Senin, 29 Desember 2025

 

RAINY

Bagian 1...

 

RAINY FAITH

 

Sebuah bayangan sedang berjalan sambil tertawa di antara reruntuhan serpihan hidup tanpa seni. Dua tangan sepertinya belajar meraba sesuatu yang tidak terlihat oleh kasat mata. Mencari tahu makna alarm hidup dibalik semak berduri? Entahlah...

Apa yang sedang kupikirkan? Saya ingin berjalan di tempat tidak terduga, hanya saja keadaan menyatakan hal sebaliknya. Ketika dua tangan sedang berjuang mengejar arah hidup, tetapi kedua kaki menyatakan ingin berjalan di tempat tidak seharusnya, bahkan tidak terpikirkan sama sekali.

“Kenapa hidupku begitu-begitu saja?” bergumam pelan sambil menarik nafas panjang dalam kamar.

“Susah kerja, ga punya relasi, kesulitan bergaul” membayangkan banyaknya hal mengerikan...

Saya seolah meratapi kisah hidupku sendiri. Tidak pernah beruntung menjalani sesuatu di depan mata. Terkadang, ribuan pertanyaan mengudara di depan mata tentang sisi hidup orang lain. Kenapa hidup si’A dengan begitu mulusnya berjalan mendapat apa yang dirinya inginkan? Kenapa si’C terlahir kelewat sempurna tanpa pernah terselip bahasa cacat di dalamnya?

Kenapa si’B dengan mudahnya menyatakan isi pikirannya hingga semua orang di sekitarnya mengacungkan jempol tanpa pernah mencibir? Kenapa si’D tidak pernah gagal ketika berlari mengejar garis finish, bahkan dapat dikatakan selalu menjadi yang pertama? Lantas, kenapa kehidupanku sendiri untuk bernafas saja di depan orang sepertinya mengalami kesulitan?

 

FLASHBACK

 

“Rainy” mama berteriak ke arahku.

“Cuci piring!” nada suara mama seperti biasa terdengar menakutkan.

Kenapa saya harus memiliki mama paling cerewet sedunia? Jangan ditanya lagi bagaimana ledakan nuklir menggelegar ketika aura kehadiran mama menyatakan kosakata kemarahan di rumah?

“Tuhan, apa saya boleh jujur?” ujarku dalam hati.

“Saya malu memiliki mama cerewet” kalimatku lagi.

“Kenapa juga saya harus lahir dari mama paling cerewet?” bahasa kembali.

Saya tidak suka teriakan, suara berisik, berada di luar seharian hanya untuk berteriak bersama temanku. Tuhan, satu saja keinginanku merupakan isi doaku suatu ketika. Cukup mama dan papa saja yang cerewet, tetapi jangan diriku. Bisa dikatakan, kalau di sekolah seorang Rainy Faith diam, bahkan lebih suka menyendiri. Bukan karena teman-temanku selalu membuli, hanya saja, hidupku sendiri memang lebih menyukai berdiam di tempat sunyi.

Perkelahian adik kakak akan terjadi ketika saya berada di rumah. Lantas, siapa yang menjadi pemenang? Jawabannya adalah adikku selalu menjadi pemenang, sedang diriku dinyatakan kalah total. Kenapa saya berkelahi lagi ma mereka? Kenyataannya, dimana seorang Rain hanya ingin diam seribu bahasa dimanapun berada. Tetapi, ketika berada di rumah diam seribu bahasa tidak lagi bergema karena kelakuan adik-adikku. Lebih mengesalkan lagi, karena saya selalu dinyatakan kalah tiap pertempuran.

“Selalu saja kalah, padahal saya kakak” menggerutu kesal.

Mama dan papa tidak pernah berpihak di sampingku. Saya dituntut menjadi seorang kakak terbaik. Kehidupan apaan ini? Kenapa saya harus lahir sebagai anak pertama? Pertanyaan demi pertanyaan mengudara...

“Rainy, bangun!” rutinitas mama membangunkan anak perempuannya subuh-subuh sebelum ke pasar.

Apa yang kulakukan dengan suasana masih gelap seperti itu? Cuci piring, menapis beras, masak nasi, menyapu sebelum berangkat sekolah. Di usiaku yang masih berada di bangku sekolah dasar harus bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah termasuk

Sepertinya hidup tidak pernah adil buatku. Terlahir dari keluarga miskin, wajah jelek, pendek, dan banyak lagi pernyataan-pernyataan bodoh menggambarkan tentangku. “Membosankan” memikirkan kehidupan membosankan.

“Rainy, kenapa nasi hangus?” mama mengamuk karena lupa mematikan kompor.

Diam menjadi sesuatu hal yamg harus kujalani, kenapa? Kalau menjawab sekali artimya cari penyakit. Kenapa juga saya harus terlahir sebagai anak pertama? Kenapa saya harus terlahir sebagai perempuan? Kenapa bukan laki-laki?

“Rainy, kenapa nilaimu semester awal masih di peringkat empat?” mama berteriak memaki.

Saya harus jawab apa? “Kenapa tiap akhir semester pasti terlempar di peringkat 12, 13, 15?” pertamyaan mengamuk dari mama.

Saya sendiri tidak tahu harus menjawab apa? Sebenarnya sih, mama tidak pernah menuntut harus jadi nomor satu, hanya saja nilai-nilai sekolahku selalu bercerita mengalami kemajuan di awal, kemudian terjadi keburukan di akhir. Masa kecilku memiliki ceritanya tersendiri.

Entah kenapa, seorang Rainy lebih suka menghabiskan waktunya di rumah tanpa pergaulan bersama teman-teman sebayanya. Apa ini kehidupan tidak normal? Saya sendiri lebih menyukai bermain seorang diri, dibanding bermain bersama banyak anak. Terkadang juga, entah kemasukan angin apa, hingga sesekali bermain bersama temanku di sekitaran rumah.

“Panas-panas tahi ayam” ejekan mama tiap melihat ke arahku.

“Di awal-awal saja menggebu-gebu, nanti di akhir terlempar di belakang” kalimat mama berikutnya.

Saya bertumbuh menjadi seorang anak yang bisa dikatakan memiliki perbedaan hidup dari anak kecil lainnya. “Makan sayur, awas kalau tidak makan!” ancaman mama.

Segala jenis sayuran harus bisa dimakan apa pun yang terjadi. “Pergi gantung-gantung sana!” perintah mama takut kalau anaknya gendut.

“Jangan makan banyak!” ucapan mama marah kalau saya minta tambah nasi. Kenapa bisa? Mama sudah memberiku  segunung nasi, kalau minta tambah berarti cari penyakit.

Kehidupan keluargaku benar-benar berada di bawah garis kemiskinan 7 keliling. Tiap hari, mama hanya bisa memberi kami sayur sebagai lauk bersama ulekan sambel. Ketika adikku mendapat seekor atau 2 ekor ikan hasil pancingan, maka diulek bersama cabe dan tomat, kemudian dibagi-bagi ke piring kami masing-masing.

Mama sebelum mengalami kondisi spiritual antara dirinya dan Tuhan, paling senang mengeluarkan bahasa-bahasa kotor. Namanya juga anak kecil mendengar ucapan orang tua sendiri, hingga membuat saya mencoba mengeluarkan bahasa kotor berujung nuklir meledak 7 keliling.

Masih mau bicara kotor?” nada mama berteriak sangat keras sambil memukul kaki dan tanganku memakai batang kayu beluntas.

Mama sendiri 7 keliling bicara kotor gitu, masa saya ga bisa?” ujarku dalam hati.

Awas kalau bicara gila lagi, mama putar-putar mulutmu sampai hancur!” bayangan ucapan mama terngiang cukup jelas.

Singkat cerita, sejak saat itu saya tidak lagi mengeluarkan bahasa-bahasa kotor dari mulut. Pertama dan terakhir kalinya, seorang Rainy mencoba beralih jalur. Sebenarnya, saya tidak salah kalau dipikir-pikir lagi. Kenapa bisa? Karena mama sendiri selalu saja mengeluarkan bahasa kebun binatang atau kata kotor lainnya hingga membuatku tanpa sadar ingin melakukan hal yang sama. Entah kenapa, saya selalu menjadi manusia paling penakut kalau berdiri di depan mama sejak kecil. Andai saja, seorang Rainy bisa melawan ataukah membela diri di hadapan mama?

Sepertinya saya memang dilahirkan menjadi manusia paling lemah dari segala mahluk lemah. Saya selalu kalah tiap berkelahi dengan adikku. Hal lebih gila lagi adalah mama selalu membela mereka. Menjadi pertanyaan paling menyebalkan lagi, kenapa hidupku selalu saja mengekor di belakang mama?

Bahasa kenapa selalu, selalu, bahkan selalu saja mengudara. Kenapa saya terlahir sebagai manusia paling lemah diantara yang terlemah, sangat penakut, diam seribu bahasa ketika semua orang disekitarku mengejek?

“Kenapa dia?” menatap keanehan salah satu teman sekelasku.

“Kau lagi buat apa?” pertanyaan penasaran buatnya.

Ketika saya berpikir tentang banyaknya sisi lemah dalam diriku, di tempat lain temanku sibuk pacaran dengan cowok padahal masih duduk di bangku sekolah dasar. Dia selalu bercerita jumlah pacarnya dan apa saja yang mereka lakukan. Benar-benar pandai masalah surat cinta, giliran pelajaran mati kutu...

“Buatkan saya surat cinta juga” ujarku sekedar menggoda dirinya.

“Kau punya cowok?” pertanyaan darinya.

“Saya menyukai seseorang” nada berbohong terhadapnya.

“Baik” dengan santainya mengambil selembar kertas hanya untuk menulis surat cinta-cintaan.

“Sejak pertama kali melihatmu, aku sudah mencintaimu. Jujur, aku suka menatap dirimu diam-diam” membaca sepenggal tulisan surat cinta buatan temanku.

Dia memiliki kelebihan paling hakiki. Apa itu? Membuat surat cinta-cintaan. Masih SD saja sudah tahu mengejar cowok, gimana kalau besar nanti...

Saya sendiri tidak mengerti bahasa aneh di dunianya. Saya selalu menggeleng-geleng kepala tiap melihat ke arahnya. Masa kecilnya hanya bercerita pacar-pacaran. Entah dia berbohong atau memang seperti itulah yang terjadi...

“Semalam saya melihat perempuan rambut panjang” ucapan seorang temanku.

Temanku yang satu ini hanya tahu bercerita tentang masalah setan-setan untuk menakut-nakuti kami. Apa saya takut? Jawabannya adalah saya sudah tidak bisa tidur tiap jam tengah malam setelah mendengar suara anjing. Suara anjing seperti itu menandakan melihat mahluk halus. Saya mati ketakutan karena ulahnya tiap malam.

“Jangan memeras  jeruk nipis ke darah orang mati!” ujarnya.

“Memang kenapa?” pertanyaan yang lain.

“Nanti hantunya gentayangan” jawaban temanku tadi.

Kenapa juga dia paling hobi bercerita setan dan setan? Saya seorang manusia penakut yang pada akhirnya menjadi korban akibat ulahnya selalu bercerita kuntilanak, hantu gentayangan, perempuan rambut panjang, dan lain-lainnya. Bagaimana kalau setan-setan tadi menampakkan dirinya terhadapku di malam hari? Hal lebih kacau lagi adalah mama menyuruh saya harus cuci piring  di dapur seorang diri malam hari. “Saya tidak mau” ujarku terhadap mama.

“Kau sudah pintar melawan?” teriak mama.

Apa mama sadar kalau saya mati ketakutan tiap malam ketika berjalan ke dapur hanya untuk buang air kecil? Tubuhku benar-benar gemetar tiap melewati dapur. Jangan sampai saya melihat bayangan rambut panjang...

“Kau tidak mau pergi cuci piring?” mama sudah memegang kayu beluntas.

“Kenapa saya terus cuci piring?” cetusku sangat kesal.

Saya harus berjalan seorang diri ke dapur untuk mencuci piring sebelum tidur, suka maupun tidak. Apa yang terjadi selanjutnya? Dua tanganku berusaha secepat mungkin membersihkan piring dalam waktu kilat karena mati ketakutan. Mereka semua enak-enak duduk di ruang lain, sedang saya harus cupir malam-malam begini...

Jujur, seorang Rainy selalu saja mati ketakutan tiap melihat mayat. Saya tidak akan pernah mau melewati rumah tetangga yang sudah meninggal apa pun keadaannya. Kenapa? Jangan sampai hantunya berdiri tiba-tiba di depanku sambil tersenyum menampakkan diri. Kalau lewat artinya tidak ada jalan lain, dan saya akan segera berlari terbirit-birit terlebih ketika malam hari. Hal paling menyebalkan kalau mama menyuruh saya membeli sesuatu di warung pada malam hari.

Bagaimana tidak, tetangga yang sudah mati itu keseringan terbawa dalam mimpiku, padahal saya tidak pernah ingin lihat mayatnya. “Gimana cerita kalau saya lihat mayatnya?” bergumam ketakutan.

Hal lebih mengerikan lagi adalah seorang Rainy selalu mati ketakutan ketika mendengar cerita drakula alias vampir. Kenapa bisa? Saya selalu membayangkan darahku dihisap, lantas tubuhku berubah jadi vampir yang haus akan darah segar. Artinya saya jadi peminum darah?

“Tuhan, jangan sampai saya jadi vampir” isi doaku berteriak di dalam hati.

Namanya juga anak kecil, pasti berpikir objek vampir penghisap darah memang benar-benar ada. Akibat ulah temanku hingga saya selalu ketakutan berjalan masuk ke toilet sekolah. “Hati-hati kalau ke kamar mandi” ujar temanku.

“Memang kenapa?” pertanyaan buatmya.

“Di kamar mandi sekolah, ada perempuan rambut panjang berpakaian merah” kalimatnya.

“Masa iya sih?”

“Sumpah demi Tuhan” ujar dia lagi.

“Bohong”...

“Tempat setan paling nyaman itu, ya di kamar mandi”  ujarnya.

Bisa dikatakan, hampir semua temanku tidak berani ke kamar mandi karena cerita-cerita horor. Kenapa juga saya harus memiliki teman hobi bercerita setan-setan? Saya menjadi korban akibat ulahnya.

“Rainy, kenapa sepatumu sudah rusak?” teriak mama ke arahku.

“Kakimu itu kenapa tidak pernah bisa tahan kalau pakai barang?” kalimat mama memasang wajah marah.

Bagaimana tidak, keluargaku berasal dari kalangan paling miskin bahkan untuk makan saja susah. Entah kenapa juga, sepatu di kaki selalu saja cepat rusak. Papa membeli sepatu berharap saya bisa memakainya selama beberapa tahun, tetapi ceritanya sudah lain lagi.

“Caramu berjalan itu gimana sampai sepatumu cepat rusak?” teriak mama.

“Kenapa kau tidak bisa merawat barangmu sendiri?” makian mama.

Saya hanya diam seribu bahasa mendengar ucapan mama. Berbicara satu kata artinya cari ledakan nuklir paling heboh. Saya berusaha mengunci rapat-rapat mulutku ketika mama marah karena ketakutan.

“Andai saja, saya bisa melawan mama” ujarku dalam hati merenungi nasib.

“Kalau begini terus” mama.

“Begini terus kenapa?”

“Lebih baik, kau dibuatkan sepatu besi saja ma papa” kalimat mama.

“Maksudnya?”

“Papa las khusus sepatu besi biar tidak rusak-rusak di kakimu” mama.

“Kakimu itu kaki kerbau” mama.

“Segitunya juga” nada menggerutu dalam hati.

Adik-adikku tertawa keras melihat saya dimarah mama karena sepasang sepatu. Hal lebih menyebalkan lagi adalah saya harus selalu mengalah terhadap adik-adikku. Kenapa hidupku mengerikan begini?

“Tuhan, kenapa saya tidak lahir sebagai anak bungsu?” pertanyaan buat Tuhan dalam hati.

“Kenapa saya harus terlahir sebagai manusia paling lemah, penakut, dan tidak memiliki kelebihan apa pun?” pertanyaan itu mencul tiap saat.

Seorang anak kecil sepertiku seolah larut dalam pemikirannya sendiri tanpa sadar. Bagaimana saya akan berjalan menghadapi perjalanan hidup ke depan. Anak kecil itu ternyata sedang berjalan lesuh di dalam alunan bahasanya sendiri. Bertanya-tanya tentang banyaknya sisi lemah yang orang di luar sana tidak akan pernah mengerti. Apa dia memiliki arah hidup suatu hari kelak?

Hai gadis kecil, apa dirimu dapat berjalan dalam cerita roda hidup? Apa kau akan mengerti makna satu alur di tempat-tempatmu paling terlemah? Bagaimana gambaran kisahmu tentang masa depan nantinya?

“Jangan lupa latihan nyanyi!” salah satu guru sekolah minggu mengingatkan.

Apa agamaku? Seperti yang dikatakan tadi antara latihan dan natal, artinya saya seorang Kristen. Tiap orang memiliki agama dan kepercayaannya masing-masing, begitupun sebaliknya dengan keluargaku. Anak kecil sepertiku tidak sedang ingin bercerita tentang agama terhadap siapapun, hanya sekedar curhat sedikit saja...

“Sudah mandi?” ujar mama.

“Iya” jawabku.

Saya berjalan bersama teman-temanku ke sebuah rumah sederhana. Di rumah tersebut, terdapat banyak anak berkumpul sambil bercerita satu sama lain. Saya diam membisu di tengah mereka. Kenapa? Jawabannya, karena saya tidak tahu cara bercerita, bermain, atau bergaul dengan mereka. Kami semua harus ikut latihan nyanyi menyambut natal di bulan Desember.

“Suaranya lebih semangat lagi” teriak kakak pengajar.

Seperti biasa, saya bernyanyi tanpa suara. Mulut saja yang goyang, tetapi tidak ada suara sama sekali. Saya terlalu malu untuk berada di tengah mereka. Hal yang terjadi selanjutnya adalah saya tidak lagi datang latihan untuk kedua kalinya. Rutinitas seperti ini memang selalu terjadi tiap tahunnya. Latihan menyanyi di hari pertama, lantas hari berikut tidak lagi muncul.

Hingga suatu ketika, kakak pengajar memilih saya sebagai anak teladan di acara natal. Kenapa bisa? Berhubung, seseorang bercerita tentang kisah hidupku. Dia bercerita bagaimana saya membantu mama mengerjakan semua pekerjaan rumah dan selalu menjadi anak rumahan. Akhir cerita, namaku pertama dan terakhir kalinya terpilih menjadi anak teladan. Tiap tahun, masing-masing anak mendapat jatah untuk menjadi anak teladan. Anadaikan, si’anak menjadi anak teladan kedua kalinya berarti mujizat pakai banget.

“Wajahmu di depan orang macam marah” tegur mama ketika melihat raut wajahku menerima hadiah kecil-kecilan di moment natal sekolah minggu.

“Tidak ada senyum-senyumnya” amukan mama mengudara ketika berada di rumah.

Saya tidak tahu cara mengekspresikan kebahagiaan sama sekali. Untuk tersenyum depan orang banyak rasanya sangat sulit. Kenapa bisa?  Saya terlalu malu, tegang, kaku, tidak mengerti cara tersenyum sama seperti anak lain.

Memory natal yang paling saya sukai adalah mama membuat kue natal. Kalau dipikir-pikir lagi, kue kering buatan mama hanya bercerita tentang satu rasa yang sama dengan lima jenis model berbeda. Kemungkinan besar dikarenakan keluargaku hanya bisa menikmati kue kering di hari keagamaan saja.

“Rainy, coba pakai baju ini!” perintah mama setelah dari pasar.

“Bagus” ujar mama.

“Jangan sampai kotor!” mama mengambil kembali.

“Pakai di hari Natal saja!” berbicara kembali.

 

Bagian 2...

 

Saya dan adik-adikku Cuma bisa merasakan baju baru sekali setahun. Sekalipun harga pakaiannya murah meriah, tetapi rasanya bahagia mendapat pakaian baru. Kebiasaan mama terhadapku adalah pakaian yang baru dibeli hanya bisa dipakai sekali setahun saja, biar tidak cepat rusak dan masih terlihat baru menurut pemikirannya. Saya bisa memakai pakaian tersebut berulang kali dalam setahun kalau sudah lewat beberapa tahun. Mama selalu menekankan kalau pakaian harus terlihat baru terus, tidak boleh kotor terlebih usang.

“Minum air putih saja” kalimat tanteku menyuguhkan makanan dan minuman ketika kami bertamu ke rumahnya di bulan natal.

“Air putih?” ucapanku dalam hati sedikit kecewa. Bulan natal artimya saya bisa minum minuman warna-warni di rumah orang.

“Rasanya manis” meneguk sedikit karena haus.

“Enak” ujarku tersenyum.

Ternyata airnya saja berwarna putih, padahal minuman bersoda. Papa membawa kami ke rumah keluarganya tiap natal tiba. Memory masa kecilku bersama rutinitasnya seperti biasa.

“Mama, di sekolah temanku sudah memakai bh” kalimatku setelah pulang dari sekolah. Apa yang terjadi? Salah satu temanku bercerita kalau dirinya sudah memakai bh. Lantas kenapa saya berkata aneh terhadap mama? Temanku berkata kalau perempuan wajib memakai bh apa pun yang terjadi.

“Memang kenapa?” pertanyaan mama.

“Saya juga mau memakai bh sama seperti dirinya” kalimatku.

“Kau masih kecil belum memiliki payudara” tertawa keras mendengar keinginanku. Kecil apanya? Saya saja melihat diriku sudah besar, bahkan sekarang sudah menginjak bangku kelas 5 sekolah dasar.

“Tapi temanku sudah pakai”...

“Astaga, Rainy masih kecil” teriak mama.

Apa mama membelikan saya bra? Jawabannya adalah tidak sama sekali.

Hal lebih gila lagi adalah tetanggaku bergosip tentang salah satu anak yang sudah haid di sekitar kami. Apa itu haid? Saya jadi ketakutan karena mereka bercerita haid. Masih sekolah dasar sudah mengalami haid. Hal terbodohnya lagi, mengira haid itu akan memiliki seorang anak alias hamil.

“Dia masih kecil sudah mau punya anak?” kalimatku terkejut di dalam hati.

Saya baru mulai mengerti makna kata haid setelah di bangku SMP. Ternyata teman sekolahku memakai bra karena sudah mengalami menstruasi di bangku sekolah dasar, jauh berbeda denganku. Pada akhirnya, mama membelikan saya miniset ketika sudah mulai beranjak ABG.

Bisa dikatakan semua temanku di kelas satu SMP sudah mengalami menstruasi, padahal umurku jauh lebih tua dibanding mereka semua. Apa yang salah denganku? Entahlah. Mereka semua mulai bercerita pertama kali mengalami masa haid seperti apa.

“Saya kaget” ujar seorang temanku.

“Kenapa?”

“Apa ini merah-merah di celanaku waktu buang air kecil” kalimatnya.

Saya selalu menjadi pendengar tiap temanku bercerita pengalaman pertama masa haid mereka. “Nanti, cuci mukamu langsung pakai haid pertamamu biar ga jerawatan” ujar mama dan beberapa temanku yang lain.

Ada banyak teman-temanku mengalami perubahan bentuk wajah setelah menstruasi pertama mereka. Bentuk tubuh berbeda dari sebelumnya, wajah berjerawat, dan masih banyak lagi. “Tuhan, dengarkan doaku” kalimatku dalam hati.

“Saya tidak mau memiliki banyak jerawat seperti kakak kelasku disana” menatap seseorang dari jarak jauh.

Wajah kakak kelasku masih mulus dan cantik beberapa bulan setelah saya berada di sekolah baruku. Lantas, sekarang? Seluruh wajahnya dipenuhi jerawat karena masalah menstruasi dan hal tersebut membuatku ketakutan.

Ternyata, doaku didengar Tuhan. Wajahku tidak pernah berjerawat setelah sah menjadi anak gadis. Kapan saya menstruasi? Di bangku kelas 2 SMP pertengahan semester. “Haid pertama harus dijadikan pencuci muka” melakukan sesuatu hal aneh.

“Ikuti saja petunjuk, percaya atau tidak, intinya sekedar berjaga-jaga” berkata-kata dalam hati.

Kehidupan masa ABG seorang Rainy sama seperti anak lainnya. Pergi sekolah tiap harinya bersama bumbu hidup di dalamnya. Perbedaannya ada pada kata menyukai lawan jenis. Beberapa temanku sudah mulai mengenal cinta-cintaan di usia kami yang masih dikatakan belia. Saya duduk dan menjadi pendengar setia tiap pembahasan mereka.

“Rainy, pergi sana!” nada memerintah mama setelah tersadar sesuatu melihat kelakuanku.

Apa yang sedang terjadi? Mamaku seorang penonton film dan sinetron, bahkan dirinya selalu tersenyum-senyum sendirian depan tv. Hubungannya denganku? Saya juga ikut-ikutan menonton dan senyum-senyum sendiri depan tv. Akhir cerita, mama tersadar hingga marah besar terhadapku. Kenapa bisa? Mama tidak pernah mau kalau anaknya bernama Rainy jadi tukang penonton drama, film, telenovela, sinetron. Menurut mama, kalau umurku masih terlalu kecil untuk menonton cinta-cintaan atau sinetron atau film atau apaaanlah itu.

“Kau tidak mau pindah?” nada mama menggertak.

“Mama saja kesengsem nonton, lantas saya?” menggerutu kesal  dalam hati.

Sejak dulu, mama memang tidak pernah mau kalau anaknya menonton cerita cinta-cintaan atau apalah itu. Padahal saya suka nonton film cinta-cintaan. Memang apa yang salah?

Hal terkacau lagi adalah papa sengaja menyambungkan colokan listrik tv dari ruang tengah ke kamarnya. Dengan kata lain, jam tidur seorang Rainy sudah diatur. Menonton lewat tengah malam artinya papa tinggal menekan tombol listrik di atas kepalanya. Tv akan langsung mati dengan sendirinya. Jangan cari penyakit di dalam rumah. Sikap papa jauh berbeda dengan mama.

Papa akan melakukan silent treatment terhadapku berbulan-bulan kalau marah, jauh berbeda dengan mama ketika saya mulai beranjak remaja. Kenapa bisa? Entahlah. Silent treatment papa hanya karena satu pokok pembahasan yang selamanya akan tetap kulakukan. Apa itu? Papa marah kalau saya terus mengikuti mama mengikuti satu ibadah kecil yang dikatakan sesat oleh orang banyak.

Perjalanan spiritual antara mama dan Tuhan membuat saya terikat dengan ibadah kecil tadi. Mama tetap nekad mambawa saya pergi ibadah apa pun yang terjadi dan jangan coba-coba untuk melawan. “Itu saja terus kerjaan Rainy, tidak usah belajar biar bodoh” ucapan papa marah.

Saya tidak tahu harus berbicara apa mendengar ucapan tadi. Mama hanya membawa saya berada di perkumpulan tersebut, sedang adik-adikku tidak sama sekali. Sekalipun papa mengancam tidak ingin membayar uang sekolah dan buku, tetapi tetap dibayar pada akhirnya dalam silent treatment.

Apa saya marah atau dendam terhadap papa? Saya juga pusing mau jawab apa. Pada dasarnya, sejak kecil papa kekurangan kasih sayang, bahkan harus hidup ditengah jalan yang pada akhirnya ingin mendidik keras anaknya. Hanya saja, cara papa kalau dipikir-pikir lagi salah. Papa melontarkan bahasa a,b,c dengan versinya sendiri karena memang tidak memiliki sekolah.

“Saya sebenarnya lebih takut kalau mama marah” bergumam dalam hati.

“Seolah saya tidak perduli kalau papa marah ataukah silent treatment, justru mama jauh lebih menakutkan” seperti itulah pemikiran Rainy.

Kehidupan Rainy di dalam sebuah alur cerita. “Bangun, berdoa!” seperti biasa rutinitas mama terhadapku.

“Kenapa hanya saya?” pertanyaan dalam hati kesulitan untuk bangun. Adik-adikku dibiarkan saja tidur, terapi saya harus bangun berdoa bersama mama. Tubuhku akan dipukul kalau saya tidak bangun. Apa ini yang dikatakan hidup?

“Kau tidak mau bangun?” nada suara mama mulai keras.

Ada kalanya mama juga memukul adik-adikku kalau tidak ikut doa di malam hari. Masalah doa di pagi hari, hanya saya saja yang dibangunkan, sedang mereka dibiarkan tidur nyenyak. Sebenarnya, saya malu memiliki mama cerewet, tetapi entah kenapa tubuhku terus saja mengekor di belakangnya.

“Sekalipun orang tuamu wajahnya setengah monster tetap saja orang tuamu” ucapan mama seolah tahu pikiran anaknya.

“Jangan pernah malu mengakui dirinya” mama.

“Kau tidak mungkin bisa ada disini kalau Tuhan tidak memakai dirinya, ngerti?” nada bicara mama membaca pikiranku.

Seorang Rainy berteriak di dalam hati tentang bahasa tidak menginginkan terlahir dari mereka berdua. Andai saja, saya terlahir dari seorang mama kalem, pendiam, lembut, cantik, dan banyak uang. Kenyataannya Rainy dilahirkan dari orang tua cerewet. Papa juga cerewet kalau terus menyerang anaknya, begitupun mama. Makanya, saya suka kalau papa silent treatment saja.

“Rainy jelek” seperti biasa teman-temanku membuli.

Sejak SD kelas 4 hingga sekarang, bisa dikatakan seorang Rainy selalu menjadi korban buli. Entah apa yang ada di pikiran mereka semua tentangku. Anehnya lagi, yang menjadi pembuli semuanya berasal dari kaum laki-laki. Di SD, teman-teman perempuanku tidak berani mengejek karena mereka takut tidak diberi contekan. Saya termasuk dalam kategori otak encer, sekalipun tidak pernah mendapat peringkat 3 besar. Teman-teman perempuanku tetap berteman baik, kecuali laki-laki.

Di bangku SMP, memiliki cerita yang sama. Si’pembuli tidak berasal dari sesama perempuan, melainkan dari kaum Adam. Di akhir cerita, beberapa teman perempuanku mulai ikut-ikutan seolah ingin mengejek juga. Kenapa hidupku kacau begini?

“Tuhan, muka dia jauh lebih jelek, bahkan otaknya terbelakang” menatap seorang teman sekelasku berjenis kelamin perempuan.

“Mukanya sangat kejam dan menakutkan, tapi kenapa tidak ada satupun laki-laki mengejek dirinya?” bertanya-tanya dalam hati.

“Apa lihat-lihat?” nada kejam Cecil menatap ganas diriku.

“Tidak” ujarku.

Anehnya, si’Cecil selala berbicara lembut terhadap semua anak laki-laki, sedang denganku seolah ingin memakan diriku. Kenapa saya selalu saja terlihat lemah? Hanya ada satu laki-laki teman sekelasku di bangku SMP  tidak menjadi pembuli. Kenapa bisa? Karena dirinya dikenal sebagai cowok playboy yang suka pacaran kiri kanan.

Untung saja, saya tidak sekelas dengan bekas teman SD dulu. Dia kembali satu sekolah denganku, tetapi tidak sekelas. Kalau dirinya sekelas denganku artinya hidupku semakin di neraka. Kenapa bisa? Dia iblis pembuli paling mematikan. “Wajahnya saja yang lumayan cakep, tapi kelakuan iblis” memaki dirinya dalam hati membayangkan kami pernah menjadi teman kelas.

Dia masuk kelas terpintar karena memang otaknya encer, sedang saya di kelas biasa saja ketika berada di bangku SMP. Saya selalu menghabiskan waktu dalam kesendirian tanpa teman ketika berada di sekolah.

“Suatu hari kelak, kalian pasti akan naksir 7 keliling denganku kalau besar nanti” menyumpahi mereka semua dalam hati.

Terkadang saya menangis karena kelakuan mereka semua. “Andai saja, saya bisa membalas mereka semua” berkata-kata dalam hati.

Tuhan, kenapa saya harus terlahir sebagai manusia paling lemah? Tidak bisa membalas kalau diejek. Di rumah dan sekolah suasananya sama saja, tidak ada yang berbeda.

“Tuhan, setidaknya untuk kali ini saya tidak ingin kembali menjadi korban buli besar-besaran” berdoa dalam hati ketika mendaftar di sekolah baru setelah tamat SMP.

Pada akhirnya saya lulus murni di sebuah sekolah negeri. Papa membawa saya mendaftar di sana. Sekolah baruku sekarang kebanyakan dihuni kaum Hawa. Kenapa bisa? Sekolahku sekarang bercerita tentang sekolah kejuruan yang memang peminatnya kebanyakan perempuan. Penghuni laki-laki tetap ada, hanya saja di dalam kelas Cuma ada 1, 2, hingga 8 orang.

Apa saya kembali menjadi korban buli? Jawabannya adalah tidak sama sekali. Teman-temanku semua baik ketika saya masih berada di bangku kelas satu.

“Rainy, ada yang titip salam” seorang temanku berkata-kata terhadapku.

“Apa?” terkejut.

“Siapa?” pertanyaanku lagi.

“Fajril” kalimatnya.

“Saya tidak mau” menolak keras sambil meludah keluar jendela.

Apa yang salah dengan temanku? Kalau dilihat-lihat lagi wajahnya ganteng kedua di kelas, bibirnya seksi dan merah. Lantas? Kelakuan bodohku dilihat guru...

“Kamu jangan begitu” tegur bapak guru.

“Tidak boleh seperti itu” ujarnya lagi.

Saya merasa bersalah atas apa yang sudah kulakukan. Dia hanya menyukai saja dan ingin menyampaikan perasaannya, tidak berarti meludah seolah jijik. Tuhan, maaf atas apa yang sudah kulakukan. Apa saya pacaran dengan temanku tadi? Jawabannya adalah tidak pernah, sekalipun dia cukup ganteng dengan bibir merah seksinya. Dia tinggal kelas hingga kami menjadi teman sekelas. Seharusnya antara saya dan dirinya bercerita kakak dan adik kelas. Lebih parahnya lagi adalah dia perokok karena kenakalan remaja.

“Mamaku galak, bisa-bisa saya dibunuh karena pacar-pacaran” ujarku dalam hati.

Mama saja tidak pernah mau saya menonton film cinta-cintaan, apa lagi pacar-pacaran. Saya takut mama berteriak di tengah jalan karena melihat kelakuan anaknya. Nuklir akan meledak kalau mencari masalah.

“Rainy” teriak mama di luar rumah.

“Iya” berujar terhadapnya.

“Kasih makan semua ayam-ayam disini!” perintah mama sangat galak.

Saya benar-benar malu untuk keluar rumah, kenapa bisa? Sekumpulan cowok bermain bola di lapangan kecil tidak jauh dari rumah.

Kenapa saya tidak pernah bisa melawan mama? Andai saja, seorang Rainy bisa menjadi pemberontak. “Rainy, cepat!” teriak mama sangat galak. Seolah mama sengaja memaki biar sekumpulan cowok-cowok itu mendengar.

Saya sangat malu tiap melihat kelakuan mama. Dia berteriak seenak dirinya dimanapun berada. Mama seolah ingin menyatakan diri sebagai manusia tergalak di depan sekumpulan cowok-cowok tadi. Padahal saya tidak ingin berdiri mengejar ayam-ayam kecil di depan mereka.

Tuhan, kenapa mengirimkan saya seorang mama tergalak sedunia? Andai saja, Rainy memiliki mama paling lembut, cantik, langsing, kaya. “Semua itu tidak akan pernah terjadi?” menarik napas panjang.

Hal terkacau adalah selamanya saya akan tetap menjadi pengekor setia mama tergalak. Berjalan bersama mama beberapa kilo hanya untuk mengikuti sebuah ibadah kecil terus saja kulakukan. Kenapa bisa? Mama tidak memiliki uang naik mobil angkot, singkatnya kami harus jalan kaki.

“Bisa-bisa perang nuklir kalau tidak ikut kemauan mama” bergumam pelan.

“Rainy, jangan cari mati sendiri” membayangkan teriakan mama.

Apa kebiasaan mama yang masih terus terbayang? Mama mengambil semua celana papa waktu masih muda, kemudian dijadikan rok buat Rainy. “Bagus” ujar mama memakaikan rok dari celana bekas papa.

Kalau sekarang bagaimana? Sepertinya, mama sudah tidak memiliki stok lagi, jadi, tidak pernah lagi. Apa hal paling memalukan yang masih terus saja terbayang di benak seorang Rainy? Memory itu akan selalu ada sampai kapanpun.

Rainy, mau kemana?” pertanyaan mama ketika saya baru mulai beranjak ABG.

Jalan” jawabku.

Gaya dan jalanmu” mama waktu itu terheran-heran melihat ke arahku karena memakai rok.

Iya dong masa puber” balasku.

Apa yang terjadi selanjutnya? Nuklir meledak. Mama histeris seketika, tetapi terkadang tertawa. Tiap marah, selalu menyindir dengan bahasa seperti ucapanku sebelumnya. “Iya dong masa puber” ucapan mama tiap menatap ke arahku.

Masa Rainy bicara ma saya, iya dong masa puber” cerita mama ke beberapa tetangga atau keluarga.

Anak zaman sekarang” mama menggeleng-geleng kepala.

Hal tergila yang terus saja mama lakukan terhadapku. Jujur, saya pernah ingin bunuh diri sewaktu usiaku masih dibawah 10 tahunan. Pisau sudah saya pegang seolah ingin menghabisi nyawa sendiri. Apa yang terjadi? Mama melihat pisau yang saya sembunyikan di dalam baju.

Reaksinya bagaimana? Mama marah besar setelahnya seolah tahu apa yang akan kulakukan. “Kau mau bunuh diri?” ucapan mama.

Silahkan bunuh diri!” kalimat mama lagi.

Apa yang terjadi selanjutnya? Saya diam saja, tidak berani berkata-kata. Akhir cerita, saya menyimpan kembali pisau itu, kenapa bisa? Karena saya takut mati.

“Waktu masih muda, saya itu pendiam sekali” ucapan mama seperti biasa seakan tahu isi pikiranku.

“Saya jadi cerewet setelah menikah ma papanya Rainy” kalimat mama lagi.

Menurut cerita mama, kalau dirinya pendiam, bahkan tidak suka bicara. Tiap majikan tempat mama bekerja mengamuk keras 7 keliling, mama tetap diam seribu bahasa. Ayah mama alias kakek berteriak seperti apa pun, tetap dirinya diam mematung. Kesimpulannya, mama tidak tahu cara marah atau berteriak melawan terhadap siapapun di depannya. Entah kenapa, setelah mama menikahi papa, kata cerewet 7 keliling dan mengudara  7 keliling.

“Sulit dipercaya” berbicara dalam hati.

“Mama pendiam?” bertanya-tanya dalam hati.

“Paling cerewet gitu” ujarku kembali.

“Rainy, kenapa tidak cuci piring?” teriak mama setelah melihat  piring berhamburan.

Apa hal paling membahagiakan buatku? Saya menghabiskan waktu seorang diri di rumah. Adik-adikku keluar bermain, papa pergi kerja,  sedang mama bekerja di warung kecil. Saya tinggal duduk menonton atau tidur di rumah seorang diri tanpa ada keributan.

Waktu kecil mama selalu berteriak memaki kalau saya tidak tidur siang, lantas sekarang sudah beda cerita? “Rainy” nuklir meledak seketika.

 

 

Bagian 3...

 

“Kisah hidup Rainy luar biasa” menarik napas panjang.

Masalah cuci piring jadi lèdakan nuklir terdasyat. “Kerjamu apa saja di rumah?” teriak mama.

“Rumah berantakan, piring ga dicuci, benar-benar pemalas” teriak mama.

“Nonton dan tidur” jawabanku, tetapi dalam hati.

“Rainy mau jadi apa?” maki mama.

Se0erti biasanya ledakan nuklir mama benar-benar dasyat 7 keliling. Kenapa juga saya jafi tukang tidur begini? Seaaktu kecil, mama selalu saja mengamuk kalau anaknya tidak tidur siang. Mama akan membawa kayu beluntas kemanapun sambil mencari letak keberadaanku kalau tidak ada di rumah ketika waktu jam tidur siang tiba. Sekarang, cerita itu sudah tidak seperti dulu lagi.

“Saya benar-benar menyukai Izzat” salah satu teman sekelasku terus saja baper.

Teman sekelasku kali ini baper karena menyukai kakak kelas yang tidak menyukai dirinya. “Dia galau terus karena kakak kelas, sedang saya Cuma memikirkan mama tergalak di dunia” menggerutu dalam hati.

Kami masih berada di kelas satu sekolah menengah, tetapi kehidupan percintaan sepertinya menjadi bumbu penyedap terbaik dalam dirinya ataupun anak remaja lainnya. “Kenapa bisa segitu galaunya? Padahal wajah kakak kelas bernama Izzan ga ganteng alias jelek” berkata-kata dalam hati.

Bentuk tubuh Zora memang terlihat gemuk, tetapi kalau diperhatikan wajahnya cukup cantik. Menjadi pertanyaan, kenapa juga dia selalu terlihat menjadi pengemis cinta? Kakak kelas menolak cintanya. Saya tinggal geleng-geleng kepala melihat kelakuannya.

Jika diperhatikan lagi, kakak kelas kami itu sebenarnya tidak jahat ataupun seolah mengejek dirinya. Kemungkinan, permasalahan karakter dan perbedaan keyakinan menjadi masalah utama. Bukan masalah bentuk tubuh menjadi alasan penolakan. Benar-benar pengemis cinta 7 keliling...

Apa saya memiliki kisah cinta-cintaan sama seperti dirinya? Entah karena ingin membuktikan atau apalah, seolah saya membiarkan diri sendiri sedikit bermain mata dengan kakak kelas. Saya tidak cantik, hanya saja, terkadang 1 atau 2 kakak kelasku mencari perhatian. Apa saya terlalu keg’eeeerannn? Entahlah...

Apa saya pacaran? Boro-boro pacaran, kakak kelasku itu tidak pernah berani bicara denganku. Pokoknya kisah menjebak diri sendiri selalu terjadi.

Jujur, saya tidak akan berani menyukai seseorang kalau bukan dirinya yang duluan mencari perhatian denganku. Saya seorang yang senang menyendiri sehingga bahasa memiliki hubungan terhadap lawan jenis memang tidak pernah ada. Dialog antara saya dan lawan jenis pada dasarnya kelewat kaku.

Kenapa bisa? Kemungkinan besar, dikarenakan karakterku dan juga kasus pembulian yang sering dilakukan oleh teman-temanku dari kaum Adam ketika berada di bangku SD juga SMP dulu. Bayangkan saja, ada seorang cowok dengan wajah manisnya seolah mencari perhatianku tiap menunggu mobil angkot ke sekolah.

Kenapa saya bisa sadar? Dia selalu datang cepat, di akhir cerita adalah dirinya sengaja berdiri tidak jauh dari depanku cukup lama. Pernah suatu ketika, dia sengaja datang ke sekolahku. Apa ada konunikasi antara kami? Jawabannya adalah tidak sama sekali. Sepatah katapun tidak pernah.

“Mendengar lohat bicaranya sedikit kasar membuatku takut” berujar dalam hati.

Sampai pada akhirnya, dia bosan sendiri. Cowok itu cukup lama mencari perhatianku. Apa saya yang terlalu ggg’rrrr? Entahlah...

“Kau benar-benar gila” mengejek diri sendiri.

“Kenapa kau selalu menjebak dirimu sendiri, Rainy?” membayangkan sesuatu hal.

Di sekitar rumahku juga ada beberapa lawan jenisku mencoba mencari perhatianku. Sekali lagi, mereka hanya bisa berdiri menatap ke arahku tanpa pernah bisa mendekati ataukah berbicara. Kenapa saya bisa tahu? Mereka biasa berdiri depan atau belakang rumahnya sambil menatap ke arahku ketika saya lagi memberi makan hewan peliharaan mama.

Sampai pada akhirnya saya benar-benar menyukai salah satu dari mereka. Kalau dipikir-pikir lagi, wajahku tidak cantik, namun entahlah mengapa mereka mencari perhatian. Menyukai tetangga sendiri terdengar kacau balau.

“Kupikir, saya menyukai kakaknya, ternyata, entah kenapa ruang hatiku seolah sesak tiap membayangkan wajah adiknya” merenung seorang diri dalam kamar.

Dia anak mahasiswa dengan wajah ganteng, pintar, dan seperti ada sesuatu yang menarik hingga membuatku tersenyum-senyum sendiri. Sepertinya, dia cinta pertama buatku hingga membuatku terkadang ingin berlari ke arahnya untuk mengungkapkan perasaanku. Apa yang salah antara saya dan dirinya? Entahlah...

Dia lebih dulu mencari perhatianku hingga saya benar-benar menyukai dirinya. Melihat pakaiannya saja dijemur depan rumahnya membuatku bahagia. Hal yang orang lain tidak pernah tahu adalah saya selalu menulis namanya memakai kode tertentu di buku sekolahku. Kenapa bisa? Biar tidak ada yang tahu saja...

Saya seorang penyendiri, anak rumahan, kaku, pemalu, minder menjadi alasan diriku tidak bisa berjalan ke arahnya. Terkadang, saya sekali-sekali alasan meminjam sesuatu alat untuk pelajaran di rumahnya, tetapi dia sendiri seolah cuek. Kalau dipikir-pikir lagi, dia yang selalu mencari perhatianku hingga saya benar-benar menyukai dirinya.

“Hati-hati ma anak mahasiswa” ujar seorang temanku tanpa sadar.

“Kenapa memang?”

“Mereka Cuma ingin mempermainkan anak-anak remaja seperti kita” kalimat temanku.

Apa dia hanya ingin mempermainkan perasaanku semata? Dunia mahasiswa memang memiliki ceritanya sendiri, jauh berbeda dengan kami anak yang baru saja beranjak remaja. Bagaimana saya akan melewati sesuatu hal ke depan? Apa saya bisa menahan perasaanku sendiri?

“Rainy, lupakan dirinya!” seolah sesuatu terus saja berteriak di dalam sana.

Hal terbodoh yang sudah kulakukan adalah ingin mengetahui perasaannya terhadapku melalui beberapa permainan anak remaja pada umumnya di sekolah.

“Apa yamg terjadi?” bertamya terhadap temanku di sekolah.

“Kalian sama-sama saling suka” kalimat temanku melihat sebuah kartu.

“Tuhan, maaf atas tindakanku” suara hati berbisik. Kenapa saya mengucapkan kalimat seperti itu? Bermain kartu artinya tudak mempercayai adanya Tuhan. Pengajaran mama menekankan banyak hal. Jangan pernah mempercayai dukun.

Bermain kartu sama saja menjelaskan adanya permainan dukun di dalamnya. Saya seorang anak remaja yang sejak kecil di didik untuk tetap mencari wajah Tuhan apa pun yang terjadi.

“Tuhan, itukan Cuma permainan saja dan tidak berarti ilmu gelap bermain di dalam” ujarku berusaha mengelak.

“Lagian temanku tidak mengerti yang namanya dukun-dukun juga, Cuma bermain-main begitu saja” sekali lagi berkata-kata dalam hati.

Menyukai, tetapi rasanya sulit untuk bisa berdiri di depannya. Bagaimana caranya biar saya bisa lupa apa pun tentang dirinya? Dia juga sudah tidak lagi tinggal di rumahnya. Kemungkinan besar kalau dia berusaha menjauh.

Saya harus siap menerima kenyataan kalau dia hanya ingin mempermainkan anak remaja sepertiku. “Rainy, lupakan dia!” selalu saja sesuatu berteriak kuat di dalam sana ketika saya sedang memikirkan dirinya.

Cinta pertama yang tidak mungkin akan saya miliki. Membayangkan caraku mencari perhatian, terkadang membuatku malu sendiri. Ada satu rahasia yang tidak pernah orang lain ketahui. Saya akan berusaha bersikap seperti manusia tomboy di hadapan lawan jenis yang kusukai.

 Mencoba memanjat pohon kelapa, padahal kenyataannya saya tidak pernah tahu cara memanjat. Berpakaian terlihat tomboy ketika melewati rumahnya. Kenapa bisa? Saya tidak ingin terlihat lemah, seolah di dalam diriku tidak memiliki kekuatan.

“Wajar saja dia lari” bergumam pelan tiap melewati rumahnya.

“Kapan saya bisa melihat wajahnya lagi?” bertanya-tanya dalam hati.

Bagaimana saya akan melewati kehidupan remajaku tanpa melihat wajahnya? Saya harusnya sadar juga, kalau kemungkinan besar kehidupanku sendiri tidak akan memiliki masa depan cerah. Sedangkan, di sisi lain, tentu keluarganya menuntut pasangannya harus memiliki pendidikan tinggi.

“Sepertinya saya tidak akan lanjut kuliah kalau lulus nanti” menarik napas panjang.

Seorang Rainy berasal dari sebuah suku sedikit berbeda dari semua suku budaya lainnya. Sebenarnya sih, menyelipkan kata matre atau hanya melihat ke arah harta semata tidak berlaku, kalaupun ada hanya terdapat beberapa persen saja. Kami memiliki adat cukup berbeda, bahkan terkadang menghabiskan banyak uang untuk acara tertentu. Hampir semua terikat terhadap adat-adat tersebut.

Pertanyaan sekarang, apa keluargaku mengikuti adat? Jawabannya adalah tidak sama sekali. Mama memiliki hubungan spiritual cukup kuat dengan Tuhan, sehingga tidak ingin terikat terhadap adat kuat di dalam suku sendiri. Jadi, bukan karena keluarga  kami tidak memiliki uang.

Bisa dikatakan kalau seorang pria membawa pasangannya ke keluarga berarti akan diperhadapkan banyak mata. Ketika seorang pria memiliki pendidikan tinggi artinya pasanganpun harus setara. Saya berasal dari suku yang akan selalu menilai seseorang dengan tingkat pendidikan. Seorang perempuan akan diperhadapkan banyak mata dari keluarga pasangannya. Dari ujung rambut hingga ujung kaki akan diperhatikan oleh tante 1, tante 2, tante 3, om 1, om 2, om 3, om 4, nenek 1, nenek 2, nenek 3, nenek 1000 dari pihak laki-laki terhadap sang perempuan.

Seandainya, suatu hari nanti saya diperhadapkan hal seperti ini dengan tingkat pendidikan rendah? Hubungan antara adat tersebut? Jawabannya adalah salah satu point terpenting ada pada kata adat tadi, sedang kehidupanku sendiri tidak akan pernah menjalani objek semacam itu.

Bisa saja mengambil pasangan dari suku sendiri tanpa memperhatikan adat dan pendidikan, tetapi kualitasnya juga di bawah standar. Cowok yang kusukai itu berpendidikan, pintar, cakep hingga membuat hidupku sendiri tidak pernah bisa lepas untuk tidak memikirkan dirinya. Kenapa sudah berpikiran jauh, padahal usiaku masih terlalu remaja? Bisa saja, hubunganku berada pada satu tahap tertentu, andaikan menjalin hubungan dengannya.

Dia tidak pernah tahu bagaimana rasanya memendam sebuah perasaan suka. Ada banyak hal seolah menjadi benteng cukup kuat sehingga dua kakiku berjuang keras untuk berhenti sekalipun rasanya sangat sakit. “Lupakan dirinya!” selalu saja suara hatiku berteriak keras di dalam sana ketika saya sedang melewati rumahnya.

 

Bagian 4...

 

“Tuhan, rasanya sangat sakit” berusaha menahan, hingga berteriak di hadapan Sang Pencipta.

Cinta pertama yang memang tidak mungkin kuraih. Saya juga ingin hidup seperti teman-temanku merasakan yang namanya pacaran, apa salah? Menyukai mahasiswa artinya menjebak diri sendiri untuk dipermainkan. Anak remaja polos sepertiku sedang terjebak oleh sebuah objek.

Terkadang, kehidupanku sendiri seolah ingin memaksakan diri untuk mendapat apa yang kuinginkan. Sesuatu objek tidak teelihat seolah menahan diriku untuk segera berhenti dan tidak lagi berlari. “Tuhan, bisakah diriMU mengabulkan doaku?” ujarku dalam hati.

“Sekali saja” seolah memohon terhadap Sang Pencipta.

“Bisakah saya dipertemukan dengan dia di malam natal atau tahun baru? Setelahnya, saya akan berjuang keras melupakan dirinya” ucapan seorang Rainy tiap moment natal tiba.

Permintaan yang sampai kapanpun tidak pernah dikabulkan oleh Sang pencipta. Seorang gadis remaja sedang berjuang keras melupakan cinta pertamanya. Hal terbodoh lagi yang kulakukan adalah ingin mengetahui perasaan dia sebenarnya melalui permainan kartu temanku. Apa saya mempercayai objek semacam itu? Entahlah...

Kenyataan yang ada, bahwa saya berada dalam sebuah ajaran keras tentang beberapa hal. Salah satu di antaranya adalah tidak boleh berjalan ataukah bermain dengan perdukunan, ilmu hitam, mitos, termasuk permainan kartu. “Tuhan, kalau dilihat temanku tidak bermain kuasa gelap atau dukun, jadi tidak apa-apa, sekedar menghibur diri sendiri” berujar dalam hati.

“Apa yang terjadi?” pertanyaan terhadap teman sekelasku.

“Sama-sama saling suka” jawaban temanku.

Apa temanku hanya ingin menghibur? Tuhan, maaf atas apa yang sedang kulakukan. Seolah, ketakutan terhadap Kemarahan Tuhan karena mencoba bermain kartu seperti ini. Kehidupanku berada dalam sebuah ajaran keras hingga dua kaki tidak dapat terikat terhadap beberapa objek.

Saya seorang yang tidak boleh berjalan dalam kehidupan dengan istilah adat istiadat manapun. Kenapa bisa? Semua orang pasti marah, andaikan saya mengeluarkan statement seperti ini. Ajaran keras itu berkata, ketika dua kaki berjalan dengan kehidupan adat istiadat artinya menyatakan diri sedang melakukan penyembahan berhala. Memakai pakaian adat tetap dapat dilakukan, hanya saja mengikuti ritual-ritual adat istiadat sama sekali tidak bisa dilakukan.

Jangan sekali-sekali menjalani ritual adat dari suku manapun selama ritual tersebut dinyatakan sebagai penyembahan berhala. Kenapa bisa? Bagi kepercayaan kami, menjelaskan kalau di alam roh atau dunia tidak terlihat kasat mata menyatakan pemanggilan penguasa teritorial ataukah penguasa gelap lain dalam jumlah ribuan hingga puluhan ribu roh kuasa gelap. Ketika ribuan penguasa tersebut berkumpul artinya kehidupan yang sedang menjalani ritual dalam keadaan terikat dan tidak sedang baik-baik saja. Kenajisan, akar kemarahan, sisi egoisme, keserakahan, pemberontakan, kutuk, dan lain sebagainya akan menyatu dengan diri sendiri tanpa sadar. Mama benar-benar menjaga sosok Rainy agar tidak terjebak dengan kehidupan ritual adat dari manapun.

“Jangan sekali-sekali terikat dengan adat istiadat” seorang pria tua berteriak keras di depan ketika sedang memimpin ibadah.

Semua orang pasti akan semakin membenci diriku ketika saya bercerita kehidupan seperti ini. Tidak ada manusia yang suci, hanya saja keadaan menyatakan saya sedang terikat dengan sebuah pengajaran keras hingga membuat dua kakiku tidak dapat berjalan keluar. Entahlah...

Sebenarnya sih, kalau dipikir-pikir lagi, adat dari suku saya sendiri tidak separah atau memiliki kekuatan mistik luar biasa, hanya saja mengeluarkan biaya cukup fantastis hingga terlihat menonjol. Pada dasarnya, ada begitu banyak ritual adat dari berbagai suku yang terlihat biasa, akan tetapi memiliki  sisi mistik cukup kuat dan sangat menakutkan tanpa disadari oleh orang banyak.

“Kenapa saya jadi bercerita adat begini?” menggerutu dalam hati.

Perjalanan di tengah sebuah alur seolah menyatakan kisah aneh cukup dramatis. “Kenapa saya tidak pernah bisa terlihat seperti teman-temanku?” menarik napas panjang.

“Kesulitan berbaur” berkata-kata dalam hati.

Sejak memasuki bangku SMP, karakter diam menyendiri menjadi kisah Rainy. Saya tidak lagi ingin menonjolkan diri melalui bidang akademik. Diam di kelas tanpa mengangkat tangan ataukah mencari perhatian merupakan sesuatu hal terbaik yang sedang kulakukan.

“Saya akan berjalan-jalan ke pasar” berbicara dalam hati. Apa yang sedang kulakukan? Sebelum tidur, seorang Rainy menghabiskan waktu bermain bongkar pasang. Menggambar sendiri sosok gadis, kemudian memakaikan pakaian sedikit kacau.

“Sepertinya harus mandi dulu” berkata-kata kembali di tempat tidurku. Anak remaja bermain bongkar pasang sebelum tidur merupakan sebuah hobi.

Jujur, mataku akan terpejam setelah permainan bongkar pasang. Menaruh kertas berisi gambar jelek hasil buatanku di bawah bantal atau kasur.

Ada satu lagi permainan hingga usia remaja masih tetap kulakukan. “Saya harus menabung uang dulu di bank” berkata-kata sendirian. Merobek-robek banyak kertas, kemudian menulis jumlah bilangan uang lima puluh ribuan dan seratus ribuan. Membuat dompet dari selembar kertas merupakan sesuatu hal cukup menyenangkan buatku.

“Harus belanja makanan” berujar kembali.

“Saya sudah jadi orang kaya” melihat robekan kertas di depanku.

Bermain uang-uangan, memang apa salahnya bagi gadis remaja sepertiku? Saya benar-benar menyukai permainan tersebut. Bermain seorang di rumah, terlebih ketika libur sekolah tiba adalah sesuatu hal terbaik yang selalu kulakukan.

“Rainy, coba lihat Ceris ma Lisa selalu terlihat dewasa” teriak mama ke arahku ketika bertengkar dengan beberapa anaknya yang lain.

“Dewasa sedikit bisa tidak sih?” mama masih ngomel.

Mama selalu membanding-bandingkan anaknya dengan anak lain di luar sana. Telingaku selalu sakit mendengar ucapan mama tiap saat. “ Ceris ma Lisa selalu terlihat keibuan, jauh berbeda denganmu” teriak mama.

“Bikin malu” ujar mama lagi melihat kelakuanku saling menjambak rambut dengan adikku.

“Memang apa salahnya bertingkah kekanak-kanakan?” bergumam seorang diri.

“Bermain bongkar pasang tidak ada yang salah menurutku” duduk termenung dalam kamar.

“Bermain uang-uangan juga hal paling menyenangkan” tersenyum seorang diri.

“Menonton film kartun, perang dunia sampai-sampai jambak-menjambak rambut dengan kurcaci-kurcaci iblis di sana tidak masalah juga” berkata-kata kembali dalam hati.

“Wajar saja dia lari” menarik napas panjang.

“Lupakan dirinya!” seolah penekanan suara di dalam sana berteriak kuat.

Menjalani kehidupan remaja seperti biasanya. Kosakata miskin benar-benar bermain begitu hebat pula di jalan seorang Rainy. Untuk memiliki baju natal saja, saya harus bekerja. Pekerjaan apa yang sedang kujalani?

Bekerja sebagai pembantu rumah tangga di semester 1 kelas 11 ketika liburan tiba. Apa saya malu? Jawabannya adalah tidak sama sekali. Beruntung saja, bisa pulang pergi dan tidak tinggal di dalam. Pada awalnya, sang majikan ingin saya menjaga rumah untuk sementara dikarenakan mereka sekeluarga akan pulang kampung. Entah kenapa, sang majikan membatalkan dan saya hanya bekerja sebulan. “Mungkin dia takut kalau saya mencuri barang-barangnya” berkata-kata dalam hati.

“Saya kan memang Cuma ingin kerja sebulan saja” bergumam pelan sepanjang jalan.

Apa ini pertama kali saya bekerja? Jawabannya adalah tidak sama sekali. Saya pernah menjadi tukang cuci selama beberapa waktu bersama temanku di bangku SMP dulu. Gaji menjadi tukang cuci sangat kecil pakai banget, padahal cucian selalu menggunung 7 keliling. Temanku pada akhirnya berobat 6 bulan karena jadi tukang cuci. Dia terkena TBC, hanya saja dirinya seperti tidak menyadari penyebab penyakitnya itu.

Apa temanku ini adalah sahabat? Kami menjadi teman sekolah, bahkan teman sekelas di kelas 10. Entah kenapa, seolah ada jarak antara saya dan dirinya sekalipun kami berteman. Saya harus mengakui kalau temanku ini cantik, hanya saja sepertinya dia lebih dekat dengan sepupuku dan salah satu personil di tempat ibadah kecil kami.

Satu lagi, saya memiliki seorang sepupu yang selalu terlihat dewasa dan keibuan dari usianya. “Saya benar-benar kagum melihat sifat keibuannya” ujarku dalam hati.

“Tuhan, apa saya bisa seperti Ceris?” bertanya-tanya dalam hati.

Mama saja selalu membandingkan antara saya dan sepupuku tadi. Pada dasarnya, tidak ada satupun teman ataukah orang dewasa di tempat ibadah itu ingin berteman dekat denganku? Kenapa bisa? Di mata mereka semua  berkata, kalau saya hanyalah seorang anak kecil. Tidak seorangpun menganggapku sebagai manusia dewasa atau keibuan.

Penampilan, sikap, bahkan wajahku memang selalu terlihat seperti anak kecil di mata mereka. “Salam ma baju merah” teriakan seorang pria ketika saya dan beberapa temanku berjalan menuju suatu tempat. Siapa gadis berbaju merah? Siapa lagi kalau bukan Ceris sang sepupu.

Personil di tempat ibadahku jauh lebih menyukai 3 gadis itu, dibanding kehidupanku sendiri. Kenapa bisa? Saya seorang yang sulit untuk berbaur, pendiam, wajah dan karakterku selalu terlihat seperti anak kecil, dan masih banyak lagi kekurangan lainnya hingga menciptakan benteng tersendiri. Di tempat lain, kehidupanku sendiri tidak memiliki talenta musik, suara, menari, dan lainnya untuk bisa berbaur. Apa saya minder? Tidak perlu dipertanyakan lagi, jawabannya adalah saya seratus kali lipat minder, sedang mereka seolah tidak pernah ingin tahu, bahkan terkadang seenaknya melemparkan beberapa kata ke arahku.

“Andai saja, saya memiliki talenta” bergumam dalam hati.

Ini bukan tentang perkara miskin, namun lebih ke tempat lain. Kami semua berasal dari golongan orang miskin, jadi, masalah seperti itu bukan penyebab utama. “Andai saja,  saya bisa berjalan dan beradaptasi di tengah mereka” suara hati berbisik.

“Tuhan, sebenarnya talentaku itu apa?” pertanyaan seolah marah terhadap Sang Pencipta.

“Miskin, ga pintar-pintar banget, pendek, jelek, tidak ada talenta satupun” tanpa terasa air mataku mengalir begitu saja dalam kamar.

Di sekolah, saya hanya bisa diam seribu bahasa karena banyak hal. Orang bisa saja berteriak ke arahku tentang sesuatu objek, hanya saja mereka tidak pernah tahu rasanya menjadi diriku. Kata minder benar-benar berakar kuat di sekitar area hidup seorang Rainy. Apa yang bisa kubanggakan?

“Minder juga bisa diartikan sombong, jadi, hati-hati ma kata minder!” ucapan salah satu pembicara yang entah siapa dari radio zaman sekarang.

“Memangnya kau tahu hidupku seperti apa? Seenaknya saja berbicara, seolah menjadi hakim paling hakiki mengalahkan Tuhan” berkata kesal dalam hati.

Kenapa saya harus terlahir sebagai manusia tanpa talenta? Pembicara itu seenak jidat berkata minder berarti sombong, apa dia tahu rasanya menjadi diriku seperti apa? Andai saja saya terlahir sebagai manusia sempurna?

“Tinna, suaramu ga kedengaran sama sekali” salah satu temanku tersenyum menatap Tinna teman dudukku.

“Suaramu kelewat kalem” kalimat yang lain.

Tuhan, kalau dipikir-pikir lagi, teman dudukku bernama Tinna jauh lebih pendiam, lantas kenapa mereka semua bisa menerima dirinya? Oh iya, saya ingin menjelaskan kalau teman sebangku di kelas memiliki karakter diam seribu bahasa sama seperti diriku. Karena tidak mendapat kursi sehingga dengan terpaksa 2 gadis kembang tercantik duduk sebangku denganku. Tinna dan Dyane ingin duduk di bangku paling depan yang pada akhirnya memohon ke arahku.

Apa kami menjadi teman dekat? Jawabannya adalah biasa saja, bahkan terkadang saya sedikit berselisih paham dengan Dyane. Apa mereka jahat? Tidak sama sekali, hanya saja satu sama lain sepertinya memiliki sedikit kemiripan karakter.

Antara Tinna dan Dyane memang terlihat akrab, akan tetapi denganku tidak terlalu dekat.

Mereka berdua merupakan salah satu gadis tercantik di kelasku. Pintar, cantik, kalem, pendiam menjadi gambaran mereka berdua. Karakterku sendiri? Bahasaku sedikit kasar, tidak pernah terlihat kalem, tingkat kepintaranku saat ini ada di bawah standar.

“Kenapa teman-temanku terkadang berani berkata kasar, sedang dengan mereka berdua terlebih terhadap Tinna sulit sekali untuk marah?” pertanyaan yang selalu saja menggerogoti kehidupanku.

“Tuhan, jujur, terkadang saya iri dengan mereka berdua” suara hati berbisik jauh di dalam sana.

Hanya untuk meminta bantuan masalah pelajaran terhadap temanku, rasanya selalu kesulitan. Kebanyakan mereka tidak mau membantuku sehingga terkadang saya tertinggal. Saya bodoh di bahasa inggris, olahraga, matematika yang berhubungan dengan xxy di dalam kelas. Apa karena saya malas belajar?

Kesalahan terbesarku memang ada pada kata belajar. Beberapa temanku berkata kalau saya memiliki otak encer juga setelah duduk berdekatan denganku ketika ujian atau tanpa sengaja mengerjakan sebuah soal. Permasalahannya adalah otakku selalu dangkal di bidang bahasa inggris, olahraga, matematika xxy.

Matematika merupakan mata pelajaran paling kusukai ketika di bangku SD dulu. Saya menjadi bodoh dan malas belajar matematika dikarenakan mendapat guru matematika hanya menjelaskan 1 contoh soal, kemudian berlari keluar kelas setelah memberi banyak soal untuk dikerjakan. Guru matematika itu hanya berdiri di kelas beberapa saat saja, lantas pergi. Cara mengajarnyapun membuatku mengantuk. Pada saat itu, lagi gencar-gencarnya belajar xxy, sedang saya sendiri tertinggal. Kemungkinan besar juga, masalah pembulian membuatku tidak konsentrasi menerima pelajaran.

“Saya saja baru belajar di atas angkutan umum ketika ulangan harian tiba” bergumam pelan.

“Gimana mau pintar” menggerutu sendiri.

Diam seribu bahasa menjadi rutinitas seorang Rainy seperti biasa. “Kenapa suaramu kelewat kalem?” pertanyaan tiba-tiba terhadap Tinna.

Dia hanya tertawa kalem seperti biasa. Pembawaan kalem dalam dirinya membuat semua orang menyukainya, jauh berbeda denganku. Semua orang akan selalu menjadi pembela seolah dia harus dilindungi karena terlihat terlalu lemah.

“Suara teriakanmu saja tidak terdengar, apa lagi kalau berbicara biasa” menggeleng-geleng kepala.

“Bagaimana kalau kau melahirkan nanti, apa bisa menahan sakit?” pertanyaan aneh kembali.

Dia sedikit tertawa mendengar celotehku. Kami berdua bukan sahabat, hanya saja terkadang satu sama lain sedikit berceloteh. Apa kami teman dekat setelah itu? Jawabannya adalah tidak sama sekali. Bisa dikatakan, saya memiliki karakter kesulitan beradaptasi ataukah berbaur untuk mendapat seorang teman dekat. Lupakan! Intinya, saya sedang belajar bertahan di tengah mereka.

“Rainy, jalani hidupmu sekalipun alurmu terlihat hambar jauh dari kata sempurna” berkata-kata dalam hati untuk memberi semangat terhadap diri sendiri.

Gadis remaja itu sedang belajar bertahan pada satu titik. Gemerincing suara serpihan hidup menari tanpa jedah iklan di udara. Diam membisu dalam lorong sepi menjadi gambaran nyata dalam dirinya.

“Ceris memang terlihat keibuan” diam-diam saya selalu mengagumi sepupuku.

Ceris selalu terlihat dewasa, jauh berbeda denganku. Saking kagumnya, saya rela jadi tukang cuci baju gratis buatnya. Apa yang tidak kulakukan? Membersihkan rumahnya, mencuci piring, mencuci baju, menyeterika, ataukah berusaha membantu pekerjaan rumahnya tanpa bayaran. Saya rela menjadi pembantu di rumahnya, karena menganggap dia dewasa dalam banyak hal. Apa saya terlalu polos? Saya menganggap dirinya sebagai kakak sekaligus sahabat. Apa dia menganggapku sebagai sahabat? Entahlah...

Bisa dikatakan, ada banyak pria memiliki perasaan khusus buatnya. Kenapa cowok bisa dengan mudah mendekati atau menyatakan perasaan? Kenapa setiap cowok yang mencari perhatianku tidak dapat berjalan ke arahku. Apa yang sedang kupikirkan?

Tuhan, apa salah kalau saya juga ingin merasakan yang namanya pacaran seperti teman-temanku? Sifatku memang terlihat kekanakan, hanya saja saya juga ingin disukai oleh seseorang. Keinginan memiliki pasangan cukup kuat di dalam hidupku sendiri.

“Tuhan, kalau memang saya harus melupakan dia” berkata-kata di dalam doa.

“Artinya kirimkan saya pasangan terbaik, kalau bisa orang bule biar memperbaiki keturunan” isi doaku lagi.

Seiring berjalannya waktu, seolah saya belajar sesuatu yang sulit di ungkapkan. “Tuhan, kirimkan saya pacar pertama dan terakhir buatku” anak remaja berdoa seperti itulah...

Saya juga ingin merasakan tentang  pacaran itu seperti apa rasanya, hanya saja kehidupanku sendiri tidak ingin berjalan di tempat salah. Tuhan, kirimkan saya pacar pertama, sekaligus pasangan hidupku kelak tanpa harus gonta-ganti pasangan. “Waktu Tuhan pasti akan tiba” ucapanku kembali.

Entah kenapa, saya ingin memegang sebuah prinsip hidup. Berpacaran hanya sekali dan tidak akan terjadi untuk kedua kalinya. Maka dari itu, saya ingin pacar yang memang asalnya dari Tuhan. Apa remaja miskin sepertiku bisa mendapat apa yang diingini hatinya? Entahlah...

“Kalau dari Tuhan, tidak mungkin juga dia selingkuh atau berpaling ke tempat lain” membayangkan sesuatu.

Saya sedang menunggu waktu dimana Tuhan akan menjawab doaku. Kriteria seperti apa yang kuinginkan? Tinggi, baik, tidak playboy, takut Tuhan, pintar, berpendidikan, tidak pelit, penyabar, selalu mengalah, pekerja keras, dan bisa perbaiki keturunan. “Satu lagi Tuhan” berkata-kata lagi di dalam doa.

“Tidak gengsi-gengsian” ujarku.

Saya benci cowok gengsi. Melihat seorang mahasiswa malu membawa kantong kresek membuatku geleng-geleng kepala. Saya tidak mau memiliki pasangan seperti dirinya.

Apa Tuhan mengirimkan pasangan? Jawabannya adalah tidak sama sekali selama saya berada di bangku sekolah. “Tuhan, kalau tahun ini belum ada artinya tahun depan pasti dikirim olehMU” kalimatku dalam hati di usiaku yang menginjak delapan belas tahun.

“Saya percaya usia 19 tahun akan menjadi sesuatu memory yang tidak mungkin terlupakan, bahkan sangat berkesan” bahasa doaku di dalam sana.

Secara manusia, terlihat kalau masa depanku suram, akan tetapi tanganMU akan menggenggam erat hidupku. Seolah ruang di dalam sana berteriak begitu kuat, kalau hidupku akan mengalami sebuah terobosan besar di usia 19 tahun.

“Rainy, jalani hidupmu” seolah memberi semangat terhadap diri sendiri.

Masa remaja gadis sepertiku seolah sedang berjalan di sebuah ruang misterius tanpa disadari oleh diri sendiri. Apa ruang misterius itu menjebak dari segala arah?

 

Bagian 5...

 

Tangan Tuhan seolah memainkan serpihan-serpihan seni hidup di ruang misterius, bahkan merancang sesuatu hal yang sama sekali tidak terpikirkan. Bagaimana bisa dua kaki terjebak di tempat tidak terlihat kasat mata? Apakah ini yang dikatakan hidup? Gadis remaja paling lemah diantara semua objek terlemah terperangkap sangat hebat di sebuah kotak?

Kisah hidupku sepertinya berubah setelah lulus sekolah. Seorang gadis introvert 7 keliling sedang terjebak di sebuah sudut persimpangan. Sepertinya dua kaki terbelenggu dalam sebuah kotak misterius. Apa dua kaki dapat berlari keluar?

Bagaimana saya akan berjalan melewati puzzle-puzzle misterius di sana? “Apa yang terjadi denganku?” rasa takut membelenggu diriku tiba-tiba.

Tiba-tiba saja saya berada di suatu tempat beberapa bulan setelah kelulusan sekolah. Berada dimana? Entahlah...

“Apa saya diculik?” ketakutan seketika.

Tuhan, masih banyak yang ingin kulakukan. Bekerja, menikmati masa muda, berada di sebuah petualangan, dan lain sebagainya. Saya belum mau mati.

“Ruangan apa ini?” berusaha mencari pintu untuk berlari keluar.

“Apa ada orang di luar?” berteriak keras.

“Habis sudah” jatuh lemas ke lantai.

Apa yang sedang terjadi? Saya mencoba mengingat sesuatu hal. Menjadi tukang cuci piring pada salah satu warung kecil untuk sementara waktu, sambil mencari pekerjaan lain setelah lulus sekolah.

Saya ingjn mencari kerja di tempat lain” ucapanku saat itu.

Menjadi penjaga toko saja harus memakai orang dalam. Kesulitan mencari kerja membuatku ingin meninggalkan negara ini. Bagaimana caranya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di negara bule? Di negara sendiri menuntut persyaratan harus cantik, tinggi, pintar, sarjana, orang dalam, dan masih banyak lagi. Saya Cuma ingin bekerja sebagai kuli kasar di pabrik ataukah kasir toko dituntut dengan persyaratan mengerikan. Kehidupan dengan karakter sepertiku akan terlempar jauh bahkan dipastikan menjadi pengangguran.

Saya memiliki 4 adik yang harus bersekolah. Kenyataannya, keinginan menyekolahkan mereka tersimpan kuat sekalipun kami selalu hidup seperti kucing dan tikus. Lantas, sekarang?

“Saya Cuma berjalan kaki di lorong kecil” mengingat sesuatu.

“Tiba-tiba saja, salah satu kakiku kesandung batu hingga terjatuh” berkata-kata kembali.

“Kenapa saya disini?”

“Kenapa bisa?”

“Siapa di luar sana?” berteriak keras.

“Kau sudah bangun?” sebuah suara terdengar seketika.

“Siapa?” pertanyaanku.

“Apa saya mengenalmu?” kembali bertanya.

“Ayo jawab!” kalimatku kembali.

“Kau tidak mengenaliku, tetapi saya mengenali dirimu” ujarnya seketika.

“Kenapa saya ada disini?” rasa takut luar biasa mencekam...

“Saya takut” ingin menangis.

“Mama dimana?” tangisku pecah seketika.

“Kalau kau ingin selamat, artinya ikuti perintahku” kalimatnya.

“Perintah?”

“Kau terpilih untuk melakukan perbaikan terhadap sebuah kota paling rusak yang sepertinya sudah berada di ujung tanduk” ujarnya.

“Apa?”

“Kau harus berjalan ke kota rusak itu, suka maupun tidak!” ucapannya lagi.

Gadis remaja dengan kehidupan hambar, paling lemah, miskin, memiliki standar kejeniusan di bawah, jelek, kampungan, kuper, tidak tahu beradaptasi dipilih menjadi personil...? “Apa matamu mines?” tanyaku.

“Mines?” suara pria itu.

“Maksudku, apa matamu sudah tidak melihat lagi alias buta?”

“Buta?” penekanan pria tersebut.

“Saya tidak pintar, jelek, kampungan, miskin, tidak tahu bergaul, anak rumahan” penekanan buatnya.

“Saya tahu lebih dari yang kau kira” sang pria tua.

“Lantas?”

“Hanya kakimu saja yang terjebak masuk ke lorong kecil di sini, dan bukan orang lain” pria tua.

“Maksud ucapan anda?”

“Ada banyak orang melewati jalan ini, tetapi mata ataupun kaki mereka tidak pernah bisa menyadari keberadaan lorong kecil disini selain dirimu” pria tua.

“Artinya?”

“Kau harus menyelesaikan sebuah misi, suka maupun tidak” pria tua.

“Kalau saya tidak mau?” ujarku.

“Kota tempat tinggalmu pun juga akan menjadi reruntuhan puing, pikirkan keluarga dan orang di sekitarmu!” pria tua.

“Anda salah orang” berusaha meyakinkan dirinya.

“Saya tidak salah orang” penekanan pria tua.

“Kalau saya tidak mau, anda mau apa?” teriakanku sangat kesal.

“Di paksa biar tetap mau” pria tua.

“Saya hanya anak kecil bukan orang dewasa” berteriak makin kesal.

Apa saya anak kecil? Kenyataannya, mama dan semua orang di sekitarku berkata kalau saya hanya anak kecil, bukan orang dewasa. Wajah dan karakterku memang kekanakan. Wajar saja kalau saya berkata seperti itu.

“Memangnya anak kecil ga bisa dipilih gitu? Jangan salah, doa anak kecil  memiliki persenan lebih tinggi dalam hal meluluhkan hati Tuhan, dibanding orang dewasa” pria tua.

“Saya tetap tidak mau” berteriak lebih keras.

“Berteriak sekeras apa pun tetap ga ada yang mendengar, ngerti?” pria tua.

Kenapa saya menyebutnya pria tua? Jenis suaranya memang terdengar pria berusia tua. Ada yang salah dengan ucapanku?

“Matamu mines dan buta, sadar tidak?” masih bernada kesal.

“Mataku tidak pernah mines atau buta” pria tua.

“Perlihatkan wajahmu?”

“Wajahku terlalu ganteng untuk berdiri di depan anak kecil sepertimu” pria tua.

“Sudah sadar kalau saya anak kecil, kenapa masih memaksa?”

“Karena hanya dirimu satu-satunya orang yang bisa berjalan, melihat, dan melewati lorong kecil disini. Ngerti?” pria tua.

“Saya ga mau ngerti, kenapa maksa?”

“Tidak mau tanda tangan perjanjian, silahkan terkurung terus di ruang tidak terlihat oleh kasat mata!” pria tua.

Kenapa juga saya harus melewati lorong kecil itu? Apa kehidupanku memang ditakdirkan untuk terbelenggu di lorong kecil itu? Apa yang akan terjadi dengan kisahku ke depan?

“Mama dimana?” rasa-rasanya saya ingin terus menangis.

“Anak kecil sepertimu selalu mengeluh, bahkan terus saja menggerutu kesal, kenapa memiliki mama paling cerewet, lantas sekarang?” pria tua.

Kenapa dia bisa tahu? Jangan-jangan, sejak dulu pria tua itu memang sudah membuntuti pergerakanku? Apa dia salah satu organisasi Iluminati? Personil okultisme? Vampir?

“Pikiranmu terlalu berlebihan” pria tua.

Dia sepertinya membaca isi hatiku. Pikiran berlebihan apaan? Memang saya memikirkan apa? Suara pria tua itu sepertinya monster menakutkan. “Mama” memanggil nama mama karena takut.

“Katanya mau punya mama yang paling lembut, kalem, berpendidikan, baik, uang banyak. Lantas, sekarang ada masalah begini, tetap saja teriak manggil mamanya yang paling cerewet” sindir pria tua.

Dari mana dia tahu? Dia tidak mungkin Tuhan kalau dipikir-pikir lagi. Suara TUHAN di atas air, Allah yang mulia mengguntur, TUHAN di atas air yang besar. Suara TUHAN penuh kekuatan, suara TUHAN penuh semarak. Suara TUHAN mematahkan pohon aras, bahkan, TUHAN menumbangkan pohon aras Libanon. Ia membuat gunung Libanon melompat-lompat seperti anak lembu, dan gunung Siryon seperti anak banteng. Suara TUHAN menyemburkan nyala api. Suara TUHAN membuat padang gurun gemetar, TUHAN membuat padang gurun Kadesh gemetar. Suara TUHAN membuat beranak rusa betina yang mengandung, bahkan, hutan digundulinya; dan di dalam bait-Nya setiap orang berseru: "Hormat!" TUHAN bersemayam di atas air bah, TUHAN bersemayam sebagai Raja untuk selama-lamanya. TUHAN kiranya memberikan kekuatan kepada umat-Nya, TUHAN kiranya memberkati umat-Nya dengan sejahtera!

“Suara Tuhan itu seperti guntur menakutkan, tidak mungkin juga pria tua seperti dirinya pencipta langit bumi” memikirkan sesuatu.

“Anak kecil, memangnya saya tidak tahu isi hatimu?” pria tua.

“Anda tidak mungkin Tuhan” ujarku lagi.

“Saya memang bukan Tuhan, tapi pengawalNYA Tuhan kalau dipikir-pikir” pria tua.

“Pengawal Tuhan?”

“Lebih tepatnya ajudan Tuhan, ngerti?” pria tua.

Memang ada namanya ajudan Tuhan? Apa saya sudah gila? “Pasti ini penipuan semata?” berkata-kata dalam hati.

“Saya tidak mau menjadi anggota okultisme, apalagi minum darah” berteriak seolah mencurigai sesuatu.

“Perhatikan di sekitarmu! Ruangan saja warnanya sudah beda” pria tua.

“Dasar anak kecil” ledekan pria tua.

“Maksudnya?”

“Warna organisasi satanisme itu hitam dan merah dengan desain mistik, memangnya tempatmu berdiri warna apa?” pria tua.

“Memangnya setan bisa mengetahui isi hati manusia?” pria tua.

Betul juga ucapannya. Setan tidak pernah bisa mengetahui isi hati manusia, tetapi dapat membaca pikiran. Jadi?

“Apa anda Tuhan?” sekali lagi bertanya.

“Bukan” pria tua.

“Lantas siapa?

“Pengawal alias ajudan, ngerti?” pria tua.

Bagaimana dapat berjalan keluar? Apa saya harus percaya ucapan suara pria tua itu? Saya hanya gadis lemah, minder, kampungan, tidak tahu bergaul dan beradaptasi, jelek, miskin, tidak termasuk kategori jenius, dan pastinya kekanakan tanpa asa kata dewasa di dalamnya.

“Kalau diperhatikan lagi memang sih, sosok anak kecil sepertimu jauh dari kata standar dan ga mungkin kepilih” pria tua.

“Lantas, kenapa masih mengurungku disini?” berteriak keras.

“Masalahnya Cuma satu” pria tua.

“Masalah apa?”

“Cuma dirimu saja yang bisa melihat lorong kecil disini, bukan orang lain” pria tua.

“Pasti ada kesalahan” ujarku.

“Saya juga pikirnya begitu, tapi kalau diteliti lagi, Cuma matamu saja yang ga mines sampai menyadari keberadaan lorong kecil disini” pria tua.

“Anda mempermainkan saya” kalimatku.

“Mau gimana lagi, terima saja nasibmu” pria tua.

“Terima nasib?”

“Tanda tangan selembar kertas di depanmu sebagai tanda setuju menyelesaikan misi,  setelahnya kau pasti bebas” pria tua.

Kenapa selembar kertas putih dan pena ada di depanku? Apa saya sudah gila? Apa pria tua akan memaksa saya minum darah? Apa saya akan disuruh minum darah perawan suci atau anak bayi baru lahir?

“Kau benar-benar korban cerita setan-setan yah?” pria tua.

“Memang saya sekejam itu membuat perjanjian dengan cara meminum darah perawan?” pria tua.

“Saya tidak mau” ujarku ketakutan.

“Kau tidak akan minum darah manapun, intinya tanda tangan saja!” pria tua.

“Saya masih anak kecil” ujarku.

“Memangnya anak kecil ga bisa dipakai? Justru anak kecil jauh lebih kuat dari orang dwwasa di sekitarnya” pria tua.

“Saya pemalu, minder, jelek, miskin, ga pintar, pendek, kuper, dan masih banyak lagi kekuranganku”...

“Saya sudah tahu semuanya, ga perlu diulang-ulang juga keles” pria tua.

“Lantas kenapa masih maksa?”

“Ciri-ciri seperti dirimu saja yang cocok menjalankan misi, suka ataupun tidak” pria tua.

“Sejak kapan ciri-ciri sepertiku cocok? buat kerja kuli serabutan saja harus mencari orang dalam” ujarku.

“Silahkan nikmati hidupmu di ruangan ini! Kalau tidak mau tanda tangan surat perjanjian” penekanan pria tua.

Saya dipaksa menjalani sesuatu yang tidak kuinginkan. Segitu percayanya pria tua itu terhadapku? Sepertinya, pria tua juga kurang yakin, tetapi saja terpaksa memilihku hanya karena lorong kecil itu? Tidak masuk akal...

“Pasti mama mencariku” tiba-tiba saja ingatan suara mama menggelegar di benakku.

Saya harus tanda tangan surat perjanjian kalau mau bebas? Apa saya mengelabui saja? Intinya harus bebas terlebih dahulu? Bagaimana kalau pria tua itu mengejarku 7 keliling? Saya bisa masuk penjara kalau begini.

Kota seperti apa sih yang lagi rusak? Ga ada kerjaan banget kalau dipikir-pikir lagi. Saya tidak memiliki pengalaman sama sekali. Apa memang betul ada kota serusak itu hingga dapat menghancurkan kotaku juga? Kenapa juga memilih manusia sepertiku?

“Anak kecil, sudah waras belum?” pria tua berteriak entah dari mana di dalam ruang tersebut.

“Memangnya saya tidak waras?”

“Sepertinya” pria tua.

“Saya Cuma mau meyakinkan sekali lagi” ujarku seketika.

“Apa kau yakin untuk memilihku?” pertanyaanku berikutnya.

“Sangat yakinlah” pria tua.

“Sekali lagi, apa kau benar-benar yakin kalau sosok sepertiku saja yang terpilih bukan orang lain?”

“Secara logika, memang kau tidak masuk hitungan sih buat semua orang di sekitarmu” pria tua.

“Kau saja tidak yakin, gimana dengan saya?”

“Kan saya belum titik juga, baru koma, ngerti?” pria tua.

“Karena Cuma matamu saja yang bisa melihat lorong kecil hingga sukses melewati dan berakhir di ruangan ini” pria tua.

“Hanya karena lorong kecil saja, gimana kalau saya gagal?”

“Sepertinya tidak akan gagal” pria tua.

“Menurutmu, bukan menurutku” berteriak memaki.

“Anak kecil sepertimu tidak akan gagal, kau hanya belum mencoba” pria tua.

“Lantas, kau memaksa saya untuk mencoba begitu maksudnya?”

“100% seperti itulah maksudnya” pria tua.

Kenapa saya harus melewati lorong kecil itu? Apa saya harus mengikuti kemauan pri tua aneh? Memang saya bisa? Sepertinya saya akan menjadi gila setelahnya.

“Saya penasaran kota rusak yang kau maksudkan” ujarku seketika.

“Tanda tangan dulu, baru saya jelaskan gambaran kota rusak yang memang harus pulih melalui genggaman tanganmu gitulah!” pria tua.

“Bagaimana kalau saya gagal?” sekali lagi mencoba meyakinkan dirinya.

“Tidak akan gagal, yang penting” ucapan pria tua terpotong...

“Yang penting apa?”

“Berdoa, gunakan imanmu untuk berjalan, dan andalkan Tuhan” pria tua.

Pria tua menyebut nama Tuhan berarti menyatakan diri tidak berasal dari kuasa gelap. Kenapa saya jadi penakut begini? Saya tidak mau menjadi vampir apa pun yang terjadi.

“Untuk terakhir kalinya, apa kau yakin?”

“Sangat yakin 100%” pria tua mulai terdengar marah.

“Saya akan tanda tangan, tapi” ujarku...

“Tapi apa?” pria tua.

“Jangan salahkan saya kalau perbaikan kota rusak milikmu atau apalah itu  tidak sesuai keinginan hatimu” berkata-kata seolah memberi kesempatan buatnya untuk berpikir kembali.

“Tidak mungkin gagal” pria tua.

“Menurutmu, intinya jangan salahkan saya kalau ada kegagalan” ujarku sekali lagi memperingatkan.

“Saya tidak akan menyalahkan dirimu, intinya berjuang saja dulu” pria tua.

“Pokoknya jangan salahkan saya, sekali lagi jangan salahkan saya” penekanan buatnya.

“Intinya tanda tangan saja dulu, susah amat sih” gerutu pria tua.

“Baik” mulai mengambil pena.

“Gitu dong” pria tua.

“Sekali lagi jangan salahkan saya kalau gagal”...

“Intinya tanda tangan dulu!” penekanan pria tua.

“Tunggu, saya baca dulu isi kertasnya baru tanda tangan” seolah mengulur waktu berharap seseorang datang menolongku.

“Tidak ada seorangpun yang tahu tempat ini, jadi, jangan harap mendapat bantuan” pria tua.

“Menyetujui melakukan perbaikan kota paling rusak, Rainy Faith” membaca isi kertas tersebut.

Isi tulisan Cuma ini? Pernyataan apaan? Seenak jidat memaksa orang. Setidaknya, tanda tangan saja dari pada saya mati tinggal disini.

“Apa kau tidak berubah pikiran mengganti prrsonil?” mencoba berkata-kata kesekian kalinya.

“Apa susahnya tanda tangan saja, kenapa banyak celoteh begini?” nada marah pria tua.

 

Bagiqn 6...

 

Pria tua benar-benar marah besar hingga saya tidak lagi berusaha meyakinkan dirinya. Apa yang kulakukan selanjutnya? Menanda tangani selembar kertas tersebut dengan terpaksa. Saya tidak mempunyai jalan lain untuk keluar dari tempat menakutkan selain mengikuti kemauan pria tua.

“Gitu dong” pria tua berkata-kata.

Kenapa lembaran kertas tadi tiba-tiba saja menghilang? Apa saya akan mati? “Dimana kertasnya?” pertanyaanku seketika.

“Tersimpan manis di lemari milikku” pria tua.

“Sebagai bahan bukti kalau anak kecil sepertimu tidak akan pernah bisa berlari dari surat perjanjian, ngerti?” pria tua.

“Kalau saya lari?”

“Ya hidupmu tidak akan bebas untuk berlari kesana kemari” pria tua.

Tiba-tiba saja, sebuah layar besar terpampang nyata di depanku. Apa ini? Sebuah kota tanpa cahaya di dalamnya? Bagaimana saya dapat bertahan hidup di kota seperti itu?

“Tugasmu sekarang adalah mempelajari keadaan kota tersebut sebelum kau turun langsung kelapangan setahap demi setahap” pria tua.

“What?”

“What whit whut” pria tua.

“Kau harus memiliki senjata terlebih dahulu sebelum berjalan kesana” pria tua.

“Apa saya bisa?” sekali lagi bertanya.

“Intinya sudah tanda tangan perjanjian, jadi, kau tidak mungkin bisa lari dari kenyataan” pria tua.

“Apa saya bisa pulang sekarang?”

“Belum bisa” pria tua.

“Kenapa?”

“Sudah tahu jawabannya, masih bertanya?” pria tua.

“Saya tidak mungkin sendiri berjalan kesana” ujarku seketika.

“Maksud ucapanmu?” pria tua.

“Saya lemah, jadi, butuh teman untuk berjalan kesana” jawabanku.

“Teman?” pria tua.

“Iya, sekali lagi teman” kalimatku.

“Tenang saja, saya sudah persiapkan buatmu seorang” pria tua.

“Katanya Cuma saya yang bisa lihat lorong kecil, lantas sekarang?”

“Maksudnya?” pria tua.

“Anda penipu sekaligus pembohong kelas kakap” kalimatku seketika.

“Siapa bilang saya penipu?” pria tua.

“Ucapan anda barusan sudah mempersiapkan teman” ujarku.

“Kan situ butuh teman, gimana sih” pria tua.

“Teman seperti apa yang sudah dipersiapkan olehmu?”

“Temanmu untuk berjalan sekaligus menjadi pasanganmu kelak” penekanan pria tua.

“What?” berteriak. Sepertinya, saya serangan jantung seketika akibat kelakuan sang pria tua terhadapku. Bagaimana kalau pasangan yang diberikan ternyata tua-tua keladi? Giginya ompong? Mukanya jelek? Mati banyak...

Kenapa saya merasa jadi korban disini? Saya tidak mau berjalan seperti yang diinginkan pria tua, apa salah? Tanda tangan surat perjanjian saja sudah membuatku sakit kepala, lantas sekarang?

“Kenapa menyulitkan kehidupanku?” berteriak keras.

“Memangnya siapa yang meminta pasangan setahun lalu?” pria tua.

“Kenapa dia bisa tahu?” berkata-kata dalam hati.

“Kalau tidak diberikan pacar, berarti di usia 19 tahun, Tuhan pasti mengirimkan seseorang dalam hidup” pria tua seolah mengingatkan isi doaku seketika.

“Kenapa di usia 18, doaku tidak dikabulkan?”

“Kau masih sekolah, belum bisa pacaran, ngerti?” pria tua.

“Apa dia bule?”

“Menurutmu?” pria tua.

“Mana saya tahu” kalimatku.

“Kau berada di situasi dengan keadaan berbeda, jadi, terima saja nasibmu berjodoh ma pria lokal” pria tua.

“Perasaanku berkata kalau saya maunya pria bule” berbicara dalam hati.

Sebenarnya, saya sudah merencanakan ingin menjadi pembantu di negara bule sambil mencari jodoh disana. Saya akan mempelajari karakter pria bule, kemudian mencari yang terbaik sambil menjadi pembantu rumah tangga. Saya tidak mau bule yang memiliki kehidupan bebas karena mama pasti marah besar. Setidaknya mencari diam-diam pria bule tampan tanpa pergaulan buruk ataukah kehidupan sex bebas di dalamnya.

“Sepertinya kau sudah melupakan cinta pertamamu” suara pria tua.

Kenapa dia bisa tahu masa laluku? “Memendam perasaan terhadap seseorang, tetapi sepertinya sudah hilang karena keinginan ingin memperbaiki keturunan dari pria bule” pria tua.

“Sudah tahu mau perbaiki keturunan dari pria bule, masih mengirimkan lokal” menyindir dirinya.

“Kapan saya akan keluar dari tempat ini?” ujarku lagi.

“Setelah kau bertemu dengan pria itu” jawabannya.

“What?”

“Kau sudah berubah jadi cerewet sekarang” pria tua.

“Memang kau tahu sifatku?”

“Tahulah, kan saya pengawal maksudku anak buah terbaik Tuhan, ngerti?” pria tua.

“Perasaanku berkata, Tuhan tidak memiliki ajudan, kok bisa?”

“Entahlah” pria tua.

“Btw, nikmati pertemuanmu dengan pria itu sebelum kau kembali ke rumahmu!” pria tua.

Kenapa saya jadi gila begini? Kisahku sekarang seperti drama saja kalau dipikir-pikir lagi. Dijodohkan dengan orang tidak dikenal? Bagaimana kalau perutnya berlemak 7 keliling? “Bisa-bisa saya jadi janda di usia dini kalau begini ceritanya” menggerutu kesal.

Kenapa bisa jadi janda? Karena perut berlemak berarti cepat mati, kenapa bisa? Kolesterol, strock, jantung, dan semua penyakit menumpuk disitu. “Kalau jadi janda kembang sih tidak masalah, masih bisa bersaing ma gadis di luar sana” menggerutu kesal dalam hati.

“Tapi, kalau jadi janda tante-tante girang, berlemak, nenek girang, muka pembantu, atau apalah sekalipun usia masih muda?” menggeleng-geleng kepala seketika.

“Saya bisa gila kalau begini” menarik napas panjang kali lebar kali tinggi kali dalamnya lautan.

“Tuhan, perasaanku berkata kalau isi doaku bercerita tentang memperbaiki keturunan” berkata-kata kembali dalam hati.

“Apa ada orang di dalam?” suara seorang pria tiba-tiba.

“Suara apaan itu?” sedikit membuatku ketakutan.

“Siapa di dalam rumah?” dia berteriak lagi.

“Anak kecil, silahkan jemput calon pasanganmu sekarang!” suara pria tua.

“What?”

“What whit whut whet whot” pria tua.

“Kalau mau kembali ke rumah, silahkan temui dia!” pria tua.

Bagaimana kalau pria itu berlemak, jenggotnya penuh di wajah, berbulu, mukanya seram? Jujur, saya tidak suka pria berbulu lebat di tubuh terlebih di wajahnya. Saya sedikit kegelian dan ketakutan. Biasanya pria seperti itu hipersex, sedang saya mati ketakutan duluan. Jangan marah terhadapku, andaikan ada yang menyadari ucapanku. Masalahnya, beberapa orang di sekitarku berkata seperti itu.

“Apa ada orang di dalam? Saya kesasar di jalan” teriak pria itu.

Kesasar apanya? Dia pasti belum sadar kalau pria tua sedang mengerjai dirinya. Lorong kecil menjadi saksi bisu kehidupanku berakhir tragis di rumah kecil ini.

“Maaf, permisi” tiba-tiba saja pintu terbuka.

“Kenapa pintu bisa terbuka?” pertanyaan pertama setelah dia di depanku.

“Maaf, pintu rumah anda terbuka tiba-tiba, dan saya langsung masuk” kalimatnya.

“Wajahnya cukuplah kalau diperhatikan sedikit” berkata-kata dalam hati.

“Siapa namamu?”

“Harrel Liam” ujarnya.

Nama orang kaya? Apa dia memiliki uang yang banyak? Sejak kapan, singkong dan keju bisa bersatu? Apa ini jalan pintas jadi orang kaya? Apa dia tahu permasalahan jodoh-menjodohkan dari sang pria tua?

“Silahkan kalian saling berkenalan satu sama lain!” suara pria tua menggelegar.

“Apa kau dengar suara pria tua?”

“Dia pria tua? yang terus saja menjahili saya di sepanjang lorong kecil?” pertanyaannya balik...

“Kau juga kesalkan? Gimana dengan saya” tertawa seketika.

“Dia berkata kalau saya akan bertemu pasangan disini” ujarnya.

“Mati banyak” menggerutu kesal seketika.

“Apa kau melihat seorang gadis?” tanya pria itu.

“Menurutmu?”

“Hanya ada anak kecil sepertimu” jawabannya.

Apa dia tidak sadar gadis yang dimaksud pria tua itu? Setidaknya, saya bisa lari dari kenyataan hidup. Tuhan, biarkan dirinya tidak sadar. Lagian, saya masih mau menikmati masa mudaku sekarang.

“Anak kecil di depanmu sekarang, yang akan berdiri di sampingmu kelak” suara pria tua menggelegar.

“Apa?” teriaknya hampir tidak percaya.

“Kau pikir saya tidak jantungan?” menatap kesal ke arahnya.

“Kenapa bisa?” pria itu hampir tidak percaya.

“Kau pikir saya juga mau? Jangan menatap aneh ke arahku!”

“Lupakan!” kalimatnya.

“Apa kau orang kaya?”

“Lumayan” Harrel.

“Maksudnya?”

“Lumayan kaya” Harrel.

“Jujur banget bahkan kelewat pakai banget” melemparkan pernyataan.

“Tuhan bilang, bohong besar bohong kecil sama saja dosa, jadi, lebih baik jujur” Harrel.

“Harrel Liam, apa sebelumnya atau saat ini kau memiliki pacar?”

“Panggil saja Ha, ga usah menyebut nama lengkap!” Harrel.

“Memang kenapa?”

“Karena semua orang memanggilku Ha, ngerti?” Harrel.

“Harrel Liam maksudku Ha, sepertinya kau belum menjawab pertanyaanku”...

“Memang kenapa kalau saya memiliki mantan atau masih berpacaran dengan seseorang saat ini?” Ha.

“Kalau kau punya pacar artinya saya bebaslah” jawaban penekanan.

“Kenapa memang?” Ha.

“Saya mau perbaiki keturunan dari orang bule, bukan lokal keles” kalimatku.

“Kalau kau bisa lepas dari pria tua, artinya hidupmu bebas” Ha.

“Maksudmu?”

“Kita berdua sama-sama ingin bebas, tetapi kenyataannya pria tua terlalu kuat untuk dihadapi” Ha.

“Artinya?”

“Berusaha melawan atau” kalimatnya terpotong.

“Atau apa?”

“Terima nasib” Ha.

“Terima nasib?”

“Kita berdua menjadi pasangan, suka maupun tidak” Ha.

“Kenapa wajahmu terlihat setuju, padahal sejak tadi terkejut bahkan tidak bisa terima kenyataan?”

“Masalahnya, menangis juga tidak menyelesaikan masalah” raut wajah Ha terlihat tidak memiliki semangat hidup seketika.

“Kalian akan kembali dipertemukan sebulan lagi” suara pria tua tiba-tiba.

Apa yang sedang terjadi? Tiba-tiba saja, saya kembali berada di rumah. “Rainy, dari mana saja?” teriak mama seketika.

“Mama”...

“Kau seharian tidak di rumah, keluyuran saja” ujar mama.

Seharian? Saya pikir sudah berhari-hari meninggalkan rumah, ternyata? Bagaimana caranya biar saya tidak lagi kembali melihat lorong kecil?

Perbaikan kota rusak melibatkan namaku sebagai salah satu pemeran utama? Saya sepertinya sudah gila. “Rainy, kenapa tertawa sendiri?” mama menegurku seketika.

“Apa kau sudah gila?” mama terlihat kebingungan.

“Memang kenapa?”

“Beberapa hari belakangan terakhir, Rainy selalu tertawa atau bicara sendiri tanpa sebab” mama.

“Mati banyak” ujarku pelan.

Beberapa hari tanpa sadar pikiranku membayangkan banyak hal? Apa mama akan membawa saya masuk ke rumah sakit jiwa setelahnya? Apa mama akan percaya ucapanku kalau saya bercerita sesuatu?

“Kalau hidup masih ingin aman, lebih baik sembunyikan saja dari mama” membayangkan sesuatu.

Bagaimana saya akan berjalan? Apa saya mengalami kehidupan normal sekarang? Hidupku tidak lagi seperti dulu, bahkan memiliki cerita berbeda.

“Anak kecil” suara pria tua tiba-tiba saja berkumandang.

Apa saya sedang melewati lorong kecil? Perasaanku berkata, kalau saya diam seribu bahasa di rumah tanpa berjalan keluar. Bagaimana bisa suara pria tua itu lagi yang terdengar jelas?

“Anak kecil, ingat surat perjanjian yang sudah ditandatangani olehmu” pria tua.

“Perlihatkan wajahmu pria tua!”

“Anak kecil sepertimu tidak mungkin bisa mengelabui pria tua sepertiku, jadi jangan sekali-sekali kabur!” pria tua.

“Kenapa bisa pria tua sadar sesuatu?” bergumam dalam hati.

“Sekali lagi, jangan lari dari kenyataan! Ngerti?” pria tua.

“Saya tidak mengerti apa-apa” kalimatku.

“Rainy Rainy Rainy” tiba-tiba saja suara mama terdengar jelas di telingaku.

“Cuma mimpi” berdengus pelan.

Kenapa mimpinya seolah memang nyata? Apa saya masuk dalam sebuah buku cerita fantasi? Kisah Rainy sepertinya memang terjebak oleh skenario buku fantasi...

“Apa iya, dunia fantasi itu memang benar-benar ada?” bertanya-tanya dalam hati.

Memperbaiki kota rusak? Kota rusak yang mana? Perasaanku berkata, kalau talenta terbaikku hanya bercerita makan, tidur, berkhayal, berak. Bagaimana caranya saya memperbaiki? Memangnya saya memiliki pengalanan?

“Buku apaan ini?” sebuah buku tiba-tiba saja terpampang manis di kasurku. Kemana mama? Ternyata mama kembali tidur setelah melihatku baik-baik saja.

“Jangan lari dari kenyataan! Ngerti?” membaca sebuah tulisan pada halaman depan buku tersebut.

“Ini bukan mimpi” tersadar sesuatu.

“Astaga, apa iya saya mengikat perjanjian ma penganut okultisme?” ketakutan seketika.

Hanya aliran sesat saja yang bisa mengejar orang seperti ini? Seandainya Tuhan, pasti tidak memaksa begini atau mengejar gila-gilaan sampai membuatku ketakutan. Sepertinya pria tua itu salah memilih orang. Kenapa bisa saya? Mungkin pria tua lagi flu berat, lantas tidak konsentrasi melihat orang...

“Anak kecil, apa kau masih waras atau memang jauh dari kata tadi?” suara pria tua tiba-tiba.

Kenapa saya bisa mendengar suara pria tua dimana-mana? “Namanya juga sudah tanda tangan surat perjanjian artinya dimanapin dirimu berada, suaraku akan mengekor di belakangmu” penekanan pria tua.

“Jangan membuatku ketakutan”...

“Bisa tidak, ucapanmu hanya berkata kalau saya tidak takut?” pria tua.

Kenapa suaranya makin jelas? Pria tua tidak pernah menampakkan batang hidungnya, hanya saja selalu menyerang melalui suara. Saya bisa masuk sakit jiwa kalau begini?

Semua orang akan menganggapku gila pada akhirnya? Apa yang harus kulakukan? Satu-satunya jalan adalah mengikuti semua kemauan pria tua itu.

Pria tua tidak pernah menyatakan diri sebagai Tuhan? Lantas, kenapa bisa selalu tahu apa yang sedang kulakukan? Kenapa dia tahu masa lalu, karakter, isi hati, dan masih banyak lagi?

“Sudah kukatakan, kalau saya itu pengawalNya Tuhan, ngerti?” seperti biasa pria tua menyadari apa yang sedang kupikirkan.

“Berhenti menggangguku!”

“Kalau tidak mau diganggu, ya baca buku di depanmu baik-baik!” pria tua.

Saya memang tidak ingin melihat isi buku tersehut, bahkan tidak mau tahu. Pria tua seolah menyadari apa yang sedang kulakukan hingga suaranya terus saja menggelegar seperti hantu gentayangan. Apa ini yang dikatakan hidup?

Lorong kecil menjebak sepasang kaki oleh sebuah perjalanan misterius. Apa lorong kecil itu menyadari tarian-tarian menakutkan sedang bermain di sekitar alur cerita darinya? Sepertinya, tubuh seolah membiarkan dirinya terjebak disana.

Diam membisu tanpa bisa berucap sepatah katapun. Hai jiwa, apa kau akan membiarkan dirimu diam membisu disana? Apa kau memiliki kekuatan? Apa kau sadar betapa remuknya dirimu di dalam kebisuanmu?

“Kau sudah baca bukunya?” pria tua.

“Emtahlah” menjawab jeles ucapannya.

“Saya beri waktu seminggu mempelajari bab I dari bagian buku di depanmu!” pria tua.

“Terserah” ujarku terhadapnya.

“Banyak orang mengingini tempatmu, hanya saja mereka tidak dipilih karena sesuatu dan lain hal sekalipun kehidupannya terlihat benar-benar sempurna” pria tua.

 

Bab 7...

 

“Jangan sia-siakan apa yang sudah dipercayakan di tanganmu sekarang!” pria tua.

“Apa saya bisa?”

“Kau belum mencoba” pria tua.

“Anggota keluargaku berkata kalau saya sensitif, jadi, ketika mendengar bahasa-bahasa sedikit bagaimana dan bagaimana tentu perasaanku mudah kesal atau sedikit tersinggung” menjelaskan sesuatu.

“Apa iya, manusia sensitif bisa dipilih untuk memperbaiki kota rusak?” pertanyaanku terhadap pria tua yang hanya memperdengarkan suaranya.

“Menurutmu?” Pria tua.

Anggota keluargaku berkata kalau semakin saya marah, tersinggung, jeles, atau apalah maka semakin banyak pula bahasa-bahasa tidak baik dilemparkan ke arahku alias dijadikan bahan permainan untuk semakin memancing emosiku. Saya juga tidak menginginkan mengalami masalah gangguan mental berlebihan. Ada banyak orang di sekitarku mengambil jalan pintas alias melenyapkan nyawa sendiri karena tidak tahan dengan tekanan. Sedikit saja berbicara, sudah dikatakan cepat marahlah atau cepat tersinggunglah atau apalah, padahal pada dasarnya mereka seenak jidat melemparkan bahasa kasar 7 keliling. Jujur, hampir tiap saat orang di sekitarku melemparkan bahasa paling merendahkan dan rasanya benar-benar menusuk hingga menembus apa pun di dalam sana.

“Kesempatanmu membuktikan sesuatu dalam dirimu” pria tua.

Apa saya bisa? Kenapa saya tidak mencoba saja dari pada menyesal di kemudian hari? Setidaknya, saya memberi kesempatan terhadap diri sendiri...

Seorang Rainy mencoba membaca lembar demi lembar buku pemberian pria tua. Kota rusak dengan banyaknya akar permasalahan. Halaman depan dari buku tersebut, mengatakan ada begitu banyak penyimpangan hingga menyatakan kota ini berada di ujung tanduk.

“Perbaikan beberapa tahap paling penting, tetapi memberi efek cukup berpengaruh?” mencoba mencari tahu...

“Butuh kesabaran luar biasa ketika mencoba membangun kembali sebuah pondasi baru dengan kekuatan berbeda dari manapun juga” merenung.

Nama kota ini dinyatakan sebagai kota Hitam. “Butuh kesabaran penuh, sedang kehidupanku sendiri memiliki tingkat emosional berada di bawah rata-rata” bergumam...

Duduk merenung dalam kamar sambil terus membaca sisi hidup dari kota rusak tersebut. Kota Hitam, Merah, Abu-Abu, Kuning sepertinya menyatu di negara ini. Tidak pernah kusangka kalau kota Hitam dimaksud oleh pria tua ternyata memiliki wilayah cukup luas sekaligus menjadi bagian di negara ini. Nama kota itu Hitam, dengan banyaknya sisi menakutkan di dalamnya.

 “Nama kota tempat tinggalku Kota Kuning dengan luas wilayah cukup besar pula” mencoba mencari sesuatu dari kota Kuning tempat tinggalku.

“Negara ini Cuma memiliki 4 nama kota saja” berkata-kata lagi.

“Hitam, Abu-Abu, Kuning, Merah merupakan nama kota sekaligus ibukota di negara ini”...

Butuh waktu lama mempelajari tentang pembangunan pondasi terbaru dengan tingkat kesabaran luar biasa. Menjaga orang tua yang kembali menjadi seperti anak kecil membutuhkan kesabaran ekstra, lantas bagaimana dengan situasi seperti ini? Jauh lebih parah dari yang kupikirkan.

Apa saya bisa mengendalikan sisi paling lemah dalam diriku? Saya seorang pendiam, tetapi terkadang sisi emosionalku tidak dapat dikendalikan, selain permasalahan karakter lain yang sedang membungkus areaku. Bagaimana hidupku berjalan ke kota rusak itu kelak?

“Dimana saya sekarang?” tiba-tiba saja tubuhku sudah berada di sebuah rumah kecil.

“Anak kecil, selamat datang di rumah kecil kembali” suara pria tua menggelegar.

“Kenapa saya bisa ada disini?”

“Kan genap sebulan” pria tua.

“Kau sudah tanda tangan surat perjanjian, jadi” ujar pria tua terpotong.

“Jadi apa?”

“Jadi, tanpa sadar kau akan berjalan kembali melewati lorong kecil di sana menuju rumah kecil disini, ngerti?” pria tua.

“Benar-benar cerita fantasi” kalimatku seketika.

“Lebih dari bahasa fantasi sepertinya” pria tua.

“Halo Ra maksudku Rainy” tiba-tiba saja sosok Ha berdiri di depanku.

Kenapa dia ada disini? “Anak kecil, jangan pura-pura tidak mengerti kalau tepat sebulan dan waktunya bertemu ma manusia di depanmu” pria tua.

“Memang saya lupa” membalas ucapan pria tua.

“Silahkan kalian bercerita satu sama lain!” pria tua.

Pertemuan kembali antara saya dan si’Ha sebulan setelahnya di rumah kecil. “Kalau diperhatikan wajahku tidak jelek-jelek amat” Ha mulai pembicaraan.

“Lantas?”

“Saya sih yes saja menerima perjodohan pria tua” Ha.

“What?”

“Terpaksa” Ha.

“What?”

“Mau di apa, memang kau dan saya bisa apa kalau pria tua sudah berkata-kata?” Ha.

“What?”

“Setidaknya anggap saja kau perbaiki keturunan dariku” Ha.

“What?”

“Saya terlanjur tanda tangan surat perjanjian darinya” Ha.

“What?”

“Salah satu isi perjanjian, menyatakan tidak akan bisa lepas sampai kapanpun dari pasangan hidup yang sudah ditentukan” Ha.

“Surat perjanjianku isinya Cuma satu yang kubaca” kalimatku.

“Isinya apa?” Ha.

“Menyetujui melakukan perbaikan kota paling rusak” ujarku.

“Masa?” Ha.

“Kalau situ?”

“Sangat banyak, ngerti?” Ha.

“Tipu”..

“Betulan” Ha.

“Mana ada maling mau ngaku” menyindir dirinya.

“Sumpah” Ha.

“Apa lagi isinya?”

“Melakukan apa pun yang kau perintahkan” Ha.

“What?”

“Kau saja terkejut, gimana saya?” Ha.

“What?”

“Tidak boleh ke kiri, tidak boleh ke kanan, tidak boleh abcd  lah, dan lain-lain” Ha.

“Pokoknya sangat banyak” Ha.

“Tipu” masih belum percaya.

“Apa perlu saya perlihatkan?” Ha.

“Kenapa surat perjanjiannya kau pegang? Bukannya langsung diambil ma pria tua?”

“Surat perjanjian ada 2 rangkap, jadi, masing-masing memegang sebagai barang bukti” Ha.

“Saya tidak ada” kalimatku terlihat kacau.

“Saya juga tidak tahu kenapa” Ha.

Apa maksud pria tua dengan surat perjanjian? Kenapa dibedakan? Setidaknya, isi surat perjanjianku Cuma satu kalimat pernyataan, berbeda dengan dirinya.

Seolah pria di depanku pasrah menerima perjodohan seperti ini. Kenapa bisa? Salah satu surat perjanjian miliknya dikatakan kalau dia akan berperan sebagai patner utama untuk perbaikan kota rusak. Kenapa saya bisa tahu? Karena saya membaca surat perjanjian miliknya. Sangat banyak. Mengerikan...

“Apa kau siap perbaikan keturunan dariku?” Ha.

“Enak saja” kalimatku.

“Kau tidak bisa lepas dari pria tua” penekanan Ha.

“Isi suratmu mengatakan mengikuti kemauanku apa pun itu” bahasaku seketika.

“Artinya?” Ha.

“Mauku, untuk sekarang ini, kau menjadi kuli bangunan, ngerti?”

“What?” Ha.

“Tanganmu terlalu halus, artinya kau malas kerja Cuma tahunya menjalani kehidupan yang santai saja dinikmati” jawaban buatnya.

Permasalahan disini, kalau saya ingin pacar pertama sekaligus pasangan hidup. Di akhir cerita, ternyata saya tiba-tiba saja terikat dengannya artinya tidak akan bisa putus sampai kapanpun. Di lain tempat berkata kalau saya dan dirinya akan menjadi patner kerja. Artinya banyak hal yang akan terjadi.

“Kau tinggal di kota mana?”

“Kota Merah di negara ini” Ha.

Ternyata kota tempat tinggal kami berbeda, hanya saja dipertemukan karena jebakan lorong kecil dari pria tua. Apa dia akan setuju? Entahlah...

Saya sangat benci cowok dengan gengsi tinggi. Melihat lebih dalam tentang dirinya jauh lebih baik dari pada terlambat sama sekali. Bisa dikatakan, saya bisa saja kaya karena jalan pintas menikahi orang kaya seperti dirinya, hanya saja hidupku tidak mau menjalani hidup dengan badan biru-biru karena menjadi korban KDRT. Pacar pertama sekaligus pasangan hidup harus yang berkualitas bukan produk sampah.

“Artinya saya harus jadi kuli bangunan?” Ha.

“100% betul, memang kau sangat pintar mengamati makna pernyataan” ujarku.

“Setelah itu?” Ha.

“Maksud ucapanmu?”

“Maksudku, sosok Rainy setelah itu akan memperbaiki keturunan dariku?” Ha.

“Napsuan amat” menyindir ucapannya.

“Lantas?” Ha.

“Memang saya berpikir aneh setelahnya?”

“Entahlah” Ha.

“Masih banyak hal harus kau jalani di depan, ngerti?”

“What?” Ha.

“Sebagai bukti apa kau layak atau tidak, jadi pasangan sejati” bahasaku terhadapnya.

“Memangnya saya segitunya tergila-gila apa?” Ha.

“Kalau begitu berhenti saja, jangan berpikir aneh-aneh!”

“Saya juga maunya gitu, tapi, pria tua itu terus saja mengintimidasi” Ha.

“Serba salah” menarik napas dalam.

“Tetapi, karena kau dan saya diikat langsung seperti ini, jadi, kau harus mengikuti apa pun perintahku! Ngerti?”

“Apa kau mau mencoba sesuatu hal?” Ha.

“Jangan kurang ajar” penekanan buatnya.

“Memang saya mau buat apa?” Ha.

“Tidak ada acara sentuh-sentuhan fisik, ngerti?”

“Kampungan amat” Ha.

“Lantas maumu?”

“Ya begitulah” Ha.

“Kurang ajar” mengumpat seketika.

“Sekarang zaman dimana segala sesuatu harus aktif termasuk sentuh-sentuhan kiri kanan” Ha.

“Kurang ajar, kau tenggelam saja di dasar laut sana” memaki dirinya seketika.

“Sabar dulu kenapa?” Ha.

“Kurang ajar” sekali lagi mengumpat.

“Maksud ucapanku tadi itu, Cuma mau mengajak ke kota tempat tinggalku, ngerti?” Ha.

Pada akhirnya, saya menjadi malu sendiri dengan wajah merah padam. Kenapa juga melemparkan pernyataan gila? Dia memang berniat iblis kalau diperhatikan lagi. Sepertinya saya harus berjaga-jaga dan berdoa senantiasa sampai batasan dalam batas waktu yang belum bisa ditentukan.

“Jangan langsung berpikiran negatif” Ha.

“Siapa yang tahu otak iblismu di belakang?” Ucapanku.

“Jadi, apa kau mau berkunjung ke rumahku?” Ha.

“Kenapa terlalu cepat begini?”

“Masalahnya, dalam surat perjanjian menyatakan saya harus membawamu ke rumah. Ada yang salah?” Ha.

“Sekedar jalan-jalan saja, ga lebih dari itu?” Ha.

“Kenapa?”

“Pria tua terus saja mengintimidasi hidupku sejauh ini” Ha.

“Please, bantu saya, sekali saja” Ha.

“Sekali saja, ngerti?”

“Iya” Ha.

Perjalanan melewati lorong kecil hingga dua kaki memijakkan diri di sebuah kota merupakan sebuah petualangan terbaru. Lorong kecil menyatakan dirinya sebagai seni hidup. Seperti apa hidup ke depan ketika menyadari petualangan tadi? Lorong kecil itu benar-benar nyata.

“Ini rumahmu?” pertanyaan pertama setelah menginjakkan kaki di rumahnya. Tidak perlu memakai pesawat ke kota tempat Ha berasal, kenapa bisa? Kami berdua tinggal melewati lorong kecil hingga tiba dengan selamat di sebuah istana.

“Menurutmu? Rumah siapa lagi? Ha.

“Mana saya tahu” menjawab kesal.

“Lupakan!” Ha.

“Ha, dari mana saja?” seorang pria paruh baya berteriak di belakang kami.

“Keluyuran terus” sindir pria tersebut.

“Siapa dia?” suaranya makin menakutkan.

“Perkenalkan, Rainy calon menan maksudku calon pembantu daddy di rumah” Ha.

“What?” dua bola mataku tidak berkedip.

“Sejak kapan kau dekat dengan anak gadis seperti ini?” pria itu menatap datar.

“Daddy, silahkan berangkat kerja dari pada terus saja melempar pertanyaan seperti FBI!” Ha.

“Jangan macam-macam, awas!” pria tersebut segera berjalan meninggalkan kami.

Mimpi apa saya semalam? Berada di kota besar dengan banyaknya kepribadian aneh? Apa saya bisa hidup bersama manusia di depanku? Masa saya diperkenalkan sebagai pembantu?

“Ayo masuk!” Ha menarik tanganku.

“Jangan macam-macam!” penekanan buat Ha kembali.

“Siapa juga mau macam-macam” Ha.

“Siapa yang lihat, bisa saja kau menaruh obat tidur atau obat perangsang di minumanku seperti di film-film short Cina” ujarku.

“What? Memang saya segitu bernafsunya?” Ha.

“Bisa saja”...

“Dasar cewek korban film gila” Ha.

“Lebih baik saya berjaga-jaga, dari pada terjadi sesuatu. Ngerti?” melemparkan pernyataan.

“Bentuk tubuhmu saja ga ada seksi-seksinya sama sekali, kebanyakan berkhayal” Ha.

“Tubuh seksi, body gitar, kulit mulus, bibir menyala merah seksi, cantik boleh, saya tutup mata keles. Tapi, masalahnya situ tidak masuk nominasi sama sekali” Ha.

“Kurang ajar” mengumpat seketika.

“Justru situ yang mau perbaiki keturunan bukan saya” Ha.

“Kau tenggelam saja di dasar laut sana!”

“Sejak kapan anak mommy bawah gadis ke rumah?” tiba-tiba saja seorang wanita penampilan sosialita mengejutkan kami.

“Sejak tadi keles” Ha.

“Dia siapa?” pertanyaan wanita sosialita menatap ke arahku.

“Perkenalkan, namanya Rainy teman anak mommy yang paling ganteng” Ha.

“Teman?” raut wajah wanita itu terlihat mencurigai sesuatu.

“Untuk sekarang masih teman, kalau kelak jadi calon menantu mommy artinya karena terpaksa gitulah” Ha.

“What?” hampir tidak mempercayai ucapannya.

“Ternyata standar tipemu sudah turun drastis kalau diperhatikan” wanita sosialita menggeleng-geleng kepala berjalan pergi seolah tidak memperdulikan pasangan anaknya seperti apa di depan.

Secara manusia, saya bisa saja mengambil jalan pintas jadi orang kaya dengan menjadi pasangannya. Hidup bergelimang harta, berpakaian sosialita, punya pembantu kiri-kanan, dan masih banyak lagi kehidupan orang kaya di atas bisa kujalani. Pertanyaan sekarang, gimana kalau saya jadi korban KDRT? Bagaimana dengan keluargaku?

“Sepertinya your mommy cuek 7 keliling melihat anaknya ma siapa saja” sedikit memancing dirinya.

“Perasaanmu saja, mommy ga seperti yang kau bayangkan” Ha.

“Kau benar-benar anak mommy” mencoba menatap dirinya dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“Memang kenapa?” Ha.

“Sepertinya saya benci anak mommy and daddy” kalimatku.

“Lantas?”

“Apa kau punya kakak atau adik?”

“Saya memiliki 2 kakak cowok” Ha.

“Kakak cewek?”

“Ga ada” Ha.

“Kalau adik?”

“Saya anak paling bungsu” Ha.

“2 kakakmu mana?”

“Lagi kerja, mau perbaiki keturunan juga ma mereka? Masalahnya yang 1 sudah nikah, tapi yang 1 lagi cari jodoh” Ha.

“Dasar pikiran gila, kacau, selalu saja negatif” menggeleng-geleng kepala.

“Memangnya saya segila itu?” berteriak di depannya.

 

Bagian 8...

 

Ha terus saja memancing emosi dalam diriku. Apa wajahku terlihat bernafsu gimana? Seenak jidat melempar pernyataan.

“Entahlah” Ha.

“Lupakan!” kalimatku bernada kesal berusaha menahan diri.

“Ingat, kau harus mengikuti apa pun ucapanku sesuai isi surat perjanjian, ngerti?” kembali menatap ganas dirinya.

“Dasar bawel, gimana kalau kita berdua sudah tinggal serumah?” Ha.

“Kau pikir saya juga mau?”

“Kan sudah tanda tangan perjanjian, mau tidak mau ya harus tetap bersama” Ha.

“Tapi, kau juga harus mengikuti kemauanku, suka ataupun tidak” balasan buatnya.

“Contohnya” Ha.

“Tinggalkan istanamu! Dan belajarlah hidup di sebuah gubuk tanpa pembantu, makanan enak, baju mewah, harta berlimpah, mommy and daddymu!”

“What?” Ha.

“Apa kau mau terus diimtimidasi ma pria tua?”

“Tidak mau” Ha.

“Kalau tidak mau artinya ikuti perintahku!”

Setidaknya dia belajar merendahkan hati terlebih dahulu sebelum menjadi pasanganku. Pacar pertama sekaligus pasangan hidupku harus berkualitas, bukannya sampah jalanan. Jangan mentang-mentang orang kaya, lantas kehidupanku sendiri harus tunduk seperti orang bodoh...

Tuhan, kalau dia lulus dan mengikuti semua keinginanku artinya memang dirinya berasal dari padaMU. Pria tua itu seolah menjebak diriku sedemikian rupa di lorong kecil. Apa saya akan menjadi gila setelahnya? Entahlah...

“Saya beri waktu untuk berpikir” kalimatku sekali lagi.

“Saya ikut saja maumu, dari pada terus saja hidup di bawah bayangan suara pria tua” Ha.

Dia benar-benar punya nyali. Keadaan membuat kami berdua terikat satu sama lain tanpa sadar. Semua yang terjadi bukan kemauannya hingga kehidupanku hanya diam seribu bahasa di sudut persimpangan. Apa ini yang dinamakan petualangan di sekitar lorong kecil?

“Kau harus tinggal di kota lain, jauh dari istana besar dan mommy daddymu” berkata-kata menatap dirinya.

“Saya setuju” jawaban Ha dengan tegas.

“Bagaimana kalau saya tinggal di kotamu saja?” Ha.

“Siapa takut, silahkan!” ujarku.

Tiba-tiba saja, tubuh kami berdua kembali berada di lorong kecil itu. Rumah kecil menjadi saksi bisu pertemuan antara saya dan dirinya. “Kalian berdua harus melalui proses terlebih dahulu sebelum menjadi patner kerja sekaligus pasangan hidup kelak” suara pria tua bergema seperti biasanya di rumah mungil sederhana tidak jauh dari lorong kecil tempat kami terjebak oleh sebuah petualangan.

Menarik napas panjang sambil menatap ke arah Ha. Kenapa bisa saya terikat perjanjian dengannya? Kenapa dia tiba-tiba menyetujui keinginan pria tua? Kaya, wajahnya cukup ganteng, berpendidikan, kalau diperhatikan tidak mungkin kualitas otaknya di bawah rata-rata, lantas?

“Berhenti menatap curiga ke arahku!” Ha menyadari sesuatu hal.

“Lupakan!” kembali menarik napas panjang pakai banget.

Apa yang terjadi selanjutnya? Ha benar-benar meninggalkan istananya dan belajar hidup di sebuah gubuk. Apa ini yang kuinginkan? Apa dia terpaksa atau gimana?

Kenapa saya bisa tahu? Lupakan! Dia melakukan apa pun keinginanku. Mulai dari kehidupan di gubuk, tukang sayur, kuli bangunan, penjual ikan, pembantu rumah tangga, bahkan hampir semua jenis pekerjaan tukang-tukangan sedang di jalani olehnya.

“Kenapa kau mau melakukan semua keinginanku?” pertanyaan buat pria di depanku setelah kami berdua kembali berada di rumah sederhana.

“Maksud ucapanmu?” Ha.

“Mengikuti semua yang kukatakan, apa kau mengerti pertanyaanku?”

“Saya mengerti” Ha.

“Lantas?”

“Maksudnya?” Ha.

“Jangan berpura-pura bodoh” menatap serius wajah Ha.

“Karena saya takut suara pria tua terus saja gentayangan hingga membuatku ingin berteriak” Ha.

“Hanya itu?”

“Ada lagi sih” Ha.

“Jelaskan!”

“Karena surat perjanjian sudah terlanjur ditanda tangan olehku” Ha.

“Tidak ada alasan lain?”

“Memang alasan apa lagi?” Ha.

“Kalau jadi saya, memang apa yang akan dilakukan olehmu?” Ha.

“Entahlah” menjawab dirinya.

Kenapa juga saya ingin mencari alasan lain dibalik segala sesuatu yang dilakukan olehnya? Apa salah melempar pertanyaan bodoh seperti tadi berulang kali? Kenapa saya tidak pernah puas mendengar jawaban bodoh darinya?

“Kenapa kau mau melakukan semua perintahku?” pertanyaan berulang kali kulemparkan.

“Karena isi surat perjanjian” penekanan Ha.

“Pernyataan bodoh” menggeleng-geleng kepala.

Dia selalu mengikuti semua keinginanku. Terkadang, dua bola mataku tidak berkedip sama sekali karena ulahnya. Segala jenis pekerjaan tukang-tukangan sedang membungkus sisi hidup seorang Ha.

Pandanganku salah terhadapnya tentang banyak hal. Apa dia anak mommy and daddy? Alur ceritanya sedang berkata lain, bahkan berbanding terbalik dari objek tersebut. Dia sedang berjuang untuk menyatakan diri sebagai manusia berbeda melalui sebuah petualangan.

“Kenapa kau mau melakukan pekerjaan bodoh itu?” penekanan buatnya.

“Penasaran saja” jawaban Ha.

“Pernyataan bodoh” ujarku.

“Kenapa kau mau melakukan petualangan gila itu?” sekali lagi melempar pertanyaan.

“Karena tanganku sudah terlanjur tanda tangan surat perjanjian” Ha.

“Lupakan ucapan bodohmu!” bernada kesal seketika.

Apa ini jawaban bodoh yang selalu ingin kudengar? Rainy, berhenti menggerutu! Dia akan menjadi patner kerja untuk menjalani sebuah misi. Inilah alasan, kenapa dia terus saja mengikuti keinginanku.

Apa dia memang ditakdirkan sebagai pacar pertama sekaligus pasangan hidupku kelak? Saya tidak ingin berakhir dengan cerita tragis. Pacar pertamaku harus memiliki kualitas di atas rata-rata.

Pengalaman menyukai seseorang pertama kalinya membuatku belajar tentang sebuah rasa suka dengan melihat kualitas. Beberapa tahun memendam perasaan terhadap seseorang, seolah mengajarkan hidupku untuk tidak terburu-buru terikat ataukah mempercayai sebuah objek tentang filosopi lawan jenis. Kenapa juga saya berpikir aneh seperti sekarang? Lupakan!

Hal lebih kacau lagi adalah salah satu tetanggaku ternyata menyukai Rainy sejak sekolah. Sepertinya mama menyukai pria itu. Kenapa bisa? Kehidupan pria tersebut sesuai kriteria yang diinginkan sebagai calon menantu. Tidak merokok, jauh dari kenakalan terlebih pergaulan bebas, sopan, pintar, satu suku, dan beberapa hal lain menjadi gambaran dirinya.

Permasalahannya adalah saya sudah terikat langsung melalui perjanjian oleh pria tua di lorong kecil itu. Saya tidak pernah tahu ataupun sadar tentang perasaannya. “Kalau dipikir-pikir lagi, adiknya selalu ke rumah buat belajar salah satu mata pelajaran denganku” bergumam membayangkan memori masa lalu.

“Kenapa tidak pernah cerita?” bertanya-tanya dalam hati.

Alasan paling kacau adalah salah satu tetangga yang juga naksir berat terus saja menjaga dirinya biar tidak berjalan ke arahku. Saya bisa apa sekarang? Salah satu adiknya seolah berpikiran negatif, pada hal kenyataan yang ada tidak seperti bayangan pemikirannya selama ini. Saya hanya diam seribu bahasa.

Apa saya menjelaskan sesuatu tentang Ha? Belum bercerita saja, saya hampir masuk rumah sakit jiwa. Bagaimana kalau saya bercerita? Saya mengalami banyak guncangan hebat sejak peristiwa lorong kecil di depan mataku. Kesulitan bercerita menyatakan diri sedang berada di sebuah jalan dengan cerita tanpa ujung sama sekali. Saya benar-benar melewati sebuah proses menakutkan yang benar-benar sulit dijelaskan dengan kata-kata ataukah tulisan semata sebagai objek persiapan menjalani sebuah misi besar suatu hari kelak.

“Sampai kapan semua ini berakhir?” pertanyaan di dalam sana sedang menjerit.

“Kenapa saya terus saja berjalan seperti manusia bodoh?” merutuki diri sendiri.

Jujur, saya semakin kesulitan mencari pekerjaan karena peristiwa yang sedang kujalani. Semua orang di sekitarku, hanya tahu menjadi hakim tanpa pernah tahu apa yang sedang terjadi. Apa cerita fantasi seperti dalam putaran film ataukah drama sifatnya memang benar-benar tidak pernah ada?

“Lagi melamun?” suara pria tua menggelegar.

Ternyata, tubuhku kembali melewati lorong kecil tanpa sadar. Pada akhirnya, sosok Rainy duduk merenung di rumah kecil sederhana. Apa pria tua akan mengerti tentang guncangan hebat sekitar alur ceritaku?

“Siapa yang duluan meminta tanpa sadar masalah harga yang harus dibayar?” pria tua.

“Maksud ucapan anda?”

“Pikirkan saja sendiri!” pria tua.

“Visi dan misi di depanmu, kelak, memiliki sebuah tanggung jawab cukup besar sehingga kau harus berjalan melalui proses panjang, anak kecil” pria tua.

Pria tua seolah menyadari pemikiranku sejak tadi. Apa iya, hanya saya saja yang dapat melihat lorong kecil itu? Bagaimana kalau ternyata pria tua berbohong terhadapku? Apa saya bisa berjalan dengan kemampuan paling terbelakang menurut pemikiran orang banyak?

Apa saya bisa menjinakkan gajah liar? Apa dua tanganku dapat membuat raja hutan menjadi tidak berkutik bahkan patuh terhadapku? Bagaimana kalau saya gagal sebelum bertarung?

Kenapa juga pria tua berjuang keras untuk pemulihan beberapa kota di tangannya? Saya mencoba mempelajari lembar demi lembar buku pemberian pria tua, dan mendapati kenyataan lain. Pemulihan kota rusak, tidak hanya bercerita 1 melainkan lebih dari 1 kota, bahkan dapat dikatakan sangat banyak. Pria tua membuatku terjebak cukup kuat oleh sebuah surat perjanjian.

“Kenapa juga pria tua menaruh kepercayaan berlebih terhadapku?” kembali bertanya dalam hati.

“Apa surat perjanjian itu masih bisa dibatalkan?” pertanyaan yang terus ingin kulemparkan.

“Kalau saya melepas, apa saya akan menyesal?”

“Apa saya bisa mengembalikan waktu untuk kembali, seandainya mengalihkan tugas tadi alias berpindah tangan?”

Kesempatan tidak datang dua kali sehingga dua kaki seolah ingin belajar bertahan. Setidaknya, sosok Rainy dapat melakukan sesuatu objek di tempat tersembunyi hingga membuat orang banyak tercengang-cengang suatu hari kelak.

“Kenapa saya harus terikat ma si’Ha?” tiba-tiba saja melemparkan pertanyaan.

“Menurutmu?” pria tua.

“Mana saya tahu” nada jeles terhadapnya.

“Apa kau masih ingat keinginanmu ketika masih di bangku sekolah?” pria tua.

“Tentang?”

“Jangan pura-pura lupa” pria tua.

“Menurutmu?”

“Jangan pura-pura bodoh” pria tua.

“Saya benar-benar tidak mengerti” berkata-kata histeris.

“Kau ingin membentuk kehidupan pasanganmu melalui dua tanganmu sendiri karena sangat membenci cowok gengsi-gengsian” pria tua.

“Hubungannya?”

“Tanpa sadar, doamu didengar hingga antara kau dan Ha terikat oleh sebuah lorong kecil” pria tua.

“Hubungannya?”

“Kau membuatnya melalui proses tentang hidup tanpa sadar” pria tua.

“Hubungannya?”

“Cari sendiri kelanjutannya! Ngerti?” pria tua.

“Dasar perempuan!” suara gerutu pria tua.

“Menurutmu apa dia mulai sedikit menyukai diriku?” tiba-tiba saja melemparkan pertanyaan.

“Kenapa ga tanya langsung ma orangnya?” pria tua.

“Apa dia akan balas dendam ma saya?”

“Balas dendam?” pria tua.

“Masalahnya, saya selalu menyuruh dia menjalani seluruh bidang pertukangan” sedikit takut kalau dipikir-pikir lagi.

“Kenapa ga langsung bicara ma orangnya keles?” pria tua.

“Karena saya sedikit takut” bahasa balasanku.

“Paling jawaban darinya” pria tua.

“Jawaban apaan?”

“Karena tanda tangan surat perjanjian, jadi, suka atau tidak harus tetap dijalani” pria tua.

“Apa dia akan mempersalahkan hidupku?”

“Entahlah” pria tua.

“Bagaimana kalau dia mencari waktu baik buat balas dendam?”

“Saya belum mau mati muda” ucapanku kembali.

“Memang dia segitu jahatnya yah di matamu?” pria tua.

“Entahlah” menarik napas panjang.

“Dia akan menjadi patner kerja sekaligus pasangan terbaik buatmu suatu hari kelak” pria tua.

“Kenapa dia?”

“Karena Cuma dia yang bisa melihat dan melewati lorong kecil sama seperti dirimu” pria tua.

“Jawaban kacau” menggerutu seketika.

“Memang tidak ada jawaban lain selain lorong kecil?” melemparkan pertanyaan.

“Memang tidak ada” pria tua.

Pernyataan bodoh terdengar jelas di telingaku. Apa saya memang takut kalau si’ Ha balas dendam habis-habisan terhadapku? Harusnya, dia berterima kasih 7 keliling terhadap sosok Rainy. Kenapa bisa? Karena seorang Rainy mengajarkan hidup terhadapnya yang tidak mungkin akan dilupakan seumur hidup.

Apa saya mulai menyukai dirinya? Menyukai seseorang tidak semudah itu, terlebih saya pernah memendam rasa suka dan kehidupanku tidak ingin menjalani kisah tragis seperti sebelumnya. Rasanya sakit pakai banget, bahkan tidak bisa diucapkan hanya memakai kata-kata.

Saya yakin 100%, seorang Ha pasti memiliki cinta pertama yang mungkin saja membekas sama seperti kisahku. Cinta pertama memiliki memorinya sendiri sekalipun 97% tidak ditakdirkan menjadi pasangan seumur hidup suatu hari nanti. Saya tidak pernah ingin tahu seperti apa kriteria pasangan sosok Harrel Liam sampai kapanpun. Kenapa bisa? Sekalipun saya tidak masuk kriteria, tetapi dia akan tetap terikat denganku karena lorong kecil dan surat perjanjian, suka maupun tidak.

Dia tetap menjalani peran pertukangan seperti biasanya. Lorong kecil itu benar-benar nyata hingga menyatakan suatu tarian musik di sudut persimpangan. Pertanyaan demi pertanyaan bergema begitu saja di dalam sana seolah mencari jawaban tak kasat mata.

“Menurutmu, apa kau dan saya bisa menjadi patner kerja?” memberanikan diri melemparkan pertanyaan ke arah Ha setelah kami berdua bertemu kembali seperti biasa di rumah sederhana.

“Kalau dipikir-pikir lagi sepertinya tidak bisa” Ha.

“Jujur amat” balasan buatnya sambil tertawa.

“Tetapi, seiring berjalannya waktu sepertinya sangat perfect pakai banget memiliki patner kerja sepertimu” Ha.

“What?”

“What whit whut” Ha.

“Saya tidak salah dengar?”

“Sepertinya tidak” Ha.

“Alasannya?”

“Karena kau dan saya sama-sama ditakdirkan untuk tetap terikat surat perjanjian, ngerti?” Ha.

Pernyataan apaan ini? Dia selalu saja terlihat menyebalkan dengan ucapan-ucapan aneh dari perbendaharaan mulutnya. Kenapa dia terus saja membaca lembar demi lembar buku pemberian pria tua ketika kami kembali berada disini?

“Apa cita-citamu?” entah kenapa rasa penasaranku mulai gentayangan...

“Menjalani hidup dengan seni cukup berbeda dibanding siapapun” Ha.

“Pertama kalinya kau terlihat serius berkata-kata” sedikit tertawa.

“Biasa saja” Ha.

“Seandainya, dalam setahun ini kita berdua tidak saling menyukai satu sama lain” kalimatku terpotong.

“Maksud ucapanmu?” Ha.

“Kau bebas menentukan pilihan hidup, dan jangan pernah mendengar ucapan pria tua! Ini hidup kita berdua bukan miliknya” ujarku.

“Artinya?” Ha.

“Kau dan saya akan tetap menjadi satu patner kerja terbaik, hanya saja sebagai pasangan jauh lebih baik mencari pasangan lain saja di luar sana” kalimatku.

“Kau menyukai pria seperti apa?” Ha.

“Apa kau mulai menyukai diriku?”

“Cuma bertanya saja, memang salah?” Ha.

“Tidak salah” balasanku.

“Kau suka cowok berprofesi sebagai apa?” Ha.

“Pertanyaannya kemana?”

“Kalau masalah tipe karakter sepertinya saya sudah tahu, masalahnya ada pada profesi, kau ingin yang seperti apa?” Ha.

“Dulu saya bercita-cita memiliki pasangan dokter” menjelaskan sesuatu sekalipun cinta pertamaku tidak berada di dunia tersebut.

“Kenapa bisa?” Ha.

“Karena dokter itu pintar, ganteng, pekerjaannya menyembuhkan orang, berwibawa, dan berkarisma” kalimatku.

“Kalau sekarang?” Ha.

“Sudah tidak lagi”...

“Kenapa bisa?” Ha.

“Kau dan saya kan terikat, masa memaksakan kehendak?”

“Sudah tahu kita berdua akan tetap terikat, masih sok-sok’an mencari pasangan lain di luar sana. Memang bisa?” Ha.

“Entahlah, tapi, siapa tahu bisa” ujarku.

“Apa kau tahu identitas asli pria tua?” Ha.

“Saya hanya memberinya julukan pria tua karena jenis suaranya, mana saya tahu” jawabanku.

“Kau benar-benar tidak tahu?” Ha.

“Memangnya kau tahu dia siapa?”

“Astaga pria tua itu ajudan Tuhan” Ha.

“Saya juga sudah tahu keles, tapi yang lebih detail” ujarku.

“Kau memang bodoh atau pura-pura tidak tahu?” Ha.

“Memang kenapa?”

“Pria tua ternyata malaikat utusan yang sengaja dikirim oleh Tuhan, ngerti ga sih?” Ha.

“Dia Cuma bilang ajudan, tapi ga bilang malaikat” ujarku.

“Mati banyak” Ha.

“Apa kau serius dia malaikat?”

“Tidak mungkin juga seluruh masa lalu kita berdua ketahuan ma dia kalau bukan malaikat Tuhan” Ha.

“Artinya?”

“Ada sesuatu yang akan terjadi ke depan sehingga Tuhan mengirim malaikat untuk mempersiapkan sebuah objek tak terlihat kasat mata” Ha.

“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Baca buku pemberian pria tua!” penekanan Ha.

“Menurutmu, kenapa dia memilih kau dan saya?”

“Entahlah” Ha.

“Apa kau mulai menyukai pria tua?”

“Sepertinya saya mulai suka” Ha.

 

Bagian 9...

 

Jawaban seorang Ha atas pertanyaan sebelumnya. Saya tidak pernah berpikir tentang malaikat utusan Tuhan sedang menjebak kehidupanku di sekitar lorong kecil. Berpikir kalau pria tua hanya seorang manusia biasa pada umumnya.

“Termasuk dirimu” Ha.

“Maksud ucapanmu?”

“Saya mulai menyukai sesuatu dalam dirimu” Ha.

“What?” terkejut seketika.

“Tidak perlu menunggu setahun hanya untuk menumbuhkan rasa suka” Ha.

“Karena?”

“Seperti ucapanku sebelumnya, saya mulai suka apa pun dalam dirimu” Ha.

“Saya tidak pernah menyesali menanda tangani surat perjanjian” Ha.

“Apa kau salah makan?:

“Sepertinya saya tidak salah makan” Ha.

“Pernyataan bodoh” ujarku seketika.

“Menurutmu ada yang salah dengan ucapanku?” Ha.

“Sepertinya memang salah” jawaban dariku.

“Buatmu, tapi tidak buatku” Ha.

“Saya pikir kau ingin balas dendam karena perbuatanku” kalimatku.

“Tidak mungkin juga saya balas dendam keles” Ha.

“Kenapa bisa?”

“Kan situ mau perbaiki keturunan dari wajah tampanku, kalau saya balas dendam berarti saya batal” Ha.

“Pernyataan bodoh” penekanan terkacau.

“Kau harus belajar menyukai diriku, lupakan masa lalumu!” Ha.

“Masa lalu?”

“Pria tua maksudku malaikat Tuhan sudah bercerita panjang kali lebar kali tinggi tentang masa lalumu” Ha.

“Sejak kapan kau menyukai diriku?”

“Pertama kali membuka pintu rumah sederhana disini dan melihat wajahmu saat itu” Ha.

“Jadi, kau memang sudah tahu pasanganmu?”

“Pria tua sudah bercerita sebelum bertemu denganmu” Ha.

“Ada yang salah?” Ha.

“Sepertinya salah”...

“Salah dimana?” Ha.

“Usil” balasku.

“Entahlah” Ha.

“Apa yang kau sukai dariku?”

“Suka begitu saja tanpa sebab” Ha.

“What?”

“Tidak cantik, tapi seperti ada yang menarik hingga suka begitu saja” Ha.

“Dasar” berkata-kata terhadapnya.

“Kebetulan wajahku sangat cocok buat perbaiki keturunan, jadi...” Ha.

“Jadi apa?”

“Rainy harus terus belajar melihat ke arahku, bukan orang lain terlebih masa lalumu” Ha.

Pertama kalinya, dia menyebut namaku. Apa dia memiliki niat jahat di balik pernyataannya? Apa saya harus percaya? Apa ini ketulusan seorang Ha?

Kenapa suasananya terasa canggung begini? Lorong kecil menjadi saksi bisu kisah hidup seorang Rainy. Di luar bayangan, dua kaki sedang berjalan di tempat tidak terduga sama sekali.

“Rainy hanya perlu mencoba menatap ke arahku” Ha.

“Tidak perlu seutuhnya” Ha.

“Setahap demi setahap tanpa harus menjadi beban buat hidupmu” sekali lagi dia berkata-kata dengan wajah serius di depanku.

Menyukai tanpa sebab? Apa dia gila? Saya pikir dia akan balas dendam, justru sebaliknya mengungkapkan perasaan. Apa dia bisa menerima semua kekuranganku?

“Saya punya kekurangan” kalimatku seketika.

“Kekuranganmu apa?” Ha.

“Suka permainan uang-uangan dan bongkar pasang, nonton kartun, pokoknya karakterku kekanakan” jawabanku.

“Menuntut pacar pertama harus berkualitas, ternyata karaktermu juga kekanakan” Ha.

“Pernyataanmu terdengar menyakitkan” berujar seketika.

“Saya terima apa pun kekuranganmu, puas?” Ha.

“Dan saya akan buktikan kalau sosok sepertiku melebihi kualitas terbaik bukan sampah jalanan” Ha.

“Dari mana kau tahu?”

“Pria tua memberitahuku cerita tentang kualitas dan sampah jalanan” Ha.

Mimpi apa saya semalam? Harrel Liam sedang serius dengan ucapannya. Gadis usia 19 tahun berdiri tanpa berkutik di depan seorang pria.

“Apa saya harus percaya ucapanmu?”

“Tentu saja” Ha.

“Kenapa?”

“Pacar pertamamu bukan sosok kaleng-kaleng terlebih sampah jalanan” Ha.

“Saya ingin bukti” kalimatku.

“Akan saya buktikan” Ha.

Dia benar-benar berjuang membuktikan kualitas di dalam dirinya. Alur cerita Rainy sedang berkata lain. Duduk merenung membayangkan sosok seorang Ha.

“Apa yang sedang kau pikirkan?” se0erti biasa suara pria tua menggelegar.

“Entahlah” jawaban lemas dariku.

“Sekedar informasi saja” pria tua.

“Silahkan anda menjelaskan informasi tersebut!”

“Kau dan Ha tidak akan bertemu sampai batas waktu yang belum ditentukan” pria tua.

“Maksud ucapan anda?”

“Kalian berdua harus melewati proses panjang terlebih dahulu sebelum menjadi patner kerja sempurna ke depan” pria tua.

“Artinya?”

“Kau tidak akan lagi melihat dirinya” pria tua.

“Perbaikan kota rusak tidak semudah membalikkan telapak tangan, sehingga proses panjang akan membungkus kalian dengan batas waktu yang belum bisa ditentukan” pria tua.

“Apa says bisa melewati proses seperti pemikiranmu?”

“Kalau bisa melihat lorong kecil, artinya proses seperti apa pun pasti bisa dilewati olehmu” pria tua.

“Proses seperti apa?”

“Menurutmu?” pria tua.

“Apa kau seorang malaikat yang selalu menyamar dengan suara seperti pria tua?”

“Menurutmu?” pria tua.

“Entahlah” jawaban buatnya.

“Apa saya bisa mengucapkan salam perpisahan terhadapnya?” melempar pertanyaan kembali.

“Dia ada di depan pintu” pria tua.

“Kenapa dia tidak langsung masuk?”

“Memurutmu?” pria tua.

“Entahlah” memberi jawaban.

“Buka pintu di depanmu!” pria tua.

Dua kakiku segera berjalan menuju sebuah pintu. Lorong kecil dan rumah sederhana menjadi saksi sebuah petualangan. Apa ini yang dikatakan seni di sudut persimpangan? Cerita itu sepertinya mengudara pada satu alur jalan setapak.

“Kau dan saya tidak akan bertemu lagi” kalimat pertama setelah pintu terbuka.

“Saya sudah lama tahu” Ha.

“Kenapa kau tidak bilang?” terkejut seketika.

“Kenapa kau bisa tahu?” terus saja menyerang dirinya dengan pertanyaan.

“Pria tua memberitahu jauh-jauh hari sebelumnya” Ha.

“Sejak kapan?”

“Dalam surat perjanjian dikatakan akan melewati proses terlebih dahulu” Ha.

“Letak kalimat penjelasan kita berdua dimana?”

“Di point ke 99 menyatakan kalau antara kau dan saya tidak bertemu selama beberapa saat sebagai salah satu proses panjang persiapan ke depan” Ha.

“Point surat perjanjianmu ternyata kelewat banyak, sedang saya hanya 1 point” menggeleng-geleng kepala.

“Mari kita jalani proses masing-masing sampai waktu itu tiba!” Ha.

“Apa kota rusak di depan mata begitu berharga?”

“Kota-kota rusak memiliki sesuatu yang sulit dijelaskan, sehingga membutuhkan proses luar biasa di dalamnya” Ha.

“Kenapa kau mau menyetujui surat perjanjian dari pria tua?”

“Saya tidak punya alasan tepat, hanya saja entah kenapa dua kakiku tiba-tiba saja ingin berjalan kesana tanpa alasan” Ha.

“Pernyataan bodoh” menatap dirinya.

“Mari kita jalani petualangan di depan tanpa melemparkan pertanyaan lagi!” Ha.

Cerita hidup mencoba menjabarkan dirinya dengan sisi alur permainan musik di sudut jalan setapak. Apa dua kaki ingin menanggapi respon permainan musik tadi? Lorong kecil selalu saja menyatakan memori tanpa batas di tempat paling sunyi.

“Apa saya mulai menyukai sesuatu dalam dirinya?” suara hati bergema di tempatnya.

“Apa dia memang memiliki sisi menarik hingga membuat hidupku sendiri tidak mungkin bisa lepas?” pertanyaan kembali mengudara.

Pacar pertama sekaligus dinyatakan sebagai pasangan kelak sedang menyatakan dirinya di sekitar lorong kecil.  Apa yang sedang dibaca olehnya sekarang seolah terlihat santai saja menanggapi proses hidup di depan. Anak orang kaya ternyata tidak selamanya memiliki kehidupan bodoh menurut pemikiranku. Kenapa saya katakan bodoh? Angkuh, merasa hebat, manja, hanya mengandalkan uang, dan masih banyak lagi...

 

 

 

Bagian 10...

 

FLASHBACK...

 

Tidak pernah kusangka sekian tahun telah berlalu setelah peristiwa tersebut. Cerita hidupku sedang berkata lain. Di satu sisi, saya sadar tentang proses hidup menuju sebuah persiapan matang. Akan tetapi, di sisi lain esanya terlalu menusuk hingga ke sumsum tulang belakang. Terakhir kali, mendengar suara pria tua ketika melewati lorong kecil. Saya tidak lagi bertemu dengan Ha eejak hari dimana kami berdua dinyatakan harus melalui sebuah proses panjang.

Andaikan menjadi saya, apa yang akan dilakukan oleh kalian? Ada begitu banyak masalah demi masalah silih berganti membelenggu hidup tanpa jedah iklan. Saya ingin berjalan di tempat dengan cerita baru di dalamnya. Akan tetapi, dua kaki seolah terbelenggu kuat di sekitar lorong kecil di masa lampau.

Berawal dari lorong kecil, kemudian semua berubah oleh sebuah objek. Apa kota rusak itu sebegitu menakutkan? Surat perjanjian itu membuatku tidak dapat berkutik atau bergerak sama sekali. Saya harus berjalan melewati proses dari tahun ke tahun hingga detik sekarang.

Terkadang saya terjebak oleh sebuah situasi. Tanpa sadar, air mataku mengalir begitu saja. Di tempat lain, saya harus mempelajari banyaknya situasi di tiap kota. Mengerti makna dibalik sebuah kata.

Entah kenapa, sisi emosionalku tidak terkendali di satu titik tertentu. “Kenapa saya melawan dengan cara seperti ini?” merenung di dalam kamar.

Dulu, saya selalu merutuki diri dalam hati. Kenapa saya terlalu lemah dan tidak pernah bisa melawan? Ingatan masa lalu mengudara begitu saja.

Sekarang, semua berbeda dari tahun ke tahun. Saya kembali merutuki diri dalam hati bukan karena terlihat lemah dan tidak bisa melawan. Kenapa saya berbicara sambil melawan? Seharusnya saya harus diam seribu bahasa tanpa berkata-kata, bahkan harus bersikap cuek apa pun yang terjadi. Seharusnya kehidupanku harus terlihat lebih tenang terhadap apa pun juga, namun di luar kendali spontanitas melayang luar biasa.

“Sebenarnya, saya maunya apa?” menarik napas panjang.

Pria tua menekankan kehidupanku untuk tetap mengikuti alur proses hidup. Melakukan perbaikan di kota-kota rusak di depan sana membutuhkan pemikiran bersama pembentukan dengan kualitas tersendiri.

Saya terikat dengan surat perjanjian sehingga dua kaki harus berjalan sesuai rencana, suka ataupun tidak. Ini bukan tentang popularitas, melainkan lebih ke arah pemikiran matang tentang banyaknya hal yang akan terjadi.

Antara saya dan Ha harus memiliki tingkat kualitas dengan alur proses luar biasa. Saya hampir benar-benar terjebak oleh sesuatu hal. Seiring berjalannya waktu, dunia media sosial semakin berkembang. Akun aplikasi bertebaran di dunia maya. Pertanyaan pertama hubungan dengan kata sebelumnya dimana?

Saya berpikir kalau hubunganku dengan Ha sepertinya tidak pernah bisa dilanjutkan lagi. Proses luar biasa membuat saya ragu tentang kehadiran dirinya. Semua orang akan berkata kalau sosok Rainy memang sedang mengalami gangguan jiwa berat.

Apa yang terjadi setelahnya? Saya merasa tertantang untuk sedikit menggoda beberapa orang di dunia media sosial. Sekedar penasaran saja, seperti apa sih rasanya menggoda seorang pria? Selama ini kehidupanku terlalu kaku tentang objek seperti ini. Saya ingin menyatakan kebebasan pula di tempat lain.

Di tempat lain, rasa penasaran tentang pemikiran orang luar itu seperti apa kalau dipancing? Apa karakter mereka jauh lebih buruk? Ataukah mereka menyimpan sesuatu hal yang cukup menarik?

Singkat cerita, terjadilah beberapa akar permasalahan. Kesalahan saya adalah melemparkan bahasa ejekan atau penekanan luar biasa hingga menimbulkan masalah.

“Ternyata bangsa A seperti ini yah?” pertanyaan di dalam sana.

“Karakter si’C kebanyakan sedang berjalan keluar dari sudut tertentu”...

“Pemikiran mereka ketika bergaul memang sesuai dengan situasi di sana” ...

Ada banyak pernyataan-pernyataan mengudara tanpa bisa diungkapkan melalui kata-kata.  Terkadang, saya hanya menghibur diriku sendiri melalui cara menggoda atau mengejek mereka.

Reaksi mereka seperti apa? Ada yang marah hingga memblokir, tetapi untuk berjaga-jaga terhadap situasi pada akhirnya saya sengaja bermain satu objek. Dia harusnya berterima kasih atas kelakuan gilaku. Kenapa bisa? Karena perbuatanku, akhirnya salah satu dari mereka berpacaran dengan wanita yang disukai olehnya.

Pada akhirnya, saya bertobat karena sebuah peristiwa. Terjadi perselisihan antara sekelompok sahabat akibat kelakuan gilaku. Saya tidak bermaksud merusak persahabatan siapapun. Kenapa saya bisa tahu? Salah seorang berkomentar tentang kehadiran seorang wanita hingga terjadi perselisihan di antara para sahabat. Terlebih salah satu personil mereka menekankan kata sahabat berulang kali seolah menyatakan keretakan luar biasa.

Saya tidak lagi melakukan tindakan bodoh di dunia media sosial sejak saat itu. Sebenarnya, kehidupanku merasa tertantang untuk merubah kepribadian bangsa luar karena pergaulan mereka terlihat buruk sehingga sedikit bermain dengan mereka. Tanpa sadar, ternyata selama ini saya sombong dan merasa paling suci bahkan selalu saja menjadi hakim buat mereka. Cara yang kulakukan salah selama ini. Dunia medsos dan realita hidup memang memiliki perbedaan cukup besar dari segi manapun.

Hal lebih kacau lagi adalah mengejek beberapa tokoh tertentu yang menurut pandanganku sangat memuakkan. Pada akhirnya, saya sadar dunia media sosial memiliki tantangannya tersendiri. Dan caraku pada dasarnya memang salah kalau dipikir-pikir lagi. Pertanyaan sekarang, memang siapa yang mau pikir-pikir lagi?

“Karakter keras dalam hidupku memang tidak bisa terlepas oleh apa pun juga” menarik napas panjang.

“Pria tua, sampai kapan saya menjalani kehidupan pedis seperti ini?” bahasa-bahasa keluhan terkadang mengudara ketika rasa lelah terus saja membungkus.

Ada begitu banyak masalah melingkar tanpa jedah iklan. Saya tidak dapat berkeluh kesah terhadap siapapun termasuk orang terdekatku. Di mata orang banyak termasuk keluargaku menyatakan kalau hidup aman-aman saja. Saya hanyalah manusia sensitif sehingga ucapan apa pun begitu mudahnya dikeluarkan oleh mereka semua.

Pada dasarnya surat perjanjian memang menekankan harga luar biasa yang harus dibayar mahal sebelum berjalan ke depan. Saya tidak dapat menjelaskan jenis-jenis proses masalah hidup disini. Intinya kelewat menyesakkan bahkan terlalu sulit diungkapkan.

Saya paling benci kalau di tempat ibadah, lagu ingin menantang Tuhan dinyanyikan dengan penuh semangat oleh para pelayan di depan. Lagu-lagu apa saja?

“Selidiki hidupku, Tuhan” salah satu lirik lagu pada unumnya.

“Bentuklah hidupku, Tuhan”...

“Berapapun harga, akan kubayar, Tuhan” lirikan lainnya.

Dan masih terdapat beberapa lagi jenis lirik lagu ingin menantang Sang Pencipta. “Kalian belum tahu saja rasanya gimana” berujar dalam hati.

“Sombong amat menyanyi” mengejek mereka di dalam sana.

“Baru juga tangan kena silet sedikit atau apalah itu, sudah bilang banyaknya masalahku, Tuhan” sekali lagi memberi ejekan luar biasa.

“Apa salah dan dosaku?”

Saya Cuma mau bilang satu hal, jangan pernah menantang Tuhan melalui sebuah lagu! Kenapa bisa? Tidak dinyanyikan juga, proses hidup akan berjalan terlebih kalau menantang seperti ini. Tentu proses nya juga dua kali lipat lebih parah. Memangnya saya tidak tahu karakter-karakter kacau di luar tempat ibadah?

“Baru patah hati sedikit, sudah mau bunuh diri, ini yang dikatakan bentuklah aku, Tuhan?” menggeleng-geleng kepala.

Ada satu lagi bahasa yang paling kubenci biasa di utarakan di tempat ibadah. Terdengar biasa, hanya saja saya sebagai pendengar sedikit risih. Bukan menghakimi, namun enthalah...

“Teladanilah saya untuk yang satu ini” pernyataan terkacau.

“Teladanilah saya...”

“Teladani saya...”

Masing-masing individu memiliki karakter tersendiri ketika berkata-kata. Memang betul apa yang dilakukan orang itu dalam tahap lurus, hanya saja kalimat seperti ini tidak wajar untuk dikeluarkan. Saya seorang yang memiliki karakter diam seribu bahasa di tempat ibadah menjadi gempar seketika tanpa sadar di dalam hati. Apa kalimat ini tidak mencerminkan kata aku atau bagaimana?

“Mari kita berkata-kata dengan bijak dan pada tempatnya!” sesuatu berteriak di dalam sana.

Perjalanan hidup mengarjarkan banyak objek di sudut persimpangan. Jangan pernah bertanya ke arahku tentang proses hidup? Rasanya memang seperti ulekan cabe rawit berkilo-kilo dengan sesuatu yang wow...

“Makanya, saya tidak pernah mau menyanyi bentuklah hidupku, Tuhan dengan rasa paling bangga” bergumam pelan sambil membayangkan banyak hal.

Bayar harga mencapai sesuatu, rasanya sangat menyakitkan luar biasa sekaligus menakutkan di sudut persimpangan. Tidak bayar harga dengan cara langsung mendapat semuanya memakai sistem serba lurus, kehidupan juga masuk jurang. Serba salah untuk berkata-kata. Jauh lebih baik diam seribu bahasa...

Apa pekerjaanku sekarang? Masih menjadi kuli serabutan di sebuah perkotaan kecil. Kenapa bisa? Inilah pernyataan dari pria tua tentang proses panjang. Sampai detik sekarang, saya belum dipertemukan dengan Ha. Semua berujung pada kata proses hidup berkepanjangan.

Semua orang bisa saja menjadi hakim atas hidupku. Andaikan bercerita artinya cari penyakit. Perlu mengoreksi diri merupakan bahasa paling umum yang akan keluar. Saya terkena gangguan jiwa berat part 2 juga menjadi kalimat paling mematikan berikutnya.

“Saya sendiri bingung dengan hidupku” berkata-kata di dalam kamarku.

Sudut persimpangan menyatakan banyaknya objek hidup. Lorong kecil seolah membelenggu kuat dua kaki untuk berjalan di sudut persimpangan tadi. Tarian irama kehidupan meluapkan variasi misterius di dalamnya.

Satu hal lagi yang ingin kuceritakan dalam bentuk narasi. “Tuhan, maaf kalau saya selalu saja mengeluh” isi doaku terhadap Sang Pencipta.

Saya memiliki papa dengan kepribadian sedikit berbeda dari orang tua lainnya. Wajah tua papa membuat saya sadar kalau semua orang akan melewati masa tua. Apa hal paling kutakutkan sejak usiaku masih terlalu dini? Papa diambil Tuhan.

Sekalipun cara papa mengajar  memakai bahasa silent treatment, akan tetapi hidupku pada dasarnya tidak kekurangan kasih sayang sama sekali. Rasa cinta seorang anak untuk ayahnya tertanam jauh di dasar sana.

Tidak pernah kusangka, kalau Tuhan mengambil mama lebih dahulu. Hati saya terlalu hancur untuk menerima situasi pahit di depan mata. Saya terlihat tersenyum terus-menerus bahkan tertawa seolah tidak memperlihatkan kesedihan di hari kematian mama. Semua orang berkata, kalau saya sudah gila. Entahlah...

Kenyataannya, memang kondisi psikologis seorang Rainy sepertinya berada di sebuah situasi dengan diagnosa kejiwaan menurut pemikiran orang banyak. Kenapa Tuhan mengambil mama? Saya belum bisa memberikan yang terbaik, bahkan situasi-situasi tertentu membuat hatinya menangis.

Seiring berjalannya waktu, saya jadi sadar kalau selama ini kehidupanku terus saja mengekor di belakangnya. Saya benci jadi anak mama, justru sebaliknya yang terjadi dalam hidupku berkata lain tanpa sadar. Saya seorang anak mama yang selalu saja menempel kemanapun dua kakiku berjalan. Seolah Tuhan ingin membuat kisahku berbeda dan harus mandiri di tempat tidak terduga. Kemungkinan besar, kehidupanku tidak akan dapat membuat keputusan besar andaikan dua kaki terus saja mengekor di belakang mama. Sementara di tempat lain, sosok Rainy harus menjalani sebuah petualangan cukup menakutkan kalau dipikir-pikir lagi tanpa seorangpun pernah tahu termasuk anggota keluargaku sendiri. Saya seorang yang tidak suka memberitahu rahasia terbesar terhadap orang di sekitarku termasuk anggota keluarga sendiri. Jauh lebih baik diam seribu bahasa dibanding bercerita tentang sesuatu.

Kisah menyayat hati terulang kembali di masa sekarang. Papa di diagnosa kanker ganas pada masa tuanya. Sebenarnya, papa sudah lama diambil Tuhan, hanya saja, saya terus berdoa agar dirinya tetap bertahan di dunia. Apa sekali ini Tuhan mendengar doaku? Saya cuman ingin papa bertahan hidup sekali lagi sampai melihat anaknya yang satu ini menikah.

Papa tidak pernah menuntut saya harus menikah dengan siapapun. Dan papa juga tidak pernah menyerang saya, kenapa tidak menikah. Hanya saja, suara hatiku berkata kalau saya pasti akan menikah suatu hari kelak. Saya ingin papa hadir pada saat itu sambil tersenyum dengan bangga.

Memang betul semua orang akan berada di ambang kematian. Saya tahu betul kalau semua orang akan kembali ke tanah bagaimanapun mereka berjuang hidup, bahkan sekalipun para ilmuwan berusaha menemukan obat kehidupan abadi. Kodrat manusia adalah akan tetap kembali ke tanah, entah itu cepat atau lambat.

Tuhan, untuk sekali lagi saya siap kalau papa pergi. Hanya saja, setidaknya papa melihat saya menikah sebelum pergi selamanya. Bukan keinginanku menjalani petualangan seperti ini hingga semua orang memberi hinaan demi hinaan ke arahku. Tuhan, biarkan papa bertahan sekali lagi sampai waktu itu datang.

 Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.

“Rainy, apa yang sedang dipikirkan olehmu?” seorang teman tiba-tiba saja duduk di sampingku.

“Sedikit melamun tentang hidup” membalas ucapannya.

“Zea, apa saya boleh bertanya sesuatu?” melemparkan pertanyaan seketika.

Zea seorang teman di tempat kerja serabutan. Kami berdua biasa duduk menikmati udara segar di belakang pabrik tempat kerja. Terdapat sebuah pohon besar untuk berteduh dari sinar terik matahari.

“Tentang?” Zea.

“Defenisi hidup” ujarku.

“Defenisi hidup?” Zea.

“Menurutmu, defenisi hidup itu seperti apa?”

“Sulit dijabarkan” Zea.

“Kenapa bisa?”

“Kalau saya bilang defenisi hidup itu seperti nano-nano” Zea.

“Seperti apa?”

“Seperti nano-nano” Zea.

“Nano-nano?” tertawa mendengar ucapannya.

“Manis, asam, asin, pedis ramai rasanya” Zea.

“Pujangga sekali” sedikit meledek.

“Lantas, menurutmu?” Zea balik bertanya.

“Karena saya juga pusing, makanya bertanya” jawabanku seketika.

“Kau benar-benar kacau” Zea.

“Menurutmu, apa saya manusia paling terkacau?”

“Tidak juga” Zea.

“Lantas?”

“Hanya sedikit kacau” Zea.

“Sedikit? Tidak di atas rata-rata?”

“Tunggu, saya pikir-pikir dulu” Zea.

“Jawaban apaan ini?”

 

11. Rantai belenggu itu sepertinya terlalu kuat...

 

Percakapan dua orang sedang terjadi. Ingin mencari defenisi hidup berakhir tertawa di ujung  cerita. Pernyataan seperti apa yang kuinginkan? Entahlah...

Mencari defenisi hidip? Lorong kecil berkata tentang alur cerita harus berkalan melalui proses hidup. Seperti apa sudut persimpangam tanpa defenisi kata tadi? Lorong kecil, kemapa kau selalu saja mengekor tanpa batas waktu di sudut persimpangan?

“Apa kau ingin jalan bersama denganku?” Zea melemparkan pertanyaan setelah kami berdua meningglakan pabrik.

“Kemana?”

“Kemana saja” Zea..

“Mencari angin segar di peguningan” Zea.

“Ini sudah sore” menanggapi kalimatnya.

“Besok tanggal merah, mari kita habislan waktu liburan di pumcak gunung!”  Zea.

“Memangnya di sini ada gunung?”

“Tenang saja, saya memiliki tempat terbaik” Zea.

Saya baru tahu kalau ada gunung cukup bagus di tempat seperti ini. Zea membawaku ke sebuah puncak gunung untuk menghabiskan liburan di tempat tersebut. Puncak gunungnya terlihat indah bersama kicauan burung beterbamgan kian kemari.

Butuh perjuangan untuk bisa berada di tempat seperti ini. Moment yang tidak akan saya lupakam. Bagaimana saya akan berjalam?

“Kenapa kau bertanya tentang defenisi hidup ke saya” Zea.

“Saya sendiri sulit menjelaskan” berkata-kata.

“Kalau boleh jujur, saya juga kesulitan mencari defenisi hidup” Zea.

“Dua kakiku sepertinya terus saja berjalan sambil merangkak tanpa jedah iklan” memulai sebuah cerita.

Saya berada di sebuah lorong hidup dengan proses cukup menakutkan. Terkadang, saya ingin bercerita terhadap seseorang tentang hidupku. Sesuatu menahan dua kakiku untuk tidak bercerita. Berusaha menutupi sesuatu yang ingin meledak di dalam sana memakai topeng senyuman.

Lorong kecil itu membuatku terjebak dengan segala jemis proses di dalamnya. Sesuatu objek lebih menyakitkan lagi adalah ketika orang terdekat terlihat mengecewakan. Begitu banyaknya tekanan hidup, namun orang terdekat sendiri semakim menekan seolah alur cerita tidak pernah mengalami penderitaan. Hanya terus-terusan melemparkan pemikiran negatif.

“Saya memiliki seorang adik yang tidak pernah ingin bercerita terhadap siapapun tentang masalahnya” Zea duduk manis di sampingku.

“Lamtas?”

“Dia pergi dengan cara tidak wajar” Zea.

“Kenapa?”

“Dia menghabisi nyawanya sendiri tanpa seorangpun pernah tahu beban hidupnya” Zea.

“Hal terbodohnya lagi adalah kami sebagai anggota keluarga tidak pernah ingin tahu hidupnya seperti apa” Zea.

“Tidak pernah ingin tahu” bahasa dengan banyaknya sayatan di dalamnya.

“Ketika dia mengalami tekanan dari luar, seolah kami menjadi manusia paling egois untuk dirinya” Zea.

“Maksud ucapanmu?”

“Selalu saja menjadi hakim, bahkan semakin menekan hidupnya” Zea.

“Lantas?”

“Hal terbodohnya lagi adalah kami sebagai keluarga sulit untuk menjadi sahabatnya”  Zea.

“Terus saja menekan tanpa henti” Zea.

Penyesalan terbesar dari seorang Zea. Sesuatu yang sudah hilang tidak akan bisa kembali. Waktu tidak bisa diputar kembali.

“Hingga akhirnya saya menyadari kesalahan terbesarku” Zea.

“Kesalahan terbesar?”

“Ketika saya sedang mengalami kesulitan hidup, dia tidak menekan bahkan diam, bahkan berusaha mencari sesuatu yang bisa mengalihkan hidupku” Zea.

“Ketika saya melakukan banyak kesalahan hingga terjadi beberapa deretan peristiwa, sekali lagi dia tidak pernah menjadi hakim buatku” Zea.

“Tidak pernah menjadi hakim” pernyataan sedikit berbeda.

“Tidak menyalahkan atas semua yang sudah terjadi” Zea.

“Lantas?”

“Semua sudah terjadi, jadi, ya sudahlah, ucapan darinya” Zea.

“Sesuatu” berujar terhadapnya.

“Menghilangkan beberapa benda berharga milik keluarga, namun, dia hanya berkata semua sudah terjadi” Zea.

“Apa keluarga lain tahu?”

“Dia tidak pernah bercerita ke siapapun terlebih anggota keluarga” Zea.

“Bagaimana selanjutnya?”

“Dia tidak pernah menyerang dengan bahasa aneh-aneh ketika saya jatuh dalam tipuan beberapa oknum karena kesalahanku sendiri hingga mengalami kerugian cukup besar” Zea.

“Kesalahan” berkata-kata.

“Dia tidak ingin mengungkit masalahku dengan menjadi hakim. Semua sudah terjadi, mau di apa? Ucapannya” Zea.

“Hal terbodoh adalah saya tidak mau tahu tentang dirinya dengan segala tekanan hidupnya, bahkan kami berperan sebagai hakim sekaligus penyerang dengan akhir tragis” Zea.

“Akhir tragis”...

“Dia tidak mampu menghadapi tekanan orang banyak, bahkan keluarganya sendiri semakin menekan hingga akhir cerita melenyapkan nyawa sendiri”  Zea.

Apa ini yang dikatakan hidup? Seseorang dengan penyesalan terbesar di ujung cerita persimpangan. Kenapa tarian permainan hidup di sudut persimpangan itu terus saja bermain tanpa henti? Hai jiwa, apa kau lelah dengan semua alur cerita di sana?

“Waktu tidak akan pernah bisa kembali bagaimanapun keadaannya” Zea.

“Penyesalan selalu datang terlambat” berkata-kata tanpa sadar.

“Tetaplah kuat apa pun masalahmu” Zea.

“Sepertinya kau sedang berjuang menjadi sahabat?”

“Entahlah” Zea.

Kesalahan terbesar dengan waktu yang tidak mungkin akan berputar kembali. Jangan pernah menjadi hakim bagi orang terdekatmu ketika dirinya mengalami keterpurukan sekalipun karena kesalahan yang dilakukan olehnya sendiri. Jadilah pendekap terbaik sekalipun semua orang melemparkan tatapan sinis ke arahnya? Suatu hari kelak, dirimu akan menyesali apa yang sudah terjadi.

Kehidupanku terjebak dalam proses setelah melewati lorong kecil itu. Apa saya akan selamanya terjebak di sana? Apa saya akan keluar sebagai pemenang? Justru sebaliknya hidupku dinyatakan sebagai seseorang yang pada akhirnya tidak akan pernah berjalan ke garis finish alias kalah total di sekitar arena pertandingan?

Berjalan melewati proses rasanya sangat-sangat sakit. Seorangpun tidak pernah ingin tahu cerita hidup yang sedang bermain. Segala arah berjuang keras menusuk, mencabik, menikam, melemparkan bebatuan dimulai terkecil hingga terbesar. Apa ini yang dinamakan hidup?

“Tidak berjalan melewati objek-objek tadi berujung maut untuk diri sendiri” menarik napas panjang.

“Hidup selalu serba salah di ujung sudut persimpangan” sekali lagi berkata-kata sambil menatap bintang timur di atas sana.

Perjalanan waktu terus saja berputar. Menjalani rutinitas seperti biasa sedang kulakukan. Saya sedang berjuang untuk mencoba tetap berjalan di sudut persimpangan seorang diri apa pun yang sedang terjadi. Hai jiwa, mengapa duniamu terlalu rapuh bahkan terus saja menangis di dalam sana? Apa kau akan tetap diam membisu oleh segala jenis permainan hidup?

Rantai belenggu itu sepertinya terlalu kuat hingga dua kaki jatuh tidak berdaya. Apa dua kakimu ingin tetap berjalan atau berlalu di ujung sudut jalan itu? Nyanyian tarian sukacita dari permainan hidup selalu saja berkumandang hebat begitu kuat.

“Apa kau memiliki pasangan?” tiba-tiba saja seorang Zea melemparkan sebuah pertanyaan ketika kami berdua menikmati makan siang.

“Pacar?”

“Iya, seorang pacar” penekanan Zea.

“Entahlah”

“Kenapa jadi entahlah?” Zea.

Saya sepertimya tidak bisa lepas dari dirinya. Lorong kecil membuat hidup  Rainy akan tetap terikat dengan sebuah objek. Sesuatu yang terluka tiba-tiba saja terasa di suatu area di dalam sana ketika saya mencoba memikirkan wajah pria lain. Apa tanda tangan surat perjanjian itu akan membuatku selamanya menjalani hidup aneh?

Dia bisa merasakan kalau seorang pria sedang berjalan ke arahku hingga suasana hatiku sedikit kacau. Lorong kecil menyatakan ikatan antara Rainy dan Ha harus tetap berjalan. Lantas, sampai kapan saya harus berjalan di sekitar loring kecil?

“Apa kau tidak sadar beberapa pria sepertinya ingin berdiri di sampingmu?” Zea.

“Entahlah” memabalas ucapannya.

“Apa kau tidak sadar mereka ingin kau membalas senyuman yang sedang dilempar ke arahmu?” Zea.

“Saya sedang terjebak” kalimatku.

“Terjebak?”

“Sesuatu hal terjadi dalam diriku, sedang saya sendiri tidak mengerti kisahku akan berjalan kemana?”

“Kisah? Berjalan kemana?” Zea.

“Sulit dijelaskan” kalimatku lagi.

“Menurutmu, apa sesulit itu menjelaskan?” Zea.

“Entahlah” menarik napas panjang.

Saya sendiri ingin berteriak di sudut persimpangan, hanya saja sesuatu menahan diriku. Sebuah proses panjang harus dijalani antara satu dengan lainnya menyatakan hidup seolah terombamg-ambing. Bercerita juga membuat hidupku terlihat seperti manusia kebingungan.

“Bagaimama kabar manusia itu?” bertanya-tanya dalam hati.

“Apa kau memiliki pasangan?” balik melemparkan pertanyaan.

“Lagi bergumul” Zea spontan menjawab.

“Sampai segitunya” tertawa seketika.

“Menurutmu?” Zea.

“Entahlah” menjawabnya.

“Kenapa jawaban Rainy selalu entahlah dan entahlah?” Zea.

“No comment” membalas ucapan Zea.

“Menurutmu cara mendapat pasangan?” Zea.

“Maksud ucapanmu?”

“Bagaimana cara biar cowok mudah diraih?” Zea.

“Tinggal menggatal saja” ucapan spontan keluar begitu saja.

“Menggatal?” Zea.

“Semua orang berkata kalau mau cepat dapat pasangan, ya tinggal menggatal”  berkata-kata.

“Apa kau sudah gila?” Zea.

“Menurutmu?”

“Saya juga tidak tahu jawabannya” Zea.

“Media sosial zaman sekarang berkata kalau seseorang harus menggatal biar dapat pasangan” berbicara lagi.

“Apa saya yang tidak waras, atau kau memang berada di fase sudah tidak waras?” Zea.

“Entahlah”  menanggpai ucapannya.

“Sesuatu” Zea.

“Sesuatu pakai banget” kalimatku.

“Bagaimana cara menggatal?” Zea.

“Aku juga tak tahu jawabnya gimana?”

“Ko gitu?” Zea.

“Aku juga tak tahu jawabnya gimana” berkata-kata lagi.

“Saya serius” Zea.

“Saya juga tidak mengerti bahasa menggatal itu seperti apa?” ...

“Lantas, kenapa berani berucap harus menggatal?” Zea.

“Cuma ikut trend saja” ujarku.

“Kau memang tidak waras” Zea.

“Ajarkan saya cara menggatal!” Zea.

“Mana saya tahu, memangnya saya punya pengalaman?”

“Siapa tahu saja” Zea.

 

Bagian 12...

 

“Cuma ikut trend” kalimatku. Dialog percakapam antara saya dan Zea dengan judul; “Ingin mencari tahu cara menggatal”. Kami berdua sama-sama tertawa  membayangkan objek kata tadi.

Saya saja Cuma sedikit penasaran saja tentang ingin menggoda pria sehingga sedikit usil di dunia media sosial. Kalau di dunia nyata, saya mana berani. Bisa-bisa pria itu berjalan langsung ke rumah buat lamaran. Kenapa bisa? Perasaanku berkata seperti itu. Permasalahannya antara saya dan Ha terikat surat perjanjian karena sebuah lorong kecil. Apa saya terlalu ggg’rrrrr? Entahlah. Lagian keusilanku di media sosial hanya masa lalu semata dan sekarang saya sudah bertobat total karena ketakutan.

“Apa kau pernah merasa kesepian?” tiba-tiba saja Zea melempar sebuah pertanyaan.

“Kesepian?”

“Bohong kalau saya katakan, tidak pernah sama sekali” pernyataan terjujur dariku.

“Sangat jujur” Zea.

Di dalam diri seseorang terdapat sebuah ruang yang memang sulit dijelaskan. Terkadang untuk mengisi ruang tersebut, seseorang menjalani sebuah hidup dengan penyimpangan cukup menakutkan. Saya tidak lagi berceramah tentang ruang tersebut, hanya saja sekedar curhat saja.

“Saya memiliki adik dengan karakter berbeda dariku” memulai sebuah cerita terhadap Zea.

“Kau memiliki Adik?” Zea.

“Adikku malahan banyak” ujarku.

“Terus?” Zea.

Adik pertamaku memiliki karakter ambivert, dimana dirinya dapat berbaur dengan keramaian dan kesunyian. Adik keduaku memiliki karakter  ekstrovert yang selalu senang keramaian, tetapi tidak segitu gilanya juga sih. Dua adikku yang lain masih tanda tanya buatku masalah karakter mereka. Walaupun kami sering bertengkar ketika masih kecil, hanya saja semua sudah berubah di usia dewasa.

Kenapa saya tidak ingin menyebut nama-nama keempat adikku? Entahlah, saya sepertinya lagi malas saja.

“Adik keduaku tidak bisa kalau rumah terlihat sunyi sepi, hingga dirinya berusaha mencari keramaian” memulai cerita.

Di dalam ruang kosong dari dirinya berusaha diisi dengan kata keramaian. Dia tidak melakukan penyimpangan seperti kebanyakan orang di luar sana. Hal yang dilakukan olehnya membiarkan orang tinggal di rumahnya biar tidak terkesan sunyi.

Ketika mendengar orang tua kami sakit, hatinya seketika hancur. Kemungkinan karena sebuah rasa kesepian dari ruang kosong tadi. Bagaimana kalau orang tua kami satu-satunya pergi? Tentu semua menjadi sunyi, terlebih pasangannya sendiri bekerja di perantauan orang.

Anak yang tinggal bersama dirinya, kelak akan kembali ke kampung halamannya sendiri setelah sekolahnya berakhir.

Seorang yang ekstrovert akan sangat kesulitan berada di dalam kesunyian. Karakternya sangat berlawanan denganku. Saya menyukai kesunyian. Tidak menjadi masalah buatku untuk tinggal di hutan selama ada laptop. Mual, pusing, kepala sakit selalu menyatu dalam diriku ketika berada di tempat ramai. Entah kenapa, objek kata seperti itu sudah mulai menghilang seiring berjalannya waktu. Saya berdoa, setidaknya kehidupanku sendiri dapat berjalan sebagaimana mestinya karena butuh uang untuk makan.

“Adikku sempat mengamuk keras terhadapku karena permasalahan orang tua kami yang lagi sakit” berkata-kata.

“Kenapa marah?” Zea.

“Saya bekerja di sini, sedang mereka tinggal di kota lain” menuturkan sesuatu.

“Masalahnya dimana?” Zea.

“Dia menuntut saya bersama-sama merawat orang tua, sedang kehidupanku juga harus bekerja” mencoba menjelaskan.

Saya sudah mengambil cuti kerja untuk pulang dan merawat orang tua. Tidak disangka hasil diagnosa lab keluar setelah saya sudah kembali bekerja. Di lain tempat, saya dituntut untuk bekerja. Beberapa teman kerja sepertinya tidak menyukaiku, dan bisa saja menjadi alasan saya tidak akan kembali bekerja kalau mengambil cuti kembali.

Saya tipekal orang yang suka menikmati sesuatu dengan hasil keringat sendiri dan tidak bergantung terhadap orang lain termasuk anggota keluargaku. Lantas, kalau tidak bekerja, apa yang akan terjadi denganku? Menurut pria tua, bahwa kehidupanku harus melewati proses panjang demi persiapan pemulihan kota-kota rusak suatu hari nanti. Saya sendiri tidak tahu waktu itu kapan akan berakhir.

“Saya benar-benar mengalami sebuah dilema sekaligus tekanan dari berbagai arah” berbicara kembali.

“Keputusanmu sendiri?” Zea.

“Memutuskan kembali mengambil cuti sekalipun ada konsekuensi besar di depan” mulai berbicara.

“Pantas saja kau menghilang beberapa lama” Zea.

“Saya terus merenung sepanjang perjalanan ketika pulang” kalimatku.

Kenapa adikku tidak mau mengerti keadaanku? Pekerjaanku membludak disini, lantas? Saya bersusah payah mendapat pekerjaan, tetapi kenapa dia tidak mau mengerti? Di sisi lain, beberapa temanku selalu saja mencari masalah seolah mereka lupa begitu banyak kebaikan dariku buat mereka.

Sepanjang jalan terus berpikir dan berpikir hingga saya sendiri larut dalam perasaan bahkan menangis. Seolah saya dibawah ke sebuah memori yang seketika membuatku sadar sesuatu. Adikku memiliki karakter ekstro yang tidak menyukai suasana sepi. Masalahnya ada dimana?

Andaikan orang tua kami satu-satunya diambil Tuhan, tentu dunianya akan mengalami ruang dengan sebuah ketakutan karena kesepian. Dia juga mungkin lelah, sekaligus pikirannya diteror ketika melihat kondisi tetangga dengan diagnosa penyakit yang sama.

Dia sudah berpikir tentang hidupnya ke depan tanpa sadar. Ada roh ketakutan luar biasa seandainya suasana rumah menjadi hening tanpa penghuni. Bayangkan saja, dirinya berusaha keras agar keponakannya tetap tinggal di rumah biar suasana ramai.

Sesuatu objek emosionalnya diluapkan begitu saja. Saya jadi sadar tentang ruang di dalam sana dari dirinya. Karakterku sangat berlawanan sekalipun komunikasiku terkesan kasar.

Saya menyukai suasana tanpa penghuni, tetapi tidak berarti dalam tanda kutip negatif. Sekalipun hidup di bawah tekanan, hanya saja kata kesepian sepertinya tidak berlaku buatku. Kenapa bisa? Apa saya terlalu sombong? Tidak juga...

Lorong kecil itu menyatakan sebuah objek hidup buatku. Apa saya tidak pernah merasakan kesepian? Tidak juga, bahkan kata tadi terkadang membuatku ketakutan. Ketika rasa ketakutan atau kesepian itu muncul, seolah sesuatu di dalam sana memberi kehangatan. Di lain tempat, saya dan Ha terikat satu sama lain karena sebuah tanda tangan perjanjian.

Sepertinya Ha tahu sesuatu yang muncul di dalam hening. Hal lebih sulit dipercaya lagi adalah dia seolah membungkus ruang hatikù dengan kehangatan. Ruang di dalam sana berteriak kalau saya tidak pernah sendirian. Kami belum dipertemukan karena sebuah proses panjang satu sama lain, tetapi kontrak perjanjian itu menciptakan ikatan yang memang akan saling merasakan di berbagai keadaan.

Dia tahu 100% ketika saya memiliki banyak masalah, bahkan harus hidup dalam tekanan. Orang-orang di sekitarku selalu saja melemparkan pertanyaan, tentang kenapa tidak ingin membuka hati. Inilah jawaban dari pertanyaan tersebut yang sulit untuk saya jelaskan. Rasa kesepian itu tidak lagi berkuasa ataukah membelenggu hidupku dikarenakan ikatan tadi.

Proses panjang membuat saya terpenjara di sekitar padang gurun paling menakutkan. Ini bukan tentang seberapa tinggi IQ ketika menjalani peranan sebagai perpanjangan untuk pemulihan kota-kota rusak. Cerita paling utama bahkan memiliki peranan tertinggi adalah penjabaran proses hidup di dalam objek terlemah. Apakah dua kaki akan berjalan keluar sebagai pemenang atau tidak sama sekali.

“Apa terjadi pertengkaran hebat setelah kau kembali ke rumah?” Zea.

“Saya belajar menahan ego, marah, kecewa hingga menyapa duluan dirinya” menjawab pertanyaan.

“Adikku hanya manusia biasa sama seperti diriku, jadi, saya berusaha berkomunikasi dengan baik hingga keadaan kembali membaik” lanjutan pernyataanku.

“Sesuatu pakai banget” Zea.

Tiap orang tentu memiliki ceritanya masing-masing, begitupun sebaliknya denganku. Kehidupan mengajarkan seseorang untuk belajar tentang berjalan ataukah berlari di suatu tempat. Rainy, jalani hidupmu apa pun keadaan di depan? Memberi semangat terhadap diri sendiri...

“Kau sedang apa?” seorang anak remaja duduk termenung di pimggir jalan kota.

Saya kira anak remaja itu ingin menghabisi nyawa sendiri, ternyata dugaanku salah. “Pilar” terkejut setelah dia berbalik ke arahku.

“Ka’Rainy” Pilar.

“Apa yang sedang kau lakukan?” masih kebingungan melihat tingkah lakunya.

“Saya ingin membalas orang yang sudah mengejekku” Pilar.

Siapa Pilar? Salah satu tetangga kos di kota kecil ini. Kami sering bertegur sapa satu sama lain. Pilar terkadang menjadi penghibur tersendiri di sekitar area kos.

“Memangnya Pilar diejek apa?” sedikit penasaran.

“Hitam dan mirip monyet” Pilar.

Saya tertawa seketika hingga membuatnya terlihat kesal. Apa yang salah dengan ucapan tadi. Kekacauan lain lagi adalah Pilar ingin mengumpulkan warga sekaligus teman sekampungnya buat balas dendam terhadap sang pengejek.

“Kenapa tertawa?” Pilar.

“Wajahmu lucu” ujarku.

“Rasanya sakit di samakan dengan monyet” Pilar.

“Salah satu adikku juga punya julukan yang sama sejak kecil” kalimatku.

“Julukan?” Pilar.

“Dia selalu dipanggil monyet, karena ada sejarahnya sih, tapi selain hal tadi, adikku selalu menggangu  sampai orang yang diganggu emosi” ujarku.

“Emosi?” Pilar.

“Betulan, dan saya selalu menjadi korban karena memang karakterku sedikit sensitif” kalimatku.

“Lantas” Pilar.

“Nama kecilnya monyet bahkan hingga sekarang beberapa orang masih memanggil dia monyet” sedikit tertawa.

“Dia tidak marah? Apa kakak biasa memanggil dia monyet?” Pilar.

“Kalau diperhatikan, dia memganggap biasa saja artinya tidak marah. Saya tidak berani memanggil monyet” ungkapku.

“Berarti kakak tidak pernah mengejek dong monyet” Pilar.

“Memang iya, saya tidak memanggil dia monyet, tetapi beberapa temannya tidak memanggil namanya, melainkan menyebut monyet tiap mencari dirinya” penjelasan buatnya.

“Kenapa kakak bercerita aneh begini?” Pilar.

“Ya maksudku, kalau kau Cuma diejek monyet, nikmati saja anggap saja bahan apaan ya kalau dibilang” keningku sedikit mengkerut.

“Maksud ucapan kakak?” Pilar.

“Anggap saja baham candaan semata” kalimatku.

“Kakak tidak pernah dibuly, jadi, gampang bicara” Pilar.

“Siapa bilang?” ucpaanku spontan.

“Memangnya kakak biasa kena buly juga?” Pilar.

Semenjak saya mengalami peristiwa lorong kecil, sosok Rainy menjadi bahan buly habis-habisan bahkan 3x lipat dari ketika masih di sekolah dulu. Menjadi korban buly memang rasa-rasanya menyakitkan. Mereka yang tidak memiliki mental baja akan jatuh berkepimg-keping karena objek kata tadi.

“Lebih sadis malahan, kalau Pilar Cuma diejek monyet saja, tapi saya semuanya dari diriku dijadikan bahan buly habis-habisan” wajahku terlihat histeris menjelaskan.

“Sesadis itu?” Pilar.

“Iya, sangat sadis” kalimatku.

“Kakak tidak balas dendam atau melawan?” Pilar.

“Saking terbiasanya, saya santai saja” berkata-kata.

“What? Saya saja sudah mau kumpulin teman-teman sekampungku buat balas dendam” Pilar.

“Apa untungnya melakukan kegiatan gila seperti yang kau lakukan sekarang?”

“Biar mereka jerah dan tidak kurang ajar” Pilar.

“Siapa bilang? Justru nama Pilar dan semua orang dari kampungmu rusak di mata semua orang terlebih dunia internasional kalau banyak korban melayang kiri-kanan”  berbicara terhadpanya.

“Maksud ucapan kakak?” Pilar.

“Pilar disebut sebagai provokator, Cuma diejek monyet saja sudah emosional sampai-sampai banyak nyawa bahkan orang-orang yang tidak tahu apa-apa menjafi korban” berucap lagi.

“Memangnya Pilar mau disebut sebagai manusia paling bengis?” Kembali melempar pertanyaan.

“Tidak sama sekali” Pilar.

“Pilar lebih jahat dibanding si’pembuly kalau bertindak sebagai provokator” kalimatku.

“Saya hanya ingin membuat mereka jerah?” Pilar.

“Balas dendam terbaik bagi si’pembuly adalah prestasi, bukan sistem menurut pemikiranmu” mencoba mengajarkan sesuatu.

“Buktikan kalau di dalam diri seorang Pilar memiliki sesuatu objek kelebihan terbaik yang tidak akan pernah dimiliki oleh mereka. Ngerti?” ujarku lagi.

“Memang segampang itu?” Pilar.

“Mengejar prestasi itu jauh lebih berseni kalau alur jalannya bergelombang alias tidak pernah mulus” ujarku.

“Kenapa bisa?” Pilar.

“Mentalmu terbentuk, keangkuhan hidup dihancurkan, kehidupan sendiri belajar mengandalkan Sang Pencipta dalam segala keadaan” mejawab pertanyaannya.

“Mengejar prestasi di dalam badai” Pilar.

“Jangan menghancurkan masa depanmu, hanya karena ejekan Monyet dari orang banyak di luar sana!”...

Tidak berarti saya mendukung siapapun untuk menjadi pembuly. Terkadang, hidup memiliki seni jauh lebih baik ketika berjalan di tengah cerita sebagai korban buly dari segala arah. Akan ada memory untuk bercerita suatu hari kelak, ketika masa depan terbaik digenggam dengan rasa bangga.

Jangan menjadi iblis ketika semua orang menjadikan dirimu bahan bulyan terbaik! Anggap saja hidupmu lagi menikmati permen manis rasa strobery. Ubah bulyan tadi menjadi sebuah prestasi hingga mulut mereka semua bungkam dan tidak bisa berkata-kata!.

“Ingat, lupakan kata monyet, sesakit apa pun dirimu!” menepuk-nepuk bahu Pilar.

“Jadilah Pilar bagi semua orang sesuai dengan namamu, bukan menjadi iblis paling mematikan!” berbicara lagi.

“Apa saya bisa?” Pilar.

“Pasti bisalah” ujarku.

“Masa ngga” Berkata-kata kembali.

“Sepertinya Pilar ingin belajar percaya ucapan kakak” Pilar.

 

Bagian 13...

 

Hidup mengajarkan tentang vaeiasi seni ketika berjalan. Tiap pribadi dengan ceritanya masing-masing. Ada banyak alur sedang bergema di sudut persimpangan. Permainan serpihan selalu saja menari disana.

“Rainy” seseorang menyebut namaku di tengah keramaian. Sepertinya suaranya tidak asing di telingaku.

“Rainy” sekali lagi suara itu makin jelas terdengar.

“Apa hidupmu baik-baik saja?” suara tidak asing...

“Kau” menyadari seseorang di depanku.

“Maaf membuatmu menunggu lama” Ha berdiri di depanku sekarang.

Tubuhnya terlihat kekar dari sebelumnya. Apa dia rajin olahraga? Penampilan Ha jauh berbeda hingga membuatku terkejut.

“Penampilanmu seperti oppa-oppa Korea” masih memperhatikan penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“Setidaknya tidak malu dibawah pergi arisan” Ha.

“Kenapa kau makin pahit kalau diperhatikan?”

“Bukan pahit, tapi makin bisa memperbaiki keturunan” Ha.

“Ternyata kau masih ingat” tersadar sesuatu.

“Jelaslah” Ha.

“Apa kita berdua dinyatakan lulus ma pria tua atau sebaliknya?”

“Entahlah” Ha.

Sosok Ha berjalan ke arahku dengan tiba-tiba. Saya pikir, hubungan kami pada akhirnya tidak akan berlanjut apa pun yang terjadi. Kenapa bisa? Tidak pernah dipertemukan membuatku ragu tentang dirinya. Akan tetapi, ketika saya ingin menyerah ataukah lepas seolah dia menyadari sesuatu hal. Saya sendiri dapat merasakan hampir keseluruhan dari dirinya. Kehangatan, sedih, marah, tertawa, ketika berdoa, dan masih banyak lagi dapat saya rasakan tanpa sadar.

“Apa ini mimpi?”

“Bukan mimpi” Ha tersenyum ke arahku.

Ha mencoba memegang tanganku sambil tersenyum. “Mari kita memulai semua dari nol!” Ha berkata-kata seolah lupa tentang banyak hal yang sudah terjadi.

“Kenapa lorong kecil membuatku terikat denganmu?”...

“Karena selamanya Ha hanya ditakdirkan menggenggam tangan Rainy, bukan orang lain” Ha.

“Saya seperti manusia bodoh” berujar terhadapnya.

“Apa kau tahu rasanya setiap membayangkan lorong kecil, pria tua, kota rusak, dan dirimu?”

“Saya sama denganmu terlihat bodoh” Ha.

Saya tidak pernah menyangka pertemuan antara saya dan Ha terjadi di luar ekspektasi. Lorong kecil bercerita tentang alur di sudut persimpangan bersama ribuan puzzle. Hai lorong kecil, apa dirimu memang menyukai bahasa musik dari tarian puzzle-puzzle itu?

Tiba-tiba saja, tubuh kami ke sebuah rumah sederhana setelah kembali melewati lorong kecil. Sekian tahum berlalu, pada akhirnya cerita, saya kembali mendengar suara pria tua. Apa yang akan terjadi selanjutnya?

“Selamat datang kembali, Rainy” sambut pria tua.

“Seperti biasa ada suara, tapi tidak ada gambar” sindirku.

“Memang ada yang salah?” pria tua.

“Entahlah” jawabanku.

“Bagaimana petualanganmu?” pria tua.

“Menurutmu?”

“Apa yang kau dapat selama berpetualang?” pria tua.

Berpetualang dari mana? Kehilangan, menangis, semakin terkucilkan, dihina, difitnah, sulit mendapat pekerjaan, ditekan terus-menerus, di cincang-cincang, dan masih banyak lagi. Sampai segitunya juga sosok Rainy harus jalani...

“Saya tahu pikiranmu, kalau ingin memaki atau mengamuk, silahkan!” pria tua.

“Siapa juga yang mau mengamuk?” berkata-kata dengan nada kesal.

“Jangan bohong” pria tua.

“Ngapain juga saya bohong” balasku.

“Kapan kalian nikah?” pria tua.

“Siapa?” terkejut.

“Siapa lagi kalau bukan” pria tua.

“Besok juga bisa” ucapan Ha terlihat bersemangat.

“Maksudmu apa?” tidak mengerti kalimat Ha.

“Kalian berdua memangnya mau hidup serumah tanpa ikatan?” pria tua.

“Enak saja” berteriak seketika.

“Kalau gitu silahkan menikah!” pria tua.

“Apa saya boleh melemparkan pertanyaan terhadapmu?”

“Silahkan!” pria tua.

“Kota-kota rusak” penekanan buatnya.

“Sedikit waktu lagi, kalian akan berjalan masuk setahap demi setahap, tetapi pasti dan ga bakalan diganti” pria tua.

“Wow” Ha terlihat bersemangat.

“Kau terlihat sudah mempersipakan segalanya” menatap serius ke arah Ha.

“Tentu saja, saya sudah mempersiapkan banyak bidang termasuk teknologi-teknologi terbaru” Ha.

“What?”

“Di dalam surat perjanjian dikatakan kalau calon suamimu harus menggeluti juga dunia ilmuwan” Ha.

“What?”

Apa memnag harus begitu? “Saya akan membawamu ke sebuah gedung” Ha.

“Sepertinya pria tua sudah menghilang” kalimatku.

“Lupakan pria tua!” Ha menarik tanganku meninggalkan rumah dan lorong kecil itu. Sepertinya dia sudah tahu jalan untuk keluar dari tempat tersebut tanpa bnatuan pria tua. Apa dia sering berjalan kesini? Bagaimana bisa dia dapat berjalan keluar?

“Tempat apaan ini?” terkejut sebuah gedung rahasia milik Ha.

“Ini ruang pribadi milikku setelah keluar dari rumah” Ha.

“Ruang pribadi?”

“Selamat siang bos” seorang pemuda menyapa Ha.

“Dia siapa?” pertanyaan buat Ha.

“Salah satu personil yang akan membantu kita memperbaiki kota rusak” bisik Ha.

“Kenapa bisa?”

“Dalam surat perjanjian, dikatakan kalau salah satu dari kita berdua harus mempersiapkan tim kerja melalui sebuah proses” Ha.

“Ha benar-benar keren pakai banget” kagum melihat segala sesuatu yang sudah tertata...

“Kemarilah!” Ha segera menarik tanganku.

“Ini apaan?” terkejut setelah memasuki sebuah ruangan.

“Saya dan timku sedang merakit alat penangkal tsunami” ucapan Ha.

“Penamgkal tsunami?”

“Iya, penangkal tsunami” Ha.

“Memang segitu pentingnya yah?”

“Sangat pentinglah” Ha.

“Bayangkan seluruh negara selalu saja mati ketakutan karena gelombang tsunami” Ha.

Ternyata seorang Ha sedang berjuang menemukan sebuah alat? “Besi-besi baja ini memiliki kekuatan super yang akan menjadi benteng ketika tsunami dayang menghaddik tanpa ampun” Ha.

“Sistem kerjanya sendiri?”

“Mesin penangkal tsunami akan dipasang 33 meter dari  bibir pantai, jadi, tsunami akan terdeteksi sendiri oleh alarm yang dipasang dari mesin tadi” Ha.

“Lantas?”

“Besi-besi baja secara otomatis akan menata dirinya sendiri hingga tersusun sampai puluhan meter ke atas sebagai benteng ketika tsunami datang” Ha.

“Tsunami tidak dapat menyambar ke batas yang sudah ditentukan karena besi-besi baja tersebut berperan kuat sebagai pelindung sehingga tidak terjadi kerusakan terlebih korban jiwa” Ha.

“Wow”...

“Seandainya, daerah yang terpasang meain penangkal tsunami masih menghasilkan kerugian sekaligus korban jiwa, artinya?” Ha.

“Artinya apa?”

“Daerah atau negara tersebut perlu intropeksi diri di hadapan Tuhan” Ha.

“Kenapa bisa?”

“Berarti Tuhan sudah terlalu marah, samapai-sampai mesin penangkal tsunami hancur berkeping-keping dan tidak lagi berperan sebagai benteng penyelamat” Ha.

“Pasti ada dosa besar yang Tuhan sangat benci, hanya saja mereka tidak sadar” Ha.

“Sepertinya kau menghakimi” ujarku.

“Bukan menghakimi, namanya juga kemarahan Tuhan jauh lebih menakutkan dibanding apa pun, sangat menyeramkan” Ha.

“Kalau Tuhan marah, memangnya manusia bisa buat apa? Lari kemanapun tetap hancur” Ha.

“Memang sangat menakutkan” kalimatku.

“Maka dari itu, mesin penangkal tsunami hanya sebagai alat,  tetapi tiap bangsa juga harus tetap menjaga diri di hadapan Sang Pencipta” Ha.

Ucapan Ha memang betul juga kalau dipikir-pikir lagi. Terkadang, Tuhan mengizinkan sebuah bencana datang agar hati berjalan dan berlari kembali ke tempat yang seharusnya. Terlalu banyaknya penyimpangan dalam keadaan sadar dan tidak sadar membamgkitkan kemarahan Tuhan. Siapakah yang dapat bertahan di hadapan Tuhan?

“Saya akan membawamu ke ruang lain” Ha segera menarik tanganku.

“Ruang apaan ini?” terkejut seketika.

“Ruangan ini difungsikan untuk perkembangan peralatan media ke depan” Ha.

“What?”

“Mimpimu ingin memiliki pasangan dokter sewaktu kecil, sekalipun tidak menggeluti dunia medis, setidaknya sosok Ha bisa memberi sesuatu” Ha.

“Segitunya juga” ujarku.

“Setidaknya Rainy bangga memiliki pasangan sepertiku” Ha.

“Segitunya juga” ujarku.

“Apa Rainy mau tahu salah satu alat medis yang lagi dikembangkan?” Ha.

“Alat?”

“Mssin pengantar makanan” Ha.

Sebuah alat untuk mengantarkan makanan ke masing-masing bed  rumah sakit dari ruang gizi. Pada masing-masing bed terdapat sebuah lemari dengan beberapa fungsi. Pada kotak pertama dari bawah dapat digunakan sebagai sarang penyimpanan barang-barang pasien. Kotak kedua tetap digunakan sebagai laci kecil seperti biasanya. Di kotak ketiga yang akan berfungsi total sebagai alat pengiriman makanan pasien dari ruang gizi. Kotak ketiga ini akan menyala ketika makanan pasien sudah tiba dengan sendirinya alias otomatis. Kotak ini dapat ditarik keluar dan dijadikan meja berukuran sedikit panjang bagi pasien yang akan makan. Kotak tersebut ketika ditarik sebagai meja, maka secara otomatis akan memipih dan dapat ditarik ke samping sehingga berhadapan dengan pasien. Kotak ketiga ini secara langsung akan disambungkan khusus ke ruang gizi tempat sumber makanan.

Makanan lebih steril sampai ke tangan pasien tanpa melewati area-area perjalanan berliku-liku. Kenapa dikatakan berliku-liku? Dikarenakan petugas gizi harus berjalan dari ruang dengan melewati lorong abc ataukah area-area yang dapat menyebabkan virus/ bakteri hinggap sekitar kotak makanan petugas sekalipun ditutup. Kenapa bisa? Jawabannya pada tangan petugas yang tanpa sadar memegang sesuatu, berjalan melewati area-area virus bakteri berasal, atau dari ruangan pasien terisolasi dengan menular tertentu. Pada saat membagikan makanan, secara otomatis virus/ bakteri dari tangan ataukah pakaian petugas hinggap ke piring makanan pasien dengan melewati alur cukup luar biasa tanpa sadar. Cerita alur perjalanan virus/bakteri ke tubuh paaien sama seperti perjalanan cerita virus covid 19 yang tidak akan pernah dilupakan oleh orang banyak.

Di ruang gizi sendiri akan dibuatkan saluran lorong yang akan langsung tersambung dengan seluruh lemari di masing-masing bed pasien. Petugas gizi tinggal memperhatikan nama pasien per bed sesuai jenis makanan yang akan dikonsumsi. Di bagian kotak penghubung alias pengirim makanan ke bed pasien, terdapat sebuah layar data otomatis tentang identitas diri.

Petugas gizi tinggal berjalan ke seluruh bed untuk memastikan data identutas pasien seperti nama, tanggal lahir, ataukah objek lainnya untuk mencegah kesalahan dalam pemberian jenis makanan. Adapun petugas dapat langsung mengetik identitas pasien ataukah memberi centang data tersebut jika sudah tersedia melalui aplikasi khusus yang sudah disediakan oleh pihak rumah sakit masing-masing. Singkatnya, kotak makanan di ruang gizi diberi label berisi nama/ tanggal lahir/ jenis kelamin pasien dan nomor/nama ruangan bed seperti biasanya. Selain itu, pada label makanan tersebut terdapat pula kode barcode yang akan langsung menghubungkan makanan ke bed masing-masing pasien.

Adapun petugas gizi yang berperan sebagai pengirim hanya duduk di depan layar. Petugas tinggal menyusun kotak makanan secara berurutan. Mesin kotak pengirim makanan tersebut akan melakukan scanner barcode secara otomatis. Data identitas pasien akan langsung muncul di layar untuk lebih memastikan pengiriman. Petugas tinggal memilih kirim atau enter setelahnya, maka makanan langsung terkirim dengan sendirinya ke bed masing-masing pasien melalui lorong-lorong yang sudah dibuat.

Petugas gizi tidak perlu lagi berjalan mendorong makanan dari lantai satu hingga puluhan lantai rumah sakit. Makanan juga lebih steril ketika sampai ke tangan pasien. Setelah pasien makan, alarm jam sesuai ketentuan akan berbunyi pada lemari kotak ketiga agar keluarga atau pasien segera mengembalikan piring makanan ke kotak tersebut kembali. Lemari kotak ketiga secara otomatis akan mengirimkan piring/kotak makanan bekas milik pasien kembali menuju ruang gizi untuk dicuci. Layar akan memberi tahu, jika masih ada piring makanan yang belum lembali. Petugas gizi tinggal menekan suara otomatis ke bed tersebut agar segera mengembalikan piring makanan tadi kembali  ke laci ketiga dari lemari tersebut.

“Selain itu, nakes tidak perlu mendorong kiri-kanan untuk membawa bak instrumen medis” Ha.

“Kenapa bisa?”

“Tiap ruangan pasien akan disediakan satu lemari yang terhubung langsung dari ruang farmasi” Ha.

Lemari tersebut juga terbagi menjadi beberapa susun. Lantai pertama dari bawah merupakan tempat sampah medis dan non medis. Pada tempat sampah medis hanya nakes yang dapat membuka dengan melakukan scan yang akan dipasang sebagai gelang pada tangan seluruh nakes. Tempat sampah medispun masih terbagi menjadi beberapa bagian. Segala jenis bahan habis pakai bersifat medis sudah digunakan oleh pasien akan dibuang ke kotak A, sedang pembuangan spoit alias jarus suntik di kotak B sebelahnya. Pada kotak C akan digunakan untuk membuang ampul vial obat dari pasien.

Kotak kedua dari bawah akan langsung terhubung pada bagian farmasi. Nakes tinggal menulis data, jadwal pemberian obat, resep obat, dan beberapa lain di komputer maka akan saling terhubung. Sebuah gelang untuk melakukan scan code barcode akan digunakan oleh nakes.

Jadi, ketika ingin mengambil bak intrumen pemasangan infus, maka secara otomatis akan keluar dengan sendirinya. Terkadang, seorang nakes harus melakukan spooling cairan infus karena tersumbat, jadi, tinggal melakukan scan kode barcode pada lemari kotak kedua sesuai dengan warna kelompoknya masing-masing. Sebagai contoh; scan code barcode warna biru artinya pengambilan obat sesuai jadwal pasien. Scan code barcode putih berarti pengambilan spooling infus  kit. Warna merah berarti kit darurat bagi pasien dan bersifat emergency. Untuk pengelompokan warna-warna lain tinggal melakukan pengaturan.

Pada kotak terakhir atau ketiga berperan sebagai pengambilan peralatan pemeriksaan TTV alias tanda-tanda vital seperti alat tensi, scan suhu, alat pemeriksaan kadar gula/ kolesterol/ asam urat, saturasi, dan lain sebagaimya. Kotak ketiga ini juga berfungsi untuk melakukan sterilisasi pada semua alat yang sudah digunakan. Bayangkan saja, alat tensi pasien A ke pasien lainnya, terlebih di area bangsal digunakan ke seluruh pasien? Sebagai contoh, jam pemeriksaan TTV sedang berjalan, jadi, alat tensi dari pasien hepatitis ataukah TBC ataulah HIV dipakai ke pasien yang penyakitnya tidak menular. Kalau sistem imunnya bagus, tentu masih bisa dikendalikan, tetapi kalau siatem imun tidak bagus, apa yang akan terjadi? Pasien dengan diagnosa penyakit tidak menular akan berjalan menuju diagnosa penyakit menular. Hal-hal seperti ini menjadi tanggung jawab bersama bagi sesama nakes.

Kotak ketiga ini akan melakukan sterilisasi otomatis ketika nakes mengembalikan ke tempat semula setelah digunakan. Permasalahannya, dimana pasien dengan diagmosa penyakit tidak menular dapat terlindungi. Bayangkan, satu alat tensi digunakan di semua ruangan, entah itu HIV/ hepatitis/ TBC, dan penyakit menular lainnya? Setidaknya alat ini dapat membantu untuk melakukan pencegahan penyakit menular di rumah sakit.

“Wow” ujarku.

“Kita akan menjadi tim terbaik” Ha.

“Saya tidak pernah menyangka, ternyata kau memiliki IQ tinggi” ujarku.

“Terpaksa” Ha.

“Kenapa bisa?”

“Salah satu isi surat perjanjian menekankan kita berdua harus mengerti teknologi” Ha.

“Sampai segitunya” kalimatku.

“Salah satu peranan terbesar untuk memperbaiki kota-kota rusak dengan memakai peranan teknologi” Ha.

“Perasaanku berkata kalau perbaikan karakter harus paling berperan, kenapa larinya ke teknologi?”

“Zaman sekarang berkata, kalau semua serba IT, ngerti?” Ha.

“Memangnya perbaikan juga harus IT?”

“Salah satu jembatan umtuk memperbaiki semua bidang terlebih karakter orang banyak ya memakai IT” Ha.

“Betulan juga sih ucapanmu” kalimatku.

“Siapa dia?” tiba-tiba saja seorang wanita berteriak di tengah kami.

 

Bagian 14...

 

“Luan, jangan membuat dia ketakutan!” Ha segera memasang badan di depanku.

Seorang wanita berjalan ke tengah kami di ruang tersebut. Siapa dia? Kenapa bisa terlihat akrab dengan Ha? Apa saya cemburu? Lupakan!

“Luan, sekali lagi, jangan membuat dia ketakutan!” Ha.

“Sampai segitunya” wanita itu menatap diriku dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“Kenalkan, dia Luan” Ha berada di tengah kami.

“Dan ini Rainy” kalimat Ha lagi.

“Dia siapa?” pertanyaanku.

“Kenapa kau terlihat cemburu?” wanita itu terus menatap aneh.

“Sejak kapan Rainy jadi cemburuan” Ha tertawa seketika.

“Maksudmu?”

“Manusia paling sulit cemburuan” Ha makin tertawa.

“Apa dia pacarmu?” pertanyaan Luan.

“Seperti yang kau lihat” Ha.

“Kenapa bisa?” Luan.

“Ceritanya panjang” Ha.

“Siapa dia?”

“Dia salah satu personil tim kerja kita” Ha.

“Jangan katakan kalau dia akan menjadi bos buat kami semua disini?” Luan.

“Sepertinya” Ha.

“What?” Luan.

“Apa saya akan menjadi pemimpin?”

“Sepertinya” Ha.

“Sesuatu pakai banget” kalimatku seketika.

“Apa kau yakin?” Luan.

“Menurutmu?” Ha.

Seolah Luan meragukan kemampuanku. Saya juga tidak yakin dengan semua yang akan kulakukan. Apa saya bisa? Kenapa juga pria tua membawahku dalam masalah besar?

“Menurutmu, memang dia harus jadi salah satu bos kami yah?” Luan.

“Sangat harus” jawaban tegas Ha.

Sepertinya terjadi perselisihan antara mereka dikarenakan kehadiranku. Apa saya harus mundur? Setahuku, kalau pria tua hanya memilih 2 orang ketika melewati lorong kecil, lantas kenapa jadi banyak personil?

“Apa kau pernah melihat lorong kecil?” melemparkan pertanyaan terhadap Luan.

“Lorong kecil apaan? Saya tidak mengerti ucapanmu lari kemana” Luan.

“Jangan mengalihkan pembicaraan!” Luan.

Kenapa dia tidak mengerti lorong kecil? “Apa kau kenal pria tua?” masih penasaran.

“Siapa itu pria tua? Sekali lagi, jangan mengalihkan pembicaraan!” Luan.

“Jangan bercerita pria tua disini!” bisik Ha segera menutup mulutku memakai tangannya.

“Maksud ucapanmu?”

“Kalian berdua, kenapa bisik-bisik?” Luan.

“Hanya kita berdua yang bisa dengar suara malaikat Tuhan maksudku pria tua” bisik Ha.

“Lantas?”

“Mengerti saja, anggap seperti itulah” bisik Ha kembali.

“Luan, kenapa sejak tadi selalu meremehkan kehadiranku?” mulai bernada gas.

“Ternyata ucapanmu sadis juga” Luan.

“Lantas?”

“Perlihatkan sesuatu yang membuat saya yakin kalau dirimu pantas menjadi bos kami” Luan.

Apa yang ingin kuperlihatkan? Memang siapa juga yang mau jadi bos? Kenapa pernyataannya mengarah kesana kemari?

“Bagaimana?” Luan.

“Hentikan kelakuan kalian!” Ha.

Apa ini yang dikatakan perselisihna sengit? Kenapa juga saya harus terlibat di dalam? Bagaimana saya akan berbaur bersama tim personil yang audah dipersiapkan?

“Baik, saya mengalah saja” cetus Luan.

“Gitu dong” senyum Ha.

Saya tidak pernah menyangka peristiwa yang sedang terjadi? Bagaimana bisa Ha membentuk tim kerja? Setidaknya cukup membantu kalau dipikir-pikir lagi.

 Hal terkacau lagi adalah saya berhenti begitu saja dari tempat kerjaku. Berada di dalam gedung selama beberapa waktu. Ternyata, persiapan Ha luar biasa mengerikan kalau dipikir-pikir lagi. Kota rusak itu membuat Ha hidup di dalam pergumulan hebat?

Pekerjaan Ha setiap harinya adalah sibuk melatih dan berusaha menjabarkan seluruh bidang dalam beberapa kelompok. Hal yang tidak pernah kupikirkna sama sekali adalah ikut berperan di dalamnya.

Salah satu bidang paling menyita perhatian adalah dunia medis bersama teman-temannya di belakang. Kenapa bisa? Dikarenakan banyaknya masalah yang terjadi serta perkembangan ke depan akan menjadi seperti apa?

Beberapa permasalahan yang sering terjadi sehingga menimbulkan perselisihan atau kesalahpahaman antara rumah sakit dan pasien. Di beberapa kota besar ada banyak rumah sakit yang menampung pasien dari berbagai wilayah selain kotanya sendiri. Permasalahannya adalah pasien terkadang atau bahkan kekeringan menunggu antrian hingga berbulan-bulan hanya untuk menjalani prosedur pengobatam melalui rawat nginap sekaligus pembedahan. Ada baiknya, pihak asuransi terlebih badan milik pemerintah menyiapkan fitur khusus dalam aplikasi yang sudah tersedia untuk melihat antrian kamar bagi pasien yang harus menjalani prosedur pembedahan dan rawat nginap di semua poli rumah sakit.

“Apa kau tahu masalah yang sering dialami oleh banyak masyarakat?” melempar pertanyaan.

“Terlalu banyak” Ha.

“Ternyata kau sadar” membalas ucapannya.

“Pasien ditolak rumah sakit menjadi kasus paling terbesar selain kasus-kasus lain” Ha.

“Maka dari itu, sebuah aplikasi scan jari khusus harus dibuat” berkata-kata terhadapnya.

“Aplikasi scan jari khusus?” Ha.

“Yes”...

“Sebuah aplikasi hanya memakai scan salah satu jari, secara otomatis data pasien bersama nomor kartu kesehatannya akan muncul secara keseluruhan” mencoba menjabarkan sesuatu.

Seseorang dapat mendaftarkan diri melalui aplikasi yang telah dibuat oleh pemerintah ataukah mendatangi layanan kependudukan terdekat. Seluruh data baik nama, tanggal lahir, jenis kelamin, pekerjaan, nomor HP, email, nomor kartu kesehatan, nama anggota keluarga, dan lain sebagainya dikemas dalam satu data. Andaikan orang tersebut tidak memiliki kartu kesehatan baik milik swasta ataukah pemerintah, maka akan diarahkan untuk segera memiliki sehingga data bisa terbaca. Tinggal melakukan scan salah satu jari di tiap tempat yang membutuhkan terlebih pihak rumah sakit maka data yang dibutuhkan akan muncul dengan sendirinya tanpa perlu menunjukkan kartu identitas seperti KTP, kartu kesehatan, atau kartu lainnya.

Aplikasi ini dapat membantu untuk memberikan pertolongan pertama pada pasien yang sedang sekarat. Nakes tinggal melakukan scan jari memakai alat yang sudah disediakan ataukah langsung memakai aplikasi rumah sakit melalui HP, sekalipun pasien dalam keadaan tidak sadarkan diri untuk memunculkan semua data identitas. Nakes dapat langsung memberi pertolongan secepatnya tanpa perlu menekankan identitas ataukah kartu kesehatan lainnya. Rekam medis dapat berjalan tanpa perlu menunggu abcd di depan mata.  

Saya rasa aplikasi ini sangat membantu? Terlebih ketika pasien dalam kondisi darurat. Untuk mengenali identitas mayat yang tidak memiliki kartu identitas sama sekali dapat memakai aplikasi tersebut. Pihak rumah sakit setempat dapat segera menghubungi anggota keluarga setelah melakukan scan jari dari mayat tersebut. Data identitas sekaligus nama-nama anggota keluarga akan muncul beserta nomor yang bisa dihubungi.

Kasus paling banyak terjadi adalah penolakan pihak rumah sakit dikarenakan tidak ada data identitas pasien. Apakah ini murni kesalahan rumah sakit? Jawabannya adalah tidak sepenuhnya. Kenapa bisa? Rumah sakit memiliki management khusus, sementara biaya-biaya pengobatan tidak dikatakan dengan jumlah sedikit. Bisa dikatakan biaya medis memakan jumlah cukup bahkan sangat besar. Kebanyakan nakes dipersalahkan total, tidak ingin menolong pasien. Pada hal letak permasalahannya ada pada management pembiayaan?

Pertanyaan sekarang, gaji nakes berapa sih? Kalau ingin menjawab, gaji nakes berada di bawah rata-rata bahkan tidak sebanding dengan biaya ketika kuliah. Betul adanya, menolong pasien harus nomor satu dibanding uang. Hanya saja, pihak pengelola menyerang dengan banyak pertanyaan. Siapa yang menangani pasien A? Siapa yang membayar pengobatan? Kau harus bertanggung jawab masalah biaya pasien A! Identitas pasien A tidak terdaftar dan lain sebagainya.

Gaji nakes yang berada di bawah standar dituntut membiayai sekaligus bertanggung jawab masalah pengobatan? Kemungkinan, gaji yang sedikit lumayan diberikan oleh beberapa rumah sakit besar, akan tetapi bisa dikatakan 98% gaji ada di bawah standar bahkan sangat membuat seluruh nakes menangis 7 keliling. Terjadi kesalahpahaman antara tenaga medis dan masyarakat. Kebanyakan masyarakat hanya tahu mempersalahkan tenaga medis tanpa pernah tahu management pengelolahan keuangan seperti apa di rumah sakit.

Serba salah kalau dipikir-pikir lagi. Pemerintah seharusnya mencari solusi terbaik dari masalah tadi. Nakes selalu salah, jahat, tidak punya perasaan, iblis mematikan Di mata masyarakat.

Belum lagi, permasalahan ketika menyelamatkan pasien akan berhadapan dengan meja hijau. Antara menolong pasien dan meja hijau ibaratnya sebelas dua belas. Sudah gaji kecil, di katakan jahat, peraturan pemerintah masalah kartu kesehatan ketika berada di layanan fasilitas kesehatan menjadi tingkat titik terendah sekaligus dilema bagi seluruh nakes.

Hal lebih kacau lagi adalah ketika negara mengalami pandemi satu penyakit, bencana alam, atau musibah apa pun maka yang pertama dicari adalah nakes bukan siapa-siapa. Akan tetapi, pada saat membahas kenaikan gaji, insentif, dan anggaran-anggaran tertentu berarti nakes di buang jauh-jauh. Bisa dikatakan kalau nakes harus dilemparkan ke samudera pasifik biar tenggelam saja dulu dalam sana. Apa ini adil untuk nakes?

Mereka yang bekerja di pedalaman juga selalu tidak pernah diindahkan. Gaji rendah, pada hal jalanan terjal harus di hadapi? Bagaimana cerita? Belum resiko-resiko lain ketika seorang nakes harus bekerja di pedalaman. Lantas?

Nama baik nakes sudah terlalu rusak di mata masyarakat oleh banyaknya objek. Setidaknya, satu sama lain harus saling berbenah. Pihak pemerintah pun harus memikirkan kesejahteraan nakes ke depan apa pun yang terjadi. Jangan membuat aturan-aturan yang semakin menyulitkan dunia medis.

Masyarakat selalu menilai di luar saja, namun tidak menyadari banyak hal di dalam sana. Tiap saat mempersalahkan nakes tentang terlambatnya penanganan dan lain sebagainya, sedangkan dunia medis memiliki management pengelolahan dan kode etik ketika bekerja.

Ada tempat/ bagian dimana memiliki tugasmya masing-masing. Analis kesehatan, bidan, terlebih perawat tidak bisa serta merta membuat tindakan tanpa intruksi di atas, entah dokter ataukah atasan lain.  Kalau berjalan seenak jidat berarti melanggar aturan. Masing-masing memiliki bidangnya sendiri terlebih kasus diagnosa paling berat. Adapun seorang dokter tidak bisa langsung memberi tindakan untuk bebeeapa diagnosa. Kenapa bisa? Ada diagnosa yang memang membutuhkan waktu untuk dilakukan pembedahan. Sebagai contoh, pasien DM dengan kasus ke rumah sakit karena bengkak tertusuk sesuatu benda.

Pemantauan khusus untuk terus mengecek gula darah apakah normal atau tidak sama sekali. Sekalipun dalam batas normal, terkadang pembedahan tidak dapat langsung dijalani mengingat beberapa komplikasi yang akan terjadi ke depan. Maju, mundur, ataukah di tengah-tengah tetap akan salah. Di banyak daerah juga memiliki permasalahan alat medis serba tidak lengkap.

Dilema terbesar rumah sakit di masing-masing daerah adalah keterbatasan alat. Ketika ingin melakukan sebuah tindakan atas diagnosa kasus tertentu seperti orang bodoh, bahkan terkadang terjadi perselisihan dengan keluarga pasien. Management kartu kesehatan dari sistem pemerintah semakin menyatakan kalau nakes merupakan manusia paling jahat. Diam di tempat tanpa tindakan sama sekali.

Apa kesalahan seutuhnya dari pihak nakes hingga terkadang menyebabkan kematian? Serba salah jika ingin bercerita seolah nakes hanya ingin membelah diri tanpa pernah mengerti perasaan pasien dan keluarganya seperti apa. Terkadang pula, kesalahan juga dari pihak nakes tidak ingin berterus terang kalau ternyata dokter sedang berada di luar kota. Komunikasi seperti ini menjadi akar masalah besar yang berakibat fatal pada akhirnya. Di banyak daerah dokter spesialis hanya ada 1 atau 2 orang saja. Kenapa bisa? Kembali lagi ke pribadi masing-masing individu. Ada yang merasa nyaman di kota besar sehingga menjadi pergumulan besar untuk melanjutkan hidup di daerah.

Saran saya demi menghindari situasi seperti ini di dunia medis sehingga perlu mengambil tindakan. Sebaiknya dokter yang melanjutkan spesialisasi agar tetap melakukan praktek di kota-kota besar untuk mendapat pengalaman. Pertanyaan sekarang, saran seperti apa buat mereka? Sebelum mengambil STR yang berlaku seumur hidup, maka perlu melakukan pengabdian di daerah-daerah kecil terlebih khusus selama 7 tahun ke depan, agar tidak terjadi kekurangan dokter spesialis. Jadi, untuk sementara dokter-dokter tersebut memakai STR sementara yang berlaku 7 tahun. Masyarakat mungkin berpikir, mereka baru menjabat sebagai spesialis, apakah memiliki kualitas? Maka dari itu STR seumur hidup bagi mereka akan diberi persyaratan mutlak dengan kata kualitas sebagai dokter spesialis memang harus bisa berdaya saing dengan kehidupan perkotaan.

Dengan cara seperti ini tentunya di banyak daerah tidak akan kekurangan dokter spesialis. Suka ataupun tidak, tentu seluruh dokter harus mengikuti alur persyaratan yang ada. Bisa dipastikan, seiring berjalannya waktu, mereka akan betah di tempat tersebut karena sudah terbiasa tentang pelajaran hidup. Kalaupun ada yang ingin berpindah ke kota besar hanya sekitaran beberapa persen saja. Ada banyak dokter terkadang terjebak dengan situasi kota-kota beaar sehingga terjadilah kekurangan tenaga di banyak daerah.

Permasalahan lain lagi adalah terjadinya perselisihan antara senioritas dan junioritas. Mental beberapa dokter ambruk karena banyaknya tekanan-tekanan yang memakai sistem senioritas. Rasa takut tentang komptisi satu sama lain menjadikan sebuah objek yang seolah-olah menghalangi pihak junior untuk berjalan ke depan. Dunia medis seharusnya memiliki kesatuan bukannya menciptakan perpecahan satu sama lain.

“Kalau bisa dikatakan, saya memiliki pengalaman miris ketika bekerja sebagai nakes di pedalaman” Luan ternyata sejak tadi berdiri di belakang kami.

“Sejak kapan kau hadir tanpa pemberitahuan?” Ha terkejut seketika.

“Sejak tadi” Luan.

“Ternyata penguping abadi” sindir Ha.

“Saya penasaran pengalaman pribadimu” ujarku.

“Pengalamanku terkesan nano-nano dengan aneka rasa” Luan.

“Coba ceritakan!”

“Saya bekerja di sebuah pedalaman dengan akses jalan di beberapa kampung sangat mengundang adrenalin” Luan.

“Lanjutkan!”

“Listrik belum masuk di daerah tempatku bekerja, sehingga pelaporan memakai digital harus diselesaikan di perkotaan” Luan.

“Suatu ketika, seorang bayi lahir di salah satu kampung wilayah tersebut yang jauh dari akses transportasi dengan jalan cukup rusak, sebagian sementara dalam perbaikan, tapi anehnya, jalan tersebut selalu dikerja hanya sepenggal saja” Luan.

“Terus?”

“Saya masih di perkotaan dengan banyaknya pelaporan yang harus diselesaikan, dan kebetulan pula harus mengikuti kegiatan” Luan.

“Bagaimana selanjutnya?”

“Sebagai pemegang salah satu program, meminta tolong agar sang bayi di imunisasi” Luan.

Tuntutan sasaran yang harus dikejar, sekaligus juga merupakan hak bayi setelah lahir agar mendapat imunisasi pertama. Apa yang terjadi selanjutnya? Terjadi perselisihan antara Luan dan sesama nakes rekan kerjanya sendiri. Kenyataannya Luan sudah ingin berangkat sore hari menuju tempat tugas, hanya saja terjadi kerusakan mobil di tengah jalan hingga berakhir kembali ke kota.

Kesibukan di kegiatan serta pelaporan membuat Luan tidak melihat dokumentasi atau pemberitahuan di grup faskes. Beberapa permasalahan yang dihadapi diantaranya mobil faskes selalu saja keluar masuk bengkel dan menghabiskan uang karena penyakitnya selalu silih bergantian, tidak adanya kerjasama tim, akses jalan rusak total, dan keegoisan masing-masing. Dia sudah meminta tolong agar asisten yang membantu di program tersebut ke kampung itu membawa vaksin. Apa yang terjadi selanjutnya? Dengan berbagai alasan menolak untuk pergi.

“Saya suruh dia mencari ojek biar uangku keluar tidak apa-apa yang penting vaksin” Luan mulai bercerita.

“Apa yang terjadi?”

“Belum juga dia mencari tukang ojek, sudah bicara tidak ada yang mau masuk ke dalam dengan berbagai alasan” Luan.

“Akhirnya, saya menelepon salah satu petugas di sana berulang kali karena sasaran kami memang sedikit, dan pelaporan hasil lapangan harus ada kecuali bayinya memang bermasalah” Luan.

Singkat cerita, petugas itu berkata kalau ada orang kampung yang mau lewat paling lambat lusa. Entah kenapa, tiba-tiba nakes yang menolong persalinan datang marah-marah ke faskes. Apa pun yang terjadi dia harus naik jalankan tugasnya dengan segala cerita yang lain.

Sebenarnya, kepala faskes sudah berpesan terhadap 2 nakes yang akan bertugas disana agar singgah mengambil vaksin karena ada ibu yang mau melahirkan. Kepala faskes sudah diberitahu oleh orang kampung melalui saluran telepon. Entah karena lupa atau apalah sehingga mereka tidak mengambil vaksin.

“Papa mamaku tidak pernah memaki saya dengan kata anjing atau setan, lantas tiba-tiba orang memaki dengan bahasa kebun binatang?” Luan.

“Saya merasa seperti kaget sekaligus menusuk ketika seseorang melemparkan bahasa kebun binatang, karena semarah apa pun mulutku tidak pernah melempar caci maki berlebihan” Luan.

“Sadis” Ha.

“Inilah yang dikatakan tidak ada kerjasama tim antara sesama nakes, salah satu contoh permasalahan hingga terkadang mengundang reaksi masyarakat” Luan.

“Betul juga” ujarku.

“Yang saya sesalkan asisten pelaksana sampai-sampai kepala faskes berkata harus berjalan berapa kilopun karena memang sudah seharusnya” Luan.

“Betul juga sih”...

“Lebih parah lagi, dia menyuruh kepala faskes mengambil sesuatu di dinas dengan berbagai alasan,  padahal itu pekerjaannya ” Luan.

“Lantas?”

“Pada hal kepala faskes juga sedang sibuk pengurusan kiri kanan untuk masa depannya sendiri. Seorang teman curhat kalau kepala faskes kami terlihat lelah bahkan sangat letih pakai banget” Luan.

“Keterlaluan” kalimatku.

“Dimana perasaanmu? Belum lagi 2 nakes yang bertugas di kampung itu sepertinya memanasi nakes yang membantu persalinan sampai mengamuk keras” Luan.

Akhir cerita adalah terjadi perselisihan antara satu dengan yang lainnya. “Saya rela berjalan kaki berkilo-kilo seandainya ada di tempat tugas” Luan.

“Memang kau biasa berjalan kaki?”

“Demi mencari sasaran, saya biasa berjalan kaki berkilo-kilo dengan akses jalan lebih buruk dari tempat di sana” Luan.

“Inilah yang dikatakan satu sama lain, nakes selalu saling menjatuhkan, tidak hanya di pedalaman, justru di perkotaan jauh lebih banyak” Luan.

“Kesalahan terbesar bagi kalian para nakes tidak memiliki kerjasama tim yang baik, kalau saya sih bukan bagian dari mereka Cuma orang luar”  berkata-kata terhadapnya.

Inilah cerita curahan hati yang sedang terjadi di dunia medis. Bagi siapapun, jangan marah ketika mendengar keluh kesah di sini! Hanya sekedar meluapkan sesuatu objek semata. Mari kita saling berbenah diri antara satu sama lain.

Bagi nakes, cobalah belajar tentang sesuatu yang harus dibenahi. Untuk pemerintah sendiri, pikirkan juga kesejahteraan seluruh tenaga medis. Hai pemerintah, please, jangan membuang atau semacam pura-pura lupa tiap membahas anggaran, insentif, dan permasalahan gaji seluruh nakes. Jangan hanya mencari mereka ketika susah, bencana alam, musibah abcd, pandemi suatu penyakit. Bagi masyarakat, jangan selalu mempersalahkan nakes ketika ada sesuatu hal yang sedang terjadi! Semua memiliki management di masing-masing tempatnya. Ada banyak beban pergumulan di dunia medis terlebih banyaknya aturan pemerintah yang membuat seluruh tenaga medis serba salah.

Bagian 15...

 

Variasi seni sedang berjalan di dalam permainan puzzle. Tarian-tarian gelombang hidup selalu saja mencekam di padang gurun belantara. Hai padang gurun, kenapa dirimu terlihat begitu menakutkan tanpa jedah iklan?

“Sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu” Ha tiba-tiba saja duduk manis di sampingku.

“Apa yang sedang dipikirkan olehmu?” Ha.

“Hanya sekedar mencari bintang timur di atas sana” ujarku.

“Bintang timur?” Ha.

“Menurut artikel yang kubaca, mencari bintang timur bisa menyelesaikan beban hidup” kalimatku.

“Kau benar-benar aneh” Ha.

“Entahlah” ujarku.

“Ada sesuatu yang ingin kuceritakan” Ha terlihat serius.

“Tentang?”

Ha menarik tanganku tanpa persetujuan, dan membawaku ke sebuah apartement. Apa yang sedang ingin dilakukan olehnya? Bagaimana kalau dia betingkah aneh-aneh? Tuhan, lindungi saya dari segala kejahatan...

“Hentikan pikiran konyolmu!” Ha.

“Memang apa yang sedang kupikirkan?”

“Memangnya saya tidak tahu pikiran iblismu” Ha.

“Entahlah” kalimatku.

“Daddy” seorang anak laki-laki berteriak ke arah Ha.

“Bagaimana kabarmu di sekolah?” Ha.

“Sedikit berbeda” ucapan anak laki-laki itu. Sepertinya dia berusia ABG. Apa Ha seorang duda? Masa saya harus menikahi bekas orang? Tuhan, jujur, saya tidak mampu menerima pria dengan status duda. Selama ini, saya tidak pernah jalan dengan cowok manapun, setidaknya pasanganku jangan bekas orang. Kenapa bisa? Karena saya juga bukan bekas orang.

Tuhan, memang hidupku tidak sempurna, hanya saja jangan kirimkan duda. Saya lebih baik memilih berondong dibanding duda, karena hidupku tidak mampu menerima bekas. Sekalipun status duda dengan istri sudah meninggal. Kenapa juga Ha berkhianat begini? Pada hal saya tidak pernah jalan dengan cowok manapun.

“Apa Levi sudah tidur?” Ha.

Berarti Ha duda anak dua? “Sudah tidur” jawabannya.

“Mimpi apa saya semalam?” ruang di dalam sana terguncang hebat.

Ha asal main tarik tanganku memasuki sebuah kamar seolah tanpa rasa bersalah sama sekali. Apa Ha tidak mempunyai perasaan bersalah sama sekali? Kenapa saya berjodoh ma bekas orang? Saya juga bukan barang bekas, lantas?

“Anak daddy ternyata sudah tidur” ucapan Ha menatap bayi berusia 7 bulan di dalam keranjangnya.

“Pada hal mommy ada di sini lagi” kalimat Ha tanpa rasa berdosa sama sekali.

Sejak kapan saya melahirkan seorang bayi? “Apa kau sudah gila?” melempar pertanyaan terhadap Ha.

“Kita bicara di luar” Ha.

“Daddy” tegur anak laki-laki ABG.

“Dia Hirek, panggil saja Hi” ucapan Ha.

“Apa dia mommy Hi” kalimat anak laki-laki itu.

“Seperti itulah” Ha.

“Saya bisa gila” ujarku.

“Kenapa bisa?” Ha.

“Kau duda 2 anak artinya bekas orang” kalimatku.

“Sepertinya mommy butuh waktu menerima kalian berdua” Ha.

“What?” dua bola mataku membelalak seketika.

“Hi harus berdoa sekuat mungkin biar mommy bisa menerima kehadiran kalian berdua” Ha.

“What?”

“Tinggalkan kami berdua! Ada baiknya Hi masuk kamar dulu” Ha.

Anak laki-laki itu segera berjalan pergi meninggalkan kami. Apa saya harus menangis? Rasa-rasanya terdengar menyakitkan kalau dipikir-pikir lagi. Bagaimana saya akan berjalan dengan masa lalu Ha?

“Ibu kandungnya kemana?” pertanyaan ingin mengamuk seketika.

“Di depanku lagi marah” Ha.

“Saya serius, sejak kapan saya hamil dan melahirkan anak?” pertanyaan gila buatnya.

“Berciuman saja ma laki-laki ga pernah, masa tiba-tiba punya anak sebesar itu” pernyataanku kembali.

“Masa?” Ha.

“Kau ada perasaan tidak?” memukul tubuh Ha seketika

“Atau saya amnesia, jadi lupa kalau sudah memiliki anak?” berkata-kata lagi.

“Mungkin” Ha.

“Kau memang keterlaluan” rasa-rasanya saya ingin menangis.

“Saya ingin brrcerita sesuatu, setidaknya Rainy tenang dulu” Ha.

“Cerita apa?”

“Tolong, Rainy duduk tenang” Ha.

Entah kenapa, saya tiba-tiba saja terdiam dan tidak lagi berkata-kata. “Orang tua kandung mereka berada dalam sel tahanan karena terlibat kasus narkoba” ucapan Ha membuatku terkejut.

“Saya menemukan Hi sedang menangis di tengah derasnya hujan beberapa waktu lalu” Ha.

“Lantas?”

“Saya hampir saja menabrak meeka berdua” Ha.

“Lantas?”

“Ya, saya membawa mereka ke rumah sakit” Ha.

“Lantas?”

“Tidak tahu kenapa, saya menginginkan mereka berdua dan di ujung cerita berkata-kata tentang ingin mengadopsi” Ha.

“Pada akhirnya, saya mengadopsi mereka berdua tanpa persetujuan darimu” Ha.

“Berarti saya tidak jadi menikahi bekas orang?”

“Astaga, selamanya di hati Ha hanya ada nama Rainy bukan orang lain” Ha.

“Syukurlah” sedikit bernapas lega pada akhirnya.

“Apa Rainy mau menerima mereka berdua?” Ha.

“Tidak masalah, selama kasus ceritanya seperti barusan” ujarku spontan.

“Kita berdua terikat tanda tangan perjanjian, mana mungkin selingkuh” Ha.

“Betul juga” ujarku.

“Apa kau tahu arti dari nama Hirek?” Ha.

“Tidak tahu” kalimatku.

“Hirek memiliki singkatan kata dari hidup, restorasi, kuat” Ha.

“Artinya?”

“Seseorang akan tetap hidup apa pun keadaan di depan ataukah serusak bagaimanapun, di lain tempat akan terjadi restorasi pemulihan hingga dirinya menjadi kuat di hadapan Tuhan dan manusia” Ha.

“Kelak, dirinya juga akan menciptakan sebuah alur hidup, restorasi, dan kekuatan bagi orang lain di luar sana” Ha.

“Berarti nama Hi terdengar keren” ujarku.

“Apa Rainy siap menerima mereka berdua?” Ha.

“Tentu saja, maaf terlihat histeris dari tadi” ucapanku sambil menunduk.

“Tidak apa-apa” Ha.

“Ngomong-ngomong kapan  kita nikah?” Ha.

“Kau serius?”

“Tentu saja serius” Ha.

“Tapi” kalimatku.

“Tapi apa?” Ha.

“Saya tidak mau nikah pakai uang orang tuamu, harus hasil keringat sendiri” ujarku.

“Masih ada lagi?” Ha.

“Saya tidak mau tinggal dengan orang tuamu, lebih baik kontrak rumah dari pada tinggal ma mertua”  pernyataanku lagi.

“Masih ada lagi?” Ha.

“Saya tidak mau kau berkelahi dengan saudaramu hanya karena memperebutkan harta warisan orang tua, ngerti?” kalimatku.

“Kalau memang sudah kelewatan, berikan saja semua harta warisan orang tua terhadap semua saudaramu di sana, tidak usah berkelahi hanya karena uang” ucapanku kembali.

“Warisan orang tuaku banyak” Ha.

“Bodoh amat dengan warisan orang tuamu” balasan buatnya.

“Apa Rainy tidak ingin jadi orang kaya baru?” Ha.

“Kurang ajar” mengumpat seketika.

Saya memang butuh uang, karena sejauh ini hidupku penuh dengan tantangan yang bersifat uang. Hanya saja, melihat orang banyak di pemberitaan media sosial selalu saja berkelahi di pengadilan dengan sebab yang sama yaitu uang. Pemilik harta baru meninggal sehari dua hari sudah berteriak masalah harta warisan. Lebih kacau lagi kalau masih hidup, seluruh anak-anaknya saling memaki memperebutkan warisan. Mengerikan...

Pasanganku berasal dari kalangan orang kaya bukan berarti kehidupanku harus menjalani kehidupan sosialita. Saya lebih menyukai pasangan pekerja keras dan tidak gengsi-gengsian saja. Sekalipun pergumulanku juga bercerita tentang uang, tidak berarti saya menyuruh pasanganku harus berkelahi memperebutkan harta warisan. Saya lebih menyukai hasil keringatnya sendiri dan bukan hasil harta warisan. Seseorang yang berjalan dengan hasil keringat sendiri akan mengerti makna hidup yang sebenarnya. Kenapa bisa? Karena di dalamnya ada proses luar biasa untuk membentuk dirinya.

“Kalau saya marah sekeras apa pun artinya kau harus tetap diam, ngerti?”

“Kau harus berkata seperti ini...” kalimatku kembali.

“Berkata apaan?” Ha.

“Rainy sudah berhenti marah ya? Kalau sudah berhenti marah, sini saya peluk” bahasaku terhadapnya.

“Memang perempuan harus dimengerti ya?” Ha.

“Kau tidak boleh marah terhadapku apa pun yang terjadi” kalimatku.

“Sekalipun situ melakuķan kesalahan?” Ha.

“Begitulah” ujarku.

“Kau harus mencari waktu yang baik untuk menegurku kalaupun saya salah, jangan membentak karena hidupku sudah bosan dibentak orang kiri kanan” kalimatku kembali.

“Harrel Liam berjanji ma Rainy Faith selalu mendekap apa pun yang terjadi” Ha.

“Apa orang tuamu merestui hubungan antara saya dan dirimu?”

“Mereka setuju saja, terserah saya” Ha.

“Orang tuamu tidak mencari bibit, bebet, bobot?”

“Mau cari bibit, bebet, bobot apalah itu, namanya kita berdua terikat surat perjanjian ya harus terima kenyataan hiduplah” Ha.

“Kalau orang tuamu tidak setuju?”

“Siapa bilang? Justru mereka biasa mencari gadis yang pernah kubawah ke rumah” Ha.

“Biasanya orang kaya akan mencari orang kaya juga” ujarku.

“Lagian saya sudah memutuskan untuk tidak menerima harta warusan orang tua keles” Ha.

“Wow” menepuk-nepuk bahu Ha.

“Kapan kita nikah?” Ha.

“Terserah” menjawab pertanyaannya.

Perjalanan hidup menyatakan sesuatu hal yang berbeda. Tidak pernah menyangka kalau ternyata saya diterima oleh keluarga Ha tanpa harus melihat dari ujung rambut hingga ujung kaki. Di satu sisi, saya sedang berjuang mempersiapkan diri oleh karena sebuah visi dan misi mengenai kota rusak. Di sisi lain, kehidupanku sendiri sedang belajar menjadi pendamping terbaik buat Ha.

Belajar menjadi orang tua yang baik untuk 2 kurcaci di depanku. Setidaknya mereka memiliki masa depan cerah sama seperti anak lain. “Apa kau pernah mendoakan mereka berdua?” melempar sebuah pertanyaan.

“Siapa?” Ha.

“Dua kurcacimu” menjawabnya.

“Selalu” Ha.

“Maksudku doa pelepasan kutuk turunan, orang tua, nenek moyang, dan segala jenisnya di belakang?”

“Memang kenapa?” Ha.

“Jangan tersinggung, permasalahannya ada pada segala jenis kutuk hingga bisa saja mereka berdua bisa saja kehidupannya jauh lebih parah dibanding orang tua kandungnya” pernyataan yang memang sulit diterima oleh pemikiran orang banyak.

Seorang anak yang terlahir dari orang tua dengan kehidupan penyimpangan akan menjadi kutuk bagi dirinya sendiri. Sebacai contoh; seorang anak terlahir dari perempuan pelacur, tentu hidupnya tidak akan baik-baik saja. Anak tersebut akan melewati satu perputaran permainan sang iblis seban akibat dari kutuk tersebut. Bisa dikatakan, anak tadi akan menjadi pelacur dua kali lipat ataikah melakukan dosa lebih menakutkan dari orang tuanya. Terlahir dari orang tua dengan peranan hidip sebagai pelacur, pembunuh, mafia, penjahat kelas kakak memang bukan pilihan hidup. Hanya saja, tiap anak harus menjalani doa pelepasan kutuk sehingga masa depannya tidak terjadi penyimpangan.

Satu lagi, jangan menganggap remeh anak yang sudah ada di dalam perut tanpa ikatan pernikahan, sekalipun pada akhirnya orang tuanya berada di depan altar. Kutuk turunan mengudara jauh lebih parah sehingga menciptakan karakter lebih parah, bahkan masa depan anak tersebut berada di sudut penyimpangan paling menakutkan.

“Lantas, apa yang akan kita lakukan?” Ha.

“Membawa mereka ke gereja buat doa pelepasan kutuk” menjawab pertanyaannya.

Hi memiliki karakter sedikit berbeda dari anak lainnya. Berhadapan dengan anak laki-laki jauh berbeda dengan anak perempuan. Adaptasi masing-masing membutuhkan tingkat kepekaan cukup kuat. Terkadang, anak perempuan dengan mudahnya meluapkan banyak hal, tetapi tidak dengan anak laki-laki. Terlebih ketika anak tersebut memiliki karakter introvert.

“Apa kau memiliki sesuatu yang ingin diutarakan?” sosok Ha sedang duduk di samping Hi.

“Seseorang mengenaliku di sekolah” Hi berbicara dengan kepala tertunduk.

“Lantas?” Ha.

“Dia mengejekku sampai hampir semua teman-temanku menjauhiku” Hi.

“Selesaikan masalahmu sendiri!” masuk ke tengah mereka.

“Rainy” Ha.

“Kalau semua temanmu membuly anggap saja kau sedang menjalani pembentukan mental baja” mencoba memberinya penjelasan.

“Tidak semua hal orang tua harus masuk ke dalam, setidaknya Hi harus belajar menanggapi semua yang ada di depan dengan bijak” berkata-kata lagi.

“Kami akan menjadi sahabat Hi sampai kapanpun, tetapi ketika berada di luar sana artinya hidupmu harus siap mental dengan semua caci maki ataukah teriakan orang banyak” Ha.

Anak usia masih belia harus belajar tentang hidup? Memang seperti itulah ilmu parenting yang harus diterapkan. Tidak berarti sebagai orang tua harus berjalan memberi pelajaran terhadap si’pembuly sekalipun terdengar menyakitkan mendengar keluh kesah sang anak. Berkata bijak tanpa harus menjadi hakim dapat membuat sang anak berjalan sengan sebuah kekuatan.

“Kalau tidak mempunyai teman, tidak berarti hidup sudah berantakan, semua  mempunyai waktu untuk bersinar di tempatnya” Ha.

“Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri seandainya Hi dibuly atau dikucilkan oleh orang banyak” berujar terhadapnya.

“Kalau mereka memukul?” Hi.

“Cerdiklah secerdik ular, tuluslah setulus merpati” kalimatku.

“Artinya?” Hi.

“Berdoa dan bertanya ma Tuhan tentang maksud pernyataan tadi” berkata-kata terhadapnya.

Penjabaran yang memang sulit dijelaskan, akan tetapi anak seperti dirinya harus belajar mengerti makna kata tadi. Entah kenapa, dua tanganku sedang belajar mengerti ilmu parenting. Di satu sisi, saya tidak memiliki pengalaman sama sekali, tetapi keadaan menuntut untuk berjalan masuk kesana.

Hal tergilanya lagi adalah menyuruh Hi belajar tentang hidup, suka ataupun tidak sama sekali. Apa dua tangan dapat membawanya ke suatu sudut persimpangan? Ernahlah...

“Kau harus tahu cara menata dirimu sendiri!” mencoba menekankan sesuatu terhadapnya.

“Menata diri sendiri?” Hi.

“Kau harus belajar” ujarku.

“Caranya?” Hi.

“Mau saya ajar?”

“Memang harus ya?” Hi.

“Sepertinya” kalimatku.

“Ikuti saja keinginan your mommy” Ha berjalan ke tengah kami.

“Semua dimulai dari rumah, ngerti?”

“Dari rumah?” Hi.

“Kau harus bisa memberahikan rumah, memasak, mengatur waktu belajar, mengurus adikmu Levi” berkata-kata lagi.

“Sesuatu pakai banget” Ha.

Hi mulai belajar menata dirinya sendiri. Menjadi tukang bersih-bersih di rumah membuatnya terlihat kesulitan di awal, tetapi pada akhirnya dia mulai beradaptasi. Ketika memiliki waktu luang, dunia Hi mulai mengurus adiknya seperti memandikan, mengganti popok, memberi makan, atau bermain. Saya tidak sedang menjadikan dirinya pembantu rumah tangga. Setidaknya sosok Hi belajar membentuk dirinya sendiri.

“Sepertinya Hi harus menjadi cleaning servis di gereja kecil di sini” membawa Hi ke sebuah gereja kecil.

“What?” Hi.

“Belajar tentang hidup juga harus dimulai di sini, ngerti?”

“Ta ta ta tapi?” Hi.

“Kau pasti bisa” bernicara terhadapnya.

“Menjadi cleaning servis?” Hi.

“Menyapu dan mengepel ruang gereja, memotong rumput di halaman, memberahikan toilet gereja, menata semua kursi di sini” memberi penjelasan.

“Kenapa?” Hi.

“Belajar menata diri sejak dini” ujarku.

“Ada satu hal lagi kuinginkan dari sosok Hi kalau ingin tetap tinggal di keluaega ini” berkata-kata seketika terhadapnya.

“Sepertinya anda menolak saya sebagai anak” Hi.

“Tidak juga” balasanku.

“Lantas?” Hi.

“Hanya saja ada sesuatu hal yang membuatku penasaran ma Hi” ujarku.

“Tentang?” Hi.

“Maka dari itu, Hi harus mengikuti keinginanku setidaknya saya mengerti sesuatu di dalam dirimu seperti apa” ungkapku.

“Apa yang anda inginkan dariku?” Hi.

“Saya mau Hi tiap libur sekolah pergi membersihkan kotoran pu’ banyak pasien di rumah sakit pemerintah” kalimatku.

“What?” Hi.

“Iya memang kenapa?”

“Apa anda segitu bencinya ma anak seperti saya?” Hi.

“Tidak juga” ungkapku.

“Lantas?” Hi.

“Saya hanya penasaran saja ma anak sepertimu” ungkapku.

“Kau terlanjur menjadi anak kami, artinya apa pun aturan yang saya buat harus di dengar” lanjutan ucapanku.

Dengan wajah kesal, seorang Hi berusaha mengikuti keinginanku. Dia muntah-muntah di hari pertama, akan tetapi sepertinya tangannya mulai cekatan menjalani peran sebagai pembersih kotoran pu’ pasien. Setidaknya Hi belajar menata hidupnya ke depan. Saya bukan orang tua yang sempurna buatnya, hanya saja hidupku sendiri sedang belajar menjadi alat untuk membentuk sesuatu di dalam dirinya.

Kehidupan seorang Hi harus mengerti tentang cerita permainan alur di sudut persimpangan. Sepertinya Tuhan memiliki maksud dengan mengizinkan Hi dan adiknya hadir di tengah kami. Tanpa persetujuan dariku, seorang Ha berani mengambil keputusan mengadopsi dua anak laki-laki.

Objek terbaik dari Ha adalah ketika dirinya mengizinkan saya merawat orang tuaku dengan bebas. Memiliki pasangan seperti Ha membuatku sadar tentang banyaknya objek. Saya seorang dengan karakter keras, tidak suka keramaian, kasar, kesulitan beradaptasi diterima tanpa harus menuntut abcd.

Ha tidak pernah menuntut saya harus menjadi orang lain. Ketika berada pada satu lingkungan, Ha tahu dan mengerti dengan pasti karakterku seperti apa. Tim kerja yang dibentuk  membuatku sadar kaalu di dalam dirinya memiliki satu iman yang belum tentu orang lain miliki. Kami bersama-sama memasuki gerbang kota rusak untuk menjadi alat perbaikan setahap demi setahap.

 

 

 

 

TAMAT