Senin, 20 Maret 2017



DUNIAKU
BAGIAN 1…
GILIA…
Hidup menuntut untuk berpikir tanpa berkata-kata, inilah realita di depan mata. Mencerna setiap pernyataan tetapi terdiam seribu bahasa terhadap berbagai aspek oleh karena sebuah keadaan. Siapa sih, tidak mengenal gadis remaja bernama Gilia Carlisa memiliki segala hal yang didambakan oleh banyak gadis remaja. Sejak kecil hingga remaja selalu menjadi nomor satu diantara seluruh siswa.
Gilia selalu menjadi gadis popular dimanapun kaki berpijak dan melangkah. Mempunyai segedang prestasi luar biasa, namun oleh karena hal tersebut hidupku jauh dari sebuah istilah. Pada dasarnya, mulutku diam membisu tanpa berbicara terhadap realita di hadapanku. Namun, jauh di dasar hati akar kemunafikan jauh lebih bermain dibandingkan apapun. Meremehkan semua orang di sekitar merupakan ciri khas seorang Gilia, sekalipun tanpa berkata-kata. Ada saat dimana ucapanku bermain seseorang yang sedang berdiri di hadapanku akan menjadi pusat permainan bagi siapapun.
Seorang Gilia hanya memahami tentang bagaimanacara memandang sebelah mata siapapun mereka ketika sedang berbicara ataupun melakukan beberapa tindakan tertentu. Ada saat karakter terkesan jauh mengalahkan para malaikat memenuhi aspek hidupku, namun dibalik semua itu berbanding terbalik dari yang sebenarnya. Inilah dunia Gilia dapat menjadi seorang malaikat disaat tertentu, namun pada dasarnya hati jauh mengalahkan dunia para iblis.
“Gi, gak lapar?” sapa mami menengok masuk ke dalam kamarku.
“Ga mi” sahutku. Salah satu kelebihan terbesar dari duniaku, adalah seorang Gilia selalu menjadi kutu buku tanpa seorangpun menyadari semua itu. Impianku adalah menjadi mahasiswa salah satu kampus terbaik dunia. Apapun akan kulakukan demi meraih tempat terbaik di kampus tersebut. Menjadi salah satu anak pengusaha ternama dengan segala kekayaan membuatku lupa tentang arti kehidupan.
“Dimana bibi meletakkan jam tanganku?” amarahku meledak membuat seluruh penghuni rumah ketakutan.
“Bibi sadar tidak kalau itu jam tangan paling mahal,” jari telunjukku mengacuh pada salah satu pembantu.
“Non, sejak tadi saya tidak menyentuh apapun dalam kamar ini” seluruh tubuhnya gemetar tanpa terkecuali. Kamus seorang Gilia, apapun yang terjadi selamanya hanya pernyataannya saja yang benar. Semua di sekeliling tidak boleh membantah, bahkan sekalipun kesalahan pada dasarnya terarah untukku.
“Setahuku, setiap hari hanya bibi saja seorang pembantu yang selalu berada disini untuk membersihkan kamarku.”
“Ta…ta…ta…pi saya tidak pernah melihat jam tangan non,” sahutnya.
“Jadi, cerita akhir adalah tuyul secara tiba-tiba mencuri jam tanganku.” Geramku makin meninggi.
“Sumpah demi Tuhan,” mencoba membawah nama Tuhan. Sama sekali rasa kasihan tidak akan pernah ada dalam perjalanan Gilia. Merendahkan dunia banyak orang itulah karakter dari seorang Gilia.
“Kakak Gi,” suara Deva masuk ke tengah-tengah kami. Karakter diantara kami berbanding terbalik bahkan dapat dikatakan antara langit dan bumi. Devanya merupakan pembela kebenaran bagi kaum lemah terlebih dunia pembantu yang sedang teraniaya, inilah karakter terburuk dari hidupnya.
“Si pembela kebenaran lagi nongol tidak jelas,” sindirku.
“Kakak Gi keterlaluan,” ungkap Deva setiap amukanku meledak terhadap para pembantu.
“Keterlaluan dari mana?” gertakku.
“Saya tidak pernah meminta kakak menghargai hidupku, tetapi setidaknya ka Gi mencoba belajar bagaimana menempatkan tutur kata.” Harus kuakui adikku terlihat dewasa jauh dari umurnya. Inilah yang dikatakan, bahwa kedewasaan seseorang terkadang tidak dapat diukur hanya dari tingkat umur semata.
“Ada apa ini, masih pagi-pagi tapi rumah seperti kapal pecah!” seru mami.
“Jam tangan Gi tidak ada di tempat mi,” seperti biasa seorang Gilia mengadu tidak jelas. Lebih parah lagi ke dua orang tuaku selalu mendukung apapun yang kulakukan. Membuat adikku terpojok bahkan menjadi tempat amukan mami adalah duniaku. Devanya setiap saat mendapat perlakuan tidak adil akibat perlakuanku.
“Deva selalu membela seluruh pembantu di rumah ini, jam tanganku hilang mi akibat ulah pembantu ini…” raut wajah tidak memperlihatkan rasa berdosa terpancar dariku.
“De, sadar tidak bagaimana perasaan kakak Gi dengan gayamu sekarang?” mami mulai menyalahkan Deva.
“Setahuku ka Gi meletakkan jam tangannya sekitar ruang keluarga semalam,” membuat mulutku dan mami tidak dapat berkutik
“Yang benner tuan,” bibi Sari segera menghapus air matanya. Dari raut wajah ketakutan penuh air mata berubah menjadi keceriaan.
“Dimana De?” Tanya mami.
“Bilang dong sejak tadi, kalau gini ga harus perang dunia 3 kan,” teriakanku.
“Ada saat dimana kakak Gi harus tahu menempatkan gaya bahasa paling tepat, dan karena itu kakak harus belajar lebih banyak,” tutur ucapan Deva terlihat ingin menyindir. Segera berlalu dari hadapanku, tanpa harus memaksaku untuk segera meminta maaf terhdap dunia pembantu seperti yang dilakukannya setiap saat.
“Tumben, dia tidak menyuruhkku meminta maaf habis-habisan” gerutu sendiri.
Inilah aku menganggap diri paling benar dan tidak akan pernah memiliki sejarah untuk meminta maaf dalam bentuk apapun juga. Ketika berada di hadapan papi ataupun beberapa guru dapat terlihat seperti malaikat tanpa dosa terbungkus kepolosan bersama keluguan luar biasa bermain. Berbicara seakan bijjak dan dewasa di beberapa tempat demi memecahkan sebuah kasus. Dapat dikatakan seorang Gilia mempunyai kepribadian ganda.
“Bagaimana memecahkan masalah seorang anak terbukti melakukan kesalahan?” ibu Maria mencoba bertanya di hadapan kami.
“Ibu,” tanganku teracung ingin mengajukan pendapat.
“Silahkan Gilia!” kalimat ibu Maria.
“Saya rasa pihak sekolah harus bijak memecahkan permasalahan seperti ini,” mencoba menjadi bijak ketika salah seorang siswa terbukti membuat kesalahan terbesar. Janis terbukti mencuri sejumlah uang dari Miranda. Seperti yang telah diketahui jika kehidupan ekonomi Janis berada dibawah rata-rata. Ingin menjadi malaikat bagi Janis, agar terlihat di hadapan banyak guru jika Gilia memiliki simpatik terhadap sesama. Lebih memudahkan proses beasiswa bahkan semua orang akan berpikir kehidupan Gilia benar-benar ssempurna.
“Apa maksud ucapanmu Gilia?” pertanyaan ibu Maria menatap tajam ke arahku.
“Saya rasa sekalipun kehidupan ekonomi Janis berada di garis rata-rata palinng terbawah, tidak mungkin dia akan merusak harga dirinya sendiri dengan jalan melakukan sebuah perbuatan paling terkejam seperti pencurian.” Ujarku.
“Berarti kau sama sekali tidak mempercayai jika Janis adalah pelaku pencurian sebenarnya?” Miranda hampir tidak mempercayai segala ucapanku. Sejak kapan seorang Gilia menjadi pembela kalangan rakayat bawah di sekolah.
“Gi, apakah ini benar-benar dirimu yang sebenarnya?” tegur Visa.
“Memang kenapa? Apakah ada kesalahan dari ucapanku?” mimic wajahku terlihat berbeda menatap mereka satu per satu dalam kelas.
“Saya hampir tidak mempercayai ini Gi,” gerutu Visa.
“Coba selidiki lebih lanjut, posisi serta lokasi ketika Janis berada di sekitar gedung olah raga, saya yakin ada salah satu dari kalian sengaja menjadikan dia sebagai kambing hitam terbaik.” Sejahat-jahatnya saya ataupun seberapa besarpun kemunafikan dari hidupku, tetapi setidaknya keyakinanku kuat jika Janis bukan pelaku sebenarnya.
“Cctv secara jelas memperlihatkan jika Janis satu-satunya siswa memperlihatkan tingkah laku mencurigakan, selain itu wajahnya tertangkap kamera berada di sekitar gedung olah raga ketika seluruh siswa sedang latihan musik.” Penjelasan Visa.
“Betul juga ucapanmu,” kalimat Miranda.
“Tolong lakukan penyelidikan sekali lagi!” entah angin apa memasuki diriku memohon sesuatu…
“Kalau begitu perlu mencari penyelidikan!” ucapan Visa salah satu sahabat terbaikku.
“Betul juga,” tutur ibu Maria.
“Betul!” tuturku.
Pihak sekolah dan yayasan memberi kesempatan bagi Janis demi membuktikan jika dia benar-benar tidak bersalah. Saya melakukan semua ini hanya demi memperlihatkan sisi malaikat dari seorang Gilia bukan karena sebuah ketulusan. Pada dasarnya terbukti, jika Janis bukan pelaku pencurian sebenarnya dan dia hanya berada dalam jebakan seseorang. Ternyata dalang pencurian adalah Sania, benar-benar mengejutkan sesuatu yang terjadi. Salah satu siswa berprestasi dan mempunyai kehidupan ekonomi berkelas ternyata seorang pencuri.
“Kenapa kau melakukan ini? Bukankah kau siswa dengan ekonomi berkelas?” Miranda benar-benar tidak mempercayai kejadian di depan matanya. Itulah kehidupan, tidak selamanya seseorang dikatakan mempunyai kekayaan lebih tidak dapat melakukan tindakan criminal seperti kasus pencurian. Satu lagi, tidak selamanya mereka berada di kalangan bawah merusak harga diri barada pada sebuah jurang yang akan menghancurkan kehidupan sendiri.
“Terimah kasih, karena telah menolongku” suara Janis tiba-tiba berada di hadapanku memenuhi gendang pendengaranku. Menatap gadis sederhana di hadapanku, wajahnya terus menunduk tanpa dapat berkata-kata. Hanya kalimat seperti itu saja yang dapat terlontar dari dunia Janis. Berada di sekitar pohon besar belakang sekolah, Janis berani berjalan ke hadapanku.
“Saya melakukan hal seperti ini hanya untuk memperlihatkan sisi malaikatku semata, bukan karena rasa empati tinggi terhadap dirimu,” ucapku di hadapan Janis.
“Apapun itu terimah kasih membuatku tetap bertahan di sekolah ini,” kebahagiaannya jauh melebihi dari seseorang mendapat hadiah kemenangan atau sebuah mobil mewah.
“Lupakan semua yang telah kulakukan buatmu, pergilah!” perintahku.
“Dengan susah payah saya ingin kedua orang tuaku berupaya membuatku ada di tempat seperti ini, andai kata pihak yayasan benar-benar mengeluarkanku tentu hati mereka hancur seketika.” Janis mendesah…
“Saya tidak pernah mau bahkan setitikpun mendengar curahan hati dari dunia Janis anak kelas rendah, ngerti” pernyataan tajam dapat menembus sumsum tulangnya lebih dalam.
“Pergilah, tunggu apa lagi!” nada tinggi mulai bergema kembali…
Pernyataanku menjelaskan jika hidup seorang Gilia sama sekali tidak tertarik unntuk memahami tiap curahan hati kalangan rakyat jelata. Gilia hanya memainkan acting paling berkesan di hadapan para guru dan beberapa area tertentu. Memasuki semester tahun akhir di sekolahku, kabar mengejutkan namun memberikan kebahagiaan tiada ternilai bermain dalam lingkup kehidupanku pribadi. Dinyatakan lulus oleh pihak kampus Harvad menciptakan kebahagiaan tersendiri. Mendapat beasiswa, dengan mengambil jurusan terbaik pada salah satu kampus terbaik dunia adalah impianku sejak dulu.
“Papi ucapkan selamat atas keberhasilanmu dinyatakan lulus pada salah satu kampus Harvad jauh sebelum Gi tamat dari sekolah” ujar papi memeluk anaknya.
“Makasih pi,” balasku.
“Papi bangga mempunyai putri jenius seperti dirimu,” itulah papi tiap detik selalu memberikan pujian terbaik bagi anak kesayangannya. Apapun yang diinginkan oleh hatiku pasti terpenuhi, demi kebahagiaan anaknya. Bahkan papi lebih membela putri kesayangannya dibanding Deva, sekalipun membuat kesalahan. Dapat dikatakan perlakuan tidak adil diantara kami sedang terjadi. Namun, satu hal terkadang membuatku kagum secara diam-diam melihat dunia Deva yang terlihat dewasa terhadap hal seperti ini.
“Hidup tidak hanya bercerita tentang ketidakadilan, namun karena hal tersebut membuat langkahku terlihat berbeda.” Pernyataan kalimat Devanya pada sebuah buku. Tanpa sengaja mataku mengarah pada sebuah buku miliknya, ketika berada di kamarnya untuk mencari sesuatu. Dapat dikatakan perlakuan tidak adil dari papi dan mami membuatnya belajar untuk tidak pernah kecewa.
Permasalahan prestasi, dapat dikatakan jika saya adalah pemenangnya dibandingkan seorang Devanya satu-satunya adikku. Saya tidak ingin berpikir tentang mengapa papi dan mami jauh lebih melimpahkan kasih sayangnya buatku dibanding anak laki-laki satu-satunya. Tetapi, melalui hal tersebut Deva mempunyai kehidupan sederhana tanpa harus menuntut akan berbagai hal.
“Warna-warna pelangi dapat terbentuk oleh karena ketidakadilan, terkadang Tuhan mengizinkan hal seperti ini terjadi bukan untuk membuang hidupku melainkan mengajarkan hidupku untuk belajar tetap melangkah dan tidak kecewa.” Tulisan Devanya pada lembaran berikutnya.
“Manusia paling aneh di dunia” gerutuku mengejek tulisan Devanya.
Saya tidak tertarik tentang perasaan adikku dan bagaimana dia mendapat ketidakadilan dari kedua orang tua kami. “Masa bodoh dengan kehidupan Deva,” cetusku sendiri sama sekali tidak memperdulikan dirinya.
Di saat tertentu hatiku dapat merasakan bagaimana tentang keadaan Deva terhadap apa yang sedang terjadi dalam hidupnya. Rasa kasihan membuatku merasa bersalah dilain sisi, namun berusaha untuk tidak pernah terlihat dihadapan Devanya. Permintaan Deva jarang terpenuhi, tetapi apapun yang kuingini dalam sekejap papi selalu saja tanpa pernah berpikir mengabulkan semuanya. 
“Aneh, biasanya orang tua jauh lebih menyayangi anak laki-laki satu-satunnya dibanding anak perempuannya sendiri. Sekarang zaman kebalik kali spesial bagi penghuni rumah ini.” Suara hatiku tertawa sendiri melihat keadaan di rumahku.
“Punya mata ga sih kalau jalan bi,” tanpa sengaja bibi Sari menumpahkan saus sekitar seragam sekolahku. Setiap berhadapan denganku bibi Sari terlihat ketakutan bahkan seluruh tubuhnya gemetar, hingga apapun yang di tangannya terjatuh. Wajahku benar-benar jauh lebih ganas dibanding seorang Hitler bagi pemandangan matanya.
“Ma…ma…af non” tangan bibi Sari berusaha membersihkan saus sekitar seragam sekolahku.
“Segampang itu meminta maaf!” bahasa judes bermain sekitar gendang pendengaran…
“Ka Gi,” seperti biasa Deva datang sebagai malaikat penolong bagi kalangan pembantu.
“Wow, malaikat penolong baru saja nongol…” ledekanku sebelum berlalu dari hadapan mereka.
Bahasa paling tepat ketika berada di hadapan adikku adalah si’malaikat sang pembela kebenaran bagi para pembantu sejagat raya. Hidup Deva hanya mengenal tentang kesederhanaan dan tidak pernah bercerita akar kesombongan seperti hidupku. Satu lagi, jika dia tidak masuk pada kategori kutu buku sama seperti duniaku. Saya berjuang mengejar prestasi demi prestasi, sedangkan dia sendiri terlihat biasa untuk hal-hal seperti ini.
BAGIAN 2…

GILIA…
“Gi, sudah dengar berita belum?” tegur Miranda menghadang jalanku menuju perpustakaan sekolah. Kakiku jauh menyukai dunia perpustakaan ketika berada di sekolah dibanding berkumpul bersama teman-temanku. Saya harus berjuang demi meraih mimpiku berada pada salah satu kampus terbaik dunia. Mengasah otakku melalui buku-buku perpustakaan merupakan hobi dari kehidupan Gilia. Tidak ada tempat meniikmati hidup sama seperti pergaulan banyak siswa-siswa zaman sekarang.
“Saya tidak pusing apapun, kau mengerti,” suara nyaringku bermain…
“Gi, ada berita baru di sekolah kita,” Visa penuh semangat berkata-kata bahkan menjadi pengekor terbaik di sekitarku. Setelah Miranda berusaha mengalihkan perhatian, kini Visa tiba-tiba berteriak penuh semangat. Entah apa yang ada dalam benak mereka, hanya ingin bermain tanpa peduli jika saya tidak menyukai apapun.
“Minggir!” perintahku menatap tajam ke arah Visa.
“Dengar dulu, Gi apa yang akan kukatakan” berlari-lari kecil ke samping berusaha menahan untuk bercerita tentang sesuatu.
“Sekali lagi kukatakan, jangan merusak hidupku dengan ocehan apapun bahkan tentang keadaan bagaimanapun, ngerti!” nada tinggi berusaha membuat Visa menyadari hal-hal dari hidupku.
“Brukkkk…” sebuah bola mendarat sekitar kepalaku hingga membuatku terjatuh. Rasa marah, kesal, geram memenuhi berandaku sekarang. Seragam sekolahku kotor oleh lemparan bola tersebut, beruntung saya tidak kenapa-kenapa…
“Kau tidak kenapa-kenapa?” suara seseorang untuk pertama kalinya melayang di telingaku. Sepertinya dia merupakan penghuni terbaru dari sekolah ini, bahkan wajahnya pun terlihat asing bagiku.
“Gi tidak apa-apakan?” Visa khawatir akan keadaanku.
“Siapa yang berani melemparkan bola ini ke hadapanku?” nada suara terdengar dingin berirama dalam diriku sekarang. Kata geram bercampur menjadi satu melihat sesuatu yang sedang terjadi.
“Saya pelaku dari lemparan tadi,” tangannya teracung berjalan ke hadapanku.
“Kau sadar siapa yang sedang berada di depanmu sekarang? Dengan rasa percaya diri tinggi bertanya apakah saya tidak kenapa-kenapa dan sekarang…” rasa geram terlihat jelas, tetapi saya berusaha menahan amarah.
“Saya tidak sengaja melakukan semua ini, karena itu maaf atas perbuatanku,” berusaha tersenyum manis menebarkan pesona sekitar wilayah halaman sekolah.
“Gi, inilah yang ingin kusampaikan kalau hari ini seluruh siswa lagi terpesona oleh wajah tampan bahkan terlalu cool dari anak baru di sekolah kita.” Penjelasan Visa menujuk siswa di depan kami.
“Perkenalkan nama saya Darrel,” tangan cowok yang telah melemparkan bola ke arahku terulur, ingin segera berkenalan. Satu hal, saya tidak akan lupa bagaiman tubuhku terjatuh dan hampir pingsan akibat lemparan bola darinya. Berusaha menahan diri untuk tidak berkata-kata, bersikap setenang mungkin sekalipun mulutku ingin segera memberi ribuan kata makian. Segera berlalu dari hadapannya tanpa memperdulikan Darrel yang ingin berkenalan.
“Kau dosa mengacuhkan cowok yang ingin berkenalan denganmu,” teriaknya. Hal terbodoh dari dunia mereka berusaha membuatku mengalihkan perhatian. Satu hal, saya tidak menyukai tentang lawan jenisku bahkan tingkat kualitas paling keren dari hidupnya sama sekali tidak akan mempengaruhi kehidupanku.
Saya tidak ingin sama seperti drama ataupun sinetron dimana terjadi perkelahian panjang, setelahnya sebuah hubungan spesial terjalin. Oleh karena itu, seorang Gilia Carlisa berusaha menahan emosional untuk tidak membuat perselisihan ataupun permasalahan dengan lawan jenis dalam bentuk apapun. Hidupku hanya akan bercerita, bagaimana seorang Gilia berjalan mengejar cita-citanya bukan tentang permasalahan lawan jenis dan seperti apa pergaulan remaja sekarang.
Dalam kelas, anak baru itu memperkenalkan diri di hadapan seluruh siswa. Saya sama sekali tidak tertarik tentang apapun dari dunia Darrel, sekalipun seluruh siswa terpesona melihat beberapa hal dalam dirinya. Duniaku dan mereka berbeda, langkahku hanya bercerita tentang berjalan untuk berada pada salah satu kampus terbaik dunia. Hidupku hanya menyukai dunia perpustakaan beserta segala isinya, sekalipun dunia Gilia terbungkus sebuah akar kesombongan secara luar biasa.
Sifat dingin, cuek, angkuh, emosional tinggi dapat saja bermain itulah duniaku. Selama beberapa hari Darrel tanpa rasa putus asa terus berada di hadapanku ingin menjadi teman. Seperti biasa, raut wajah penuh amarah dan angkuhbermain dari diriku bahkan sama sekali tidak tertarik tentang Darrel. Bersikap dingin sama seperti sebelumnya, seperti inilah hidup dari Gilia.
“Nikmati masa remajamu selagi bisa, kenapa? Karena kau tidak akan pernah bisa memutar waktu untuk kembali.” Bahasa Darrel secara tiba-tiba ketika berjalan ke hadapanku. Berusaha menarik sebuah buku dari tanganku, namun tidak berhasil.
“Hidupku berbanding terbalik dari area lingkungan tempatmu berpetualang,” tatapan dingin mengarah ke hadapannya. Masa remaja seseorang mempunyai kisah perjalanan masing-masing, bahkan tidak dapat disamakan pada semua kehidupan. Dunia remaja dapat berkata-kata jika berada pada sebuah nuansa. Berkumpul bersama, tertawa, membuat cerita memberikan kesan tersendiri dari hidup seorang anak remaja.
Di lain hal, seorang remaja menikmati kehidupan jika melakukan sebuah petualangan. Mempunyai cara tersendiri ketika menikmati masa remaja, salah satu ciri khas dan tidak akan pernah lepas dimana mereka mulai mengenal sebuah perasaan mendalam terhadap lawan jenisnya. Bagi hidup Gilia Carlisa semua itu tidak berlaku, masa remaja lebih terasa disaat kakiku berada dalam sebuah perpustakaan besar. Memahami dan mengerti isi dari setiap kalimat tentang sebuah objek tertentu.
“Gadis aneh, hanya memikirkan tentang buku alias si’kutu buku” ledekan pertama kali dari seseorang untuk Gilia Carlisa. Haruskah kegeraman bahkan pertengkaran terjadi saat ini oleh karena sebuah statement salah satu siswa di sekolah ini.
“Satu lagi, petualanganku lebih seru dibanding jalanmu.” Kembali ia berkata-kata.
“Kau hanyalah salah satu siswa rendah tanpa prestasi,” bahasaku menyindir, tatapanku terlihat angkuh itulah gaya seorang Gilia. Berjalan melewati dirinya, itulah yang kulakukan. Secara tiba-tiba seakan sesuatu menahan tanganku…
“Berbicara tentang prestasi tidak hanya dikatakan ketika seseorang berada pada sebuah jalur pendidikan formal. Mempunyai suara menarik, berperan dalam bidang olah raga, dan banyak lagi merupakan salah satu bagian dari prestasi.” Tangannya terus memegang erat tanganku tanpa melepas sedikitpun.
“Itu pemikiranmu dan tidak berada dalam kamusku,” ungkapku.
“Satu lagi, lepaskan tanganmu!” berusaha melepaskan tanganku darinya.
“Kau tidak tahu tentang apa yang ada dalam hidupku,” tanganku semakin dipegang kuat olehnya.
“Satu lagi, jika kau tidak mengenalku jangan asal berbicara tentang siswa rendahan” kalimat siswa baru penuh rasa percaya diri tinggi.
“Lepaskan tanganmu!” pada akhirnya dia mau melepaskan pegelangan tanganku. Kakiku berjalan untuk berlalu, tidak memperdulikan apapun kalimat yang terlontar dari diri siswa pindahan bernama Darrel.
“Gadis sombong sepertimu suatu hari akan jatuh,” teriakan Darrel menyerang bahkan masih terngiang keras selama beberapa hari sekitar gendang pendengaranku. Tidak perduli apapun ucapan banyak orang, bagiku hidup berwarna ketika nafasku berada di sekitar area buku-buku dengan berbagai objek di dalamnya.
Lebih banyak menghabiskan waktu di tempat les, sekolah, juga kamar itulah hidupku selama bertahun-tahun. Keinginanku menjadi salah satu mahasiswa kampus terbaik dunia di depan mata. Saya tidak ingin terlihat bodoh ketika berada di kampus tersebut. Hanya menunggu waktu saja, hingga kaki dapat melangkah secara pasti demi sebuah impian.
“Mi, kenapa hingga jam sekarang pak Banu belum juga datang-datang?” emosionalku meningkat melalui telepon celuler.
“Anak pak Banu tiba-tiba masuk rumah sakit, jadi izin pulang kampung” jawaban mami melalui celuler.
“Jadi, Gi harus jalan kaki jam segini bahkan malam makin larut?” omelanku terhadap mami. Berjalan kemanapun sopir pribadi akan selalu mengantar dan menjemput. Sepulang sekolah saya harus lanjut mengikuti pelajaran tambahan di luar sekolah demi menunjang perkembangan otakku lebih lanjut. Malam makin larut, sedangkan tidak seorangpun orang rumah berada di hadapanku sekarang. Papi masih sibuk dengan tugas-tugasnya di luar kota, sedangkan Deva berada di tempat camping bersama teman-temannya.
“Hari sial terlalu sial,” gerutuku. Berusaha mencari taksi menyusuri beberapa toko kecil sekitar pinggir jalan. Mami keterlaluan seenaknya menyarankan pulang sendiri sekali-sekali tanpa berpikir panjang hal terburuk dapat saja terjadi pada anaknya. Kenapa hidupku hari ini benar-benar sial. Tidak seorangpun dapat menjemput, ketika berjalan melintasi pinggir jalan bajuku basah terkena cipratan salah satu pengendara.
“Pake  acara hujan segala lagi,” kekesalanku makin bertambah.
“Brengsek” kegeraman makin menjadi-jadi melingkupi hatiku sekarang.
“Mami keterlaluan!” teriakanku melalui telepon celuler ketika mami kembali mencoba menghubungi untuk menanyakan keadaanku saat ini. Masih kesal terhadap keadaan diriku hari ini, telepon dari mami langsunng kuputuskan begitu saja.
“Kemana malam-malam begini gadis cantik?” suara salah seorang pemuda. Saya baru tersadar, jika seharusnya kakiku telah berjalan lebih jauh dari pinggir jalan sebelumnya. Harusnya hanya melewati beberapa toko, kenapa jadi berada di tempat sepi seperti ini? Beberapa pemuda berkeliling di sekitar memakai kendaraan motor. Dapat dikatakan mereka pemuda-pemuda berandalan.
“Dari pada jalan sendiri mending ikut kami saja,” salah seorang dari mereka berusaha membelai anak rambutku. Mereka menghadang lanmgkahku ketika hendak berusaha menghindar.
“Mau apa kalian?” teriakanku. Pertama kali dalam hidupku terselubung penuh ketakutan luar biasa, adakah yang dapat membantuku sekarang? Tuhan, memang saya mengakui banyak dosa yang telah kulakukan, tetapi tolonglah aku saat ini. Jeritan hati dan ketakutan kuat bermain membungkus areaku sekarang.
“Tidak usah berlagak tidak mengerti, apa yang kami inginkan darimu nona manis,” jawaban salah satu dari mereka.
“Kami hanya ingin bersenang-senang selama beberapa jam saja,” tatapan inngin memangsa terlihat jelas.
“Pergi atau jika tidak?” teriakku berusaha menghindar.
“Jika tidak, kenapa memang?”
“Saya akan berteriak dan memanggil polisi,” jawabku.
“Berteriak seperti apapun juga, tidak bakalan ada orang yang akan mendengar teriakanmu nona manis,” salah atu dari mereka berjalan dan berhasil merobek lengan bajuku, sedangkan 2 orang memegang kuat pergelangan tanganku.
“Tuhan, tolong aku” tangisku ingin segera pecah. Mereka menarikku keras-keras dan melemparkan tasku beserta segala buku yang kubawah. Berusaha memberontak hingga terlepas, namun hanya beberapa saat…kakiku tersandung batu, hingga akhirnya terjatuh mengeluarkan banyak darah.
“Kau tidak akan bisa keluar dari tempat ini,” gertakannya.
“Malam ini, kau milik kami seutuhnya,” kalimmat yang lain.
“Lepaskan,” mencoba kembali memberontak. Tiba-tiba sebuah sirene mobil kepolisian berbunyi keras di sekitar area kami. Membuat mereka sebuah ketakutan sendiri, dan berusaha berpencar untuk berlari kuat. Semua pergi menjauh dari diriku, mataku terpejam ketakutan bahkan tidak mengerti apa yang harus kulakukan sekarang. Pertama kali bagi seorang Gilia menangis histeris sejadi-jadinya penuh ketakutan.
“Lepaskan,” berusaha mendorong seseorang, tanpa menyadari siapa yang ada di depanku sekarang.
“Sadarlah,” berusaha menepuk-nepuk wajahku untuk membuatku membuka mata. Mendengar suara yang tidak asing  lagi di telingaku, ternyata dia berperan sebagai penyelamat mala mini.
“Saya tidak akan menyakiti ataupun melakukan hal sama seperti dilakukan oleh pemuda tadi,” itu suara dia berusaha menenangkan diriku. Terkejut melihat Darrel berada di hadapanku, berusaha menutupi bagian bahuku memakai switernya. Mulutku terdiam tidak tahu harus berbicara tentang apapun, masih trauma terhadap kejadian barusan. Membantuku berdiri dan berjalan…
“Kenapa?” pertanyaan terbodoh ketika melihatku berdiri di hadapannya.
“Belajarlah menjadi orang biasa, coba sekali-sekali mengenakan sebuah motor sederhana seperti ini tanpa mobil mewah di hadapanmu” keadaan seperti ini, dia masih sempat menyindir tajam.
“Naiklah,” menarik tanganku untuk segera berada di atas motor sederhana bahkan tidak masuk hitungan keluaran terbaru beberapa tahun belakangan. Asli motor sekitar tahun-tahun masih zaman kakek buyutnya kali…
“Kau mau membawaku kemana?” tanyaku sangat khawatir karena jalur rumahku sudah lewat.
“Memangnya alamat rumahmu dimana?” tersadar jika dia sama sekali belum pernah tahu alamat tempat tinggalku.
“Kita ke rumah sakit dahulu, setelah itu rumahmu” kalimat Darrel terus mengemudikan motornya. Saya segera menggelengkan kepala, pertanda tidak menginginkan berada di  sebuah rumah sakit manapun juga.
“Jangan ke rumah sakit,” menghalangi dia membawaku ke rumah sakit. Beberapa kali bersikkeras ingin membawaku ke rumah sakit terdekat, namun saya terus saja menolak. Hingga akhirnya, dia sendiri membeli cairan NaCl, kasa, plester, dan beberapa obat lain untuk membersihkan dan mengobati lukaku. Apa yang terjadi denganku?
“Makanlah, pasti lapar sejak tadi kau belum makan!” tiba-tiba menyodorkan roti bakar untuk mengisi perutku. Mengambil roti tersebut dari tangannya, kemudian memasukkan ke dalam mulutku.
“Ternyata dunia Gilia seperti ini,” membuatku tersedak seketika, sedangkan dia sendiri tertawa melihat tingkahku.
“Hanya bercanda,” senyuman Darrel tidak akan pernah kulupakan. Malam ini, dia menjadi malaikat pelindung bagi hidup Gilia. Mengajarkan hidupku tentang bagaimana seseorang sedang berada pada sebuah motor sederhana.
Di sekolah prestasinya bagian akademik hanya berada pada area standar, bahkan tidak terdapat sesuatu hal paling menarik. Seorang Darrel menyukai dunia lain dibanding untuk meraih sebuah prestasi dalam lingkunngan area sekolah. Alur kehidupan antara Gilia dan Darrel berlawanan, bahkan sampai kapanpun tetap dipisahkan oleh hal berbeda.
BAGIAN 3…

GILIA…
Sejak peristiwa malam itu, hidup Gilia belajar tentang bagaimana untuk tidak membuat sebuah pernyataan menyudutkan seseorang. Selama beberapa saat setelah kejadian tersebut, sifat dinginku masih bermain. Seperti biasa Darrel hanya menanggapi dengan sebuah senyuman tanpa memperlihatkan wajah kesal.
“Tulisan namanya Gi, tapi panggilan nama ji” memancing setidaknya suaraku terdengar ketika berada di hadapannya.
“Memang masalahmu di mana?” suaraku terdengar kaku, namun berusaha berbicara dingin di hadapan Darrel.
“Orang aneh” berlalu begitu saja. Sekalipun tanpa prestasi  akademik, hampir semua remaja putri menyukai Darrel. Apakah kemungkinan saya akan masuk dalam bagian salah satu dari remaja putri tersebut? Penampilan terlihat keren, dapat menebarkan pesona bagi banyak remaja putri di sekolah. Dia tetap beradaptasi dengan karakter dingin dan angkuh dari diriku. Selama sebulan penuh setelah peristiwa malam itu, pandanganku masih seprti biasa. Entah apa yang ada dalam benakku sendiri?
Tanpa pernah semua penghuni sekolah sadar, jika sebenarnya secara diam-diam saya selalu memperhatikan gerak-gerik Darrel. Di saat keadaan tidak menentu detakan jantungku terbilang cepat ketika dia berada dekatku. Berusaha menghidupkan suasana, sekalipun karakter acuh masih saja menyelimuti hidupku. Saya tidak menginginkan sama sekali hal-hal seperti ini terjadi dalam diriku sendiri. Entahlah?
Seperti biasa sopir jemputan menunggu depan pagar sekolah, papi tidak ingin kejadian mengerikan terulang kembali terhadap putri kesayangannya. Bahkan jika pak Banu ataupun Deva tidak dapat menjemput, papi segera meninggalkan pekerjaannya hanya demi diriku semata. Tiba-tiba seseorang menyumbat mulutku dan membawaku jauh dari depan pagar sekolah sebelum pak Banu melihatku. Berusaha untuk memberontak, namun semua tidak membuahkan hasil.
“Tuhan, jangan sampai kisah hidupku paling menjijikkan terulang kembali?” jeritku.
“Lepaskan” ucapku.
“Sekali-kali nikmati masa remajamu, si’kutu buku” suaranya sambil melepaskan tangannya dari mulutku.
“Kau” kekesalanku mulai meninggi, tersadar Darrel pelaku utama di balik semua ini.
“Berhenti berbicara, untuk hari ini kita habiskan waktu bersama” senyuman Darrel seperti biasa bermain, membuatku setiap saat terlihat kaku dan tidak dapat melakukan apapun.
“Papi pasti mencariku,”
“Ternyata seorang Gi anak papi bukan mami” nada menyinggung Darrel.
Masih tetap terdiam, sedangkan dia sendiri masih tertawa akibat ucapanku. “Lupakan papi ataupun mamimu, hari ini dunia Gi harus menikmati masa remajanya, ngerti!” menyuruhku segera manaiki motor butut miliknya.
“Sopir papi menunggu di sana” kalimatku ragu bahkan tidak menyukai hal-hal seperti ini setelah pulang dari sekolah. Dunia Gilia terasa segar jika setelah pulang sekolah berada di rumah, tempat les, atau paling tidak sekitar toko buku. Saya tidak menyukai kisah hidup remaja berkumpul dan berada di sekitar area perkotaan. Bersenang-senang, berbelanja, bahkan hanya sekedar cuci mata pada sebuah café atau pusat perbelanjaan terbesar bukanlah kisah hidupku.
“Si’kutu buku berhenti berpikir tentang semua itu, ngerti” dia menarik tubuhku agar segera berada di motor kesayangannya.
“Pakai ini,” segera memberiku sebuah helm. Namun di luar dugaan, dia sendiri secara langsung mengenakan pada kepalaku. Bunyi jantungku berdetak tidak karuan, ketika tatapan matanya terus saja berada di sana.
“Ternyata seorang Gi benar-benar cantik, kalau ditatap lama seperti ini” matanya tidak berkedip sama sekali bahkan tangan Darrel tetap berada pada lengan bajuku.
“Kau mau pergi atau tidak? Berhenti melakukan hal terbodoh” memukul kepalanya memakai tas sekolahku.
“Tidak seperti itu juga kali,” membunyikan motor dan membawaku pergi mengelilingi seputar ibu kota. Pertama bagi hidupku berjalan bersama seorang cowok, lebih parah lagi hanya memakai sebuah motor sederhana seperti ini. Hanya berputar, tanpa memasuki sebuah tempat sama sekali. Manusia paling pelit seantero dunia yang pernah ada.
“Kau pastti lapar,” menghentikan motornya pada pinggir jalan. Pertama bagi duniaku harus makan pada sebuah gerobak kecil tanpa restoran besar.
“Kata mami, perut bisa sakit kalau makan di pinggir jalan” sikapku terlihat kaku. Apa yang terjadi dengan hidupku sekarang? Gilia yang biasa terkenal dingin, angkuh, sombong dapat berucap tidak karuan bahkan seakan seperti gadis paling polos sedunia.
“Hahahahahaha, itu kata mamimu bukan bundaku” menarik tanganku agar segera duduk sekitar pinggir gerobak bakso tersebut. Di rumah saya terbiasa mengeluarkan bahasa tidak senonoh bagi para pembantu, jika memberikan masakan benar-benar kategori rendahan. Sekarang saya sendiri harus menikmati makanan di pinggir jalan seperti ini.
“Ta…ta…pi, mami tidak pernah mengajar makan seperti ini,” masih berusaha menolak.
“Bisakah kau berhenti menyebut nama mami atau papimu sekali saja,” cetusnya bahkan terlihat kesal mendengar setiap kalimatku.
“Makanan di pinggir jalan itu kotor, banyak kuman” rasa angkuh mulai kembali menjalar, kakiku terhenti dan tidak ingin berjalan menuju kursi. Darrel menarik paksa tanganku, membuatku terduduk tanpa berucap sedikitpun. Dia memesan 2 mangkuk bakso buat kami berdua. Di hadapanku terdapat semangkuk bakso, antara rasa ragu ingin makan atau segera berlari dari tempat tersebut.
“Gadis kutu buku yang terkenal sombong, angkuh, judes, kaya, jenius bahkan sebentar lagi melanjutkan pendidikannya pada salah satu kampus terbaik dunia.” Ucapan Darrel 15 menit setelah terdiam tanpa pernah bisa mencicipi makanan di hadapanku.
“Maksudmu?” sedikit gerah mendengar ucapannya.
“Belajarlah menikmati masa remajamu, salah satu cara yaitu makan di pinggir jalan, ngerti!” memasukkan sebuah bakso ke dalam mulutku tiba-tiba.
“Jangan memuntahkan makanan yang sudah ada di mulutmu sekarang!” menyuruhku segera mengunyah dan menelan makanan tersebut. Dia mengajariku cara menikmati masa remaja, bukan hanya berada di depan berbagai jenis buku-buku. Membuatku menikmati kehidupan ketika makan semangkuk bakso sekitar gerobak kecil jauh dari restoran mewah.
“Kalau perutku sakit, bagaimana nantinya?” ketakutan.
“Gadis aneh, kalau perutmu sakit tengah malam saya akan ke rumahmu membawa obat sakit perut” ledekan Darrel sama sekali tidak terdengar lucu…
Perlahan dunia Gilia mulai sedikit mengalami perubahan yang tidak biasa. Mengerti tentang realita kehidupan bawah terlebih menyadari bagaimana perasaan Deva adikku. Tidak pernah perduli tentang dunia bawah, sekalipun adikku berkata-kata tetapi hidupku membenci kehidupan rendah seperti itu. Hingga akhir cerita, dia datang mengajarkan langkahku setahap demi setahap tentang  kehidupan.
“Kutu buku,” teriakan Darrel memenuhi gendang pendengaranku. Berbalik ke arah belakang mencari suara yang sedang memanggilku. Siapa lagi kalau bukan dia, setiap saat membawaku ke sebuah petualangan terbaru. Terkadang dia membuatku absen untuk mengikuti beberapa kegiatan les di luar sekolah. Orang tuaku sama sekali tidak menyadari kegiatanku selama ini. Mereka hanya tahu setiap saya tidak berada di rumah berarti mempersiapkann diri sebaik mungkin untuk menjadi salah satu mahasiswa Harvad.
“Hari ini semua guru rapat, jadi kau dan aku bebas berekspresi,” mendorong tubuhku dari belakang menuju parkiran kampus.
“Kau mau pergi kemana?” tanyaku.
“Bukan kau tapi kita berdua, ngerti” kalimat penuh penekanan menyuruh untuk segera berada di belakang motornya.
“Tasku masih tertinggal di kelas,” berusaha berlari, tetapi sekali lagi tertahan.
“Berhenti mencari tasmu,” memegang pergelangan tanganku.
“Papi pasti mengamuk, jika seseorang menemukan tasku semalaman di kelas”
“Belajarlah menghilangkan kata mami atau papimu untuk beberapa saat,” gerutunya sangat kesal mendengar setiap kalimatku…
“Ternyata gadis angkuh, sombong, dingin, emosional tinggi setiap berucap pasti menyelipkan kata mami dan papi, keren amat jadi orang” cetusnya kembali.
“Berhenti mengejekku” mulai kesal setiap saat menyindir hidupku…
“Kutu buku, hari ini kita akan berpetualang” menarik tanganku untuk segera berada di belakang.
“Papiku bisa marah be…” tiba-tiba tangannya menyumbat mulutku memakai seketika. Matanya kembali menatapku dalam waktu lama tanpa berkedip sedikitpun. Detakan jantungku mulai berirama tidak karuan ketika berada di dekatnya. Ini tidak boleh terjadi berusaha lepas dari tatapan mata Darrel. Di luar dugaa, dia makin mendekat, membuat mataku tertutup rapat-rapat ketakutan.
“Kau pikir saya akan melakukan sesuatu…” membuatnya tertawa luar biasa melihat segala tingkah laku Gilia. Dia mengambil sesuatu dari kepalaku yang ternyata daun kering berjatuhan dari atas pohon.
“Kenapa menatapku seperti itu?”
“Karena kau cukup cantik kalau ditatap lama-lamalah” jawaban paling aneh dan belum pernah kudengar. Ternyata tas sekolahku berada dalam bagasi motornya, tanpa sepengetahuanku dia telah mengambilnya dari kelas.
“Kau” hanya kata seperti itu saja  yang dapat keluar.
“Bunda selalu mengajarkan jangan melakukan hal-hal yang akan merusak masa remajamu.” Ungkapannya tiba-tiba. Dunia Darrel jauh berbeda dari yang kubayangkan selama ini.
“Maksudnya?” tanyaku.
“Seperti merusak anak gadis orang, salah satu contohnya membuat adegan berbahaya bahkan paling berbahaya seantero dunia dimulai dari ciuman pipi kiri kanan, terus lari ke bibir, hingga akhir cerita merebut kerawanan sampai dia hamil. Akhir cerita, saya menjadi seorang ayah di usia masih terlalu muda.” Membuat seluruh wajahku memerah memasuki stadium paling akhir mendengar penjelasan seorang Darrel.
“Kita tidak memiliki hubungan apapun, jadi tidak mungkin kau berbuat terlalu jauhkan?” ungkapku.
“Itu katamu untuk saat ini, tapi siapa lihat nanti,” suaranya sedikit pelan.
“Coba ulang ucapanmu tadi,” ujarku.
“Lupakan, tidak ada siaran ulang gadis kutu buku.” Segera membunyikan motornya.
Berpetualang bersama dia membuatku belajar tentang sebuah kehidupan. Mengerti bagaimana senyum harus dimainkan di setiap sudut kehidupan. Berjalan bersama dia menyusuri tempat-tempat kecil bahkan melakukan sesuatu yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Dia mengajarku berada di atas sebuah kendaraan sederhana seperti mobil angkot, becak beroda tiga, motor butut, masih banyak lagi.
“Ayo ke pasar yang ada di sana!” segera membawaku menuju sebuah pasar kecil.
“Gi, bajunya murah meriah harganya Cuma 15.000,- doang” teriakan Darrel terlihat bahagia.
“Baju kualitas murah seperti itu,” gerutuku di dasar hati.
“Kenapa?” mata Darrel melotot menyadari sesuatu hal dariku.
“Papi biasa membelikan baju di butik-butik terkenal,” kalimatku.
“Oh my God, dasar anak papi” cetusnya.
“Papi dan mami tidak pernah membiarkan saya memiliki pakaian-pakaian seperti itu, terlebih kualitas pakaian pembantu di rumah.” Kalimatku.
“Setidaknya kau harus belajar menikmati masa remajamu dengan cara mengoleksi pakaian-pakaian super duper murah seperti ini.” Penjelasan Darrel menatapku.
“Itu pakaian pembantu,” teriakanku.
“Gi, belajarlah berpetualang menikmati hidup dan tidak hanya melihat segala sesuatu dari kata mewah, mahal, berkualitas. Ngerti” ujarnya sekali lagi membuatku tidak dapat berkata-kata.
“Apakah ini  yang dikatakan sebagai petualangan masa remaja?” cetusku bahkan hampir tidak mempercayai semua hal di hadapanku sekarang.
“Gi, ada saat dimana kau harus bijak melihat sebuah kehidupan di depan matamu.” Kata-kata bijak darinya membuatku terdiam. Seorang Gilia melakukan hal-hal tidak terduga terlebih harus mengoleksi pakaian-pakaian dari dunia pembantu.
“Saya bukan pembantu” suara terdengar pelan sangat tidak menyukai pakaian kualitas rendahan seperti itu. Dia tahu kehidupanku seperti apa, bagaimmana rumahku penuh harta berlimpah. Apa sih yang tidak bisa dipenuhi oleh kedua orang tuaku? Satu kalimat bagi dunia Darrel sungguh mengerikan memiliki kehidupan miskin seperti itu. Kenapa juga seorang Gilia mau menuruti semua hal dari diri Darrel?
“Berpetualang ketika masih remaja, tidak berarti seseorang harus memamerkan segala yang dimiliki sekalipun mampu memenuhi apapun dalam dirinya.” Bahasa bijak Darrel mulai bergema kembali menyadari pemikiran seorang Gilia berada di suatu jalur lain.
Kehidupan dia sangat mirip dengan dunia adikku bagai pinang  dibelah dua. Devanya membuat sebuah pernyataan di buku hariannya tentang bagaimana seseorang harus memahami keadaan di depan matanya. Sementara dia mengajarkan sebuah petualangan di masa remaja, tidak harus bercerita tentang café mewah, butik terkenal, pusat perbelanjaan terbesar, restoran mewah, segala benda-benda berkualitas dan masih banyak lagi. Petualangan dunia remaja adalah ketika mereka memahami kakinya dapat berada di jalur tepat sasaran.
“Seseorang harus belajar merendahkan hati, roda terus berputar dan tidak ada yang tahu kehidupan hari esok menjadi seperti apa,” ucapan seorang Darrel dengan gerakan tangannya terus memilah-milah pakaian di  depan mata.
“Berarti kau berkata jika papi dalam skejap bisa saja…” kalimatku terpotong.
“Bukan maksudku berkata-kata aneh, tetapi ada saat dimana terkadang Tuhan mengizinkan sesuatu terjadi dalam hidupmu dan membuatmu tidak memiliki harta satu sen pun, kau dapat menghadapi keadaan seperti itu. Kenapa?” bahasa Darrel.
“Kenapa memang?” tanyaku menghentikan tangannya diantara pakaian-pakaian murah.
“Karena kau terbiasa hidup di dalam kesederhanaan, tanpa harus berpikir mempunyai segala jenis benda-benda mahal. Petualangan menyenangkan dari kehidupan remaja jika kau mau mencoba belajar hidup dalam kesederhanaan. Tidak hanya hidupmu berada pada sebuah perpustakaan dan menjadi kutu buku.”kalimat Darrel. Dia seperti penceramah handal atau lebih baik jika Darrel mengabdikan diri menjadi pendeta, biksu, atau ustasd sekalian.
“Gunakan masa remaja mempelajari berbagai sisi hidup, selain membentuk wawasan dalam hidupmu” dia tidak pernah putus asa mengajarkan hidupku tentang dunia remaja.
BAGIAN 4…

DARREL…
Kepribadian salah satu penghuni di sekolahku yang baru jauh dari akal logikaku sendiri. Angkuh, dingin, emosional tinggi, setiap saat merendahkan banyak orang, menutup diri terhadap kehidupan di luar sana. Menjadi gadis kutu buku hanya menghabiskan kehidupan dengan begitu banyak buku-buku. Jenius bahasa paling tepat menggambarkan dirinya, bahkan hidup dalam kemewahan. Satu lagi, seorang gadis berpenampilan serba mewah seperti gadis modern pada umumnya.
Kalau bukan karena ayah pindah tugas, pasti saya masih betah tinggal di kota lain bukannya tempat seperti ini. Menyukai sekolahku yang lama, memberi memori tersendiri bagi hidupku. Semua orang pasti menertawakan kisah hidupku, lain dari pada yang lain. Pada usiaku yang ke-15, ayah menikah lagi dengan seorang janda sekarang menjadi ibu tiriku. Bunda meninggal di usiaku menginjak 13 tahun, setahun kemudian ayah dipertemukan seorang wanita, bahkan tidak lama kemudian mereka menikah.
Semua orang dapat tertawa sejadi-jadinya, kenapa? Karena ayah menikahi janda beranak 10, hebat sekali menjadi orang tua terhebat seantero dunia. Kisah hidupku terbilang keren, mempunyai saudara tiri berjumlah hampir selusin. Inilah yang dikatakan cinta, bahkan kotoran kucingpun rasa coklat paling terenak di dunia. Bunda saja hanya mempunyai anak 2, saya paling sulung, sedangkan adik perempuanku sekarang beda 2 tahun dariku.
Pertama mendengar, jika saya dan adikku akan mempunyai ibu beranak 10 luar biasa pergumulan paling terhebat memenuhi kehidupan. “Ayah, coba bayangkan apa kata orang?” amukan Brielle satu-satunya adik perempuanku. Saya hanya menggeleng-gelengkan kepala pertanda tidak mempercayai semua di depan mataku saat ini.
“Inilah yang dinamakan cinta Bril, tidak memandang status” jawaban ayah mencoba menenangkan putri satu-satunya.
“Maksud ayah, cinta dari hongkong” Brielle hampir gila mendengar ayah akan menikah lagi. Secara pandangan logika, bunda belum lama pergi meninggalkan kami bertiga dan tiba-tiba ayah ingin menikah lagi. Masih berselang 2 tahun, apa kata orang nantinya terhadap kehidupan keluarga kami.
“Cinta tidak melihat masa lalu seseorang, tetapi mau menerima dia apa adanya.” Ungkapan ayah.
“Menerima masa lalu gimana, janda beranak 10, keren amat” Brielle masih saja ngoceh tidak dapat menerima kenyataan.
“Bril, itulah yang dikatakan cinta,” ledekanku terhadap ayah.
“Waktu suaminya masih hidup, emang dia ga kenal KB yah?” sindiran Brielle.
“Bril, jangan hanya menilai masa lalu tetapi coba melihat yang sekarang” itulah dunia ayah, tetap berpegang pada pendiriannya.
“Bril, KB itu apa yah?” tanyaku terhadap Brielle ditengah-tengah rasa frustasinya.
“Kakak, KB itu artinya Keluarga Berencana alias 2 anak saja sudah cukup” ucapan Brielle penuh irama penekanan masih terdengar kesal luar dan dalam.
“Ini mah bukan 2 anak lagi, tapi hampir selusin” ujarku berpikir kacau...
“Untung anaknya kalau baik semua dan ibarat bunda jadi anak manis, tapi jika sebaliknya, rumah pasti seperti kapal pecah.” Brielle membayangkan keadaan rumahnya harus tinggal seatap bersama mereka. Menurut cerita ayah, ke-10 anaknya juga akan menjadi penghuni rumah kami nanti. Sekitar 5 diantara mereka sudah menikah, tetapi tidak mempunyai tempat tinggal jadi harus mengekor dibelakang emaknya.
Berarti kami tidak hanya berjumlah 14 orang nantinya dalam rumah, tetapi lebih dari itu, kenapa? Karena belum masuk hitungan menantu dan cucu wanita janda tersebut. Menurut informasi dari ayah, kalau wanitanya menikah di usia masih sangat muda sekitar 15 tahun jadi karena kurangnya pendidikan sampai akhir cerita sama sekali tidak mengenal istilah keluarga berencana. Terlebih zaman kemarin, dikenal dengan sebuah pernyataan “banyak anak, pasti banyak rezeki”. Tidak ada pemikiran dasar tentang perkembangan zaman, hingga berakhir seperti ini.
Rasa stres berkepanjangan membuat Brielle jarang di rumah selama beberapa waktu. Di lain hal, kehidupan kami tidaklah seperti kebanyakan orang memiliki banyak harta berlimpah. Ayah hanya karyawan biasa, sedangkan bunda sewaktu masih hidup membantu dengan membuka warung makanan dan menjajahkan beberapa jenis kue di sekolah-sekolah. Memang sih, jabatan ayah ada peningkatan tetapi tidak cukup untuk menghidupi puluhan orang di rumah. Belum lagi calon saudara tiri kami terbilang masih sekolah beberapa di antara mereka.
“Lengkap sudah penderitaanku kakak” amukan Brielle.
“Tidak segitunya juga kali, Bril” mencoba menenangkan adikku setelah berhasil mendapatkan dia di sekitar pinggiran pantai.
“Kakak, coba bayangkan mempunyai saudara tiri berjumlah 10 orang, sedangkan 1 saja masih bisa berselisih apa lagi kalau banyak orang” rasa frustasi Brielle tidak kunjung berhenti.
“Kau tidak bisa memaksakan kehendakmu berbicara, tetapi kembali lagi yang di atas.” Hanya kalimat seperti itu saja yang bisa kulontarkan.
“Jadi kakak?” mulutnya menganga tidak berkedip sedikitpun.
“Tenangkan dirimu, biarpun kita berdua melawan setengah mati, tetapi kalau memang Tuhan menghendaki mempunyai saudara tiri 10 orang, mau gimana lagi” ujarku.
“Kakak...” makin terlihat kesal mendengar perkataanku.
“Kau tidak bisa melawan kehendak Tuhan, katakan saja kehendak Tuhan yang jadi dan beri saya kekuatan menghadapi semua ini. Simple kan”
“Untung kalau anak-anak janda kritis itu mengerti keadaan, tapi jika tidak” menarik nafas dalam-dalam dan tidak tahu harus berbuat ataupun bertindak seperti apa...
Brielle harus menerima kenyataan hidup memiliki saudara tiri berjumlah 10 orang. Tinggal seatap bersama mereka bahkan beberapa diantara mereka telah berkeluarga. Sebagian anaknya hanya tamatan SD, SLTP karena tidak memiliki biaya cukup untuk bersekolah. Menikah di usia masih terlalu belia sama seperti ibu mereka oleh karena pemahaman tentang pendidikan berada dibawah standar. Selain itu, kehidupan ekonomi membuat mereka harus berhenti menempuh pendidikan di tengah jalan. Bunda saja hanya menamatkan diri dari bangku SMU, karena itu beliau benar-benar berjuang agar anaknya bisa lulus sarjana.
Brielle berjuang habis-habisan belajar demi mewujudkan impian bunda. Berhasil mendapat peringkat pertama di sekolah setiap tahunnya, jauh berbeda dengan kehidupanku. Setelah ayah menikah kembali, kami akhir cerita hidup seatap bersama mereka. Ayah pindah tugaskan dan naik jabatan karena kinerjanya bagus. Berada di kota besar, membuatku belajar beradaptasi terhadap banyak hal.
Sekalipun mempunyai saudara tiri luar biasa banyak, tetapi ayah tetap berjuang menyekolahkan kami di sekolah terkenal. Brielle mempunyai sekolah tersendiri karena berhasil mendapat beasiswa berprestasi. Menjadi salah satu pejabat penting di negara ini merupakan impiannya. Hal terlucu setiap mencurahkan isi hatinya adalah ingin memberantas pernikahan dini, kemudian menjelaskan betapa pentingnya pendidikan seorang anak. Juga membuat sebuah program untuk sementara waktu, jika 1 anak sudah cukup demi mengurangi tingkat kemiskinan di negara ini.
“Cita-cita paling luhur dan mulia,” sindirku berusaha menahan tawa setiap mendengar curahan hatinya.
“Kakak, ini hanya berlaku sementara waktu program 1 anak cukup, setelah keadaan menjadi stabil bisa kembali seperti semula 2 anak cukup.” Berbicara tidak ada habisnya hanya permasalahan KB. Kemungkinan akibat memiliki ibu tiri dengan anak berjumlah 10 orang. Lebih parah lagi, anak-anaknya tidak ada yang beres semua terlihat kacau. Saudara tiri kami memang hanya menjadi ibu rumah tangga sebagian, sedangkan suami mereka berpenghasilan dari upah buruh, tukang ojek, tukang becak, tukang batu, tukang sayur. Lebih parah lagi diantara suami mereka ada yang menjadi tukang makan hanya malas-malasan buat mencari nafkah.
“Semangat buat cita-cita mulia Bril,” masih berjuang menahan tawa mendengar bagaimana dia bermimpi.
“Kakak juga harus berjuang, biar bisa meraih mimpi juga” setidaknya dia sudah belajar melupakan rasa sakit hati memiliki ibu dan saudara tiri berjumlah 10 terlebih diantara mereka semuanya terlihat kacau balau.
Inilah keadaan harus tetap dilakoni, sekalipun terdapat beberapa hal mengerikan di depan mata. Rasa frustasipun hampir membungkus langkahku saat ini, tetapi bunda selalu mengajar jika seorang pria harus tetap terlihat kuat. Sikap tenang, bijak, menjadi kakak terbaik harus terus ada dalam Darrel sesuai pesan bunda.
Di sekolah baru, tidak ada seorangpun menyadari bagaimana kisah hidup seorang Darrel bersama keluarga besarnya. Mereka hanya mengenal Darrel setiap saat tersenyum menebarkan pesona pada akhir cerita seluruh remaja putri menyukai semua itu. Tetapi tidak untuk Gilia salah satu manusia angkuh, dingin, jenius, sombong, dan masih banyak lagi sifat terburuk dari hidupnya. Dia begitu membenciku, terlebih ketika pertama kali menginjakkan kaki di sekolah, kepala Gi mengenai lemparan bolaku.
Sifat Gi berbanding terbalik dengan Bril adikku, bahkan tidak pernah sama. Brielle juga dikenal sebagai murid jenius, tetapi tetap memperlihatkan kerendahan hati bahkan masih dapat menikmati masa remaja dengan berbagai warna-warna pelangi. Sementara Gi hanya berpikir sesuatu tidak masuk akal, sekalipun dia dinyatakan lulus pada salah satu kampus terbaik dunia. Hanya menunggu waktu, setelah lulus dia akan berangkat keluar negeri melanjutkan pendidikannya.
Tetapi sifat Gi mulai sedikit berubah minimal 1% setelah peristiwa malam dimana saya menjadi malaikat untuk sementara waktu. Peristiwa dimana dia hampir menjadi korban pemerkosaan beberapa berandalan. Entah mengapa Tuhan membuatku melewati jalan tersebut, tidak seperti biasanya. Melihat si’kutu buku dikenal sebagai gadis angkuh berteriak histeris ketakutan. Mencari akal demi menyelamatkan dia, membunyikan sirene polisi melalui pengeras suara demi menakut-nakuti para berandalan tersebut.
“Benar ucapan Bril, program Kb cukup 1 anak harus diterapkan demi mengurangi tingkat kriminal di negara ini.” Gerutuku sendiri membayangkan bagaimana Brielle menjelaskan tentang kepadatan penduduk begitu berdampak bagi sebuah negara. Karena mereka berada di tingkat ekonomi lemah, tidak mempunyai pendidikan pada akhirnya berakibat fatal bagi kehidupan sebuah negara.
“Bril, semoga impianmu dapat tercapai setidaknya mengurangi tingkat kemiskinan dan kriminalitas di negara ini, amin” seru doaku jauh di dasar hati. Berjalan ke hadapan Gilia Carlissa setelah para berandalan tersebut melarikan diri dan menjauh darinya. Berusaha menenangkan Gi yang masih histeris akibat perlakuan mereka. Setidaknya dia tidak kenapa-kenapa, Tuhan masih menolong untuk lepas dari mereka.
Semenjak kejadian tersebut, sikap dingin si’kutu buku mulai berubah walau hanya berkisar 1%. Minimal dari pada sama sekali tidak ada perubahan dalam diri si’kutu buku. Hal terparah ketika ingin merubah pola pikir dari hidup Gi, harus mendengar ucapan mami atau papi. “Dia harus mengerti petualangan hidup, atau membuat sebuah skenario sebagai petualangan remaja.” Ungkapan hatiku bergema jauh di dasar paling dalam.
“Si’kutu buku,” ledekanku di hadapannya setiap kali bertemu.
“Senyum dong” ujarku kembali, setiap saat dia masih saja memasang wajah angkuh dan kepribadian dingin. Entah mengapa, di saat dia ada di hadapanku, seakan ada sesuatu yang tidak ingin kulepas sama sekali. Apa yang terjadi dengan hidupku Tuhan? Darrel harus segera bangun dari mimpi berkepanjangan...
“Minggir!” bahasa acuh tak acuh masih sering bermain. Seakan ada sebuah kekuatan membuat seorang Darrel tanpa pernah bosan terus berada di dekatnya. Sekalipun dia bersikap dingin dan ingin marah, tetapi tanganku terus menariknya berkeliling kota memakai motor tua.
“Kutu buku, hari ini kita berdua akan melakukan petualangan paling seru” cetusku.
“Papi bisa mencariku,” diantara sifat angkuh, dingin, judes, sombong yang dimiliki oleh Gilia, tetapi tanpa sadar ucapannya selalu menyelipkan kata papi dan mami.
“Lupakan papi atau mamimu untuk hari ini, ngerti” sekali-sekali saya berulah membuat dia ketakutan melalui gertakan keras. Terkadang di saat tertentu mataku tidak berkedip sedikitpun menatap dia dalam-dalam. Apakah ini yang dikatakan menyukai seseorang? Jadi pertanyaan sekarang adalah mengapa harus gadis angkuh seperti Gilia?
“Berhenti menatapku seperti itu?” amukannya bermain, segera mengambil sebuah buku atau benda kemudian melemparkan ke arahku.
“Ternyata, gadis kutu buku makin ditatap makin cantik” sedikit menggodanya hingga menciptakan rona merah pada wajah Gilia stadium paling tinggi seantero dunia.
“Dengar, kau dan saya memiliki kehidupan ekonomi berbeda,” sifat dingin dia masih sering main. Namun saya tidak akan patah semangat membuat dia memahami petualangan remaja di dalam kesederhanaan. Meyakini suatu hari kelak dunia Gi pasti berubah. Dia hanya membutuhkan waktu setahap demi setahap untuk mengerti kesederhanaan di setiap aspek kehidupan.
Membuat dia berkeliling kota memakai motor sederhana, sekalipun sifat dingin dan angkuhnya masih bermain kuat. Mengajarkan hidup Gi bagaimana rasanya makan sekitar pinggir jalan. Tertawa melihat tingkah lakunya ketika makanan atau kue-kue di pinggir jalan terpaksa dimasukkan ke dalam mulutnya. Membuat dia merasakan berada di sebuah mobil angkot, becak roda tiga, bis tua, becak motor, dan masih banyak lagi.
Bersama Gilia membuatku lupa akan masalah dimana saya memiliki saudara tiri berjumlah 10 orang. Dapat dikatakan saudara tiriku tidak satupun beres kelakuannya. Dalam segala hal mereka selalu saja berselisih baik itu memperebutkan makanan, pakaian, atau hanya sekedar lawan jenis. Belum lagi saudara tiriku yang sudah berumah tangga kelakuan mereka luar biasa keren di rumah, cerewetnya minta ampun. Ibu tiri setiap berbicara membuat kepala sakit kiri dan kanan pada level seratus derajat celcius.
Walau karakter dingin Gi lebih bermain kuat, tetapi tetap membuatku tersenyum hingga membuatku lupa tentang saudara tiriku ada 10 orang. Satu lagi, entah roh apa merasuki tubuhku, membuat Gi berada di sebuah pasar kecil. Menyuruh dia mengoleksi pakaian-pakaian murah meriah. Sudah kebayang bagaimana teriakan dia melihat suasana pasar tradisonal. Tidak pernah merasakan berbelanja di tempat seperti ini, membuat wajah seorang Gi makin terlihat asam. “Kau harus mencoba pakaian ini!” perintahku.
“Tidak salah,” benar-benar terkejut. Bagaimana tidak, seluruh pakaian Gilia Carlissa dibeli dari butik-butik termewah dan terkenal.
“Pakaian pembantu di rumahku masih jauh lebih mahal dibanding pakaian yang kau pegang sekarang” kalimat Gilia terlihat mengamuk.
“Gi, harus belajar bagaimana berada pada jalur sederhana” ucapanku berusaha membuat dia mengerti tentang sesuatu.
Gadis angkuh, dingin, terbiasa berada pada kehidupan mewah, tetapi mempunyai peran cukup berharga bagi seorang Darrel. Membuat dia mengerti akan petualangan ketika menyusuri suatu titik tanpa harus memperlihatkan segala hal yang dimiliki. Menyadari akan keadaan disaat tangan seseorang harus memetik, menggenggam, melepaskan, mencari, memecah, atau sekaligus menghancurkan tanpa memperlihatkan kekuatan dari diri sendiri.
“Kau harus mendatangi sebuah tempat paling seru” tiba-tiba membuat dia terkejut saat sedang membaca buku-bukunya di bawah pohon rindang. Itulah dunia Gilia si’kutu buku sejati, tidak akan lapuk ilah zaman seperti apapun. Membuat dia kesal, mengamuk, mengucapkan kata papi/mami, terkejut, sedikit jantungan itulah kepribadianku.
BAGIAN 5…

GILIA…
Marah, kesal, dingin masih melekat pada diriku disaat Darrel datang dan  menarik paksa tanganku ke suatu petualang terbaru. Tetapi di sisi lain detak jantungku selalu bermain kuat ketika berada dekatnya. Sudah beberapa hari dia tidak berada di depanku lagi, mengajakku berkeliling kota memakai motor tua miliknya. “Tuhan, dimana dia sekarang?” pertanyaan terus melintas dalam benak selama beberapa hari belakangan.
“Giliran depan mata rasa kesal pasti muncul” gerutuku sendiri mencari-cari keberadaan Darrel.
“Giliran dia menghilang, ada sesuatu yang hilang bahkan pergi” serasa hidup hambar tanpa petualangan ataupun senyuman Darrel. Biasanya pulang sekolah seperti ini, dia segera menghadang langkahku menuju mobil kemudian membawaku pergi. Beruntung saja pak Banu tidak menaruh curiga sedikitpun.
Semua teman-temanku masih belum menyadari jika kami selalu berpetualang berdua. Darrel  selalu saja menarik paksa tanganku untuk segera berada di suatu tempat. Menyusuri taman kota untuk merasakan kesejukan pemandangan hijau di sekitar area tersebut. Berada pada sebuah kali sekitar perkampungan kecil, hanya sekedar menikmati suasana memancing bersama beberapa orang.
Awal melakukan semua itu, membuat dunia Gilia ingin berteriak habis-habisan. Rasa jijik, mual, dan ingin muntah terus saja membungkus. Tetapi dia setiap saat membawaku kembali ke kali tersebut untuk menikmati petualangan. Diam-diam hidupku menikmati semua itu, rasa bahagia jauh di dasar hati bersama dengannya.
“Gi, kenapa hari kau terlihat terus saja mondar-mandir kiri kanan?” tegur Miranda menyapaku.
“Sa…sa…ya hanya mencari angin,” jawaban paling tepat, namun terlihat gugup. Rasa takut jika mereka semua menyadari bagaimana Gilia siswa berprestasi berpetualang bersama manusia kelas bawah. Mereka menyadari hal-hal paling kubenci termasuk berhubungan ataupun terlihat dekat dengan kalangan ekonomi lemah.
“Terus kenapa tingkahmu seperti mencari seseorang” Miranda kebingungan.
“Itu hanya perasaanmu saja,” tatapan tajam, penekanan kalimat membuat dia tidak dapat berbicara.
“Kalau begitu saya pergi,” segera pergi menjauh bahkan menghilang tanpa jejak di sekitar halaman sekolah.
“Hampir  saja,” mengelus dada sembari menarik nafas dalam-dalam. Dia membuatku seperti orang yang sedang bermain petak umpet, mencari keberadaannya. Beralasan berjalan menuju lapangan hanya sekedar mengendap-ngendap untuk melihat apakah dia ada disana? Kesengajaan ingin membeli makanan sekitar kantin dan harus duduk terlalu lama, pada hal saya tidak pernah betah berada di tempat seperti ini dalam jangka waktu panjang.
“Dimana manusia itu berada?” cetusku dalam hati.
“Jangan-jangan terjadi sesuatu dengannya, sampai beberapa hari ini batang hidungnya belum juga dia nampakkan!” entah  mengapa rasa khawatir betul-betul menggerogoti pikiranku saat ini. Berusaha menguping pembicaraan beberapa siswa, hanya sekedar ingin mengetahui keberadaan Darrel. Ada apa dengannya? Manusia terbodoh…
Tanpa pernah bosan beberapa hari kakiku selalu saja menyusuri seluruh  koridor sekolah baik luar dan dalam. Menyuruh pak Banu tidak usah datang menjemput, memakai berbagai alasan biar papi dan mami tidak menaruh curiga. Pertama kali seorang diri bagi Gilia berkeliling kota memakai mobil angkot. Kemarin bersama Darrel, tetapi sekarang hanya seorang diri…
“Belajar melakukan petualangan,” bahasa seorang Darrel terngiang di telingaku. Jangan-jangan ini sebuah perasaan suka terhadap seseorang? Gilia menyimpan perasaan untuk manusia seperti Darrel…
“Awas…” sebuah mobil truk sedikit lagi menyambar tanpa kusadari sebelumnya.
“Kau” tersadar sesuatu, dia tiba-tiba muncul sebagai malaikat penyelamat sebelum mobil truk menerkam tubuh Gilia.
“Mau mati?” berusaha berdiri akibat terjatuh beberapa waktu tadi. Dia membawaku ke sebuah pondok kecil tidak jauh dari pinggir jalan untuk berteduh, akibat tiba-tiba hujan deras menampakkan diri tanpa permisi. Suasana sepi, ketika kami berada di sebuah pondok…
“Kau menyebalkan” tanpa berpikir panjang tanganku memukul tubuhnya.
“Harusnya kau berterimah kasih, bukan membuat sensasi seperti ini” kata-kata Darrel berusaha menghentikan pukulanku ke arahnya. Detakan jantungku berbunyi keras akibat tatapan matanya tanpa berkedip sekalipun.
“Saya menyukaimu” kalimat pertama keluar memecah keheningan setelah setengah jam tanpa berbicara satu sama lain.
“Apa” berusaha menjauh dari Darrel.
“Memang salah, kalau Darrel suka sama gadis angkuh, dingin, kutu buku, jenius, kaya seperti Gi,” dia makin membuat jantung seorang Gi berdetak lebih keras dari sebelumnya. Selama beberapa hari batang hidungnya tidak pernah tampak, secara tiba-tiba bertemu pertengahan jalan. Akhir cerita, jantungku hampir copot dia berucap melewati dugaanku. Manusia paling aneh sedunia…
“Bagaimana, apa kau mau menerimaku sebagai pasangan sejati, gelap, tersembunyi, tidak diakui di depan umum secara Gi selalu saja terlihat jaim depan banyak orang.” Ungkapan apaan itu seakan menyindir.
“Manusia aneh” rasa kesalku.
“Kau mau jadi pacarku?” tanyanya.
“Papi menyuruhku…”
“Berhenti menyebut papi dan mamimu,” cetusnya.
“Jadi, saya harus menyebut siapa?”
“Menyebut Darrel dan Gi selamanya bersama, sampai kapanpun tidak terpisahkan”
“Baru juga menyatakan perasaan, tiba-tiba harus berbahasa seperti ini” berbicara spontan di depan dia.
“Kau mau jadi pacarku?” tatapan serius Darrel.
“Orang aneh,” kalimatku.
“Wajah memerah seperti itu berarti yah,” pancingannya.
“Terserah kau saja,” spontan keluar begitu saja 5 menit setelah dia berucap…
“Berarti kita berdua pacaran, yes…” penuh semangat berteriak kegirangan. Namun tiba-tiba dia segera mengambil sebuah kalung dari saku celananya kemudian memakaikannya pada leherku.
“Berjanji harus setia sampai kapanpun,” perkataan Darrel membuatku tidak dapat berkata-kata sedikitpun hanya mengangguk saja…
“Tetapi, pacaran kita dimulai setelah tamat sekolah yah?” mempermainkan kehidupan Gilia…
“Kau sengaja memancing?” bahasaku terlihat emosional.
“Bunda berucap, jika saya ingin terikat terhadap seorang gadis harus setelah tamat sekolah dulu, bukan saat masih memakai seragam sekolah” sebenarnya anak mami atau bunda itu siapa, membuatku ingin tertawa keras.
“Jadi, kenapa kau menyatakan perasaanmu sekarang?” tanyaku bersikap sedikit dingin.
“Ungkapan hatiku kunyatakan sekarang, tapi status pacarannya nanti kalau sudah tamat sekolah, gimana keren ga?” mencubit pipiku.
“Manusia paling aneh seantero dunia,” kalimatku.
“Jadi status Darrel dan Gi hanya sekedar teman?” tanyaku lagi.
“Yah seperti itulah, anggap saja kita berdua sahabat dekat, ntar kalau sudah lulus sekolah statusnya berubah dari sahabat jadi pacar” jawaban dari perbendaharaan Darrel.
Dia mengungkapkan perasaannya terlebih dahulu, tetapi status pacaran setelah lulus sekolah. Pertama kali mengalami kehidupan seperti ini, kisah asmara paling terkacau di dunia. Namun, harus kuakui dia mengajarkan hidupku tentang langkah sederhana harus dilalui ketika berada disuatu persimpangan jalan.
“Gi, sebaiknya kita berdua segera keluar dari pondok ini” ungkapnya, tiba-tiba muncul depanku membawa  daun pisang besar.
“Di luar hujan” teriakku.
“Mending mandi-mandi hujan dari pada malam makin larut setan bisa main-main juga disini” raut wajah agak sedikit kacau jika diperhatikan.
“What?” saya sama sekali tidak memahami maksud ucapannya.
“Gi, kalau cowok dan cewek hanya berdua terlebih hujan deras, apa lagi gelap pasti setan-setan bergentayangan hebat kiri kanan. Ngerti?”
“Saya tidak mengerti?” jawabanku.
“Oh my God, si gadis angkuh ternyata polos juga” Darrel menggeleng-gelangkan kepala sendiri.
“Polos ?” nada suaraku mencurigai…
“Cowok dan cewek kalau berduaan di tempat gelap, terlebih hujan deras bisa saja melakukan sesuatu yang tidak diinginkan. Dimulai dari pegang tangan, cium pipi, ke bibir, pegang kiri-kanan, akhirnya guling-guling dah di situ, terakhir 9 bulan kemudian lahirlah si’kecil.” Penjelasan Darrel hingga seluruh wajahku memerah bagaikan tersiram minyak panas…
“Jangan macam-macam,” berusaha menjauh dari Darrel.
“Sejak tadi juga, saya bilang kita berdua harus pulang cepat jangan sampai setan main-main kuat ditengah hujan deras dan gelapnya malam hanya berdua. Ngerti” gertakannya.
“Apa kau pernah berciuman dengan seorang gadis?” tanyaku berhenti mengikuti jalannya.
“Pertanyaan aneh,” dia berbalik.
“Jawab pertanyaanku,” terdengar sedikit cemburu sih.
“Astaga Gi, kalau kuingat-ingat seperti pernah” jawaban dia.
“Tapi mencium bunda bukan seorang gadis,” kalimatnya lagi.
“Berarti, saya orang pertama dari hidupmu” kata-kataku.
“Kalau boleh jujur, kau bukan orang pertama tetapi beberapa gadis sewaktu di sekolahku kemarin ga bisa menunggu hingga tamat sekolah. Mereka sudah punya pacar sekarang, lebih parah lagi direbut ma teman sendiri.” Jawaban terkacau dari Darrel.
“Mengerikan,” kalimatku.
“Tapi diantara mereka semua, kau benar-benar cinta pertama.” Kalimatnya.
“Darrel manusia paling teraneh,”
“Kemarin itu hanya cinta monyet, ga serius.” Kalimat Darrel memperbaiki ikatan rambutku di belakang.
“Satu lagi, permasalahan ciuman…” bahasanya terpotong.
“Kenapa?” tubuhku berusaha menjauh mengingat ucapan dia dari tadi.
“Menyukai seseorang berarti saya harus menghargai bahkan menjaga kehormatannya. Permasalahan berciuman semua orang dapat mengejek jika dunia Darrel benar-benar kolot tetapi saya masih memegang budaya dan ajaran bunda.” Ungkapan Darrel membuka mataku tentang sesuatu hal…
“Berjanji di hadapan Tuhan menghormati pasangan saya sendiri selama belum berstatus sebagai suami istri. Tidak akan macam-macam sekalipun hanya sekedar berciuman, pegang kiri kanan stadium akhir pokoknya, terlebih ngajakin tidur coi.” Kembali Darrel berkata-kata.
“Ternyata dunia Darrel si’tukang tebar pesona…” ungkapku.
“Bunda berkata, jika bukan hanya keperawanan saja yang harus dijaga, tetapi keperjakaan seorang pria pun sangat penting. Perselisihan rumah tangga berpengaruh pada sex sebelum menikah.” Penjelasan Darrel. Pertama kali menyukai seseorang, dia mengajarkanku banyak hal tentang menghargai diri  sendiri dan pasangan.
“Terimah kasih karena sudah menyukaiku,” entah mengapa saya berucap seperti itu.
“Kita pacaran juga setelah lulus sekolah bukan sekarang, jadi santai saja bos.” Ujarnya.
“Saya akan menunggu waktu itu tiba, sekalipun saat ini kita berdua hanyalah sebagai sahabat.” Menggenggam kuat jemarinya.
“Janji” di wajahnya tidak terlihat sebuah kebohongan sedikitpun.
BAGIAN 6…

DARREL…
Beberapa hari belakangan, saya sama sekali tidak menampakkan diri di sekolah. Berurusan dengan salah satu saudara tiriku membuat hidupku kacau balau. Bagaimana tidak mempunyai saudara tiri berjumlah 10 seakan menghanyutkan diriku sendiri secara langsung di neraka level tinggi. Mendengar ceramah ibu tiri panjang kali lebar membuat kepalaku sakit seketika. Dalam rumah tidak cukup besar, hanya berukuran sederhana terdapat beberapa kepala keluarga.
“Darrel, coba tengok saudara di sana” perintah si’ibu tiri.
“Darrel, jaga si’kecil!” perintah Bita salah satu  saudara tiriku. Lebih parah dia itu mempunyai anak 3 masih kecil-kecil semua, jaraknya terlalu dekat, belum ada yang sekolah. Suami dia hanya jadi tukang makan dan tukang tidur di rumah. Hancur betul rumah tangganya, makanan mereka ditanggung ayah. Setahuku, walaupun saya belum menikah tetapi seserang yang telah berumah tangga harus mempunyai rumah sendiri. Tinggal di gubuk tidak menjadi masalah, setidaknya mereka dapat terbentuk bahkan memulai kehidupan keluarga kecilnya.
“Kau tidak merusak mainanku,” keponakanku berteriak. Berselang 5 menit, 2 keponakan berkelahi terus tiba-tiba nangis. Lebih parah lagi, orang tua mereka datang, yang terjadi bukan lagi keponakan berkelahi tetapi si’lanjut  usia. Shena dan Thiza merupakan sepupu, tetapi mereka tinggal seatap. Di rumah terdapat beberapa kepala keluarga, salah satunya orang tua dari Shena dan Thiza. Setiap terjadi perselisihan antara Shena dan Thiza, hal terburuk adalah orang tua masing-masing membela anak mereka berakibat perang dunia 3 di rumah.
“Nasib nasib, mempunyai saudara tiri berjumlah hampir selusin.” Gerutuku.
Adakah hal lebih mengerikan dari kehidupan kami sekarang? Kepala Brielle adikku hampir pecah melihat kelakuan saudara tiri kami. Dia selalu beralasan menyelesaikan tugas sekolah atau sekedar les hanya demi menghindar jauh-jauh dari mereka. Sampai pakai acara menginap segala di rumah temannya, karena kamar di rumah benar-benar sempit. Saya saja tidurnya di ruang tv sekarang, akibat kamar sudah mendapat penghuni baru.
“Kakak mau kemana?” teriak Brielle sepulang sekolah.
“Lepas stressss” jawabanku berjalan keluar.
“Ternyata kakak juga tidak tahan ma kapal pecah di rumah,” ledekan Brielle.
“Bril diam, lebih baik mulut tu dijahit biar ga kebanyakan ngomong” menyerang Brielle.
“Kakak berhenti” terus berteriak, tetapi saya terus saja berjalan keluar tanpa menghiraukan suaranya. Menuju sebuah lokasi hanya demi melepas stress berkepanjangan di rumah. Pertengahan jalan saya melihat Gilia berjalan sendiri, tiba-tiba sebuah truk dari arah utara menuju ke arahnya. Katanya, benci jika berjalan kaki atau naik angkot! Kenapa sekarang tanpa mobil pribadi bersama sopir tercinntanya itu?
“Awas,” teriakanku berusaha berlari dan segera mendorong dia ke pinggir jalan sebelum truk tersebut menyambar kami. Akhir cerita kami berdua terjatuh seperti di film-film drama korea gitulah…
Lebih parah lagi, hujan segera datang membasahi bumi tanpa memberi aba-aba sebelummnya. Mencari tempat berlindung, sambil menunggu hujan berhenti. Berada pada pondok kecil di tengah hujan deras bahkan setan dapat saja bermain. Gimana tidak, hanya berdua, sunyi, sore menuju malam, bersama hujan deras minta ampun. Tanpa hujan sekalipun permainan setan kuat terlebih jika keadaan seperti ini.
FLASHBACK…
“Kuduslah kamu, sebab aku kudus” sebuah pernyataan bunda mengajarkan tentang sebuah iman. Entah dari mana kalimat tersebut didapat, tetapi menurut bunda, pernyataan diucapkan oleh Tuhan. Seseorang harus dapat menjaga diri terhadap banyak situasi seperti apapun keadaannya.
Jangan menciptakan karakter terburuk dengan melakukan penyimpangan. Ketika memasuki sebuah hubungan, milikilah kehidupan sehat. “Darrel, kelak jika kamu mencintai seorang gadis, hargai dan hormati dengan tidak melakukan hal-hal menjijikkan.” Ungkap bunda ketika masih hidup. Umurku saat itu sudah menginjak usia anak baru gede…
“Bunda bicara apaan sih,” sedikit malu mendengar kalimat bunda.
“Semua teman-temanmu dapat saja melakukan hal paling terburuk bahkan mereka pasti mengejek jika anak bunda manusia paling kolot  sedunia menghadapi pasangannya. Tetapi, tetaplah bertahan menjadi anak bunda dengan tidak mengikuti kebiasaan buruk mereka.” Tegur bunda.
“Memang kebiasaan buruk mereka itu seperti apa bunda?”
“Biasanya anak cowok kalau pacaran selalu melewati  batas. Kenapa? Karena persepsi salah, ga keren kalau pacar ga dicium. Awal Cuma kening, trus hidung, pipi, bibir lanjut main pegang kiri kanan tidak jelas. Lebih hancur lagi berhubungan badan, akhirnya keperawanan sang pacar  direbut. Kenapa? Karena diawali dengan hal paling kecil tetapi membuat sebuah sarang.” Penejelasan bunda terhadapku.
“Bunda, apa keperawanan wanita itu segitu pentingnya ya?”
“Darrel, kau harus menyadari jangankan keperawanan seorang gadis bahkan keperjakaanpun terlalu berharga. Jangan membuat hal-hal aneh, pertahankan dirimu biarpun semua teman-temanmu mengejek kalau Darrel  manusia paling kolot jika prinsip hidupmu ketahuan.” Kata-kata bunda.
“Maksudnya?” tidak memahami kata-kata bunda.
“Darrel harus beradaptasi tetapi tetap mempunyai prinsip. Dunia sekarang pasti berkata-kata seperti ini, hari gini masih perawan atau hari gini masih perjaka, terlalu kampungan” pernyataan bunda.
“Masuk telinga kanan keluar telinga kiri, dalam hidup ini seorang Darrel harus bisa menyaring mana kehidupan menuju jurang dan mana membuat hidupmu terbentuk. Sekalipun mereka menjauh, mengejek, mengucilkan selama membentuk Darrel tetap pertahankan. Tetapi jika merusak lebih baik membuang dari pada mempunyai banyak teman.” Tambahan kalimat bunda lagi.
Ucapan bunda membuatku memahami jika dalam hidup seseorang harus mempunyai prinsip. Bagaimana beradaptasi terhadap banyak hal, tetapi jika melewati batas kaki harus berlari sejauh mungkin untuk menjauh dari  lingkaran menuju sebuah jurang. Kehidupanku dan Brielle dibentuk oleh suatu pondasi. Bunda seperti batu karang memiliki kekuatan luar biasa, tetapi juga bagaikan air untuk menghancurkan batu paling keras dan melembutkan melalui alirannya.
FLASBACK…
Satu sisi mengingat kalimat bijak bunda, tetapi sisi lain membuatku tanpa sadar menatap tajam Gi. Merasa kesal atas kelakuanku selama beberapa hari absen dari sekolah dan hadapannya, sehingga dia terus saja memukul tubuhku. Gadis jaim, giliran diajak berpetualang memasang wajah dingin dan sekarang malah terlihat kesal.
“Saya menyukaimu” sesuatu merasuki diriku, menyatakan perasaan pada posisi seperti ini. Mendingan dari pada memikirkan saudara tiriku lagi berselisih membuat rumah bagaikan kapal pecah. Terkejut, terdiam, seakan mendapat serangan jantung itulah keadaan Gi saat ini. Serangan jantung mendadak masih bermain, hanya saja akhir cerita dia mau menerima diriku. Kelakuan paling idiot adalah menyatakan perasaan, tetapi status pacarannya tunggu tamat sekolah. “Pacaran boleh-boleh saja, tapi tunggu sampai lepas seragam sekolah dahulu” nasehat bunda masih menghantui hidup Darrel.
Gilia merupakan gadis remaja cukup cantik, jenius, sebentar lagi kuliah pada salah satu kampus terbaik dunia setidaknya saya menyatakan perasaan dulu. Kalau jodoh juga pasti Tuhan membuat Gi bertahan menunggu, tetapi jika tidak maka saya harus menerima nasib. Kenapa juga, Darrel menyukai gadis seperti Gi? Butuh waktu bagi Gi untuk memahami warna-warna pelangi dalam kehidupan sederhana.
“Anak-anak, minggu depan kalian akan berada di sebuah desa kecil untuk kegiatan praktek lapangan salah satu mata pelajaran.” Ucapan ibu guru memberi tahukan informasi penting. Kurikulum khusus di sekolah ini berbeda dengan tempat lain, kenapa? Karena semester akhir, para siswa melakukan sebuah praktek sama seperti  mahasiswa di sebuah pedesaan kecil.
Tinggal di rumah penduduk desa, dan melakukan beberapa kegiatan penting di sana. Kelasku terbagi menjadi beberapa tempat alias berada di beberapa pedesaan. Satu sama lain harus terpencar biar menyatu dengan siswa dari kelas lainnya. Tidak tahu kenapa, Gi dan saya berada di desa yang sama tetapi lain rumah. Kegiatan kami adalah melakukan pendataan, membuat sebuah arena permainan bagi para penduduk tetapi terdapat makna, dan masih banyak lagi kegiatan.
“Apa yang kau lakukan?” suara paling kukenal sepanjang masa bahkan akhir hayat hidupku.
“Lagi membersihkan rumah, memasak buat makan” jawabanku.
“Kenapa harus kau yang lakukan?” Tanya Gi. Seperti biasa Gi terkadang masuk sembunyi-sembunyi mencariku sebelum melakukan aktifitas padat.
“Gi, ketika kau berada di tempat-tempat seperti ini jangan menjadi sandungan.” Ucapku menatapnya.
“Artinya?” kalimat Gi,
“Hal paling berperan adalah karakter Gi, bukan sebuah prestasi, kekayaan, ketenaran. Ngerti?”
“Tidak” dia menggeleng-gelengkan kepala.
“Saat kakimu berada dalam rumah seseorang, kau harus bisa membantu mereka seperti membersihkan rumah, mengepel, memasak jangan jadi  pemalas.” Jawabanku.
“Saya mempunyai harta banyak tinggal sewa pembantu sudah kelar semuanya, apa lagi dunia Gi memiliki prestasi tinggi sangat tidak pantas melakukan pekerjaan pembantu seperti ini.” Mulai kumat lagi karakternya.
“Ketika Gi berada disini jangan pernah memperlihatkan kekayaan, prestasi tinggi, pendidikan, ketenaran tetapi perlihatkan sebuah karakter. Belajarlah merendahkan hati dan tidak menonjolkan semua yang Gi miliki.”
“Kalau melakukan pekerjaan seperti itu berarti semua orang berkata jika saya pembantu.” Ucapan Gi tidak bisa menerima pernyataanku.
“Gi bukan seorang pembantu, tetapi hidup Gi hanya belajar merendahkan hati. Jangan menjadi manusia pemalas atau memandang rendah seseorang terlebih jika kita sama sekali tidak memiliki apapun. Sedangkan prestasi dan kekayaan juga tidak kita miliki, seakan ingin menyudutkan orang.” Ungkapanku.
“Gi perlihatkan kepada penduduk disini tentang kerendahan hati dalam bentuk melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti ini. Tidak bercerita harus menonjolkan pendidikan, uang, ketenaran, bahkan prestasi paling tinggi sekalipun dari diri Gi.” Tambahan pernyataanku kembali.
“Berarti saya harus belajar tentang kerendahan hati?” mata melotot tanpa kedipan.
“Yah seperti itulah, bos” perkataanku berusaha membuat hidup Gi memahami sebuah keadaan. Kehidupan dia memang terbiasa akan kemewahan, benda-benda bermerk, dan masih banyak lagi. Namun, hidup Gi harus belajar akan kualitas hidup terbungkus kesederhanaan tanpa menonjolkan apapun yang dimiliki.
“Bagaimana cara menyapu lantai rumah yang benar?” seorang Gi datang membawa sebuah sapu, pertama kali bagi hidupnya belajar melakukan hal-hal kecil seperti ini. Terbiasa akan kondisi pembantu begitu banyak di istananya, sehingga hanya untuk sekedar menyapu lantai saja terlalu sulit dilakukan. Cuci piring saja, hampir semuanya pecah akibat perbuatannya.
“Makanya hati-hati,” tegurku.
“Kau menyuruhku belajar melakukan pekerjaan pembantu, sekarang berkata hati-hati” kekesalan Gi mulai nampak.
“Maksudku, hati-hati biar piring-piringnya tidak pecah semua” tanganku masih membersihkan goresan luka pecahan kaca pada bagian kakinya.
“Setidaknya saya mau cupir, menyapu, mengepel, dari pada sekali tidak…”
“Gimana piring-piringnya ga pecah, selesai bilas, dilempar keras ke samping, pecahlah” tubuhku memperagakan cara-cara dia berada depan wastapel. Tempat tinggal kami bersebelahan, jadi dia biasa menengok masuk hanya sekedar berbicara.
“Sejak kapan kalian berdua sedekat ini?” suara Visa seakan tidak mempercayai apa yang ada di depan matanya sekarang. Semua siswa belum menyadari kedekatan kami selama ini. Mereka hanya tahu, jika Gilia sangat membenci Darrel manusia ekonomi lemah. Pada dasarnya hubunganku dan Gi dekat, tetapi sesuai kesepakatan hanya berstatus sahabat. Setelah lepas seragam, baru berubah menjadi status berpacaran.
“Minggir” Gi mendorong tubuhku.
“Kau” kalimatku melihat kelakuan Gi.
“Saya curiga, terjadi sesuatu antara kalian berdua?” Miranda mencoba menebak.
“Hentikan ucapanmu,” sikap dingin Gi kembali kumat. Gadis paling angker, berubah 180֠ C membuat semua siswa menaruh curiga. Senyum tidak pernah nampak pada wajahnya, tetapi sesekali memperlihatkan tawa di hadapan semua orang.
“Kami kan hanya sekedar bertanya” mata Miranda tetap ke arah Gi.
“Mau tahu tentang saya dan ketua gengmu ini?” ucapanku membuat Gi terlihat mengamuk.
“Jelas mau tahulah,” spontan Visa bersuara mmengangkat tangannya.
“Saya dan Gi sekarang bersahabat, puas?” Gi tersedak air mendengar jawabanku.
“What? Perasaan Gi membenci dirimu” Miranda masih meragukan semua.
“Tapi bukan status pacaran kan?” mata Visa mengarah ke hadapanku.
“Bukanlah, hanya sahabat tapi mesra” Kali ini wajah Gi memerah seperti kepiting rebus.
“Kau bukan level Gi, lebih baik pacaran sama saya saja,” ungkap Visa.
“Dengar, sedang sama Gi saja hanya sahabat ga lebih, apa lagi sama situ” bahasaku agak kelewatan.
“Berarti kita berdua tidak bisa berpacaran dong?” kekesalan Visa.
“Siapa bilang tidak bisa?” sedikit memancing Gi.
“Hentikan kelakuan kalian” Gi menarik tangan Visa. Walau berusaha menutupi, terlihat jelas jika Gilia Carlisa benar-benar cemburu. Kisah dunia Gi dan Darrel memiliki alur cerita tersendiri. Tawaku hampir meledak melihat raut wajah Gi terbungkus rasa cemburu terhadap Visa. Untuk beberapa bulan ke depan, status masih sebagai teman dan tidak lebih sesuai perjanjian berdua.
“Percintaan paling terkacau bahkan terkocak hubungan Darrel dan Gi,” memandang foto Gi pada ponselku.
“Kalau kau keluar guna melanjutkan studi, tetaplah menungguku” berbicara sendiri sembari tetap memegang ponselku. Gadis angkuh, dingin, jenius, kaya, tetapi memiliki sisi tersendiri…
Setelah menjalani praktek selama 2 minggu, kami akhirnya kembali ke kota. Menunggu bulan saja kaki akan segera meninggalkan sekolah Harapan bersama, melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Menjalani status sebagai sahabat antara kami sedikit fenomenal, kenapa? Si’gadis kutu buku dan angkuh menggemparkan seluruh siswa Harapan Bersama.
“Gi, berjanjilah satu hal” ungkapku ketika mengajak dia makan es krim pulang sekolah.
“Apa itu?”
“Kau tidak boleh selingkuh dalam bentuk apapun selama berada menjakdi mahasiswa Harvad, ngerti” berucap sambil membelalakkan sepasang mataku.
“Kita berdua itu hanya sebatas sahabat, ngerti?” judes juga kalau bicara.
“Sesuai perjanjian, selama masih memakai seragam sekolah sebatas sahabat, terus setelah lepas seragam status berubah jadi pacar coi,” menepuk-nepuk bahu Gi.
“Jangan macam-macam, kalimatmu sendiri berucap kuduslah kamu sebab aku kudus” kalimat Gi memindahkan tanganku dari bahunya.
“Itu nasihat bunda, ngerti?” ujarku.
“Giliran saya juga dilarang sebut  nama mami atau papi, giliran situ setiap detik menyebut kata bunda. Manusia terkacau seantero dunia,” Gi melotot aneh…
“Selama bersifat membangun buat saya ga jadi masalah menyebut nama bunda, seperti pernyataan tadi tujuannya mengajar tapi bukan untuk menyindir bos.” Tuturku sambil mengemut es krim di tangannya.
“Kau,” mengamuk akibat perbuatanku.
“Kuberi tahu satu lagi Gi, ini nasehat bunda buat adikku berarti berlaku bagi hidupmu juga.” Kalimatku.
“Kau punya adik?” tidak menyangka jika saya memiliki adik perempuan. Lebih parah lagi, andai kata Gi sampai menyadari Darrel mempunyai saudara tiri berjumlah 10 orang.
“Namanya Brielle, berjarak 2 tahun dariku. Dia tumbuh menjadi gadis remaja paling manis, rendah hati, bijak, pintar, selalu mendapat peringkat pertama, bercita-cita ingin menjadi pejabat paling berkompeten di Negara ini.” Menjelaskan dunia Brielle.
“Adikmu pintar, lantas kenapa otakmu standar saja dalam kelas?” kalimat Gi.
“Namanya juga anak laki beda ma cewek, ngerti?” jawabanku.
“Terus nasehat bundamu buat adik tercintamu?” dia kembali ke pokok pembahasan…
“Jadi cewek jangan seperti singa ganas ingin menerkam, lebih parah lagi masuk stadium akhir,” jawabanku membuat Gi kebingungan mencerna kalimatku.
“Maknanya lari kemana?” Gi kebingungan.
“Maksudnya, ketika berhadapan dengan seorang cowok, milikilah kualitas. Biasanya, pihak cowok selalu saja dipersalahkan mempermainkan cewek. Pada hal, ceweknya biasa memancing, bahkan disaat tertentu lebih ganas dibanding singa sudah siap menerkam.” Penjelasanku terhadap Gi.
“Berarti kau menuduhku singa ganas?” teriakan Gi tak terkendali.
“Bukan maksudku seperti itu, hanya sekedar pernyataan bunda bagi Bril, tetapi juga berlaku buatmu.” Menghindari pukulan Gi.
“Tetap saja kau berkata saya adalah singa paling ganas”
“Gi berhenti,” gertakanku berusaha menghentikan amukan Gi.
“Gi bukan singa ganas, semua orang tahu terlebih saya kalau duniamu tidaklah seperti kebanyakan orang. Sekalipun kemarin-kemarin terkenal sebagai gadis angkuh, dingin, sombong.” Penjelasanku, hingga akhirnya dia berhenti mengamuk.
“Berhenti mengejekku sebagai gadis  angkuh, dingin, sombong, terlebih singa ganas”
“Saya tidak katakan Gi merupakan singa paling ganas, hanya saja terkadang iblis bermain lebih kuat dibanding iman sendiri. Maka dari itu, Gi harus berjaga-jaga dan banyak berdoa biar bisa mengalahkan iblis jahanam.” Kalimatku.
“Kau menyebalkan” emosi Gi makin tidak karuan.
“Tetapi jauh dari dasar hatiku, mempercayai sesuatu kalau Gi merupakan gadis yang tetap berada pada jalur.” Ungkapan hati seorang Darrel bagi hidup Gilia Carllisa. Dia harus mengerti tentang keadaan luar, bagaimana terkadang iblis biasa lebih kuat bermain dalam diri seseorang. Setidaknya Gi dapat menjaga dirinya sendiri…
BAGIAN 7…

GILIA…
Dia mengajar hidupku tentang kesederhanaan, petualangan dimana memberi makna dan membentuk kepribadian diri sendiri. Menghancurkan karakter terburuk dalam dunia seorang Gi, memberikan sebuah sinar dalam kegelapan. Bersama-sama berada pada sebuah jalur, menjalani perputaran roda hidup.
“Gi, apa yang kau lakukan?” sebuah suara penuh murka menyerang gendang pendengaranku.
“Papi” berbalik ke arahnya. Papi segera menarik paksa tanganku, ketika saya sedang bersama Darrel makan sekitar pinggir jalan.
“Jangan coba dekati Gi lagi,” gertakan papi terhadap Darrel.
“Berhenti memaki Darrel!” kalimatku terhadap papi.
“Antara kau dan Gi seperti langit dan bumi. Andai kata itu terjadi, saya tidak segan-segan menghancurkan kehidupanmu.” Papi menarik paksa tanganku hingga membawaku menuju mobil.
“Berhenti pi,” berjuang melepas diri dari genggaman tangan papi. Meninggalkan Darrel sendirian di tengah kerumunan banyak orang akibat ulah papi.
Kesalahan terbesar papi menyuruhku menjauh terlebih melupakan Darrel. Papi mengamuk hebat ketika menyadari putri kesayangannya menjalin hubungan bersama manusia ekonomi kelas rendah. Dia terus mengurung tanpa memperdulikan perasaanku sendiri. Mami dan papi sama sekali hanya mementingkan derajat mereka, bukan tentang perasaanku.
Melarangku memasuki lingkungan sekolah, pada hal papi sadar jika ujian sebentar lagi dilaksanakan. Devanya terkejut melihat dunia Gilia menjalin hubungan dengan orang bawah. Hal terbodoh bagi hidupku menurut papi, dimana menyukai manusia terburuk. Mami dan papi hanya menilai keadaan seseorang dari kekayaan semata. Dunia mereka penuh ambisi menginginkan harta menumpuk seperti gunung.
“Ka’Gi,” sapa Deva mencoba membuka pintu kamarku. Sedikitpun tidak ingin berbicara dengannya.
“Ternyata cowok bernama Darrel berhasil merubah pola pikir ka’Gi” senyuman Deva berjalan ke hadapanku membawa makanan pada nampan.
“Pergilah!” tidak ingin berbicara sedikitpun terhadap Deva.
“Kakak harus makan, hadapi semua masalah dengan kepala dingin” adikku mempunyai karakter sangat mirip dengan Darrel. Selalu bijak seperti apapun kenyataan depan mata. Terlihat lebih dewasa jauh melebihi umur mereka yang masih menginjak remaja.
“Kalau boleh tahu Darrel itu pacar kakak?” mencoba berhati-hati saat berada di depanku saat ini. Deva tahu betul, kepribadian kakaknya…
“Memang apa urusannya denganmu?” sifatku masih terkadang judes terhadapnya.
“Kakak pikir saya akan tertawa atau menghina?” bahasa Deva masih bersikap tenang. Terkadang hatiku selalu ingin tertawa, bergurau, bersahabat, bahkan bercerita banyak hal bersama adikku, tetapi lain yang terjadi. Kenyataannya adalah apa yang tidak kusukai, itulah yang kulakukan. Saudara dari orang tua yang sama, tetapi antara kami berdua tidak seperti kebanyakan kehidupan persaudaraan sekeliling kami.
“Yah sudah kalau tidak mau bercerita” Deva segera berdiri…
“Status hubunganku hanya sekedar sahabat,” ucapku setelah terdiam selama beberapa menit.
“Hanya sahabat, tapi kenapa sampai papi marah besar seperti  sekarang” mulut Deva terbuka lebar tanpa terkatup sedikitpun.
“Papi belum tahu, kalau kami hanya sahabat”  kepalaku terus tertunduk.
“Biar Deva yang menjelaskan ke papi, bagaimana hubungan kalian” Deva segera berjalan ingin keluar.
“Tapi status sahabat itu hanya sementara waktu, jadi percuma saja menjelaskan ke papi” menahan Deva agar tidak segera berada di hadapan papi.
“Sementara waktu berstatus sahabat, setelah itu jadi…” dia makin kebingungan…
“Sesuai perjanjian kami selama masih memakai seragam sekolah masih berstatus sahabat, setelah lepas seragam sekolah alias lulus berubah jadi status pacaran.” Penjelasanku memecahkan tawa Deva sekitar ruang kamarku.
“Hubungan apaan itu? Pertama kali mengenal cowok terus menjalin status tidak jelas” bahasa Deva merasa lucu mendengar setiap penjelasanku.
“Menurut bunda Darrel, kalau mau berpacaran gitu, harus lulus sekolah dulu” ujarku.
“Berarti dia anak mami?” tawa Deva. Bagaimana tidak, kakak yang dia kenal berkarakter angkuh, keras, judes, perfect, dingin, selalu menjadi pertama menyukai anak mami.
“Bunda Darrel sudah meninggal,” kata-kataku.
“Bagaimana dengan ujian kakak? Hanya karena permasalahan seperti ini papi tega membuat ka’Gi absen dari sekolah” Deva selalu menjadi adik terbaik sekalipun karakterku terkadang menyakiti hatinya.
“Menurut papi, biar guru-guru saja datang ke rumah, masalah ujian akan dipersiapkan tempat, tetapi tidak akan dilakukan di sekolah” wajahku masih menunduk..
“Kau sebentar lagi menjadi mahasiswa salah satu kampus terkenal dunia, kenapa papi sampai tegah melakukan semua itu?” kesal terhadap sikap papi.
“Apa status hubunganku dengan Darrel selamanya hanya sekedar sahabat saja?”  pertama kali bagi Gi meneteskan sebutir Kristal karena seseorang.
“Hidup, masa depan, jodoh semua berada di tangan Tuhan,” Deva menggenggam jemariku kuat memberikan kekuatan.
“Kau seperti Darrel selalu terlihat bijak dan dewasa,”
“Berarti pilihan masa depan ka’Gi memang mempunyai kualitas hidup tersendiri dari siapapun, wajar saja kakak sampai murung, sedih karena dia” Deva memahami perasaanku berbeda ketika bersama mami dan papi. Kedua orang tuaku hanya membuatku berada dibawh tekanan.
“Apa yang harus kulakukan?” rasa takut menyelimuti keadaanku.
“Saya akan berusaha mempertemukan ka’Gi dan Darrel, sebelum kakak berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan sekolah.” Deva adalah adiik terbaik di dunia, selalu ada ketika sang kakak berada dalam situasi tersulit. Papi melarang saya keluar dari kamar sedikitpun, bahkan sekedar menghirup udara segar depan teras rumah. Sementara mami setiap saat tanpa bosan, terus saja berceramah panjang kali lebar tentang kesalahan terbesar yang telah kulakukan.
“Saya tidak pernah menyangka keadaanku akan menjadi seperti sekarang” menarik nafas dalam-dalam.  Yayasan sekolah  bekerja sama dengan kedua orang tuaku, agar ujian kelulusan terlaksana di kantor papi saja. Mereka benar-benar menghancurkan hidupku seketika.
“Tuhan, beri saya kesempatan bertemu dia sekali saja,” isi doaku. Saya ingin berlari jauh dari rumah tanpa memperdulikan masa depanku sedikitpun. Tidak perduli lagi akan beasiswa dan kelulusanku pada salah satu kampus terbaik dunia. Apakah dikatakan semua akan terasa hambar bahkan rela mengorbankan masa depan hanya demi seseorang? Baru juga status sahabat, belum menjadi pacar…
“Tuhan, pertemukan saya dan dia untuk merubah status sahabat rasa pacaran menjadi status benar-benar berpacaran.” Ungkapan hatiku kepada Tuhan. Hanya menunggu hitungan hari saja, saya berada di kota ini. Berarti selama beberapa tahun, wajahnya lenyap dari hadapanku. Beberapa kali saya mencoba untuk melarikan diri, tetapi anak buah papi berhasil mengejarku.
“Gi mau makan apa jika hidup bersama orang miskin itu?” suara papi memenuhi seluruh ruang di rumah.
“Gi punya prestasi, cantik, kaya, sebentar lagi menjadi mahasiswa Harvad. Sedangkan dia hanya manusia miskin, otak standar, tanpa prestasi, muka juga biasa saja.” Perasaanku mengatakan Darrel merupakan salah satu penghuni sekolah  Harapan Bersama berparas cukup tampan, bahkan terlihat keren jika diperhatikan.
“Benar ucapan papi, antara hidup Gi dan si’miskin itu bagaikan langit sama bumi” tegur mami masih berceramah tidak jelas.
Terus terkurung dalam kamar menunggu waktu dimana papi membawaku keluar dari Negara ini. Tidak pernah terpikirkan, papi dapat melakukan tindakan paling kejam seperti sekarang hanya karena anaknya menyukai manusia ekonomi lemah. Dia memang tidak mempunyai harta banyak seperti papi, tetapi setidaknya Darrel memiliki kualitas hidup. Mengajarkan dunia Gi tentang petualangan remaja dalam kesederhanaan. Tanpa harus memperlihatkan semua yang dimiliki, tetapi kualitas kepribadian jauh lebih berharga.
“Ka’Gi,” seperti ada seseorang berbisik pada sepasang telingaku tengah malam.
“Ka’Gi bangun” masih berusaha menepuk-nepuk pipiku.
“De…” Deva spontan menyumbat mulutku agar tidak memperdengarkan suara sedikitpun. Entah bagaimana cara Deva mengalihkan perhatian anak buah papi, hingga dia berhasil memasuki kamarku. Setelah papi dan mami menyadari Deva berpihak padaku, mereka tidak membiarkan Deva bertemu denganku. Ternyata Deva memberi obat tidur pada minuman mereka, menjalankan skenario bercanda gurau bersama para anak buah papi.
“Kalau papi sampai tahu gimana?” berjalan perlahan-lahan hingga tidak memunculkan suara sedikitpun untuk membangunkan semua orang terlebih mami.
“Ka’Gi harus tenang, ini kesempatan terakhir bertemu Darrel kan,” Adikku menyadari tentang pilihan hidup. Membawaku keluar dari rumah, hingga berhasil membuka pintu pagar besar menuju sebuah mobil. Pengorbanan Deva akan selalu terkenang dalam memoriku sampai kapanpun. Mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju sebuah alamat rumah. Lebih aneh lagi, dimana dia mendapat alamat Darrel.
“Ka’Gi, ini kesempatan buatmu bertemu dia yang selama ini membentuk kehidupanmu”  membuka pintu mobil. Berjalan masuk menuju sebuah rumah sederhana, tetapi mengejutkan terdapat banyak manusia di dalamnya. Mengetuk pintu rumah tersebut, sambil memeriksa apakah Deva tidak salah menunjukkan rumah Darrel.
“Cari siapa?” suara salah seorang ibu berwajah tukang pukul bahkan terlalu seram.
“Malam, benar ini rumah Darrel?” pertama kali terlihat ketakutan di depan seorang wanita tua. Memang bunda Darrel hidup kembali? Atau dia bebohong mengenai kematian bundanya?
“Gi,” tiba-tiba Darrel terkejut melihatku berada depan pintu rumahnya.
“Tidak salah ini rumahmu?” kebingungan melihat banyak anak kecil berjalan kiri-kanan. Menurut ucapannya jika dia hanya mempunyai seorang adik, lantas kenapa ada beberapa gadis remaja berteriak memanggil kakak.
“Sebentar kuceritakan, lebih baik kita keluar sekarang” segera membawaku pergi dari rumah tersebut. Meminta penjelasan tentang kejadian aneh, lebih tepat lagi dikatakan sebagai kapal pecah…
“Kau pasti pembohong mengenai saudara perempuanmu, kenapa harus berbohong hanya masalah seperti itu?” tegurku terhadapnya. Kami berada pada sebuah taman tidak jauh dari rumah Darrel, sedangkan Deva tetap setia menungguku di mobil.
“Memang adik perempuanku itu Cuma satu, dia bernama Brielle,” jawaban Darrel.
“Terus lautan manusia di rumahmu, siapa saja? Memangnya ada acara pernikahan gitu?” masih bingung…
“2 tahun setelah bunda meninggal, ayah menikah lagi dengan janda beranak 10. Singkat cerita, rumah kami jadi ramai gitulah” tawaku meledak mendengar penjelasan Darrel.
“Berarti ibu seram tadi ibu tirimu?” masih belum bisa mempercayai penglihatan depanku.
“Betul dia itu ibu tiriku, beberapa anaknya sudah menikah tetapi tidak mempunyai tempat tinggal, singkat cerita ayah menampung mereka semua di rumah.”
“Darrel, berarti terdapat beberapa kepala keluarga di rumahmu? Ibu tirimu seperti tukang pukul habis…”
“Seperti itulah,” jawaban darinya. Ternyata keluarga Darrel bukan hanya terdiri atas 3 orang saja, tetapi puluhan tinggal dalam serumah. Menjadi pertanyaan, andai kata saya dan dia berjodoh hingga menikah berarti makin bertambah saja penghuni rumahnya.
“Papi bisa makin ngamuk melihat keluarga besarmu,” membayangkan papi menyadari tentang kehidupan keluarga Darrel.
“Entahlah” hanya kalimat tersebut saja keluar dari perbendaharaan mulutnya.
“Besok papi membawaku keluar negeri untuk melanjutkan sekolah,” membuat dia sadar, ini hari terakhir kami bertemu. Setelah 2 bulan penuh kami tidak bertemu, namun akhir cerita pada kenyataan jika saya harus meninggalkan Negara ini. Bertanya-tanya kenapa tidak berusaha mencari atau menemuiku, walau kami hanya berstatus sahabat sementara? Dia berjuang mencari keberadaanku, tetapi papi lebih jenius dibanding anak ingusan semacam Darrel.
“Bagaimana kalau kita berdua menikah di usia dini saja?” suaraku serak…
“Gi pikir baik-baik tentang pernikahan,” kalimat Darrel menatapku.
“Kalau sudah menikah papi tidak bisa lagi membuatku jauh dari hidupmu,”
“Prestasi Gi selama ini terlalu sayang terbuang begitu saja hanya demi cinta? Gi rela meninggalkan semua itu demi seseorang?” pertanyaan Darrel.
“Berani, saya rela meninggalkan semuanya demi Darrel” sahutku setelah berpikir beberapa menit.
“Kejar apa yang Gi impikan, jangan karena seorang lawan jenis hingga hidup seorang Gi mengambil keputusan terkacau dari langkahnya.” Ucapan Darrel berusaha sebijak mungkin.
“Saya tidak akan merusak hidup atau mimpimu, andai kata pikiranku terlalu pendek sudah sejak dulu seorang Darrel  melakukan hal-hal terburuk.” Perkataan Darrel kembali.
“Andai kata selamanya saya tidak akan pernah bertemu denganmu lagi?” kalimatku membayangkan sesuatu terjadi.
“Gi tetaplah bijak melihat situasi, jangan merusak masa depanmu karena permasalahan sekarang. Bril berjuang keras meraih mimpinya, maka kaupun harus terus berjalan mengejar bahkan suatu hari kelak berdampak bagi dunia.” Tegur Darrel.
“Ta…ta…pi” kalimatku.
“Gi harus berpikir dewasa, andai kata saya ingin menghancurkan hidupmu pasti sudah lama membuatmu hamil tidak jelas, mau tidak mau orang tuamu pasti memberi restu.”
“Jangan macam-macam” berusaha menjauh darinya.
“Kan saya bilang sudah lama membuat Gi hamil, biar kalau Gi hamil, akhir cerita kita berdua nikah di usia dini. Kekayaan Gi sebagian besar menjadi milikku sekalipun papimu mengamuk besar.” Kalimat Darrel.
“Kenapa kau tidak lakukan?” pancingku.
“Gi jangan menjadi singa ganas” tegurnya.
“Kau lebih dulu memancingku” teriakanku.
“Memang saya berpikir sempit? Hanya orang bodoh yang mau melakukan hal seperti itu, ngerti?” balasnya. Dia tidak pernah merusak masa depanku, bahkan selalu menghormati kehidupanku.
“Tuhan pasti mempertemukan, andai kata kita berdua berjodoh setelah kau lulus dari pendidikanmu.” Mengajarkanku tentang sebuah istilah…
“Andai kata saya tidak pernah melihatmu?” selalu menyelipkan istilah andai kata.
“Berarti Gi terlahir bukan untuk Darrel, tetapi untuk orang lain.” Seakan tersambar  petir, terjatuh dari sebuah jurang mendengar kata-kata Darrel. Memberikan harapan, namun kemudian membuang begitu saja…
“Kau harus dapat menerima kenyataan,” ujarnya kembali. Kata-kata terakhir dari seseorang yang mengajarkan langkahku tentang petualangan dalam kehidupan sederhana. Apakah saya berani menerima kenyataan terpahit, melepaskan dia untuk orang lain? Andai tidak akan pernah bertemu, berarti dia terlahir untuk orang lain.
Jangan merusak masa depan, tetapi berpikir lebih bijak dari dunia Darrel. Bisakkah nafas Gi tetap berpegang teguh, atau menngambil keputusan terburuk lebih dari bayangan mereka. Petualanganku harus berakhir hanya karena permasalahan ekonomi. Masa depanku jauh lebih berharga dibanding tetap berada di hadapan dia untuk selamanya.
“Jika kau bukan jodoh buatku, kelak seorang Gi menemukan pria terbaik jangan pernah menjadi singa paling ganas. Setampan apapun pria tersebut didepanmu. Perlihatkan kualitas hidup Gi berbeda dari siapapun juga.” Kalimat terbodoh, terkacau, paling hancur, bahkan terakhir kali kudengar. Jauh lebih baik jika dia menjadi seorang pendeta, ustads, biksu sekalian dalam mengaarungi kehidupannya.
BAGIAN 8…

DARREL…
Hari ini Gi berangkat keluar negeri melanjutkan studinya. Entah cara apa digunakan, hingga berhasil berada menemuiku. Orang tuanya datang mengancam agar menjauh dari hidup Gi untuk selamanya. Beasiswa adikkupun dipertaruhkan bahkan  pekerjaan ayah menjadi sasaran empuk orang tua Gi. Ternyata mereka menyelidiki asal usul keluarga, serta apapun yang kami lakukan. Wajar saja, kelakuan Gi beberapa waktu lalu terlihat buruk…
Pengajaran orang tua berperan penting bagi pembentukan sang anak. Gilia tumbuh menjadi gadis angkuh, dingin, penuh ambisi, kacau balau disebabkan oleh pembentukan salah sejak awal. Seakan ada sesuatu mendorongku membawa Gi pada sebuah petualangan demi mengeluarkan dirinya dari sebuah jurang. Siap melepas Gi, sekalipun keadaan menyedihkan dapat saja membungkus hidupku.
“Selamat tinggal Gi,” memandang foto pada ponselku. Sekalipun hati tetap ingin mempertahankan, tetapi Tuhan berkehendak lain…
Jangan memaksakan kehendak Tuhan, karena dapat berakibat fatal bagi kehidupan sendiri. Jodoh berada di tanganNYA, Tuhan lebih tahu mana yang terbaik bagi diri sendiri dan hal terburuk untuk orang lain. Dia harus mengejar mimpinya, permasalahan status hubungan merupakan masa lalu.
“Kakak, kenapa murung?” tegur Brielle melihatku termenung
“Kakak,” tepukan Brielle keras menyentuh bahuku.
“Gi,” kata-kataku tanpa sadar.
“Dia itu siapanya kakak?” Brielle makin mencurigai sesuatu. Tersadar jika di depan bukan Gi melainkan Brielle, mulutku berusaha mencari alasan agar adikku tidak mencurigai sesuatu. Beruntung saja, orang tua Gi hanya bertemu denganku bukan anggota keluarga lain terlebih Brielle.
“Bukan siapa-siapa, tadi saya hanya keseleo saja, biasalah” mencari alasan.
“Jangan bohong” jari telunjuk Brielle terus menunjuk ke arah mataku.
“Kenapa memang?”
“Sebulan lebih hidup ka’Darrel seakan kacau, kurang bersemangat, selalu saja melamun, ke sekolah biasanya ceria tapi yang kelihatan muram terus. Berasa ingin mati, terus mirip manusia belum menyentuh makanan sedikitpun selama 7 hari 7 malam.” Sindiran Brielle.
“Segitunya amat memperhatikan, Bril” ucapku.
“Jujur saja kakakku, apa masalahmu masih jauh lebih hancur dibanding ayah menikah lagi dengan janda beranak 10 gitu?” pertanyaan Brielle. Satu-satunya permasalahan tersulit bagi dunia Brielle adalah dimana ayah menikahi janda beranak 10.
“Lebih parah malahan?” tiba-tiba saja mulutku spontan menjawab, pada hal tidak seorangpun boleh tahu tentang apapun dari segala jenis rahasiaku.
“Tentang perempuan?” Brielle penuh rasa penasaran tinggi.
“Seperti itulah,” suaraku kurang semangat. Menceritakan kepada Brielle tentang kisah percintaan hingga akhirnya mendapat penolakan habis-habisan. Bagaimana kisah hidup Gi dari awal sampai akhir. Menjelaskan kebencian Gi pertama kali bertemu, hingga akhirnya kami berdua menjadi sahabat rasa pacaran.Sampai endingnya, Gi harus terkurung dalam rumah dan absen sekolah. Ujianpun hanya dilakukan sekitar kantor orang tua Gi.
“Berarti selama ini kakak menyukai gadis seperti itu?” Brielle hampir tidak mempercayai pilihan hidupku. Setahu Brielle, kalau kakak tercintanya lebih menyukai tipekal gadis karakter keibuan, rendah hati, dewasa, lembut, cantik.
“Tanya Tuhan, kenapa bisa suka ma gadis seperti itu?” balasku.
“Orang aneh,” gerutu Brielle.
“Tapi dia seperti dirimu bahkan lebih jenius lagi malahan. Satu lagi, Gi terkenal sebagai gadis kutu buku juga.” Ucapanku.
“Perasaan gadis kutu buku penampilannya culun, kaca mata tebal, intinya hancur lebur sekalipun kaya raya, tapi gaya busana dia terbalik dari perkiraan?”
“Tanya sama Tuhan, jangan Tanya saya dong” cetusku.
“Kan Tuhan bisa memakai orang terdekat buat menjelaskan semuanya” mata Brielle melotot tajam.
“Meneketehe, dia kan orang kaya,” jawabanku.
“Bukannya menghibur malah bertanya ke akar-akar” rasa kesalku makin main…
“Tuhan tahu mana area terbaik buat kakak. Terkadang semua peristiwa tidak mengenakkan terus bermain bahkan menancap kuat tetapi hal seperti itulah membentuk kehidupan setahap demi setahap.” Gaya Brielle kali ini benar-benar dewasa amat…
“Jangankan orang tua gadis yang kakak sukai memandang sebelah mata atau dipakai untuk menghancurkan kehidupanmu, bahkan terdekat sekalipun dapat dipakai untuk menyerang. Namun, kembali kepada pribadi masing-masing…” tambahan kalimat Brielle.
“Betul juga sih” kepalaku menunduk.
“Kakak harusnya bersyukur, melalui kejadian seperti ini kepribadian ka’Darrel terbentuk bahkan diajar untuk merendah bukan berarti martabat keluarga terinjak-injak luar biasa. Ambil positifnya saja.” Brielle mengajarkan duniaku tentang pembentukan kepribadian dibalik masalah atau pandangan sebelah mata orang-orang sekitarku.
“Beruntung banget kakak punya adik seperti Bril” mengelus-elus kepalanya sambil tersenyum.
“Kakak hanya tidak tahu saja keadaanku biasa di sekolah” kalimatnya.
“Memang Bril ada masalah di sekolah selain stress ayah menikahi janda beranak 10?”
“Terkadang teman-temanku mengejek kalau saya mengalami kejiwaan alias gila/stress oleh karena sesuatu hal. Enatahkah mereka berucap serius, bercanda, atau apalah tetapi namanya juga saya masih hidup di bumi pastilah sedikit sakit.” Pertama kali mendengar curhatan Brielle.
“Berarti kita sama-sama mempunyai masalah?” ujarku.
“Begitulah, tapi dinikmati saja. Sekarang semua dapat berucap aneh, kelak mulut mereka menganga-nganga bahkan malu karena sesuatu dalam hidup seorang Brielle.” Pernyataan adikku kembali mengajar tentang langkah harus terus berjalan apapun ucapan orang. Sebesar apapun semua orang di sekeliling merendahkan, hidup harus terus dinikmati.
5 TAHUN KEMUDIAN…
Tahun demi tahun berlalu, dunia Darrel pun berubah dari remaja menjadi pemuda. Menjadi mahasiswa salah satu kampus masih bagian ibu kota, sambil bekerja paruh waktu. Beban ayah bertambah banyak selama menikahi janda beranak 10, jadi saya tidak mau memberatkan beliau. Brielle mendapat beasiswa, makanya tanpa beban biaya kuliah sebesar apapun. Setelah menyelesaikan kuliah 4 tahun, saya mencoba peruntungan memasukkan lamaran ke sebuah perusahaan ternama. Namun, sayang lamaran saya ditolak habis-habisan.
Mimpiku adalah menjadi seorang pendesain kota, pariwisata, gedung, jalan suatu hari kelak. Ayah, Brielle, termasuk dia tidak pernah tahu mimpiku seperti apa? Oh yah, sedikitpu kabar darinya tidak pernah terdengar. Perbedaan status social menyebabkan kami terpisah untuk selamanya. Andai kata, saya membuang ego dan segera berlari menemui Gi untuk terakhir kalinya di bandara. Hanya sekedar mengucapkan salam perpisahan, terlalu sulit…
“Penyesalan pasti datangnya terlambat,” membentu-benturkan kepalaku sendiri pada tembok. Saya akhirnya bekerja dimulai hanya dengan penghasilan kecil setelah lulus kuliah pada salah satu perusahaan. Tidak menjadi masalah, minimal belajar memulai dari hal terkecil sebelum menjadi kepala. Brielle juga tengah mencari pekerjaan, akibat otak jenius yang dimiliki hingga dapat menyelesaikan kuliah dalam waktu singkat.
“Bril, saya pikir kau akan menjadi pejabat, lo?” bingun sendiri melihat tingkah adikku.
“Kakak, semua itu membutuhkan proses, saya harus mencari pengalaman terlebih dahulu dengan bekerja pada sebuah perusahaan.” Jawaban seorang Brielle.
“Kemudian?” lanjutku.
“Kemudian mengejar karir terus naik, kalau Tuhan menghendaki Bril mempunyai perusahaan sendiri terus punya banyak uang, akhir cerita mencalonkan diri menjadi pejabat kompeten.” Brielle begitu bangga membayangkan khayalannya.
“Saya hanya berandai-andai, tidak tahu ke depan seperti apa” ujarku.
“Ga usah berandai-andai pasti terjadi, amin” kalimat Brielle penuh semangat.
“Terserah kau saja” cetusku.
“Pastilah kakakku sayang, lanjutkan bos” Brielle makin semangat.
“Andai kata cita-citamu tercapai, suatu hari kelak menjadi seorang presiden, langsung pada inti pembicaraan…” ujarku.
“Amin Tuhan, kelak Brielle menjadi presiden di Negara ini” menutup mata mengaminkan ucapanku, pada hal hanya andai kata belum tentu juga kesampaian. Sudah syukur kalau adikku menjadi anggota DPR atau gubernur, tetapi ini presiden…
“Semangat betul” ucapanku.
“Lanjutkan big bos, kalimat andai katamu tadi” bertolak pinggang depanku.
“Andai kata berhasil menjadi presiden program apa yang akan kau buat di Negara ini?”
“Banyak sekali diantaranya program 1 anak cukup, kenapa? Dikarenakan ke depan pertambahan penduduk makin besar, sedangkan ekonomi terlihat kacau balau belum lagi permasalahan anak mereka dapat melanjutkan pendidikan atau tidak. Untung kalau anak banyak berhasil semua, tetapi jika seperti anak-anak dari ibu tiri hampir secara keseluruhan hancur semua.” Rasa-rasanya tawaku ingin segera meledak mendengar penjelasannya. Ibu tiri menjadi korban kemana-mana menjelaskan cita-citanya.
“Jangan kambing hitamkan ibu tirilah, setidaknya dia tidak segitu jahatnya kali mak kita berdua Cuma cerewet luar dan dalam. Tetapi kata cerewet berlaku bagi beberapa anak-anaknya yang lain,”
“Kakak, coba perhatikan saudara tirimu pendidikan mereka ada beres atau tidak? Hanya tamatan SD dan SMP doang bahkan ada yang jadi tukang tidur saja tanpa pernah mengenyam bangku sekolah sedikitpun, sekarang 3 paling terakhir berturut-turut berusaha disekolahin ayah biar bisa kuliah. Paling terpenting tidak mengikuti jejak saudaranya yang lain.” Itulah Brielle terkadang merasa muak terhadap deretan peristiwa akibat perbuatan ayah.
“Program Bril keren” mengangguk-anggukan kepala memahami situasi Brielle.
Masing-masing kami mempunyai mimpi berbeda, tetapi intinya tetap bertahan terhadap hal yang disukai selama tetap berada pada jalur. Satu sisi saya bekerja sebagai karyawan biasa, namun dilain hal berusaha mempelajari beberapa desain parawisata, kota, jalan.Belajar tentang sesuatu secara bertahap, sama seperti anak tangga harus terlewati secara berurutan. Andai kata pada pertengahan jalan, salah satu anak tangga hilang atau hancur secara tiba-tiba, kaki harus tetap berjalan terbungkus kekuatan doa.
“Bagaimana kabarmu sekarang?” masih belum bisa move-on dari memori masa remaja.
“Mungkin sekarang kau sudah menjadi bagian terpenting dunia, kemudian bertemu seseorang dan akhir cerita melupakan diriku” terus saja memandang foto selama bertahun-tahun mennjadi penghuni dompetku.
Ada begitu banyak karakter sekeliling ketika bertemu banyak orang, baik di tempat kerja, pusat perbelanjaan, rumah makan, bahkan rumah sendiri. Hal tersebut mengembalikan memori ingatanku dari waktu ke waktu tentang petualang remaja dalam kesederhanaan. Hari-hari terlewatkan di kantor bersama banyak rekan-rekan kerja.
“Darrel, hari ini kita kedatangan bos baru pengganti pak Radit,” biasa Clanis mulai bergosip ria.
“What? Ulangi sekali lagi ucapanmu” ucapku mempermainkanClanis.
“Kita kedatangan bos baru, tapi cewek Rel”
“Memang kenapa?” tanyaku.
“Kabarnya dia lulusan luar negeri, terkenal  seram diantara paling  terseram sedunia” jawaban Clanis.
“Berarti siap-siap…?” kalimatku terpotong.
“Siap-siap hidup dibawah tekanan seorang wanita paling seram” suara Clanis.
“Kembali ke tempat masing-masing, bos baru kita sudah mulai berjalan kemari!” bisikan Nesia. Secepatnya Clanis kembali ke meja kursinya. Ibu Loisa sedang berjalan bersama seorang wanita yang akan menjadi manager perusahaan. Mereka berjalan makin mendekat ke arah kami, seperti kisah-kisah drama korea seluruh karyawan menunduk. Memakai kaca mata, postur tubuh sempurna, kulit eksotik, rambut terurai layaknya model.
“Perkenalkan bos baru kita disini,” bahasa Vardy memulai pembicaraan
“Dia seseorang” gumamkku hanya tak mempercayai.
“Beruntung dia sama sekali tidak mengenalku akibat pemakaian kaca mata serta potongan lurus pendek memenuhi fisik Darrel.
“Tuhan, apa kabarnya dia?” tanyaku di dasar hati.
Ibu Loisa memperkenalkan dia sebagai manager terbaru pengganti bapak Radit. Tidak menyangka jika Tuhan kembali mempertemukan kami, walau hanya sebagai atasan dan bawahan. Wajahnya makin terlihat mulus, halus, cantik, begitulah Gilia Carlissa yang sekarang berada di hadapanku.
“Tuhan pasti mempertemukan, andai kata kita berdua berjodoh setelah kau lulus dari pendidikanmu.” Apakah dia sengaja kembali, mengingat pernyataan dari perbendaharaan mulutku terakhir kali beberapa 5 tahun silam. Menjadi pertanyaan, kenapa juga Gi harus berperan sebagai manager perusahaan ini, sementara ayahnya mempunnyai perusahaan jauh lebih besar. Jangan-jangan Gi menyadari sesuatu tentang…
“Perkenalkan, nama Saya Gillia Carlissa lulusan Harvad university” saya pikir ketika memperkenalkan diri memasang wajah senyum, ceria, cute justru sebaliknya menakutkan…
Tatapan mata tertajam memenuhi setiap sudut ruangan, entah mencari celah atau apalah? Mulai mengkritik segala isi dari masing-masing meja karyawan. Penempatan salah, desain kacau, cara berpakaian aneh, dan masih banyak lagi tidak luput dari perhatian manager baru glass corporation.
“Kedisiplinan, creatifitas, integritas paling saya utamakan, jadi kalian jangan coba-coba melewati batas aturan terbaru yang telah saya tetapkan. Ngerti!” bahasa tegas berperan sekitar sudut bibir Gilia.
“Ngerti bu,” mereka semua serentak membalas. Benar-benar dia sama sekali tidak mengenali Darrel, berjalan begitu saja tanpa berkata-kata. Wajar, sekarang rambut sudah tidak botak lagi seperti sekolah kemarin, terlebih memakai kaca mata. Jauh lebih baik seperti itu, dibanding Gi segera tersadar salah satu bawahannya ternyata bekas sahabat rasa pacaran walaupun hampir berstatus pacaran.
Mulai mengintropeksi segala surat-surat masuk dan keluar, ditujukan terhdap perusahaan siapa saja. System pengembangan, penerapan, kelakuan, metode, analisa, program, laporan keuangan, dan masih banyak lagi terus saja diteliti olehnya. Laporan perpajakan, perhitungan laba-rugi, bahkan satu kata pada sebuah file menjadi pusat perhatian Gi di perusahaan ini.
“Hari ini meeting pertama antara saya selaku manager dan kalian sebagai bawahan”  berbicara dalam ruang rapat. Saya masih berusaha menutup identitasku sebenarnya, bahkan namapun berusaha saya palsukan sedemikian rupa. Biarlah masa lalu biarlah berlalu, jangan diingat-ingat. Memang benar ucapan orang tuanya, kalau antara saya dan Gi ibarat langi dan bumi. Terus berbicara di hadapan semua karyawan membuat mataku ingin segera tertidur pulas.
Seseorang menepuk bahuku, namun entah dari mana? Mataku masih saja tertutup pulas di tengah rapat antara manager terbaru dan karyawan-karyawannya. “Rel bangun,” Clanis berusaha membangunkan…
“Berisik,” suaraku lantang tak sadarkan diri jika masih berada dalam ruangan sepenting ini. Semua perhatian menjadi teralih ke hadapanku, tetapi mataku masih berputar-putar tidak jelas.
“Kamu yang duduk di pojok sana,” sebuah suara lantang, marah, tegas memenuhi ruuangan. Clanis masih berusaha menggoyang seluruh tubuhku agar segera terbangun dari tidur.
“Rel, sadarlah ibu Gi sekarang menatap tajam ke arahmu” ujar Clanis.
“Bodoh amat, gadis angkuh itu mau menatap ta…” kalimatku terpotong, tiba-tiba menyadari jika saya masih berada dalam ruangan rapat.
“Kau benar-benar jorok” air ilerku terciprat kea rah Clanis saat membersihkan wajahku.
“Siapa namamu?” rasa geram Gi mengarah ke hadapanku.
“Namaku Rel bisa dibilang Rel kereta api gitu,” jawabanku, semua orang kantor juga memanggilku dengan sebutan seperti itu.
“Kenapa kau tertidur?” kenapa dia harus kembali ke hadapanku, membuatku menggerutu mendengar pertanyaan darinya.
“Mampuslah kau,” mimic wajah Clanis di sampingku.
“Kau kena Sp 2, sekali lagi kau melakukan kesalahan saya pastikan tidak seorangpun dapat menyelamatkan dirimu.” Dia sama sekali belum tesadar siapa orang di hadapannya. Lebih ganas dibanding karakter Gi kemarin, gadis terangkuh sejagad raya.
“Baiklah, meeting dilanjutkan esok, ingat saya membuthkan konsep terbaru bukan pasaran. Ngerti!” pernyataan Gi sebelum akhirnya meninggalkan kami semua.
BAGIAN 9…

DARREL…
Selama beberapa hari seluruh karyawan glass corporation seakan berada pada area neraka paling tinggi. Harus lembur hingga malam hari, kesalahan penulisan laporang semua menjadi korban, berpikir lebih kreatif bukan pasaran membuat kami kebingungan sendiri. Belum lagi ketika tata bahasa dan kalimat saat berhadapan dengan pihak luar penuh pengoreksian dari manager baru. Setiap edisi rapat, semua suara harus keluar tetapi siap  menerima hinaan juga.
Glass corporation bergerak  dalam bidang desain tetapi lebih bermain pada system desain gedung seperti hotel, pusat perbelanjaan, restoran, masih banyak lagi. Pada dasarnya perusahaan ini terbilang masih jauh dari level perusahaan lain, bahkan menuju bangkrut sepertinya. Kemungkinan besar, hal seperti inilah membuat sang pemilik menerima Gi untuk memperbaiki keadaan terburuk dari perusahaannya.
“Berikan saya alasan paling berharga,” ungkap Gi memulai pembicaraan ketika rapat berlangsung.
“Maksud kalimat ibu Gi? Kami sama sekali belum paham” Nesia langsung memotong pembicaraan sang manager terbaru glass corporation.
“Kenapa kau memootong pembicaraanku” Gi balik bicara.
“Maaf bu” hanya dapat menundukkan kepala…
“Baiklah, beri alasan paling tepat kenapa saya masih harus mempertahankan kalian, pada hal dari segi kuawitas, kreatiffitas bahkan konsep-konsep kalian terkesan  paling pasaran diantara semuanya.” Nada penjelasan Gi seakan ingin melakukan pemecatan alias pergantian karyawan.
“Berarti kami akan terkena phk besar-besaran?” tangan Clanis teracung.
“betul ucapanmu, sekalian pergantian karyawan. Ngerti!” gadis angkuh.
“Dasar gadis angkuh,” suaraku spontan…
“Coba ulangi ucapanmu sebelumnya!” ternyata suaraku terdengar oleh sang manager.
“Maksudku, si’Clanis manusia paling angkuh sedunia” memberi kode pada Clanis.
“Berhenti bercanda, berikan alasan buat saya! Silahkan dimulai dari dirimu” ucap sang manager menunjuk ke arahku. Saya masih terdiam, gagap, entah harus berkata-kata atau sebaliknya menyerang memakai demi merubah pola pikir  sang manager.
“Kenapa terdiam? Berarti lebih memilih pergantian karyawan?” ucap sang manager.
“Ibu Gi, belajarlah tentang pengenalan hidup dan bagaimana seseorang berjuang sekalipun pandangan mata tiap orang termasuk salah satu dari ibu sendiri menganggap semua itu hanya bersifat pasaran atau memandang rendah.” Bunyi jawabanku, tidak tahan setiap ucapan dia setiap saat. Menjadi pertanyaan, kenapa dia banyak mengalami perubahan?
“Kau…” seperti biasa kalimat Gi beberapa tahun lalu hanya dapat berkata kau ketika tidak menemukan pernyataan lebih baik untuk dilontarkan.
“Rel, mampuslah kita kali ini” Clanis terlihat ketakutan.
“Setidaknya anda sebagai bos bijak memberi kesempatan, mengarahkan, mengajar bukan bercerita tentang hanya berkata pasaran. Ingin memecat karenakata-kata Da..maksudku rel kereta api silahkan” hampir keceplosan mengungkap identitas sendiri.
“Pernyataan terhebat, beri saya sesuatu tidak ternilai bahkan membuat mataku sama sekali tidak berkedip, hingga tanganku tetap mempertahankan! Ngerti?” inilah dunia Gi sekarang, jauh mengalami perubahan setelah pertemuan malam itu.
“Beri saya waktu berpikir beberapa hari atau sehari saja untuk sebuah konsep demi pernyataan mempertahankan dari ibu Gi selaku manager glass corporation!” penekanan nada tinggi-rendah di hadapan semua orang.
“Hanya sehari, ngerti!” dia tidak pernah menyadari identitas asliku. Entahkah lupa, amnesia, atau seperti apa? Wajar, perbedaan antara kami bagaikan langit dan bumi. Memori 5 tahun lalu hanya sebuah kenangan, seperti apapun keadaannya. Berjuang demi mendapat pernyataan mempertahankan dari sang manager, mengharuskan mataku tidak boleh terlelap semalaman. Hanya berlaku sehari dari si’pemberi kebijakan…
Menciptakan sebuah karya tertentu membutuhkan sebuah prroses waktu. Bagaimana mata tidak berkedip ketika seluruh mata memandang ke arah objek karya tersebut. Mempunyai nilai, kualitas, makna, dan tidak bercerita jika karya tersebut hanya pasaran. Mataku harus melek sepanjang malam demi memainkan sebuah desain karya sesuai keinginan sang manager.
“Sesuai konsep yang ingin saya tuturkan demi mendapat pernyataan mempertahankan dari big bos sang manager,” membuat wajah Gi memerah terlihat gerah akibat ucapanku.
“Lanjut!” bahasa judes Gi.
“Perubahan susunan ketika melakukan kerja sama antara perusahaan mengambil peranan disini. Terkadang glass corporation hanya mengambil satu trik sejak awal hingga akhir berujung pada rasa bosan beberapa perusahaan. Ending cerita, banyak tender  berhasil diambil alih oleh perusahaan lain yang jauh lebih berkompeten.” Berdiri penuh rasa percaya diri berkata-kata dalam sebuah ruangan.
“Hanya itu?” suara Gi menyerang.
“Selanjutnya, perjuangan memperkenalkan desain di luar alias dunia promosi, harus terkesan lebih memancing, pemberian kode, pekah terhadap pihak luar. Bagaimana kaki dapat berjalan, otak terus berpikir memperluas jaringan relasi tidak hanya melalui satu aspek tetapi bercerita setiap sudut persimpangan.” Melanjutkan kembali penjelasanku.
“Hanya itu saja?” mata Gi terus menatap tajam.
“Selain itu, saya mencoba membuat desain terbaru guna memenangkan proyek besar dimana pertemuan akan dilakukan beberapa hari lagi.” Jawabanku.
“Uraikan desain terbaru demi sebuah pernyataan mempertahankan!” perintah Gi.
“Sesuai  nama glass corporation, juga  bagaimana memenangkan  proyek desain sebuah hotel berbintang dari clear corporation, dengan kata lain saya ingin mencoba memainkan gelas terus  berisi aliran air berbuih-buih pada sebuah danau hingga dapat menjadi perhatian semua orang.” Tanganku memperlihatkan  sebuah gambar di hadapan mereka hasil karyaku semalaman.
“Sebuah hotel membentuk seperti suatu gelas kaca Kristal sekitar pertengahan danau. Ketika mata memandang ke tingkat atas, maka terlihat alirang air terus memainkan irama mengisi gelas kaca Kristal tersebut tanpa pernah bosan. Memasang lampu-lampu hiasan berwarna-warni mengelilingi gedung hotel tersebut, sehingga pada malam hari terlihat kilauan sinar membentuk suatu ciri khas.” Tambahan penjelasanku.
“Kemudian? Atau cukup sampai disini saja?” kalimat Gi…
“Terdapat pula sebuah taman sekitar hotel tersebut.Pada bagian paling bawah hotel tersebut dapat melihat seluruh isi atau keadaan danau. Satu lagi, membuat sebuah jembatan kaca memakai konsep desain unik menuju hotel tersebut. Dapat memakai desain jembatan kaca membentuk batuan-batuan kecil bertumpuk menjadi satu hingga menjadi sebuah jembatan. Pada malam hari, batuan kaca tersebut membentuk sinar dari arah danau ke atas.” Ucapku.
“Bagaimana bisa kilauan sinar terbentuk pada malam hari?” pertanyaan Clanis.
“Memakai trik tertentu, lampu hias warna-warni akan terdapat pada bagian bawah jembatan batu-batuan  kaca. Secara otomatis malam hari, ketika lampu-lampu tersebut hidup kilauan sinar akan bermain memenuhi danau sepanjang perjalanan menuju hotel tersebut.” Jawabanku.
“Dibalik konsepmu, apakah hanya sebatas desain atau mempunyai makna mendalam?” bahasa Gi menatap secara tajam…
“Gelas kaca Kristal mengajarkan seseorang tentang sebuah wadah. Jadilah wadah/tempat paling menyenangkan bagi setiap orang. Terus saja dialiri air bagi sebuah kehidupan. Memberi inspirasi, pengharapan, kekuatan, sinar di tengah-tengah kehidupan banyak orang. Terlihat indah, penuh sinar, berkilau setiap mata yang memandang.” Ucapku.
“Wow…” teriak Nesia.
“Selain hal tersebut, terdapat jembatan membentuk batu-batuan kecil berkumpul menuju sebuah tempat. Bercerita bahwa demi memberi dampak dan sinar bagi kehidupan banyak orang, maka semua itu dimulai melalui proses demi proses. Penumpukan batu-batuan kaca hingga membuatnya menjadi sebuah jembatan tidak secara langsung, harus berhadapan beberapa  hal tersulit dari langkah hidup.” Ucapanku.
“Memiliki kualitas nilai, menjadi seperti gelas kaca Kristal sebagai tempat/wadah bagi banyak orang tidak bercerita dalam sekejap mata, tetapi melalui sebuah proses tumpukan batu-batuan  kecil hingga membentuk sebuah jembatan. Menjadi pemberi inspirasi, pengharapan, kekuatan, sinar segala sesuatunya dimulai dari sebuah proses kehidupan.” Kembali mulutku berucap menatap Gi…
Setidaknya saya berusaha mencoba, dari pada tidak sama sekali menjelaskan apa yang ada dalam benakku demi sebuah pernyataan mempertahankan. Entah keadaan seperti apa merasuki Gi selama 5 tahun lebih? Hidup Gi jauh berubah lebih dari pemikiranku selama bertahun-tahun.
Andai kata selamanya saya tidak akan pernah bertemu denganmu lagi?” suara Gi beberapa tahun lalu masih melekat kuat dalam ingatanku. Masih menatap Gi sama seperti yang kulakukan setiap berada di hadapannya masa remaja kemarin. Gadis angkuh, dingin, jenius, kaya, kutu buku belajar berpetualang beberapa tahun silam.
“Sampai kapanpun, Darrel tidak dilahirkan untuk memenuhi ruang Gi”bisikan hatiku berirama tidak karuan.
“Lumayan” bahasa Gi memecah keheningan ruang rapat setelah beberapa menit semua terdiam.
“Kau berhasil mempertahankan teman-temanmu untuk tetap berada disini” pernyataannya sebelum melangkah keluar dari ruangan. Andai kata, petualangan remaja kembali lagi hadir? Mengenang memori bagaimana mengajar Gi tentang petualangan kehidupan remaja dalam kesederhanaan.
“Kau berhasil Rel” teriak Clanis sangat gembira.
“Pasti dong, Darrel” kalimat memegang tangan Clanis.
“Kau Darrel, kan?” tanpa sadar ucapanku terdengar jelas di telinga Gi, membuatnya berbalik dan berjalan ke hadapanku kembali. Suasana riuh berubah menjadi kembali menjadi keheningan, oleh karena sebuah pertanyaan sang Manager.
“Maksud ibu Gi?” mulut Clanis terbuka lebar, tidak memahami pertanyaan tersebut.
“Bukan rel kereta?” Tanya Gi.
“Itu hanya julukan permainan Rel saja,” Nesia hadir tiba-tiba.
“Berarti Darrel,” ucapannya membuat semua kebingungan…
GILLIA…
Beberapa tahun berada di tempat asing menjalani segala sesuatu tanpa sebuah petualangan bersama dia yang mengajarkan hidupku tentang kualitas nilai kehidupan. Pemberi harapan palsu bersikap  seolah semua dapat dilupakan sekejap mata. Seperti biasa, hidupku hanya bercerita tentang buku-buku depan mata, tidak lagi berbicara akan sebuah petualangan.
Andai kata saya tidak pernah melihatmu?” pertanyaanku beberapa tahun lalu.
Berarti Gi terlahir bukan untuk Darrel, tetapi untuk orang lain.” Jawaban terbodoh darinya beberapa tahun silam. Hal lebih bodoh lagi, papi sengaja memperkenalkan anak salah satu temannya selama saya berada di negeri orang. Kenyataan terburuk depan mata, adalah sifat dan karakternya berbeda jauh dengan Darrel.
Bagaimanapun saya akan berusaha menyelesaikan studyku, kemudian berjuang kembali ke tempat dimana seseorang mengajarkan tentang petualangan sederhana. “Gi hanya butuh berkorban dan berjuang sedikit saja” gumamku memegang sebuah kalung. Mencari jalan agar anak teman papi tidak bakalan bertahan lama di depanku. Bukan Gi namanya, jika tidak berhasil menyusun sebuah skenario hebat.
“Gi, sudah makan?” selalu saja memenuhi halaman kampus, siapa lagi kalau bukan Axel.
“Sok perhatian” cetusku terus membaca buku-buku di hadapanku. Seperti biasa membuat dia tidak akan pernah betah bertahan berada depanku. Darrel membuatku dapat tertawa lepas jauh berbeda ketika Axel bersamaku. Berjuang menyelesaikan study dalam waktu singkat bagaimanapun caranya.
Terkadang rasa takut menghantui pemikiran Gi, bagaimana jika Darrel terlahir untuk orang lain? Bagaimana, jika sekarang dia sudah menemukan gadis impian pada tempat lain? Andai kata itu terjadi, bagaimana hidupku melangkah sekalipun hanya melewati setitik saja? Manusia terbodoh yang selalu menarik tanganku menuju sebuah petualangan. Menangajarkan agar hidup Gi tidak akan pernah menjadi seperti singa paling ganas ketika berada di hadapan seorang pria tertampan sekalipun.
“Dia selalu menghargai apapun dalam hidupku, tanpa pernah merusaknya” bisikan hatiku memegang kalung yang melingkar kuat pada leherku.
Akhirnya saya dapat menyelesaikan kuliahku dalam waktu singkat. Tetapi papi menyadari arah pikiranku selanjutnya, hingga dengan kesengajaan menjebak putri kandunngnya sendiri. Semua keinginannya bahkan nilai terbaik bertahun-tahun telah kuberikan. Papi berhasil menusun skenario terhebat, hingga akhir cerita dunia Gi harus tetap berada di Negara asing. Cabang perusahaan papi harus terkelola secara baik, alasan paling terkacau bagi logika Gi.
Dua tahun kumudian, saya berhasil meninggalkan Negara tersebut tanpa harus mendengar perintah papi. 5 tahun jauh dari keluarga, sekarang kembali memulai kehidupan baru di Negara sendiri. Mami dan papi setuju atau tidak, saya akan tetap mencari pekerjaan sendiri tanpa bergantung pada mereka. Cukup pengorbananku kemarin, waktu sekarang merupakan kehidupan mandiri bagi dunia Gi. Seorang ceo menawarkan secara langsung untuk menjadi manager pada perusahaannya tanpa memasukkan lamaran terlebih dahulu.
Kedua orang tuaku tidak akan pernah bisa kembali mengekang kehidupanku sama seperti kemarin. Mereka sengaja membuat skenario, agar saya tetap tinggal jauh dari memori tentang sebuah petualangan masa remaja. Bekerja jauh dari perusahaan papi jauh lebih baik ketimbang harus berada dalam naungannya.
“Glass corporation” memeriksa tentang beberapa data-data perusahaan tersebut. Hari pertama menapakkan kaki pada perusahaan tersebut,sikap sebagai atasan harus terlihat. Berjiwa kepemimpinan dalam bentuk tata bahasa, tatapan mata, pola pikir, ketika kaki melangkah, karisma, wibawa berusaha kumainkan. Saya pun tidak menginginkan semua orang  berkata  jika  dunia manager  terbaru glass corporation terkesan lembek.Terlebih perusahaan tersebut seakan menuju sebuah kebangkrutan, maka dari itu pihak ceo meminta pergantian managemen terbaru.
Memeriksa, mengoreksi, mempermasalahkan, mengatur, merombak segala isi bahkan setiap sudut dari perusahaan tersebut. Entah mengapa, salah satu anak buahku mengalihkan perhatianku seutuhnya. Seakan dia seperti seseorang yang sudah lama kukenal bahkan lebih dari itu. Nama paling aneh sedunia, Rel kereta api…
“Orang tuanya pasti terlalu kampungan memberi nama seperti itu” gumamku. Sepanjang rapat pertama dia tertidur dalam ruangan, aliran darahku mulai mengalir. Ketika masih menjalankan cabang perusahaan papi di luar negeri, mulutku tidak segan-segan berperan bagi siapapun yang telah melewati garis batas.
Memberikan dia sp sebagai batu peringatan jangan coba-coba bermain denganku. Segala keputusanku bagi perusahaan tersebut, terkesan membuat mereka berada di bawah tekanan. Saya hanya bertindak sebagai pemimpin, itulah logika pemikiranku saat ini. Tidak perdulia apapun ucapan mereka, inti permasalahan adalah membuat perubahan.
“Baiklah, beri alasan paling tepat kenapa saya masih harus mempertahankan kalian, pada hal dari segi kualitas, kreatiffitas bahkan konsep-konsep kalian terkesan  paling pasaran diantara semuanya.” Nada pembicaraanku menginginkan adanya pergantian.
“Gadis Angkuh,” ucapan si’rel kereta api, memang sih terdengar pelan tetapi telingaku terlalu tajam sebagai indera pendengar. Pernyataan itu seakan tidak asing lagi di telingaku…
Menjelaskan terhadap mereka maksud ucapanku, hingga dia berdiri berbicara sebagai pahlawan kesiangan bagi teman-temannya. Cara dia mengungkap sebuah pernyataan mengingatkanku terhadap dia. “Mana mungkin juga si’rel kereta api adalah Darrel” suara hatiku. Dia meminta waktu sehari demi menyelamatkan seluruh teman-temannya. Menyetujui permintaan si’rel kereta api agar mendapat kebijakan walau hanya sehari…
Semalaman penuh mataku tak terpejam membayangkan wajah si’rel kereta api seperti terlihat janggal. “Gi, ada saat dimana kau harus bijak melihat sebuah kehidupan di depan matamu.” Suara Darrel memenuhi gendang pendengaranku. Semua itu hanya kenangan, entah sekarang dia berada dimana.
“Dia hanya kenangan masa lalu sampai kapanpun juga” bahasa paling tepat menggambarkan dunia Darrel. Menginjakkan kaki di rumahnya kembali, tetapi hanya penghuni lain muncul depanku. Berarti dia lahir bukan memenuhi warna Gi untuk selamanya. Belajar melupakan semua memori kemarin jauh lebih baik, dibandingkan mempertahankan. Dia yang menginginkan kaki Gi berada di luar area langkah kehidupannya.
Pagi menakutkan bagi glass corporation membungkus seluruh penghuninya. Si’Rel kereta api mencoba menjabarkan dalam ruang persegi tentang  sebuah konsep demi meraih sebuah pernyataan mempertahankan. “Hanya dia yang memiliki tatapan mata seperti itu,” bisikan hatiku disaat si’rel kereta api memandangku. Jantungku berdetak keras sama seperti beberapa tahun silam.
“Kualitas nilai…” hanya dia saja dapat membuat pernyataan tersebut. Saya pasti gila menganggap si’rel kereta api adalah Darrel. Dia mengajarkan tentang kualitas nilai kehidupan sama seperti si’rel kereta api saat ini. Hasil karyanya menarik perhatian, membuat si’rel kereta api dapat memperjuangkan teman-temannya. Berlalu dari hadapan mereka setelah menyetujui untuk mempertahankan untuk keluar dari ruang tersebut. Tanpa sengaja, telinngaku mendengar si’rel kereta api mengucapkan sebuah nama, “Darrel…”
“Berarti dia sengaja memperkosa namanya sendiri, dari Darrel menjadi Rel kereta api” kata-kataku pelan, menyadari jika ternyata dia benar-benar Darrel. Manusia terbodoh, selalu membuat sensasi sepanjang waktu ketika berada di hadapanku. Dia hanya tercipta bagi kehidupan Gi bukan siapa-siapa sampai kapanpun juga. Tak akan kubiarkan tangan siapapun mengambil kebahagiaanku…
Kembali melangkah ke hadapan dia tanpa memperdulikan status antara antara atasan dan bawahan. Dia selalu mengajarkan hidupku tentang kualitas nilai, sampai detik sekarangpun dengan sengaja memakai sebuah gambaran bebatuan kecil. Kebahagiaanku bukan papi penentu segala sesuatunya, melainkan hanya Tuhan dan langkahku sendiri. “Gi, belajarlah berpetualang menikmati hidup dan tidak hanya melihat segala sesuatu dari kata mewah, mahal, berkualitas. Ngerti” terus mengingat ucapannya.
“Kau Darrel kan?” berkata-kata di hadapannya, hingga terjadi keheningan dalam ruang persegi selama beberapa saat. Tatapan matanya berbicara jika dia memang benar-benar mengenalku, tetapi diam seribu bahasa. Semua orang tidak menyangka masa lalu antara sang manager dan si’rel kereta api. Nesia membenarkan ucapanku, jika rel kereta api hanya sebuah julukan dari dirinya.
“Kau banyak berubah” pernyataanku. Dia membawaku keluar dari ruang tersebut, demi menghindari berbagai tanggapan-tanggapan negative. Kenapa saya sama sekali tidak pernah menyadari akan sebuah motor tua terparkir bagian halaman belakang dari perusahaan ini? Perubahan warna tetapi masih bentuk sama beberapa tahun silam hanya modifikasi saja. Dia menyembunyikan motornya jauh dari parkirang depan, biar tak terlihat.
“Kau manusia terkacau” tangisku pecah, kakiku lemas terkulai ke lantai sekitar halaman belakang dari perusahaan tersebut. Dia hanya terdiam tanpa berkata-kata beberapa saat…
“Kau akhirnya mengenalku?” tangan Darrel menghapus bulir-bulir aliran air mata memenuhi wajahku.
“Kenapa kau memperkosa namamu sendiri dari Darrel menjadi rel kereta api?”
“Karena kau sama sekali tak mengenalku,” jawaban terbodoh dari si’pembuat sensasi.
“Tuhan kembali mempertemukan, berarti kau terlahir hanya untuk Gi” pernyatanku tanpa pernah memperdulikan apapun ucapannya.
“Gi sekarang sudah banyak berubah,”  tuturnya.
“Perubahan?” mencoba mencari celah maksud ucapan Darrel.
“Makin ganas, teliti, membahayakan, menakutkan, angker seakan berada pada tempat keramat, dan masih banyak lagi” jawaban seorang Darrel hingga mataku tidak berkedip mendengar semua itu. Ingin marah tetapi seakan ada sesuatu yang menahan.
“Kau menyindir atau menghibur?” pertanyaanku.
“Dua-duanya,” sekejap mata mencubit kedua pipiku.
“Saya bukan gadis lagi remaja,ngerti?” ucapanku, namun dia tak pernah berkedip sedikitpun memandang sepasang bola mataku bahkan dalam waktu sedikit lama…
“Kuduslah kamu sebab aku kudus” suara nyaringku bermain seketika, membahayakan iblis dapat saja bermain sekejap mata. Dia tertawa terbahak-bahak tanpa memperdulikan tempat di sekitarnya.
“Berarti Gi selama di luar tidak pernah menjadi singa ganas?” ledekan darinya.
“Saya bukan singa ganas” ucapanku kembali mengambil botol minuman dari tangan Darrel kemudian memukul ke arah bagian kepalanya.
“Saya tahu, Gi bukan singa ganas.” Sekarang memakai kaca mata, rambut sudah tertata, badan lebih berisi bahkan saya hampir tidak mengenal dia sama sekali. Ternyata dia tetap setia menunggu Gi kembali hadir di hadapannya. Bercerita banyak tentang jalur hidup beberapa tahun silam hingga detik sekarang. Papi tidak akan pernah bisa membuat sebuah skenario bagi kehidupanku.
“Gi, setiap hari saya berdoa” mengambil tanganku memegang kuat bahkan tidak ingin melepas sedikitpun.
“Berdoa Tentang apa?”
“Tuhan, andai kata Darrel kembali dipertemukan Gi berarti kami memang benar-benar akan menyatu sekalipun banyak tantangan kehidupan ke depan. Andai kata tidak, berarti Gi terlahir untuk orang lain bukan langkah Darrel.” Kalimat Darrel membuat haru biru memenuhi beranda hatiku.
“Darrel mau berjuang melawan papi dan mami apapun keadaannya?” kata-kataku.
“Tentu,” jawaban Darrel. Penantian panjang, tetapi mata Tuhan segera menjawab dan mendengar keluh kesahku selama bertahun-tahun. Kupikir dia akan melepas, menyerah, melupakan, bahkan tidak akan pernah mengingat sama sekali. Glass corporation digemparkan oleh hubungan masa lalu antara sang manager baru bersama salah satu karyawannya. Kisah asmaraku akan segera berhembus ke telinga papi, terlebih mata-matanya selalu berada di tiap sudut kota ini. Mempertahankan dan memperjuangkan apa yang aku anggap merupakan sebuah kualitas hidup jauh lebih menyenangkan dibanding berjalan keluar dari jalur tersebut.
Dia  yang mengajarkan kuantitas suatu nilai akan terus menggenggam erat tanganku seperti apapun tantangan hidup ke depan. Menikah tanpa restu papi dan mami itulah kisah hidupku sekarang, sedangkan Devanya sendiri masih melanjutkan studinya di luar negeri. Berulang kali Darrel datang ke rumah tetapi kedua orang tuaku tetap menolak oleh karena perbedaan status diantara kami. Saya akan tetap berjuang, sekalipun orang tuaku tetap pada pendirian mereka. Membuangku dan menganggap saya tidak pernah ada bagi kehidupan mereka hanya akibat mempertahankan kualitas hidupku.
“Kau bukan anak kami lagi, jangan sekali-sekali menginjakkan kaki kembali ke rumah ini” gertakan papi terngiang pada gendang pendengaranku. Seluruh foto-foto dan barang-barangku dibuang papi ke gudang bagian belakang rumah. Mencoret namaku dari kartu keluarga mereka karena ucapan ingin memperjuangan dan mempertahankan hubungan percintaanku sendiri.
Papi sengaja memainkan skenario glass corporation hingga sang pemilik tak dapat berbuat apa-apa. Secara keterpaksaan kami harus keluar dengan tidak hormat dari perusahaan tersebut. Seluruh perusahaan menolak lamaran kerja Darrel karena skenario cerita papi. Menikah tanpa restu, mengalami masa-masa tersulit, berada dalam lingkup keluarga baru inilah hidupku sekarang. Menerima hidup Darel apa adanya sekalipun memiliki belasan saudara paling aneh sedunia. Pertama kali menjalani hidup baru bersama beberapa kepala keluarga dalam sebuah rumah kecil.
BAGIAN 10…

GILIA…
Menikahi Darrel merupakan pilihan hidup. Satu kalimat bahwa saya tidak akan pernah menyesal mengambil keputusan berada di luar area kehendak papi dan mami. Belajar beradaptasi ketika pertama kali tinggal serumah bersama keluarga besar Darrel. Ayah mertuaku mau menerimaku di rumahnya, walaupun awal Darrel membawaku ke hadapannya dia sedikit ragu. Ayah mertuaku dan isi rumahnya sempat berpikir negative tentang kami, secara tibaa-tiba ingin menikah. Mereka berprasangka jika saya hamil luar nikah makin menambah ribuan pertanyaan.
“Menikah tanpa pesta besar terbilang terlalu sederhana, hanya berdasar pada cinta masa lalu kembali bermain lebih tepatnya.” Tertawa sendiri membayangkan jalan hidupku sekarang. Pertama kali bagi dunia Gi belajar memasak, mencuci pakaian, mengpepel lantai rumah, dan banyak lagi.
“Masakannya gosong,” hingga cerita akhir, serumah harus menerima menu gosong hari ini. Darrel sempat mengajarkan bagaimana menyapu lantai, cuci piring, mengepel rumah tetapi kejadian tersebut sudah berlangsung beberapa tahun lahun. Singkat cerita, piring/gelas banyak pecah ketika tanganku berada depan wastapel. Menyapu lantai rumah saja masih banyak kotoran beterbangan kiri kanan. Beberapa anggota rumah terjatuh akibat perbuatanku disaat mengepel. Banyak air sabun bergelinang kiri kanan memenuhi sudut rumah. Darrel hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuanku. Tidak juga marah dan tidak juga tersenyum tetapi memasang wajah aneh…
“Kakak ipar, santai saja” tegur Brielle adik iparku, hanya dia satu-satunya memasang wajah ceria ketika berada depanku. Akibat pernikahanku hingga Brielle harus pemecatan sepihak sama seperti kami oleh karena permainan papi. Brielle tidak pernah memasang wajah marah terhadap kehidupan kami, tetap menerima keadaan kami.
“Kau tidak marah karena…?” tanyaku disaat Brielle mencoba membantuku menyelesaikan pekerjaan rumah.
“Kenapa harus marah, skenario masa depanku ada di tangan Tuhan” jawaban Brielle.
“Kau seperti Deva”
“Siapa itu Deva?” Brielle berbalik ke arahku,
“Jangan-jangan mantan kakak ipar selama menempuh studi yah?” kalimatnya kembali.
“Devanya itu adikku, sekarang masih menempuh pendidikannya di luar negeri.”
“Oh begitu,” hanya kalimat tersebut terucap dari mulut Brielle.
Karena tidak mendapatkan pekerjaan, Darrel harus bekerja sebagai penjual ikan keliling dari rumah ke rumah. Sementara Brielle bekerja sebagai salah satu penjaga toko mini market kecil, setidaknya masih ada yang mau menerima dia sebagai karyawan. Ibu mertuaku dan anak-anaknya yang lain selalu memasang wajah asam disaat bertatapan muka denganku. Kemungkinan besar mereka marah atas keputusanku mempertahankan Darrel berujung pada penderitaan serumah.
“Karena perbuatanmu kami harus hidup kembali seperti ini” nada keras ibu mertua.
“Jangan persalahkan Gi,” tegur ayah mertua membelaku, tidak sengaja ia berjalan dan melihat bagaimana ibu mertua memarahi diriku.
“Ibu tiri, jangan coba-coba menyerang Gi” kalimat Brielle datang membelaku.
“Sudah bagus saya memarahinya, setidaknya kau berterimah kasih…” ibu mertua seolah makin terlihat kesal melihat keadaan rumah.
“Mungkin dengan jalan seperti ini, anak-anakmu bersama keluarganya dapat bekerja di luar sana. Coba bayangkan, sudah punya anak 3 masih saja jadi manusia pemalas.” Sindiran Brielle. Ucapan adik ipar memang kenyataan, sebagian anak-anaknya telah menikah tetapi masih terus bergantung hidup pada orang tua. 2 diantara anaknya hanya menjadi tukang-tukangan seperti tukang tidur, tukang makan, preman besar sekitar perkampungan lingkungan kota.
“Berhenti berbicara!” ucap ibu mertua.
“Inilah susahnya kalau punya anak banyak, sekalian saja buat grup kesebelasan.” Kalimat Brielle kembali sedikit membuatku ingin tertawa.
“Bril, hormati ibumu!” tegur ayah.
“Kakak ipar kalau punya anak jangan seperti mau buat kesebelasan pemain sepak bola, ujung pukul ujung akhirnya semua kacau. Untung kalau besar nanti jadi orang, kalau tidak seperti inilah keadaannya, hancur lebur.” Perkataan Brielle makin menambah kegeraman ibu mertua.
“Bril,” gertak ayah.
“Upppsss, ayah lagi ngambek” tingkah Brielle makin menambah kekacauan. Brielle segera berlalu dari hadapan mereka, setidaknya hal tersebut jauh lebih baik ketimbang semakin memanas-manasi situasi. Berada dalam sebuah rumah terdiri dari beberapa kepala keluarga, pada dasarnya terdapat hal-hal rumit bahkan beresiko perselisihan besar. Terlebih apa bila si’pencari nafkah hanya tergantung pada seorang saja, sedangkan kepala keluarga bercerita tentang lebih dari satu orang.
Menurut cerita Darrel jika saudara tirinya menikah di usia masih dini sama seperti ibu mereka. Pendidikan mereka tidak seperti kami, hanya tamatan sd, smp, atau pertengahan smu akibat biaya ekonomi jauh sebelum bertemu ayah. 3 urutan terakhir diantara anak-anaknya benar-benar perjuangan besar bagi ayah untuk membuat mereka tetap melanjutkan pendidikan, setidaknya tidak mengikuti jejak saudaranya yang lain.Suami anak pertama sampai tiga hanya bekerja sebagai tukang sayur, tukang batu, cleaning servis. Akibat istri boros membuat pengaturan keuangan hancur lebur.
Sementara anak ke-4 sampai 5 juga telah menikah, tetapi tidak dapat memberi nafkah bagi istri mereka. Kerjaan hanya nongkrong memenuhi suasana perkampungan, menjadi tukang tidur  dan tukang makan semata ketika berada di rumah. Hal terparah mempunyai anak lebih dari 2 orang, membuat semua pusing. Anak ke-6 mempunyai anak tanpa suami alias hamil di luar nikah akibat pergaulan bebas ketika masih bersekolah. Yang ke-7 menjadi preman pasar berjalan kiri kanan mengganggu orang tanpa  pendidikan sedikitpun. Sisanya masih bersekolah, maka dari itu ayah terus saja berjuang untuk mereka.
“Kau menghancurkan mainanku” Via marah besar, tangannya segera menarik rambut sepupunya sendiri.
“Kau lebih dulu mencuri sepatuku” Mery balik menyerang. Mereka berdua berkelahi satu sama lain, 2 anak sama-sama berumur 6 tahun berkelahi hanya karena permasalahan sepele. Tiba-tiba orang tua mereka masing-masing datang, mencoba melerai tetapi ujung akhir cerita justru malah perkelahian terbalik terjadi.
“Anakmu salah membuat Via seperti sekarang” amukan Feti orang kandung Via.
“Jelas-jelas Mery memulai perkelahian,” Sarah alias ibu Mery menjambak rambut saudara iparnya sendiri. Feti dan suami Sarah merupakan saudara kandung, juga tinggal serumah bersama. Berarti antara Via dan Mery merupakan saudara sepupu.
“Keterlaluan berani-beraninya hanya mengejek Via” Feti makin geram.
“Jadi menantang, ingin berkelahi?” Sarah mendorong tubuh iparnya. Aduh mulut, saling menghina, permainan kasar, jambak menjambak makin memenuhi ruangan kecil. Melihat tingkah mereka kepalaku menjadi sakit seketika, berusaha melerai tetapi begitu sulit.
“Hentikan” teriakanku mencoba memisahkan mereka tetapi makin tak berhasil. Akhirnya Darrel muncul kehadapan mereka menarik tubuh Feti dari Sarah hingga berhasil.
“Kalian seperti anak kecil, sadar dong jika hidup seperti ini terus pasti hancur” gertakan Darrel. Mereka terdiam beberapa saat, namun beberapa menit kemudian mulai memanas kembali.
“Saudara paling hancur” kalimatku berbisik ke telinga Darrel.Rumah hanya ukuran biasa tetapi penuh manusia-manusia kacau membentuk dunia sendiri. Rumah sebelumnya dijual, akibat terlalu kecil kemudian membeli rumah sedikit lebih luas dari sebelumnya. Darrel memaki mereka agar menghentikan pertengkaran tersebut. Hal lebih parah datanglah ibu mertua, bukannya bersikap netral tetapi hanya membelah salah satu pihak. Inilah kehidupan jika hidup bersama mertua terlebih dalam rumah tersebut terdapat lebih dari satu kepala keluarga.
Permasalahan ekonomi dapat merusak keharmonisan antara keluarga. Perselisihan biasa dapat dibesar-besarkan hingga berakhir pada permusuhan satu dengan lainnya. Hal lebih mengejutkan kedua orang tua Via dan Mery masih berselisih dan tidak saling bertegur sapa ketika bertemu selama seminggu. Sedangkan anak-anak mereka sejam setelah perkelahian sudah baikan kembali bahkan bermain juga tertawa bersama.
“Orang tua aneh” gerutuku dalam hati.
“Kenapa memasang wajah seperti itu?” tegur Darrel.
“Tanya kenapa, lihat kelakuan saudaramu disana seperti apa?” jawabku. Darrel mengerti maksud ucapanku mengarah pada pperselisihan beberapa hari kemarin.
“Jadi kau menyesal menikah?” Tanya Darrel.
“Entahlah, hanya Tuhan mengetahui isi hatiku” cetusku. Kenapa juga Gi menyukai Darrel sampai rela terbuang dari keluarga demi sebuah pernikahan? Saudara Darrel benar-benar mengerikan jauh diluar dugaan logika hidupku sendiri.
“Gi, anggap saja itulah seninya mempunyai keluarga seperti ini” pelukan hangat Darrel membuatku lupa kejadian tersebut.
“Aneh, kenapa kau dan Bril mempunyai karakter bagaikan langit dan bumi diantara saudara-saudaramu yang lain?” pertanyaanku tetap nyaman dalam pelukan hangat suamiku sendiri.
“Gi, masing-masing orang mempunyai karakter tesendiri. Garis kepribadian pasti berbeda-beda dan tidak sama antara saudara satu dengan lainnya. Ada yang dewasa, tetapi ada juga bersifat kekanak-kanakan sekalipun umur tidak sesuai. Ngerti?” inilah Darrel berusaha menjelaskan hal-hal tak kupahami.
“Masalahnya, anak-anak mereka berkelahi terus beberapa jam kemudian baikan, tetapi orang tua tidak saling bicara berhari-hari. Kacau betul,” suasana hatiku kembali kesal.
“Lebih parah lagi diluar sana anak-anak mereka berkelahi permasalahan biasa, 5 menit kemudian sudah saling baikan. Tetapi orang tua mereka masing-masing sampai liang kubur tidak saling bicara. Pada hal kejadiannya sudah berlangsung puluhan tahun, anak-anak mereka juga sudah berkeluarga.” Darrel makin menambah-nambahkan bumbu penyedap ke telingaku.
“Memang ada yah seperti itu?” makin terkejut.
“Seperti itulah, pada dasarnya sih kembali pada kedewasaan menanggapi situasi dari para orang tua juga status pendidikan seseorang berperan penting ketika mendidik sang anak.” Kalimat Darrel menjelaskan tentang dunia para orang tua zaman sekarang.
“Ayah terbaik bagi anak-anakku kelak” memeluk Dirinya. Sekalipun kehidupan perekonomian kami kacau balau, namun setidaknya antara satu dengan lainnya bersikap bijak melihat situasi kenyataan hidup. Mempunyai  saudara seperti ini…memang mengerikan, tetapi tetap menikmati kehidupan oleh karena dunia suamiku bercerita tentang kedewasaan.
“Pasti dong,” tetap menikmati kehidupanku walau jauh dari kemewahan.
Ucapan Darrel benar-benar kenyataan jika beberapa para orang tua memiliki karakter seperti anak kecil pada umumnya. Sepulang dari pasar, suara telponku berbunyi ibu mertua menyuruhku menjemput via, Toni, juga Mery di sekolah, karena bunda mereka masing-masing lagi sibuk. “Sibuk apaan sih, segitunya?” gerutuku secara terpaksa berjalan menuju sekolah menjemput para keponakan kecil Darrel.
“Sampai juga” penuh semangat mencari para kurcaci-kurcaci tersebut. Kedua bola mataku terarah pada 2 ibu seperti sedang berkelahi hebat depan halaman sekolah. Mereka berkelahi dengan permasalahan sama seperti peristiwa orang tua Mery dan Via kemarin. Menurut cerita anak dari si’A dan Bbermain, entah seperti apa jalan ceritanya salah dari anak mereka menangis. Sang anak si’B mengadu pada ibunya, datang ke sekolah memarahi anak si’A. Singkat cerita si’A juga bercerita pada ibunya malam harinya, kemudian esok hari memarahi anak si’A. Kesimpulan terjadilah pertengkaran sengit antara 2 ibu-ibu rempong saling membelah anak-anak masing-masing.
“Perang dunia 3 selalu saja dimana-mana” kepalaku pusing berpikir menyaksikan kehidupan terkacau baik di rumah maupun sekolah.
“Anak situ duluan memulai nyerang anakku” teriakan ibu si’A.
“Jaga mulut, jelas-jelas anak saya kakinya berdarah gitu” ibu si’B tidak mau kalah.
“Harusnya saya yang bilang, kalau itu mulut perlu dibersihkan pakai sampo biar bersih” teriakan lantang ibu si’A mendorong habis-habisan tubuh ibu si’B.
“Berani ma saya, siapa takut” emosional ibu si’B meninggi. Terjadilah pertengkaran paling wow sejagad raya. Sebagian berusaha melerai, tetapi sebagian pula menambah-nambahi bumbu-bumbu penyedap dapur biar makin berteriak.
“Masa kalah, serang terus” teriak salah satu dari penonton.
“Bukannya melerai, malah jadi provokator” teriakku. Rambutku terus saja berdiri melihat kejadian-kejadian aneh kiri dan kanan.
“Lawan saja” teriak yang lain lagi.
“Kita berdua taruhan, siapa pemenang antara mereka, okey” kalimat sayap kanan.
“Berhenti…” satpam sekolah baru datang. Para guru dan satpam sekolah masih berjuang melerai mereka. Perkelahian paling sengit jauh mengalahkan perselisihan orang tua Via dan Mery. Suasana berubah menjadi hening, setelah salah seorang guru mengancam memanggil pihak kepolisian. Berusaha memperdamaikan mereka merupakan kewajiban pihak sekolah. Mereka berkelahi sampai segitunya juga, lebih hancur ketimbang perang dunia 3. Malam harinya, menceritakan segala sesuatunya terhadap Darrel setelah makan malam selesai. Berkomunikasi dalam kamar, itulah dunia kami setelah menjadi sepasang suami istri. Setiap sebelum dan bangun tidur, selalu berdoa bersama walau hanya kapasitas ruang terlalu kecil.
“Darrel, tadi mereka bertengkar hebat!” tubuhku memperagakan cara 2 ibu di sekolah tadi sedang mengamuk.
“Wow…” senyuman suamiku setiap saya bercerita apapun terhadapnya.
“Saya tidak ingin menjadi seperti mereka” ucapku berbalik ke hadapan Darrel.
“Gi, kelak andai kata Tuhan mempercayakan kita berdua buah hati lucu plus cute…”
“Emang lucu dan cute bedanya dimana, bosss?” mengoreksi pernyataannya.
“Banyak perbedaannya,” jawaban Darrel.
“Lanjut pada kalimat sebelumnya, tetapi jangan pakai andai kata, melainkan pasti memiliki buah hati” kembali memperbaiki kalimat sang suami.
“Terserah kau saja, Gi”
“Silahkan lanjutkan,” tatapan mataku terus ke arahnya.
“Kelak, andai kata si’kecil sedang berselisih atau bertengkar dengan temannya, Gi sebagai orang tua jangan membelah dia di depan umum. Hal seperti ini bisa bermasalah bagi para orang tua.” Kalimat Darrel.
“Lantas?” memahami betul sikap Darrel.
“Kesalahan sebagian besar orang tua adalah selalu menjadi malaikat atau pahlawan kesiangan bagi sang anak tetapi pada jalur salah. Anak bertengkar, orang tua masing-masing masuk membela, hingga berujung fatal.” Penjelasan Darrel.
“Ooohhhh…” paham maksudnya.
“Besok-besok, apa bila sang anak berhadapan dengan banyak hal, pasti dapat melakukan hal-hal lebih mengerikan bahkan diluar kendali logika. Kenapa? Karena sang anak menganggap ada orang tua saya yang akan selalu menjadi pembela abadi sampai selama-lamanya. Pembentukan kepribadian dan etika sang anak hancur total.” Penjelasan Darrel.
“Papi selalu mengikuti apapun kemauanku sejak kecil” mengingat kembali memori bersama orang tuaku.
“Wajar saja, pertama kali bertemu Gi terkenal sebagai gadis paling angkuh” menyindir.
“Kau menyindirku,” menjitak kepala suamiku sendiri.
“Memang kenyataan, kenapa? Karena ayahmu sedikit bermasalah ketika membentuk pribadimu sewaktu Gi masih kecil pasti,” bahasa Darrel memang benar, papi dan mami selalu mengikuti apapun keinginanku.
“Iyah sih” mengakui pernyataan Darrel.
“Jadilah ibu terbaik bagi anakku kelak. Disaat tertentu bersikap tegas, bijak, dapat mengarahkan jalur salah dan benar. Memakai rotan ketika membentuk sedari kecil, tetapi sesuai jalur. Hangat disetiap pertumbuhan sang anak. Ngerti?”
“Kenapa harus pakai rotan, bisa-bisa anakku mati dipukul terus” pikiranku membayangkan sesuatu…
“Gi, emas ada diujung rotan, tidak menjadi masalah selama berada pada situasi yang memang tempatnya. Memberi kehangatan dan kasih sayang tidak bercerita tentang memanjakan atau mengikuti segala kemauan sang anak, melainkan tentang pembentukan dari hidupnya sejak kecil.” Darrel kembali mengajarkan duniaku akan sebuah pembentukan kehidupan seorang anak.
“Tetapi saya tidak katakan setiap hari anak kita harus kena rotan terus-menerus sampai seluruh tubuhnya merah atau sekalian saja lumpuh. Sang anak juga dapat kebal jika berhadapan setiap saat dengan sebatang kayu. Akal sehat seorang ibu harus bermain dan lebih cerdas dalam hal seperti ini.” Inilah Darrel sejak masih berusia remaja hingga detik sekarang selalu terlihat dewasa ketika berkata-kata.
BAGIAN 11…

DARREL…
Semua seperti mimpi, dia datang kembali sebagai manager glass corporation. Secara mengejutkan mulai menyadari tentang identitasku sewaktu secara tak sadar telinganya mendengar apa yang kukatakan terhadap Clanis. Sekarang menjadi pasangan hidupku tanpa perencanaan apapun. Hanya pernikahan sederhana, lebih kacau lagi tanpa restu orang tua Gi. Anggota keluargaku menganggap jika Gi berbadan dua, makanya keburu nikah. Inilah kisah hidupku, kalau sudah cinta tai kucingpun rasa cokelat. Brielle harus mengalami pemecatan tidak hormat, akibat ulah sang mertua menolak pernikahanku dengan anaknya. Saya dan Gi pun harus dikeluarkan begitu saja dari glass corporation. Tidak satupun perusahaan mau menerima saya sebagai karyawannya. Ijasah Gi sebagai lulusan Harvad terbuang percuma, karena lebih memilih menjadi manusia paling miskin bersama diriku.
Entah kekuatan dari mana membuatku ingin terus mempertahankan gadis impianku sejak remaja, sekalipun ada begitu banyak badai menghadang. Mau berada dalam lingkungan keluarga seperti ini, membuatku terharu melihat keadaan Gi. Berada di rumah sederhana bukan istana, lebih parah lagi berpenghuni luar biasa banyaknya. Pertama kali Gi belajar memasak berakhir gosong, membersihkan rumah membuat semua penghuni terjatuh kepleset. Terkadang, saya harus tertawa sembunyi-sembunyi akibat kelakuan buruk istri tercinta.
Beruntung Brielle mau memahami dan menerima keadaanku, walau dirinya harus menjadi korban skenario dari orang tua Gi. “Kakak, masa depanku tidak ditentukan oleh manusia” senyuman Brielle memeluk hangat diriku. Dia selalu menjadi  adik palng pengertian, bahkan pemberi semangat untukku.
“Karena perbuatanku berujung pada pemecatanmu, maaf” suaraku serak.
“Dia masa depan kakak, terkadang Tuhan sengaja membawa kehidupan kita pada jalur penuh lautan duri hanya demi mengajarkan warna-warna pelangi semata.” Kalimat Brielle.
“Bril selalu dewasa menanggapi masalah, itulah yang kusukai dari kepribadian adikku”
“Tenang saja, semua hanya bersifat sementara dan roda kehidupan masih terus berputar” pernyataan Brielle.
“Bagaimana mimpimu, Bril?”
“Tenang saja, pasti bisa kuraih suatu hari kelak” senyuman Brielle mengambang memberi kehangatan. Hanya dia satu-satunya adikku paling memahami hidupku, sekalipun di rumahku masih terdapat beberapa anggota keluarga dengan status sama.
Kebahagiaan terbesarku saat sekarang hidup bersama Gi. Menjalani kehidupan biasa, meninggalkan kemewahan dan berada dalam sebuah keluarga  sederhana merupakan kisah petualangan seorang Gillia.Mengerjakan hal-hal sederhana tanpa sebuah status kemewahan.
“Kau keterlaluan” pagi-pagi suara orang lagi bertengkar terdengar dari luar. Cek per cek, ternyata pertengkaran sengit terjadi antara Sarah dan suaminya sendiri. Sebuah koper besar berada di tangannya, pasangan suami istri kembali meramaikan keributan rumah. Sementara beberapa anggota keluarga lain semakin menambah-nambahkan bummbu penyedap rasa biar pertengkaran makin seru. Ibu juga tidak dapat bersikap netral diantara anak dan menantunya sendiri.
“Lebih baik kembali ke rumah orang tua saya di jalan badak” Sarah membanting daun pintu. Ayah berusaha menenangkan mereka, seperti biasanya…
“Emang ada yah jalan badak?” Gi masih sempat-sempatnya mempertanyakan nama jalan.
“Nama jalan itu sekitar kampung tempat tinggalnya,” bisikku. Sarah masih bersikeras ingin pulang ke rumah orang tuanya tanpa membawa seorang anakpun. Hal terlucu adalah selang 30 menit kemudian, Sarah kembali dengan alasan uangnya kecopetan di jalan. Pasangan suami istri paling aneh, ingin balik kampung, tetapi kondisi keuangan lagi kosong.
“Hari gini pasangan suami istri bertengkar, lari membawa koper, selang 30 menit balik lagi” Gi mengungkapkan apa yang ada di hatinya.
“Gi, mending kita jalan pagi menghirup udara segar dari pada memikirkan masalah rumah!” menarik Gi keluar dari rumah. Lebih baik saya tidak membiarkan Gi berbicara satu katapun jauh lebih baik, dari pada menjadi salah satu bumbu penyedap. Ketika suami istri berselisih, pihak manapun tidak boleh masuk. Jika ingin berada di tengah-tengah mereka sebagai penetralisir keadaan tunggu waktu yang tepat.
“Memang hari ini kau tidak kerja?” Gi kebingungan.
“Saya mau menghabiskan waktu sehari bersama istriku tercinta, dari pada keliling jual ikan terus” perkataanku sambil memberi sesendok bubur ayam ke dalam mulut Gi.
“So romantis,” ledekan Gi. Menikmati suasana pagi hari, berada sekitar sekitar pinggir jalan samping gerobak bubur ayam.
“Gi, hal seperti ini tidak diminta-minta tetapi biasa terjadi dalam kehidupan rumah tangga” nada bicaraku mengalihkan perhatian Gi.
“Tentang apa?”
“Andai kata terjadi pertengkaran seperti apapun dalam rumah tangga kita, saya harap Gi harus dapat tetap berada di jalur yang sesuai.” Ucapku.
“Darrel, jangan membuatku ketakutan” lirih Gi menghentikan menyantap bubur di hadapannya.
“Gi, masalah pertengkaran itu biasa bahkan sering terjadi bagi pasangan suami istri. Entah karena sebuah permasalahan ekonomi, anak, kebersihan rumah, atau perselingkuhan dan masih banyak lagi. Hanya saja, kembali kepada pribadi masing-masing bagaimana menyingkapi keadaan depan mata.” Kata-kataku memegang  tangan Gi.
“Berarti kita berdua bisa saja bertengkar?” pertanyaan Gi. kepalaku mengangguk membenarkan pertanyaannya hingga dia memahami tentang dunia pertengkaran biasa terjadi bagi kehidupan suami istri.
“Andai kata itu terjadi kelak, Gi harus berjanji untuk tidak mengaduh terlebih kembali ke rumah orang tuamu. Bijak melihat situasi, bagaimanapun rasa sakit yang dirasakan, Gi lebih baik berpetualang keliling kota dibanding membawa koper besar buat balik ke rumah orang tua.” Berusaha membuat Gi paham.
“Memang kenapa kalau saya mengadu ke papi atau mami?”
“Kalau kita sudah menikah berarti harus mandiri dan jangan bergantung pada orang tua. Terlebih pernikahan kita berdua tanpa restu orang tuamu, andai kata terjadi pertengkaran terus Gi mengadu atau balik begitu saja ke rumah…100% mereka membalikkan kata-kata jika itu pilihan hidupmu, kenapa kau penuh penyesalan sekarang? Rumah tangga kita makin hancur” Jawaban terbaik buatnya.
“Satu lagi, jangan asal curhat ke sembarang orang tentang permasalahan rumah tangga. Entah permasalahan sederhana atau paling heboh sekalian, kenapa? Karena siapa sih yang mengenal hati manusia kecuali Tuhan. Bukannya permasalahan menjadi lebih baik, malah lebih serius dari perkiraan. Ngerti?” ucapanku kembali.
“Kalau sakitnya dipendam, pasti jadi penyakit andai kata ga curhat keluar” nada  suara Gi seolah membayangkan bagaimana jika pertengkaran diantara kami terjadi…
“Gi jauh lebih baik mengungkapkan keluh kesahmu kepada Tuhan dalam kamar, dibandingkan bercerita kepada banyak orang. Beruntung kalau tempat curhatmu bisa bijak, tetapi kalau bersifat anak kecil, menjadi kuntilanak halus, menambah-nambahkan bumbu penyedap. Rumah tangga kita berdua pasti hancur lebur,” menjelaskan kepada Gi.
“Seperti kebanyakan artis-artis berarti kita berdua bercerai gitu?” Gi ketakutan.
“Bisa jadi, apa lagi kalau Gi bersifat kekanak-kanakan” jawabanku untuknya. Dunia rumah tangga dapat berselisih lebih rumah, pada hal permasalahan awal hanya hal-hal sepele akibat suara-suara pihak ke-3.Beberapa bulan belakangan ini, saya berusaha mengumpulkan uang untuk membeli membawa Gi keluar dari rumah. Biar bagaimanapun juga, hidup membentuk keluarga kecil dalam sebuah rumah kecil jauh lebih baik.
Mencari rumah kontrakan kecil sebagai tempat tinggal keluarga kecilku. “Darrel, ada hal yang ingin kusampaikan” tiba-tiba saja Gi berada di hadapanku terbungkus sinar matahari terik sekitar kompleks rumah menjual ikan-ikan segar memakai sepeda motor tua. Dia menyadari tempat-tempatku berkeliling untuk berjualan demi menghidupi keluarga. Sisi lain mencoba mengatur keadaan keuangan, selain membantu  ayah menutupi kebutuhan rumah.
“Kok tahu tempat saya berkeliling?” keheranan melihat Gi.
“Lupakan tentang semua itu, ada hal lebih penting” sikap Gi mengalihkan perhatian.
“Tentang?” tanyaku sambil berusaha membawa sepeda motorku menuju sebuah warung kecil. Setidaknya kami dapat menikmati segelas kopi, sambil beristirahat ria jauh dari penat matahari.
“Bagaimana kalau kita berdua kontrak rumah?” pikiranku ternyata sama dengannya.
“Memang kenapa?” pancingku.
“Tanpa sengaja saya bertabrakan seorang ibu beberapa hari lalu di pasar tadi, entah bagaimana caranya kami berdua jadi akrab kemudian saling berbagi cerita biasa sih. Tapi, tenang saja saya curhat bukan tentang keluarga.” Membuat ingin segera tertawa mendengar kalimat terakhirnya.
“What?”
“Ibu itu baik, tidak tahu bagaimana tiba-tiba saja beliau berkata terhadapku tentang sesuatu hal sewaktu bertemu lagi dengannya.” Ucap Gi.
“Berbicara apa?” tanyaku.
“Apa bila seseorang telah memiliki sebuah keluarga, sebaiknya membentuk kehidupan sendiri. Biarpun hanya berada di rumah kontrakan berukuran kecil beralaskan tikar, tetapi membentuk hidup pasangan suami istri. Begitulah ucapan beliau” sejak kapan Gi mempunyai teman seperti itu. Perasaan sejak dulu, Gi memilah-milah dalam pertemanan.
“Masa?”
“Kalau mempunyai rumah kecil sendiri, pihak ke-3 tidak pernah ada saat terjadi pertengkaran baik dari pihak orang tua, saudara, teman, atau lainnya. Mau makan apa saja tetap tenang, tanpa harus  mendengar suara abcdefg. Istilah mandiri juga berada disini, ungkapannya.” Kembali Gi mengucapkan segala pernyataan teman barunya.
“Gi, ini juga saya lagi mau kumpul uang buat bayar kontrakan. Memang mempunyai kesulitan tersendiri tinggal serumah lebih dari 1 kepala keluarga. Satu dengan lainnya dapat saja membuat perselisihan terlebih permasalahan keuangan, anak-anak, rasa saling curiga, kemalasan. Dan banyak lagi.”
“Masalah kemalasan?” Gi sulit mencerna.
“Astaga Gi, coba bayangkan kalau Gi mengerjakan seluruh pekerjaan rumah mulai dari masak, membersihkan rumah, ke pasar, mengeluarkan biaya buat makan, dan lain sebagainya, sedangkan anggota lain pada angkat kaki. Berarti mengajarkan kemalasan juga perselisihan antara sesame anggota keluarga.” Perkataanku menjelaskan sesuatu…
“Betul juga, saya ko ga sadar?” Gi gadis angkuh berubah total oleh sebuah keadaan. Kehidupan rumah tangga dapat terbentuk ketika diawali dengan kesederhanaan. Hidup bersama, saling menerima antara satu dengan lainnya, disaat terjadi perselisihan kecil atau besar tetap bijak melihat situasi sekalipun ada begitu banyak suara-suara pihak ke-3 masuk ke telinga. Memutuskan memiliki rumah kontrakan kecil merupakan akhir keputusan kami bersama. Sejak awal pernikahan, saya telah merancang tinggal bersama dalam sebuah rumah kecil, sekalipun hanya kontrakan sederhana.
Akhirnya kami menemukan sebuah rumah layak pakai, sekalipun hanya berukuran kecil saja. Awalnya ayah tidak mengizinkan kami meninggalkan rumah, tetapi akhirnya dia dapat menerima alasan ingin membina keluarga sederhana. Hal lebih membahagiakan lagi adalah Gi positif hamil. Lengkap sudah kebahagiaan kami, walau hanya berada dalam sebuah kontrakan kecil. Kehidupan keluarga bukannya tidak luput dari pertengkaran-pertengkaran rumah tangga, tetapi cara menyingkapi permasalahan depan kami ke jalur seperti apa.
Sesuai perjanjian ketika kami mengalami perselisihan, Gi belajar menyelesaikan tanpa harus mengumbar-umbar terhadap siapapun. Terkadang permasalahan sebagai suami pulang kerja capek, terus Gi belum masak apapun, sedangkan hati kami sedang kacau-balau bahkan rasa ingin marah satu sama lain. Pengendalian diri pada dasarnya membutuhkan proses panjang, tetapi kami belajar melalui semua itu. Hingga detik sekarang, Gi tidak pernah mengadu atau bercerita andai kata kami memiliki permasalahan dalam rumah tangga.
Waktu terus berlalu, buah hati kami akhirnya genap berusia 3 tahun.  Wajahnya benar-benar mirip saya, walau terlahir sebagai anak perempuan. Otak dan kemampuannya tak perlu diragukan mengikut bundanya. “Sheena, kemarilah” segera gadis kecilku berlari kecil mengikuti pergerakanku.
“Ayah, hari ini ikannya banyak” tangannya terus saja memegang ikan-ikan di depan.
“Bunda masak apa hari ini?” ujarku sambil berusaha memperbaiki kuncir rambutnya.
“Rahasia dapur,” jawaban gadis kecilku.
“Wow, pintar banget bilangnya rahasia dapur”
“Bunda bilang rahasia dapur, ayahku sayang” jemari kecil berusaha memperbaiki poni rambutnya sendiri.
“Kalau begitu ayah dan Sheena harus segera pulang rumah” mengangkat tubuh mungil Sheena menuju motor dari tahun ke tahun tak pernah berganti. Mulai perkenalan bersama bunda Sheena sewaktu remaja hingga detik sekarang masih setia menemani.
Sebagai orang tua bijak, saya dan Gi mulai mengajar dunianya dalam suatu jalur warna-warna pelangi. Mengajarkan dia bagaimana terbentuk di mata Tuhan, memahami sebuah keadaan tetapi memakai kalimat sesuai bahasa anak-anak. “Ayah, baju itu cantik” tunjuk Sheena sewaktu kami berada di pasar. Satu lagi, sebagai orang tua yang benar-benar paham akan pergaulan, sejak kecil membuat dia tahu mana pakaian layak pakai atau tidak.
“Sheena baju itu memang cantik, tetapi baju yang ini jauh lebih manis kalau dipakai Sheena” memperlihatkan sepasang pakaian sederhana, tetapi makin diperhatikan terlihat manis bahkan tertutup masuk kategori sopan.
Gi tidak keberatan atas pengajaran bagi dunia Sheena, terlebih gaya fashion sedang berada di jalur seperti apa? “Gi, seorang anak harus dibiasakan sedari kecil berpakaian tertutup, sehingga sewaktu besar dia akan risih memakai pakaian terbuka.” Ucapku terhadap Gi.
“Memang harus segitu tertutupnya yah?” pertanyaan Gi heran.
“Saya tidak bercerita, kalau anak saya harus tertutup sekali berpakaian sampai menyapu seluruh tanah. Hanya saja masih memasuki kapasitas sopan, seorang anak harus sejak kecil dibiasakan tentang hal seperti ini.” Jawaban paling tepat bagi pertanyaan Gi.
“Oh seperti itu” senyum Gi mengambang, pertanda memahami maksud dan tujuanku.
“Terimah kasih karena tetap bertahan bagi kehidupan kami berdua” mencium kening Gi hingga membuatnya terkejut…
“Justru, saya yang harus bersyukur mempunyai suami terbaik dan selalu menjadi ayah terhebat bagi Sheena.” Menyodorkan secangkir kopi panas. Gi mempunyai masa depan, tetapi lebih memilih berada pada lingkungan social sederhana demi seorang Darrel.
“Hanya berkeliling menjadi penjual ikan, tetapi memiliki istri lulusan Harvad”
“Sekarang kehidupanku hanya terarah pada kau dan Sheena,” kalimat Gi.
“Sheena memiliki sifat seperti dirimu,” ucapku mengalihkan perhatiannya.
“Saya selalu berdoa pada Tuhan, semoga Sheena mempunyai karakter seperti ayahnya bukan bundanya. Tetapi masalah otak harus dari bundanya jangan jadi pemalas seperti ayahnya.” Nada ucapan Gi awal menyenangkan, diakhir ribet…
BAGIAN 12…

Kisah hidup Darrel dan Gillia memiliki kisah petualangan percintaan, dimulai sejak pertemuan usia remaja, kemudian berlanjut pada status pernikahan tanpa restu orang tua. Sampai detik sekarang seluruh foto Gi tak pernah terpampang memenuhi ruang keluarga Azaria. Bertahun-tahun melupakan Gi sebagai anak kandung mereka, jauh lebih baik dibanding mengakui Darrel sebagai seorang menantu.
“Bertahun-tahun Gi meninggalkan rumah ini pi,” ibu Azaria sedih membayangkan wajah putri kesayangannya lebih memilih hal terkacau ketimbang keluarganya sendiri.
“Lupakan tentang Gi,” rasa kesal menyerang pengusaha terkenal bapak Azaria. Masih memendam rasa geram terhadap putri kandungnya sendiri. Di lain hal Devanya akan kembali hadir memenuhi rumah, setelah menyelesaikan mengembangkan cabang besar di Negara tetangga. Keluarga Azaria terkenal dengan aset kekayaan paling besar, bahkan memiliki cabang dimana-mana. Bapak Azaria menyuruh seorang sopir menjemput Devanya yang sudah balik di bandara.
“Halo pi,” suara Deva menelpon Azaria.
“Papi tidak usah menyuruh sopir menjemput, saya bisa pulang sendiri” segera Deva menutup telepon genggamnya. Beranjak dari kursi bandara, kemudian membawa sebuah koper menuju taxi. Meminta sopir taxi membawanya menuju alamat sesuai petunjuk selembar kertas. Dia menyadari  permasalahan keluarganya, bahkan hingga detik sekarang masih memanas.
“Kita sudah sampai, pak!” tegur sopir taxi.
“Rumah ka’Gi kecil amat” segera turun dari taxi membawa koper. Deva mengirim beberapa detektif mencari alamat Gi, dengan tujuan setelah kembali dia dapat segera menemui kakaknya. Mendorong koper menuju halaman, terdengar suara tawa gadis kecil  berlari bersama seseorang.
“Sheena, kena” Brielle sedang menjadi pengasuh setia keponakannya, jika ayah dan bundanya lagi sibuk.
“Curang…” cetus Sheena.
“Permisi” sapa Deva terhadap mereka. Devanya merasa yakin jika gadis kecil itu adalah keponakannya. Tanpa sungkan segera berjalan masuk rumah mencari kamar tidur untuk istirahat. Segera mengeluarkan isi kopernya, kemudian memberikan Sheena cokelat, boneka, mainan terbaru seperti pistol dan mobil-mobilan. Sementara Sheena sendiri kebingungan tidak mengenal siapa orang di depannya. Tekanan darah Brielle memuncak melihat tamu tanpa sopan santu memasuki rumah.
“Kau siapa?” tegur Brielle.
“Iyah betul, paman itu siapa?” Sheena tetap memegang cokelat di tangannya.
“Papi dan mami dimana?” tegur Deva terhadap gadis kecil depannya.
“Siapa itu papi mami?” sheena balik bertanya.
“Hei, rumah ini bukan milikmu, lantas seenaknya memasuki kamar dan…” geram Bril.
“Tenang, paman  bukan orang jahat gadis kecil” senyuman Deva tetap menyebar. Setengah jam kemudian, Darel dan Gi sudah kembali setelah menyelesaikan sebuah urusan. Mata Gi hampir tak mempercayai siapa sekarang berada dalam rumahnya. Sementara Darrel hampir tak mempercayai melihat istrinya berpelukan bersama pria lain. Sampai detik sekarang, Darrel belum mengenal secara pasti wajah adik kandung istrinya sendiri.
“Kenapa kau bisa mengetahui alamatku?” Gi terus saja memeluk Devanya.
“Apa itu mantanmu kemarin?” Darrel sedikit risih melihat adegan depan matanya.
“Ayah, mantan itu apa?” bisik Sheena.
“Kakak, mantan kakak ipar keren amat, sedang ka’Darrel sendiri dekil bahkan jelek” sindiran Brielle.
“Bril, bisakah membuatkan segelas kopi panas buat dia!” perintah Gi,
“Bisa sekali” segera Brielle menuju dapur. Gillia memperkenalkan Deva kepada keluarga kecilnya. Darrel baru pertama kali melihat wajah adik iparnya, jadi wajar jika mereka tidak saling mengenal. Deva menceritakan bagaimana segala keadaannya selama berada di Negara orang. Sebelum kembali menyewah detektif mencari keberadaan kakaknya.
“Bagaimana kabar papi?” Gi tidak pernah mendengar lagi kabar orang tuanya…
“Justru ka Gi’ lebih tahu keadaan mereka” balas Deva.
“Kau tahukan, kalau papi dan mami tidak ingin melihatku menginjakkan rumah lagi” jawaban Gi. bercerita banyak tentang dunia skenario, hingga berhasil membuat seluruh perusahaan menolak Darrel sebagai karyawan. Deva menyadari dunia orang tuanya lebih berfokus pada status social bukan bercerita tentang seni hidup.
“Ka’Darrel, terimah kasih karena membuat kakakku memahami petualangan” perkataan Deva mengarah pada Darrel.
“Memang apa yang telah kuperbuat?” Darrel tak paham…
“Sebelum mengenal ka’Darrel, dunia ka’Gi mirip bahkan sebelas dua belas ma karakter papi, tetapi sekarang berbanding terbalik…” senyum Deva mengalir bagaikan model ternama.
Devanya menyodorkan bantuan untuk membantu perekonomian kakaknya, tetapi Darrel menolak. Prinsip Darrel adalah mandiri, bukan bercerita tentang mendapat simpatik sekalipun dari keluarga. Gi mengerti jelas bagaimana karakter sang suami, serta setiap hal terkecil dari diri seorang Darrel.Sekalipun mereka membutuhkan uang, terlebih Darrel masih membiayai adiknya yang masih kuliah. Ayahnya memohon, agar Darrel dan Brielle mau membantu biaya kuliah 3 saudara tirinya sampai selesai. Setidaknya Vanya, Moli, Zeo tidak mengikuti jejak kakaknya yang lain. Mereka  harus memiliki pendidikan sama seperti Darrel dan Brielle.
Beberapa tahun ini, Darrel berusaha mengatur keuangan setidaknya cukup bagi istri dan anaknya, juga biaya kuliah adiknya. Bersepakat bersama Brielle, kalau biaya pendidikan mereka dibagi. Biaya pendidikan Vanya ditanggung oleh Darrel, sedangkan permasalahan kuliah Moli merupakan kewajiban Brielle. Untuk permasalahan Zeo menjadi beban bersama bagi Darrel dan Brielle.
“Kenapa kau tidak mau menerima bantuan Deva?” pertanyaan Gi terhadap suaminya.
“Gi, pasti sadar kalau pernikahan kita berdua tanpa restu orang tuamu. Sekarang andai kata, orang tuamu menyadari adikmu memberi bantuan, pasti mereka semakin merendahkan saya sebagai suami dari anaknya. Ngerti” jawaban Darrel.
“Tapi Sheena juga butuh biaya,” ungkap Gi menunduk.
“Gi, berjanjilah seperti apapun biaya yang kita butuhkan jangan pernah meminta bantuan dari orang tua atau adikmu. Setidaknya keluarga kecil kita belajar warna-warna pelangi, jauh lebih baik Gi berada dalam kamar berseru kepada Tuhan, tetapi tidak berpikir mencari bantuan terhadap orang tua atau adikmu.” Perkataan Darrel berusaha membuat Gi memahami tentang situasi keluarganya.
“Tapi kalau hanya berdoa semata tidak akan menghasilkan apapun. Berdoa dan berusaha harus diseimbangkan.” Ucap Gi melirik Darrel.
“Tetapi tidak bercerita meminta bantuan terhadap orang tua atau adikmu. Biarlah kau menjadi pondasi dengan cara lututmu bertelut, sedangkan saya sebagai suami akan berusaha. Berarti seimbangkan antara doa dan berusaha?” jawaban Darrel bagi istri tercintanya.
“Kau selalu seperti ini” nada suara Gi..
“Sejak awal orang tuamu membenci diriku, sekarang andai kata kau meminta bantuan mereka, maka pikiran negative pasti muncul. Jauh lebih baik Gi menangis di kaki Tuhan, dibandingkan sekedar mengemis bantuan pada orang tua.” Bahasa Darrel memegang teguh prinsip tertentu.
“Gi harus sabar, menunggu waktu Tuhan datang mengangkat derajat hidup kita. Lagian apa arti kemewahan, kalau hidup tak pernah mengerti tentang sebuah proses serta warna-warna pelangi.” Tambahan kalimat Darrel terhadap istrinya kembali.
Selama ini Gi berusaha mengatur keuangan bagi kehidupan keluarga kecilnya. Sesuai petunjuk Darrel, setiap hasil pendapatan segera dibagi pada beberapa tempat. Menyiapkan beberapa celengan dan juga amplop kemudian menyelipkan hasil pendapatan suaminya. Menyelipkan biaya sekolah Sheena pada sebuah celengan sekalipun tidaklah seberapa, tetapi jika dikumpul dapat menajadi bukit. Mengatur untuk biaya kuliah Vanya dan Zeo sesuai kesepakatan bersama Brielle. Memberi pendapatan juga dalam perbendaharaan rumah Tuhan dan kegiatan social walau tidaklah seberapa. Memisahkan untuk kebutuhan sehari-hari, lampu, dan listrik.
Devanya beralasan terhadap orang tuanya ingin hidup mandiri, sehingga dapat tinggal bersama kakak dan keponakan kecilnya. Bermain bersama Sheena menciptakan tawa bagi Deva. Membawa Sheena berada di kantor, atau  sekedar mengajaknya berkeliling taman bermain, pusat perbelanjaan, restoran, dan masih banyak lagi.
“Paman, makanannya enak” Sheena menikmati makanan yang terhidang depan mata.
“Habiskan, semua ini buat keponakan kecilku” ucap Deva.
“Paman, selesai makan pergi ke toko buku beli buku” Sheena berkutik…
“Sheena sudah bisa baca memang?” celoteh Devanya.
“Astaga, setiap minggu ayah dan bunda memberikan buku bacaan terbaru.”
“Paman Tanya, sudah bisa  baca atau belum?” Deva gemmes melihat  keponakannya.
“Sudah bisa baca, bunda ngajarin” Sheena terus memasukkan makanan ke mulutnya.
“Umur 3 tahun” ucap Deva terkejut. Namun, hal seperti itu bukan permasalahan bagi Gi, dikarenakan sewaktu kecil Sheena dan bundanya sebelas dua belas. Kebiasaan Gi sebagai manusia kutu buku sepertinya mengikut ke anaknya. Deva mengajak keponakan kecilnya menuju pusat perbelanjaan demi memberikan Sheena pakaian-pakaian mahal. Tiba-tiba Brielle hadir di tengah mereka memasang raut  wajah tidak suka…
“Tante Bril” sapa Sheena memeluk Brielle.
“Saya tidak melarang anda sebagai pamannya membelikan Sheena pakaian-pakaian atau apapun. Hanya saja  jangan melewati batas, kenapa? Karena ka’Darrel dan ka’Gi pasti ngambek” teguran Brielle terhadap Devanya.
“Memang salah?” pertanyaan Devanya, sedangkan Brielle hanya menggeleng-geleng kepala menjawab pertanyaan Devanya.
“Tidak ada kesalahan sih, hanya saja ka’Darrel sejak kecil mengajarkan Sheena memakai barang-barang sederhana tanpa harus benar-benar bermerk luar biasa. Bukan permasalahan biaya juga, tetapi…” kalimat  Brielle terpotong.
“Tetapi apa?” Tanya Devanya.
“Seorang anak jangan dibiasakan memakai benda-benda bermerk sejak kecil, entah itu pakaian, sepatu, hp, dan banyak lagi, kenapa? Biar besar dia terbiasa terhadap sebuah keadaan tanpa harus mengikut teman-temannya, segala sesuatu harus mengikuti merk atau trend fashion terbaru, menurut ka’Darrel” penjelasan Brielle.

“Segitunya juga” ujar Devanya.
“Apa kau tidak melihat kehidupan anak zaman sekarang? Kebiasaan buruk, segala yang mereka miliki harus benda-benda bermerk, sampai-sampai menjajahkan diri demi hal seperti itu. Bukan juga permasalahan seperti itu sih, tetapi sekalipun tangan dapat membeli, tetapi sang anak belajar untuk berada pada area kesederhanaan.” Ucap Brielle lagi.
“Pantes saja ka’Gi sampai rela mengorbankan semuanya demi menikahi kakakmu”
“Kakakku sejak dulu selalu terlihat dewasa,” Brielle memahami dengan betul karakter kakaknya dan bagaimana memperlakukan atau  mendidik anaknya sendiri.
Gi banyak bercerita tentang Brielle terhadap Deva. Tempat tinggal Deva tidak lagi berada di sebuah apertement mewah, melainkan rumah sederhana bersama kakaknya. Gi merencanakan sesuatu hal, yaitu ingin menjodohkan Deva dan Brielle. Pada dasarnya, Deva tidak pernah sadar tentang tentang perjodohan yang direncanakan sepihak oleh kakaknya sendiri.
Gi membuat alur cerita tanpa sepengetahuan Darrel demi menjodohkan adiknya dan Brielle. “Andai kata, ayah Sheena menyadari skenario yang kubuat pasti ceramah panjang kali lebar lagi” menyadari betul karakter suaminya seperti apa. Terkadang Gi berpikir, kalau suaminya itu lebih cocok menjadi seorang biksu, pendeta, ustads, pastur sekalian. Tidak dapat disangkal seorang Gi berubah melalui tangan pasangan hidupnya sendiri. Namun, permasalahan jodoh menjodohkan suaminya tidak boleh masuk bahkan menyadari semua itu.
“Bril, segera ke rumah!” perintah Gi melalui  telepon. Seperti biasa Gi menciptakan alur percintaan antara adik kandung ipar sendiri.Deva lebih banyak menghabiskan waktu bersama keponakan kecilnya, dibandingkan menyelesaikan permasalahan kantor. Terkecuali meeting tak terduga atau pertemuan sesame klien untuk melakukan kerja sama. Mengantarkan dan menjemput Sheena menuju sekolah taman kanak-kanak. Gi mengatur pertemuan tak terduga antara adik dan iparnya sendiri.
“Brielle gadis pintar, dewasa seperti Darrel” Gi membayangkan bagaimana mereka berdua dapat bersatu. Beberapa mantan Deva hanyalah bagian dari manusia-manusia kacau, yang dibutuhkan sebagai pasangan adalah bagaimana menjadi suatu pondasi. Deva mulai menaruh rasa curiga juga kejanggalan dari beberapa kejadian. Seakan kakaknya merencanakan tindakan terselubung.
“Ka’Gi harus mengakui sesuatu terhadap saya?” pertanyaan Dave mencari jawaban.
“Tentang apa Deva? Gi balik bertanya.
“Kakak sengaja kan mempertemukan saya dan Bril?”
“Maksudnya?” Gi menghentikan aktifitas memasaknya di pagi hari, sedangkan Darrel sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali. Devanya menjelaskan pertemuan tak terduga setiap saat dengan Brielle, seakan telah terencana sebelumnya. Mempelajari gerak-gerik kakaknya hingga menarik kesimpulan.
“Ka’Gi ingin menjodohkan saya dengan Bril? Jujur saja, ga usah berbelit-belit”
“Memang kenapa kalau yah? Ada yang salah?” Gi tidak dapat mengelak lagi. Devanya tertawa sejadi-jadinya mendengar kalimat kakaknya. Memilih mengikuti pilihan Gi atau orang tuanya , sedangkan Devanya dijodohkan. Membayangkan hidup Deva seperti kakaknya terbuang, menikmati suasana kemiskinan…
“Kakak ngerti pilihan papi seperti apa? Hingga detik sekarang papi tidak ingin melihat wajah ka’Gi karena lebih memilih menikahi manusia miskin seperti kakak ipar.” Ungkapnya.
“Darrel boleh miskin, setidaknya suamiku memiliki kualitas hidup jauh dari semua pria di dunia ini. Saya tidak pernah menyesal membuat keputusan terbodoh seperti sekarang” kata-kata Gi terhdap Devanya.
“Kakak yang mau jadi miskin selamanya, kenapa adikmu kebawa juga?”
“Deva kemarin dan sejarang sudah berubah” mimic wajah Gi berubah, seolah membandingkan…
“Tidak ada perubahan baik kemarin maupun sekarang, permasalahannya papi bisa jantung melihat kedua anaknya lebih memilih pilihan sendiri ketimbang orang tua” tutur Deva.
“Bril termasuk kategori cantik, berprestasi, pintar, dewasa, permasalahannya Cuma satu karena perbuatan papi dia sampai detik sekarang menjadi penjaga toko.” Pernyataan Gi.
“Papi menyusun skenario paling kejam sampai segitunya,” Devanya sedikit histeris mendengar karakter orang mereka. Bukan permasalahan devanya ingin menolak, tetapi menumbuhkan perasaan membutuhkan waktu dan proses.
“Memang Bril naksir? Setahuku dia termasuk salah satu kategori manusia  paling sulit untuk ditaklukkan.” Suara Devanya seakan menyetujui permintaan kakaknya. Gi tersenyum mendengar pertanyaan adiknya sendiri.
“Tenang saja, kau hanya butuh berjuang, setidaknya mencoba dari pada tidak sama sekali. Berhasil atau tidak, serahkan kembali sama Tuhan! Kalau berhasil berarti Bril jodoh terbaik untukmu, tetapi jika tidak mengucap syukurlah dalam segala hal.” Jawaban Gi.
“Ka’Gi yang ngejodohin, malah saya harus berjuang, terus kalau gagal, sampai segitunya juga” Devanya hanya memutar-mutar mainan Sheena.
“Saya tahu sifat Bril, masalah papi menjodohkan, kau bisa menyusun rencana biar batal total. Deva, kalau ada yang lebih baik, kenapa harus mengambil langkah salah bagi jalan hidupmu sendiri” ucapan Gi terhadap Devanya.
“Menikah itu sacral, jangan lakukan berulang kali. Bukan permasalahan uang,fisik, ketenaran, seberapa sempurnanya seseorang melainkan kuantitas nilai dalam dirinya, apakah dapat membuatmu tetap berada pada area tertentu atau melewati batas yang telah Tuhan tetapkan.” Kembali Gi berkata-kata bagi Devanya.
“Saya ikut pilihan kakak, permasalahan jadi miskin itu tidak mungkin sepertinya” penuh rasa percaya diri bercerita. Devanya menyadari bahwa segala ucapan kakaknya memang betul, kembali pada pribadi sendiri. Permasalahan pilihan hidup ada di tangan, apakah menginginkan sekali seumur hidup atau lebih dari itu? Hanya membutuhkan perjuangan, kemudian akhir cerita menggenggam sesuai keinginan hati.
Lain sisi Devanya mengikuti pilihan kakaknya tetapi melalui perjuangan, tetapi disisi lain bersiap-siap menyusun skenario lebih jenius lagi demi menggagalkan pertunangan yang akan diselenggarakan oleh pihak orang tuanya. Sementara Brielle tak pernah menyadari hal-hal ganjil antara saudara iparnya dan Devanya. Salah satu tujuan Devanya pun adalah permasalahan Sheena, meminta izin setidaknya hidup dalam keluarga Azaria. Darrel terlebih Gi tidak menyetujui hal tersebut, rasa khawatir bermain jauh lebih kuat.
Devanya berusaha menjelaskan bahkan meyakinkan,  agar mau mengizinkan Sheena mengenal opa dan omanya. Walau harus mentupi identitas Sheena untuk beberapa saat, hanya sekedar memperkenalkan gadis kecil merupakan cucu mereka. Sebelum meninggalkan rumah, Darrel berpesan terhadap Sheena tidak boleh berucap nama orang tuanya  sedikitpun.Jadi, selama tinggal dalam istana besar, Sheena hanya boleh menyebut kata bunda maupun ayah tetapi bukan nama orang tuanya.
“Sheena, akhirnya sampai juga” Devanya menggendong tubuh mungil Sheena memasuki istana besar seribu kali lipat lebih luas dari rumahnya.
“Paman, apa kita berada di surga sekarang?” mata Sheena tak berkedip menyaksikan pemandangan istana, sedangkan Devanya sendiri tertawa.
“Betul Sheena kalau kita lagi berada di surga” balasan Devanya. Menyuruh para pelayan menyiapkan kamar terbaik bagi keponakan kecilnya. Sheena berlari kecil segera menuju dapur membuka kulkas demi melihat aneka jenis makanan. Mengambil seluruh buah, ice cream, brownis, coklelat, dan masih banyak lagi. Wajah Sheena blepotan karena cokelat memenuhi dirinya.
“Paman, disini benar-benar surga” suara nyaring Sheena memenuhi ruangan.
“Memang surga tingkat tidak jelas Sheena” kalimat Devanya memeluk keponakan kecilnya. Membiarkan Sheena melakukan apapun sesuka hati, membuatnya mengenal istana yang pernah menjadi memori bagi bundanya sendiri. Semula istana tersebut tanpa suara, sunyi bahkan seakan angker, kini suara tawa seorang anak merubah semuanya.
“Suara siapa ribut-ribut seperti ini?” mendengar nada suara menakutkan dari Azaria, sedangkan seluruh pelayan terdiam seketika.
“Deva, kenapa baru pulang?” kembali nada suara mengerikan mulai terdengar.
“Paman, mungkin ini perbatasan neraka menuju surga” bisik Sheena bersembunyi di belakang Deva melihat sosok menakutkan Azaria.
“Kenapa bisa?” Tanya Devanya berbisik.
“Karena wajah opa tua disana seperti neraka” tawa Devanya meledak tanpa memperdulikan pertanyaan orang tuanya mendengar jawaban Sheena.
“Deva, apa dia anakmu?” Azaria menduga Deva menghamili seorang wanita…
“Betul, Sheena anakku” candaan Devanya membenarkan ucapan Azaria. Istana akan berakhir menjadi sebuah kegeraman. Devanya berusaha menjelaskan kalau ayah Sheena menitipkan selama beberapa waktu. Hanya bahan candaan jawaban Devanya sebelumnya…
“Kenapa harus kau yang menjadi pengasuh anak ini?” Azaria sekarang berubah total, semenjak Gi harus keluar dari rumah. Sheena terus saja bersembunyi belakang Devanya, rasa takut menghimpit dirinya. Mengintip-ngintip sesekali wajah pria paruh bayah depannya…
“Sheena, jangan takut” mengangkat tubuh mungil Sheena untuk mengenalkannya pada Azaria, walau melalui sebuah skenario.
“Neraka neraka neraka paman” teriak Sheena terus saja menutup wajahnya memakai tangan mungilnya dalam gendongan Devanya. Seluruh pelayanberusaha menahan tawa, bahkan beberapa dari mereka segera berjalan keluar hanya ingin melampiaskan tawa.
“Kau berkata neraka?” Azaria tersinggung mendengar ucapan tesebut.
“Setidaknya papi tersenyum sekali-sekali, lihat Sheena jadi ketakutan” sindir Devanya.
“Memang dia cucuku harus tersenyum?” rasa gerah Azaria, sedangkan istrinya masih berada di luar rumah.
“Opa, apakah dosamu banyak sekali sampai wajah dan suaramu seperti berasal dari neraka?” wajah Sheena masih tertutup, sesekali mengintip. Antara marah, kesal, juga gemmes melihat tingkah gadis kecil di depannya, itulah yang dirasakan Azaria. Seakan dia sesuatu yang membuat dia tak dapat meluapkan amarahnya. Selama berada dalam istana besar, Sheena menghabiskan waktu membaca, karakter kutu buku benar-benar mirip Gi. ibu Azaria sendiri tidak merasakan kesepian sedikitpun semenjak kedatangan Sheena.
Mereka tak pernah sadar, Sheena merupakan bagian terpenting dalam istana tersebut. Ibu azaria menyukai setiap tingkah Sheena, cara gadis kecil tersebut mengungkapkan segala sesuatu dari hatinya. “Ayah dan bundaku berasal dari surga, beda dengan opa berasal dari neraka” memasukkan ice cream ke dalam mulutnya. Wajahnya selalu saja blepotan…
“Kalau wajah oma gimana?”pancing ibu Azaria tak pernah marah melihat kelakuannya.
“Wajah oma pertengahan surga dan neraka, mau ke neraka juga salah trus ke neraka salah juga” jawaban Sheena memperhatikan wajah ibu Azaria. Devanya tertawa habis-habisan memenuhi seluruh ruang. Tidak pernah berpikir membayangkan Sheena berkelakuan polos. Seiring waktu berlalu, hati Azaria mulai luluh oleh perlakuan Sheena. Tidak menyadari jika gadis kecil depannya merupakan cucu kandungnya sendiri. Tawa Azaria mulai mengembang oleh karena kehadiran seorang gadis kecil di istananya.
BAGIAN 13…

GILIA…
Membiarkan Sheena menginjakkan kaki, tempat dimana seorang Gi hidup sejak lahir hingga dewasa. Suasana rumah berubah menjadi sunyi tanpa kehadiran Sheena, hanya terdengar suara gonggongan anjing kecilnya. “Kau pasti merindukan Sheena?” anjing kecil gadis kecilku diberikan oleh ayahnya sebagai kado ulang tahun paling spesial. Darrel sangat menyayangi Sheena, raut wajahnya terlihat kesepian tanpa kehangatan gadis kecilnya.
Devanya banyak bercerita kejadian-kejadian lucu saat Sheena berhadapan dengan opanya sendiri. Minimal, papi dapat memeluk cucunya sendiri, walau melalui skenario dari Devanya. Seperti biasa suami tercintaku terus saja menelpon gadis kecilnya walau memakai nama samaran. Darrel terlihat bersemangat jika tidak mendengar suara gadis kecilnya dalam satu hari.“Sheena, jangan habiskan semua cokelatnya,ngerti?” tengah malam menelpon putri kesayangannya.
“Ini jam tidur anakmum jangan mengganggu dia!” menegur Darrel.
“Memang kenapa? Seorang ayah harus mendengar suara gadis kecilnya walau Cuma sebentar” cetus Darrel segera mengambil membungkus diri dengan selimut tebal.
“Tidurlah, istriku sayang besok kau harus bangun pagi-pagi” memejamkan mata tanpa memperdulikan diriku disampingnya.
“Tunggu-tunggu,” beberapa menit memejamkan mata, tetapi mengagetkan diriku berteriak tiba-tiba. Kupikir dia sudah tertidur lelap, tetapi apa yang terjadi tangan Darrel segera menekan sebuah nomor pada telepon genggam miliknya.
“Sheena, jangan lupa bangun pagi-pagi buat doa yah!” suara seorang ayah bagi gadis kecilnya. Saya pikir ada sesuatu hal terjadi, ataukah dia bermimpi buruk…
“Sheena sudah tertidur,” tegurku terhadap Darrel.
“Saya masih mendengar suaranya,” balas Darrel.
“Paling sekarang dia mendengkur, terus membuat peta pada bantal-bantal sekitarnya melalui ilernya itu. Kemungkinan sekarang Sheena sudah membuat peta benua Eropa, Amerika, Asia, atau Afrika.” Bayangan gadis kecilku membuatku tertawa sendiri. Tinggal dalam sebuah istana besar, menganggap sebagai surga bagi pemikiran seorang anak kecil.
“Bunda, jangan memarahi ayah, ngerti!” Darrel memperdengarkan suara Sheena melalui speaker hand phone. Wajah Darrel tersenyum ria mendengar gadis kecilnya selalu menjadi pembela sejati luar dan dalam.
“Sheena, tidurlah sekarang sudah jam berapa!” perintahku melalui telepon celuler.
“Baik bunda, I love you, night” kalimat terakhir Sheena. Telepon genggam segera mati dalam sekejap. Ayah dan anak benar-benat bekerja sama walau di tempat terpisah saat ini.
“Gi, sejak kecil Sheena harus terlatih untuk mencari wajah Tuhan melalui doa pada pagi hari. Jadi, kesimpulannya sebagai ayah yang baik harus mengajar, mengingatkan dia biar cepat-cepat bangun di pagi hari untuk berdoa.” Memberikan kehangatan melalui pelukannya. Dia selalu berpikir tentang pembentukan gadis kecilnya mulai dari sejak dalam kandungan. Mengarahkan, melatih, membentuk dunia Sheena tanpa harus membuatnya berada dalam tekanan. Disaat tertentu bertindak disiplin lebih tepatnya keras hanya memegang rotan, gadis kecilnya menjadi takut.Tidak lama kemudian, kembali menjadi sahabat terbaik bagi Sheena.
Suatu hari kelak, papi pasti bangga mempunyai menantu seperti Darrel. Selalu terlihat bijak sebagai ayah untuk gadis  kecilnya, juga sebagai suami terbaik bagi hidupku. Dari segi materi suamiku hanya berada pada garis kelas ekonomi rendah, tetapi dia memiliki kuantitas nilai terbaik diantara semua pria. Sebagai ayah terbaik, melatih gadis kecilnya untuk belajar memberi sekalipun diri sendiri serba kekurangan.
“Tuhan, setidaknya sifat Sheena mengikut jejak ayahnya, amin” isi doaku setiap hari tanpa pernah bosan di hadapan Tuhan. Keluarga kecilku memiliki pondasi terkuat, walau tanpa materi berlimpah.
Pagi-pagi sekali, kami dikejutkan suara ketukan pintu yang terdengar  jelas. seseorang mengetuk pintu rumah, namun entahlah siapa yang ada di depan sekarang? Segera berjalan menuju suara pintu tersebut, mataku terkejut melihat siapa yang sedang mengetuk…
“Selamat pagi Gi,” sang ceo glass corporation menyapaku pagi-pagi buta setelah bertahun-tahun saya tidak pernah melihat wajahnya. Pak Morisberkunjung ke rumah pagi-pagi sekali, entah bagaimana ia bisa mengetahui alamat kami. Glass corporation hanya kenangan semata…
Pak Moris menjelaskan maksud kedatangannya sehingga berjuang mencari alamat rumahku. Menginginkan saya kembali bekerja sebagai manager glass corporation, demi memperbaiki perusahaannya di unjung kebangkrutan. Awalnya saya berusaha keras untuk menolak, tetapi beliau berlutut di hadapanku agar mau kembali berperan sebagai manager perusahaan. Membayangkan kami hidup dalam pergumulan uang, juga permasalahan biaya kuliah kedua adik iparku sekarang. Darrel tak pernah menyangka hal seperti ini akan terjadi…
“Bagaimana dengan ancaman papi saya beberapa tahun lalu?” tanyaku.
“Saya tidak perduli lagi permasalahan kemarin, intinya saya tidak ingin mengulang kesalahan terbesar kemarin dengan cara mengikuti segala keinginan  orang tua anda. Perusahaan saya membutuhkan skil seperti anda” perkataan pak Moris.
“Lantas bagaimana dengan suami saya?”
“Gi” Darrel  memberi isyarat.
“Jauh lebih baik jika kalian berdua kembali berperan aktif dalam mengembangkan glass corporation” jawaban pak Moris.
“Saya tidak ingin kembali,” kalimat Darrel. Bertahun-tahun berprofesi sebagai penjual ikan keliling, ada kemungkinan tidak ingin melepas usaha yang telah dirintisnya.Darrel tetap membebaskan saya  menjalani karir, baginya semua kembali pada pribadi masing-masing. Sheena pun sekarang berusia 3 tahun, berarti lepas ASI sejak 2 tahun lalu. Andai kata gadis kecilnya masih memerlukan ASI ekslusif tentu Darrel akan menolak mentah-mentah.
Bermohon setidaknya Darrel mau kembali merupakan sesuatu hal paling tersulit, tetapi akhir cerita berhasil. Kami kembali bekerja pada glass corporation demi mengembalikan kejayaan perusahaan tersebut. Sesuai skenario antara saya dan Devanya, akhir cerita Brielle menjadi bagian terpenting dari perusahaan besar. Tidak lain merupakan perusahaan yang dikelola oleh Devanya sendiri, otak Brielle jauh lebih cerdas dari adikku.Setidaknya  pendekatan adikku berhasil untuk mengejar Brielle sebagai pasangan. Di lain hal, membayar beberapa orang untuk melanjutkan usaha jualan ikan sekitar pasar dan keliling.
Ketika berada di kantor kedudukan dan pendapatanku pada dasarnya lebih tinggi dibandingkan suamiku sendiri. Saya berperan sebagai manager , sedangkan Darrel masih tetap berada di bawahku. Dia biasa saja mendengar bagaimana semua orang bercerita tentang perbedaan pendapatan kami berdua. Satu hal, saya tetap menghormati dia seutuhnya sebagai kepala keluarga dan merupakan ayah dari gadis kecilku. Tidak berarti sebagai istri dengan kedudukan lebih tinggi dibanding suami, saya menginjak-injak  harga dirinya
“Saat berada di kantor, Darrel hanya anak  buahku semata, tetapi ketika saya kembali ke rumah…” pernyataanku terhenti. Tanganku tetap berusaha memasak dan mempersiapkan makanan kesukaannya, membuatkan kopi panas, mencuci dan menyetrika pakaiannya, bahkan tetap melayani Darrel tanpa menganggap kedudukanku jauh lebih tinggi.
“Kembali ke rumah terus…” ungkap Darrel.
“Darrel merupakan kepala keluarga terbaik, setinggi-tingginya kedudukan seorang wanita tetapi ketika dia kembali ke rumah posisinya dituntut untuk menghormati sang suami. Ngerti?” ucapku.
“Kirain mau seperti sinetron suami dibawah ketek istri” sindir Darrel.
“Saya juga maunya seperti itu, berhubung suamiku dewasanya minta ampun mana mungkin memperlakukan keanehan seperti itu. Setinggi apapun jenjang karir seorang istri dibanding suami, tetapi kodrat tidak bisa dilawan ketika memasuki rumah.” Penjelasanku.
“Istri terbaik, memang” godaan Darrel. Inilah kehidupan rumah tangga kami, bagaimana menyingkapi sesuatu di depan mata. Oleh karena beberapa kesibukan untuk beberapa saat, hingga Sheena harus tetap bertahan dalam sebuah istana besar. Devanya banyak bercerita, papi mulai mengalami perubahan setahap demi setahap. Sampai detik sekarang, papi dan mami tak pernah menyadari Sheena merupakan cucu kandungnya sendiri.
Tanpa sepengetahuanku, ternyata Darrel menyertakan diri pada salah satu perlombaan desain kota yang terselenggara oleh sebuah organisasi internasional. Gabungan seluruh Negara mengikut sertakan hasil karyanya  dalam bentuk desain kota. Tanpa sengaja maataku beralih pada robekan kertas begitu banyak setiap malamnya. Darrel terus bergelut mencari sebuah karya demi memenangkan perlombaan tersebut. Glass corporation banyak mengalami perubahan disaat seorang Darrel berkata-kata tentang sebuah skil.
“Apa ini?” pertanyaanku terhadap Darrel mengamat-amati depan mataku.
“Bukan apa-apa, tidurlah!” perintahnya.

“Jujur padaku, apa yang kau sembunyikan” nada ucapanku mencurigai sesuatu.
“Setiap malam robekan kertas dimana-mana, ada sesuatu yang kau sembunyikan” pancingku kembali.
“Bukan apa-apa” balas Darrel.
“Selama menikah seorang Darrel selalu berkata jujur dan apa adanya, kejujuran merupakan pondasi rumah tangga, jadi kau mengerti maksudku?”
“Gi, bukan apa-apa” kembali Darrel berkata-kata.
“Kau selalu mengajarkan Sheena tentang banyak hal, bagaimana andai kata ayah terbaik gadis kecilku menjadi sandungan terbesar?” ungkapku.
“Baik, saya akan jujur Gi” ucapnya.
“Silahkan berbicara sekarang bos!” peintahku.
“Saya mengikuti perlombaan desain kota di luar negeri, jadi setiap malam tanganku terus mencari sebuah karya terbaik demi memenangkan perlombaan tersebut” jawaban Darrel tak bisa mengelak.
“Oh begitu, coba beritahukan padaku konsep yang akan kau terapkan?” ucapku.
“Sesuatu yang berbeda dan bukan pasaranlah sama seperti ucapanmu beberapa tahun lalu,” suara Darrel  menjelaskan.
“Maksudmu?” tanyaku.
“Sampai sekarang saya masih ingat ucapanmu, cara mempertahankan, membuat terobosan, dan karya terbaru tetapi tidak bersifat pasaran” penjelasan Darrel kembali.
“Berarti penuh makna mendalam” pancingku mencoba menjadi istri terbaik membantunya mengejar mimpinya selama ini. Beberapa tahun hanya berperan sebagai penjual ikan keliling, dan jalan ceritanya berbicara tentang hal lain. Ayah Sheena mempunyai alur cerita lain dari siapapun…
“Seperti itulah” ucapnya.
“Bagaimana jika konsep yang ikut sertakan dimana desain kotamu membentuk tanaman padi.” Ucapku mencoba membantunya.
“Maksudmu?”
“Sebuah kota membentuk tanaman padi dan sudah berbuah.” Ucapku.
“Maknanya?” kalimatnya.
“Tanaman padi semakin berisi semakin merunduk. Berarti kehidupan seseorang semakin ditinggikan oleh Tuhan, tetapi semakin merendahkan hati tanpa pernah membusungkan dadanya ke depan untuk berucap kata AKU disetiap aspek langkah hidup.” Ucapku.
“Kau betul juga” Darrel berteriak kegirangan mencium pipiku berulang kali.
“Wow,” memegang wajahku seakan kami seperti pengantin baru.
“Gi, berarti saya hanya perlu memikirkan beberapa tempat sebagai objek tertentu dari desain kota hasil karya kita bersama” kata-kata Darrel kembali memegang mouse computer guna mempelajari beberapa tempat.
“Objek tertentu?” memberikan segelas teh panas buatnya.
“Kenapa memberikanku segelas teh bukan kopi?” menggerutu atas tindakanku.
“Kau sekarang lagi begadang, permasalahannya setiap hari mengonsumsi kopi tanpa tidur bisa-bisa berabe buat kesehatanmu bos” jawabanku menepuk pundaknya.
“Hubungannya dimana?” Darrel kebingungan.
“Begadang terus menerus berteman kopi berakibat permasalahan jantung, saya belum kehilangan ayah terbaik dari gadis kecilku Sheena” duduk di hadapan Darrel menjelaskan.
“Istri perhatian, btw, kembali pada permasalahan semula” Darrel menatapku.
“Okey, permasalahan objek tertentu?” gumamku seperti sedang berpikir.
“Gi, desain kota tidak akan menarik jika tidak memiliki beberapa objek, ngerti?”
“Darrel, coba sebutkan objek tertentu itu seperti apa?”
“Objek tertentu itu dapat berupa alat terbaru pada sekitar jalanan mungkin, menara, taman, bandara, pelabuhan, jenis pasar, perpustakaan, museum, atau apalah yang dapat menjadi pusat perhatian sebuah kota.”  Memutar balik kursinya ke kiri dan kanan.
Tanganku segera mengambil selembar kertas, “Berarti, desain ini harus memainkan secara keseluruhan atau beberapa objek yang kau katakana tadi” kalimatku.
“Saya juga tahu, permasalahannya jenis desainnya seperti apa, istriku tersayang?”
“Berarti kau harus membuat konsep yang mana saling berkaitan antara tumbuhan padi dan objek lainnya” ucapku.
“Itulah masalahnya, sedangkan hasil karyaku harus secepatnya terkirim dalam 2 minggu terakhir ini keluar” tangan Darrel memainkan pulpen didepannya.
“Sesuai konsep tumbuhan padi, berarti kau harus lebih berpusat pada tempat-tempat umum seperti bandara, perpustakan, museum, jalanan, dan pasar tradisional”
“Saya punya ide, khusus konsep jalanan terdapat tangga lift khusus pengguna kendaraan demi menghindari macet, sedangkan konsep desain jalanan dibuat unik seakan membentuk sawah bersusun 7 tingkat. Jadi, jalan raya  ketika dilewati tetap sama lurus, hanya saja system desain pada bagi luar atau samping kiri kanan 7 tingkat jalan raya tersebut akan membentuk susunan sawah seperti di sebuah pedesaan.” Penjelasan Darrel mulai bersemangat. Ternyata otak jenius Darrel masih terlihat, pada hal jauh berbeda saat kami masih remaja kemarin.
“Terus kenapa kau memakai konsep seperti ini?” ucapku.
“Saling berkaitan, jalanan membentuk persawahan sama seperti pedesaan berarti untuk menjadi seperti padi semakin berisi semakin menunduk membutuhkan proses pertumbuhan terlebih dahulu. Dalam kehidupan seseorang keangkuhan hidup dapat hancur dan mengerti kerendahan hati ketika Tuhan membuatnya semakin tinggi kelak, pasti melalui proses jalanan panjang. Pertumbuhan dimulai dari hal-hal terkecil kemudian terbentuk menjadi seperti tumbuhan padi dan berakhir dengan sebuah istilah semakin berisi, maka semakin merunduk.” Kata-kata Darrel mengajarkan hidupku tentang sebuah kehidupan.
Membayangkan presentase Darrel pertama kali demi mempertahankan karyawan glass corporation beberapa tahun lalu, maknanya selalu sama dan tidak jauh beda.Dia mempunyai imajinasi tinggi untuk tiap hal tak terduga. Meyakini suatu hari kelak imajinasinya dapat terwujud melalui cara Tuhan yang ajaib dan nyata dalam langkah hidupnya.Darrel menambahkan beberapa konsep pada beberapa objek dari desainnya untuk diperlombakan. Perpustakaan merupakan salah satu objek terpenting bagi desain kotanya. Dengan kata lain terdapat sebuah perpustakaan unik di dalamnya.
Konsep desain perpustakaan bercerita tentang bendungan sebagai aliran air menuju sawah demi pertumbuhan padi-padi sebagai cadangan, sehingga tetap menghasilkan sekalipun bercerita tentang musim kemarau tiba. Suatu perpustakaan membentuk sebuah bendungan, dengan bahan terbuat dari kulit-kulit padi pada bagian luar dan dalam sebagai objek ketika semua mata memandang.Tetap memakai bahan sama seperti bangunan lain, hanya saja sebagai bagian luar menggunakan kulit bulir padi sesuai konsep. Perpustakaan merupakan wadah untuk memahami makna kehidupan. Melalui membaca seseorang diajar untuk mengerti tentang alur perjalanan dalam sebuah proses demi menjadi sama seperti tumbuhan padi. Semakin berisi maka semakin merunduk, melalui salah proses yang dikatakan membaca banyak kesaksian hidup banyak orang dan lain sebagainya.
Darrel mengambil konsep bendungan dalam desain gedung perpustakaan, juga berkaitan akan proses perjalanan tumbuh kembang padi. Sebagai penyimpanan aliran air pada musim kemarau. Ketika seseorang berhadapan dengan sebuah permasalahan tertentu, dia mempunyai cadangan untuk menghadapi setiap jalan keluar menuju perkembangan di depan matanya. Tidak pernah sekalipun terlihat lesuh atau lemah, oleh karena cadangan penyimpanan berlimpah dalam kehidupan orang tersebut.
“Darrel, selain perpustakaan desainmu membentuk bendunngan, setiap jalan atau taman dari kota memerlukan sesuatu demi mempermudah banyak orang untuk membaca.” Ucapku.
“Berarti, saya perlu menambahkan sebuah objek lain lagi?” pertanyaan Darrel.
“Tepat katamu bos, sebuah penemuan tertentu” jawabku.
“Tapi alat seperti apa?” Tanya Darrel.
“Sebuah alat yang dipasang pada setiap taman bermain, taman bacaan, sudut jalan, pelabuhan, perpustakaan, dan lain sebagainya dimana menyambungkan langsung dengan beberapa toko-toko buku. Jadi setiap orang tak perlu lagi membeli buku di tempat tertentu dapat langsung berbelanja…” ucapku.
‘Coba jelaskan lebih detail!” kalimat Darrel.
“Sama seperti ATM, hanya saja alat ini bekerja sama dengan beberapa toko buku yang menyetujui. Jadi seperti ini,  terdapat sebuah layar pada kotak tersebut, kemudian dibuatkan program jual beli. Jika seseorang ingin membeli sebuah buku, hanya dengan mengetik judul buku dan nama toko sesuai petunjuk program pada layar kemudian enter. Setelah itu, terdapat saluran bawah tanah saling berhubungan antara satu dengan lainnya yang akan menarik buku tersebut menuju tempat sesuai petunjuk layar.” Penjelasanku.
“Berarti, kotak tersebut dibuatkan saluran terowongan untuk menghubungkan antara pos-pos objek tersebut dan toko-toko buku yang ingin bekerja sama. System pembayaran dalam bentuk kartu atau tunai melalui system yang telah diprogramkan mengikuti petunjuk layar computer.” Ucapan Darrel mulai memahami ucapanku.
“Objek paling berperan dari desain kota adalah sebuah menara, museum, dan sebuah pasar” kembali kalimatku memulai.
“Berarti saya membuat sesuatu yang baru lagi tetapi saling berkaitan antara konsep desain kota dan objek tersebut, Gi”
“Tepat katamu bos” ucapku.
“Berarti menara tengah kota membentuk susunan ikatan gabah berwarna kuning. Pada puncak kepala menara didesain lebih unik dengan mengutamakan bulir-bulir bundaran gabah sekitarnya.” Tangan Darrel terus memainkan pensil pada selembar kertas.
“Ketika gabah tersebut bertumpuk menjadi satu terlihat penyatuan dari segala hasil hingga menjadi sebuah sinar dan inspirasi bagi banyak orang. Warna kuning dari gabah bercerita tentang kemurnian hati seseorang setelah melewati proses perjalanan panjang untuk menjadi sama seperti padi.” Tambahan pernyataan Darrel kembali.
“Sepertinya untuk konsep desain museum membentuk butiran rakasasa dari biji berasa padi masih terbungkus kulitnya. Kenapa memakai bentuk seperti ini? Karena selain unik, juga bercerita tentang tempat penyimpanan memori dari segala sesuatu yang pernah dialami. Museum merupakan tempat penyimpanan barang-barang bersejarah bagi sebuah Negara. Seseorang memiliki banyak memori masa lalu untuk menjadi  sama seperti padi, semakin berisi semakin menunduk dan tidak bercerita kesombongan dalam perjalanan hidupnya.” Ucapku membantu Darrel penyelesaian sebuah konsep desain kembali.
“Tepat sekali, museum membentuk sebii beras raksasa masih terbungkus kulit berwarna kuning keemasan. Warna kuning bercerita tentang kemurnian. Hanya tinggal konsep desain untuk pasar dari desain kota tersebut.” Darrel terus saja memainkan keyboard komputernya.
“Darrel, bagaimana kalau bentuk desain pasar menyerupai cangkul.” Ucapku.
“Hubungannya kemana dan larinya kemana?” mimic wajah Darrel terlihat aneh.
“Kau tahu  fungsi sebuah cangkul untuk apa? Sebagai alat penggarap demi menggeburkan tanah bagi proses penanaman bibit tumbuhan padi. Petani memakai sebuah cangkul demi melakukan sebuah penggarapan. Dengan kata lain, desain ini mempunyai makna pula, yaitu seseorang diajar untuk menjadi bagian dari sebuah cangkul demi mengerti proses tahapan transaksi antara kemenangan dan kekalahan.” Ucapanku kembali.
Pasar merupakan tempat transaksi jual beli masyarakat dan pedagang dengan kata lain adanya transaksi pertukaran untuk memilih antara kemenangan dan kekalahan. Demi mendapat hasil terbaik sebuah cangkul bermanfaat pada pengolahan sawah. Berarti tanah biasa tetapi terjadi transaksi penyuburan menjadi subur dan baik bagi penanaman bibit tanaman padi. Segala sesuatu dari hidup tidak dikatakan secara langsung, tetapi terkadang melalui sebuah alat tertentu demi mendapat hasil terbaik. Sama seperti tanaman padi semakin berisi semakin menunduk, tumbuh berkembang melalui sebuah alat dalam menggemburkan persawahan. Pengolahan dan proses luar biasa terus bermain demi memahami arti kerendahan hati disaat Tuhan makin membuatnya menapaki puncak demi puncak.
Berarti  sebuah kota membentuk tumbuhan padi, terdapat beberapa objek penting sebagai perhatian mata semua orang. menara membentuk tumpukan ikatan gabah, perpustakaan dalam bentuk bendungan, jalan raya terlihat seperti susunan sawah bertingkat. Tidak lupa pasar tradisiional menyerupai sebuah cangkul, serta museum membentuk sebuah butir beras raksasa masih terbungkus kulit. Bahan luar dari konsep tersebut sebagian besar memakai kulit gabah sebagai pola hias demi keunikan hingga terlihat berbeda dari semua tempat. Mempunyai makna mendalam dari konsep desain kota tersebut, hingga dapat menambah cita rasa bagi para wisatawan asing dari local maupun manca Negara.
“Wow, bunda Sheena memang jenius” pujian Darrel.
“Biasa saja, semua ini kau yang mengajarkan  dunia seorang Gillia sejak remaja hingga detik sekarang” memeluk pasangan hidup terbaik yang Tuhan kirim buatku.
“Terimah kasih, karena mau menerima hidupku sebagai suami terbaik” suara lembut Darrel berbisik sekitar gendang pendengaranku. Inilah kehidupan keluarga kecilku mempunyai alur hidup tersendiri dari Tuhan. Akhirnya, Darrel mengikut sertakan desain kota  sesuai kesepakatan bersama dalam perlombaan. Di lain hal, kami berusaha berjuang mengeluarkan glass corporation dari keterpurukan.Meneliti beberapa berkas-berkas kerja sama, keluar masuknya laporan, dan banyak lagi. Merubah strategi akibat persaingan ketat antara sesama perusahaan demi memenangkan sebuah proyek.
Papi benar-benar terkejut melihat perkembangan glass corporation. Ada hal lebih mengerikan, jika beliau belum menyadari sama sekali gadis kecil yang selama ini tinggal bersama dengannya. Devanya terus menahan Sheena untuk hidup bersama papi dan mami. Bahkan terpaksa Sheena harus pindah sekolah agar menghindari beberapa kecurigaan dari papi dan mami. Setiap kali kami merindukan Sheena, maka kami harus membuat skenario lebih halus lagi.
“Bunda,” teriak Sheena tiba-tiba berada di kantor glass corporation.
“Sheena, kenapa bisa berada disini?” tanyaku terkejut.
“Paman membawaku kemari,” jawaban Sheena masih memakai seragam sekolahnya.
“Bunda, apa tidak sayang lagi ma Sheena?” gadis kecilku menunduk.
“Memang kenapa sayang?” tanyaku.
“Kenapa Sheena harus terus tinggal di surga?” pandangan mata Sheena melihat rumah papi sebagai surga. Suara tawa Darrel terdengar jelas di telinga kami mendengar kalimat Sheena. Segera ayahnya menggendong tubuh mungil gadis kecilnya demi melepas rindu.
“Gadis kecil ayah, rajin berdoa tidak di surga?” candaan Darrel terus memberi ciuman pada putri semata wayang kami.
“Opa berwajah neraka juga biasa Sheena ajak berdoa. Di surga ada juga jalan perbatasan neraka dan surga, ayah” curahan kepolosan Sheena membuat  ayahnya terus saja tertawa mendengar setiap ceritanya. Dimata Sheena perbatasan antara surga dan neraka adalah wajah papi terlihat seram tak pernah senyum. Setiap senyum tersebut menghilang, ketika putri kesayangannya lebih memilih pilihan hidup sendiri dibanding pilihannya kekecewaan terus membungkus hidupnya sampai kapanpun juga.
BAGIAN 14…

DARREL…
Saya dan Gi kembali mengabdikan diri pada glass corporation, oleh karena pak Moris terus saja memohon hingga berlutut di hadapan kami. Tanpa memperdulikan ancaman beberapa tahun lalu dari bapak mertua saya sekarang, pak Moris terus memohon agar kami kembali. Setelah sebulan bekerja kembali, tiba-tiba saja Brielle datang menyodorkan sebuah informasi perlombaan desain kota. Akhirnya adikku menyadari seperti apa mimpiku sebenarnya. Dia saja tak pernah menyadari akan jurusan yang telah kupilih sewaktu kuliah kemarin. Manusia paling cuek sedunia, masing-masing berpikir pada mimpi masing-masing.
Dengan tekad bulat mendaftarkan diri sebagai peserta dalam perlombaan desain kota yang terselanggara atas kerja sama organisasi internasional luar negeri. Mencoba menciptakan sebuah karya unik tetapi mempunyai makna tersendiri. Untuk beberapa saat, saya menutupi semuanya dari Gi, namun pada akhirnya dia menyadari semua itu. Gi banyak membantuku dalam proses menemukan sebuah karya unik demi mencapai mimpi dalam langkahku sekarang. Beruntung Sheena masih tinggal bersama opanya, walau harus memakai skenario. Deva terus saja menahan Sheena untuk tinggal di istana tersebut, bahkan saya tidak dapat berbuat apa-apa.
“Setidaknya sampai hasil karya selesai, setelah itu bagaimanapun caranya Sheena harus kembali kemari” kata-kata merindukan gadis mungilku.Tidak pernah lupa menelpon hanya demi menanyakan kabar darinya, sesibuk apapun kegiatanku selama ini. Gadis mungil menganggap jika tempat tinggalnya sekarang adalah surga.
Satu dari kepribadian istriku, walau status dia di kantor lebih tinggi tetapi rasa hormat dan menghargai tetap bermain dalam dirinya untukku. Tidak pernah sekalipun seorang Gi merendahkan suaminya hanya karena status pendidikan atau pendapatan lebih tinggi ketimbang sang suami. Saya tetap berusaha menjadi suami dan ayah terbaik bagi keluarga keciilku. Untuk itulah mengapa saya berjuang untuk memenangkan perlombaan desain kota tersebut.
“Seperti  suara  gadis mungilku?” siang hari berjalan bolak-balik menyelesaikan program-program data glass corporation. Ternyata dugaanku betul, Sheena benar-benar ada dalam gedung ini. Devanya menyadari jika kami sangat menrindukan Sheena, hingga ia akhirnya membawanya langsung ke kantor setelah pulang sekolah. Tertawa keras mendengar curhatan Sheena di hadapan bundanya dengan kepala menunnduk.
“Gadis kecil ayah ada disini,” segera memeluk Sheena. Bercerita banyak tentang surge tempat dia tinggal sekarang. Sampai detik sekarang gadis mungilku sama sekali tidak menyadari opa kandung yang dia sebut sebagai perbatasan neraka dan surga. Skenario masih tetap dijalankan oleh Devanya, sampai mertuaku benar-benar menyaangi cucu kandungnya sendiri.
Hal lebih mengejutkan adalah Gi semakin membuatku dalam masalah besar. Bagaimana tidak, Gi sedang menjalankan sebuah misi demi menjodohkan antara adik kandung dan iparnya sendiri. Devanya setuju  saja atas permintaan tersebut, tetapi permasalahan ada pada Brielle sebagai adikku juga mertuaku yang sedang menjodohkan Deva dengan wanita lain.
“Gi, jangan mengada-ngada dan membuat masalah” ungkapku sedikit kesal.
“Deva pasti  bisa menaklukkan hati Bril,” semangat Gi menggebu-gebu. Kepalaku sakit dibuatnya, sampai detik sekarang saja saya tidak pernah diterima sebagai menantu, bagaimana pula dengan Bril adik kandungku sendiri. Hati Brielle juga sulit hanya untuk ditaklukkan dalam sekejap mata, namun entahlah…
“Sadar tidak, permasalahan nanti seperti apa?” rasa kesalku makin menjadi-jadi.
“Paling papi mengamuk dan mengusir Deva” jawaban Gi seakan hal seperti itu biasa.
“Kau keterlaluan” makin geram.
“Keterlaluan dari hongkong,” ledek Gi.
“Memangnya Deva menyukai Bril, dan sebaliknya juga…?”
“Cinta bisa tumbuh seiring waktu berjalan, intinya Deva berjuang dulu merebut hati adikmu itu” senyuman Gi mengambang seakan merencanakan sesuatu. Pantas saja, Gi terus mendorong Brielle agar bekerja sebagai bawahan pada perusahaan papi tempat Deva memimpin. Gi tidak mau pusing apapun penjelasanku, yang dia tahu bagaimana menjodohkan antara Brielle dan Devanya. Beberapa waktu berjalan, seperti memperlihatkan hasil dimana Brielle mulai memberi kode paling aneh terhadap Deva…
Permasalahanku sekarang adalah orang tua Gi tidak akan pernah mau menerima kami sebagai anggota keluarganya. Gi hanya berpikir sesaat, tetapi tak pernah menyadari sebab akibat ulahnya tersebut. “Ayah, jemput gadis mungilmu sekarang di sekolah!” suara Sheena tiba-tiba melalui telepon celuler.
“Sheena, memangnya paman Deva tidak menjemput?” tanganku masih sibuk mempelajari beberapa berkas.
“Ayahku sayang, paman lagi jalan bersama tante Bril” jawabannya.
“Apa…” suaraku lantang mengagetkan semua karyawan glass corporation.
“Ayah kecilkan volume suaranya. Bunda pesan kalau paman dan tante tidak boleh diganggu” kalimat Sheena kembali segera menutup telponnya.
“Keterlaluan amat bundamu,” mengambil sebuah kunci untuk menuju sekolah. Beruntung Gi tidak sedang berada di kantor, andai kata berada depanku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Segera menjemput Sheena dari sekolahnya, membawanya ke  sebuah pusat perbelanjaan. Dia terus saja mendesak ingin bermain dan menghabiskan waktu bersama ayah tercintanya.
“Ayah jangan-jangan menuju neraka” suara Sheena terus saja memegang tanganku berjalan mengelilingi arena permainan pada sebuah mall.
“Kenapa Sheena berkata seperti itu?”
“Wajah ayah seperti opa yang tinggal di surga” rasa ingin mengamuk tetapi tak bisa…
“Sheena dengar, wajah ayah mirip Song jongki bukan opa” ucapku membayangkan artis drama korea.
“Dia itu siapa ayah?” Tanya Sheena.
“Masa tidak kenal?” kalimatku.
“Kata bunda, Sheena tidak boleh nonton aneh-aneh dulu. Maneketehe…” cetus Sheena membuang muka.
“Artis kerenlah, terus kalau ayah senyum pasti mirip benner” tersenyum menggoda Sheena.
“Yang benner ayah?”
“Pastilah, ini dia fotonya” membuka dompet, berusaha memperlihatkan wajah seorang artis terkenal. Melihat tingkah Sheena seakan ingin tertawa, cemberut, dan banyak lagi tanda Tanya…
“Sheena” seorang wanita paruh bayah memanggil nama gadis kecilku. Sheena tetap dalam rangkulanku, tiba-tiba muncul suami dari ibu tersebut.
“Opa perbatasan antara neraka dan surga depan kita” mimic wajah Sheena langsung berubah dan terus saja memelukku. Gadis kecilku tidak pernah menyadari jika tuan Azaria merupakan bagian terpenting dari kehidupannya. Tuan Azaria dan istrinya alias mertuaku sendiri terkejut melihat kedekatan antara kami. Mereka tersadar tentang sesuatu hal akan identitas Sheena yang sebenarnya.
“Jangan katakana Sheena adalah anakmu?” ucapan ibu Azaria. Mengangguk untuk membenarkan pertanyaannya, dengan kata lain Sheena merupakan cucu kandung mereka sendiri.
“Kau sengaja merencanakan skenario?” pak Azaria terlihat geram. Bertahun-tahun mereka mengusir anak kandung sendiri atas pilihan terbesar karena telah menyimpang dari kehendak. Hal lebih tak terduga adalah Gi, Devanya, dan Brielle sedang berada di pusat perbelanjaan sekarang. Mata tuan Azaria semakin geram melihat Devanya menggandeng wanita lain. Pertemuan tak sengaja antara kami semuan terjadi begitu saja saat ini…
Tuan Azaria berjalan ke hadapan mereka demi meminta penjelasan atas segala skenario anak kandungnya sendiri. Sementara Devanya, Gi, juga Brielle baru menyadari bagaimana kegeraman dari tuan Azaria. “Deva, jelaskan semua kejadian ini!” amarah mertuaku meledak hingga menjadi pusat perhatian semua orang. Diantara kami tak satupun dapat berkata-kata untuk beberapa saat hanya terdiam dan terdiam.
“Bagaimana kabar papi?” ucapan pertama dari Gi setelah kami semua terdiam.
“Gi, apakah Sheena anakmu?” kembali ibu Azaria mempertanyakan sesuatu hal.
“Ya, Sheena cucu mami” Gi segera membenarkan.
“Ini semua perencanaan Deva, jangan menyalahkan mereka pi!” segera Deva berjalan ke hadapan tuan Azaria alias mertuaku sendiri.
“Tuan Azaria, setidaknya dapat mengenal Sheena lebih dekat dan mau menerima dia sebagai cucu anda” kata-kataku terus menggendong Sheena, sedangkan Gi memegang kuat pergelangan tanganku yang lain.
“Saya tahu maksud dan tujuanmu, biar anakmu itu masuk dalam daftar warisan kekayaan Azaria bukan?” tuan Azariah terus saja berprasangka buruk terhadap kami.
“Sejak dulu papi tidak pernah berubah, hanya berprasangka buruk” nada penekanan tinggi dari Devanya.
“Kami hanya ingin mempertemukan Sheena dengan papi mami bukan karena permasalahan harta.” Ucapan Gi kembali mencoba menjelaskan…
“Deva, apakah kau ingin menikah wanita kelas rendah?” perhatian tuan Azaria beralih pada Brielle adikku. Tuan Azaria telah menjodohkan Devanya dengan anak rekan kerjanya bahkan kehidupannya jauh dari kata kelas rendah. Seperti itulah dunia mertuaku, hanya menilai dari segi status social semata. Devanya tidak ingin mengikut segala kemauan orang tuanya, hingga akhir cerita sengaja membuat ulah. Anak dari sahabat tuan Azaria menjadi tidak betah bahkan menolak perjodohan tersebut,akibat ulah Devanya.
Sepertinya hati Devanya mulai terpikat pada Brielle secara total. Dapat kukatakan Gi berhasil menyatukan antara adik kandungnya sendiri dan iparnya. Tak pernah kuduga sebelumnya, Brielle akan menjalin hubungan dengan adik iparku sendiri. Permasalahan kami menjadi makin runyam terlebih hubungan yang terjalin antara Deva dan Brielle.
“Kita tak akan pernah tahu tentang garis tangan seseorang. Kemarin papi menolak Darrel hanya karena permasalahan status social, seperti yang sekarang papi lihat sedikitpun saya dan Sheena tak pernah mengemis tentang permasalahan makanan sekalipun.” Pernyataan Gi menatap tuan Azaria.
“Gi,” saya hanya tidak ingin Gi berbicara terlalu banyak, hingga semakin menimbulkan masalah lebih fatal. Tetapi sepertinya mulut gi tidak berhenti berkata-kata…
“Gi, berhentilah berbicara nak” suara ibu Azaria memeluk Gi setelah bertahun-tahun menolak kehadiran anak kandungnya oleh karena sebuah pilihan hidup.
“Biarkan Gi berkata-kata sekarang mi,” tutur Gi kembali.
“Darrel mengajariku tentang sebuah kehidupan. Seberapa beratpun tantangan kehidupan bahkan pergumulan keuangan, setahuku dia selalu berjuang. Kemarin namanya terdengar biasa bahkan tak pernah dikenal oleh semua orang. Tetapi sekarang, suamiku berhasil menjadi salah seorang pendesain arsitek  terkenal dan diakui oleh internasional.” Kata-kata Gi membuat tak menyadari akan sesuatu hal yang sedang terjadi…
“Ka’Darrel berhasil memenangkan perlombaan desain kota,” kalimat Brielle menjelaskan kemenanganku. Ternyata pemberitahuan pemenang terkirim melalui email Gi, sedangkan saya sendiri tak menyadari semua itu.
“Seseorang yang papi rendahkan selama ini, tak pernah disangka mempunyai kemampuan luar biasa. Terkadang seseorang depan mata terlihat memiliki segalanya, namun siapa menduga tentang dunianya kelak menjadi seperti apa? Tetapi justru sebaliknya dia yang tak pernah dilihat bahkan sedikitpun namanya sama sekali tidak terpampang pada sebuah titik kecil, memperlihatkan dan mengejutkan semua orang  secara tak terduga.” Kata-kata Gi memandang tuan Azaria.
“Ayah, kenapa bunda terus memarahi opa?” Sheena segera turun dari pelukanku menuju tuan Azaria. Memegang lembut tangan tuan Azaria…
“Sheena, kemarilah!” perintah Brielle takut terjadi sesuatu terhadap Sheena.
“Sheena mau kembali ke surga dulu, ayah” istana tuan Azariah dianggap sebagai surga bagi gadis kecilku. Tatapan mata tuan Azariah tak memperlihatkan kebencian sedikitpun terhadap Sheena, sekalipun dirinya berusaha menyembunyikan semua itu. Gadis kecilku terlalu polos untuk mengerti akan permasalahan dan pola pikir berbeda dari kehidupan orang tua pada umumnya. Ibu mertuaku sendiri mulai menerima kehadiranku sebagai bagian dari keluarga Azariah. Meminta waktu bagi tuan Azariah  berpikir tentang perbedaan pendapat diantara kami dan beliau.
Ibu Azariah memohon agar Sheena tetap tinggal bersama mereka. Walau mulut tuan Azariah bermakna penolakan, namun mata dan hatinya selalu ada untuk Sheena. Dengan terpaksa mengikuti kemauan ibu mertuaku tersebut, sekalipun ada sedikit rasa takut jika tuan Azariah memperlakukan Sheena secara kasar sebagai bentuk balas dendam. Membutuhkan waktu panjang untuk merenung tentang sebuah objek, realita kehidupan, titik balik perjalanan dari dunia seseorang bagi pola pikir tuan Azariah.
GILLIA…
Tak pernah menyangka pertemuan antara papi, mami, dan kami berada pada pusat perbelanjaan. Setelah mendapat sebuah pesan melalui email yang menyatakan kemenangan Darrel atas desain kota membuatku ingin merahasiakan semua itu darinya. “Darrel berhasil memenangkan perlombaan desain kota dari organisasi internasional paling bergengsi” kata-kataku seorang diri membaca pesan melalui email.
Deva, Brielle, dan saya bersepakat ingin mengadakan surprise atas keberhasilannya.Tetapi luar pemikiran, secara mengejutkan kami dipertemukan secara keselurahan tanpa pernah merencanakan semua ini. Terlihat bagaimana papi memperlihatkan geram karena merasa telah dibohongi oleh kami semua. Ketika berjalan berkeliling mencari sebuah kado bagi Darrel pada salah satu pusat perbelanjaan, tiba-tiba papi dan mami berada di hadapan kami. Meminta Deva menjelaskan tentang identitas Sheena  dan skenario terbodoh yang kami susun.
Terjadi sedikit pertengkaran diantara kami, hingga pada akhir cerita papi hanya terdiam oleh karena seluruh suara menyalahkan dirinya. Mami pun terlihat mulai memihak ke arah kami dibandingkan papi. Meminta Sheena agar tetap tinggal bersama mereka selama beberapa saat. Papi membutuhkan waktu menerima tentang sebuah kenyataan di depan matanya. Terlebih putra bungsunya menjalin hubungan dengan adik kandung Darrel alias adik iparku sendiri. Deva menolak perjodohan dari papi dengan membuat sebuah kekonyolan hingga sang wanita pergi menjauh dari hidupnya.
“Bagaimana keadaan Sheena sekarang?” pesanku melalui bbm Deva.
“Tenang saja, papi tidak berbuat tindakan aneh-aneh terhdapa keponakan kecilku” balasan pesan Deva. Mengelus dada itulah keadaanku sekarang. Membayangkan  kebencian papi bertahun-tahun dapat berakibat fatal bagi dunia gadis kecilku.
“Belum tidur?” tegur Darrel.
“Apakah papi akan menyakiti Sheena?” tanyaku tiba-tiba tanpa memperdulikan pertanyaannya.
“Jangan berpikiran macam-macam, semua membutuhkan waktu” kalimat Darrel.
“Kenapa waktunya lama sekali memakan waktu bertahun-tahun?” tanyaku.
“Gi, terkadang seseorang  menyadari tentang sebuah objek tertentu di depannya membutuhkan waktu panjang dan tidak bercerita tentang persingkatan waktu. Untuk segala  sesuatu ada waktunya, pola pikir dan karakter seseorang berbeda-beda.” Darrel menatap ke arahku.
“Ada saat dimana seseorang membutuhkan waktu singkat demi menerima, mempelajari, mengerti keadaan objek di hadapannya. Tetapi tidak berlaku bagi kalangan orang banyak, untuk segala sesuatu kembali kepada pribadi masing-masing. Ngerti?” kalimat Darrel kembali mengarah ke hadapanku. Dia selalu seperti itu setiap pondasiku goyah oleh karena sebuah objek keadaan. Mengajariku akan suatu langkah dan memahami tentang perbedaan karakter masing-masing pribadi.
“Tok tok tok…” terdengar suara ketukan pintu dari luar. Segera kakiku beranjak dari kamar menuju arah suara ketukan pintu tersebut. Rumah kami terbilang sederhana, tetapi dapat menciptakan kualitas kebahagiaan tersendiri. Pria paruh bayah berdiri di hadapanku sekarang bersama Sheena.
“Gi, siapa malam-malam mengetuk pin…” kalimat Darrel terpotong…
“Bunda,” Sheena segera berlari dalam pelukanku. Papi datang mengantar Sheena, sekaligus ingin berbicara tentang ssesuatu hal…
“Malam pi” sapaku entah kalimat seperti apa paling tepat baginya…
“Bisa bicara sebentar?” suara papi terdengar tidak biasa, seakan rasa geram dalam dirinya menghilang.
“Silahkan masuk!” ucap Darrel memberikan sebuah kursi bagi mertuanya. Papi segera berjalan masuk dan mencari kursi paling tepat untuknya. Sementara Sheena berlari masuk dalam pelukan ayahnya.
“Pemahaman orang tua terkadang salah terhadap sebuah objek, itulah kesalahan terbesar dari kami” memulai pembicaraan dengan kepala menunduk. Tak terpikirkan sama sekali papi akan berucap pernyataan seperti sekarang.
“Maaf atas pilihanku,” mulutku mengeluarkan nada pelan.
“Tidak selamanya pola pikir para orang tua sesuai garis pengajaran. Ada saat dimana akan membuat kesalahan terbesar. Begitupun sebaliknya seorang anak tidak selamanya bertindak benar dan juga melakukan kesalahan. Kembali terhadap pribadi masing-masing menanggapi letak perselisihan antara dunia orang tua dan anak mereka.” Papi mulai menerima kenyataan dari penolakan-penolakannya beberapa tahun lalu.
“Maaf atas kelakuanku selama ini terhadap kalian berdua” pernyataan maaf papi.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, andai kata keadaan seperti ini tidak terjadi bagi langkahku, maka dunia Gi tidak akan pernah memahami tentang hidup yang diawali dari nol bersama keluarga kecilku.” Pernyataanku membayangkan bagaimana tanganku belajar melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah yang sama sekali tidak tersentuh olehku semenjak lahir.
Pada akhir langkahku bercerita tentang papi menerima kehidupan keluarga kecilku. Papi dan mami tidak lagi menilai seseorang hanya dari satu bagian semata, tetapi mempelajari tentang kualitas nilai jauh lebih berhaarga dibandingkan apapun juga. Betul ucapan Darrel untuk segala sesuatu mempunyai waktu tersendiri, jangan pernah memaksakan kehendak. Papi tak mempermasalahkan tentang pilihan Devanya, bahkan mau menerima Brielle sebagai pasangan hidup terbaik bagi anaknya.
Devanya dan  Brielle akhirnya menikah, sedangkan Darrel berhasil menempati posisi desain arsitek terbaik  dunia. Tahun demi tahun berlalu, impian Brielle menjadi kenyataan, sedangkan Devanya tetap menjalankan perusahaan papi. Menjadi seorang pejabat berkompeten itulah dunia adik iparku sekarang. Setelah glass corporation berkembang pesat, saya kemudian membuat surat pengunduran diri sebagai manager. Impianku adalah memiliki sebuah laboratorium untuk mengembangkan beberapa alat-alat terbaru sesuai imajinasiku sendiri. Menjalani beberapa bidang dalam dunia kerja tidak menjadi masalah di zaman modern sekarang, selama memiliki skil yang sesuai.
“Konsep desain yang akan saya terapkan kali ini  mengarah pada gelombang angin tak terlihat” Darrel tetap menciptakan karya-karya menarik bagi desain arsitek. Seperti biasa melakukan presentasi bagi pengembangan sebuah karya terbaru. Gadis kecil kami mulai mengalami banyak perubahan dalam masa tumbuh kembangnya. Vanya, Moli, Zeo sekarang bekerja sesuai bidang masing-masing setelah menyelesaikan kuliah. Tidak sia-sia kami membiayai pendidikan mereka, akhir cerita memperlihatkan hasil. Karakter saudara iparku yang lainnya mulai berubah setahap demi setahap. Ayah mertuaku terlihat berbahagia memiliki banyak cucu di dekatnya. TAMAT