. Namun, hal
seperti itu bukan permasalahan bagi Gi, dikarenakan sewaktu kecil Sheena dan
bundanya sebelas dua belas. Kebiasaan Gi sebagai manusia kutu buku sepertinya
mengikut ke anaknya. Deva mengajak keponakan kecilnya menuju pusat perbelanjaan
demi memberikan Sheena pakaian-pakaian mahal. Tiba-tiba Brielle hadir di tengah
mereka memasang raut wajah tidak suka…
“Tante Bril” sapa Sheena memeluk Brielle.
“Saya tidak melarang anda sebagai pamannya
membelikan Sheena pakaian-pakaian atau apapun. Hanya saja jangan melewati batas, kenapa? Karena
ka’Darrel dan ka’Gi pasti ngambek” teguran Brielle terhadap Devanya.
“Memang salah?” pertanyaan Devanya, sedangkan
Brielle hanya menggeleng-geleng kepala menjawab pertanyaan Devanya.
“Tidak ada kesalahan sih, hanya saja ka’Darrel sejak
kecil mengajarkan Sheena memakai barang-barang sederhana tanpa harus
benar-benar bermerk luar biasa. Bukan permasalahan biaya juga, tetapi…”
kalimat Brielle terpotong.
“Tetapi apa?” Tanya Devanya.
“Seorang anak jangan dibiasakan memakai benda-benda
bermerk sejak kecil, entah itu pakaian, sepatu, hp, dan banyak lagi, kenapa?
Biar besar dia terbiasa terhadap sebuah keadaan tanpa harus mengikut
teman-temannya, segala sesuatu harus mengikuti merk atau trend fashion terbaru,
menurut ka’Darrel” penjelasan Brielle.
“Segitunya juga” ujar Devanya.
“Apa kau tidak melihat kehidupan anak zaman
sekarang? Kebiasaan buruk, segala yang mereka miliki harus benda-benda bermerk,
sampai-sampai menjajahkan diri demi hal seperti itu. Bukan juga permasalahan
seperti itu sih, tetapi sekalipun tangan dapat membeli, tetapi sang anak
belajar untuk berada pada area kesederhanaan.” Ucap Brielle lagi.
“Pantes saja ka’Gi sampai rela mengorbankan semuanya
demi menikahi kakakmu”
“Kakakku sejak dulu selalu terlihat dewasa,” Brielle
memahami dengan betul karakter kakaknya dan bagaimana memperlakukan atau mendidik anaknya sendiri.
Gi banyak bercerita tentang Brielle terhadap Deva.
Tempat tinggal Deva tidak lagi berada di sebuah apertement mewah, melainkan
rumah sederhana bersama kakaknya. Gi merencanakan sesuatu hal, yaitu ingin
menjodohkan Deva dan Brielle. Pada dasarnya, Deva tidak pernah sadar tentang
tentang perjodohan yang direncanakan sepihak oleh kakaknya sendiri.
Gi membuat alur cerita tanpa sepengetahuan Darrel
demi menjodohkan adiknya dan Brielle. “Andai kata, ayah Sheena menyadari
skenario yang kubuat pasti ceramah panjang kali lebar lagi” menyadari betul
karakter suaminya seperti apa. Terkadang Gi berpikir, kalau suaminya itu lebih
cocok menjadi seorang biksu, pendeta, ustads, pastur sekalian. Tidak dapat
disangkal seorang Gi berubah melalui tangan pasangan hidupnya sendiri. Namun,
permasalahan jodoh menjodohkan suaminya tidak boleh masuk bahkan menyadari
semua itu.
“Bril, segera ke rumah!” perintah Gi melalui telepon. Seperti biasa Gi menciptakan alur
percintaan antara adik kandung ipar sendiri.Deva lebih banyak menghabiskan
waktu bersama keponakan kecilnya, dibandingkan menyelesaikan permasalahan
kantor. Terkecuali meeting tak terduga atau pertemuan sesame klien untuk melakukan
kerja sama. Mengantarkan dan menjemput Sheena menuju sekolah taman kanak-kanak.
Gi mengatur pertemuan tak terduga antara adik dan iparnya sendiri.
“Brielle gadis pintar, dewasa seperti Darrel” Gi
membayangkan bagaimana mereka berdua dapat bersatu. Beberapa mantan Deva
hanyalah bagian dari manusia-manusia kacau, yang dibutuhkan sebagai pasangan
adalah bagaimana menjadi suatu pondasi. Deva mulai menaruh rasa curiga juga
kejanggalan dari beberapa kejadian. Seakan kakaknya merencanakan tindakan
terselubung.
“Ka’Gi harus mengakui sesuatu terhadap saya?”
pertanyaan Dave mencari jawaban.
“Tentang apa Deva? Gi balik bertanya.
“Kakak sengaja kan mempertemukan saya dan Bril?”
“Maksudnya?” Gi menghentikan aktifitas memasaknya di
pagi hari, sedangkan Darrel sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali. Devanya
menjelaskan pertemuan tak terduga setiap saat dengan Brielle, seakan telah
terencana sebelumnya. Mempelajari gerak-gerik kakaknya hingga menarik
kesimpulan.
“Ka’Gi ingin menjodohkan saya dengan Bril? Jujur saja,
ga usah berbelit-belit”
“Memang kenapa kalau yah? Ada yang salah?” Gi tidak
dapat mengelak lagi. Devanya tertawa sejadi-jadinya mendengar kalimat kakaknya.
Memilih mengikuti pilihan Gi atau orang tuanya , sedangkan Devanya dijodohkan.
Membayangkan hidup Deva seperti kakaknya terbuang, menikmati suasana
kemiskinan…
“Kakak ngerti pilihan papi seperti apa? Hingga detik
sekarang papi tidak ingin melihat wajah ka’Gi karena lebih memilih menikahi
manusia miskin seperti kakak ipar.” Ungkapnya.
“Darrel boleh miskin, setidaknya suamiku memiliki
kualitas hidup jauh dari semua pria di dunia ini. Saya tidak pernah menyesal
membuat keputusan terbodoh seperti sekarang” kata-kata Gi terhdap Devanya.
“Kakak yang mau jadi miskin selamanya, kenapa adikmu
kebawa juga?”
“Deva kemarin dan sejarang sudah berubah” mimic
wajah Gi berubah, seolah membandingkan…
“Tidak ada perubahan baik kemarin maupun sekarang,
permasalahannya papi bisa jantung melihat kedua anaknya lebih memilih pilihan
sendiri ketimbang orang tua” tutur Deva.
“Bril termasuk kategori cantik, berprestasi, pintar,
dewasa, permasalahannya Cuma satu karena perbuatan papi dia sampai detik
sekarang menjadi penjaga toko.” Pernyataan Gi.
“Papi menyusun skenario paling kejam sampai
segitunya,” Devanya sedikit histeris mendengar karakter orang mereka. Bukan
permasalahan devanya ingin menolak, tetapi menumbuhkan perasaan membutuhkan
waktu dan proses.
“Memang Bril naksir? Setahuku dia termasuk salah
satu kategori manusia paling sulit untuk
ditaklukkan.” Suara Devanya seakan menyetujui permintaan kakaknya. Gi tersenyum
mendengar pertanyaan adiknya sendiri.
“Tenang saja, kau hanya butuh berjuang, setidaknya
mencoba dari pada tidak sama sekali. Berhasil atau tidak, serahkan kembali sama
Tuhan! Kalau berhasil berarti Bril jodoh terbaik untukmu, tetapi jika tidak
mengucap syukurlah dalam segala hal.” Jawaban Gi.
“Ka’Gi yang ngejodohin, malah saya harus berjuang,
terus kalau gagal, sampai segitunya juga” Devanya hanya memutar-mutar mainan
Sheena.
“Saya tahu sifat Bril, masalah papi menjodohkan, kau
bisa menyusun rencana biar batal total. Deva, kalau ada yang lebih baik, kenapa
harus mengambil langkah salah bagi jalan hidupmu sendiri” ucapan Gi terhadap
Devanya.
“Menikah itu sacral, jangan lakukan berulang kali.
Bukan permasalahan uang,fisik, ketenaran, seberapa sempurnanya seseorang
melainkan kuantitas nilai dalam dirinya, apakah dapat membuatmu tetap berada
pada area tertentu atau melewati batas yang telah Tuhan tetapkan.” Kembali Gi
berkata-kata bagi Devanya.
“Saya ikut pilihan kakak, permasalahan jadi miskin
itu tidak mungkin sepertinya” penuh rasa percaya diri bercerita. Devanya
menyadari bahwa segala ucapan kakaknya memang betul, kembali pada pribadi
sendiri. Permasalahan pilihan hidup ada di tangan, apakah menginginkan sekali seumur
hidup atau lebih dari itu? Hanya membutuhkan perjuangan, kemudian akhir cerita
menggenggam sesuai keinginan hati.
Lain sisi Devanya mengikuti pilihan kakaknya tetapi
melalui perjuangan, tetapi disisi lain bersiap-siap menyusun skenario lebih
jenius lagi demi menggagalkan pertunangan yang akan diselenggarakan oleh pihak
orang tuanya. Sementara Brielle tak pernah menyadari hal-hal ganjil antara
saudara iparnya dan Devanya. Salah satu tujuan Devanya pun adalah permasalahan
Sheena, meminta izin setidaknya hidup dalam keluarga Azaria. Darrel terlebih Gi
tidak menyetujui hal tersebut, rasa khawatir bermain jauh lebih kuat.
Devanya berusaha menjelaskan bahkan meyakinkan, agar mau mengizinkan Sheena mengenal opa dan
omanya. Walau harus mentupi identitas Sheena untuk beberapa saat, hanya sekedar
memperkenalkan gadis kecil merupakan cucu mereka. Sebelum meninggalkan rumah, Darrel
berpesan terhadap Sheena tidak boleh berucap nama orang tuanya sedikitpun.Jadi, selama tinggal dalam istana
besar, Sheena hanya boleh menyebut kata bunda maupun ayah tetapi bukan nama
orang tuanya.
“Sheena, akhirnya sampai juga” Devanya menggendong
tubuh mungil Sheena memasuki istana besar seribu kali lipat lebih luas dari
rumahnya.
“Paman, apa kita berada di surga sekarang?” mata
Sheena tak berkedip menyaksikan pemandangan istana, sedangkan Devanya sendiri
tertawa.
“Betul Sheena kalau kita lagi berada di surga”
balasan Devanya. Menyuruh para pelayan menyiapkan kamar terbaik bagi keponakan
kecilnya. Sheena berlari kecil segera menuju dapur membuka kulkas demi melihat
aneka jenis makanan. Mengambil seluruh buah, ice cream, brownis, coklelat, dan
masih banyak lagi. Wajah Sheena blepotan karena cokelat memenuhi dirinya.
“Paman, disini benar-benar surga” suara nyaring
Sheena memenuhi ruangan.
“Memang surga tingkat tidak jelas Sheena” kalimat
Devanya memeluk keponakan kecilnya. Membiarkan Sheena melakukan apapun sesuka
hati, membuatnya mengenal istana yang pernah menjadi memori bagi bundanya
sendiri. Semula istana tersebut tanpa suara, sunyi bahkan seakan angker, kini
suara tawa seorang anak merubah semuanya.
“Suara siapa ribut-ribut seperti ini?” mendengar
nada suara menakutkan dari Azaria, sedangkan seluruh pelayan terdiam seketika.
“Deva, kenapa baru pulang?” kembali nada suara
mengerikan mulai terdengar.
“Paman, mungkin ini perbatasan neraka menuju surga”
bisik Sheena bersembunyi di belakang Deva melihat sosok menakutkan Azaria.
“Kenapa bisa?” Tanya Devanya berbisik.
“Karena wajah opa tua disana seperti neraka” tawa
Devanya meledak tanpa memperdulikan pertanyaan orang tuanya mendengar jawaban
Sheena.
“Deva, apa dia anakmu?” Azaria menduga Deva
menghamili seorang wanita…
“Betul, Sheena anakku” candaan Devanya membenarkan
ucapan Azaria. Istana akan berakhir menjadi sebuah kegeraman. Devanya berusaha
menjelaskan kalau ayah Sheena menitipkan selama beberapa waktu. Hanya bahan
candaan jawaban Devanya sebelumnya…
“Kenapa harus kau yang menjadi pengasuh anak ini?”
Azaria sekarang berubah total, semenjak Gi harus keluar dari rumah. Sheena
terus saja bersembunyi belakang Devanya, rasa takut menghimpit dirinya.
Mengintip-ngintip sesekali wajah pria paruh bayah depannya…
“Sheena, jangan takut” mengangkat tubuh mungil Sheena
untuk mengenalkannya pada Azaria, walau melalui sebuah skenario.
“Neraka neraka neraka paman” teriak Sheena terus
saja menutup wajahnya memakai tangan mungilnya dalam gendongan Devanya. Seluruh
pelayanberusaha menahan tawa, bahkan beberapa dari mereka segera berjalan
keluar hanya ingin melampiaskan tawa.
“Kau berkata neraka?” Azaria tersinggung mendengar
ucapan tesebut.
“Setidaknya papi tersenyum sekali-sekali, lihat
Sheena jadi ketakutan” sindir Devanya.
“Memang dia cucuku harus tersenyum?” rasa gerah Azaria,
sedangkan istrinya masih berada di luar rumah.
“Opa, apakah dosamu banyak sekali sampai wajah dan
suaramu seperti berasal dari neraka?” wajah Sheena masih tertutup, sesekali
mengintip. Antara marah, kesal, juga gemmes melihat tingkah gadis kecil di depannya,
itulah yang dirasakan Azaria. Seakan dia sesuatu yang membuat dia tak dapat
meluapkan amarahnya. Selama berada dalam istana besar, Sheena menghabiskan
waktu membaca, karakter kutu buku benar-benar mirip Gi. ibu Azaria sendiri
tidak merasakan kesepian sedikitpun semenjak kedatangan Sheena.
Mereka tak pernah sadar, Sheena merupakan bagian
terpenting dalam istana tersebut. Ibu azaria menyukai setiap tingkah Sheena,
cara gadis kecil tersebut mengungkapkan segala sesuatu dari hatinya. “Ayah dan
bundaku berasal dari surga, beda dengan opa berasal dari neraka” memasukkan ice
cream ke dalam mulutnya. Wajahnya selalu saja blepotan…
“Kalau wajah oma gimana?”pancing ibu Azaria tak
pernah marah melihat kelakuannya.
“Wajah oma pertengahan surga dan neraka, mau ke
neraka juga salah trus ke neraka salah juga” jawaban Sheena memperhatikan wajah
ibu Azaria. Devanya tertawa habis-habisan memenuhi seluruh ruang. Tidak pernah
berpikir membayangkan Sheena berkelakuan polos. Seiring waktu berlalu, hati Azaria
mulai luluh oleh perlakuan Sheena. Tidak menyadari jika gadis kecil depannya
merupakan cucu kandungnya sendiri. Tawa Azaria mulai mengembang oleh karena
kehadiran seorang gadis kecil di istananya.
BAGIAN 13…
GILIA…
Membiarkan Sheena menginjakkan kaki, tempat dimana
seorang Gi hidup sejak lahir hingga dewasa. Suasana rumah berubah menjadi sunyi
tanpa kehadiran Sheena, hanya terdengar suara gonggongan anjing kecilnya. “Kau
pasti merindukan Sheena?” anjing kecil gadis kecilku diberikan oleh ayahnya sebagai
kado ulang tahun paling spesial. Darrel sangat menyayangi Sheena, raut wajahnya
terlihat kesepian tanpa kehangatan gadis kecilnya.
Devanya banyak bercerita kejadian-kejadian lucu saat
Sheena berhadapan dengan opanya sendiri. Minimal, papi dapat memeluk cucunya
sendiri, walau melalui skenario dari Devanya. Seperti biasa suami tercintaku
terus saja menelpon gadis kecilnya walau memakai nama samaran. Darrel terlihat
bersemangat jika tidak mendengar suara gadis kecilnya dalam satu hari.“Sheena,
jangan habiskan semua cokelatnya,ngerti?” tengah malam menelpon putri
kesayangannya.
“Ini jam tidur anakmum jangan mengganggu dia!”
menegur Darrel.
“Memang kenapa? Seorang ayah harus mendengar suara
gadis kecilnya walau Cuma sebentar” cetus Darrel segera mengambil membungkus
diri dengan selimut tebal.
“Tidurlah, istriku sayang besok kau harus bangun
pagi-pagi” memejamkan mata tanpa memperdulikan diriku disampingnya.
“Tunggu-tunggu,” beberapa menit memejamkan mata,
tetapi mengagetkan diriku berteriak tiba-tiba. Kupikir dia sudah tertidur
lelap, tetapi apa yang terjadi tangan Darrel segera menekan sebuah nomor pada
telepon genggam miliknya.
“Sheena, jangan lupa bangun pagi-pagi buat doa yah!”
suara seorang ayah bagi gadis kecilnya. Saya pikir ada sesuatu hal terjadi,
ataukah dia bermimpi buruk…
“Sheena sudah tertidur,” tegurku terhadap Darrel.
“Saya masih mendengar suaranya,” balas Darrel.
“Paling sekarang dia mendengkur, terus membuat peta
pada bantal-bantal sekitarnya melalui ilernya itu. Kemungkinan sekarang Sheena
sudah membuat peta benua Eropa, Amerika, Asia, atau Afrika.” Bayangan gadis
kecilku membuatku tertawa sendiri. Tinggal dalam sebuah istana besar,
menganggap sebagai surga bagi pemikiran seorang anak kecil.
“Bunda, jangan memarahi ayah, ngerti!” Darrel memperdengarkan
suara Sheena melalui speaker hand phone. Wajah Darrel tersenyum ria mendengar
gadis kecilnya selalu menjadi pembela sejati luar dan dalam.
“Sheena, tidurlah sekarang sudah jam berapa!”
perintahku melalui telepon celuler.
“Baik bunda, I love you, night” kalimat terakhir
Sheena. Telepon genggam segera mati dalam sekejap. Ayah dan anak benar-benat
bekerja sama walau di tempat terpisah saat ini.
“Gi, sejak kecil Sheena harus terlatih untuk mencari
wajah Tuhan melalui doa pada pagi hari. Jadi, kesimpulannya sebagai ayah yang baik
harus mengajar, mengingatkan dia biar cepat-cepat bangun di pagi hari untuk
berdoa.” Memberikan kehangatan melalui pelukannya. Dia selalu berpikir tentang
pembentukan gadis kecilnya mulai dari sejak dalam kandungan. Mengarahkan,
melatih, membentuk dunia Sheena tanpa harus membuatnya berada dalam tekanan.
Disaat tertentu bertindak disiplin lebih tepatnya keras hanya memegang rotan,
gadis kecilnya menjadi takut.Tidak lama kemudian, kembali menjadi sahabat
terbaik bagi Sheena.
Suatu hari kelak, papi pasti bangga mempunyai
menantu seperti Darrel. Selalu terlihat bijak sebagai ayah untuk gadis kecilnya, juga sebagai suami terbaik bagi
hidupku. Dari segi materi suamiku hanya berada pada garis kelas ekonomi rendah,
tetapi dia memiliki kuantitas nilai terbaik diantara semua pria. Sebagai ayah
terbaik, melatih gadis kecilnya untuk belajar memberi sekalipun diri sendiri
serba kekurangan.
“Tuhan, setidaknya sifat Sheena mengikut jejak
ayahnya, amin” isi doaku setiap hari tanpa pernah bosan di hadapan Tuhan.
Keluarga kecilku memiliki pondasi terkuat, walau tanpa materi berlimpah.
Pagi-pagi sekali, kami dikejutkan suara ketukan
pintu yang terdengar jelas. seseorang
mengetuk pintu rumah, namun entahlah siapa yang ada di depan sekarang? Segera
berjalan menuju suara pintu tersebut, mataku terkejut melihat siapa yang sedang
mengetuk…
“Selamat pagi Gi,” sang ceo glass corporation
menyapaku pagi-pagi buta setelah bertahun-tahun saya tidak pernah melihat
wajahnya. Pak Morisberkunjung ke rumah pagi-pagi sekali, entah bagaimana ia
bisa mengetahui alamat kami. Glass corporation hanya kenangan semata…
Pak Moris menjelaskan maksud kedatangannya sehingga
berjuang mencari alamat rumahku. Menginginkan saya kembali bekerja sebagai
manager glass corporation, demi memperbaiki perusahaannya di unjung
kebangkrutan. Awalnya saya berusaha keras untuk menolak, tetapi beliau berlutut
di hadapanku agar mau kembali berperan sebagai manager perusahaan. Membayangkan
kami hidup dalam pergumulan uang, juga permasalahan biaya kuliah kedua adik
iparku sekarang. Darrel tak pernah menyangka hal seperti ini akan terjadi…
“Bagaimana dengan ancaman papi saya beberapa tahun
lalu?” tanyaku.
“Saya tidak perduli lagi permasalahan kemarin,
intinya saya tidak ingin mengulang kesalahan terbesar kemarin dengan cara
mengikuti segala keinginan orang tua
anda. Perusahaan saya membutuhkan skil seperti anda” perkataan pak Moris.
“Lantas bagaimana dengan suami saya?”
“Gi” Darrel
memberi isyarat.
“Jauh lebih baik jika kalian berdua kembali berperan
aktif dalam mengembangkan glass corporation” jawaban pak Moris.
“Saya tidak ingin kembali,” kalimat Darrel.
Bertahun-tahun berprofesi sebagai penjual ikan keliling, ada kemungkinan tidak
ingin melepas usaha yang telah dirintisnya.Darrel tetap membebaskan saya menjalani karir, baginya semua kembali pada
pribadi masing-masing. Sheena pun sekarang berusia 3 tahun, berarti lepas ASI
sejak 2 tahun lalu. Andai kata gadis kecilnya masih memerlukan ASI ekslusif
tentu Darrel akan menolak mentah-mentah.
Bermohon setidaknya Darrel mau kembali merupakan
sesuatu hal paling tersulit, tetapi akhir cerita berhasil. Kami kembali bekerja
pada glass corporation demi mengembalikan kejayaan perusahaan tersebut. Sesuai
skenario antara saya dan Devanya, akhir cerita Brielle menjadi bagian
terpenting dari perusahaan besar. Tidak lain merupakan perusahaan yang dikelola
oleh Devanya sendiri, otak Brielle jauh lebih cerdas dari adikku.Setidaknya pendekatan adikku berhasil untuk mengejar
Brielle sebagai pasangan. Di lain hal, membayar beberapa orang untuk
melanjutkan usaha jualan ikan sekitar pasar dan keliling.
Ketika berada di kantor kedudukan dan pendapatanku
pada dasarnya lebih tinggi dibandingkan suamiku sendiri. Saya berperan sebagai
manager , sedangkan Darrel masih tetap berada di bawahku. Dia biasa saja
mendengar bagaimana semua orang bercerita tentang perbedaan pendapatan kami
berdua. Satu hal, saya tetap menghormati dia seutuhnya sebagai kepala keluarga
dan merupakan ayah dari gadis kecilku. Tidak berarti sebagai istri dengan
kedudukan lebih tinggi dibanding suami, saya menginjak-injak harga dirinya
“Saat berada di kantor, Darrel hanya anak buahku semata, tetapi ketika saya kembali ke
rumah…” pernyataanku terhenti. Tanganku tetap berusaha memasak dan
mempersiapkan makanan kesukaannya, membuatkan kopi panas, mencuci dan menyetrika
pakaiannya, bahkan tetap melayani Darrel tanpa menganggap kedudukanku jauh
lebih tinggi.
“Kembali ke rumah terus…” ungkap Darrel.
“Darrel merupakan kepala keluarga terbaik,
setinggi-tingginya kedudukan seorang wanita tetapi ketika dia kembali ke rumah
posisinya dituntut untuk menghormati sang suami. Ngerti?” ucapku.
“Kirain mau seperti sinetron suami dibawah ketek
istri” sindir Darrel.
“Saya juga maunya seperti itu, berhubung suamiku
dewasanya minta ampun mana mungkin memperlakukan keanehan seperti itu. Setinggi
apapun jenjang karir seorang istri dibanding suami, tetapi kodrat tidak bisa
dilawan ketika memasuki rumah.” Penjelasanku.
“Istri terbaik, memang” godaan Darrel. Inilah
kehidupan rumah tangga kami, bagaimana menyingkapi sesuatu di depan mata. Oleh
karena beberapa kesibukan untuk beberapa saat, hingga Sheena harus tetap
bertahan dalam sebuah istana besar. Devanya banyak bercerita, papi mulai
mengalami perubahan setahap demi setahap. Sampai detik sekarang, papi dan mami
tak pernah menyadari Sheena merupakan cucu kandungnya sendiri.
Tanpa sepengetahuanku, ternyata Darrel menyertakan
diri pada salah satu perlombaan desain kota yang terselenggara oleh sebuah
organisasi internasional. Gabungan seluruh Negara mengikut sertakan hasil
karyanya dalam bentuk desain kota. Tanpa
sengaja maataku beralih pada robekan kertas begitu banyak setiap malamnya.
Darrel terus bergelut mencari sebuah karya demi memenangkan perlombaan tersebut.
Glass corporation banyak mengalami perubahan disaat seorang Darrel berkata-kata
tentang sebuah skil.
“Apa ini?” pertanyaanku terhadap Darrel
mengamat-amati depan mataku.
“Bukan apa-apa, tidurlah!” perintahnya.
“Jujur padaku, apa yang kau sembunyikan” nada
ucapanku mencurigai sesuatu.
“Setiap malam robekan kertas dimana-mana, ada
sesuatu yang kau sembunyikan” pancingku kembali.
“Bukan apa-apa” balas Darrel.
“Selama menikah seorang Darrel selalu berkata jujur
dan apa adanya, kejujuran merupakan pondasi rumah tangga, jadi kau mengerti
maksudku?”
“Gi, bukan apa-apa” kembali Darrel berkata-kata.
“Kau selalu mengajarkan Sheena tentang banyak hal,
bagaimana andai kata ayah terbaik gadis kecilku menjadi sandungan terbesar?”
ungkapku.
“Baik, saya akan jujur Gi” ucapnya.
“Silahkan berbicara sekarang bos!” peintahku.
“Saya mengikuti perlombaan desain kota di luar
negeri, jadi setiap malam tanganku terus mencari sebuah karya terbaik demi
memenangkan perlombaan tersebut” jawaban Darrel tak bisa mengelak.
“Oh begitu, coba beritahukan padaku konsep yang akan
kau terapkan?” ucapku.
“Sesuatu yang berbeda dan bukan pasaranlah sama
seperti ucapanmu beberapa tahun lalu,” suara Darrel menjelaskan.
“Maksudmu?” tanyaku.
“Sampai sekarang saya masih ingat ucapanmu, cara
mempertahankan, membuat terobosan, dan karya terbaru tetapi tidak bersifat
pasaran” penjelasan Darrel kembali.
“Berarti penuh makna mendalam” pancingku mencoba
menjadi istri terbaik membantunya mengejar mimpinya selama ini. Beberapa tahun
hanya berperan sebagai penjual ikan keliling, dan jalan ceritanya berbicara
tentang hal lain. Ayah Sheena mempunyai alur cerita lain dari siapapun…
“Seperti itulah” ucapnya.
“Bagaimana jika konsep yang ikut sertakan dimana
desain kotamu membentuk tanaman padi.” Ucapku mencoba membantunya.
“Maksudmu?”
“Sebuah kota membentuk tanaman padi dan sudah
berbuah.” Ucapku.
“Maknanya?” kalimatnya.
“Tanaman padi semakin berisi semakin merunduk.
Berarti kehidupan seseorang semakin ditinggikan oleh Tuhan, tetapi semakin merendahkan
hati tanpa pernah membusungkan dadanya ke depan untuk berucap kata AKU disetiap
aspek langkah hidup.” Ucapku.
“Kau betul juga” Darrel berteriak kegirangan mencium
pipiku berulang kali.
“Wow,” memegang wajahku seakan kami seperti
pengantin baru.
“Gi, berarti saya hanya perlu memikirkan beberapa
tempat sebagai objek tertentu dari desain kota hasil karya kita bersama” kata-kata
Darrel kembali memegang mouse computer guna mempelajari beberapa tempat.
“Objek tertentu?” memberikan segelas teh panas buatnya.
“Kenapa memberikanku segelas teh bukan kopi?”
menggerutu atas tindakanku.
“Kau sekarang lagi begadang, permasalahannya setiap
hari mengonsumsi kopi tanpa tidur bisa-bisa berabe buat kesehatanmu bos”
jawabanku menepuk pundaknya.
“Hubungannya dimana?” Darrel kebingungan.
“Begadang terus menerus berteman kopi berakibat
permasalahan jantung, saya belum kehilangan ayah terbaik dari gadis kecilku
Sheena” duduk di hadapan Darrel menjelaskan.
“Istri perhatian, btw, kembali pada permasalahan
semula” Darrel menatapku.
“Okey, permasalahan objek tertentu?” gumamku seperti
sedang berpikir.
“Gi, desain kota tidak akan menarik jika tidak
memiliki beberapa objek, ngerti?”
“Darrel, coba sebutkan objek tertentu itu seperti
apa?”
“Objek tertentu itu dapat berupa alat terbaru pada
sekitar jalanan mungkin, menara, taman, bandara, pelabuhan, jenis pasar,
perpustakaan, museum, atau apalah yang dapat menjadi pusat perhatian sebuah
kota.” Memutar balik kursinya ke kiri
dan kanan.
Tanganku segera mengambil selembar kertas, “Berarti,
desain ini harus memainkan secara keseluruhan atau beberapa objek yang kau
katakana tadi” kalimatku.
“Saya juga tahu, permasalahannya jenis desainnya
seperti apa, istriku tersayang?”
“Berarti kau harus membuat konsep yang mana saling
berkaitan antara tumbuhan padi dan objek lainnya” ucapku.
“Itulah masalahnya, sedangkan hasil karyaku harus
secepatnya terkirim dalam 2 minggu terakhir ini keluar” tangan Darrel memainkan
pulpen didepannya.
“Sesuai konsep tumbuhan padi, berarti kau harus
lebih berpusat pada tempat-tempat umum seperti bandara, perpustakan, museum,
jalanan, dan pasar tradisional”
“Saya punya ide, khusus konsep jalanan terdapat
tangga lift khusus pengguna kendaraan demi menghindari macet, sedangkan konsep
desain jalanan dibuat unik seakan membentuk sawah bersusun 7 tingkat. Jadi,
jalan raya ketika dilewati tetap sama
lurus, hanya saja system desain pada bagi luar atau samping kiri kanan 7
tingkat jalan raya tersebut akan membentuk susunan sawah seperti di sebuah
pedesaan.” Penjelasan Darrel mulai bersemangat. Ternyata otak jenius Darrel masih
terlihat, pada hal jauh berbeda saat kami masih remaja kemarin.
“Terus kenapa kau memakai konsep seperti ini?”
ucapku.
“Saling berkaitan, jalanan membentuk persawahan sama
seperti pedesaan berarti untuk menjadi seperti padi semakin berisi semakin
menunduk membutuhkan proses pertumbuhan terlebih dahulu. Dalam kehidupan
seseorang keangkuhan hidup dapat hancur dan mengerti kerendahan hati ketika
Tuhan membuatnya semakin tinggi kelak, pasti melalui proses jalanan panjang.
Pertumbuhan dimulai dari hal-hal terkecil kemudian terbentuk menjadi seperti
tumbuhan padi dan berakhir dengan sebuah istilah semakin berisi, maka semakin
merunduk.” Kata-kata Darrel mengajarkan hidupku tentang sebuah kehidupan.
Membayangkan presentase Darrel pertama kali demi
mempertahankan karyawan glass corporation beberapa tahun lalu, maknanya selalu
sama dan tidak jauh beda.Dia mempunyai imajinasi tinggi untuk tiap hal tak terduga.
Meyakini suatu hari kelak imajinasinya dapat terwujud melalui cara Tuhan yang
ajaib dan nyata dalam langkah hidupnya.Darrel menambahkan beberapa konsep pada
beberapa objek dari desainnya untuk diperlombakan. Perpustakaan merupakan salah
satu objek terpenting bagi desain kotanya. Dengan kata lain terdapat sebuah
perpustakaan unik di dalamnya.
Konsep desain perpustakaan bercerita tentang
bendungan sebagai aliran air menuju sawah demi pertumbuhan padi-padi sebagai
cadangan, sehingga tetap menghasilkan sekalipun bercerita tentang musim kemarau
tiba. Suatu perpustakaan membentuk sebuah bendungan, dengan bahan terbuat dari
kulit-kulit padi pada bagian luar dan dalam sebagai objek ketika semua mata
memandang.Tetap memakai bahan sama seperti bangunan lain, hanya saja sebagai
bagian luar menggunakan kulit bulir padi sesuai konsep. Perpustakaan merupakan
wadah untuk memahami makna kehidupan. Melalui membaca seseorang diajar untuk
mengerti tentang alur perjalanan dalam sebuah proses demi menjadi sama seperti
tumbuhan padi. Semakin berisi maka semakin merunduk, melalui salah proses yang
dikatakan membaca banyak kesaksian hidup banyak orang dan lain sebagainya.
Darrel mengambil konsep bendungan dalam desain
gedung perpustakaan, juga berkaitan akan proses perjalanan tumbuh kembang padi.
Sebagai penyimpanan aliran air pada musim kemarau. Ketika seseorang berhadapan
dengan sebuah permasalahan tertentu, dia mempunyai cadangan untuk menghadapi
setiap jalan keluar menuju perkembangan di depan matanya. Tidak pernah
sekalipun terlihat lesuh atau lemah, oleh karena cadangan penyimpanan berlimpah
dalam kehidupan orang tersebut.
“Darrel, selain perpustakaan desainmu membentuk
bendunngan, setiap jalan atau taman dari kota memerlukan sesuatu demi mempermudah
banyak orang untuk membaca.” Ucapku.
“Berarti, saya perlu menambahkan sebuah objek lain
lagi?” pertanyaan Darrel.
“Tepat katamu bos, sebuah penemuan tertentu”
jawabku.
“Tapi alat seperti apa?” Tanya Darrel.
“Sebuah alat yang dipasang pada setiap taman bermain,
taman bacaan, sudut jalan, pelabuhan, perpustakaan, dan lain sebagainya dimana
menyambungkan langsung dengan beberapa toko-toko buku. Jadi setiap orang tak
perlu lagi membeli buku di tempat tertentu dapat langsung berbelanja…” ucapku.
‘Coba jelaskan lebih detail!” kalimat Darrel.
“Sama seperti ATM, hanya saja alat ini bekerja sama
dengan beberapa toko buku yang menyetujui. Jadi seperti ini, terdapat sebuah layar pada kotak tersebut,
kemudian dibuatkan program jual beli. Jika seseorang ingin membeli sebuah buku,
hanya dengan mengetik judul buku dan nama toko sesuai petunjuk program pada
layar kemudian enter. Setelah itu, terdapat saluran bawah tanah saling
berhubungan antara satu dengan lainnya yang akan menarik buku tersebut menuju
tempat sesuai petunjuk layar.” Penjelasanku.
“Berarti, kotak tersebut dibuatkan saluran
terowongan untuk menghubungkan antara pos-pos objek tersebut dan toko-toko buku
yang ingin bekerja sama. System pembayaran dalam bentuk kartu atau tunai
melalui system yang telah diprogramkan mengikuti petunjuk layar computer.”
Ucapan Darrel mulai memahami ucapanku.
“Objek paling berperan dari desain kota adalah
sebuah menara, museum, dan sebuah pasar” kembali kalimatku memulai.
“Berarti saya membuat sesuatu yang baru lagi tetapi
saling berkaitan antara konsep desain kota dan objek tersebut, Gi”
“Tepat katamu bos” ucapku.
“Berarti menara tengah kota membentuk susunan ikatan
gabah berwarna kuning. Pada puncak kepala menara didesain lebih unik dengan
mengutamakan bulir-bulir bundaran gabah sekitarnya.” Tangan Darrel terus
memainkan pensil pada selembar kertas.
“Ketika gabah tersebut bertumpuk menjadi satu
terlihat penyatuan dari segala hasil hingga menjadi sebuah sinar dan inspirasi
bagi banyak orang. Warna kuning dari gabah bercerita tentang kemurnian hati
seseorang setelah melewati proses perjalanan panjang untuk menjadi sama seperti
padi.” Tambahan pernyataan Darrel kembali.
“Sepertinya untuk konsep desain museum membentuk
butiran rakasasa dari biji berasa padi masih terbungkus kulitnya. Kenapa
memakai bentuk seperti ini? Karena selain unik, juga bercerita tentang tempat
penyimpanan memori dari segala sesuatu yang pernah dialami. Museum merupakan
tempat penyimpanan barang-barang bersejarah bagi sebuah Negara. Seseorang
memiliki banyak memori masa lalu untuk menjadi
sama seperti padi, semakin berisi semakin menunduk dan tidak bercerita
kesombongan dalam perjalanan hidupnya.” Ucapku membantu Darrel penyelesaian
sebuah konsep desain kembali.
“Tepat sekali, museum membentuk sebii beras raksasa
masih terbungkus kulit berwarna kuning keemasan. Warna kuning bercerita tentang
kemurnian. Hanya tinggal konsep desain untuk pasar dari desain kota tersebut.”
Darrel terus saja memainkan keyboard komputernya.
“Darrel, bagaimana kalau bentuk desain pasar menyerupai
cangkul.” Ucapku.
“Hubungannya kemana dan larinya kemana?” mimic wajah
Darrel terlihat aneh.
“Kau tahu
fungsi sebuah cangkul untuk apa? Sebagai alat penggarap demi
menggeburkan tanah bagi proses penanaman bibit tumbuhan padi. Petani memakai
sebuah cangkul demi melakukan sebuah penggarapan. Dengan kata lain, desain ini
mempunyai makna pula, yaitu seseorang diajar untuk menjadi bagian dari sebuah
cangkul demi mengerti proses tahapan transaksi antara kemenangan dan kekalahan.”
Ucapanku kembali.
Pasar merupakan tempat transaksi jual beli
masyarakat dan pedagang dengan kata lain adanya transaksi pertukaran untuk
memilih antara kemenangan dan kekalahan. Demi mendapat hasil terbaik sebuah
cangkul bermanfaat pada pengolahan sawah. Berarti tanah biasa tetapi terjadi
transaksi penyuburan menjadi subur dan baik bagi penanaman bibit tanaman padi.
Segala sesuatu dari hidup tidak dikatakan secara langsung, tetapi terkadang
melalui sebuah alat tertentu demi mendapat hasil terbaik. Sama seperti tanaman
padi semakin berisi semakin menunduk, tumbuh berkembang melalui sebuah alat
dalam menggemburkan persawahan. Pengolahan dan proses luar biasa terus bermain
demi memahami arti kerendahan hati disaat Tuhan makin membuatnya menapaki
puncak demi puncak.
Berarti
sebuah kota membentuk tumbuhan padi, terdapat beberapa objek penting
sebagai perhatian mata semua orang. menara membentuk tumpukan ikatan gabah,
perpustakaan dalam bentuk bendungan, jalan raya terlihat seperti susunan sawah
bertingkat. Tidak lupa pasar tradisiional menyerupai sebuah cangkul, serta
museum membentuk sebuah butir beras raksasa masih terbungkus kulit. Bahan luar
dari konsep tersebut sebagian besar memakai kulit gabah sebagai pola hias demi
keunikan hingga terlihat berbeda dari semua tempat. Mempunyai makna mendalam
dari konsep desain kota tersebut, hingga dapat menambah cita rasa bagi para
wisatawan asing dari local maupun manca Negara.
“Wow, bunda Sheena memang jenius” pujian Darrel.
“Biasa saja, semua ini kau yang mengajarkan dunia seorang Gillia sejak remaja hingga
detik sekarang” memeluk pasangan hidup terbaik yang Tuhan kirim buatku.
“Terimah kasih, karena mau menerima hidupku sebagai
suami terbaik” suara lembut Darrel berbisik sekitar gendang pendengaranku.
Inilah kehidupan keluarga kecilku mempunyai alur hidup tersendiri dari Tuhan.
Akhirnya, Darrel mengikut sertakan desain kota
sesuai kesepakatan bersama dalam perlombaan. Di lain hal, kami berusaha
berjuang mengeluarkan glass corporation dari keterpurukan.Meneliti beberapa
berkas-berkas kerja sama, keluar masuknya laporan, dan banyak lagi. Merubah
strategi akibat persaingan ketat antara sesama perusahaan demi memenangkan
sebuah proyek.
Papi benar-benar terkejut melihat perkembangan glass
corporation. Ada hal lebih mengerikan, jika beliau belum menyadari sama sekali
gadis kecil yang selama ini tinggal bersama dengannya. Devanya terus menahan
Sheena untuk hidup bersama papi dan mami. Bahkan terpaksa Sheena harus pindah
sekolah agar menghindari beberapa kecurigaan dari papi dan mami. Setiap kali
kami merindukan Sheena, maka kami harus membuat skenario lebih halus lagi.
“Bunda,” teriak Sheena tiba-tiba berada di kantor
glass corporation.
“Sheena, kenapa bisa berada disini?” tanyaku
terkejut.
“Paman membawaku kemari,” jawaban Sheena masih
memakai seragam sekolahnya.
“Bunda, apa tidak sayang lagi ma Sheena?” gadis
kecilku menunduk.
“Memang kenapa sayang?” tanyaku.
“Kenapa Sheena harus terus tinggal di surga?”
pandangan mata Sheena melihat rumah papi sebagai surga. Suara tawa Darrel terdengar
jelas di telinga kami mendengar kalimat Sheena. Segera ayahnya menggendong
tubuh mungil gadis kecilnya demi melepas rindu.
“Gadis kecil ayah, rajin berdoa tidak di surga?”
candaan Darrel terus memberi ciuman pada putri semata wayang kami.
“Opa berwajah neraka juga biasa Sheena ajak berdoa.
Di surga ada juga jalan perbatasan neraka dan surga, ayah” curahan kepolosan
Sheena membuat ayahnya terus saja
tertawa mendengar setiap ceritanya. Dimata Sheena perbatasan antara surga dan
neraka adalah wajah papi terlihat seram tak pernah senyum. Setiap senyum
tersebut menghilang, ketika putri kesayangannya lebih memilih pilihan hidup
sendiri dibanding pilihannya kekecewaan terus membungkus hidupnya sampai
kapanpun juga.
BAGIAN 14…
DARREL…
Saya dan Gi kembali mengabdikan diri pada glass
corporation, oleh karena pak Moris terus saja memohon hingga berlutut di
hadapan kami. Tanpa memperdulikan ancaman beberapa tahun lalu dari bapak mertua
saya sekarang, pak Moris terus memohon agar kami kembali. Setelah sebulan
bekerja kembali, tiba-tiba saja Brielle datang menyodorkan sebuah informasi
perlombaan desain kota. Akhirnya adikku menyadari seperti apa mimpiku
sebenarnya. Dia saja tak pernah menyadari akan jurusan yang telah kupilih
sewaktu kuliah kemarin. Manusia paling cuek sedunia, masing-masing berpikir
pada mimpi masing-masing.
Dengan tekad bulat mendaftarkan diri sebagai peserta
dalam perlombaan desain kota yang terselanggara atas kerja sama organisasi
internasional luar negeri. Mencoba menciptakan sebuah karya unik tetapi
mempunyai makna tersendiri. Untuk beberapa saat, saya menutupi semuanya dari
Gi, namun pada akhirnya dia menyadari semua itu. Gi banyak membantuku dalam
proses menemukan sebuah karya unik demi mencapai mimpi dalam langkahku
sekarang. Beruntung Sheena masih tinggal bersama opanya, walau harus memakai
skenario. Deva terus saja menahan Sheena untuk tinggal di istana tersebut,
bahkan saya tidak dapat berbuat apa-apa.
“Setidaknya sampai hasil karya selesai, setelah itu
bagaimanapun caranya Sheena harus kembali kemari” kata-kata merindukan gadis
mungilku.Tidak pernah lupa menelpon hanya demi menanyakan kabar darinya,
sesibuk apapun kegiatanku selama ini. Gadis mungil menganggap jika tempat
tinggalnya sekarang adalah surga.
Satu dari kepribadian istriku, walau status dia di
kantor lebih tinggi tetapi rasa hormat dan menghargai tetap bermain dalam
dirinya untukku. Tidak pernah sekalipun seorang Gi merendahkan suaminya hanya
karena status pendidikan atau pendapatan lebih tinggi ketimbang sang suami.
Saya tetap berusaha menjadi suami dan ayah terbaik bagi keluarga keciilku. Untuk
itulah mengapa saya berjuang untuk memenangkan perlombaan desain kota tersebut.
“Seperti
suara gadis mungilku?” siang hari
berjalan bolak-balik menyelesaikan program-program data glass corporation.
Ternyata dugaanku betul, Sheena benar-benar ada dalam gedung ini. Devanya
menyadari jika kami sangat menrindukan Sheena, hingga ia akhirnya membawanya
langsung ke kantor setelah pulang sekolah. Tertawa keras mendengar curhatan
Sheena di hadapan bundanya dengan kepala menunnduk.
“Gadis kecil ayah ada disini,” segera memeluk
Sheena. Bercerita banyak tentang surge tempat dia tinggal sekarang. Sampai
detik sekarang gadis mungilku sama sekali tidak menyadari opa kandung yang dia
sebut sebagai perbatasan neraka dan surga. Skenario masih tetap dijalankan oleh
Devanya, sampai mertuaku benar-benar menyaangi cucu kandungnya sendiri.
Hal lebih mengejutkan adalah Gi semakin membuatku
dalam masalah besar. Bagaimana tidak, Gi sedang menjalankan sebuah misi demi
menjodohkan antara adik kandung dan iparnya sendiri. Devanya setuju saja atas permintaan tersebut, tetapi
permasalahan ada pada Brielle sebagai adikku juga mertuaku yang sedang
menjodohkan Deva dengan wanita lain.
“Gi, jangan mengada-ngada dan membuat masalah”
ungkapku sedikit kesal.
“Deva pasti
bisa menaklukkan hati Bril,” semangat Gi menggebu-gebu. Kepalaku sakit
dibuatnya, sampai detik sekarang saja saya tidak pernah diterima sebagai
menantu, bagaimana pula dengan Bril adik kandungku sendiri. Hati Brielle juga
sulit hanya untuk ditaklukkan dalam sekejap mata, namun entahlah…
“Sadar tidak, permasalahan nanti seperti apa?” rasa
kesalku makin menjadi-jadi.
“Paling papi mengamuk dan mengusir Deva” jawaban Gi
seakan hal seperti itu biasa.
“Kau keterlaluan” makin geram.
“Keterlaluan dari hongkong,” ledek Gi.
“Memangnya Deva menyukai Bril, dan sebaliknya juga…?”
“Cinta bisa tumbuh seiring waktu berjalan, intinya
Deva berjuang dulu merebut hati adikmu itu” senyuman Gi mengambang seakan
merencanakan sesuatu. Pantas saja, Gi terus mendorong Brielle agar bekerja
sebagai bawahan pada perusahaan papi tempat Deva memimpin. Gi tidak mau pusing
apapun penjelasanku, yang dia tahu bagaimana menjodohkan antara Brielle dan
Devanya. Beberapa waktu berjalan, seperti memperlihatkan hasil dimana Brielle
mulai memberi kode paling aneh terhadap Deva…
Permasalahanku sekarang adalah orang tua Gi tidak
akan pernah mau menerima kami sebagai anggota keluarganya. Gi hanya berpikir
sesaat, tetapi tak pernah menyadari sebab akibat ulahnya tersebut. “Ayah,
jemput gadis mungilmu sekarang di sekolah!” suara Sheena tiba-tiba melalui
telepon celuler.
“Sheena, memangnya paman Deva tidak menjemput?”
tanganku masih sibuk mempelajari beberapa berkas.
“Ayahku sayang, paman lagi jalan bersama tante Bril”
jawabannya.
“Apa…” suaraku lantang mengagetkan semua karyawan
glass corporation.
“Ayah kecilkan volume suaranya. Bunda pesan kalau
paman dan tante tidak boleh diganggu” kalimat Sheena kembali segera menutup
telponnya.
“Keterlaluan amat bundamu,” mengambil sebuah kunci
untuk menuju sekolah. Beruntung Gi tidak sedang berada di kantor, andai kata
berada depanku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Segera menjemput
Sheena dari sekolahnya, membawanya ke
sebuah pusat perbelanjaan. Dia terus saja mendesak ingin bermain dan
menghabiskan waktu bersama ayah tercintanya.
“Ayah jangan-jangan menuju neraka” suara Sheena
terus saja memegang tanganku berjalan mengelilingi arena permainan pada sebuah
mall.
“Kenapa Sheena berkata seperti itu?”
“Wajah ayah seperti opa yang tinggal di surga” rasa
ingin mengamuk tetapi tak bisa…
“Sheena dengar, wajah ayah mirip Song jongki bukan
opa” ucapku membayangkan artis drama korea.
“Dia itu siapa ayah?” Tanya Sheena.
“Masa tidak kenal?” kalimatku.
“Kata bunda, Sheena tidak boleh nonton aneh-aneh
dulu. Maneketehe…” cetus Sheena membuang muka.
“Artis kerenlah, terus kalau ayah senyum pasti mirip
benner” tersenyum menggoda Sheena.
“Yang benner ayah?”
“Pastilah, ini dia fotonya” membuka dompet, berusaha
memperlihatkan wajah seorang artis terkenal. Melihat tingkah Sheena seakan
ingin tertawa, cemberut, dan banyak lagi tanda Tanya…
“Sheena” seorang wanita paruh bayah memanggil nama
gadis kecilku. Sheena tetap dalam rangkulanku, tiba-tiba muncul suami dari ibu
tersebut.
“Opa perbatasan antara neraka dan surga depan kita”
mimic wajah Sheena langsung berubah dan terus saja memelukku. Gadis kecilku
tidak pernah menyadari jika tuan Azaria merupakan bagian terpenting dari
kehidupannya. Tuan Azaria dan istrinya alias mertuaku sendiri terkejut melihat
kedekatan antara kami. Mereka tersadar tentang sesuatu hal akan identitas
Sheena yang sebenarnya.
“Jangan katakana Sheena adalah anakmu?” ucapan ibu
Azaria. Mengangguk untuk membenarkan pertanyaannya, dengan kata lain Sheena
merupakan cucu kandung mereka sendiri.
“Kau sengaja merencanakan skenario?” pak Azaria
terlihat geram. Bertahun-tahun mereka mengusir anak kandung sendiri atas
pilihan terbesar karena telah menyimpang dari kehendak. Hal lebih tak terduga
adalah Gi, Devanya, dan Brielle sedang berada di pusat perbelanjaan sekarang.
Mata tuan Azaria semakin geram melihat Devanya menggandeng wanita lain.
Pertemuan tak sengaja antara kami semuan terjadi begitu saja saat ini…
Tuan Azaria berjalan ke hadapan mereka demi meminta
penjelasan atas segala skenario anak kandungnya sendiri. Sementara Devanya, Gi,
juga Brielle baru menyadari bagaimana kegeraman dari tuan Azaria. “Deva,
jelaskan semua kejadian ini!” amarah mertuaku meledak hingga menjadi pusat
perhatian semua orang. Diantara kami tak satupun dapat berkata-kata untuk
beberapa saat hanya terdiam dan terdiam.
“Bagaimana kabar papi?” ucapan pertama dari Gi
setelah kami semua terdiam.
“Gi, apakah Sheena anakmu?” kembali ibu Azaria
mempertanyakan sesuatu hal.
“Ya, Sheena cucu mami” Gi segera membenarkan.
“Ini semua perencanaan Deva, jangan menyalahkan
mereka pi!” segera Deva berjalan ke hadapan tuan Azaria alias mertuaku sendiri.
“Tuan Azaria, setidaknya dapat mengenal Sheena lebih
dekat dan mau menerima dia sebagai cucu anda” kata-kataku terus menggendong
Sheena, sedangkan Gi memegang kuat pergelangan tanganku yang lain.
“Saya tahu maksud dan tujuanmu, biar anakmu itu
masuk dalam daftar warisan kekayaan Azaria bukan?” tuan Azariah terus saja
berprasangka buruk terhadap kami.
“Sejak dulu papi tidak pernah berubah, hanya
berprasangka buruk” nada penekanan tinggi dari Devanya.
“Kami hanya ingin mempertemukan Sheena dengan papi
mami bukan karena permasalahan harta.” Ucapan Gi kembali mencoba menjelaskan…
“Deva, apakah kau ingin menikah wanita kelas
rendah?” perhatian tuan Azaria beralih pada Brielle adikku. Tuan Azaria telah
menjodohkan Devanya dengan anak rekan kerjanya bahkan kehidupannya jauh dari
kata kelas rendah. Seperti itulah dunia mertuaku, hanya menilai dari segi
status social semata. Devanya tidak ingin mengikut segala kemauan orang tuanya,
hingga akhir cerita sengaja membuat ulah. Anak dari sahabat tuan Azaria menjadi
tidak betah bahkan menolak perjodohan tersebut,akibat ulah Devanya.
Sepertinya hati Devanya mulai terpikat pada Brielle
secara total. Dapat kukatakan Gi berhasil menyatukan antara adik kandungnya
sendiri dan iparnya. Tak pernah kuduga sebelumnya, Brielle akan menjalin
hubungan dengan adik iparku sendiri. Permasalahan kami menjadi makin runyam
terlebih hubungan yang terjalin antara Deva dan Brielle.
“Kita tak akan pernah tahu tentang garis tangan
seseorang. Kemarin papi menolak Darrel hanya karena permasalahan status social,
seperti yang sekarang papi lihat sedikitpun saya dan Sheena tak pernah mengemis
tentang permasalahan makanan sekalipun.” Pernyataan Gi menatap tuan Azaria.
“Gi,” saya hanya tidak ingin Gi berbicara terlalu
banyak, hingga semakin menimbulkan masalah lebih fatal. Tetapi sepertinya mulut
gi tidak berhenti berkata-kata…
“Gi, berhentilah berbicara nak” suara ibu Azaria
memeluk Gi setelah bertahun-tahun menolak kehadiran anak kandungnya oleh karena
sebuah pilihan hidup.
“Biarkan Gi berkata-kata sekarang mi,” tutur Gi
kembali.
“Darrel mengajariku tentang sebuah kehidupan. Seberapa
beratpun tantangan kehidupan bahkan pergumulan keuangan, setahuku dia selalu
berjuang. Kemarin namanya terdengar biasa bahkan tak pernah dikenal oleh semua
orang. Tetapi sekarang, suamiku berhasil menjadi salah seorang pendesain
arsitek terkenal dan diakui oleh
internasional.” Kata-kata Gi membuat tak menyadari akan sesuatu hal yang sedang
terjadi…
“Ka’Darrel berhasil memenangkan perlombaan desain
kota,” kalimat Brielle menjelaskan kemenanganku. Ternyata pemberitahuan
pemenang terkirim melalui email Gi, sedangkan saya sendiri tak menyadari semua
itu.
“Seseorang yang papi rendahkan selama ini, tak
pernah disangka mempunyai kemampuan luar biasa. Terkadang seseorang depan mata
terlihat memiliki segalanya, namun siapa menduga tentang dunianya kelak menjadi
seperti apa? Tetapi justru sebaliknya dia yang tak pernah dilihat bahkan
sedikitpun namanya sama sekali tidak terpampang pada sebuah titik kecil,
memperlihatkan dan mengejutkan semua orang
secara tak terduga.” Kata-kata Gi memandang tuan Azaria.
“Ayah, kenapa bunda terus memarahi opa?” Sheena
segera turun dari pelukanku menuju tuan Azaria. Memegang lembut tangan tuan
Azaria…
“Sheena, kemarilah!” perintah Brielle takut terjadi
sesuatu terhadap Sheena.
“Sheena mau kembali ke surga dulu, ayah” istana tuan
Azariah dianggap sebagai surga bagi gadis kecilku. Tatapan mata tuan Azariah
tak memperlihatkan kebencian sedikitpun terhadap Sheena, sekalipun dirinya
berusaha menyembunyikan semua itu. Gadis kecilku terlalu polos untuk mengerti
akan permasalahan dan pola pikir berbeda dari kehidupan orang tua pada umumnya.
Ibu mertuaku sendiri mulai menerima kehadiranku sebagai bagian dari keluarga
Azariah. Meminta waktu bagi tuan Azariah
berpikir tentang perbedaan pendapat diantara kami dan beliau.
Ibu Azariah memohon agar Sheena tetap tinggal
bersama mereka. Walau mulut tuan Azariah bermakna penolakan, namun mata dan
hatinya selalu ada untuk Sheena. Dengan terpaksa mengikuti kemauan ibu mertuaku
tersebut, sekalipun ada sedikit rasa takut jika tuan Azariah memperlakukan
Sheena secara kasar sebagai bentuk balas dendam. Membutuhkan waktu panjang
untuk merenung tentang sebuah objek, realita kehidupan, titik balik perjalanan
dari dunia seseorang bagi pola pikir tuan Azariah.
GILLIA…
Tak pernah menyangka pertemuan antara papi, mami,
dan kami berada pada pusat perbelanjaan. Setelah mendapat sebuah pesan melalui
email yang menyatakan kemenangan Darrel atas desain kota membuatku ingin
merahasiakan semua itu darinya. “Darrel berhasil memenangkan perlombaan desain
kota dari organisasi internasional paling bergengsi” kata-kataku seorang diri
membaca pesan melalui email.
Deva, Brielle, dan saya bersepakat ingin mengadakan
surprise atas keberhasilannya.Tetapi luar pemikiran, secara mengejutkan kami
dipertemukan secara keselurahan tanpa pernah merencanakan semua ini. Terlihat
bagaimana papi memperlihatkan geram karena merasa telah dibohongi oleh kami
semua. Ketika berjalan berkeliling mencari sebuah kado bagi Darrel pada salah
satu pusat perbelanjaan, tiba-tiba papi dan mami berada di hadapan kami.
Meminta Deva menjelaskan tentang identitas Sheena dan skenario terbodoh yang kami susun.
Terjadi sedikit pertengkaran diantara kami, hingga
pada akhir cerita papi hanya terdiam oleh karena seluruh suara menyalahkan
dirinya. Mami pun terlihat mulai memihak ke arah kami dibandingkan papi.
Meminta Sheena agar tetap tinggal bersama mereka selama beberapa saat. Papi
membutuhkan waktu menerima tentang sebuah kenyataan di depan matanya. Terlebih putra
bungsunya menjalin hubungan dengan adik kandung Darrel alias adik iparku
sendiri. Deva menolak perjodohan dari papi dengan membuat sebuah kekonyolan
hingga sang wanita pergi menjauh dari hidupnya.
“Bagaimana keadaan Sheena sekarang?” pesanku melalui
bbm Deva.
“Tenang saja, papi tidak berbuat tindakan aneh-aneh
terhdapa keponakan kecilku” balasan pesan Deva. Mengelus dada itulah keadaanku
sekarang. Membayangkan kebencian papi
bertahun-tahun dapat berakibat fatal bagi dunia gadis kecilku.
“Belum tidur?” tegur Darrel.
“Apakah papi akan menyakiti Sheena?” tanyaku
tiba-tiba tanpa memperdulikan pertanyaannya.
“Jangan berpikiran macam-macam, semua membutuhkan
waktu” kalimat Darrel.
“Kenapa waktunya lama sekali memakan waktu
bertahun-tahun?” tanyaku.
“Gi, terkadang seseorang menyadari tentang sebuah objek tertentu di depannya
membutuhkan waktu panjang dan tidak bercerita tentang persingkatan waktu. Untuk
segala sesuatu ada waktunya, pola pikir
dan karakter seseorang berbeda-beda.” Darrel menatap ke arahku.
“Ada saat dimana seseorang membutuhkan waktu singkat
demi menerima, mempelajari, mengerti keadaan objek di hadapannya. Tetapi tidak
berlaku bagi kalangan orang banyak, untuk segala sesuatu kembali kepada pribadi
masing-masing. Ngerti?” kalimat Darrel kembali mengarah ke hadapanku. Dia
selalu seperti itu setiap pondasiku goyah oleh karena sebuah objek keadaan.
Mengajariku akan suatu langkah dan memahami tentang perbedaan karakter
masing-masing pribadi.
“Tok tok tok…” terdengar suara ketukan pintu dari
luar. Segera kakiku beranjak dari kamar menuju arah suara ketukan pintu
tersebut. Rumah kami terbilang sederhana, tetapi dapat menciptakan kualitas
kebahagiaan tersendiri. Pria paruh bayah berdiri di hadapanku sekarang bersama
Sheena.
“Gi, siapa malam-malam mengetuk pin…” kalimat Darrel
terpotong…
“Bunda,” Sheena segera berlari dalam pelukanku. Papi
datang mengantar Sheena, sekaligus ingin berbicara tentang ssesuatu hal…
“Malam pi” sapaku entah kalimat seperti apa paling
tepat baginya…
“Bisa bicara sebentar?” suara papi terdengar tidak
biasa, seakan rasa geram dalam dirinya menghilang.
“Silahkan masuk!” ucap Darrel memberikan sebuah
kursi bagi mertuanya. Papi segera berjalan masuk dan mencari kursi paling tepat
untuknya. Sementara Sheena berlari masuk dalam pelukan ayahnya.
“Pemahaman orang tua terkadang salah terhadap sebuah
objek, itulah kesalahan terbesar dari kami” memulai pembicaraan dengan kepala
menunduk. Tak terpikirkan sama sekali papi akan berucap pernyataan seperti
sekarang.
“Maaf atas pilihanku,” mulutku mengeluarkan nada
pelan.
“Tidak selamanya pola pikir para orang tua sesuai
garis pengajaran. Ada saat dimana akan membuat kesalahan terbesar. Begitupun
sebaliknya seorang anak tidak selamanya bertindak benar dan juga melakukan
kesalahan. Kembali terhadap pribadi masing-masing menanggapi letak perselisihan
antara dunia orang tua dan anak mereka.” Papi mulai menerima kenyataan dari
penolakan-penolakannya beberapa tahun lalu.
“Maaf atas kelakuanku selama ini terhadap kalian
berdua” pernyataan maaf papi.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, andai kata keadaan
seperti ini tidak terjadi bagi langkahku, maka dunia Gi tidak akan pernah
memahami tentang hidup yang diawali dari nol bersama keluarga kecilku.”
Pernyataanku membayangkan bagaimana tanganku belajar melakukan pekerjaan-pekerjaan
rumah yang sama sekali tidak tersentuh olehku semenjak lahir.
Pada akhir langkahku bercerita tentang papi menerima
kehidupan keluarga kecilku. Papi dan mami tidak lagi menilai seseorang hanya
dari satu bagian semata, tetapi mempelajari tentang kualitas nilai jauh lebih
berhaarga dibandingkan apapun juga. Betul ucapan Darrel untuk segala sesuatu
mempunyai waktu tersendiri, jangan pernah memaksakan kehendak. Papi tak
mempermasalahkan tentang pilihan Devanya, bahkan mau menerima Brielle sebagai
pasangan hidup terbaik bagi anaknya.
Devanya dan
Brielle akhirnya menikah, sedangkan Darrel berhasil menempati posisi
desain arsitek terbaik dunia. Tahun demi
tahun berlalu, impian Brielle menjadi kenyataan, sedangkan Devanya tetap
menjalankan perusahaan papi. Menjadi seorang pejabat berkompeten itulah dunia
adik iparku sekarang. Setelah glass corporation berkembang pesat, saya kemudian
membuat surat pengunduran diri sebagai manager. Impianku adalah memiliki sebuah
laboratorium untuk mengembangkan beberapa alat-alat terbaru sesuai imajinasiku
sendiri. Menjalani beberapa bidang dalam dunia kerja tidak menjadi masalah di
zaman modern sekarang, selama memiliki skil yang sesuai.
“Konsep desain yang akan saya terapkan kali ini mengarah pada gelombang angin tak terlihat” Darrel
tetap menciptakan karya-karya menarik bagi desain arsitek. Seperti biasa
melakukan presentasi bagi pengembangan sebuah karya terbaru. Gadis kecil kami
mulai mengalami banyak perubahan dalam masa tumbuh kembangnya. Vanya, Moli, Zeo
sekarang bekerja sesuai bidang masing-masing setelah menyelesaikan kuliah.
Tidak sia-sia kami membiayai pendidikan mereka, akhir cerita memperlihatkan
hasil. Karakter saudara iparku yang lainnya mulai berubah setahap demi setahap.
Ayah mertuaku terlihat berbahagia memiliki banyak cucu di dekatnya. TAMAT